Wednesday, June 29, 2011

AJARAN DAN PEGANGAN GOLONGAN SYIAH

AJARAN DAN PEGANGAN GOLONGAN SYIAH

Sedangkan golongan syi’ah berbeda dengan sunnah mengenai pembagian rukun Islam. Bahkan antara aliran-aliran syi’ah sendiri saling berbeda pandangan dalam hal ini. syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa rukun agama ada 5, yaitu: (1) Shalat, (2) Zakat, (3) Hajji, (4) Puasa, (5) Wilayah. Sebagaimana beberapa riwayat yang disebutkan oleh al-Kulaini dalam kitabnya "Ushul al-Kafi":

عَنْ أَبِي جَعْفَر قَالَ: "بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: عَلَى الصلاَةِ وَالزَّكَاةِ وَالصَّوْمِ وَالْحَجِّ وَالْوِلاَيَةِ، وَلَمْ يُنَادَ بِشَيْءٍ كَمَا نُوْدِيَ بِالْوِلاَيَةِ".

“Dari Abu Ja’far, ia berkata: Islam dibangun di atas lima perkara; yaitu mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, melaksanakan haji, dan wilayah, dan tidak ada satu pun daripada rukun-rukun yang tersebut yang diseru (keras) sebagaimana seruan yang diberikan kepada wilayah”[3].

وعَنْ أَبِي جَعْفَر قَالَ: "بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسَةٍ، عَلَى الصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَالصَّوْمِ وَالْوِلاَيَةِ، قَالَ زَرَارَة: فَقُلْتُ: وَأَىُّ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ أَفْضَل، فَقَالَ: اَلْوِلاَيَةُ أَفْضَل لِأَنَّهَا مِفْتَاحُهُنَّ، وَالْوَلِيُّ هُوَ الدَّلِيْلُ عَلَيْهِنَّ".

“Dari Abu Ja’far, ia berkata: Islam dibangun di atas lima perkara; mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, puasa ramadhan, dan wilayah. Zararah bertanya kepada Abu Ja’far: manakah rukun yangh terbaik di antara rukun-rukun tersebut?. Abu Ja’far menjawab: Wilayah adalah rukun yang terbaik, sebab wilayah merupakan kunci dari semua rukun agama, dan Wali (Imam) adalah penunjuk atas kesemua rukun tersebut”[4].

عَنْ عُجْلاَن أَبِي صَالِحْ قَالَ: قُلْتُ لِاَبِي عَبْدِ اللهِ عَلَيْهِ السَّلاَم: “أَوْقِفْنِي عَلَى حُدُوْدِ الاِيْمَانِ، فَقَالَ: شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَالِإقْرَارُ بِمَا جَاءَ بِهِ مِنْ عِنْدِ اللهِ وَصَلاةُ الْخَمْسِ وَأَدَاءُ الزَّكَاةِ وَصَوْمُ شَهْرِ رَمَضَان وَحَجُّ الْبَيْتِ وَوِلاَيَةُ وَلِيِّنَا وَعَدَاوَةُ عَدُوِّنَا وَالدُّخُوْلُ مَعَ الصَّادِقِيْنَ”.

“Dari ‘Ujlan Abu Shalih, ia bekata: Saya meminta penjelasan dari Abu Abdillah tentang batasan-batasan iman, ia menjawab bahwa iman adalah :“Bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, dan Beriqrar (mengakui) segala yang datangnya dari Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, melaksanakan haji, percaya kepada Wilayah, dan memerangi musuh-musuh, dan berhimpun bersama orang-orang yang benar (jujur)”[5].

Bila diperhatikan riwayat terakhir di atas, syi’ah Imamiyah menjadikan ucapan dua kalimat syahadat sebagai bahagian dari rukun iman, sementara sunnah menjadikannya sebagai rukun Islam.

Adapun bagi syi’ah Isma'iliyah Bathiniyah, rukun Islam ada 7. Hal ini dinyatakan dengan tegas oleh salah seorang ulama Syi’ah Isma’iliyah, yaitu al-Qadhi an-Nu'man dalam kitabnya "Da'aa`im al-Islam". Kitab tersebut mensinyalir bahwa rukun Islam ada 7 perkara, yaitu: (1) Wilayah, (2) Kesucian, (3) Shalat, (4) Zakat, (5) Puasa, (6) Hajji, (7) Jihad. Adapun teksnya adalah sebagai berikut:

عَنْ أَبِي جَعْفَر أَنَّهُ قَالَ: "بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى سَبْعِ دَعَائِمٍ : اَلْوِلاَيَةُ، وَهِيَ أَفْضَلُهَا، وَبِهَا وَبِالْوَلِيِّ يُوْصِلُ إِلَى مَعْرِفَتِهَا، وَالطَّهَارَةُ، وَالصَّلاَةُ، وَالزَّكَاةُ، وَالصَّوْمُ، وَالْحَجُّ، وَالْجِهَادُ".

“Dari Abu Ja’far, ia berkata: Islam dibangun di atas tujuh perkara; Wilayah, dan wilayah adalah rukun terbaik dari rukun lainnya, sebab dengan wali (imam) seseorang dapat mengenal rukun-rukun Islam, kemudian Thahara (kesucian), mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, melaksanakan haji, dan berjihad”[6].

Jadi, syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma'iliyah sepakat bahwa wilayah (imamah) adalah rukun yang paling utama dari rukun yang lainnya.

Dari beberapa riwayat yang diketengahkan oleh syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah dapat dilihat bahwa dua kalimat syahadat tidak dimasukkan dalam rukun Islam mereka. Sedangkan sunnah menjadikannya sebagai rukun Islam pertama dan yang paling utama. Sementara bagi syi’ah wilayah (imamah) adalah salah satu rukun agama dan rukun Iman yang paling mendasar dan paling utama dibanding rukun-rukun lainnya. Sehingga salah seorang ulama syi’ah Imamiyah kontemporer yang bernama syekh Amir Muhammad al-Qazawayni menyatakan dengan tegas bahwa: “barang siapa yang mengingkari kepemimpinan imam Ali, maka sungguh telah gugur keimanannya”[7].

Di samping itu berkaitan dengan kalimat syahadat, terkadang syi’ah menambahkan sebutan imam Ali sebagai wali Allah, sehingga teks syahadat versi mereka berbunyi:

"أَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَه وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَأَنَّ عَلِيًّا وَلِيُّ اللَهِ"

“Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad utusan Allah, dan Ali adalah wali Allah”.
Namun perlu disebutkan, bahwa as-Sayyid al-Murtadha, yang merupakan salah seorang ulama terkemuka Syi’ah pada abad ke lima Hijriah mengharamkan penyebutan azan yang ditambahkan dengan kalimat "Ali adalah wali Allah", yaitu yang berbunyi “أَشْهَدُ أَنَّ عَلِيًّا وَلِيَّ الله ”. Seorang cendikiawan Syi’ah Imamiyah yang netral dan moderat bernama DR. Musa al-Musawi menilai bahwa sebenarnya penambahan ini tidak mendasar dan keliru. Ia muncul setelah Ghibah al-Kubrah pada tahun 329 Hijriah. Bahkan menurutnya, seandainya imam Ali masih hidup saat ini, dan mendengarkan penambahan nama beliau dalam azan, maka niscaya beliau akan memberikan hukuman “Had” kepada pelantun azan tersebut[8]. Tentunya pernyataan ini merupakan suatu usaha untuk menuju penetralan dan penjernihan aqidah yang dilakukan oleh sebagian intelektual modern dari kalangan Syi’ah.

Bahkan terkadang lafadz Nabi Muhammad-pun dihilangkan dari kalimat syahadat. Seperti riwayat di bawah ini:

عَنْ أَبِي جَعْفَرْ قَالَ: "لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ عِنْدَ الْمَوْتِ شَهَادَةَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَالْوِلاَيَة".

“Ketika Talqin, bacakanlah kepada mayat-mayat kalimat syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan wilayah (Ali wali Allah)”[9].

Di tempat lain, syi’ah menafsirkan ayat dalam surah al-Baqarah ayat 132, 137, yang berbunyi:

(قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ. فَإِنْ آمَنُواْ بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ فَقَدِ اهْتَدَواْ وَّإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ) –البقرة: 136، 137-.

“Katakanlah (hai orang-orang mu'min):"Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'kub dan anak cucunya, dan apa yang telah diberikan kepada Musa dan 'Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan-nya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Bagi syi’ah, lafadz (فَإِنْ آمَنُواْ), bermaksud, mereka umat manusia, sedangkan lafadz (بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ), adalah imam Ali, Fatimah, Hasan, Husain, dan para imam-imam lainnya. Jadi maksud ayat ini adalah keimanan seorang mu’min harus melalui dan mengikuti serta sesuai dengan keimanan para imam-imam syi’ah[10].

Inilah gambaran tentang konsep keimanan kepada Allah swt yang diyakini oleh golongan syi’ah.

Tentang Nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya yang pada asalnya sifat-sifat tersebut hanya dimilki Allah semata-mata, oleh Syi’ah diyakini bahwa nama-nama serta sifat-sifat tersebut dilabelkan juga untuk para imam-imam syi’ah. Hal ini dapat dilihat ketika al-Kulaini meriwayatkan sebuah pentafsiran daripada ayat al-Qur’an:

(ولِلَّهِ الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوْهُ بِهَا) -الآعراف، 180-.

“Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu”. (Q.S. al-A’raaf: 180). Dari Abu Abdillah, ia mengatakan: “Kami dan asma al-husna tidak akan menerima amalan seorang hamba kecuali dengan pengetahuan kami (izin kami)”[11].

Dalam kitab-kitab Syi’ah yang lain disebutkan:

"نَحْنُ وَجْهُ اللهِ نَتَقَلَّبُ فِي الأَرْضِ بَيْنَ أَظْهَرِكُمْ، وَنَحْنُ عَيْنُ اللهِ فِي خَلْقِه"

“Kami (para imam) adalah wajah Allah, kami beredar di muka bumi di antara kamu, dan kami (para imam) adalah mata Allah untuk hambaNya”[12].

Ibnu Babwaih menafsirkan firman Allah swt:

(كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ) –القصص، 88-.

“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah”. (Q.S. al-Qashash: 88).
Ia mengatakan:"نَحْنُ وَجْهُ اللهِ الَّذِي لاَ يَهْلِكُ". “Kamilah wajah Allah yang tidak akan binasa”[13]. Keyakinan seperti ini dapat ditemukan juga dalam Syi’ah Isma’iliyah[14].

Dengan demikian, dari uraian di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa syi’ah menambahkan rukun Islam dengan Imamah (politik). Dan hal ini ditegaskan kembali oleh syekh Muhammad Husein al-Ghitah yang merupakan seorang ulama syi’ah Imamiyah kontemporer, yang menyatakan bahwa “Sesungguhnya mazhab Syi’ah (imamiyah) menambahkan rukun Islam (Ahlu Sunnah), yaitu Imamah”[15].

Teks ucapan ini merupakan pengakuan bahwa syi’ah memang sengaja menambahkan rukun Islam supaya berbeda dengan rukun Islam yang diyakini oleh kalangan sunnah.

Kemudian untuk rukun iman yang lainnnya, seperti beriman kepada malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari kiamat, serta qadha dan qadar, akan penulis jelaskan satu persatu secara singkat di bawah ini.

Malaikat:

Termasuk bagian dari rukun iman yang disepakati oleh sunnah dan syi’ah adalah beriman kepada malaikat-malaikat Allah ta’ala, sebagaimana firman-Nya :

(آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ).

“Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali" (QS. Al-Baqarah : 285).

Namun yang menjadi masalah di sini adalah adanya bentuk penafsiran-penafsiran atau interpretasi dan pemahaman yang berbeda antara sunnah dan syi’ah. Misalnya, dari segi asal penciptaan malaikat dan tugas malaikat. Bagi sunnah, malaikat diciptakan dari cahaya (semata), sebagaimana sabda Rasulullah saw:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "خُلِقَتْ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ".

Dari ‘Aisyah, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: "malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api yang menyala-nyala, dan Adam diciptakan dari sesuatu yang telah disebutkan (ciri-cirinya) untuk kalian" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2996].

Namun syi’ah berpendapat lain, dan menegaskan bahwa penciptaan malaikat berasal daripada cahaya imam Ali[16]. Di samping itu syi’ah mengatakan bahwa ada di antara malaikat yang kerja dan tugasnya hanya untuk menangisi kuburan imam Husain dan berbolak balik menziarahi kuburannya sehingga hari kiamat. Dan menurut mereka jumlah para malaikat adalah sebanyak 4000[17]. Sementara dalam ideologi sunnah, tidak ditemukan pemahaman bahwa terdapat segerombolan malaikat yang ditugaskan oleh Allah untuk menangis di atas kuburan imam Husain.

Bagi syi’ah, malaikat Jibril di samping bertugas sebagai pembawa wahyu Ilahi, Allah juga menugaskannya sebagai pelayan bagi para imam-imam syi’ah, sebagaimana riwayat yang disebutkan dalam kitab “Biharul Anwar”:

(إِنَّ جِبْرَائِيْل دَعَا أَنْ يَكُوْنَ خَادِمًا لِلْأَئِمَّةِ، قَالُوا: فَجِبْرِيْلُ خَادِمُنَا).

“Sesungguhnya malaikat Jibril meminta untuk menjadi pelayan para imam, maka para imam menjawab: Jibril adalah pelayan kami”[18].

Asumsi ini tidak diterima oleh sunnah. Sebab malaikat Jibril yang biasa disebut sebagai “ar-Ruuh” menurut aqidah sunnah tugasnya hanyalah sebagai pembawa wahyu, dan hanya melayani Nabi Muhammad saw, sesuai dengan firman Allah:

(نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ) –الشورى: 193، 194-.

“Dia dibawa turun oleh Ar-Ruuh Al-Amin (Jibriil), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan” )QS. Asy-Syu’raa’ : 193-194(.
Di dalam ayat lain disebutkan:

(تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ) –القدر: 4-.

“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ar-Ruuh (Jibriil) dengan ijin Tuhannya untuk mengatur segala urusan” )QS. Al-Qadar : 4(.

Kitab-Kitab:

Kepercayaan kepada kitab-kitab merupakan rukun iman yang ketiga. Kesemua ajaran-ajaran agama disampaikan oleh malaikat dan dicatatkan di dalam kitab-kitab dan suhuf. Dan jumlah kitab-kitab suci tidak diketahui secara pasti berapa jumlahnya. Namun sekalipun tidak diketahui secara pasti jumlah kitab-kitab tersebut, yang jelas setiap rasul dibekalkan dengan kitab suci masing-masing.

Silang pendapat antara sunnah dan syi’ah pada masalah ini sangat tajam. Sunnah meyakini bahwa dalam agama Islam kitab yang diturunkan Allah swt kepada ummat Islam adalah al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, dan pendapat ini disetujui oleh syi’ah. Atau dengan kata lain, sunnah dan syi’ah sepakat dan sekata bahwa pedoman ajaran agama Islam adalah kitab al-Qur’an yang dibekalkan oleh Allah untuk Nabi Muhammad saw. Namun, perselisihan tajam terjadi ketika kalangan syi’ah berasumsi bahwa al-Qur`an yang dipegang oleh sunnah, yaitu (Mushaf Utsmani) tidak originil alias palsu, sebab telah mengalami perubahan yang berupa penambahan dan pengurangan. Hal ini dijelaskan oleh ulama hadits terkemuka syi’ah Imamiyah, yaitu Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini: ”dari Abu Abdullah (Ja’far Ash-Shadiq), ia berkata:”Sesungguhnya al-Qur’an yang dibawa oleh Jibril kepada Muhammad memiliki 17.000 ayat“[19].

Pada tempat lain, disebutkan juga teks berikut:

عَنْ أَبِي بَصِيْر، قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى أَبِي عَبْدِ اللهِ ... : "وَإِنَّ عِنْدَنَا لَمُصْحَفُ فَاطِمَة عَلَيْهَا السَّلاَم، قُلْتُ (أَيْ قَوْلُ الرَّاوِي): وَمَا مُصْحَفُ فَاطِمَة عَلَيْهَا السَّلاَمْ؟ قَالَ: مُصْحَفٌ فِيْهِ مِثْلُ قرْآنِكُمْ هَذَا ثَلاَثُ مَرَّاتٍ مَا فِيْهِ مِنْ قُرْآنِكُمْ حَرْفٌ وَاحِدٌ".

Dari Abi Bashir, ia berkata, Abu Abdillah berkata: “Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah, Abu Bashir bertanya: apakah Mushaf Fathimah itu?’ Ia (Abu Abdillah) berkata: ”yaitu Mushaf yang 3 kali lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari al- Qur’an kalian”[20]. Oleh karena itu, Husain bin Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi menegaskan bahwa al-Qur’an yang dimiliki oleh ahlu sunnah telah mengalami perubahan besar dan mengalami banyak penyimpangan dan penyelewengan[21].

Bahkan dalam riwayat lain disebutkan dalam kitab “Biharul Anwar”:

"مُصْحَفُ فَاطِمَة عَلَيْهَا السَّلاَم مَا فِيْهِ شَيْءٌ مِنْ كِتَابِ اللهِ، وَإِنَّمَا هُوَ شَيْءٌ أُلْقِي عَلَيْهَا"

“Sesungguhnya isi kandungan Mushaf Fathimah adalah wahyu dari Allah yang langsung disampaikan kepadanya (Fathimah) ”[22].

Kesemua teks-teks riwayat di atas tidak memerlukan penjelasan lebih dalam dan rinci, sebab sudah sangat jelas maksudnya, bahwa terdapat mushaf yang diturunkan khusus untuk Fathimah.

Dalam kitab “Dalaai`l an-Imamah” terdapat riwayat yang menggambarkan isi dan kandungan daripada mushaf Fathimah, di antaranya adalah hal-hal ghaib. Seperti pemberitaan tentang peristiwa-peristiwa apa yang sudah terjadi dan akan terjadi sampai hari kiamat kelak, bilangan jumlah malaikat, siapa saja utusan Allah, nama-nama para Imam syi’ah (dua belas imam), sifat-sifat penghuni surga dan neraka, jumlah orang yang akan berjaya masuk di dalam surga dan neraka, serta banyak lagi hal-hal lain[23].

Riwayat seperti ini sangat banyak ditemui dalam kitab-kitab syi’ah yang masuk dalam katagori autentik “al-Mu’tabarah”, seperti: “Bashaa`ir ad-Darajaat” karangan Ibnu al-Farruukh as-Shaffar, “Amaali as-Sudduuq”, karangan Ibnu Babwaih al-Qummi dll.

Tentunya ilustrasi-ilustrasi ghaib yang tersebut dalam kitab-kitab di atas adalah sesuatu yang tidak masuk logika. Sebab Nabi Muhammad sendiri tidak mampu bercerita kepada ummatnya tentang hal-hal demikian, sebagaimana yang diungkapkan dalam firman Allah swt;

(قُل لاَّ أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَآئِنُ اللّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلاَ تَتَفَكَّرُونَ) –الأنعام:50-

“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku ini malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang telah diwahyukan kepadaku. Katakanlah:"Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat". Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)”. (Q.S. al-An’aam: 50).
Di samping itu, syi’ah Imamiyah berasumsi bahwa masing-masing kedua belas imam mendapatkan suhuf (lembaran-lembaran) tersendiri[24], sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab “Ikmaal ad-Din”:

عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ: "إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنْزَلَ عَلَى اثْنَى عَشَرَ خَاتِمًا، وَاِثْنَى عَشَرَ صَحِيْفَةً، اِسْمُ كُلَّ إِمَامٍ عَلَى خَاتِمِهِ، وَصِفَتِهِ فِي صَحِيْفَتِهِ"

“Sesungguhnya Allah swt menurunkan (membagikan) cincin kepada dua belas imam, dan bagi tiap-tiap imam dua belas diberikan lembaran masing-masing, dan pada setiap cincin tersebut tertulis nama imam, sedangkan sifatnya tersebut dalam lembaran”[25].

Dengan demikian, pada dasarnya syi’ah mengakui adanya kitab suci selain al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad, yang dikenal sebagai “Mushaf Fatimah”. Dan Allah membagikan shuhuf (lembaran-lembaran) kepada setiap imam yang dua belas.

Bagi sunnah keotentikan mushaf dan shuhuf ini merupakan sebuah tanda tanya besar. Sebab bagi sunnah al-Qur’an dan Hadits sudah cukup untuk dijadikan pedoman hidup bagi ummat, sesuai dengan firman Allah swt:

(وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ) -النحل،89-

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri”. (QS. An-Nahl: 89).

(مَّا فَرَّطْنَا فِي الكِتَابِ مِن شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ) -الأنعام، 38-

“Tiadalah Kami alpakan (lalaikan) sesuatu apapun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”. (QS. Al-An’aam: 38).
Rasulullah saw juga bersabda:

(تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ، وَسُنَّةَ نَبِيَّهِ)

“Saya meninggalkan kepadamu sekalian dua perkara, kamu tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepadanya, yaitu: kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya (Hadits)”. (Muwatta’ Imam Malik, no: 2618).

Sebagai catatan, perlu diperhatikan bahwa sebagian ulama syi’ah (minoritas) baik klasik ataupun kontemporer[26] ada yang menyanggah keyakinan bahwa al-Qur’an yang di tangan sunnah tidak orisinil. Dalam artian lain, mereka mengakui bahwa Mushaf Utsmani tidak ada penyimpangan atau penyelewangan dalam isi kandungannya. Ulama tersebut adalah, imam at-Thuusi, imam at-Tabrisi, as-Syarif al-Murtadha, Adnan al-Bahraani, Syekh al-Qummi, syekh Muhammad Ridha al-Muzaffar dan syekh Kasyif al-Ghita’[27]. Sedangkan mayoritas ulama syi’ah tetap tidak mengakui Mushaf Utsmani[28].

Sunnah menilai bahwa pengakuan sebahagian ulama syi’ah terhadap mushaf Ustmani bermotifkan “Taqiyyah”, alias bukan sikap hakiki mereka. Sikap ini mereka ambil hanya untuk meredakan pertikaian antara sunnah dan syi’ah.

Bahkan DR. Musa al-Musawi (intelektual syi’ah) menegaskan, bahwa yang berpendapat adanya “Tahrif” atau penyelewengan dalam mushaf utsmani adalah golongan minoritas syi’ah dan bukannya mayoritas. Dan beliau sendiri meyakinkan kita bahwa imam al-Khu’i dalam kitab tafsirnya “al-Bayan” telah menafikan sendiri unsur “Tahrif” yang ditujukan pada mushaf “Utsmani” oleh ulama-ulama syi’ah lain, dan yang berpendapat demikian sebenarnya hanyalah orang-orang yang lemah akal pikirannya[29].

Tapi walau bagaimanapun, pihak sunnah menilai bahwa masalah “Tahrif” adalah pandangan mayoritas golongan syi’ah. Seperti yang ditegaskan oleh syekh adz-Dzahabi dalam bukunya “al-Ittijahat al-Munharifah fi Tafsir al-Qur’an”[30].

Rasul-Rasul

Kepercayaan kepada para rasul adalah pilar keempat dari rukun iman, berdasarkan firman Allah swt:

(فَآمِنُوا بِاللهِ وَرُسُلِهِ) -النساء، 171-.
"
Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya" (Q.S. an-Nisaa’).

Allah swt mengutus para rasul-Nya untuk menjelaskan dan membimbing umat ke jalan yang lurus dan diridhai-Nya. Di samping itu, Allah menjanjikan pahala khusus bagi siapa saja yang mempercayai para rasul Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat:

(وَالَّذِينَ آمَنُواْ بِاللّهِ وَرُسُلِهِ وَلَمْ يُفَرِّقُواْ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ أُوْلَـئِكَ سَوْفَ يُؤْتِيهِمْ أُجُورَهُمْ وَكَانَ اللّهُ غَفُوراً رَّحِيماً) -النساء، 152-.

“Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para Rasul-Nya dan tidak membedakan seorangpun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (Q.S. an-Nisaa’: 152).

Point ini disepakati bersama antara sunnah dan syi’ah, namun dalam sisi lain terjadi silang pendapat yang mendasar, yaitu apabila syi’ah berusaha untuk menyamakan para rasul dengan Imam-imam syi’ah. Mereka berpandangan bahwa imamah atau wilayah adalah masalah agama yang paling penting, dan setaraf dengan kenabian, dari segi kesempurnaan diri (insan kamil). Mereka memiliki mu’jizat, ma’sum (terpelihara dari dosa dan noda), dan sifat lainnya yang sebenarnya hanya layak disandang oleh seorang nabi dan rasul, namun syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah ikut melekatkan sifat-sifat tersebut pada imam-imam mereka. Bahkan mereka meyakini bahwa imam-imam syi’ah mendapatkan wahyu juga seperti halnya nabi dan rasul, seperti yang tertulis di kitab “Biharul al-Anwar”:

“إن الأئمة عليهم السلام لا يتكلمون إلا بالوحي”

“Sesungguhnya para imam tidak berbicara kecuali dengan landasan wahyu”[31].

Teks di atas sangat jelas menunjukkan bahwa para imam syi’ah mendapatkan wahyu dari Allah swt. Bahkan bagi mereka, para imam lebih tinggi derajatnya di banding para nabi. Hal ini dinyatakan oleh Ibnu Babwaih dalam kitabnya “I’tiqaadaat”[32], yang kemudian ditegaskan oleh al-Majlisi dengan mengatakan:

"اِعْلَمْ أَنَّ مَا ذَكَرَهُ رَحِمَهُ اللهُ مِنْ فَضْلِ نَبِيِّنَا وَأَئِمَّتِنَا صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمْ عَلَى جَمِيْعِ الْمَخْلُوْقَاتِ، وَكَوْنِ أَئِمَّتِنَا أَفْضَلُ مِنْ سَائِرِ الأَنْبِيَاءِ ..."
"
ketahuilah sesungguhnya apa yang telah disebutkan oleh dia (Ibnu Babwaih) rahimaullah, tentang kemuliaan Nabi kita dan para Imam kita (shalawatullah ‘alaihim) melebih semua makhluk lain. Dan kedudukan para imam kita lebih mulia dibandingkan seluruh nabi, hal ini tidak dapat diragukan lagi kebenarannya bagi siapa saja yang mengetahui berita-berita para imam[33].

Begitu juga dengan perihal mu’jizat (miracle), yaitu suatu keadaan atau peristiwa luar biasa yang dialami atau dilakukan oleh nabi atau rasul atas izin Allah swt. Mukjizat ini bertujuan untuk membuktikan kebenaran agama atau berfungsi sebagai senjata untuk menghadapi musuh-musuh yang menentang dan tidak mau menerima ajaran yang dibawa oleh seorang nabi.

Yang menarik perhatian sunnah dalam masalah ini adalah, di dalam kitab-kitab syi’ah banyak disebutkan bahwa para imam-imam syi’ah dibekali juga dengan mu’jizat seperti halnya para nabi dan rasul. Bahkan ulama syi’ah mengambil perhatian besar dalam masalah mu’jizat dengan munculnya berbagai ragam kitab yang membahas dan membicarakan tentang mu’jizat-mu’jizat para imam, seperti, kitab “’Uyuun al-Mu’jizaat” karya Husain bin Abdul Wahab.

Di antara mu’jizat imam yang disebutkan dalam kitab tersebut adalah, para imam mampu menghidupkan orang mati, dapat berkomunikasi dengan hewan dan mengetahui hal-hal yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi[34]. Juga kitab “Yanaabii’ al-Ma’aajiz”, yang ditulis oleh Hasyim al-Bahrani. Bahkan dia menulis dua kitab mengenai hal ini. Selain kitab di atas adalah kitab “Madinah al-Ma’aajiz”. Dalam kedua kitab tersebut disebutkan bahwa imam mengetahui apa saja keadaan dan peristiwa yang terjadi di langit maupun di bumi[35]. Dan hal inipun ditegaskan oleh salah satu ulama kontemporer imamiyah, yaitu Muhammad Husain Kasyif al-Ghita’ dalam bukunya “Ashlu as-Syi’ah wa Ushuliha”[36].

Perlu diindikasikan di sini bahwa syi’ah Zaidiyah yang merupakan salah satu golongan besar dalam syi’ah, telah berusaha maksimal mungkin menepis dan mengcounter propaganda syi’ah Imamiyah dalam masalah mu’jizat dan kenabian. Sebab menurut syi’ah Zaidiyah, adalah suatu hal yang mustahil menganalogikan imamah dengan kenabian (nubuwwah). Alasannya adalah, karena kenabian memiliki berbagai argumentasi dan bukti yang menunjukkan kenabian mereka. Sikap syi’ah Zaidiyah terhadap polemik ini layak untuk diperhitungkan, karena syi’ah Zaidiyah menolak secara mentah-mentah pendapat yang mengatakan bahwa seseorang dapat mencapai derajat kenabian. Bahkan imam Ali ra yang juga disepakati oleh syi’ah Zaidiyah sebagai pemimpin yang paling layak dibandingkan khalifah lainnya, menurut pandangan mereka tidak sampai kepada tahap derajat kenabian[37].

Imam Asy’ari dari pihak sunnah menilai secara objektif pandangan tentang kelebihan antara nabi dan imam. Beliau berpendapat, bahwa sebenarnya syi’ah Imamiyah dalam masalah ini terbagi kepada tiga golongan :

1) Sebagian berpendapat bahwa nabi lebih mulia daripada imam, dan imam lebih
mulia daripada malaikat.
2) Ada yang berpendapat bahwa imam lebih mulia dibandingkan nabi dan malaikat.
3) Sedangkan golongan yang ketiga ini menilai bahwa malaikat dan nabi lebih
mulia daripada imam[38].

Sebenarnya, di samping ketiga pandangan di atas, terdapat lagi satu asumsi lain yang dicetuskan oleh syekh al-Mufid –seorang ulama syi’ah- bahwa imam lebih mulia dibanding dengan nabi, kecuali para nabi yang masuk dalam golongan “Ulul al-Azmi”[39].

Hari Kiamat.

Kepercayaan kepada hari kiamat dan alam akhirat, yaitu menerima hakikat bahwa alam ini akan musnah suatu ketika nanti dengan sekelip mata. Dan pada masa itu, semua manusia yang telah mati akan dibangkitkan kembali untuk mempertanggungjawabkan semua amalan-amalan yang mereka lakukan tatkala hidup di alam dunia. Kemudian Allah swt akan membalas amal-amal tersebut balasan yang seadil adilnya. Oleh karena itu kiamat dalam agama Islam dinamakan dengan berbagai sinonim, seperti: hari kiamat, hari kebangkitan, hari pembalasan, hari pengadilan, dan hari penghitungan[40].

Perlu diperhatikan di sini, bahwa kepercayaan akan hari kiamat bukan saja ada dalam agama Islam, juga ada dalam agama lain, seperti: kristen dan yahudi, yang merupakan agama-agama langit “al-Adyan as-Samawiyah”[41]. Bahkan kepercayaan kepada kewujudan hari kiamat juga ditemukan dalam agama atau kepercayaan kuno seperti, Persia, Mesir kuno, Yunani, dan lain-lainnya yang mempercayai adanya hari kiamat. Perbedaan mereka terletak pada cara menilai kebangkitan manusia apakah dengan ruh dan jasad atau dengan ruhnya saja tanpa jasad. Jadi perkara hari kiamat ini merupakan kepercayaan umum yang diyakini oleh setiap manusia. Sehingga pada zaman modern ini para sutradara film berlomba-lomba membuat filem tentang hari kiamat, seperti filem End of Days, Stigmata, Knowing dan yang terbaru 2012. Kita menghargai nilai film-film ini mengenai kepercayaan mereka tentang akan terjadinya hari kiamat, adapun penentuan waktu dan kandungannya tentu tidak boleh kita yakini, sebab perkara ini adalah rahasia ilahi. Seperti dalam filem 2012, ramalan kiamat berlaku dibuat berdasarkan kalendar suku maya yang berdomisili di republik Guatemala (Amerika tengah).

Sunnah ataupun syi’ah sepakat tentang hari kiamat. Namun ada beberapa hal yang tidak dapat diterima oleh pihak Sunnah, seperti: perkara hisab (penghitungan dan pembalasan amalan). Syi’ah dengan ideologinya mengatakan bahwa yang akan menghisab amal seseorang di hari kiamat adalah para imam, merekalah yang akan bertugas dan mengatur segala-segala bentuk penghitungan. Seperti yang disebutkan di dalam kitab Ushul al-Kafi di bawah ini:

(الآخِرَةُ لِلإِمَامِ يَضَعُهَا حَيْثُ يَشَاءُ، وَيَدْفَعُهَا إِلَى مَنْ يَشَاءُ جَائِزٌ لَهُ ذَلِكَ مِنَ اللهِ)

“Perkara akhirat berada di tangan imam, ialah yang akan menguruskan segala-galanya di akhirat sesuai keinginannya, ia berbuat demikian atas lisensi Allah”[42].

Lebih unik lagi, dalam kitab-ktab syi’ah diceriterakan bahwa sekiranya bukan karena imam, maka tidak diciptakan surga dan neraka, dan Allah menciptakan surga dari cahaya Husain[43]. Dan soal pertama yang akan ditanyakan di hari kiamat adalah tentang kecintaan seseorang dan kesetiaannya terhadap Ahlu Bait[44]. Di samping itu, penduduk Qum tidak melalui proses hisab sebagaimana orang awam, seperti melewati titian (shirat) dan timbangan (mizan). Dan penduduk Qum akan dihisab dari dalam kubur masing-masing, setelah itu dibangkitkan dan langsung dibawa menuju Surga, dan di Surga disediakan pintu khusus bagi mereka[45].

Ini sebagian dari paparan dan rentetan ideologi-ideologi syi’ah tentang kejadian dan peristiwa yang akan berlaku di hari kiamat. Dan syi’ah meyakini bahwa urusan managemen surga dan neraka diserahkan sepenuhnya kepada para imam. Mulai dari kebangkitan dari kubur, melewati titian, menjalani proses timbangan, dan yang terakhir keputusan seseorang akan masuk surga atau neraka berada di tangan para imam. Namun dalam pandangan sunnah, perkara masuk surga dan neraka adalah berada di tangan Allah semata, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamith, ia berkata, Rasululllah saw bersabda,

(مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنْ الْعَمَلِ)

“Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan (yang hak disembah) selain Allah Yang tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya; dan (bersyahadat) bahwa Isa adalah hamba Allah, Rasul-Nya, dan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam serta ruh daripada-Nya; dan (bersaksi pula bahwa) surga adalah benar adanya dan nerakapun benar adanya; maka Allah pasti memasukkannya kedalam surga betapapun amal yang telah diperbuatnya”. (HR. Bukhari dan Muslim). Qadha dan Qadar (Takdir).

Takdir merupakan rukun iman terakhir yang wajib diyakini oleh umat Islam. Dan dalam pembahasan ini terdapat dua kata yaitu qadha dan qadar. Kedua istilah ini serupa tapi tak sama, sebab keduanya mempunyai makna yang berbeda. Dari segi etimologi sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Maturidi bahwa qadha diartikan sebagai keputusan, sedangkan qadar diartikan sebagi ketentuan[46]. Sedangkan dari segi terminologi, qadar adalah takdir Allah sejak zaman azali, sedangkan qadha` adalah hukum Allah mengenai sesuatu ketika sesuatu itu terjadi . Oleh karena itu, kalau Allah menetapkan terjadinya sesuatu pada waktu yang ditentukan, maka itulah yang dinamakan qadar. Dan ketika telah datang masa waktu terjadinya sesuatu yang telah ditetapkan sebelumnya itu, maka itulah yang dinamakan qadha’. Dengan demikian qadar wujud lebih dulu dibanding qadha, sebab qadha menyusul di belakang setelah adanya qadar.

Bila kita teliti dalam permasalahan takdir, syi’ah cenderung kepada pandangan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa Tuhan tidak menciptakan perbuatan manusia, tetapi manusialah yang mewujudkan perbuatan itu. Perbuatan adalah apa yang dihasilkan oleh manusia dengan daya yang bersifat baru[47].

Di sinilah titik perbedaan antara pandangan sunni dan syi’ah dari satu sisi, dan di sini jugalah titik persamaan antara syi’ah dengan Mu’tazilah. Sunni berkeyakinan bahwa Allah menciptakan perbuatan manusia, dan manusia yang melakukan perbuatan yang Allah ciptakan tersebut[48].

Di samping itu perlu disebutkan di sini bahwa golongan sunni, syi’ah dan mu’tazilah sama-sama mengkritik pandangan golongan Jabariah (Fatalisme), yang berasumsi bahwa manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa, tidak mempunyai daya, dan tidak mempunyai pilihan. Punulis tidak perlu memaparkan lebih jauh tentang masalah ini, karena silang pendapat dalam masalah ini tidak begitu jauh antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Dalam artian, polemik antara sunni dan syi’ah dalam masalah ini tidak berakibat fatal, seperti halnya polemik pada rukun-rukun iman yang lain.

Ada beberapa perbedaan lain yang sangat signifikan yang diyakini oleh golongan syi’ah Imamiyah selain perkara-perkara rukun di atas, yaitu:

1) Khalifah diwasiatkan secara nash dan bersifat turun temuran.
2) Imam adalah terpelihara dari dosa dan noda, alias bersifat ma’shum.
3) Meyakini adanya raj’ah (kebangkitan kembali)[49].
4) Memaki para sahabat Nabi dan ummahatul mukminin.
5) Menghalalkan nikah Muta'h.
6) Menolak ijma’ & qiyas. (dalam masalah ini terjadi perdebatan intern antara
sesama syi’ah sendiri. Yaitu antara dua kelompok: al-Akhbariyyun
(al-Nashiyyun, al-Muhadditsun), dan kelompok al-Ushuliyyuun (Madrasah
ar-Ra’yi, Madrasah at-Ta’wil).
7) Tidak menerima hadis yang diriwayatkan oleh perawi Ahli Sunnah.
Tentunya masih banyak lagi permasalahan selain yang penulis sebutkan di atas.

Apabila menoleh ke sejarah Islam, imamah (politik) merupakan faktor utama yang menyebabkan perselisihan di kalangan umat Islam sampai saat ini, sehingga terpecah belah ke berbagai aliran, sekte dan mazhab. Ini akibat lahirnya konflik antar sekte Islam sepeninggalnya Nabi saw ketika suksesi politik diadakan untuk merebut tampuk kepemimpinan. Dalam istilah syi’ah, politik dinamakan (al-Imamah), dan istilah yang digunakan sunni adalah (al-Khilafah). Sedangkan pada zaman modern saat ini dikenal dengan istilah (ar-Ri`asah). Dalam pandangan politik syi’ah dikatakan bahwa imamah bukanlah masalah kepentingan pribadi yang diberikan kepada pilihan publik, akan tetapi adalah salah satu pilar agama atau asal-usul dan dasar perinsip agama (Arkan ad-Din), dimana iman seseorang tidaklah sempurna kecuali percaya dengan Imamah. Oleh karena itu, mesti diyakini bahwa Imam Ali merupakan pelanjut Nabi saw yang sah dengan penunjukan langsung dari Nabi saw (bukannya Abu Bakar). Dan bagi mereka, kedudukan para Imam setara dengan kedudukan Nab saw. Oleh sebab itu, syi’ah dalam setiap kasus berpendirian bahwa hak politik adalah mutlak dimiliki oleh kalangan Ahlul Bait.

Dengan demikian konsep imamah dijadikan sebagai rukun agama oleh seluruh penganut dan golongan syi’ah. Sementara ahlu sunnah men¬jadikan imamah hanya sebatas sebuah kajian fiqh saja dan bukan sebagai rukun agama. Jadi bagi mereka, imamah itu adalah pangkat atau ja¬batan yang ditentukan oleh Allah swt, oleh karena itu posisi imam itu mereka sama¬kan dengan posisi Nabi. Dan kalau Nabi di¬pilih langsung olehi Yang Maha Kuasa, maka imam dipilih oleh Nabi Muhammad saw. Dan pilihan beliau jatuh kepada Imam Ali, dan Imam Ali memilih penerusnya dari Ahlul Bait. Jika demikian, dapat kita katakan bahwa syi’ah se¬cara tidak langsung memasukkan sistem pe¬merintahan teokrasi dalam Islam dan per¬adaban bangsa Arab. Dan berdasarkan konsep imamah ini, maka umat tidak berhak memilih se¬orang imam, karena pemilihan imam me¬rupakan ketentuan Ilahi.

Mereka menggunakan banyak landasan. Hampir semua ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw yang berkaitan dengan kepemimpinan, perwalian, penghakiman dll mereka inter¬pretasikan sebagai konsep Imamah. Seperti firman Allah swt:

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً) -النساء: 59-.
"
Wahai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (Q.S. an-Nisaa`: 59)

Ayat" Yaa ayyuhallazdina amanu ati’ullah wa ati’u ar-rasul wa ulil Amri minkum “, menurut mereka kalimat “wa ulil amri minkum“, adalah para imam-imam syi’ah dan keturunannya. Dan pendapat ini disepakati oleh seluruh golongan syi’ah yang terbesar, yaitu: syi’ah Zaidiyah, syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah[50]. Begitu juga halnya dengan Akhbar (hadits), seperti wasiat Rasulullah saw pada saat peristiwa Ghadir Kham selepas haji Wada’. Yaitu manakala Rasulullah saw mengatakan kepada umatnya ketika itu, bahwa Imam Ali adalah penerima wasiat dan sebagai khalifah sepeninggalku[51].

Namun, kalau kita renungkan dengan teliti ucapan-ucapan Rasulullah saw dalam haji Wada’, sebenarnya tidak ada dalam ucapan dan penyebutan Rasulullah saw mengenai khilafah, melainkan beliau hanya menyebutkan tentang kebaikan, keutamaan (afdaliyah) imam Ali terhadap apa-apa pengorbanan yang telah disumbangkan kepada umat Islam ketika itu. Oleh karena itu, syi’ah merasa tidak cukup puas untuk menjadikan peristiwa Ghadir Kham sebagai argumentasi mereka, sehingga mereka berusaha mencari dalil-dalil lain yang boleh menguatkan keyakinan mereka[52]. Dan untuk men¬guatkan peristiwa ini, salah seorang ulama syi’ah Imamiyah bernama Abdul Husain Ahmad al-Amini mengarang sebuah buku sebanyak 10 jilid yang berjudul (al-Ghadir fi al-Kitab wa as-Sunnah wa al-Adab). Dan pe¬riwayatan hadits-hadits yang mereka gunakan dari kalangan mereka sendiri, karena bagi syi’ah Imamiyah ataupun Isma’iliyah, hadist yang shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ma’shum dalam semua tingkatan.



Rujukan :
.
[1] Huns Küng (lahir 19 Maret 1928 di Sursee, Canton Lucerne). ia adalah seorang pastor Katolik Roma, tetapi Vatikan telah mencabut haknya untuk mengajar teologi Katolik, disebabkan karena ia sangat vokal dalam mengkritisi sebagian ajaran dan tradisi Katolik, seperti ia tidak percaya akan keperawanan Maryam yang merupakan ideologi aliran Katolik, bahkan beliau berani mengkritik Paus Benediktus XVI (kawan lama ketika di kuliah), terutama tentang penindasan dan kekerasan sexsual yang terjadi di beberapa gereja, dan ucapan Paus bahwa Islam adalah agama kekerasan ia seorang teolog Katolik yang tidak fanatik dengan Katoliknya, sehingga terbuka dan toleran dengan penganut Kristen Protestan, bahkan selalu berusaha untuk mengadakan pendekatan dan mengakurkan aliran kristen Katolik dan kristen Protestan. Lihat:
http://arabic.euronews.net/2010/04/23/pope-himself-knew-most-about-child-sex-abuse-kung/
[2] Hans kung: Projekti weltethos,p. 171, Munchen 1990.
[3] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 2/42.
[4] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 2/42.
[5] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 2/42.
[6] Al-Qadhi an-Nu’man, kitab Da’aaim, 1/2
[7] Amir Muhammad al-Qazawayni, as-Syi’ah fi ‘Aqaidihim wa Ahkamihim, hal: 24.
[8] Lihat usaha-usaha beliau dalam menetralisir hubungan Sunnah dan Syi’ah pada bukunya yang berjudul “as-Syi’ah wa at-Tasyayyu’”.
[9] Al-Hurru al-‘Aamili, Wasaail as-Syi’ah, 2/665. Tahziib al-Ahkam, 1/8.
[10] Lihat beberapa tafsir mu’tabar syi’ah: al-‘Iyasyi, 1/62. Al-Burhan, 1/157. As-Shafi, 1/92.
[11] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 1/143-144.
[12] Tafsir al-‘Iyaashi, 2/42. al-Majlisi, Bihaar al-Anwaar, 94/22. an-Nuuri at-Thabrisi, Mustadrak al-Wasaail, 1/371.
[13] Ibnu Babwaih, at-Taudih, hal 149.
[14] Lihat rinciannya pada buku, Mauqif az-Zaydiah wa Ahli as-Sunnah min al-Aqidah al-Isma’iliyah wa Falsafatuha, hal: 185-190, Darul Kutub al-Ilmiah, Beirut-Lebanon, 2009.
[15] Muhammad Husein al-Ghitah, Ashlu as-Syi’ah w aUshuluha, hala: 58.
[16] As-Sayyid Hasyim al-Bahrani, Ma’alim az-Zulfa fi Ma’arif an-Nasy’at al-Ula, hal: 249.
[17] Lihat. Wasaail as-Syi’ah, 10/318.
[18] Al-Majlisi, Biharul Anwar, 26/345.
[19] Al-Kulaini, Kitab Al-Kaafi, 2/634. (kitab ini sama kedudukannya dengan kitab shahih Bukhari disisi Ahlu Sunnah).
[20] Al-Kulaini, Kitab al-Kaafi, 1/239-240.
[21] Husain bin Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi, kitab Fashlul Khithab Fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, dinukil dari Asy-Syi’ah Wal Qur’an, hal. 31-32, karya Ihsan Ilahi Dzahir.
[22] Biharul Anwar, 26/42.
[23] Muhammad Ibnu Jarir bin Rustum at-Thabari, Dalaail al-Imamah, hal: 27-28.
[24] Suhuf bentuk jama’ dari Shahiifah, artinya lembaran, memiliki beberapa sinonim dalam bahasa Arab, yaitu: Waraqah, Ruq’ah, Tirsun dan Qirthaasun. Lihat: DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni, kamus “Syawarifiyyah”, Sinonim Arab-Indonesia, hal: 368.
[25] Riwayat ini disebutkan di berbagai kitab-kitab Syi’ah, lihat: al-Kulayni, al-Kaafi, 1/527-528. Ikmaal ad-Din, Ibnu Babwaih al-Qummi, hal: 301-304.
[26] al-‘Allamah As-Sayyid Ali al-Husaini al-Milani (intelektual syi’ah kontemporer) mengarang sebuah buku yang berjudul “ عدم تحريف القرآن” yang artinya: Tidak ada penyelewengan al-Qur’an. Buku ini dicetak oleh Markaz al-Abhats al-‘Aqadiyyah. Sebuah pusat kajian syi’ah di Iran.

Tuesday, June 28, 2011

SEJARAH DAN FITNAH TASAWWUF

SEJARAH DAN FITNAH TASAWWUF

Orang-orang sufi pada periode-periode pertama menetapkan untuk merujuk (kembali) kepada Al-Quran dan As-Sunnah, namun kemudian Iblis memperdayai mereka karena ilmu mereka yang sedikit sekali.

Ibnul Jauzi (wafat 597H) yang terkenal dengan bukunya Talbis Iblis menyebutkan contoh, Al-Junaid (tokoh sufi) berkata, “Madzhab kami ini terikat dengan dasar, yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah.”

Dia (Al-Junaid) juga berkata, “Kami tidak mengambil tasawuf dari perkataan orang ini dan itu, tetapi dari rasa lapar, mening­galkan dunia, meninggalkan kebiasan sehari-hari dan hal-hal yang dianggap baik. Sebab tasawuf itu berasal dari kesucian mu’amalah (pergaulan) dengan Allah dan dasarnya adalah memisahkan diri dari dunia.”

Komentar Ibnul Jauzi, jika seperti ini yang dikatakan para syeikh mereka, maka dari syeikh-syeikh yang lain muncul banyak kesalahan dan penyimpangan, karena mereka menjauhkan diri dari ilmu.

Jika memang begitu keadaannya, lanjut Ibnul Jauzi, maka mereka harus disanggah, karena tidak perlu ada sikap manis muka dalam menegakkan kebenaran. Jika tidak benar, maka kita tetap harus waspada terhadap perkataan yang keluar dari golongan mereka.

Dicontohkan suatu kasus, Imam Ahmad bin Hanbal (780-855M) pernah berkata tentang diri Sary As-Saqathy, “Dia seorang syeikh yang dikenal karena suka menjamu makanan.” Kemudian ada yang mengabarinya bahwa dia berkata, bahwa tatkala Allah menciptakan huruf-huruf, maka huruf ba’ sujud kepada-Nya. Maka seketika itu pula Imam Ahmad berkata: “Jauhilah dia!” (Ibnul Jauzi, Talbis Iblis, Darul Fikri, 1368H, hal 168-169).

Kapan awal munculnya tasawuf

Tentang kapan awal munculnya tasawuf, Ibnul Jauzi mengemuka­kan, yang pasti, istilah sufi muncul sebelum tahun 200H. Ketika pertama kali muncul, banyak orang yang membicarakannya dengan berbagai ungkapan. Alhasil, tasawuf dalam pandangan mereka meru­pakan latihan jiwa dan usaha mencegah tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu membawanya ke akhlak yang baik, hingga mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akherat.

Begitulah yang terjadi pada diri orang-orang yang pertama kali memunculkannya. Lalu datang talbis Iblis (tipuan mencampur adukkan yang haq dengan yang batil hingga yang batil dianggap haq) terhadap mereka (orang sufi) dalam berbagai hal. Lalu Iblis memperdayai orang-orang setelah itu daripada pengikut mereka. Setiapkali lewat satu kurun waktu, maka ketamakan Iblis untuk memperdayai mereka semakin menjadi-jadi. Begitu seterusnya hingga mereka yang datang belakangan telah berada dalam talbis Iblis.

Talbis Iblis yang pertama kali terhadap mereka adalah mengha­langi mereka mencari ilmu. Ia menampakkan kepada mereka bahwa maksud ilmu adalah amal. Ketika pelita ilmu yang ada di dekat mereka dipadamkan, mereka pun menjadi linglung dalam kegelapan.

Di antara mereka ada yang diperdaya Iblis, bahwa maksud yang harus digapai adalah meninggalkan dunia secara total. Mereka pun menolak hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan bagi badan, mereka menyerupakan harta dengan kalajengking, mereka berlebih-lebihan dalam membebani diri, bahkan di antara mereka ada yang sama sekali tidak mau menelentangkan badannya, terlebih lagi tidur.

Sebenarnya tujuan mereka itu bagus. Hanya saja mereka meniti jalan yang tidak benar dan diantara mereka ada yang karena minim­nya ilmu, lalu berbuat berdasarkan hadits-hadits maudhu` (palsu), sementara dia tidak mengetahuinya.

Syari’at dianggap ilmu lahir hingga aqidahnya rusak

Kemudian datang suatu golongan yang lebih banyak berbicara tentang rasa lapar, kemiskinan, bisikan-bisikan hati dan hal-hal yang melintas di dalam sanubari, lalu mereka membukukan hal-hal itu, seperti yang dilakukan Al-Harits Al-Muhasibi (meninggal 857M). Ada pula golongan lain yang mengikuti jalan tasawuf, menyendiri dengan ciri-ciri tertentu, seperti mengenakan pakaian tambal-tambalan, suka mendengarkan syair-syair, memukul rebana, tepuk tangan dan sangat berlebih-lebihan dalam masalah thaharahdan kebersihan. Masalah ini semakin lama semakin menjadi-jadi, karena para syaikh menciptakan topik-topik tertentu, berkata menurut pandangannya dan sepakat untuk menjauhkan diri dari ulama. Memang mereka masih tetap menggeluti ilmu, tetapi mereka menamakannya ilmu batin, dan mereka menyebut ilmu syari’at seba­gai ilmu dhahir. Karena rasa lapar yang mendera perut, mereka pun membuat khayalan-khayalan yang musykil, mereka menganggap rasa lapar itu sebagai suatu kenikmatan dan kebenaran. Mereka memba­yangkan sosok yang bagus rupanya, yang menjadi teman tidur mere­ka. Mereka itu berada di antara kufur dan bid’ah.

Kemudian muncul beberapa golongan lain yang mempunyai jalan sendiri-sendiri, dan akhirnya aqidah mereka jadi rusak. Di antara mereka ada yang berpendapat tentang adanya inkarnasi/hulul (penitisan) yaitu Allah menyusup ke dalam diri makhluk dan ada yang menyatakan Allah menyatu dengan makhluk/ ittihad. Iblis senantiasa menjerat mereka dengan berbagai macam bid’ah, sehingga mereka membuat sunnah tersendiri bagi mereka. (ibid, hal 164).

Perintis tasawuf tak diketahui pasti

Abdur Rahman Abdul Khaliq, dalam bukunya Al-Fikrus Shufi fi Dhauil Kitab was Sunnah menegaskan, tidak diketahui secara tepat siapa yang pertama kali menjadi sufi di kalangan ummat Islam. Imam Syafi’i ketika memasuki kota Mesir mengatakan, “Kami ting­galkan kota Baghdad sementara di sana kaum zindiq (menyeleweng; aliran yang tidak percaya kepada Tuhan, berasal dari Persia; orang yang menyelundup ke dalam Islam, berpura-pura –menurut Leksikon Islam, 2, hal 778) telah mengadakan sesuatu yang baru yang mereka namakan assama’ (nyanyian).

Kaum zindiq yang dimaksud Imam Syafi’i adalah orang-orang sufi. Dan assama’ yang dimaksudkan adalah nyanyian-nyanyian yang mereka dendangkan. Sebagaimana dimaklumi, Imam Syafi’i masuk Mesir tahun 199H.

Perkataan Imam Syafi’i ini mengisyaratkan bahwa masalah nyanyian merupakan masalah baru. Sedangkan kaum zindiq tampaknya sudah dikenal sebelum itu. Alasannya, Imam Syafi’i sering berbicara tentang mereka di antaranya beliau mengatakan:

“Seandainya seseorang menjadi sufi pada pagi hari, maka siang sebelum dhuhur ia menjadi orang yang dungu.”

Dia (Imam Syafi’i) juga pernah berkata: “Tidaklah seseorang menekuni tasawuf selama 40 hari, lalu akal­nya (masih bisa) kembali normal selamanya.” (Lihat Talbis Iblis, hal 371)

SIAPAKAH ABDUL QADIR AL-JAILANI

Siapakah Abdul Qadir Al-Jailani?

Tahukah anda siapa itu Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani?
Ya, semua orang tahu siapa itu Abdul Qadir Jailani. Mulai dari anak-anak kecil sampai orang-orang tua pun tahu tentang Abdul Qadir Jailani, sampai para tukang becak pun tahu akan siapa tokoh ini. Sampai-sampai jika ada orang yang bernama Abdul Qadir, maka orang akan mudah menghafal namanya disebabkan namanya ada kesamaan dengan nama Abdul Qadir Jailani. Yang jelas, selama orangnya muslim, pasti tahu siapa itu Abdul Qadir Jailany. Ya minimal namanya.

Jika nama Abdul Qadir disebut atau didengarkan oleh sebagian orang, niscaya akan terbayang suatu hal berupa kesholehan, dan segala karomah, serta keajaiban yang dimiliki oleh beliau menurut mereka.Orang-orang tersebut akan membayangkan Abdul Qadir Jailani itu bisa terbang di atas udara, berjalan di atas laut tanpa menggunakan seseuatu apapun, mengatur cuaca, mengembalikan ruh ke jasad orang, mengeluarkan uang di balik jubahnya, menolong perahu yang akan tenggelam, menghidupkan orang mati dan lain sebagainya.
Apakah semua itu betul, ataukah semua itu hanyalah karangan dan kedustaan dari para qashshash (pendongeng) yang bodoh?
Berikut sedikit keterangan mengenai siapakah Abdul Qadir Al-Jailani.

(Nama lengkap beliau)

Seorang ahli sejarah Islam, Ibnul Imad menyebutkan tentang nama dan masa hidup Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany: “Pada tahun 561 H hiduplah Asy-Syaikh Abdul Qadir bin Abi Sholeh bin Janaky Dausat bin Abi Abdillah Abdullah bin Yahya bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa Al-Huzy bin Abdullah Al-Himsh bin Al-Hasan bin Al-Mutsanna bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Tholib Al-Jailany”. (Lihat Syadzarat Adz-Dzahab (4/198) oleh Ibnul Imad Al-Hanbaly)

(Tempat kelahiran beliau)

Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany adalah salah seorang ulama ahlusunnah yang berasal dari negeri Jailan. Kepada negeri inilah beliau dinasabkan sehingga disebut “Al-Jailany”, artinya seorang yang berasal dari negeri Jailan.Jailan merupakan nama bagi beberapa daerah yang terletak di belakang Negeri Thobaristan. Tidak ada satu kota pun terdapat di negeri Jailan kecuali ia hanya merupakan bentuk perkampungan yang terletak pada daerah tropis di sekitar pegunungan. (Lihat Mu’jam Al-Buldan (4/13-16) Oleh Abu Abdillah Yaqut bin Abdillah Al-Hamawy)

Syaikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang ‘alim di Baghdad yang lahir pada tahun 490/471 H di kota Jailan atau disebut juga Kailan. Sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al Kailani atau juga Al Jiliy.

Pendidikannya

Pada usia yang masih muda beliau telah merantau ke Baghdad dan meninggalkan tanah kelahirannya. Di sana beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthath, Abul Husein Al Farra’ dan juga Abu Sa’ad Al Mukharrimi sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.

Pemahamannya

Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau. Beliau adalah seorang alim yang beraqidah ahlus sunnah mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal banyak memiliki karamah-karamah. Tetapi banyak pula orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, “thariqah” yang berbeda dengan jalan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya dan lainnya.

Syaikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, “Dia (Allah) di arah atas, berada di atas ‘ArsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu. “Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadits-hadits, lalu berkata, “Sepantasnya menetapkan sifat istiwa’ (Allah berada di atas ‘ArsyNya) tanpa takwil (menyimpangkan kepada makna lain). Dan hal itu merupakan istiwa’ dzat Allah di atas ‘Arsy.

Dakwahnya

Suatu ketika Abu Sa’ad Al Mukharrimi membangun sekolah kecil di sebuah daerah yang bernama Babul Azaj dan pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada Syaikh Abdul Qadir. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memeberikan nasehat kepada orang-orang yang ada di sana, sampai beliau meninggal dunia di daerah tersebut.

Banyak sudah orang yang bertaubat demi mendengar nasihat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah ini tidak kuat menampungnya. Maka diadakan perluasan.

Imam Adz Dzahabi dalam menyebutkan biografi Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A’lamin Nubala, menukilkan perkataan Syaikh sebagai berikut, “Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”

Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti Al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam. Ibnu Qudamah penyusun kitab fiqh terkenal Al Mughni.

(Komentar para ulama tentang beliau)

Para ulama memberikan pujian kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany. Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany termasuk orang yang berpegang-teguh dengan sunnah dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah, Qodar, dan semisalnya, bersungguh-sungguh dalam membantah orang yang menyelisihi perkara tersebut. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany berkata dalam kitabnya Al-Ghun-yah yang masyhur: [Allah berada di bagian atas langit, bersemayam di atas Arsy, menguasai kerajaan, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, kepada-Nya lah naik kata-kata yang baik dan amalan sholeh diangkatnya. Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi, lalu urusan itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang sama dengan seribu tahun menurut perhitungan kalian.Tidak boleh Allah disifatkan bahwa Dia ada di segala tempat. Bahkan Dia di atas langit, di atas Arsy sebagaimana Allah berfirman, “Ar-Rahman (Allah) tinggi di atas Arsy”.

Kitab Al-Ghun-yah di atas, judul lengkapnya adalah: “Ghun-yah Ath-Tholibin” sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Azhim Abadi dalam Aunul Ma’bud (3/300), dan Al-Mubarakfury dalam Tuhfah Al-Ahwadzi (7/430) Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah berkata, “Kami masuk Baghdad tahun 561 H. Ternyata Syaikh Abdul Qadir termasuk orang yang mencapai puncak kepemimpinan dalam ilmu , harta, fatwa dan amal disana. Penuntut ilmu tidak perlu lagi menuju kepada yang lainnya karena banyaknya ilmu, kesabaran terhadap penuntut ilmu, dan kelapangan dada pada diri beliau. Orangnya berpandangan jauh. Beliau telah mengumpulkan sifat-sifat yang bagus, dan keadaan yang agung. Saya tak melihat ada orang yang seperti beliau setelahnya.” (Lihat Dzail Thobaqot Hanabilah (1/293) karya Ibnu Rajab.)

Kehebatan-kehebatan yang dinisbatkan kepada beliau Adapun khurafat yang biasa dinisbahkan kepada beliau sebagaimana yang telah kami sebutkan contohnya di atas, maka Al-Hafizh Ibnu Rajab Rahimahullah berkata: “Akan tetapi Al-Muqri’ Abul Hasan Asy-Syanthufi Al-Mishri telah mengumpulkan berita-berita, dan keistimewaan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany sebanyak tiga jilid. Ia telah menulis di dalamnya suatu musibah, dan cukuplah seseorang itu dikatakan berdusta jika ia menceritakan segala yang ia dengar. …. Di dalamnya terdapat keanehan, malapetaka, pengakuan dusta, dan ucapan batil, yang tak bisa lagi dihitung. Semua itu tak bisa dinisbahkan kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany rahimahullah. Kemudian saya mendapatkan Al-Kamal Ja’far Al-Adfawy telah menyebutkan bahwa Asy-Syanthufi sendiri tertuduh dusta dalam berita yang ia riwayatkan dalam kitab ini.” (Lihat Dzail Thobaqot Hanabilah (1/293) karya Ibnu Rajab) Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: “Mereka telah menyebutkan dari beliau (Abdul Qadir Al-Jailany) ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, pengungkapan urusan gaib, yang kebanyakannya adalah ghuluw (sikap berlebih-lebihan). Beliau orangnya sholeh dan wara’. Beliau telah menulis kitab Al-Ghun-yah, dan Futuh Al-Ghaib. Dalam kedua kitab ini terdapat beberapa perkara yang baik, dan ia juga menyebutkan di dalamnya hadits-hadits dha’if, dan palsu. Secara global, ia termasuk di antara pemimpin para masyayikh (orang-orang yang berilmu)”. (Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah (12/252) oleh Ibnu Katsir)

Kesimpulannya: Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani adalah seorang ulama ahlussunnah wal jamaah, salafi. Mempunyai karya-karya ilmiah di antaranya kitab Al-Ghun-yah dalam masalah tauhid Al-Asma` wa Ash-Shifat, yang di dalamnya beliau menjelaskan tentang akidah ahlussunnah. Sebagian ulama belakangan menyebutkan bahwa memang beliau mempunyai beberapa karamah, hanya saja sebagian orang-orang jahil lagi ghulum kepada beliau terlalu memperbesar-besar kejadiannya dan banyak menambah kisah-kisah palsu lagi dusta lalu menyandarkannya kepada beliau -rahimahullah-. Wallahu a’lam bishshawab

Wafatnya

Beliau Wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib, pada tanggal 9 Rabi’ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj.

Ringkasan dari muqaddimah tulisan Al-Ustadz Abu Faizah Abdul Qadir yang berjudul Biografi Abdul Qadir Al-Jailani Sebuah sosok yang dikultuskan ahli tasawwuf

IMAM JA'FAR ASH SHADIQ RAHIMAHULLAH, IMAM AHLI SUNNAH, BUKAN MILIK SYI'AH

IMAM JA'FAR ASH SHADIQ RAHIMAHULLAH, IMAM AHLI SUNNAH, BUKAN MILIK SYI'AH

Oleh
Muhammad 'Ashim bin Musthafa

Tokoh yang masih keturunan Ahli Bait ini, termasuk yang dicatut oleh ahli bid'ah (baca: Syi'ah) sebagai tokohnya. Padahal jauh panggang dari api. Aqidahnya sangat berbeda jauh dengan aqidah yang selama ini diyakini orang-orang Syi'ah.

NASAB DAN KEPRIBADIANNYA
Ia adalah Ja'far bin Muhammad bin 'Ali Zainal 'Abidin bin al Husain bin 'Ali bin Abi Thalib, keponakan Rasulullah dan istri putri beliau Fathimah Radhiyallahu 'anha. Terlahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 148 H dalam usia 68 tahun.

Ash Shadiq merupakan gelar yang selalu menetap tersemat padanya. Kata ash Shadiq itu, tidaklah disebutkan, kecuali mengarah kepadanya. Karena ia terkenal dengan kejujuran dalam hadits, ucapan-ucapan dan tindakan-tindakannya. Kedustaan tidak dikenal padanya. Gelar ini pun masyhur di kalangan kaum Muslimin. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah acapkali menyematkan gelar ini padanya.

Laqab lainnya, ia mendapat gelar al Imam dan al Faqih. Gelar ini pun pantas ia sandang. Meski demikian, ia bukan manusia yang ma'shum seperti yang diyakini sebagian ahli bid'ah. Ini dibuktikan, ia sendiri telah menepisnya, bahwa al 'Ishmah (ma'shum) hanyalah milik Nabi.

Imam Ja'far ash Shadiq dikarunia beberapa anak. Mereka adalah: Isma'il (putra tertua, meninggal pada tahun 138 H, saat ayahnya masih hidup), 'Abdullah (dengan namanya, kun-yah ayahnya dikenal), Musa yang bergelar al Kazhim [1], Ishaq, Muhammad, 'Ali dan Fathimah.

Dia dikenal memiliki sifat kedermawanan dan kemurahan hatinya yang begitu besar. Seakan merupakan cerminan dari tradisi keluarganya, sebagai kebiasaan yang berasal dari keturunan orang-orang dermawan. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling murah hati.

Dalam hal kedermawanan ini, ia seakan meneruskan kebiasaan kakeknya, Zainal 'Abidin, yaitu bersedekah dengan sembunyi-sembunyi. Pada malam hari yang gelap, ia memanggul sekarung gandum, daging dan membawa uang dirham di atas pundaknya, dan dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkannya dari kalangan orang-orang fakir di Madinah, tanpa diketahui jati dirinya. Ketika beliau telah wafat, mereka merasa kehilangan orang yang selama ini telah memberikan kepada mereka bantuan.

Dengan sifat kedermawanannya pula, ia melarang terjadinya permusuhan. Dia rela menanggung kerugian yang harus dibayarkan kepada pihak yang dirugikan, untuk mewujudkan perdamaian antara kaum Muslimin.

PERJALANAN KEILMUANNYA
Imam Ja'far ash Shadiq, menempuh perjalanan ilmiyahnya bersama dengan ulama-ulama besar. Ia sempat menjumpai sahabat-sahabat Nabi yang berumur panjang, misalnya Sahl bin Sa'id as Sa'idi dan Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhum. Dia juga berguru kepada Sayyidu Tabi'in 'Atha` bin Abi Rabah, Muhammad bin Syihab az Zuhri, 'Urwah bin az Zubair, Muhammad bin al Munkadir dan 'Abdullah bin Abi Rafi' serta 'Ikrimah maula Ibnu 'Abbas. Dia pun meriwayatkan dari kakeknya, al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr.

Mayoritas ulama yang ia ambil ilmunya berasal dari Madinah. Mereka t adalah ulama-ulama kesohor, tsiqah, memiliki ketinggian dalam amanah dan kejujuran.

Sedangkan murid-muridnya yang paling terkenal, yaitu Yahya bin Sa'id al Anshari, Aban bin Taghlib, Ayyub as Sakhtayani, Ibnu Juraij dan Abu 'Amr bin al 'Ala`. Juga Imam Darul Hijrah, Malik bin Anas al Ashbahi, Sufyan ats Tsauri, Syu'bah bin al Hajjaj, Sufyan bin 'Uyainah, Muhammad bin Tsabit al Bunani, Abu Hanifah dan masih banyak lagi.

Para imam hadits -kecuali al Bukhari- meriwayatkan hadits-haditsnya pada kitab-kitab mereka. Sementara Imam al Bukhari meriwayatkan haditsnya di kitab lainnya, bukan di ash Shahih.

Berkat keilmuan dan kefaqihannya, sanjungan para ulama pun mengarah kepada Imam Ja'far ash Shadiq.

Abu Hanifah berkata,"Tidak ada orang yang lebih faqih dari Ja'far bin Muhammad."

Abu Hatim ar Razi di dalam al Jarh wa at Ta'dil (2/487) berkata,"(Dia) tsiqah, tidak perlu dipertanyakan orang sekaliber dia."

Ibnu Hibban berkomentar: "Dia termasuk tokoh dari kalangan Ahli Bait, ahli ibadah dari kalangan atba' Tabi'in dan ulama Madinah".

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memujinya dengan ungkapan : "Sesungguhnya Ja'far bin Muhammad termasuk imam, berdasarkan kesepakatan Ahli Sunnah". (Lihat Minhaju as Sunnah, 2/245).

Demikian sebagian kutipan pujian dari para ulama kepada Imam Ja'far ash Shadiq.

JA'FAR ASH SHADIQ TIDAK MUNGKIN MENCELA ABU BAKAR DAN 'UMAR
Adapun Syi'ah, berbuat secara berlebihan kepada Imam Ja'far ash Shadiq. Golongan Syi'ah ini mendaulatnya sebagai imam keenam. Pengakuan mereka, sebenarnya hanya kamuflase. Pernyataan-pernyataan dan aqidah beliau berbeda 180 derajat dengan apa yang diyakini oleh kaum Syi'ah.

Sebut saja, sikap Imam Ja'far ash Shadiq terhadap Abu Bakr dan 'Umar bin al Kaththab. Kecintaannya terhadap mereka berdua tidak perlu dipertanyakan. Bagaimana tidak, mereka berdua adalah teman dekat kakek (yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam), dan sebagai penggantinya.

'Abdul Jabbar bin al 'Abbas al Hamdani berkata,"Sesungguhnya Ja'far bin Muhammad menghampiri saat mereka akan meninggalkan Madinah. Ia berkata,'Sesungguhnya kalian, Insya Allah termasuk orang-orang shalih dari Madinah. Maka, tolong sampaikan (kepada orang-orang) dariku, barangsiapa yang menganggap diriku imam ma'shum yang wajib ditaati, maka aku berlepas diri darinya. Barangsiapa menduga aku berlepas diri dari Abu Bakr dan 'Umar, maka aku pun berlepas diri darinya'."

Ad Daruquthni meriwayatkan dari Hanan bin Sudair, ia berkata: "Aku mendengar Ja'far bin Muhammad, saat ditanya tentang Abu Bakr dan 'Umar, ia berkata,'Engkau bertanya tentang orang yang telah menikmati buah dari surga'."

Imam Ja'far Shadiq r.a. Menolak Diklaim sebagai Imam Syi'ah

قال أبو عبد الله (جعفر الصادق): "قوم يزعمون أني لهم إمام، والله ما أنا لهم بإمام ، ما لهم ، لعنهم الله. كلما سترت سترا هتكوه ، هتك الله ستورهم . أقول كذا ، يقولون إنما يعني كذا ..."

انظر: اختيار معرفة الرجال ، الشيخ الطوسي ، ج 2 ص 590

Ja'far Shadiq berkata: "Ada sekelompok orang yang berkata bahwa aku ini imam mereka. Demi Allah, saya bukan imam mereka. Sama sekali bukan. Semoga Allah melaknat mereka.Mereka itu, setiap kali saya menutupi sesuatu, mereka malah membukanya. Semoga Allah mengungkapkan keburukan-keburukan mereka.
Dan setiap kali aku berkata "...begini...", mereka berkata: "...maksud imam adalah begitu.."Lihat: Ikhtiyaar Ma'rifat ar Rijaal, Syeikh ath Thuusi, Vol. 2, hal. 590

Pernyataan beliau ini jelas sangat bertolak belakang dengan keyakinan orang-orang Syi'ah yang menjadikan celaan dan makian kepada Abu Bakr, 'Umar, dan para sahabat pada umumnya sebagai sarana untuk mendapatkan pahala dari Allah.

Imam Ja'far ash Shadiq, sangat tidak mungkin mencela mereka berdua. Pasalnya, ibunya, Ummu Farwa adalah putri al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr ash Shiddiq. Sementara neneknya dari arah ibunya adalah, Asma` bintu Abdir Rahman bin Abi Bakr. Apabila mereka adalah paman-pamannya, dan Abu Bakr termasuk kakeknya dari dua sisi, maka sulit digambarkan, jika Ja'far bin Muhammad -yang jelas berilmu, berpegah teguh dengan agamanya, dan ketinggian martabatnya, serta memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi- melontarkan cacian dan celaan terhadap kakeknya, Abu Bakr ash Shiddiq. Ja'far sendiri berkata : "Abu Bakar melahirkan diriku dua kali".

Apalagi, bila menengok kapasitas keilmuan dan keteguhan agama dan ketinggian martabatnya, sudah tentu akan menghalanginya untuk mencaci-maki orang yang tidak pantas menerimanya.

KLAIM BOHONG SYIAH ATAS JA'FAR ASH SHADIQ

Pada masanya, bid'ah al Ja'd bin Dirham dan pengaruh al Jahm bin Shafwan telah menyebar. Sebagian kaum Muslimin sudah terpengaruh dengan aqidah al Qur`an sebagai makhluk. Akan tetapi, Ja'far bin Muhammad menyatakan: "Bukan Khaliq (Pencipta), juga bukan makhluk, tetapi Kalamullah"[2]. Aqidah dan pemahaman seperti ini bertentangan dengan golongan Syi'ah yang mengamini Mu'tazilah, dengan pemahaman aqidahnya, al Qur`an adalah makhluk.

Artinya, prinsip aqidah yang dipegangi oleh Imam Ja'far ash Shadiq merupakan prinsip-prinsip yang diyakini para imam Ahli Sunnah wal Jama'ah, dalam penetapan sifat-sifat Allah. Yaitu menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya, serta menafikan sifat-sifat yang dinafikan Allah dan RasulNya.

Ibnu Taimiyyah berkata,"Syi'ah Imamiyah, mereka berselisih dengan Ahli Bait dalam kebanyakan pemahaman aqidah mereka. Dari kalangan imam Ahli Bait, seperti 'Ali bin al Husain Zainal 'Abidin, Abu Ja'far al Baqir, dan putranya, Ja'far bin Muhammad ash Shadiq, tidak ada yang mengingkari ru`yah (melihat Allah di akhirat), dan tidak ada yang mengatakan al Qur`an adalah makhluk, atau mengingkari takdir, atau menyatakan 'Ali merupakan khalifah resmi (sepeninggal Nabi saw), tidak ada yang mengakui para imam dua belas ma'shum, atau mencela Abu Bakr dan 'Umar."

Tokoh-tokoh Syi'ah tempo dulu mengakui, bahwa aqidah tauhid dan takdir (yang mereka yakini) tidak mereka dapatkan, baik melalui Kitabullah, Sunnah atau para imam Ahli Bait. Sebenarnya, mereka mendapatkannya dari Mu'tazilah. Mereka (kaum Mu'tazilah) itulah guru-guru mereka dalam tauhid dan al 'adl".

Klaim kaum Syi'ah yang menyatakan pemahaman aqidah mereka berasal dari Ja'far ash Shadiq atau imam Ahli Bait lainnya, hanyalah merupakan kedustaan, dan mengada-ada belaka. Sehingga tidak salah jika dianggapnya sebagai dongeng-dongeng fiktif, dan bualan kosong yang mereka nisbatkan kepada orang-orang yang mulia itu.

Contoh kedustaan yang dilekatkan kepada beliau, yaitu ucapan "taqiyah adalah agamaku dan agama nenek-moyangku". Orang Syiah menjadikannya sebagai prinsip aqidah mereka.

Kedustaan lainnya, keyakinan mereka bahwa Ja'far ash Shadiq akan kekal abadi, dan tidak meninggal. Ini juga merupakan kesalahan yang parah. Kematian adalah milik setiap orang, dan pasti terjadi. Tidak ada orang, baik dari kalangan Ahli Bait atau lainnya yang mendapatkan hak istimewa hidup abadi di dunia ini.

Bentuk kedustaan mereka merambah buku dan tulisan-tulisan yang diklaim telah ditulis oleh Ja'far ash Shadiq. Para ulama telah menetapkan kedustaan itu. Ditambah lagi, eranya (80-148 H) termasuk masa yang kering dengan karya tulis. Yang ada, perkataan-perkataan yang diriwayatkan dari mereka saja, tidak sampai dibukukan.

Kaidah yang mesti kita pegangi dalam masalah ini, tidak menerima satu perkataan pun dari ash Shadiq dan imam-imam lain, juga dari orang lain, kecuali dengan sanad yang bersambung, berisikan orang-orang yang tsiqah dan dikenal dari kalangan para perawi, atau bersesuaian dengan al Haq dan didukung oleh dalil, maka baru bisa diterima. Selain dari yang itu, tidak perlu dilihat.

Di antara kitab yang dinisbatkan kepadanya dengan kedustaan, yaitu kitab Rasailu Ikhawni ash Shafa, al Jafr (kitab yang memberitakan berbagai peristiwa yang akan terjadi), 'Ilmu al Bithaqah, Ikhtilaju al A'dha` (menjelaskan pergerakan-pergerakan yang ada di bawah tanah), Qira`atu al Qur`an Fi al Manam, dan sebagainya.

Golongan Syi'ah memperkuat kedustaan mereka tentang keotentikan kitab-kitab tersebut, dengan mengambil keterangan dari Abu Musa Jabir bin Hayyan ash Shufi ath Tharthusi. Dia ini adalah pakar kimia yang terkenal, meninggal tahun 200 H. Mereka berdalih, bahwa Abu Musa Jabir bin Hayyan telah menyertai Ja'far ash Shadiq dan menulis berbagai risalah yang berjumlah 500 buah dalam seribu lembar kertas. Namun, pernyataan ini masih sangat diragukan. Sebab, Jabir ini termasuk muttaham (tertuduh, dipertanyakan) dalam agama dan amanahnya, dan juga kesertaannya bersama Ja'far ash Shadiq yang meninggal tahun 148 H. Menurut keterangan yang masyhur, Jabir bukan menyertai Ja'far ash Shadiq, tetapi ia menyertai Ja'far bin Yahya al Barmaki. Dan lagi yang pantas untuk meragukan pernyataan tersebut, karena Imam Ja'far ash Shadiq berada di Madinah, sementara itu Jabir bermukim di Baghdad. Kedustaan tersebut semakin jelas jika melihat kesibukan Jabir dengan ilmu-ilmu alamnya, yang tentu sangat berbeda dengan yang ditekuni Imam Ja'far ash Shadiq.

Oleh karena itu, tulisan-tulisan di atas, tidak bisa dibenarkan penisbatannya kepada Ja'far ash Shadiq. Ringkasnya, Syi'ah berdiri di atas kedustaan dan kebohongan. Andaikan benar miliknya, sudah tentu akan diketahui anak-anaknya dan para muridnya, dan kemudian akan menyebar ke berbagai pelosok dunia. Wallahul Musta'an.

Fakta ini semakin membuktikan bahwa Syiah berdiri di atas gulungan kedustaan dan kebohongan. Ibnu Taimiyah rahimahullah menyimpulkan:

"Adapun syariat mereka, tumpuannya berasal dari riwayat dari sebagian Ahli Bait seperti Abu Ja'far al Baqir, Ja'far bin Muhammad ash Shadiq dan lainnya".

Tidak diragukan lagi, bahwa mereka adalah orang-orang pilihan milik kaum muslimin dan imam mereka. Ucapan-ucapan mereka mempunyai kemuliaan dan nilai yang pantas didapatkan orang-orang semacam mereka. Tetapi, banyak nukilan dusta ditempelkan pada mereka. Kaum Syiah tidak memiliki kemampuan penguasaan dalam aspek isnad dan penyeleksian antara perawi yang tsiqah dan yang tidak. Dalam masalah ini, mereka laksana Ahli Kitab. Semua yang mereka jumpai dalam kitab-kitab, berupa riwayat dari pendahu-pendahulu mereka, langsung diterima. Berbeda dengan Ahli Sunnah, mereka mempunyai kemampuan penguasaan isnad, sebagai piranti untuk membedakan antara kejujuran dengan kedustaan. (Minhaju as Sunnah, 5/162).

[Diadaptasi dari muqaddimah tahqiq Kitab al Munazharah (Munazharah Ja'far bin Muhammad ash Shadiq Ma'a ar Rafidhi fi at Tafdhili Baina Abi Bakr wa 'Ali), karya Imam al Hujjah Ja'far bin Muhammad ash Shadiq, tahqiq 'Ali bin 'Abdul 'Aziz al 'Ali Alu Syibl, Dar al Wathan Riyadh, Cet. I, Th. 1417 H].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Oleh Syi'ah Imamiyah, ia diangkat sebagai imam berikutnya. Dalam masalah ini, Syi'ah Imamiyah berseteru pendapat dengan Isma'iliyah tentang imam setelah Ja'far ash Shadiq, antara Musa yang bergelar al Kazhim dengan Isma'il yang sudah meninggal terlebih dahulu. Perbedaan memang menjadi ciri khas ahli bid'ah, bahkan pada masalah yang prinsip menurut mereka.
[2]. Ibnu Taimiyyah mengungkapkan, bahwa pernyataan itu termasuk sering diriwayatkan dari Ja'far ash Shadiq. (al Minhaj, 2/245).

Dinukil dari: http://www.almanhaj.or.id/content/2611/slash/0

Monday, June 27, 2011

BERPEGANG KEPADA SUNNAH TINGGALKAN TASAWWUF

Penggalian maklumat mengenai amalan sufi dan latar belakangnya sangatlah memeningkan kerana sehingga tokoh-tokoh sufi sendiri pun berbeza pendapat dan mempunyai pandangan sendiri-sendiri lantaran ilham dan waham masing-masing mengenai asal usul ajaran sufi.

Dimulai pada masa tabi’en sebahagian dari ahli ibadah Basrah mulai berlebihan dalam beribadah, zuhud dan wara’ terhadap dunia (dengan cara yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah salallahulaihiwasalam, sehingga disebutkan antara sifat mereka ialah suka memilih untuk mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf/صُوْف). Kemudian dari kerana terkenalnya mereka dengan pemakaian sebegitu maka disebut sebagai asal usul mula digelar sufi dan bermacam-macam lagi cerita mengenai asal usul mereka.

Para ulama Basrah yang mendapati kemunculan puak sufi tidaklah tinggal diam. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Asy Syeikh - Al Ashbahani rahimahullah dengan sanadnya dari Muhammad bin Sirin rahimahullah bahawasanya telah sampai kepadanya berita tentang orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba, maka beliau pun berkata: “Sesungguhnya ada orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba dengan alasan untuk meneladani Al Masih bin Maryam ! Maka sesungguhnya petunjuk Nabi kita lebih kita cintai (dari/dibanding petunjuk Al Masih), baginda salallahulaihiwasalam biasa mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan kapas dan yang selainnya.” (Diringkas dari Majmu’ Fatawa, karya Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah Juz 11, hal. 6,16 ).

Puak Sufi Melakukan dusta apabila mendakwa rasulullah ialah pengasas dan membawa ajaran sufi ini apabila Ibnu ‘Ajibah seorang Sufi Fathimi, mengatakan “Jibril pertama kali turun kepada Rasulullah salallahulaihiwasalam dengan membawa ilmu syariat, dan ketika ilmu itu telah mantap, maka turunlah Jibrail untuk kedua kalinya dengan membawa ilmu hakikat. Baginda salallahulaihiwasalam pun mengajarkan ilmu hakikat ini kepada orang-orang yang khusus sahaja dan yang pertama kali menyampaikan tasawuf adalah Ali bin Abi Thalib ra kemudian kepada Al Hasan Al Bashri ra yang menimba ilmu darinya.” (Iqazhul Himam Fi Syarhil Hikam, hal.5 dinukil dari At Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyah, hal. 8).

Syeikh Muhammad Aman Al Jami ra berkata: “Perkataan Ibnu ‘Ajibah ini merupakan tuduhan keji lagi lancang terhadap Rasulullah, dia menuduh dengan kedustaan bahawa baginda menyembunyikan kebenaran. Dan tidaklah seseorang menuduh Nabi dengan tuduhan tersebut, kecuali seorang zindiq yang keluar dari Islam dan berusaha untuk memalingkan manusia dari Islam jika dia mampu, kerana Allah telah memerintahkan Rasul-Nya untuk menyampaikan kebenaran tersebut dalam firman-Nya “Wahai Rasul sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu oleh Rabbmu, dan jika engkau tidak melakukannya, maka (pada hakikatnya) engkau tidak menyampaikan risalah-Nya.” (Al Maidah : 67).

Beliau juga berkata: “Adapun pengkhususan Ahlul Bait dengan sesuatu dari ilmu dan agama, maka ini merupakan pemikiran yang diwarisi oleh orang-orang Sufi dari pemimpin-pemimpin mereka (Syi’ah).

Dan benar-benar Ali bin Abi Thalib ra sendiri yang membantahnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim ra dari hadits Abu Thufail Amir bin Watsilah Radiyallahu ‘anhu dia berkata: “Suatu saat aku pernah berada di sisi Ali bin Abi Thalib ra, maka datanglah seorang laki-laki seraya berkata: “Apa yang pernah dirahsiakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam kepadamu?” Maka Ali pun marah lalu mengatakan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam belum pernah merahasiakan sesuatu kepadaku yang tidak disampaikan kepada manusia ! Hanya saja beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam pernah memberitahukan kepadaku tentang empat perkara.

Abu Thufail Radiyallahu ‘anhu berkata: “Apa empat perkara itu wahai Amirul Mukminin ?” Beliau menjawab: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “ Allah melaknat seorang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat seorang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat seorang yang melindungi pelaku kejahatan, dan Allah melaknat seorang yang mengubah tanda batas tanah.” (At Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyyah, hal. 7-8).

Sebagaimana dalam riwayat Abu Dzar ra yang berkata : Rasulullah salallahualaihiwasalam bersabda : “Tidaklah tertinggal sesuatu yang dapat mendekatkan ke Syurga dan menjauhkan dari Neraka kecuali telah diterangkan pada kalian.” Juga disebut oleh Abu Zar ra akan katanya “ Rasulullah meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burung pun yang mengepak-ngepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau menyebutkan ilmunya pada kami.” (Hadith Sahih riwayat Thabrani dalam Mu’jamul Kabir, lihat As Sahihah oleh Syeikh Albani ra 416 Jilid 4 dan hadith ini memiliki pendukung dari riwayat lain).

Syeikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah (ulama yang dibunuh oleh puak syiah) berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeza dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam , dan juga dalam sejarah para sahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nasrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha” (At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28).

Syeikh Abdurrahman Al Wakil rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu daya syaitan yang paling tercela lagi hina, untuk menggiring hamba-hamba Allah Ta’ala di dalam memerangi Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam. Sesungguhnya ia (Tasawuf) merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng bagi setiap musuh (Sufi) di dalam memerangi agama yang benar ini. Periksalah ajarannya ! niscaya engkau akan mendapati padanya ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah, Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme Jahiliyyah.” (Muqaddimah kitab Mashra’ut Tashawwuf, hal. 19).

Al Hallaj seorang tokoh sufi, berkata : “Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam bentuk orang makan dan minum.” (Dinukil dari Firaq Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin Ali Iwaji, juz 2 hal.600).

Padahal Allah telah berfirman : “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy Syuura : 11).

“Berkatalah Musa : “Wahai Rabbku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.” Allah berfirman : “Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku (di dunia)” (Al A’raaf : 143).

Ibnu ‘Arabi, tokoh sufi lainnya, berkata : “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi isterinya tidak lain (ketika itu) dia menyetubuhi Allah !” (Fushushul Hikam). Ibnu ‘Arabi juga berkata : “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya, dan Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.” (Al Futuhat Al Makkiyyah).

Padahal Allah Ta’ala telah berfirman : “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat : 56).

“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Allah Yang Maha Pemurah dalam keadaan sebagai hamba.” (Maryam : 93).

Golongan sufi juga melakukan kejahatan membahagikan ilmu agama menjadi Syari’at dan Hakikat, yang mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti dia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah Ta’ala, oleh karena itu gugurlah baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama ini.

Ibnu Arabi berkata: “Tuhan itu memang benar ada dan hamba itu juga benar ada Wahai kalau demikian siapa yang di bebani syariat? Bila engkau katakan yang ada ini adalah hamba, maka hamba itu mati atau (bila) engkau katakan yang ada ini adalah Tuhan lalu mana mungkin Dia dibebani syariat?” (Fushulul Hikam hal. 90).

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman bahawasanya perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani, karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebahagian dari isi Al Kitab dan kafir dengan sebahagiannya, sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya” (Majmu’ Fatawa, juz 11 hal. 401).

Keyakinan bahwa orang-orang Sufi mempunyai ilmu Kasyaf (dapat menyingkap hal-hal yang tersembunyi) dan ilmu ghaib merupakan kebathilan dan kejahilan serta dosa. Ibnu Arabi berkata: “Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai hari kimat. Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab. Para wali mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam dada-dada mereka.” (Rasa’il Ibnu Arabi hal. 4).

Berkata Al Junaidi: “Saya anjurkan kepada kaum sufi supaya tidak membaca dan tidak menulis, kerana dengan begitu dia bisa lebih memusatkan hatinya. (Quutul Qulub 3/135).

Abu Sulaiman Ad Daraani berkata: “Jika seseorang menuntut ilmu hadits atau bersafar mencari nafkah atau menikah bererti dia telah condong kepada dunia”. (Al Futuhaat Al Makiyah 1/37)

Allah Ta’ala telah dustakan mereka dalam firman-Nya: “Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.” (An Naml : 65).

Ketaatan kepada rasulullah itu dijelaskan dalam Al-Qur’an dan mentaati rasul bererti menuruti pertunjuk sunnahnya. Ini kerana baginda pernah menyebut baginda salallahualaihiwasalam menyebut seperti dalam riwayat Abu Hurairah dengan sabdanya : “ Setiap Ummatku akan masuk syurga melainkan mereka yang engkar, maka sahabat bertanya, siapakah yang ingkar itu wahai rasulullah ? Siapa yang mentaati aku maka dia akan masuk syurga dan siapa yang menderhakai aku maka dialah golongan yang engkar.” (Hadith Sahih riwayat Bukhari no. 728).

Dalam hadith yang lain baginda salallahualaihiwasalam pernah menyebut : “ Barangsiapa yang membenci sunnahku maka dia bukanlah dari golonganku (ummatku).” (Hadith Sahih Bukhari, Bab Nikah, no.1). Dari Sufyan As-Sauri berkata “ Tidak diterima perkataan melainkan dengan amal dan tidak diterima amal dan perkataan melainkan dengan niat (ikhlas) dan tidak bermanfaat perkataan, amal dan niat ikhlas melainkan dengan menepati Sunnah”.

BEBERAPA POKOK KEKELIRUAN AJARAN TASAWWUF

Beberapa pokok ajaran sesat tasawuf diantaranya:

1. Thariqoh

Yang dimaksud adalah hubungan murid (seseorang yang berkehendak untuk sampai kepada Alloh dengan jalan dzikir dan memelihara dzikir tersebut) dengan syaikh (guru)nya. Baik Syaikh tersebut masih hidup maupun mati. Caranya, dzikir waktu pagi dan petang hari sesuai dengan izin sang Syaikh-nya tersebut. Ini harus dilakukan secara Iltizam (konsisiten) berdasarkan perjanjiannya. Dalam perjanjiannya, Syaiakh menyelamatkan sang murid dari segala petaka dan mengeluarkan dari segala macam cobaan. Sang Syaikh mendoakan melalui istghotsah kepadaNya, serta ia akan memberi syafaat pada hari kiamat dengan memasukkannya ke surga. Sedangkan bagi sang murid, hendaknya ia Iltiam selama hidupnya dengan wirid beserta adabnya, seperti halnya ia harus senantiasa iltizam terhadap amalan-amalan tarekat dan tidak boleh beralih kepada tarekat lainnya.

2. Syaikh pemberi izin wirid

Dari beberapa pokok tarekat sufi, yakni mementingkan keberadaan syaikh atau yang mewakilinya) yang memberikan bacaan wirid bagi muridnya. Keberadaan Syaikh merupakan salah satu wahana untuk menjaring muslim awam dan orang-orang bodoh dari kalangan mereka sendiri, Dengan demikian mereka bisa diperdaya guna kepentingan syaikhnya. Selain itu mereka menjadi ‘tersihir’ untuk mencurahkan semua potensi harta dan fisiknya bagi syaikh atau yang mewakilinya.

Sesungguhnya keberadaan syaikh itu, menurut syariat bisa dibenarkan.melalui Syaikh (yang memiliki ilmu dan tahu jalan menuju Alloh) itulah yang bisa diambil ilmunya dan mencontohnya. Hingga terbentuklah kesempurnaan jiwa lantaran bimbingannya dalam Islam, yang demikian ini adalah perkara yang terpuji dan dituntunkan syar’i. Karena tidaklah mungkin seseorang tahu tentang Alloh, tentang apa yang dicintai dan dibenciNya, dan mengetahui bagaimana cara beribadah serta mendekatkan diri kepadaNya, Hal ini akan terlaksana secara baik jika seorang menjadi murid seorang Syaikh yang alim dan berilmu. mau belajar kepadanya dan dididik dibawah pengawasan syaikh tersebut.

Suatu kesalahan, yakni jika belajar kepada syaikh yang memberi syarat dengan wirid dan amalan-amalan tarekat, apalagi syaikhnya tersebut adalah seorang yang bodoh ( dalam ilmu agama-red) bahkan bisa jadi buta huruf !!. Hal ini nyata adanya di masyarakat kita. Sebab, banyak diantara syaikh kalangan sufi tarekat ternyata mereka adalah buta huruf. Kalaupun mereka mengetahui suatu maka hanyalah sebatas rukun Islam seperti shalat !!!. Dalam kalangan tarekat, seorang syaikh berwenang memberikan wirid/amalan hanya sebatas wirid dan amalan yang ia miliki. Dan itu pun diberikan kepada muridnya setelah muridnya berkhidmat kepadanya dalam suatu proses yang panjang. Setelah itu sang murid diberi gelar syaikh dan diberi hak izin untuk memberikan wirid yang telah diterimannya kepada orang lain.

Itulah sisitem pewarisan ilmu mereka. Ironisnya, mereka justru menyatakan batil terhadap orang yang memakai sanad dalam periwayatan hadits yang sampai kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam , yakni sebagaimana lazimnya digunakan oleh pada ahli hadits. Bahkan, ada dari kalangan tarekat yang berceloteh, bahwa tidak perlu menggunakan silsilah sanad (dalam hadits-red) karena aib bagi mereka, sebab bagi kalangan tarekat mereka memakai metode langsung dari Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dalam keadaa terjaga bukan dalam keadaan tidur apalagi bermimpi, sebagaimana perkataan Ahmad At Tijani (pendiri tarekat tijaniyah) dalam Jawahiru Al Ma’ani (hal 97) dia berkata,” adapun sanad dalam tarekat muhammadiyah (maksudnya at-Tijaniyah) bahwasannya Ia mengabariku:.” Sesungguhnya kami telah mengabari dari para syaikh tapi Allah belum menakdirkan dari mereka apa yang kami kehendaki. Namun sunggup sayyid kami, ustadz kami dalam hal ini adalah sayyidul wujud (penghulu segala yang ada) yakni nabi Sholallahu laihi Wassalam, Dan Alloh telah menakdirkan dibukannya kepada kami dan sampainya kami kepada Belaiu Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam . Serta kami pun tidak akan berpaling kepada selainya kepada masyaikh lainnya. Adapun dalam hal keutamaan pengikutnya (yakni pengikut tarekat Tijaniyah), Sayyidul Wujud (tang dimaksud adalah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam) telah berkata barangsiapa mencintainya (yakni mencintai ahmad bin Muhammad At Tijani), maka ia termasuk Kekasih Nabi, Dan tidaklah ia akan mati, kecuali setelah benar-benar menjadi seorang wali.”

Dan yang lebih mengherankan lagi dalam dunia tarekat, mensyaratkan bagi syaikh yang menjadi murabbi yang memiliki kewenangan khusus harus memiiliki sifat sempurna. Padahal yang demikian tidak mungkin dimiliki sekalipun oleh sebagian para nabi. Berdasarkan persyaratan semacam ini, mereka menetapkan bagi pemimpin-pemimpin tarekat untuk memberi wirid dan mengarahkan. Dan sungguh, tidak ada sama sekali pada mereka sifat-sifat sempurna wlaupun hanya sepersepuluh atau bahkan seperseratusnya. Sehubungan dengan hal itu, perlu dinukil kementar At Tijani, Jawahiru Al Ma’ani Juz II hal 185,” Adapun hakekat Syiakh washil (syaikh yang berperan sebagai penghubung), yaitu telah berhasil menyingkap semua hijab (penghalang) secara sempurna guna melihat keberadaan tuhan dengan mata kepadalnya sendiri, dan benar-benar atas dasar keyakinan. Tingkatan demikian diawali dengan muhadharah (menghadirkan sang syaikh), yakni dengan cara menelaah dari balik tabir tebal tentang hakekat yang ada, Berikutnya mukasyafah yakni menelaah hakekat dari tabir tipis. Kemudian Musyahadah, yaitu melihat hakekat dengan tanpa tabir penghalang, yang ini tentunya dengan kekhususan. Bila telah demikian artinya seseorang telah mencapai kedudukan yang paling tinggi, yakni kedudukan yang membatalkan dan menghapuskan (syariat), serta telah mencapai proses melebur dan menyatu (fana’ Al fana’). Tidaklah mencapai derajat ini kecuali dengan pertolongan Al Haq didalam AL Haq dan dengan Al Haq. Maka tidaklah tersisa sesuatu kecuali Alloh dan (menyatu) dengan-Nya. Maka tahapan ini tidak ada lagi istilah yang dihubungi atau yang menghubungi.” Sampai ucapannya,” maka, inilah syaikh yang patut dimintai. Bila seorang murid melihat rahasia sifat seperti ini, maka lazim baginya untuk menyerahkan diri kehadapan sang syaikh sepertimayit dihadapan yang memandikannya. Dia tidak memiliki hak memilih, berkemauan, meberi dan berfaedah. Oleh karena itu bila diisyaratkan kepadanya suatu amalan atau suatu perkara maka jangan sekali-kali mengajukan pertanyaan, kenapa, bagaimana, bukankah, untuk apa. Karena pertanyaan itu membuka pintu kebencian dan pengusiran.”

3. Perjanjian atau Baiat, jabat Tangan, dan Talqin

Termasuk pokok ajaran tasawuf adalah ikrar janji setia (baiat) seorang murid kepada sang syaikh tarekat, atau yang mewakilinya. Baiat itu meliputi ksanggupan untuk iltizam (konsisten) dalam mengamalkan wirid, ketaatan, dan cinta. Selain itu, dibaiat pula untuk iltizam dengan kelompok tarekatnya serta tidak boleh beralih ke kelompok tarekat lainnya sampai mati. Pelaksanaan baiat itu dengan cara meletakkan tangan diatas tangan syaikh sambil mengenggamkan jari jemarinya diatas jari sang syaikh, seraya memejamkan mata. Kemudian sang syaikh menuntunkan kata-kata,” Sya berjanji utuk beriltizam berwirid dengan syarat-syarat…” kemudian sang syaikh memebrikan wirid. Dengan amalan tqlid ini mereka membuat kata-kata perjanjian, baiat, berjabat tangan dan talqin.

Sesungguhnya baiat adalah sesuatu yang disyariatkan, yakni sebagaimana Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam pernah membaiat para Shohabat rodliallohu anhum . Adapun baiat yang dilakukan kepada imam adalah bid’ah, seperti kelompok tarekat dan kelompok sempalan lainnya, diadakan guna menjaring kaum muslimin awam dan orang-orang yang bodoh dangkal ilmu agamanya. Dengan baiat ini, dimaksudkan agar bisa memberikan bekas (atsar) pada jiwa mereka (yang akan bergabung dengan kelompoknya). Hingga mereka bisa dikendalikan/diatur dan mentaati hukum dan aturan sang syaikh, inilah hakekat baiat orang tasawuf taarekat.

Adapun talqin yang dilakukan dengan memejamkan mata seraya mengenggam jari merupakan perbuatan bid’ah. Talqin dilakukan semata penipuan belaka. Dengan talqin seakan-akan adalah hal ritual keagamaan yang khusus. Hingga semakin sempurnalah penanaman atsar (pengaruh) kepada jiwa orng-orang awam agar mereka terjerat dalam jaringan sesat mereka. Dengan cara itu,mereka bisa menguasainya dengan mengatasnamakan syaikh, baiat, dan tarekat. Sepertinya wirid yang disyariatkan sang syaikh, maka baiat, talqin, dan ritual tarekat lainnya dalah bid’ah.

4. Wirid Sufi (antara Haq dan Batil)

Wirid yang dimaksud, seorang Muslim mengamalkan ibdah sunnah dan berjanji utnuk mengamalkannya selama hidupnya.
Wirid bagi pengikut tarekat, baik berupa dzikir atau doa yang diberikan oleh syiakh (atau orang yang diberi wewenang) atau orang yang mewakilinya, diberikan kepada murid agar bersih batinnya dan bisa sampai ke derajat mukasyafah, musyahadah dan fana’ dalam dzat Allah [sehingga tidak ada sebutan ’Penyambung’ dan ‘yang disambung’ atau washil dan maushul. Lantaran hamba dan Allah telah menyatu.
Dalam doa yang diajarkan kaum tarekat tidak lepas dari kata-kata syirik, kufur, bid’ah sepereti tawassul dengan orang yang telah mati, beristighotsah kepada mayit dan berdoa kepada selain Alloh.

Dzikir mereka ada yang haq disyariatkan Islam), seperti kalimah thayyibah la ilaha illallah) mereka namakan sebagai zikir umum, dan ada pula dzikir yang tidak disyariatkan Islam, hanya karangan orang pengikut tarekat seperti lafadz alla, Allah yang diucapkan berulang kali dengan jumlah tertentu, atau melafalkan kata hayyun, hayyun dan semisalnya. Mereke namakan sebagai dzikir khusus (masing-masing tarekat memiliki dzikir khusus sendiri-sendiri) bahkan ada yang mengucapkan huwa,huwa (Dia, Dia) yang mereka namakan dzikir khusus yang paling khusus (khos Al Khos).

Perhatikanlah !! bagaimana mereka membagikan dzikir menjadi dzikir umum, dizikir khusus dan dzikir paling khusus. Kita berlindung kepada Alloh Azza wa Jalla kadi kesesatan nyata dan kita berlepas diri dari kebohongan yang jelas.

5. Khalwah

Khalwah, bila seorang menyendiri (menjauhi keramaian manusia), menurut istilah tarekat sufi khlawah berarti menyendirinya seorang murid, dengan izin syaikhnya dan dibawah pengawasan dan bimbingannya ditempat-temat tertentu (missal dilubang yang digali dalam tanah atau ditempat masuk antara pintu dan tengah rumah (dilhiz) selama kurangd ari sepuluh malam dan tidak lebih dari empat puluh malam) Mereka berdalil dengan tahanuts-nya Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam di Goa Hira’ sebelum diutus sebagai Rosul Alloh.

Adapun masa sepuh malam, mereka berdalil berdasar masa iktikaf Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam di bulan Ramadhan. Sedang yang menjadi dalil mereka untuk khalwah selama empat puluh malam adalah berdasar masa janji Alloh kepada nabi Musa Alaihi Sallam, ‘ Dan ingatlah, ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat, sesudah) empat puluh malam, lalu kamu menjadikan anak lembu (sesembahanmu) sepeninggalnya dan kamu adalah orang-orang dzalim.” [QS baqoroh 51].

Diantara kebd’ahan khalwah tarekat sufiyah, diantaranya :

Pelaksanaannya di tempat gelap, berapa banyak murid dan pengikut tarekat setelah berkhalwah menjadi tidak beres ucapan, amalan, pikirannya seperti orang gila
Selama kholwah, senantiasa diam, padahal yang semacam ini telah dilarang oleh Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam berdasar hadits tentang peristiwa Abu Israil. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhori, bahwa Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam melihat seorang lelaki berdiri dibawah terik matahari, kemudian Beliau menanyakan kepada para Sahabat,” Sedang apa ini ?” Para Sahabat menjawab,” Abu Israil tengah melaksanakan nadzar. Ia (abu Israil) akan berdiri dibawah terik matahari (berjemur) dan tidak mau berteduh, tidak mau berbicara, serta berpuasa.” Maka Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam memerintahkan padanya untuk duduk, berteduh, berbicara dan tetap (menyempurnakan) puasanya.

Pelaksanaan Khalwah jauh dari indra manusia, dan suara manusias sangat menyakitkan mereka, sehingga menjadikan mereka membuat lubang dengan menggali tanah, dengan suanana yang gelap, dan inilah bid’ah yang munkar.

Seorang murid tidka boleh memikirkan apapun ketika berkhalwah, baik memikirkan makna ayat Al Qur’an atau Sunnah, sebab yang demikian bisa mengganggu wirid haqiqi yang memerlukan dzikir dan khalwah. Ini adalah persyaratan yang rusak dan bathil karena syariat Islam tidak menetapkannya.

Seorang murid tidak dibolehkan masuk atau keluar khalwah, kecuali dengan idzin Syaikh murobbi, Sedangkan apabila berhadapan dengan Syaikhnya hendaklah bersikap seperti mayit saat dimandikan. Tidak berpendapat, berinisiatif, atau membantah. Inliah bentuk pemasungan terhadap nilai kemanusiaan seorang muslim.
Senantiasa ada keterkaitan hati kepada Syaikh dengan disertai I’tiqod.

6. Kasyaf (Kontemplasi)

Hakekat kasyaf ialah terbukanya hati dari cahaya ghaib pada seorang sufi lantaran telah mencapai tingkat ma’rifat. Yang demikian tidak bisa diterima dengan akal, tetapi hanya bisa diterima hati. Dibalik martabat kasyaf ada martabat lain yakni at-tajalla yaitu nampaknya dzat ilahiah di mata wujud yang dzahir.

Sesungguhnya proses kasyaf dan at-tajalla akan berujung pada hulul dan wihdah al wujud (proses bersatunya hamba dengan Allah), setelah menyatu pada sisi orang yang bersangkutan maka lantas ia mengaku sebagai Tuhan secara mutlak, wal ‘iyadzu billahi.

7. Al fana’

Inti ajaran fana’ senantiasa memperbanyak dzikir hingga mencapai ketentraman hati yang terdalam, mereka berhujjah degan ayat,” katakanlah dengan dzikir kepada Allah hati akan tentram [QS ar Ra’du 28].

Dzikir yang dilakukannya hingga tertimpa lalai dengan dunia dan kemudian mabuk dengan yang dicintainya. Kemudian, fana’ dari alam, artinya ia tidak melihat sesuatu. Dan berikutnya ia mencapai derajat fana’ dari al fana’. Dalam batas demikian, ia telah berhasil mencapai tingkat pembatal atau penghapus syariat. Tahap ini menjadikan hancurnya semua gambar dan bayangan,d an hapusnya semua pengaruh. Maka tidaklah tersisa kecuali haq dalam Haq untuk Haq dan dengan Haq. Mereka mendefinisikan fana’ ialah habis dan menjadi rusaklah alam besama wujudnya. Dalam pandangan mereka, bahwasanya ia sirna dari nisbah perbuatan atasnya. Atau, jadilah ia wali dengan sendirinya dan dia ia tidak saksikan kecuali dalam alam ini kecuali hanya Allah saja. Hal ini seperti diibaratkan seseorang tidak bisa melihat bintang di siang hari lantaran telah terbitnya matahari.

Adapun lalai hilang diri, mabuk, fana’, fana’ al fana’, pembatal/penghapus syariat semuanya adalah awal kebohongan, kerusakan, dan kebatilan. Hingga hal tersebut menhasilkan sesuatu yang rusak dan jahat yakni hulul, wihdah al wujud. Dikatakannya, apabila seorang murid telah mencapai derajat ini, maka tidak ada yang ia saksikan kecuali hanyalah Allah. Maka jadilah semua alam ini Allah- menurut prasangka mereka. Semoga Allah menghancurkan mereka dan melaknatnya. Kenap mereka buta dengan firman Alloh Azza wa Jalla ,” Tidaklah ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi maha Melihat.”[QS Asy Syuro 11], dan firman-Nya,” Katakanlah :’Dialah Allah, Yang Maha Esa.” [QS Al Ikhlas 1], dan firmanNya,” Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” [QS Al Ikhlas 4].

8. Zhahir dan Batin, Syari’at dan Hakekat

Diantara kebid’ahan sufi yakni adanya pembagian ilmu menjadi zhahir dan batin, dan pembagian agama menjadi syari’at dan hakekat. Mereka menisbatkan bahwa Islam adalah tarekat (jalan,cara), Sedangkan tarekat hanyalah washilah (sarana), dan buahnya adalah hakekat. Inilah kesesatan Sufi mereka membagi-bagi Islam sesuai hawa nafsu mereka diatas kebodohan. Mereka buta terhadap sabda Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam ,” Hendaklah kalian berhati-hati dengan sesuatu yang baru. Maka sesungguhnya sesuatu yang baru (dalam agama) adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat, dan kesesatan pasti di neraka.” {HR Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim, Shahih Jami’ Ash-Shagir no 2549). Dan Sabda belia,” Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan kami (yakni Islam), padahal hal itu tidak pernah kami perintahkan, maka hal itu pasti tertolak.” (Muttafaqun ‘alaih, Shahih Jami’ Ash Shagir 5970).

wallahu ta'ala 'alam

Diterjemahkan dan ringkas dari Ila Tashawwuf Ya ‘Ibadallah, oleh : Syaikh Abubakar jabir Al Jazairi.