Tuesday, November 29, 2011

Rasulullah Minta Miskin

Rasulullah Minta Miskin

Pertanyaan:

1. Benarkah kefakiran itu mendekatkan kepada kekufuran?
2. Bagaimana kedudukan hadis tentang doa nabi supaya hidup dalam keadaan miskin?
3. Adakah hadis yang menyatakan bahwa orang yang membaca surat Al-Waqi’ah setiap malam akan dijauhkan dari kemiskinan?


Jawaban:
1. Barangkali penanya mengisyaraktan pada hadis yang cukup populer di masyarakat yaitu:
“Hampir saja kefakiran itu menyebabkan kekufuran.” Hadis ini derajatnya dha’if (lemah).

2. Ada beberapa hadis yang menunjukkan hal itu, di antaranya hadis Abu Said Al-Khudri,
“Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin dan matikanlah aku dalam keadaan miskin serta kumpulkanlah aku dalam rombongan orang-orang miskin.”
Hadis hasan. Diriwayatkan Ibnu Majah (6/412), Abdu bin humaid dalam Al-Muntakhab (1/110), As-Sulami dalam Al-Arbauna AS-Sufiyyah (2/5), Al-Khatib dalam Tarikh (4/111) dari jalan Yazid bin Sinan dari Abu Mubarak dari Atha’ dari Abu said Al-Khudri secara marfu’.
Perlu diperhatikan bahwasanya makna miskin dalam hadis ini bukanlah miskin harta tetapi maknanya adalah tawadhu’ dan rendah hati sebagaimana dijelaskan oleh para ulama ahli hadis dan bahasa:
Imam Baihaqi mengatakan, “Menurut saya, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak bermaksud meminta keadaan miskin yang berarti kurang harta tetapi miskin yang berarti tawadhu’ dan rendah hati.” (Dinukil dan disetujui oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Talkhis Habir 3:1108)
Imam Ibnu Atsir berakta dalam An-Nihayah fi Gharibil Hadis 2:385 mengatakan, “Maksud Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah tawadhu’ (rendah hati) dan agar tidak termasuk orang-orang yang sombong dan angkuh.”

3. Memang ada beberapa hadis berkaitan tentang itu, tetapi semuanya tidak sahih dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Berikut perinciannya:

* Hadis Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu,

“Barangsiapa yang membaca surat Al-Waqi’ah setiap malam, maka dia tidak akan terkena kemiskinan selama-lamanya.” Hadis ini derajatnya lemah.

* Hadis Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu,

“Barangsiapa memabca surat Al-Waqi’ah setiap malam, maka tidak akan ditimpa kemiskinan selama-lamanya dan barangsiapa membaca surat Al-Qiyamah setiap malam, maka akan berjumpa dengan Allah dengan berwajah rembulan di malam purnama.” Hadis ini adalah hadis palsu. As-Suyuthi dalam Dzail Al-AHadis Al-Maudhu’ah (177) mengomentari orang yang meriwayatkannya, “Ahmad Al-Yamami seorang pendusta.”

* Hadis Anas bin Malik radhiallahu’anhu,

“Barangsiapa yang membaca surat Al-Waqi’ah dan mempelajarinya, maka dia tidak dicatat termasuk golongan orang-orang yang lalai dan dia beserta keluarganya tidak akan fakir.” Hadis ini adalah hadis palsu.
As-Suyuthi berkata terkait dengan orang-orang yang meriwayatkannya, “Abdul Quddus bin Habib matruk (ditinggalkan).”
Abdur Razzaq berkata, “Saya tidak pernah melihat ibnu Mubarak begitu fashih mengatakan ‘Kadzdzab’ (pendusta) kecuali pada Abdul Quddus. Demikian pula Ibnu Hibban telah menegaskan bahwa dia (Abdul Quddus) suka memalsukan hadis.

Sumber: Majalah Al-Furqon, Edisi 04 Tahun ke-3 Shafar 1425 H

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

KEDUDUKAN HADIS BERHENTI MAKAN SEBELUM KENYANG

Pertanyaan:

Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya: Bagaimana keshahihan hadits berikut:

نحن قوم لا نأكل حتى نجوع وإذا أكلنا لا نشبع

“Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.“

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab:
Hadits ini memang diriwayatkan dari sebagian sahabat yang bertugas sebagai utusan, namun sanadnya dhaif. Diriwayatkan bahwa para sahabat tersebut berkata dari Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam:

نحن قوم لا نأكل حتى نجوع وإذا أكلنا لا نشبع

“Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyangs“

Maksudnya yaitu bahwa kaum muslimin itu hemat dan sederhana.

Maknanya benar, namun sanadnya dhaif, silakan periksa di Zaadul Ma’ad dan Al Bidayah Wan Nihayah. Faidahnya, bahwa seseorang baru makan sebaiknya jika sudah lapar atau sudah membutuhkan. Dan ketika makan, tidak boleh berlebihan sampai kekenyangan. Adapun rasa kenyang yang tidak membahayakan, tidak mengapa. Karena orang-orang di masa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam dan masa selain mereka pun pernah makan sampai kenyang. Namun mereka menghindari makan sampai terlalu kenyang.

Terkadang Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam mengajak para sahabat ke tempat sebuah jamuan makan. Kemudian beliau menjamu mereka dan meminta mereka makan. Kemudian mereka makan sampai kenyang. Setelah itu barulah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam makan beserta para sahabat yang belum makan.

Terdapat hadits, di masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, ketika sedang terjadi perang Khandaq, Jabir bin Abdillah Al Anshari mengundang Nabi shallallahu ’alaihi wasallam untuk memakan daging sembelihannya yang kecil ukurannya beserta sedikit gandum. Kemudian Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam mengambil sepotong roti dan daging, kemudian beliau memanggil sepuluh orang untuk masuk dan makan. Mereka pun makan hingga kenyang kemudian keluar. Lalu dipanggil kembali sepuluh orang yang lain, dan demikian seterusnya. Allah menambahkan berkah pada daging dan gandum tadi, sehingga bisa cukup untuk makan orang banyak, bahkan masih banyak tersisa, hingga dibagikan kepada para tetangga.

Dan suatu hari, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menyajikan susu pada Ahlus Shuffah (salah satunya Abu Hurairah, pent). Abu Hurairah berkata: “Aku minum sampai puas.” Kemudian Nabishallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “Ayo minum lagi, Abu Hurairah.“ Maka aku minum. Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “Ayo minum lagi.“ Maka aku minum lagi.

Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “Ayo minum lagi.“ Maka aku minum lagi, lalu aku berkata “Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak lagi aku dapati tempat untuk minuman dalam tubuhku”. Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wasallam mengambil susu yang tersisa dan meminumnya. Semua ini adalah dalil bolehnya makan sampai kenyang dan puas yang wajar, selama tidak membahayakan.

Sumber: http://www.ibnbaz.org.sa/mat/38

Sumber: kangaswad.wordpress.com

BAHAYA MEMAJANG FOTO DI INTERNET

BAHAYA MEMAJANG FOTO DI INTERNET

Oleh: Zakaria At-Thalibi

akhwat untuk siapa poto anda di pajang di fb ini?

...Tulisan ini hanya sekedar peringatan buat akhwaat yang masih suka memajang foto-fotonya di internet seperti di Blog, Situs Forum, khususnya di Facebook dimana sekarang hampir semua aktivis dakwah yang melek internet mempunyai akun di situs pertemanan tersebut.


Dari pengamatan saya selama memiliki akun di Facebook yang paling membuat miris adalah banyaknya wanita berjilbab yang memajang foto mereka bahkan beberapa di antaranya ada yang close up. Dari profile mereka ketahuan bahwa sebagian besar dari mereka adalah aktivis dakwah. Bagi yang masih mempunyai foto yang diupload ke FB, FS ataupun lainnya maka saya sarankan untuk segera menghapusnya dengan pertimbangan berikut ini:


1. Anda bisa jadi korban pornografi

--------------- --------------- --------------

Ketika Anda mengupload foto ke internet maka yakinlah foto tersebut sudah bukan milik Anda, tidak ada yang benar-benar privasi di dunia maya. Anda mungkin merasa aman karena foto tersebut tersimpan di akun Anda yang kapan saja kalau mau Anda bisa menghapusnya tapi itu hanya perkiraan Anda. Jutaan orang yang bisa mengakses ke profil Anda, mereka bisa mendownloadnya dan menyebarkannya di tempat lain. Jadi meskipun dikemudian hari Anda menghapusnya tapi ia sudah terlanjur menyebar dan mustahil bagi Anda untuk mencegahnya.

Hal yang paling ditakutkan adalah ketika orang-orang usil mendapatkannya dan “tergoda” untuk menjahili Anda. Ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang benci dengan Islam. Misalnya dengan memanipulasinya dan menjadikan Anda “Bintang Pornografi”. Dengan kecanggihan software pengolah gambar hal itu bisa dilakukan dengan waktu hanya beberapa menit. Setelah itu mereka bisa menebarnya ke ribuan link hanya dalam hitungan detik.

Hal ini sudah pernah terjadi pada seorang artis dimana foto syurnya beredar di internet, sampai-sampai harus menurunkan pakar telematika, Roy Suryo untuk membersihkan namanya dengan menjelaskan bahwa foto tersebut hasil manipulasi. Dan tidak dipungkiri bahwa banyak foto wanita berjilbab bahkan bercadar dengan tubuh telanjang yang bersiliweran di dunia maya, termasuk korbannya adalah salah seorang istri ustadz kondang.

Meski dengan mudah orang menebaknya sebagai sesuatu yang di rekayasa, tapi bukankah itu sudah cukup untuk menghinakan dan melecehkan, namun kitalah memberi peluang kepada orang hasad tersebut untuk melakukannya. Nah, sebelum terlanjur hapus foto Anda dari dunia maya!


2. Anda pajang untuk siapa?

--------------- --------------- -------

Ada pertanyaan bagi muslimah yang memajang fotonya di internet, foto itu Anda pajang untuk siapa?

Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan muslim dan muslimah untuk menjaga pandangannya dari lawan jenis yang bukan mahram. Tak sampai di situ Allah pun memerintahkan masing-masing kepada mereka untuk saling menjaga diri (An-Nur (24): 30-31). Di sini ada simbiosis mutualisme, jika seorang wanita yang menjaga dirinya dengan hijab yang syar’i maka dengan sendirinya laki lain juga akan terjaga pandangannya meski laki-laki tersebut tidak paham agama, nah bagaimana jika laki-laki tersebut juga paham akan agama tentu ia juga menjaga diri dan pandangannya. Sadar atau tidak mereka saling menguatkan dalam kebaikan, dan itulah mungkin maksudnya Allah menegaskan dalam firman-Nya bahwa laki-laki beriman dan wanita yang beriman adalah penolong bagi yang lainnya, dan mereka saling menguatkan dalam keimanan dan keta’atan (QS. at-Taubah (9) : 71.).

Ketika mengupload foto Anda di internet maka anda secara tak langsung telah “menandatangani kontrak” bahwa anda membebaskan siapapun bebas untuk memandang Anda tanpa terkecuali. Terus dimana penjagaan Anda terhadap kehormatan Anda dan orang lain?

Ummul Mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah mengatakan bahwa seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup dan melihat tingkah laku wanita pada zaman tersebut maka tentu beliau akan melarangnya untuk keluar rumah. Perkataan ini beliau katakan ketika para sahabat masih berada di tengah-tengah mereka dan mengajarkan ilmu kepada mereka, mereguk Islam seperti menikmati air langsung dari mata airnya, ketika para muslimah masih menjaga hijab-hijab mereka, bandingkanlah keadaan tersebut dengan sekarang ini dimana kebanyakan wanita sudah tidak bisa menjaga kehormatannya.


Wahai wanita malulah! Wahai para suami cemburulah! Wahai para orang tua jagalah anakmu dari kerusakan! Wahai para ikhwa yang akan menggenapkan separuh agamanya jagalah dirimu dan carilah wanita yang shalehah yang menjaga dirinya serta berlindunglah dari wanita yang masih suka “menjajakan” dirinya.


Wallahu a’lam.

Monday, November 28, 2011

KEYAKINAN 4 IMAM MAZHAB BAHWA ALLAH DI LANGIT

Sikap Keras Abu Hanifah[1] Terhadap Orang Yang Tidak Tahu Di Manakah Allah

Imam Abu Hanifah mengatakan dalam Fiqhul Akbar,

من انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر

“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.”[2]


Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar-[3], beliau berkata,


سألت أبا حنيفة عمن يقول لا أعرف ربي في السماء أو في الأرض فقال قد كفر لأن الله تعالى يقول الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق سمواته فقلت إنه يقول أقول على العرش استوى ولكن قال لا يدري العرش في السماء أو في الأرض قال إذا أنكر أنه

في السماء فقد كفر رواها صاحب الفاروق بإسناد عن أبي بكر بن نصير بن يحيى عن الحكم


Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,


الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى


“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”.[4] Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.”[5]


Imam Malik bin Anas[6], Imam Darul Hijroh Meyakini Allah di Atas Langit


Dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal ketika membantah paham Jahmiyah, ia mengatakan bahwa Imam Ahmad mengatakan dari Syraih bin An Nu’man, dari Abdullah bin Nafi’, ia berkata bahwa Imam Malik bin Anas mengatakan,


الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء


“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[7]

Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka berkata,

جاء رجل إلى مالك فقال يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استوى قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه الرحضاء يعني العرق وأطرق القوم فسري عن مالك وقال الكيف غير معقول والإستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة وإني أخاف أن تكون ضالا وأمر به فأخرج

“Suatu saat ada yang mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah Ta’ala berfirman,


الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى


“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”[8]. Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap tinggi)?” Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan sesuatu (artinya beliau marah) sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun naik dan orang tersebut pun terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata,


الكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالإِسْتِوَاءُ مِنْهُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَإِنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ ضَالاًّ


“Hakekat dari istiwa’ tidak mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui maknanya. Beriman terhadap sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai (hakekat) istiwa’ adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian orang tersebut diperintah untuk keluar.[9]


Inilah perkataan yang shahih dari Imam Malik. Perkataan beliau sama dengan robi’ah yang pernah kami sebutkan. Itulah keyakinan Ahlus Sunnah.


Imam Asy Syafi’i[10] -yang menjadi rujukan mayoritas kaum muslimin di Indonesia dalam masalah fiqih- meyakini Allah berada di atas langit


Syaikhul Islam berkata bahwa telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Kholil bin Abdullah Al Hafizh, beliau berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qosim bin ‘Alqomah Al Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah telah memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’i), beliau berkata,


القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله

تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر الاعتقاد


“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.[11]


Imam Ahmad bin Hambal[12] Meyakini Allah bukan Di Mana-mana, namun di atas ‘Arsy-Nya


Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).”[13]


Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya,

ما معنى قوله وهو معكم أينما كنتم و ما يكون من نجوى ثلاثه الا هو رابعهم قال علمه عالم الغيب والشهاده علمه محيط بكل شيء شاهد علام الغيوب يعلم الغيب ربنا على العرش بلا حد ولا صفه وسع كرسيه السموات والأرض


“Apa makna firman Allah,


وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ


“Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada.”[14]


مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ



“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.”[15]

Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghoib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun meliputi langit dan bumi.”


Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al Ghadadiy, beliau berkata,


قيل لأبي عبد الله احمد بن حنبل الله عز و جل فوق السمآء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان قال نعم على العرش و لايخلو منه مكان


Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[16]

Abu Bakr Al Atsrom mengatakan bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qoisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarok ketika ada yang bertanya padanya,


كيف نعرف ربنا


“Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb kami?” Ibnul Mubarok menjawab,


في السماء السابعة على عرشه


“Allah di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan,


هكذا هو عندنا


“Begitu juga keyakinan kami.”[17]


Tidak Perlu Disangsikan Lagi


Itulah perkataan empat Imam Madzhab yang jelas-jelas perkataan mereka meyakini bahwa Allah berada di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya. Bahkan sebenarnya ini adalah ijma’ yaitu kesepakatan atau konsensus seluruh ulama Ahlus Sunnah. Lantas mengapa aqidah ini perlu diragukan oleh orang yang jauh dari kebenaran??

Sumber: https://www.facebook.com/note.php?note_id=224239904252816

Tuesday, November 22, 2011

Pembagian Tauhid dan Penyimpangan-Penyimpangannya

Pembagian Tauhid dan Penyimpangan-Penyimpangannya

Oleh: Redaksi Buletin Al Ilmu

Para pembaca semoga Allah ‘Azza wa Jalla senantiasa mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah baik dari kalangan salaf maupun khalaf setelah meneliti dalil-dalil baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah tentang Tauhid mereka menyimpulkan bahwa Tauhid itu dibagi menjadi tiga, yaitu Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah dan Tauhid Al-Asma’ Wa Ash Shifat.

Diantara Pernyataan Ulama Salaf Tentang Pembagian Tauhid

1. Al-Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Ath-Thahawi rahimahullah (wafat tahun 321 H).

Dalam salah satu karya monumentalnya, Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah, Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi menegaskan:

”Kita katakan tentang tauhidullah dalam keadaan meyakini dengan taufiq Allah, bahwa sesungguhnya Allah adalah Esa tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada sesuatupun yang semisal dengan-Nya, tidak ada sesuatupun yang bisa mengalahkannya, tidak ada ilah selain Dia.”

Penjelasan tentang pernyataan Al-Imam Ath-Thahawi rahimahullah

“Allah adalah Esa tidak ada sekutu bagi-Nya” meliputi tiga jenis tauhid sekaligus, karena Allah Esa dalam Rububiyyah-Nya, dalam Uluhiyyah, dan dalam Al-Asma wa Ash-Shifat -Nya.

“Tidak ada sesuatupun yang semisal dengan-Nya” ini adalah Tauhid Al-Asma` wa Ash-Shifat

“Tidak ada sesuatupun yang bisa mengalahkannya”, ini adalah Tauhid Ar-Rububiyyah.

“Tidak ada ilah selain Dia” ini adalah Tauhid Al-Uluhiyyah.

2. Al-Imam ‘Ubaidullah bin Muhammad bin Baththah Al-’Ukbari rahimahullah (wafat tahun 387 H) dalam karya besarnya yang berjudu l-Ibanatul Kubra, beliau mengatakan: “Bahwa dasar iman kepada Allah yang wajib atas makhluk (manusia dan jin) untuk meyakininya dalam menetapkan keimanan kepada-Nya, ada tiga hal:

Pertama: Seorang hamba harus meyakini Rububiyyah-Nya, yang dengan itu dia menjadi berbeda dengan atheis yang tidak menetapkan adanya pencipta.

Kedua: Seorang hamba harus meyakini Wahdaniyyah-Nya, yang dengan itu dia menjadi berbeda dengan jalannya orang-orang musyrik yang mengakui sang Pencipta namun menyekutukan-Nya dengan beribadah kepada selain-Nya.

Ketiga: Meyakini bahwa Dia bersifat dengan sifat-sifat yang Dia harus bersifat dengannya, berupa sifat Ilmu, Qudrah, Hikmah, dan semua sifat yang Dia menyifati diri-Nya dalam kitab-Nya.”

Penjelasan Tentang Makna Tiga Macam Tauhid tersebut

1. Tauhid Ar-Rububiyyah, adalah keyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla adalah satu-satunya Rabb. Makna Rabb adalah Dzat yang Maha Menciptakan, yang Maha Memiliki dan Menguasai, serta Maha Mengatur seluruh ciptaan-Nya. Ayat-ayat yang menunjukkan tauhid Ar-Rububiyyah sangat banyak, di antaranya (artinya):

”Sesungguhnya Rabb kalian hanyalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, lalu Dia beristiwa` di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (semuanya) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, hak mencipta dan memerintah hanyalah milik Allah. Maha Suci Allah, Rabb semesta alam. [Al-A’raf: 54]

Kaum musyrikin Quraisy juga mengakui Tauhid Rububiyyah berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla (artinya):

“Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).” [Al-’Ankabut: 61]

Dari ayat diatas bisa disimpulkan bahwa kaum musyrikin mengakui bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Yang Maha Menciptakan, Maha Mengatur, dan Maha Memberi Rizki. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 6/294)

Penyimpangan Dalam Tauhid Rububiyyah

Penyimpangan dalam tauhid rububiyyah yaitu dengan meyakini adanya yang menciptakan, menguasai, dan mengatur alam semesta ini selain Allah Azza wa Jalla dalam hal yang hanya dimampui oleh Allah Azza wa Jalla.

Seperti keyakinan bahwa penguasa dan pengatur Laut Selatan adalah Nyi Roro Kidul. Ini suatu keyakinan yang bathil. Barangsiapa meyakini bahwa penguasa dan pengatur laut selatan adalah Nyi Roro Kidul maka dia telah berbuat syirik (menyekutukan Allah Azza wa Jalla) dalam Rububiyyah-Nya. Karena hanya Allah-lah Yang Menguasai dan Mengatur alam semesta ini.

Begitu juga barangsiapa meyakini bahwa yang mengatur padi-padian adalah Dewi Sri, berarti ia telah syirik dalam hal Rububiyyah-Nya, karena hanya Allah-lah Yang Maha Menciptakan dan Mengatur alam semesta ini.

Meyakini bahwa benda tertentu bisa memberi perlindungan dan pertolongan terhadap dirinya seperti jimat, keris, cincin, batu, pohon, dan lain-lain.

Serta keyakinan bahwa sebagian para wali bisa memberi rizki, dan bisa pula memberi barokah, juga termasuk kesyirikan dalam Rububiyyah-Nya.

2. Tauhid Al-Uluhiyyah, adalah keyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla adalah satu-satu-Nya Dzat yang berhak diibadahi dengan penuh ketundukan, pengagungan, dan kecintaan. Dinamakan juga dengan Tauhidul ’Ibadah atau Tauhidul ’Ubudiyyah, karena hamba wajib memurnikan ibadahnya hanya kepada Allah Azza wa Jalla semata. Ayat-ayat Al-Qur`an yang menunjukkan tauhid jenis ini sangat banyak, diantaranya:

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah.” [Muhammad: 19]

Juga firman Allah Azza wa Jalla:

”Beribadahlah kalian hanya kepada Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” [An-Nisa`: 36]

Rabbul ’Alamin adalah satu-satu-Nya Dzat yang berhak dan pantas untuk diibadahi. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla memerintahkan umat manusia untuk beribadah hanya kepada-Nya, karena Dia adalah Rabb. Termasuk juga Allah Azza wa Jalla memerintahkan kepada kaum musyrikin arab, yang mengakui bahwa Allah Azza wa Jalla sebagai Rabb satu-satunya, untuk mereka beribadah hanya kepada-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

”Wahai umat manusia, beribadahlah kalian kepada Rabb kalian.” [Al-Baqarah: 21]

Penyimpangan-penyimpangan dalam tauhid uluhiyyah.

Penyimpangan dalam tauhid jenis ini yaitu dengan memalingkan ibadah kepada selain Allah Azza wa Jalla seperti berdoa kepada kuburan atau ahli kubur, meminta pertolongan kepada jin, meminta barokah kepada orang tertentu, menyandarkan nasibnya (bertawakkal) kepada benda tertentu, seperti batu, jimat, cincin, keris, dan semacamnya. Karena do’a dan tawakkal termasuk ibadah, maka harus ditujukan hanya kepada Allah Azza wa Jalla semata.

3. Tauhid Al-Asma` wa Ash-Shifat, adalah keyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla memiliki nama-nama yang indah (al-asma`ul husna) dan sifat-sifat yang mulia sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya, sebagaimana yang Allah Azza wa Jalla beritakan dalam Al-Qur`an, atau sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah r dalam hadits-haditsnya yang shahih. Sekaligus meyakini dan beriman bahwa tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah Azza wa Jalla.

Di antara sekian banyak ayat Al-Qur`an yang menunjukkan tauhid ini, firman Allah Azza wa Jalla:

”Hanya milik Allah al-asma`ul husna, maka berdo’alah kalian kepada-Nya dengan menyebutnya (al-asma`ul husna) dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (mengimani) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” [Al-A’raf: 180]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

”Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy Syura: 11]

Penyimpangan dalam tauhid Al-Asma’ wa Ash Shifat:

- Tidak meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla mempunyai sifat-sifat yang sempurna tersebut. Padahal telah disebutkan dalam Al-Qur’an atau dalam hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam yang shahih.

- Menyerupakan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Padahal Allah Azza wa Jalla telah berfiman (artinya):

”Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy Syura: 11].

- Menyelewengkan atau menta’wil makna Al-Asma’ul Husna, yang berujung pada peniadaan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla.

- Menentukan cara dari sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, yang bermuara pada penyerupaan dengan makhluk-Nya.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Sumber: Buletin Islam Al Ilmu edisi no: 25 / VI / VIII / 1431

Kisah Abu Bilal Dan Anjing Neraka

Kisah Abu Bilal Dan Anjing Neraka

Diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi daripada Ziyad bin Kusaib Al-`Adawi katanya: " Suatu hari aku bersama Abu Bakrah di bawah mimbar,dan ketika itu Ibnu Amir sedang menyampaikan khutbah sambil dia memakai pakaian yang nipis.Lalu Abu Bilal menjerit: " Lihatlah pemimpin kita ini,dia memakai pakaian orang fasiq!!!" Lalu Abu Bakrah berkata: " Diamlah engkau!!,sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah sallallahu`alaihiwasallam bersabda:

مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الأَرْضِ أَهَانَهُ اللَّهُ

Sesiapa yang menghina sultan(pemerintah) Allah di muka bumi nescaya Allah akan menghinakannya.

[ Shahih At-Timidzi no:1812 ]

Imam Az-Zahabi berkata ketika mengulas biografi Abu Bilal: " Abu Bilal ini ialah Mirdas bin Udayyah Al-Khariji, (seorang yang berfahaman Khawarij) antara kebodohannya adalah menganggap pakaian nipis yang dipakai oleh lelaki adalah pakaian orang-orang fasiq.

[ lihat Siyar `Alam An-Nubala` 11/30 ]

Al-Imam Ahmad dan Ibnu Abi `Ashim dengan sanadnya meriwayatkan daripada Sa`id bin Jumhan,dia berkata: " Aku pergi menemui Abdullah bin Abi Aufa( sahabat Nabi sallallahu`alaihiwasallam) ketika itu beliau sudah buta,aku pun memberi salam kepadanya.Lalu beliau berkata: " Siapakah engkau? ".Jawabku: " Aku ialah Sa`id bin Jumhan!".Beliau berkata: " Apa yang telah dilakukan oleh ayahmu?". " Beliau telah dibunuh oleh Al-Azaariqah( salah satu kelompok khawarij)" jawabku lagi.

Beliau pun berkata: " Semoga Allah melaknat Azaariqah,semoga Allah melaknat Azaariqah,Rasulullah sallallahu`alaihiwasallam telah menceritakan kepada kami bahawasanya mereka adalah anjing-anjing para penghuni neraka."

Aku bertanya: " Hanya Azaariqah sahaja atau seluruh kaum Khawarij?".Jawabnya: " Semua kaum Khawarij!".

Aku menjawab: " Akan tetapi hal tersebut disebabkan pemerintah menzalimi rakyat dan berbuat sesuatu yang tidak baik ke atas mereka!"

Lalu beliau menarik tanganku dan menggenggamnya dengan erat lalu berkata: " Celaka engkau wahai Ibnu Jumhan,hendaklah engkau tetap mengikut As-Sawadul `Azham( Ahli Sunnah wal Jamaah)!,hendaklah engkau tetap mengikuti As-Sawadul `Azham( Ahli Sunnah wal Jamaah)!, Jika pemerintah mendengar nasihatmu maka datanglah ke rumahnya dan beritahulahnya apa yang engkau tahu( nasihat ),jika dia menerima nasihatmu( itu adalah baik ) jika tidak maka biarkanlah dia,kerana engkau bukanlah mengetahui sangat tentang perihal dirinya.

[ Hadith hasan,riwayat Imam Ahmad no:19415, Ibnu Abi `Ashim no;905 ]


Diriwayatkan juga oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal di dalam kitabnya As-Sunnah daripada Sa`id bin Jumhan,dia berkata:

" Kaum Khawarij terus menerus mengajakku bergabung dengan mereka,sehinggakan aku hampir-hampir ikut masuk bersama mereka,lalu saudara perempuan Abu Bilal bermimpi melihat Abu Bilal dalam mimpinya berupa anjing yang hitam legam dan kedua matanya melelehkan air mata.Saudara perempuannya itu berkata: " Demi Allah wahai Abu Bilal,apa yang telah menimpamu sehinggakan aku melihat engkau dalam keadaan sebegini?.Dia(Abu Bilal) menjawab: " Kami telah dijadikan anjing-anjing penghuni neraka!!" dan semangnya Abu Bilal merupakan ketua-ketua Khawarij.


[ Rujuk Kitab As-Sunnah oleh Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal 2/634 ]


Diterjemahkan oleh:

Abul Hussein

Monday, November 21, 2011

Cara Sahabat Menasihati Pemerintah

Cara Sahabat Menasihati Pemerintah

Al-Imam Al-Hafiz Abu Bakr `Amru bin Abi `Ashim( Wafat 287 H) berkata dalam kitab As-Sunnah:" Bab: Bagaimanakah Cara Rakyat Menasihati Pemerintah" beliau mendatangkan sebuah riwayat daripada Syuraih bin `Ubaid Al-Hadhrami dan selainnya yang menyebutkan bwahawasanya `Iyadh bin Ghanam menyeksa penduduk Dara`ketika ia menaklukinya.Hisyam bin Hakim mengecam keras perbuatan tersebut sehingga hal tersebut membuat `Iyadh marah.Setelah beberapa hari kemudian Hisyam bin Hakim datang berjumpa `Iyadh untuk menyampaikan nasihat dan alasannya.Hisyam berkata kepada `Iyadh: " Tidakkah engkau mendengar sabda Rasulullah sallallahu`alaihiwasallam:

إن من أشدّ الناس عذابا أشدّهم عذابا في الدنيا لناس

Sesungguhnya orang yang paling keras seksaanya di akhirat nanti adalah orang yang palng keras (melakukan) seksaan terhadap manusia( di dunia ).

`Iyadh bin Ghanam menjawab: " Wahai Hisyam bin Hakim,kami telah mendengar hadith yang engkau sampaikan itu dan kami telah melihat apa yang engkau saksikan,namun apakah engkau belum pernah mendengar sabda Rasulullah sallallahu`alaihiwasallam:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ

Sesiapa yang ingin menasihati pemerintah,janganlah dia melakukannya secara terang-terangan( di khalayak ramai ),akan tetapi hendaklah dia mengambil tangannya(pemerintah) dan bersendirian bersamanya( bertemu empat mata),jika nasihatnya diterima,tentulah ianya diharapkan,jika tidak maka sesungguhnya dia telah menlaksanakan kewajibannya terhadap pemerintah.

Dan engkau wahai Hisyam terlalu berani,engkau berani menentang pemerintah Allah (yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk memerintah).Tidakkah engkau takut dibunuh oleh pemerintah hingga engkau menjadi mangsa pembunuhan pemerintah Allah di muka bumi?

[ HR Ahmad dalam Musnadnya no:15333, Ibnu Hibban dalam Shahihnya no:5612,5613, At-Thabarani dalam Mu`jam Al-Kabir no:1007,Al-Hakim dalam Al-Mustadrak no:5269, Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra no:16660, Ibnu Abi `Ashim dalam As-Sunnah no:1096, dan sanadnya Shahih dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Zilalul Jannah ]

Faedah:

1) Mengingkari kemungkaran yang berlaku di kalangan pemerintah adalah wajib bagi sesiapa yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya dan ianya merupakan fardhu kifayah,namun ianya mempunyai metod dan adab-adab tertentu yang telah digariskan oleh Rasulullah sallallahu`alaihiwasallam.

2) Perbuatan sahabat yang mulia,Hisyam bin Hakim radiallahu`anhu mengingkari perbuatan pemerintah ketika itu`Iyadh bin Ghanam berlaku empat mata dihadapannya,bukan di belakangnya atau di khalayak ramai.Selepas menasihatinya tidak ada riwayat menceritakan Hisyam bin Hakim melancarkan demonstrasi atau tunjuk perasaan membantah perbuatan `Iyadh bin Ghanam.

3) Istidlal( penghujahan) yang digunakan oleh kedua-dua mereka iaitu Hisyam bin Hakim dan `Iyadh bin Ghanam menunjukkan fiqh dan kefahaman mereka terhadap metod Nabi sallallahu`alaihiwasallam dalam menasihati pemerintah.

4) Bagaimana kejam mahupun zalimnya perbuatan pemerintah,maka kita dilarang untuk memberontak terhadapnya.Tidak keluar memberontak,menghinanya di depan khalayak ramai.Hal tersebut bukanlah bermakna kita meredhai kezaliman dan kemungkaran yang dilakukannya.




Abul Hussein

Kebaikan dan Keadilan Pemerintah Bergantung Kepada Kebaikan Dan Keadilan Masyarakatnya.

Kebaikan dan Keadilan Pemerintah Bergantung Kepada Kebaikan Dan Keadilan Masyarakatnya.

Isu berkenaan pemerintah menjadi isu yang sangat panas hari ini,pelbagai ulasan,komentar dan pandangan dilontarkan oleh pelbagai pihak.Isu kezaliman pemerintah,ketidak adilan,korupsi dan lain-lain sering menjadi perbualan hangat namun penulis menyeru agar kesemua masalah tersebut tidak diulas berdasarkan sentimen politik semata-mata,sebenarnya ianya hendaklah dilihat melalui kaca mata seorang muslim yang berpedomankan Al-Quran,As-Sunnah serta kefahaman Salafussoleh.

Dakwah Nabi sallallahu`alaihiwasallam adalah memperbetulkan Akidah dan akhlak bukan semata-mata inginkan kerusi politik.

Rasulullah sallallahu`alaihiwasallam diutuskan di tengah-tengah masyarakat yang sangat buruk agamanya,masayarakatnya dan politiknya.Walaupun keberadaan baginda di tengah-tengah kaum yang sedemikian parah akidah,akhlak dan politiknya,ketika di Mekah,baginda tidak pernah berusaha untuk melakukan pemberontakan,penggulingan,protes,rampasan kuasa atau menggunakan cara-cara licik dan penipuan untuk menggulingkan pemimpin kaum musyrikin Makkah.Mengapa Rasulullah sallallahu`alaihiwasallam tidak menggunakan cara tersebut? Jawapannya kerana cara tersebut bukanlah cara yang tepat.

Malah ketika Rasulullah sallallahu`alaihiwasallam telah berdakwah secara terang-terangan dan banyak manusia mulai masuk Islam,kaum musyrikin Quraisy mengutus `Utbah bin Rabi`ah untuk menawarkan kepimpinan kepada baginda,`Utbah bin Rabi`ah berkata kepada Rasulullah sallallahu`alaihiwasallam:

وإن كنت تريد شرفا سوّدناك علينا حتى لا نقطع أمرا دونك وإن كنت تريد ملكا ملّكناك علينا

Jika engkau mahukan kedudukan,maka kami akan menjadikan kamu sebagai pemimpin kami,sehingga kami tidak akan memutuskan sesuatu perkara tanpamu.Jika engkau mahukan kerajaan,maka kami akan menjadikan kamu sebagai raja kami.

[ Rujuk Sirah Ibnu Hisyam 1/293, Sirah An-Nabawiyyah Ibn Kathir 1/479, Subulul Huda Wa Rasyad 2/336 ]

Apakah Rasulullah sallallahu`alaihiwasallam menerima tawaran itu? Jawapannya,adalah tidak! Mengapa Rasulullah sallallahu`alaihiwasallam tidak menerimanya? sedangkan jika beliau menerimanya tentulah beliau boleh berdakwah dengan lebih selesa menggunakan kekuasaannya.Jawapannya kerana cara tersebut bukanlah cara yang benar lagi tepat.

Sebagai bukti lain Raja Najasyi rahimahullah yang telah masuk Islam,walaupun beliau sudah berada di atas tampuk pemerintahan,kekuasaan beliau tetap tidak boleh digunakan untuk merubah masyarakatnya.Hal ini berbeza sekali ketika Rasulullah sallallahu`alaihiwasallam berada di Madinah,pada waktu itu kaum muslimin sudah mempunyai kekuatan akidah dan iman yang sangat kukuh,sehingga dengan mudahnya Rasulullah mengatur dan memimpin mereka dan akhirnya membentuk sebuah Daulah Islamiyyah,iaitulah daulah yang sangat didambakan oleh kaum muslimin hari ini.

Kebaikan dan Keadilan Pemerintah Bergantung Kepada Kebaikan dan Keadilan Masyarakatnya.

Sering kali apabila menyebut tentang kezaliman pemerintah,masyarakat akan menunding jari kepada pihak pemerintah akan kezalimannya,kita tidak nafikan hal tersebut namun sikap seratus peratus menyalahkan pemerintah adalah satu perkara yang tidak boleh diterima oleh akal dan nakal.Sedangkan hakikat ini telah disebutkan oleh Allah Ta`ala dalam firmanNya:

وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Dan demikianlah kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menguasai sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.

[ Al-An`aam:129 ]

Jika di kalangan rakyat dan masyarakat dipenuhi kezaliman,berupa kesyirikan,bid`ah dan maksiat maka sudah pasti mereka juga akan dikuasai oleh pemimpin yang sama tahap kezalimannya atau lebih teruk,hakikat ini disebut oleh Allah Ta`ala dalam firmanNya:

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kefasikan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.

[ Al-Isra`:16 ]

Kata Ibnu `Abbas radiallahu`anhuma ketika menafsirkan kalimah "أَمَّرْنَا مُتْرَفِيهَا " iaitu kami membiarkan orang-orang jahat menguasai menguasai mereka lalu mereka melakukan maksiat padanya,maka apabila mereka lakukan kemungkaran kami musnahkan mereka dengan azab,sebagaimana firman Allah Ta`ala:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ أَكَابِرَ مُجْرِمِيهَا لِيَمْكُرُوا فِيهَا

Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri pembesar-pembesar yang jahat agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu.

[ Al-An`aam:123 ]

[ Tafsir Ibnu Kathir 5/62 ]

Begitu juga firman Allah Ta`ala:


وَتِلْكَ الْقُرَى أَهْلَكْنَاهُمْ لَمَّا ظَلَمُوا وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِمْ مَوْعِدًا

Dan (penduduk) negeri itu telah Kami binasakan ketika mereka melakukan kezaliman, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka.

[ Al-Kahfi: 59 ]

Lihat dan tadabburlah ayat-ayat di atas wahai saudaraku!!,kesemuanya menunjukkan sebab berlaku kezaliman dan kejahatan di dalam masyarakat adalah disebabkan kezaliman masyarakat itu sendiri,dan balasannya Allah membiarkan pembesar-pembesar serta pemimpin-pemimpin yang zalim menguasai dan menzalimi mereka dan akhirnya Allah akan memusnahkan mereka dengan azab yang pedih.

Dari `Abdullah bin `Amr Radhiallahu 'anhu berkata:

أقبل علينا النبي صلى الله عليه و سلم فقال: يا معشر المهاجرين خمس إذ ابتليتم بهن, وأعوذ بالله أن تدركوهن: لم تظهر الفاحشة في قوم قط حتى يعلنوا بها إلا فشا فيهم الطاعون, والأوجاع التي لم تكن مضت في أسلافهم الذين مضوا, ولم ينقصوا المكيال و الميزان إلا أخذوا بالسنين و شدة المؤنة و جور السلطان عليهم, ولم يمنعوا الزكاة إلا منعوا القطر من السماء, ولولا البهائم لم يمطروا, و لم ينقضوا عهد الله و عهد رسوله إلا سلط عليهم عدوهم من غيرهم و أخذوا بعض ما كان في أيديهم و ما لم يحكم أئمتهم بكتاب الله إلا ألقى الله بأسهم بينهم

“Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam menghadap kepada kami, kemudian berkata: “Wahai kaum muhajirin! Lima perkara jika kamu diuji dengannya, dan aku berlindung kepada Allah semoga perkara ini tidak menimpa kamu:

1) Tidaklah nampak perzinaan pada suatu kaum sampai mereka terang-terangan melakukannya, kecuali akan tersebar pada mereka ta`un (wabak penyakit) dan kelaparan yang belum pernah ditimpakan kepada ummat sebelum mereka.
2) Tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan kecuali akan ditimpakan atas mereka musim kemarau yang panjang, dan kekurangan bekalan makanan, dan kezaliman pemerintah
3) Tidaklah mereka enggan menunaikan zakat harta mereka, kecuali akan ditahan hujan dari langit. Seandainya kalau bukan kerana binatang nescaya tidaklah diturunkan hujan atas mereka,
4) Tidaklah mereka melanggar perjanjian Allah dan RasulNya, kecuali Allah akanmenguasakan atas mereka musuh dari selain mereka, merampas apa yang mereka miliki.
5) Dan tidaklah para pemimpin mereka enggan berhukum dengan kitab Allah dan enggan memilih dari apa yang diturunkan oleh Allah, kecuali Allah akan jadikan keganasan di antara mereka."

[ HR Ibnu Majah no:4019, Al-Bazzar dalam Musnad no:6175, At-Tabarani dalam Mu`jam Al-Awsath no:4671, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 4/582, Hadith ini dinilai hasan oleh Syeikh Al-Albani]

Hadith ini menjelaskan kepada kita lima ujian yang akan menimpa umat Islam dan hakikatnya ia sudah pun menimpa mereka,cuba perhatikan pembohongan,korupsi,penyelewengan dan sebagainya yang berlaku dikalangan masyarakat akhirnya Allah akan menimpakan kepada mereka dengan kezaliman pemerintah.

Al-Walid At-Turtusi rahimahullah berkata: " Sampai sekarang masih terdengar orang ramai berkata: " Amalan-amalan kamu adalah pekerja-pekerja kamu,sebagaimana kamu seperti ini,maka seperti itulah kamu akan dipimpin."

Abdul Malik bin Marwan berkata: " Wahai rakyatku!!,bersikap adillah kepada kami!,bagaimana mungkin kamu inginkan dari kami seperti pemerintahan yang dijalankan oleh Abu Bakr dan `Umar,sedangkan kamu tidak melakukan seperti apa yang mereka lakukan!!

[ Fiqh Siyasah As-Syari`ah Fi Dhau`Al-Kitab Wa As-Sunnah wa Aqwal Salafil Ummah hlm 171 ]

Maka saya katakan,mana mungkin kita akan mendapat pemimpin seperti Umar bin Abdul `Aziz jika sikap dan tindak tanduk kita tidak seperti rakyat dan masyarakat pada zaman beliau.Maka diri yang hina ini mengajak agar bersama kita merubah diri,keluarga dan masyarakat.




Faqir ilallah,

Abul Hussein

Islam 'Tertutup' oleh Umatnya sendiri

Islam 'Tertutup' oleh Umatnya sendiri
Rabu, 16 November 2011 02:02 WIB

Oleh M Fuad Nasar MSc

Dalam satu riwayat disebutkan, seorang Yahudi datang kepada Khalifah Umar bin Khattab dan berkata, "Ada satu ayat yang telah diturunkan Allah kepada umat Muslim, andai kata ayat itu diturunkan kepada kami (Yahudi), pasti kami akan merayakannya pada hari diturunkannya."

Umar menanggapi, "Ayat manakah yang Anda maksud?" Yahudi itu menjawab, "Pada hari ini Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan Aku telah cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Aku telah meridai Islam sebagai agamamu." (QS al-Maidah [5]: 3). Umar berkata, "Demi Allah, sungguh saya mengetahui dengan pasti hari diturunkannya ayat tersebut. Diturunkan kepada Rasulullah SAW pada hari Jumat, hari Arafah, yang menjadi hari raya bagi seluruh kaum Muslimin di dunia tiap-tiap tahunnya."

"Berpegang teguh kepada hukum Islam adalah suatu keharusan. Lebih dari itu Allah menjamin kesempurnaan hukum-hukum yang diberikan kepada umat Islam serta menjadikannya sebagai cahaya dan petunjuk. Maka, barang siapa yang menentangnya, pasti akan sesat dan buta hatinya untuk selamanya," tulis Sayyid Sabiq dalam Anashirul Quwwah Fil Islam.

Islam adalah risalah yang terakhir dan mengajarkan kebenaran dan tata nilai yang bersifat universal dan abadi, yang harus diyakini dan diamalkan setiap Muslim. Kebenaran Islam ini harus disebarkan dengan dakwah, bukan dengan jalan pemaksaan dan pengerahan kekuatan fisik. Islam tidak disebarkan dengan kekuatan pedang dan senjata, melainkan dengan kekuatan lidah dan keindahan amal perbuatan para juru dakwah.

Islam mengajarkan, keseimbangan dan keselarasan antara kemajuan material dan spiritual. Ketakwaan kepada Allah dan amaliah umat, merupakan esensi hidup beragama. Sekiranya ajaran Islam itu dijalankan dengan baik oleh umatnya, maka takkan ada orang miskin yang telantar, tidak ada orang sakit yang tidak bisa berobat, dan tidak akan ada perpecahan, kebodohan, dan kejahatan kemanusiaan di kalangan umat Islam. Kata Syekh Muhammad Abduh, "Islam tertutup oleh umat Islamnya sendiri."

Dewasa ini kita menyaksikan posisi umat Islam yang lemah dalam percaturan politik global. Umat Islam sering kali dimanfaatkan dan dipermainkan oleh situasi yang dibikin oleh orang lain. Pada sebagian negara Muslim, tak jarang ditemukan campur tangan asing akibat ketidakmampuan umat Islam dalam mengelola rumah tangganya sendiri. Meski berada dalam tatanan masyarakat dunia yang multikultural, namun kita bisa menciptakan situasi yang kondusif untuk perkembangan dan hari depan agama ini. Bukankah umat Islam adalah umat terbaik (khaira ummah) yang dilahirkan untuk umat manusia?

Umat Islam sebagai pemangku risalah Nabi Muhammad SAW adalah umat yang kekal sampai akhir zaman. Sebab, risalah Muhammad adalah risalah yang kekal. Salah satu doa Rasulullah yang dikabulkan oleh Tuhan, ialah umat Islam tidak akan punah dari muka bumi seperti yang dialami umat-umat terdahulu, seberapa pun kelemahan umatnya.

Namun demikian, kejayaan umat Islam dari masa ke masa bergantung pada ikhtiar dan upaya yang dilakukan oleh umat Islam sendiri. Pertolongan Allah akan datang jika umat Islam menjemputnya dengan ikhtiar yang tidak mengenal lelah. Wallahu a'lam.



Tulisan ini dimuat di Republika edisi cetak dengan judul Umat yang Kekal
Redaktur: Siwi Tri Puji B

Sebelum Berislam, Lopez Casanova Pernah Mengkristenkan Ribuan Orang dalam Sepekan

Sebelum Berislam, Lopez Casanova Pernah Mengkristenkan Ribuan Orang dalam Sepekan
Selasa, 15 November 2011 11:49 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, CALIFORNIA - Melissa Lopez Casanova lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga Protestan yang sangat taat. Dalam keluarganya ada beberapa pastor, penginjil, pendeta, dan guru. Kedua orang tuanya menginginkan agar Lopez menjadi pemimpin Kristen. Karenanya, sejak kecil ia dimasukkan di sekolah khusus untuk mempelajari Alkitab.

Namun, Allah memberinya hidayah. Dalam perjalanan mempelajari Alkitab, Lopez malah menemukan Islam. Ia pun memeluk agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai agama terakhirnya.

“Aku bersyukur dilahirkan dalam keluarga Protestan yang religius yang memungkinkanku mempelajari Alkitab. Jika tidak, aku mungkin tidak mampu memahami pesan Islam,“ ujarnya.

Lopez menjadi seorang Muslimah karena kepercayaan dan keyakinannya terhadap Tuhan. “Itulah yang kemudian membuatku mengakui validitas Islam sebagai agama dari Tuhan.“

Lalu, bagaimana perjalanan spiritualnya dalam menemukan Islam?

meski Lopez tumbuh dalam keluarga yang religius, di California, Amerika Serikatia bergaul dengan teman-teman Kristen dari sektor atau denominasi yang bermacam-macam. Ia juga berteman dengan mereka yang beragama Yahudi, juga seorang Saksi Yehuwa. “Aku tak pernah menghakimi apa yang mereka yakini dan aku pun tidak memiliki ketertarikan terhadap kelompok agama mana pun,'' ujarnya.

Menurut dia, Kristen nondenominasi seperti dirinya selalu diajarkan bahwa, “Jika kamu percaya Kristus, kamu adalah seorang umat Kristen, dan kita semua sama di mata Tuhan, apa pun denominasi yang membedakan kita.“

Seiring perjalanan Lopez dihadapkan pada sebuah kegamangan akan agama yang dianutnya. “Aku tidak mengetahui seberapa lama Alkitab telah diubah dan dimodifikasi. Setiap golongan dalam Kristen selalu mengklaim bahwa golongan merekalah yang benar, sedang yang lainnya salah."

Namun jauh di lubuk hatinya, Lopez selalu meyakini bahwa hanya ada satu Tuhan.

Ia pertama kali mendengar nama “Allah“ dari pengajarnya di sekolah Alkitab. “Orang Cina berdoa pada Buddha, dan orang Arab berdoa pada Allah.“ Saat itu, ia menyimpulkan bahwa Allah adalah nama sebuah berhala.

Kuliah di jurusan bisnis internasional membuat Lopez merasa perlu menguasai bahasa asing untuk menunjang kariernya di masa depan. Atas saran teman kuliahnya, Lopez mempelajari bahasa Arab.

“Temanku beralasan, negara mana pun yang memiliki penduduk Muslim menggunakan bahasa Arab karena itu merupakan bahasa asli Alquran,“ katanya.

Saat itu, pada 2006, Lopez mendengar kata “Alquran“ untuk pertama kalinya. Di kelas bahasa Arab yang diikutinya, Lopez mengenal banyak mahasiswa Muslim. Mereka umumnya keturunan Timur Tengah yang lahir dan besar di AS.

Kelas pertama yang diambilnya pada 2006 bertepatan dengan bulan Ramadhan. Lopez terkesan dengan amalan puasa yang dilakukan temanteman Muslimnya. Ia memandangnya sebagai bentuk ketundukan hamba di hadapan Tuhannya.

Lopez pun mencoba berpuasa, bukan karena tertarik menjadi Muslim, melainkan semata untuk mengekspresikan ketundukannya sebagai umat Kristen yang taat. “Itu pun karena puasa juga ada dalam agama Kristen. Yesus pernah berpuasa selama 40 hari," katanya.

Pada bulan Ramadhan itu, seorang teman Muslim memberinya literatur Islam dan sekeping compact disk (CD) yang ditolaknya. Ia teringat ucapan ibunya, “Semua agama yang salah adalah benar menurut kitab mereka.“ Lopez tak tergoda untuk mengenal Islam, agama asing yang salah di matanya.



Mengkristenkan 55 ribu orang dalam sepekan

Musim panas 2008, Lopez bergabung dengan para misionaris Kristen dan melakukan perjalanan ke Jamaika untuk sebuah misi Kristenisasi. Ia dan timnya membantu orang-orang miskin di sana. Ia dan timnya dan berhasil mengkristenkan sekitar 55 ribu orang dalam sepekan.

Sepulang dari Jamaika, Lopez berdoa memohon petunjuk. Ia ingin melakukan lebih banyak pengabdian pada Tuhan. “Permintaan itu dijawab-Nya dengan memberiku seorang teman Muslim," katanya.

Ia beberapa kali mengajak teman Muslimnya ke gereja dan berpikir bahwa temannya akan terpengaruh dan menjadi seorang Kristen sepertinya.

Suatu saat, temannya mengatakan bahwa gereja adalah tempat yang bagus, tetapi ia menyayangkan kepercayaan jamaatnya yang memercayai Trinitas.

“Sayangnya, temanku salah menguraikan pengertian dari Trinitas itu. Aku hanya tertawa dan meralatnya,“ kata Lopez.

Ia sempat berpikir tentang betapa fatalnya jika ia melakukan hal yang sama. Memberikan komentar soal agama lain yang tidak dipahami dengan baik adalah sesuatu yang dinilainya sebagai ucapan yang kurang berpendidikan.

Ia pun memutuskan mempelajari hal-hal mendasar tentang Islam. Lopez mulai menemukan persamaan antara Kristen dan Islam. Itu terjadi ketika ia mengetahui bahwa ternyata Yudaisme, Kristen, dan Islam berbagi kisah dan nabi serta keti ganya dapat diusut asal muasalnya ingga bertemu dalam silsilah sejarah yang sama.

“Sebenarnya, lebih banyak persamaan antara Kristen dan Islam dibanding perbedaan antara keduanya,“ kata Lopez.

Suatu hari, ia kagum dengan teman Muslimnya yang tidak malu berdoa dan shalat di tempat umum, dengan lutut dan kepala di atas lantai. “Sementara, aku bahkan terkadang malu untuk sekadar menundukkan kepala sambil memejamkan mata (berdoa) saat hendak makan di tempat-tempat umum.“


Perasaan 'aneh' saat mendengar ayat Alquran

Di lain hari, teman Muslimnya kembali ikut serta pergi ke gereja bersama Lopez. Di tengah perjalanan dengan menggunakan mobil itu, temannya memohon izin memutar CD Alquran di mobilnya karena ia sedang mempersiapkan diri untuk shalat.

“Agar sopan, aku mengizinkannya. Selanjutnya, aku hanya ikut mendengarkan dan menyimaknya,“ kata Lopez.

Hal yang tidak diduga pun terjadi. Ia masih ingat bagaimana ayat-ayat Alquran yang didengarnya memunculkan sebuah perasaan aneh. Perasaan itu berbaur dengan kebingungan yang tak bisa dijelaskan.

“Aku tidak bisa memahami mengapa diriku bisa mengalami perasaan semacam itu terhadap sesuatu di luar Kristen," katanya.

Setelah beberapa lama pergolakan batin itu dirasakannya. Lopez akhirnya memutuskan untuk mengenal jauh tentang Islam. Namun, hingga hari penting itu, ia masih menyimpan perasaan takut. Hingga saat menyetir mobilnya, ia berdoa, “Tuhan, lebih baik aku mati dan dekat dengan-Mu daripada hidup selama satu hari, namun jauh dari-Mu.“

Lopez berpikir, mengalami kecelakaan mobil saat menuju Islamic Center San Diego untuk bersyahadat adalah membuktikan pilihan yang salah. Namun, ia tiba di tujuan dengan selamat, dan mengikrarkan keislamannya di hadapan publik.

Jumat itu, 28 Agustus 2008, beberapa hari menjelang Ramadhan, Lopez memeluk Islam. “Sejak itu, aku adalah seorang Muslim yang bahagia, yang mencintai shalat dan puasa. Keduanya mengajarkanku kedisiplinan sekaligus ketundukan kepada Tuhan," katanya.
Redaktur: Siwi Tri Puji B
Reporter: Devi Anggraini

Sunday, November 20, 2011

QIYAMUL LAIL (SHALAT MALAM)

QIYAMUL LAIL (SHALAT MALAM)


Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi



Shalat malam termasuk sunnah yang sangat dianjurkan. Ia termasuk ciri-ciri orang-orang yang bertaqwa. Allah berfirman:

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍآخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَٰلِكَ مُحْسِنِينَ كَانُوا قَلِيلًا مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa berada di dalam taman-taman (Surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” [Adz-Dzaariyaat: 15-19]

Dari Abu Malik al-Asy'ari Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرْفًا يُرَى ظَاهِرُهَـا مِنْ بَاطِنِهَا وَبَاطِنِهَا مِنْ ظَاهِرِهَا، أَعَدَّهَا اللهُ تَعَالَى لِمَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ، وَأَلاَنَ الْكَلاَمَ، وَأَدَامَ الصِّيَامَ، وَصَلَّى بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ.

“Sesungguhnya di dalam Surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya terlihat dari dalam dan bagian dalamnya terlihat dari luar. Allah Ta’ala menyediakannya bagi orang yang suka memberi makan, melunakkan perkataan, senantiasa berpuasa, dan shalat malam pada saat manusia tidur." [1]

A. Semakin Dianjurkan Pada Bulan Ramadhan
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan shalat malam pada bulan Ramadhan tanpa memberi perintah yang mewajibkan. Lalu beliau bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa shalat malam pada bulan Ramadhan dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, niscaya diampunilah dosa-dosanya yang telah lampau.” [2]

B. Bilangan Raka’atnya
Paling sedikit satu raka’at. Dan paling banyak sebelas raka’at. Sebagaimana telah disebutkan dalam perkataan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat lebih dari sebelas raka’at, baik pada bulan Ramadhan ataupun di luar Ramadhan.”

C. Disyari'atkan Melakukannya Secara Berjama'ah Pada Bulan Ramadhan
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Pada suatu malam, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di masjid. Lalu orang-orang shalat dengan shalat beliau. Pada malam berikutnya beliau shalat lagi dan orang-orang kian bertambah banyak. Mereka kemudian berkumpul pada malam ketiga atau keempat, namun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar menemui mereka. Ketika pagi tiba, beliau bersabda:

قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ.

‘Aku melihat apa yang kalian perbuat. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian. Hanya saja aku takut jika shalat tersebut diwajibkan atas kalian.’

Saat itu pada bulan Ramadhan.” [3]

Dari ‘Abdurrahman al-Qari, ia berkata, “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menuju masjid. Ternyata orang-orang terpecah menjadi beberapa kelompok. Ada seorang laki-laki yang shalat sendirian, dan ada pula yang shalat dengan diikuti oleh beberapa orang. Lalu ‘Umar berkata, “Aku berpendapat, seandainya kukumpulkan mereka di bawah satu qari' (imam), tentulah akan lebih baik. Kemudian dia membulatkan tekadnya dan mengumpulkan mereka di bawah Ubay bin Ka'b. Pada suatu malam yang lain aku keluar bersamanya sedangkan orang-orang tengah shalat bersama imam mereka. ‘Umar berkata, ‘Ini adalah sebaik-baik bid’ah (perkara yang baru). Namun, orang-orang yang tidur pada saat ini lebih baik daripada yang sedang shalat’ -maksudnya, melaksanakan shalat di akhir malam lebih baik- karena saat itu orang-orang mengerjakannya di awal malam." [4]

D. Disunnahkan Agar Seseorang Shalat dengan Isterinya (Keluarga) di Luar Bulan Ramadhan
Dari Abu Sa’id, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَيْقَظَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّيَـا -أَوْ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَمِيْعًا- كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ.

“Jika seorang laki-laki membangunkan isterinya di malam hari, lalu keduanya shalat -atau shalat dua raka’at secara berjama’ah-, niscaya Allah mencatat keduanya sebagai para hamba laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat Allah." [5]

E. Mengqadha Shalat Malam
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dulu, jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengerjakan shalat malam karena sakit atau sebab lain, maka beliau shalat dua belas raka’at pada siang harinya.” [6]

Dari ‘Umar bin al-Khaththab, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ نَـامَ عَنْ حِزْبِهِ مِنَ اللَّيْلِ أَوْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ فَقَرَأَهُ مَا بَيْنَ صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الظُّهْرِ كُتِبَ لَهُ كَأَنَّمَا قَرَأَهُ مِنَ اللَّيْلِ.

“Barangsiapa tertidur sehingga tidak membaca wirid (shalat)nya di malam hari atau sebagian darinya, lalu membaca (melaksanakan)nya pada waktu antara shalat Shubuh dan shalat Zhuhur, maka dicatat sebagaimana ia membacanya di malam hari." [7]

F. Dimakruhkan Meninggalkan Shalat Malam Bagi yang Telah Terbiasa Mengerjakannya
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadaku:

يَا عَبْدَ اللهِ لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ، كَانَ يَقُوْمُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ.

"Wahai 'Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, sekarang dia meninggal-kan shalat malam." [8]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Hasan: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 2123)].
[2]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/523 no. 759 (174))], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/250 no. 2009), secara marfu'. Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/245 no. 1358), Sunan at-Tirmidzi (II/151 no. 805), Sunan an-Nasa-i (IV/156).
[3]. Muttafaq 'alaihi: [ Shahiih Muslim (I/524 no. 761)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/10 no. 1129), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/247 no. 1360).
[4]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 986)], Muwaththa' al-Imam Malik (hal. 85 no. 247), Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/250 no. 2010).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1098)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/194 no. 1295), Sunan Ibni Majah (I/423 no. 1335).
[6]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 4756)], Shahiih Muslim (I/515 no. 746 (140)).
[7]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1104)], Shahiih Muslim (I/515 no. 747), Sunan at-Tirmidzi (II/47 no. 578), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/197 no. 1299), Sunan an-Nasa-i (III/259), Sunan Ibni Majah (I/426 no. 1343).
[8]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/37 no. 1152)], Shahiih Muslim (II/814 no. 1159 (185)).

AT TATSWIB DALAM ADZAN

AT TATSWIB DALAM ADZAN

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi


PENGERTIAN AT TATSWIB
At Tatswib dalam bahasa Arab berasal dari kata (ثاب ) yang berarti kembali. Ada juga yang menyatakan dari kata (ثوب) , jika memberi isyarat dengan pakaiannya setelah selesai memberitahu orang lain.[1]

Sehingga secara etimologi bahasa Arab, kata At Tatswib bermakna mengulangi pengumuman setelah pengumuman, dan digunakan untuk menyebut ucapan muadzin ash shalatu khairun minan naum (الصلاة خير من النوم) pada adzan shalat Subuh setelah ucapan hayya ‘ala al falaah dua kali.

Namun dalam penggunaan kata At Tatswib ini terdapat pada tiga perkara:
1). Ucapan muadzin pada shalat Subuh, yaitu ash shalatu khirum minan naum (الصلاة خير من النوم), isebagaimana yang difahami oleh banyak orang. Demikianlah disampaikan Imam Al Khathaabi, bahwa orang umum tidak mengenal At Tatswib, kecuali ucapan muadzin الصلاة خير من النوم.

2). Iqamat, berdasarkan hadits Rasulullah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لاَ يَسْمَعَ التَّأْذِينَ فَإِذَا قَضَى النِّدَاءَ أَقْبَلَ حَتَّى إِذَا ثُوِّبَ بِالصَّلاَةِ أَدْبَرَ حَتَّى إِذَا قَضَى التَّثْوِيبَ أَقْبَلَ حَتَّى يَخْطِرَ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ اذْكُرْ كَذَا اذْكُرْ كَذَا لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ لاَ يَدْرِي كَمْ صَلَّى

"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Jika dikumandangkan adzan untuk shalat, maka setan lari dan ia memiliki suara kentut sampai ia tidak mendengar adzan. Jika selesai adzan, maka ia datang kembali, sampai jika diiqamatkan untuk shalat, maka ia akan lari lagi sehingga selesai At Tatswib (iqamat), maka ia datang kembali sehingga membisikkan (mengganggu) antara seseorang dengan hatinya; setan berkata,”Ingatlah ini dan itu,” untuk sesuatu yang belum pernah ia ingat sebelumnya, sehingga seseorang itu berada dalam keadan tidak tahu jumlah rakaat shalatnya.”[2]

Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan, mayoritas ulama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan At Tatswib dalam hadits ini adalah iqamat. Demikian ini yang ditegaskan oleh Abu ‘Awanah dalam Shahih-nya, al Khathabi dan al Baihaqi. Imam al Qurthubi menyatakan, kalimat (ثُوِّبَ بِالصَّلاَةِ) bermakna jika diiqamatkan, dan asalnya ia mengulang sesuatu yang menyerupai adzan. Dan setiap orang yang mengulang-ulang suaranya, (dalam bahasa Arab) dinamakan mutsawwib[3]

3). Ucapan muadzin antara adzan dan iqamat :

" قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ "

Ini merupakan istilah khusus dalam madzhab Abu Hanifah, dan amalan ini tidak ada dasarnya. Bahkan Ibnu Umar menganggapnya sebagai perbuatan bid’ah, sebagaimana diriwayatkan at Tirmidzi dalam Sunan-nya.

Imam at Tirmidzi menyatakan, para ulama berselisih pendapat tentang tafsir At Tatswib. Sebagian mereka menyatakan, At Tatswib adalah ucapan dalam adzan Subuh (الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ). Demikian ini pendapat Ibnu al Mubarak dan Imam Ahmad. Sedangkan Imam Ishaaq berpendapat lain, beliau menyatakan, At Tatswib yang dilarang adalah yang diada-adakan orang setelah masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu jika muadzin telah selesai beradzan, maka ia diam sebentar menunggu orang-orang dengan membacakan antara dan iqamat:

قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ .

Imam at Tirmidzi berkata: “Apa yang disampaikan Imam Ishaaq tersebut adalah, At Tatswib yang dilarang para ulama dan diada-adakan orang setelah masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun tafsir Ibnu al Mubarak dan Ahmad menyebutkan, bahwa At Tatswib adalah ucapan muadzin dalam shalat Subuh الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ adalah pendapat yang benar, dan dinamakan juga At Tatswib. Inilah yang dirajihkan (dikuatkan) para ulama [4]

Dalam pembahasan kali ini, kami akan mengangkat masalah At Tatswib makna yang pertama, yaitu ucapan muadzin ash shalatu khairun minan naum (الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ) pada adzan shalat Subuh setelah ucapan hayya ‘ala al falaah dua kali

HUKUM DAN SYARIATNYA
At Tatswib disyariatkan berdasarkan hadits Abul Mahdzurah yang berbunyi:

فَإِنْ كَانَ صَلَاةُ الصُّبْحِ قُلْتَ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Jika shalat Subuh, aku mengucapkan الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
[HR Abu Dawud, no. 501; An Nasa-i, 2/7-8 dan Ahmad 3/408; dan dishahihkan al Albani di dalam Takhrij al Misykah, no. 645]

Berdasarkan hadits ini, mayoritas ulama menghukumi At Tatswib sebagai sunnah pada adzan Subuh.[5]

Penulis kitab Shahih Fiqh as Sunnah menyatakan: “At Tatswib dalam adzan fajar telah diriwayatkan dari hadits Bilal, Sa’ad al Qartz, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Na’im an Nahaam, ‘Aisyah, Abu al Muahdzurah. Namun dalam sanad-sanadnya terdapat kelemahan. Yang terbaik dari semuanya adalah tiga riwayat terakhir, dan ia dengan keseluruhannya telah menunjukkan pensyariatan At Tatswib dalam adzan fajar”.[6]

BAGAIMANA MENJAWAB AT TATSWIB
Bila seseorang mendengar At Tatswib, maka disyariatkan membalas dengan mengucapkan kalimat

الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ , ini berdasarkan keumuman hadits Abu Sa’id al Khudri yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ

Sesungguhnya Rasulullah n bersabda: ”Jika kalian mendengar adzan, maka jawablah seperti yang disampaikan muadzin”. [Muttafaqun ‘alaihi] [7]

AT TATSWIB DI LUAR ADZAN SUBUH
Telah dipaparkan di atas pensyariatan dan hukum At Tatswib dalam adzan Subuh. Namun dalam masalah ini ada sebagian ulama madzhab Hanafiyah dan Syafi’iyah yang membolehkan At Tatswib di waktu Isya’. Dalih yang dikemukakan, karena waktu ‘Isya adalah waktu lalai dan tidur seperti Subuh. Sebagian ulama madzhab Syafi’iyah bahkan memperbolehkannya dalam semua waktu shalat. Pendapat seperti ini merupakan perbuatan bid’ah yang menyelisihi sunnah. Ibnu Umar telah mengingkarinya sebagaimana tersebut dalam riwayat Mujahid, beliau berkata:

كُنْتُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ فَثَوَّبَ رَجُلٌ فِي الظُّهْرِ أَوْ الْعَصْرِ قَالَ اخْرُجْ بِنَا فَإِنَّ هَذِهِ بِدْعَةٌ

"Aku dahulu bersama Ibnu Umar, lalu ada seorang mengucap at tatswib pada shalat Dhuhur atau ‘Ashar, maka beliau berkata: “Mari kita keluar, karena ini merupakan perbuatan bid’ah”. [HR Abu Dawud dan dihasankan Syaikh al Albani dalam al Irwa’, no. 236][8]

At Tirmidzi juga membawakan riwayat dari Imam Mujahid, ia berkata :

دَخَلْتُ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ مَسْجِدًا وَقَدْ أُذِّنَ فِيهِ وَنَحْنُ نُرِيدُ أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِ فَثَوَّبَ الْمُؤَذِّنُ فَخَرَجَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ مِنْ الْمَسْجِدِ وَقَالَ اخْرُجْ بِنَا مِنْ عِنْدِ هَذَا الْمُبْتَدِعِ وَلَمْ يُصَلِّ فِيهِ

"Aku bersama Abdulah bin Umar masuk satu masjid yang telah dikumandangkan adzan padanya dan kami ingin shalat disana, lalu muadzin melakukan At Tatswib. Kemudian Ibnu Umar keluar dari masjid dan berkata “marilah kita keluar dari mubtadi’ ini”, dan tidak shalat di masjid tersebut. Imam at Tirmidzi mengomentari riwayat ini: “Abdullah bin Umar melarang At Tatswib yang diada-adakan orang setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam “.[9]

WAKTU DIUCAPKAN AT TATSWIB
Dalam masalah waktu diucapkan At Tatswib, terdapat dua pendapat di kalangan ulama. Pertama, diucapkan pada adzan awal sebelum waktu Subuh. Kedua, dilakukan pada waktu adzan Subuh?

Pendapat pertama menyatakan bahwa At Tatswib dilakukan pada adzan pertama sebelum adzan masuk waktu Subuh, dengan mendasarkan hadits Ibnu Umar yang berbunyi:

كَانَ ابْنُ عُمَرَ فِيْ الأَذَانِ الأَوَلِ بَعْدَ الْفَلاَحِ الصَّلاَةُ خَيْرٌ منَ النَّوْمِ مَرَّتَيْنِ

Ibnu Umar dahulu berkata pada adzan awal setelah al falaah (ucapan) : الصَّلاَةُ خَيْرٌ منَ النَّوْمِ dua kali.

Lafadz hadits Abu al Mahdzurah yang berbunyi:

وَإِذَا أَذَّنْتَ بِالْأَوَّلِ مِنْ الصُّبْح فَقُلْ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِِ

"Dan jika kamu beradzan di awal dari Subuh, maka ucapkanlah " [11]: الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ.

Dalam lafadz lainnya disebutkan:

فِي الْأُولَى مِنْ الصُّبْحِ

Pada yang pertama dari Subuh.[12]

Pendapat inilah yang dirajihkan Syaikh al Albani. Beliau rahimahullah menyatakan, At Tatswib disyariatkan hanya di adzan awal Subuh yang dikumandangkan sebelum masuk waktu sekitar seperempat jam, dengan dasar hadits Ibnu Umar yang berbunyi :

كَانَ فِيْ الأَذَانِ الأَوَلِ بَعْدَ الْفَلاَحِ الصَّلاَةُ خَيْرٌ منَ النَّوْمِ مَرَّتَيْنِ

Dahulu berkata pada adzan awal setelah al falaah : الصَّلاَةُ خَيْرٌ منَ النَّوْمِ dua kali. [Diriwayatkan al Baihaqi, 1/423 dan demikian juga ath Thahawi dalam Syarhu al Ma’ani, 1/82 dan sanadnya hasan, sebagaimana disampaikan al Hafizh]

Sedangkan hadits Abu al Mahdzurah mutlak mencakup dua adzan, namun adzan yang kedua bukan yang dimaksudkan, karena ada yang mengikatnya dalam riwayat lainnya dengan lafadz :

وَإِذَا أَذَّنْتَ بِالْأَوَّلِ مِنْ الصُّبْح فَقُلْ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِِ

Dan jika kamu beradzan di awal dari Subuh, maka ucapkanlah : الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, An Nasa-i, Ath Thahawi dan lainnya, dan hadits ini tercantum dalam Shahih Abu Dawud, no. 510-516, sehingga haditsnya ini mendukung hadits Ibnu Umar. Oleh karena itu, setelah menyampaikan lafadz an Nasaa-i, ash Shan’ani berkata di dalam kitab Subulus Salaam 1/167-168: “Dalam hadits ini ada taqyid (unsur yang membatasi) terhadap riwayat yang mutlak”.

Ibnu Ruslaan berkata: “Ibnu Khuzaimah menshahihkan riwayat ini. Ia berkata, pensyariatan At Tatswib hanyalah di adzan pertama fajar, karena untuk membangunkan orang yang tidur. Sedangkan adzan kedua, untuk pemberitahuan masuk waktu dan mengajak shalat”.

Saya (Syaikh al Albani) berkata : “Berdasarkan hal ini, maka kata الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ tidak termasuk lafadz adzan yang disyariatkan untuk mengajak orang shalat dan memberitahu masuknya waktu shalat. Akan tetapi, ia termasuk lafadz yang disyariatkan untuk membangunkan orang tidur”.[13]

Syaikh al Albani juga berkata: “Setelah menyampaikan hadits Abu al Mahdzurah dan Ibnu Umar di atas, Imam ath Thahawi berkata secara tegas yang menunjukkan bahwa At Tatswib ada pada adzan pertama. Demikian ini pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad rahimahullah “.[14]

Adapun pendapat kedua, yang menyatakan At Tatswib dilakukan pada adzan Subuh, yaitu adzan kedua, berdalil dengan hadits-hadits yang tidak memberikan batasan pada adzan awal dan membawa hadits-hadits yang ada penentuan di adzan pertama kepada makna adzan pertama untuk menentukan masuknya waktu subuh, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ

Antara dua adzan ada shalat sunnah. Inilah yang dirajihkan Lajnah Daimah lil Buhuts Islamiyah wa al Ifta’ (Saudi Arabia)[15] dan Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Sebagian orang pada zaman sekarang telah salah dalam memahami, bahwa yang diinginkan dengan adzan yang ada pelafadzan dua kalimat ini ialah adzan sebelum fajar. Syubhat mereka dalam hal ini, yaitu adanya sebagian lafadz hadits yang berbunyi:
وَإِذَا أَذَّنْتَ بِالْأَوَّلِ مِنْ الصُّبْح فَقُلْ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِِ (dan jika kamu beradzan di awal dari Subuh, maka katakanlah الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ). Mereka menganggap bahwa At Tatswib hanyalah ada pada adzan yang dikumandangkan di akhir malam; dan menyatakan bahwa At Tatswib dalam adzan pada waktu masuk Subuh adalah bid’ah.

Maka kami (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin) menjawab, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan:

وَإِذَا أَذَّنْتَ الْأَوَّلَ لصَلاَةِ الصُّبْح

Beliau menyatakan لصَلاَةِ الصُّبْح , dan sudah dimaklumi bahwa adzan yang ada di akhir malam bukan untuk shalat Subuh, namun sebagaimana dikatakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, (maksudnya ialah):

لِيُوقِظَ النَائِمَ وَ يَرْجِعَ القَائِم

"Untuk membangunkan orang yang tidur dan mengembalikan orang yang bangun (untuk istirahat mempersiapkan diri)".

Sedangkan shalat Subuh tidak diadzankan, kecuali setelah terbit fajar Subuh. Kalau diadzankan sebelum terbit fajar Subuh, maka adzannya tidak sah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Jika (waktu) shalat sudah datang, maka hendaklah salah seorang kalian beradzan untuk kalian".

Sudah jelas, bahwa shalat tidak datang kecuali setelah masuk waktu. Tinggal permasalahan pada lafadz hadits:

وَإِذَا أَذَّنْتَ الْأَوَّلَ

Maka kami (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin) jawab: Hal ini tidak masalah. Karena adzan dalam bahasa Arab bermakna pemberitahuan. Demikian juga iqamah adalah pemberitahuan. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ (Antara dua adzan ada shalat sunnah). Yang dimaksud dengan dua adzan ini adalah adzan dan iqamat. Dalam Shahih al Bukhari ada disebutkan “Dan ‘Utsman menambah adzan ketiga dalam shalat Jum’at,” padahal sudah sangat jelas, bahwa Jum’at hanya ada dua adzan dan satu iqamah, dan ia menamakannya adzan ketiga. Dengan demikian, hilangkan permasalahannya, sehingga At Tatswib dilakukan pada adzan shalat Subuh.[16]

BAGAIMANAKAH PENDAPAT YANG RAJIH?
Penulis kitab Shahih Fiqhu as Sunnah menyatakan: “Hadits-hadits yang telah disampaikan terdahulu, di antaranya ada yang menyebutkan At Tatswib tanpa penentuan waktunya, apakah di adzan pertama atau kedua; dan di antaranya ada yang menjelaskan bahwa ia di adzan pertama. Namun tidak ada satupun hadits yang menegaskan jika dilakukan di adzan kedua. Hal ini menunjukkan pensyariatan At Tatswib ada di adzan pertama, karena untuk membangunkan orang yang tidur. Sedangkan adzan kedua untuk memberitahu masuknya waktu dan mengajak shalat. Juga sudah dimaklumi, bahwa Nabi n memiliki dua muadzin untuk shalat fajar. Salah satunya ialah Bilal -dan At Tatswib juga ada riwayat darinya- dan kedua ialah Ibnu Ummi Maktum. Bilallah yang mengumandangkan adzan awal, dan tidak ada satu riwayat yang menyatakan Ibnu Ummi Maktum melakukan At Tatswib”. [17]

Demikian, mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Fathul Bari (2/85), Ibnu Hajar, al Maktabah as Salafiyah, tanpa cetakan dan tahun.
[2]. HR al Bukhari, kitab al Adzan, Bab Fadhlu al Ta’dzin.Lihat Fathul Bari, op.cit. (2/84-85).
[3]. Fathul Bari, op.cit. (2/85).
[4]. Sunan at Tirmidzi , tahqiq Ahmad Syakir (1/380-381).
[5]. Lihat al Majmu’ (3/92) dan al Mughni (1/407).
[6]. Shahih Fiqh as Sunnah (1/283),Abu Maalik Kamaal bin as Sayyid Saalim, al Maktabah at Taufiqiyyah, Mesir, tanpa cetakan dan tahun.
[7]. Lihat asy Syarhu al Mumti’ (2/84) dan Shahih Fiqhu as Sunnah (1/286).
[8]. Lihat Irwa’ al Ghalil (1/254), Syaikh al Albani, al Maktab al Islami.
[9]. Sunan at Tirmidzi, tahqiq Ahmad Syakir (1/381).
[10]. Hadits mauquf diriwayatkan al Baihaqi dan dihasankan al Albani dalam Tamamul Minnah (1/146).
[11]. HR Ahmad (3/408-409); Abu Dawud, Bab Kaifa ad Adzan, no. 501; an Nasa-i, Bab al Adzan fis Safar (2/7); Abdurrazaaq dalam al Mushannaf, no.1821; Ibnu Abi Syaibah (1/204); Ibnu Khuzaimah, no. 385; Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, no. 1673; ad Daraquthni (1/234) dan al Baihaqi (1/422) diringkas dari takhrij pentahqiq kitab asy Syarhu al Mumti’, lihat 2/56.
[12]. Lihat Shahih al Fiqhu as Sunnah, op.cit. (1/ 283).
[13]. Dinukil dari Tamamul Minnah, 146-147.
[14]. Ibid, 148.
[15]. Lihat Fatawa Lajnah ad Daimah (1/59-61) soal no. 1396 dan 2678.
[16]. Syarhu al Mumti’ (2/ 56-57).
[17]. Shahih Fiqhu as Sunnah (1/284).

SEDEKAH UNTUK KERABAT

Assalamualaikum Wr. Wb.

Ustadz, dalam waktu dekat ini adik saya akan melangsungkan pernikahan. Untuk itu, keluarga kami telah bersepakat mengeluarkan shodaqoh kepada kaum dhuafa yang ada di sekitar rumah kami sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah swt.

Yang menjadi pertanyaan kami pak ustadz :
1. Bagaimana menurut ustadz seandainya sebagian dari shodaqoh yang kami rencanakan untuk kaum dhuafa di sekitar rumah kami itu kami berikan kepada saudara-saudara (kerabat) kami yang juga dhuafa?
2. Adakah batas maksimum dari shodaqoh yang dikeluarkan?

Jazakumullah ustadz atas jawabannya.

Hardi
Jawaban

Wa Alaikumussalam Warohmatullohi Wabarokaatuh

Saudara Hardi yang dimuliakan Allah swt. Semoga Allah swt memberkahi pernikahan adik anda nanti dan menjadikan keluarga yang kelak akan dibangunnya senantiasa mendapat lindungan dan arahan dari Allah swt.

Adapun pendapat saya terhadap beberapa permasalahan yang sedang anda hadapi, sebagai berikut :
1. Shodaqoh yang anda maksudkan termasuk dalam kategori shodaqoh-shodaqoh yang disunnahkan. Tujuan dari shodaqoh adalah membantu orang-orang yang sedang membutuhkan bantuan mendesak serta meringankan beban oang-orang yang kesulitan secara finansial, sebagaimana hadits Rasulullah saw : “Setiap muslim harus bershodaqoh. Mereka bertanya,’Wahai Nabi Allah bagaimana dengan orang yang tidak punya?’ Rasulullah saw bersabda : ‘Hendaklah ia berusaha dengan tangannya sehingga dapat menguntungkan dirinya lalu ia bershodaqoh.’ Mereka bertanya lagi :’Jika tidak ada? Rasulullah saw bersabda,’Hendaklah ia membantu orang yang memiliki kebutuhan yang mendesak serta mengharapkan bantuan.’ Mereka bertanya, "Jika tidak ada?" Rasulullah menjawab, ’Hendaklah ia melakukan kebaikan dan menahan diri dari kemunkaran. Sesungguhnya hal ini adalah shodaqoh.” (HR. Bukhori).

Dari hadits ini, bisa difahami bahwa shodaqoh bisa diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan bantuan untuk meringankan kesulitan-kesulitannya. Namun demikian, yang lebih utama adalah shodaqoh tersebut diberikan kepada keluarga, kaum kerabat kemudian tetangga sekitar, berdasarkan firman Allah swt : “Kepada anak yatim yang mempunyai hubungan kerabat. “ (QS. Al Balad : 15) serta hadits Rasulullah saw : “Jika salah seorang diantaramu miskin, hendaklah dimulai dengan dirinya, jika ada kelebihan maka untuk keluarganya, jika ada kelebihan lagi untuk kerabatnya.” Atau beliau bersabda : “Untuk yang ada hubungan kekeluargaan dengannya. Kemudian apabila masih ada barulah untuk ini dan itu.” (HR. Ahmad dan Muslim)

Dari uraian di atas, jelas bahwa shodaqoh anda kepada orang-orang dhuafa dari kalangan keluarga anda diperbolehkan menurut syari’ah bahkan diutamakan.

2. Tidak ada batas maksimum dari shodaqoh yang dikeluarkan seseorang bahkan dibolehkan bagi seseorang menshodaqohkan seluruh hartanya jika memang ia termasuk orang yang mampu untuk itu, mampu mempertahankan kehidupannya secara wajar dan bersabar setelah melakukannya seperti dijelaskan dalam hadits berikut.

“Umar berkata : “Rasulullah saw menyuruh kami agar bershodaqoh, kebetulan pada waktu itu aku memiliki harta maka aku berkata (dalam hati) : “Hari ini aku dapat mengungguli Abu Bakar karena tak pernah sekali pun aku mengunggulinya. Maka aku pun datang dengan membawa separuh hartaku.’ Rasulullah saw pun bertanya,’Berapa banyak yang engkau tinggalkan untuk keluargamu.’ Aku mengatakan,’Sebanyak itu pula.’ Dia (Umar) berkata,’Datanglah Abu Bakar dengan seluruh hartanya dan Rasul pun bertanya,’Apa yang engkau tinggalkan bagi mereka?" Abu Bakar berkata, "Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.’ Aku berkata : “Tidak akan pernah aku dapat mengunggulimu selama-lamnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Namun demikian, bagi kita yang kebanyakan kaum muslimin saat ini memiliki kualitas keimanan, kesabaran dan ketawakalannya tidaklah seberapa dibandingkan dengan Abu Bakar dan Umar, maka yang terbaik adalah tengah-tengah dalam bershodaqoh. Artinya, tidak terlalu sedikit karena ini berarti kikir dan tidak pula berlebih-lebihan yang jika tidak didukung dengan kesiapan dirinya akan berefek pada hal-hal yang negatif, sebagaimana firman Allah swt: “Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta) mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir’ diantara keduanya secara wajar.” (QS. AL Furqon : 67)

Demikianlah semoga Allah memberkahi harta keluarga anda dan menggantikannya dengan yang lebih baik dan diberkahi lagi oleh Allah swt.

WAHHABI MENGKAFIRKAN ORANG?

Assalamualaikum Wr. Wb.

Saya membaca di beberapa situs internet mengenai aliran Wahabi, ternyata aliran wahabi ini telah mengkafirkan beberapa ulama seperti Imam Bukhari, Imam Namawi, Ibnu Hajar, sahabat Rasulullah, bahkan Nabi Adam dan Siti Hawa pun mereka kafirkan.

Kemudian, statemen mereka: siapapun yg menolak wahabi berarti menolak Islam. Mereka mempunyai kitab Fiqih sendiri dan berbeda dengan fiqih dari 4 madzhab. Tolong dijelaskan Pa Ustadz. Terima kasih sebelumnya, semoga membawa kebaikan. Amien

Wassalamuaikum Wr. Wb.

Usep Indra Haruman
Jawaban

Wa Alaikumussalam Warohmatullohi Wabarokaatuh

Saudara Usep yang dimuliakan Allah swt.

Memang Allah swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya manakala mendapatkan informasi atau berita yang tidak jelas/diragukan kebenarannya hendaklah melakukan pemeriksaan secara seksama sebelum diambilnya sebagai suatu pemikiran / keyakinan.

Firman Allah swt., “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. 49 : 6)

Da’wah Salafiyah adalah pelopor gerakan-gerakan ishlah (reformasi) yang muncul menjelang masa-masa kemunduran dan kebekuan pemikiran di dunia islam. Da’wah salafiyah ini menyerukan agar aqidah Islam dikembalikan kepada asalnya yang murni, dan menekankan pada pemurnian arti tauhid dari sirik dengan segala manifestasinya. Sebagian orang ada yang menyebut da’wah ini dengan Wahabi, karena dinisbatkan kepada nama pendirinya, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab (1115 – 1206 H / 1703 – 1791 M).

Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang ulama yang sangat tegas dan lantang dalam menyerukan tauhid. Ia seorang ulama yang karismatik dan disegani sehingga mampu menda’wahi para penguasa untuk kemudian bekerja sama menghancurkan berbagai kemusyrikan yang ada di masyarakat, seperti dengan penguasa Uyainah yang bernama Utsman bin Muammar atau dengan Pangeran Muhammad bin Su’ud sebagai pengusa Dir’iyah yang kemudian diteruskan oleh putranya yang bernama Pangeran Abdul Aziz bin Muhammad bin Su’ud hingga Syeikh meninggal dunia.

Di antara prinsip-prinsip Da’wah Salafiyah :

1. Pendiri da’wah ini, dalam studi-studinya adalah bermadzhab Hambali.
2. Menekankan untuk senantiasa merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah dalam permasalahan aqidah.
3. Berpegang teguh dengan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
4. Menyerukan kepada pemurnian arti tauhid.
5. Menetapkan tauhid asma dan sifat-sifat Allah tanpa tamtsil (perumpamaan), takyif (pencocokan) dan ta’wail (interpretasi).
6. Menentang segala bentuk bid’ah dan khurafat.
7. Menentang segala bentuk ungkapan, petualangan tarekat sufistik yang dimasukan kedalam agama yang tak pernah ada sebelumnya.
8. Melarang berkata-kata tentang Allah tanpa ilmu, berdasarkan firman Allah : “(Mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang kamu tidak ketahui.” (QS. Al A’raf : 33)
9. Segala bentuk yang didiamkan oleh hukum syara’ adalah dimaafkan. Tak ada seorangpun yang berhak mengharamkan, mewajibkan atau memakruhkan berdasarkan firman Allah, “Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu, dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur’an itu sedang diturunkan, nisacaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Maidah : 101

(Disarikan dari buku, al Mausu’atul Muyassaroh Fil Adyaan Wal Madzahibil Muaashiroh, WAMY, edisi terjemahan, hal. 227 – 232)

Sebagai da’wah yang memegang teguh prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka Da’wah Salafiyah tidak mengkafirkan seorang pun dari kaum muslimin kecuali apabila orang itu melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya, sabda Rasulullah saw : “Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya (muslim) : Wahai kafir, maka pengkafiran ini akan kembali kepada salah satu dari keduanya, jika dia benar dalam pengkafirannya (maka tidak mengapa), tapi jika tidak maka ucapan itu akan kembali kepadanya” [HR Al-Bukhari)

Jadi prinsip Da’wah Salafiyah terhadap orang islam secara umum—walau ia melakukan dosa besar sekalipun—adalah tetap menganggap menghargai keislaman mereka apalagi terhadap orang-orang mulia yang anda sebutkan di atas.

Mereka adalah para ulama dan imam besar umat ini yang karya-karyanya justru dijadikan sebagai rujukan dan referensi oleh orang-orang salafi. Imam Bukhori dengan karyanya, “Shohihul Bukhori”. Imam Nawawi dengan karyanya, “Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi”. Ibnu Hajar dengan karya terbesarnya,”Fathul Bari Syarh Shohihil Bukhori”

Wallahu A’lam

HUKUM ADZAN DI TELINGA BAYI

Assalamu'alaikum wr. wb.

Ustadz, mohon dijelaskan apakah ada dalil yang shohih untuk menjadi dasar hukum untuk kebiasaan azan dan iqomat bagi bayi yang baru lahir, sehingga dapat bernilai sebagai ibadah kepada Alloh SWT.

Jazakalloh atas segera jawaban Ustadz

Wassalamu'alaikum wr. wb.

Abu Zakia
Jawaban

Wa alaikumusalam warohmatullohi wa barokaatuh

Sungguh suatu kebahagiaan jika kita mendapati kaum muslimin di dalam setiap aktivitas ibadahnya kepada Allah swt berlandaskan dalil, baik Al Qur’an maupun As Sunnah, sehingga akan terpelihara dari kesesatan dan kesalahan.

Di antara hadits-hadits yang dipakai sebagai dalil untuk menyuarakan adzan di telinga kanan dan iqomat di telinga kiri adalah :

1. Sabda Rasulullah saw: “Siapa yang diberikan bayi kemudian diadzankan di telinga kanan dan mengiqomatkan di telinga kiri maka tidak akan terkena bahaya gangguan setan.”

Hadits ini maudhu’ (palsu) : Ia diriwayatkan oleh Abu Ya’la didalam “Musnadnya” (4/1604), darinya Ibnu as Sunni didalam “Amal al Yaum Wa al Lailah” (200/617) demikian juga Ibnu ‘Asakir (16/182/2) melalui jalan Abi Ya’la, Ibnu Basyron didalam “Al Amaali” (88/1), Abu Thohir Al Qursyi didalam “Hadits Ibnu Marwan al Anshori dan selainnya” (2/1) dari jalan Yahya bin al “Alaa ar Rozi dari Marwan bin Sulaiman dari Tholhah bin Ubaidillah al Uqoily dari al Hasan bin ali marfu’

Aku (Syeikh Albani) mengatakan : :”Sanad hadits ini maudhu’ (palsu), Yahya bin al ‘Ala, Marwan bin Salim yang menjadikan hadits ini maudhu’ dan diperkuat oleh Ibnul Qoyyim dalam “Tuhfatul Maudud” hal. 9 milik Al baihaqi dan dia mengatakan : Isnad hadits ini dho’if (lemah).

2. Sabda Rasulullah saw : Dari Abu Rofi, “Aku menyaksikan Rasulullah saw mengadzankan dengan adzan sholat di telinga Hasan saat Fatimah melahirkannya.”
Tirmidzi mengatakan : ”Hadits Shohih dan diamalkan.”

Al Mubarokfuriy yang menjelaskan hadits ini mengatakan setelah dia menjelaskan kedhoifan sanadnya dan berdalil dengan perkataan para imam dalam riwayat ‘Ashim bin Ubaidillah : “Jika engkau mengatakan : Bagaimana beramal dengannya padahal ia dhoif (lemah)? Aku mengatakan : “Ya, hadits ini lemah akan tetapi dia diperkuat oleh hadits Husein bin Ali ra yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la al Mushiliy dan Ibnu as Sunni.” !

Perhatikanlah, bagaimana dia menguatkan yang dhoif dengan yang maudhu’, dan tidaklah itu (dilakukan) kecuali dikarenakan tidak adanya pengetahuan terhadap kemaudhuannya dan pengelabuannya terhadap keinginan para ulama yang kami sebutkan dan hampir-hampir aku pun jatuh seperti itu, maka perhatikanlah!

Ya, barangkali penguatan hadits Abi Rofi’ dengan hadits Ibnu Abbas : “Bahwasanya Nabi saw mengadzankan di telinga Husein bin Ali pada hari kelahirannya dan mengiqomatkan di telinga kirinya.” dikeluarkan oleh Baihaqi di dalam “Asy Syu’ab” bersama hadits Hasan bin Ali dan dia berkata: “Di dalam sanad keduanya ada kelemahan.” Seperti juga disebutkan Ibnul Qoyyim didalam “at Tuhfah” hal. 16.

Aku (Syeikh Albani) mengatakan :”Bisa jadi sanad yang ini lebih baik dari sanadnya hadits Hasan dikarenakan bisa memberikan persaksian terhadap hadits Rofi’. Wallahu A’lam.”

Jika demikian, maka hadits itu bisa menjadi dalil untuk menyuarakan adzan karena ia juga terdapat dalam hadits Abi Rofi’. Adapun iqomat maka ia ghorib (lemah). Wallahu A’lam
(Silsilah al Ahadits adh Dho’iifah Wal Maudhu’ah, jilid 491 – 493

Jadi dari penjelasan di atas tampak bahwa hadits-hadits tersebut termasuk kategori dhoif (lemah).

Namun demikian, terjadi perbedaan ulama dalam hal beramal dengan hadits yang dhoif :

1. Pendapat pertama : Tidak boleh sama sekali beramal dengan hadits dhoif, tidak dalam hal keutamaan ataupun hukum. Ini adalah pendapat Yahya bin Ma’in, Abu Bakar al ‘Arobi, Imam Bukhori dan Muslim dan juga Ibnu Hazm.

2. Pendapat Kedua : Dibolehkan beramal dengan hadits dho’if. Ini pendapat Abu Daud dan Imam Ahmad.

3. Pendapat Ketiga : Dibolehkan beramal dengan yang dhoif dalam hal-hal keutamaan, nasehat-nasehat dan yang sejenisnya selama memenuhi persyaratan—sebagaiamana disebutkan oleh Syiekhul islam Ibnu Hajar—yaitu :
1. Dhoifnya tidak keterlaluan.
2. Termasuk dalam pokok-pokok yang diamalkan.
3. Tidak meyakini bahwa amal itu betul-betul terjadi akan tetapi meyakini secara hati-hati.
(Ushul al Hadits ‘Ulumuhu Wa Mushtholatuhu, DR. Muhammad ‘Ajjaj al Khotib, hal 351)

Wallahu A’lam
http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/dalil-tentang-azan-dan-iqomat-bagi-bayi-lahir.htm

Fenomena Jasad Utuh Setelah Bertahun-Tahun Meninggal

Fenomena Jasad Utuh Setelah Bertahun-Tahun Meninggal

Abu Al-Jauzaa'



Al-Imaam An-Nasaa’iy rahimahullah berkata :

أَخْبَرَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ الْجُعْفِيُّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، عَنْ أَبِي الْأَشْعَثِ الصَّنْعَانِيِّ، عَنْ أَوْسِ بْنِ أَوْسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ عَلَيْهِ السَّلَام، وَفِيهِ قُبِضَ، وَفِيهِ النَّفْخَةُ، وَفِيهِ الصَّعْقَةُ، فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنَ الصَّلَاةِ، فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ "، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ تُعْرَضُ صَلَاتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرَمْتَ أَيْ يَقُولُونَ قَدْ بَلِيتَ؟ قَالَ: " إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ السَّلَام "

Telah mengkhabarkan kepada kami Ishaaq bin Manshuur[1], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Husain Al-Ju’fiy[2], dari ‘Abdurrahmaan bin Yaziid bin Jaabir[3], dari Abul-Asy’ats Ash-Shan’aaniy[4], dari Aus bin Aus[5], dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Sesungguhnya seutama-utama hari adalah hari Jum’at. Pada hari itu Aadam ‘alaihis-salaam diciptakan, padanya ia diwafatkan, padanya ditiup sangkakala (kiamat), dan padanya diwafatkan seluruh makhluk. Maka, perbanyaklah oleh kalian ucapan shalawat, karena ucapan shalawat kalian itu akan disampaikan kepadaku”. Para shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, bagaimana shalawat kami disampaikan kepadamu, padahal engkau telah lenyap atau hancur ?”. Beliau menjawab : “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla telah mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi ‘alaihim as-salaam” [Al-Mujtabaa, no. 1374].

Diriwayatkan oleh beberapa imam hadits dari jalan-jalan yang semuanya berasal dari Husain bin ‘Aliy Al-Ju’fiy, dari ‘Abdurrahmaan bin Yaziid bin Jaabir, dari Abul-Asy’ats Ash-Shan’aniy, dari Aus bin Aus secara marfuu’.

Beberapa huffaadh men-ta’liil riwayat ini dengan alasan bahwa ‘Abdurrahmaan dalam sanad itu bukanlah Ibnu Yaziid bin Jaabir, akan tetapi Ibnu Yaziid bin Tamiim, seorang yang dla’iif. Ibnu Rajab rahimahullah yang berkata :



وكذلك روى حسين الحعفي: عن ابن جابر عن أبي الأشعث عن أوس عن النبي - صلى الله عليه وسلم- " أكثروا علي من الصلاة يوم الجمعة... الحديث "، فقالت طائفة: " هو حديث منكر، وحسين الجعفي سمع من عبد الرحمن بن يزيد بن تميم الشامي، وروى عنه أحاديث منكرة فغلط في نسبته ".

وممن ذكر ذلك البخاري، وأبو زرعة، وأبو حاتم، وأبو داود، وابن حبان، وغيرهم.

وأنكر ذلك آخرون وقالوا: " الذي سمع منه حسين هو ابن جابر ".

قال العجلي: " سمع من ابن جابر حديثين في الجمعة ".

وكذا أنكر الدار قطني على من قال: إن حسيناً سمع من ابن تميم، وقال: " إنما سمع من ابن جابر، قال: والذي سمع من ابن تميم هو أبو أسامة، وغلط في اسم جده، فقال ابن جابر، وهو ابن تميم"

“Dan begitu pula yang diriwayatkan oleh Husain Al-Ju’fiy, dari Ibnu Jaabir, dari Abul-Asy’ats, dari Aus-bin Aus, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Perbanyaklah oleh kalian ucapan shalawat pada hari Jum’at…..’ (al-hadits). Sekelompok ulama berkata : ‘Ia adalah hadits munkar. Husain Al-Ju’fiy mendengar riwayat ‘Abdurrahmaan bin Yaziid bin Tamiim Asy-Syaamiy; dan diriwayatkan darinya hadits-hadits munkar, lalu perawi keliru dalam penisbatannya (dari ‘Abdurrahmaan bin Yaziid bin Tamiim menjadi ‘Abdurrahmaan bin Yaziid bin Jaabir – Abul-Jauzaa’)’. Di antara ulama yang menyebutkan hal itu adalah Al-Bukhaariy, Abu Zur’ah, Abu Haatim, Abu Daawud, Ibnu Hibbaan, dan yang lainnya.

Namun sekelompok ulama lain mengingkari hal itu. Mereka berkata : ‘Orang yang didengarkan riwayatnya oleh Husain adalah Ibnu Jaabir’. Al-‘Ijliy berkata : ‘Ia (Husain) mendengarkan dari Ibnu Jaabir dua riwayat tentang Jum’at’. Begitu pula Ad-Daaruquthniy mengingkari orang yang mengatakan : ‘sesungguhnya Husain mendengar dari Ibnu Tamiim’, dan kemudian ia (Ad-Daaruquthniy) berkata : ‘Husain itu hanyalah mendengar riwayat dari Ibnu Jaabir. Orang yang mendengarkan riwayat dari Ibnu Tamiim adalah Abu Usaamah. Ia keliru dalam penyebutan nama kakeknya, dimana ia berkata : Ibnu Jaabir, padahal Ibnu Tamiim” [Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy, 2/818-819].

Yang benar – wallaahu a’lam – adalah bahwasannya Al-Husain mendengar riwayat dari ‘Abdurrahmaan bin Yaziid bin Jaabir, sebagaimana dikatakan Ad-Daaruqthniy dan Al-‘Ijliy. Al-Husain adalah seorang yang tsiqah dengan kesepakatan. Ibnu Hibbaan dan Ibnu Syaahiin membawakannya dalam Ats-Tsiqaat. Abu ‘Abdillah Al-Haakim berkata : ‘Ia paling dikedepankan, paling hapal, dan paling mengetahui hadits Zaaidah daripada selain dirinya”. Ahmad bin Hanbal berkata : “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih utama dari Husain Al-Ju’fiy dan Sa’iid bin ‘Aamir”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah. Ia seorang laki-laki yang shaalih. Aku tidak pernah melihat laki-laki yang lebih utama darinya”. ‘Utsmaan bin Abi Syaibah berkata : “Tsiqah lagi shaduuq”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tsiqah”. Al-Fasaawiy berkata : “Tsiqah”.

Dalam riwayat lain Al-Husain Al-Ju’fiy telah menjelaskan penyimakan riwayatnya dari ‘Abdurrahmaan. Oleh karena itu, persaksiannya bahwa perawi yang ia ambil riwayatnya adalah Ibnu Jaabir (bukan Ibnu Tamiim) lebih dikedepankan.

Riwayat tersebut dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan An-Nasaa’iy 1/443.

Ini adalah satu kekhususan yang Allah ta’ala berikan kepada para Nabi ‘alaihimis-salaam akan jaminan bahwa jasad mereka tidak dimakan tanah hingga hari kiamat.

Pertanyaan : Apakah kekhususan tersebut berlaku pada selain mereka (para Nabi) ? (yaitu manusia pada umumnya).

Jawab : Tidak, karena tidak ada dalil yang menyatakan demikian. Bahkan telah shahih riwayat :

حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنْ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " كُلَّ ابْنِ آدَمَ تَأْكُلُ الْأَرْضُ، إِلَّا عَجْبَ الذَّنَبِ، مِنْهُ خُلِقَ، وَفِيهِ يُرَكَّبُ "

Dan telah menceritakan kepada kami Al-Qa’nabiy[6], dari Maalik[7], dari Abuz-Zinaad[8], dari Al-A’raj[9], dari Abu Hurairah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Semua (jasad) anak Aadam akan dimakan tanah, kecuali tulang ekornya. Darinya ia diciptakan, dan darinya pula ia akan dihimpun kembali” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4743; shahih].

Dhahirnya, jasad semua anak Aadam akan termakan tanah kecuali satu bagian kecil tulang yang ada di pangkal ekornya. Dan dikecualikan dari jenis orang ini adalah jasad para Nabi ‘alaihim ash-shalaatu was-salaam. Akan tetapi ada beberapa riwayat yang menjelaskan beberapa jasad di kalangan salaf yang masih utuh setelah beberapa saat dikuburkan.

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، أَخْبَرَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ، حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ الْمُعَلِّمُ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: لَمَّا حَضَرَ أُحُدٌ دَعَانِي أَبِي مِنَ اللَّيْلِ، فَقَالَ: " مَا أُرَانِي إِلَّا مَقْتُولًا فِي أَوَّلِ مَنْ يُقْتَلُ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنِّي لَا أَتْرُكُ بَعْدِي أَعَزَّ عَلَيَّ مِنْكَ غَيْرَ نَفْسِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ عَلَيَّ دَيْنًا فَاقْضِ، وَاسْتَوْصِ بِأَخَوَاتِكَ خَيْرًا، فَأَصْبَحْنَا فَكَانَ أَوَّلَ قَتِيلٍ، وَدُفِنَ مَعَهُ آخَرُ فِي قَبْرٍ، ثُمَّ لَمْ تَطِبْ نَفْسِي أَنْ أَتْرُكَهُ مَعَ الْآخَرِ فَاسْتَخْرَجْتُهُ بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ، فَإِذَا هُوَ كَيَوْمِ وَضَعْتُهُ هُنَيَّةً غَيْرَ أُذُنِهِ "

Telah menceritakan kepada kami Musaddad[10] : Telah mengkhabarkan kepada kami Bisyr bin Al-Mufadldlal[11] : Telah menceritakan kepada kami Husain Al-Mu’allim[12], dari ‘Athaa’[13], dari Jaabir radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Ketika terjadi perang Uhud, ayahku memanggilku di waktu malam dan berkata : Tidaklah aku melihat diriku kecuali seorang yang akan terbunuh pertama kali dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang terbunuh. Dan sesungguhnya aku tidak meninggalkan sesuatu yang berharga kepadamu selain diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya aku mempunyai hutang, maka lunasilah. Berilah nasihat kebaikan kepada saudara-saudaramu”. Jaabir berkata : “Pada pagi harinya aku dapati ia orang yang pertama kali terbunuh. Lalu dikuburkan bersamanya shahabat-shahabat lain yang juga meninggal dalam satu kubur. Kemudian diriku merasa tidak enak meninggalkan dirinya bersama yang lain. Lalu aku pun mengeluarkannya enam bulan kemudian. Maka aku dapati keadaannya seperti hari ketika aku meletakkanya di kubur tersebut, tidak ada yang berubah, kecuali sesuatu pada telinganya saja” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1351].

حَدَّثَنَا فَرْوَةُ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ " لَمَّا سَقَطَ عَلَيْهِمُ الْحَائِطُ فِي زَمَانِ الْوَلِيدِ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ أَخَذُوا فِي بِنَائِهِ، فَبَدَتْ لَهُمْ قَدَمٌ فَفَزِعُوا، وَظَنُّوا أَنَّهَا قَدَمُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا وَجَدُوا أَحَدًا يَعْلَمُ ذَلِكَ، حَتَّى قَالَ لَهُمْ عُرْوَةُ: لَا، وَاللَّهِ مَا هِيَ قَدَمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا هِيَ إِلَّا قَدَمُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ "

Telah menceritakan kepada kami Farwah[14] : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy[15], dari Hisyaam bin ‘Urwah[16], dari ayahnya[17] : Ketika tembok runtuh menimpa kuburan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada masa kekhilafahan Al-Waliid bin 'Abdil-Malik, orang-orang mulai membangun kembali. Lalu nampak pada mereka sebuah kaki yang membuat mereka terkejut. Mereka menyangka bahwa itu adalah kaki Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak mendapati seorang pun yang mengetahuinya, hingga ‘Urwah berkata kepada mereka : “Tidak, demi Allah. Itu bukanlah kaki Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Namun ia adalah kaki ‘Umar radliyallaahu ‘anhu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1391].

Oleh sebab itu, ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa jasad syuhadaa’ dan orang-orang yang shaalih termasuk tambahan perkecualian dari jasad para Nabi. Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafiy rahimahullah berkata :

وحرم الله على الأرض أن تأكل أجساد الأنبياء كما روي في السنن ، وأما الشهداء : فقد شوهد منهم بَعدَ مُدَدٍ مِن دفنه كما هو لم يتغير ، فيحتمل بقاؤه كذلك في تربته إلى يوم محشره ، ويحتمل أنه يبلى مع طول المدة ، والله أعلم

“Dan Allah telah mengharamkan bagi bumi untuk memakan jasad para Nabi sebagaimana diriwayatkan dalam sunnah. Adapun syuhadaa’ : Di antara mereka telah disaksikan selang beberapa waktu setelah dikuburkannya bahwa tidak ada perubahan dalam dirinya (utuh) sebagaimana waktu dikuburkannya. Dan mungkin keadaannya di dalam tanah tetap seperti itu hingga hari kiamat. Dan mungkin pula bahwa jasadnya hancur seiring dengan lamanya waktu yang berjalan. Wallaahu a’lam” [Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahawiyyah, hal. 396].

Akan tetapi tambahan perkecualian selain para Nabi sebagaimana dikatakan sebagian ulama ini tidaklah dilandasi dalil. Memang benar riwayat dan fakta telah menunjukkan bahwa beberapa jenazah sebagian orang yang masih tetap utuh setelah beberapa lama dikuburkan. Tapi apakah ada jaminan bahwa keadaannya tetap itu seperti itu sebagaimana diisyaratkan Ibnu Abil-‘Izz (dan beberapa ulama lain) hingga hari kiamat sebagaimana jasad para Nabi ?. Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu di atas menafikkannya.

Kemudian,..... ada pembalikan cara berpikir yang aneh di sebagian masyarakat. Kata mereka, jika jasad Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendapat jaminan tidak dimakan tanah, lalu dikuatkan dengan fakta bahwa jasad sebagian shahabat juga masih tetap utuh beberapa waktu setelah dikuburkannya; maka jika diketemukan jasad seseorang yang masih utuh setelah beberapa lama dikuburkan, keadaan dirinya dapat di-qiyas-kan kepada Nabi dan para shahabat. Immaa orang tersebut adalah ahli surga, immaa – minimal – ia adalah kekasih Allah yang keshalihannya dipersaksikan pada waktu hidupnya.

Ini adalah cara berpikir yang lucu. Bertentangan dengan riwayat dan juga fakta.

Bahwasannya ada sebagian jasad manusia yang tetap utuh, maka itu merupakan kehendak Allah ta’ala.

فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ

“Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya” [QS. Al-Buruuj : 16].

Namun, tidakkah kita membaca firman Allah ta’ala tentang Fir’aun :

وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْيًا وَعَدْوًا حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنْتُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ * آلآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ * فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ

“Dan Kami memungkinkan Bani Israel melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Firaun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Firaun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israel, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami” [QS. Yuunus : 90-92].

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :

وقوله: { فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً } قال ابن عباس وغيره من السلف: إن بعض بني إسرائيل شكُّوا في موت فرعون، فأمر الله تعالى البحر أن يلقيه بجسده بلا روح، وعليه درعه المعروفة [به] على نجوة من الأرض وهو المكان المرتفع، ليتحققوا موته وهلاكه؛ ولهذا قال تعالى: { فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ } أي: نرفعك على نَشز من الأرض، { بِبَدَنِك } قال مجاهد: بجسدك. وقال الحسن: بجسم لا روح فيه. وقال عبد الله بن شداد: سويا صحيحا، أي: لم يتمزق ليتحققوه ويعرفوه. وقال أبو صخر: بدرعك

“Tentang firman-Nya : ‘Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu’ (QS. Yuunus : 92). Ibnu ‘Abbaas dan yang lainnya dari kalangan salaf berkata : ‘Sesungguhnya sebagian Bani Israaiil ragu akan kematian Fir’aun. Maka Allah ta’ala memerintahkan kepada laut untuk melemparkan jasadnya yang sudah tanpa nyawa (ruh) ke dataran tinggi, dengan masih mengenakan baju besi yang ia dikenal dengannya; agar supaya mereka (Bani Israaiil) yakin akan kematiannya. Oleh karena itu Allah ta’ala berfirman : ‘Maka pada hari ini Kami selamatkan kamu’, yaitu : Kami angkat jasadmu ke tanah yang tinggi. Tentang firman-Nya : ‘bi-badanika (‘dengan badanmu’), Mujaahid berkata : ‘Dengan jasadmu’. Al-Hasan berkata : ‘Dengan tubuh (jism) tanpa nyawa/ruh padanya’. ‘Abdullah bin Syaddaad berkata : ‘Masih dalam utuh, tidak robek, agar mereka yakin dan mengetahuinya” [Tafsir Ibni Katsiir, 4/294].

Allah ta’ala telah mengkhususkan penyelamatan badan Fir’aun secara khusus dari balaa’ yang menimpanya di lautan yang kemudian mengabadikannya dalam Al-Qur’an, dapat dipahami bahwa hal ini merupakan fenomena di luar kebiasaan normal. Atau lazimnya, balaa’ yang menimpa Fir’aun itu akan menyebabkan rusaknya jasad.

Orang Kristen/Katholik pun punya tokoh yang mereka klaim sebagai orang-orang suci yang jasadnya masih utuh setelah ratusan tahun meninggal. Silakan baca di sini, dan di sini.

Begitu juga dengan orang China. Mereka punya ‘tokoh’ yang tersimpan di museum yang jasadnya masih utuh setelah lewat lebih dari 2.100 tahun. Silakan baca di sini.

So, tidak ada hubungannya – sekali lagi – antara penemuan jasad yang masih utuh dengan surga atau kewalian atau keshalihan.

‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu tidak membutuhkan riwayat yang menjelaskan kakinya masih utuh setelah lewat puluhan tahun dari kesyahidannya (sebagaimana riwayat ‘Urwah di atas), untuk menegaskan keshalihan dan jaminan surga baginya. Sebab, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melalui lisannya yang mulia telah menegaskan kebaikan dan jaminan surga bagi ‘Umar.

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي حَفْصَةَ، وَالْأَعْمَشِ، وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ صَهْبَانَ، وَابْنِ أَبِي لَيْلَى، وَكَثِيرٍ النَّوَّاءِ كُلِّهِمْ، عَنْ عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ أَهْلَ الدَّرَجَاتِ الْعُلَى لَيَرَاهُمْ مَنْ تَحْتَهُمْ كَمَا تَرَوْنَ النَّجْمَ الطَّالِعَ فِي أُفُقِ السَّمَاءِ، وَإِنَّ أَبَا بَكْرٍ، وَعُمَرَ مِنْهُمْ وَأَنْعَمَا "

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah[18] : Telah menceritakan Muhammad bin Fudlail[19], dari Saalim bin Abi Hafshah[20], Al-A’masy[21], ‘Abdullah bin Shahbaan[22], Ibnu Abi Lailaa[23], dan Katsiir An-Nawaa’[24], semuanya dari ‘Athiyyah[25], dari Abu Sa’iid, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya derajat penghuni surga yang paling tinggi benar-benar akan melihat orang-orang yang ada di bawah mereka sebagaimana kalian melihat bintang terbit di ufuk langit. Dan sesungguhnya Abu Bakr dan ‘Umar termasuk di antara mereka dan yang paling baik” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3658; sanadnya lemah karena faktor ‘Athiyyah, namun hasan dengan keseluruhan jalannya].

حدثنا قتيبة حدثنا عبد العزيز بن محمد عن عبد الرحمن بن حميد عن أبيه عن عبد الرحمن بن عوف قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أبو بكر في الجنة وعمر في الجنة وعثمان في الجنة وعلي في الجنة وطلحة في الجنة والزبير في الجنة وعبد الرحمن بن عوف في الجنة وسعد في الجنة وسعيد في الجنة وأبو عبيدة بن الجراح في الجنة

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad[26], dari ‘Abdurrahmaan bin Humaid[27], dari ayahnya[28], dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf[29], ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Abu Bakr di surga, ‘Umar di surga, ‘Utsmaan di surga, ‘Aliy di surga, Thalhah di surga, Az-Zubair di surga, ‘Abdurrahmaan in ‘Auf di surga, Sa’d di surga, Sa’iid di surga, dan Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarraah di surga” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3747. Diriwayatkan juga oleh Ahmad 1/193 dan dalam Al-Fadlaail no. 278, An-Nasaa’iy dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 91, Abu Ya’laa no. 835, Ibnu Hibbaan no. 7002, dan yang lainnya; shahih].

Begitu juga dengan ayah Jaabir. Statusnya adalah shahabat generasi awal yang mulia dan syuhadaa’ Uhud yang mempunyai keutamaan secara khusus.

وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” [QS. At-Taubah : 100].

حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ يعْنِي ابْنَ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، سَمِعْتُ عَبْدَ رَبٍّ يُحَدِّثُ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ ابْنِ جَابِرٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ فِي قَتْلَى أُحُدٍ: " لَا تُغَسِّلُوهُمْ، فَإِنَّ كُلَّ جُرْحٍ أَوْ كُلَّ دَمٍ، يَفُوحُ مِسْكًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ " وَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِم

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far[30] : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah[31] : Aku mendengar ‘Abdu Rabb[32] menceritakan dari Az-Zuhriy[33], dari Ibnu Jaabir, dari Jaabir bin ‘Abdillah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Bahwasannya beliau pernah bersabda tentang orang-orang yang gugur di perang Uhud : “Jangan mandikan mereka. Sesungguhnya setiap luka atau darah akan semerbak baunya pada hari kiamat”. Beliau tidak menyalatkan mereka [Diriwayatkan oleh Ahmad, 3/299; shahih].

Ibnu Jaabir dalam sanad tersebut tidak disebutkan namanya. Jaabir bin ‘Abdillah mempunyai tiga orang anak, yaitu ‘Abdurrahmaan[34], Muhammad[35], dan ‘Aqiil[36]. Namun Ibnu Jaabir yang meriwayatkan darinya Az-Zuhriy di situ adalah ‘Abdurrahmaan sebagaimana dijelaskan Ad-Daaruquthniy dalam Al-‘Ilal, sehingga sanadnya adalah shahih. Wallaahu a’lam.

Apakah ada nash semisal tentang dua orang di atas yang menyatakan keshalihan, kebaikan, dan jaminan (Allah) kepada orang-orang yang jasadnya utuh ditemukan (baik ditemukan di atas tanah atau di dalam/bawah tanah) ?.

Beberapa waktu lalu kita mendengar peristiwa pembongkaran makam seorang kiyai yang telah meninggal lebih dari dua puluh tahun. Ternyata, jasadnya masih relatif utuh. Bagaimana penyikapan masyarakat ?. Ada yang menyimpan papan lahadnya. Ada yang meminta ininya, itunya, dan yang lainnya. Beredar anggapan bahwa jasad seorang kiyai memang tidak akan membusuk setelah dikuburkan. Sama seperti peristiwa amblesnya makam seorang tokoh nasional awal tahun ini. Desas-desus mengatakan bahwa kain kafan dan jasadnya masih utuh, belum membusuk dimakan tanah. Ada yang menjustifikasi yang bersangkutan adalah wali Allah. Apalagi dikuatkan, katanya, munculnya sinar dari dalam makam dan peristiwa amblesnya bertepatan dengan Maulid Nabi. Orang-orang pun ramai berziarah dan berebut mengantongi sekepal tanah makam untuk dibawa ke rumah.

Negeri kita tercinta ini sudah dikenal sebagai negeri ‘surga’ bagi pecinta khurafaat. Cukup dapat dimaklumi, karena warisan budaya/agama Hindu dan animisme masih berakar kuat. Banyak orang yang berkreasi dalam syari’at menghasilkan berbagai jenis khurafaat yang tidak dikenal dalam ajaran Islam. Khurafaat memang berbahaya. Ia mampu menjadikan akal manusia terpelajar yang kenal nuklir dan komputer, kembali ke peradaban jaman batu. Kepercayaan jasad utuh dari seseorang sebagai tanda kewalian dan ‘jaminan’ surga, termasuk salah satunya. Tidak peduli apa dan bagaimana sejarah hidup orang ini memberitakan. Apakah ia mukmin, fasiq, atau kafir sekalipun. Apakah ia orang yang menghidupkan sunnah, merusak sunnah, atau bahkan memerangi sunnah.

Seandainya kita melihat atau mendengar kejadian diketemukannya jasad utuh seorang muslim sebagaimana di atas, maka yang patut kita lakukan adalah mendoakannya. Karena ia (orang yang mati tersebut) membutuhkan doa dari orang-orang yang hidup (agar diampuni dosanya dan diterima segala amal kebaikannya). Lain halnya dengan orang kafir, tidak ada hak bagi kita mendoakannya, karena telah tetap balasan bagi kekafiran adalah neraka.

Semoga Allah ta’ala memberikan petunjuk bagi kita semua.

Wallaahul-musta’aan.

Semoga tulisan kecil ini ada manfaatnya.

[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai, dzulhijjah 1432 H].



[1] Ishaaq bin Manshuur bin Bahraam Al-Kuusij, Abu Ya’quub At-Taimiy Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-11, dan wafat tahun 251 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 132 no. 388].

[2] Al-Husain bin ‘Aliy bin Al-Waliid Al-Ju’fiy, Abu ‘Abdillah/Muhammad Al-Kuufiy Al-Muqri’; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 203 H/204 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 249 no. 1344].

[3] ‘Abdurrahmaan bin Yaziid bin Jaabir Al-Azdiy, Abu ‘Utbah As-Sulamiy Asy-Syaamiy Ad-Dimasyqiy Ad-Daaraaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat tahun 153 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 604 no. 4068].

[4] Syaraahiil bin Aadah, Abul-Asy’ats Ash-Shan’aaniy – dikatakan juga : Syaraahiil bin Syarahbiil bin Kulaib bin Aadah – dikatakan juga Syaraahiil bin Syaraahiil; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-2. Diapakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 433 no. 2776].

[5] Aus bin Aus Ats-Tsaqafiy; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk thabaqah ke-1, wafat di Damaskus. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 155 no. 577].

[6] ‘Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab Al-Qa’nabiy Al-Haaritsiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Madaniy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid – Ibnu Ma’iin dan Ibnul-Madiiniy tidak mengedepankan seorangpun dalam periwayatan Al-Muwaththa’ darinya. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 221 di Makkah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 547 no. 3645].

[7] Maalik bin Anas bin Maalik bin Abi ‘Aamir bin ‘Amru Al-Ashbahiy Al-Humairiy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy Al-Faqiih; imam Daarul-Hijrah, tsiqah, yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 93 H, dan wafat tahun 179 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 913 no. 6465].

[8] ‘Abdullah bin Dzakwaan Al-Qurasyiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Madaniy – dikenal dengan nama Abuz-Zinaad; seorang yang tsiqah lagi faqiih. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 130 H atau setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 504 no. 3322].

[9] ‘Abdurrahmaan bin Hurmuz Al-A’raj, Abu Daawud Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aalim. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 117 H di Iskandariyyah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 603 no. 4060].

[10] Musaddad bin Musarhad bin Musarbal bin Mustaurid Al-Asadiy Abul-Hasan Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 228 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 935 no. 6642].

[11] Bisyr bin Al-Mufadldlal bin Laahiq Ar-Raqqaasyiy, Abu Ismaa’iil Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 186 H/187 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 171 no. 710].

[12] Al-Husain bin Dzakwaan Al-Mu’allim Al-Muktib Al-‘Audziy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, namun kadang ragu. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 145 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 247 no. 1329].

[13] ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah (namanya Aslam) Al-Qurasyiy Al-Fihriy, Abu Muhammad Al-Makkiy; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi faadlil, akan tetapi banyak melakukan irsal. Termasuk thabaqah ke-3, wafat tahun 114 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 677 no. 4623].

[14] Farwah bin Abil-Maghraa’ Ma’dikarib Al-Kindiy, Abul-Qaasim Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-10, wafat tahun 225 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan At-Tirmidziy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 780-781 no. 5425].

[15] ‘Aliy bin Mus-hir Al-Qurasyiy, Abul-Hasan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 189 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 705 no. 4834].

[16] Hisyaam bin ‘Urwah bin Az-Zubair bin Al-‘Awwaam Al-Qurasyiy Al-Asadiy, Abul-Mundzir; seorang yang tsiqah lagi faqiih. Termasuk thabaqah ke-5, wafat tahun 145/146 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. no. 1022 no. 7352].

[17] ‘Urwah bin Az-Zubair bin Al-‘Awwaam bin Khuwailid bin Asad Al-Qurasyiy Al-Asadiy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3, wafat tahun 94 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1022 no. 7352].

[18] Qutaibah bin Sa’iid bin Jamiil bin Thariif bin ‘Abdillah Ats-Tsaqafiy, Abu Rajaa’ Al-Balkhiy Al-Baghlaaniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun tahun 150 H, dan wafat tahun 240 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [lihat : Tahdziibul-Kamaal 23/523-537 no. 4852, Tahdziibut-Tahdziib 8/358-361 no. 641, dan Taqriibut-Tahdziib, hal. 799 no. 5557].

[19] Muhammad bin Fudlail bin Ghazwaan bin Jariir Adl-Dlabbiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq, namun dikenal mempunyai pemahaman tasysyyu’. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 295 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 889 no. 6267].

[20] Saalim bin Abi Hafshah Al-‘Ijliy, Abu Yuunus Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq dalam hadits, namun syi’iy ekstrim. Termasuk thabaqah ke-4, dan wafat tahun 140 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad dan At-Tirmidziy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 359 no. 2184].

[21] Sulaimaan bin Mihraan Al-Asadiy Al-Kaahiliy – terkenal dengan nama Al-A’masy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aalim terhadap qira’aat. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 147/148 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 414 no. 2630].

[22] ‘Abdullah bin Shuhbaan Al-Asadiy, Abu ‘Anbas Al-Kuufiy; seorang yang disifati ; layyinul-hadiits. Termasuk thabaqah ke-7, dan dipakai oleh At-Tirmidziy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 516 no. 3416].

[23] Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Abi Lailaa Al-Anshaariy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Kuufiy Al-Qaadliy Al-Faqiih; seorang yang faqiih, namun jelek hapalannya.

Al-Bukhaariy berkata : “Aku tidak meriwayatkan sedikitpun dari Ibnu Abi Lailaa”. Ia juga berkata : “Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Lailaa jujur, namun tidak diketahui mana yang shahih dan yang dla’iif dari haditsnya, maka haditsnya sangat dilemahkan”.

Al-‘Ijliy berkata : “Orang Kuffah yang jujur lagi tsiqah”. Abu Zur’ah berkata : “Laki-laki yang mulia/terhormat”. Abu Haatim berkata : “Ibnu Abi Lailaa jelek hapalannya (sayyi’ul-hifdhi)”. Al-Fasawiy berkata : “Faqiih, tsiqah, ‘adil. Namun dalam haditsnya ada sebagian kritikan. Layyinul-hadiits”.

At-Tirmidziy berkata : “Sebagian ulama telah memperbincangkan Ibnu Abi Lailaa dari sisi hapalannya. Ahmad berkata : ‘Tidak boleh berhujjah dengan hadits Ibnu Abi Lailaa”. Di bagian lain At-Tirmidziy juga berkata : “Ibnu Abi Lailaa shaduuq faqiih, hanya saja ia keliru dalam (penyampaian) sanad”. Al-Bazzaar berkata : “Tidak haafidh(laisa bi-haafidh)”.

An-Nasaa’iy berkata : “Hakim kota Kuffah, salah seorang di antara ahli fiqh, namun tidak kuat dalam hadits”.

Ad-Daaruquthniy berkata : “Tsiqah, dalam hapalannya ada sesuatu”. Di lain tempat ia berkata : “Jelek hapalan, banyak kelirunya (radi’ul-hifdh, katsiirul-wahm)”. Di lain tempat ia juga berkata : “Jelek hapalannya (sayyi’ul-hifdh)”.

Ahmad bin Hanbal berkata : “Ia orang yang jelek hapalannya, mudltharibul-hadiits.Fiqh Ibnu Abi Lailaa lebih kami sukai daripada haditsnya; dalam haditsnya idlthiraab”. Di lain tempat ia berkata : “Ibnu Abi Lailaa dla’iif. Dalam periwayatan dari ‘Athaa’, ia banyak salahnya”.

Ibnu Ma’iin berkata : “Laisa bi-dzaaka”. Di lain tempat ia berkata : “Sangat jelek dalam hapalannya”. Syu’bah berkata : “Aku tidak melihat orang yang lebih jelek hapalannya daripada Ibnu Abi Lailaa”. Ahmad bin Yuunus berkata : “Zaaidah tidak meriwayatkan hadits dari Ibnu Abi Lailaa, dan ia meninggalkan haditsnya”. Pernah disebutkan Ibnu Abi Lailaa di sisi Zaaidah, lalu ia berkata : “Ia orang yang paling faqih di antara penduduk dunia. Dan dalam hadits ‘Aliy (bin Syihaab), ia adalah orang yang paling tahu tentang diri kami”.

Abu Haatim berkata : “Tempatnya kejujuran. Namun ia seorang yang lemah hapalannya. Ia tersibukkan dalam urusan pengadilan (karena profesinya sebagaiqadliy), lalu menjadi buruk hapalannya (di bidang hadits). Tidak tertuduh berdusta, hanya saja ia diingkari karena banyaknya kesalahan (yang ia lakukan). Ditulis haditsnya, namun tidak boleh berhujjah dengannya”.

Ibnu ‘Adiy berkata : “Bersamaan dengan kelemahan hapalannya, ia ditulis haditsnya”. Abu Ahmad Al-Haakim berkata : “Kebanyakan haditsnya terbalik (maqluubah)”. As-Saajiy berkata : Ia seorang yang jelek hapalannya, tidak berdusta, dipuji dalam hal keutamaanya. Adapun dalam hadits, ia tidak digunakan sebagai hujjah”. Ibnu Khuzaimah berkata : “Tidak haafidh, meskipun ia seorang yang faqih lagi‘alim”. Ibnu Hajar berkata : “Jujur, sangat jelek dalam hapalan”.

[lihat : Al-Jarh wat-Ta’diil 7/322-323 no. 1739, Tahdziibul-Kamaal 25/622-628 no. 5406,Tahdziibut-Tahdziib 9/301-303 no. 503, Taqriibut-Tahdziib, hal. 871 no. 6121, dan Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 3/38-40].

[24] Katsiir bin Ismaa’iil atau bin Naafi’ An-Nawaa’, Abu Ismaa’iil At-Taimiy Al-Kuufiy; seorang yang dla’iif. Termasuk thabaqah ke-6, dan dipakai oleh At-Tirmidziy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 807 no. 5640].

[25] ‘Athiyyah bin Sa’d bin Janaadah Al-‘Aufiy Al-Jadaliy Al-Qaisiy Al-Kuufiy, Abul-Hasan. Ia telah dilemahkan oleh jumhur ahli hadiits.

Ahmad berkata : “Dla’iiful-hadiits. Telah sampai kepadaku bahwasannya ‘Athiyyah mendatangi Al-Kalbiy dan mengambil darinya tafsir, dan ‘Athiyyah memberikan kunyah kepadanya (Al-Kalbiy) Abu Sa’iid. Kemudian (saat meriwayatkan) ia berkata : ‘Telah berkata Abu Sa’iid’. Husyaim telah mendla’ifkan hadits ‘Athiyyah” [Al-‘Ilal, no. 1306 dan Al-Kaamil 7/84 no. 1530]. Ahmad juga berkata : “Sufyan – yaitu Ats-Tsauriy – telah mendla’ifkan hadits ‘Athiyyah” [Al-‘Ilal, no. 4502]. Yahyaa bin Ma’iin dalam riwayat Ad-Duuriy berkata : “Shaalih” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/383 no. 2125]. Namun dalam riwayat lain, seperti Abul-Waliid bin Jaarud, Ibnu Ma’iin berkata : “Dla’iif” [Adl-Dlu’afaa’ Al-Kabiir, hal. 1064 no. 1395]. Juga riwayat Ibnu Abi Maryam, bahwasannya Ibnu Ma’iin berkata : “Dla’iif, kecuali jika ia menuliskan haditsnya” [Al-Kaamil, 7/84 no. 1530]. Abu Haatim berkata : “Dla’iiful-hadiits, ditulis haditsnya. Abu Nadlrah lebih aku sukai daripadanya” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/383 no. 2125]. Abu Zur’ah berkata : “Layyin(lemah)” [idem]. An-Nasaa’iy berkata : “Dla’iif” [Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun no. 481]. Al-Bukhaariy berkata : “Telah berkata Ahmad terhadap hadits ‘Abdul-Malik dari ‘Athiyyah, dari Abu Sa’iid : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Telah aku tinggalkan pada kalian ats-tsaqalain…’ : “Hadits-Hadits orang-orang Kuffah ini munkar” [Taariikh Ash-Shaghiir, 1/267]. Abu Dawud berkata : “Ia bukan termasuk orang yang dipercaya (dapat dijadikan sandaran)” [Suaalaat Abi ‘Ubaid Al-Aajuriiy, hal. 105 no. 24]. Ad-Daaruqthniy berkata : “Mudltharibul-hadiits” [Al-‘Ilal, 4/291]. Di tempat lain ia juga berkata : “Dla’iif” [As-Sunan, 4/39 – dari Mausu’ah Aqwaal Ad-Daaruquthniy, hal. 453]. Ibnu ‘Adiy berkata : “Bersamaan dengan kedla’ifannya, ia ditulis haditsnya” [Al-Kaamil, 7/85]. Ibnu Sa’d berkata : “Ia tsiqah, insya Allah. Memiliki hadits-hadits yang baik dan sebagian orang tidak menjadikannya sebagai hujjah” [Thabaqaat Ibni Sa’ad, 6/304]. Al-‘Ijliy berkata : “Orang Kuffah yang tsiqah, namun tidak kuat (haditsnya)” [Ma’rifatuts-Tsiqaat, 2/140 no. 1255]. Ibnu Syaahiin berkata : “Tidak mengapa dengannya, sebagaimana dikatakan Ibnu Ma’iin” [Taariikh Asmaa’ Ats-Tsiqaat, hal. 247 no. 970]. Adz-Dzahabiy berkata : “Para ulama telah mendla’ifkannya” [Al-Kaasyif 2/27 no. 3820]. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, banyak salahnya, orang Syi’ah mudallis” [Tahriirut-Taqriib 3/20 no. 4616].

[lihat juga : Tahdziibul-Kamaal, 20/145-149 no. 3956 dan Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 2/209 no. 2937.

[26] ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad bin ‘Ubaid Ad-Daraawardiy, Abu Muhammad Al-Juhhaniy. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 186 H/187 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah. Ada beberapa komentar ulama tentangnya :

Mush’ab bin ‘Abdillah bin Az-Zubair berkata : “Maalik bin Anas mentsiqahkan Ad-Daraawardiy”. Ahmad berkata : “Ia seorang yang ma’ruuf sebagai seorang pencari hadits. Apabila ia meriwayatkan dari kitabnya, maka shahih. Namun bila ia meriwayatkan dari kitab-kitab milik orang lain, ada keraguan. Ia membaca kitab-kitab mereka, lalu keliru. Kadang ia membalikkan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar, dimana ia meriwayatkannya (menjadi) dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Ad-Daraawardiy lebih tsabt daripada Fulaih bin Sulaimaan, Ibnu Abiz-Zinaad, dan Abu Aus. Ad-Daraawardiy kemudian Ibnu Abi Haazim”. Di lain riwayat ia berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Di lain riwayat ia berkata : “Tsiqah hujjah”. Abu Zur’ah berkata : “Jelek hapalan. Kadang meriwayatkan dari hapalannya, ada sesuatu padanya, lalu ia keliru”. Abu Haatim berkata : “Muhaddits”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak kuat”. Di lain riwayat ia berkata : “Tidak mengapa dengannya. Adapun haditsnya yang berasal dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar adalah munkar”. Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah, banyak mempunyai hadits, melakukan beberapa kekeliruan” [Lihat : Tahdziibul-Kamaal, 18/187-195 no. 3470]. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, dan berkata : “Sering keliru (yukhthi’)”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. As-Saajiy berkata : “Ia termasuk orang-orang yang jujur dan amanah, akan tetapi ia mempunyai banyak keraguan” [lihat :Tahdziibut-Tahdziib, 6/353-355 no. 680].

Al-Bardza’iy pernah berkata : Aku pernah bertanya lepada Abu Zur’ah : “Fulaih bin Sulaimaan, ‘Abdurrahmaan bin Abiz-Zinaad, Abu Aus, Ad-Daraawardiy, dan Ibnu Abi Haazim, mana di antara mereka yang lebih engkau senangi ?”. Ia menjawab : “Ad-Daraawardiy dan Ibnu Abi Haazim lebih aku senangi daripada mereka semua” [Suaalaat Al-Bardza’iy lembar 424-425]. Ya’quub bin Sufyaan berkata : “’Abdul-‘Aziiz di sisi penduduk Madiinah adalah seorang imam yang tsiqah” [Al-Ma’rifatu wat-Taariikh, 1/349].

Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, namun ia meriwayatkan dari kitab-kitab orang lain lalu keliru” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 615 no. 4147]. Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth berkata : “Tsiqah” [Tahriirut-Taqriib, 2/371 no. 4119]. Abu Ishaaq Al-Huwainiy berkata : “Tsiqah” [Natslun-Nabaal bi-Mu’jamir-Rijaal, hal. 801-802 no. 1852]. Al-Albaaniy berkata : “Tsiqah” [Al-Irwaa’, 1/295].

Kesimpulannya : Ia seorang yang tsiqah yang sedikit mendapat kritikan di jurusan hapalannya. Khusus riwayatnya dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar mendapat pengingkaran sehingga dilemahkan sebagian ulama.

[27] ‘Abdurrahmaan bin Humaid bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al-Qurasyiy Az-Zuhriy Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 137 H di ‘Iraaq. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 576 no. 3871].

[28] Humaid bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al-Qurasyiy Az-Zuhriy, Abu Ibraahiim/’Abdirrahmaan/’Utsmaan Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-2, dan wafat tahun 105 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 275 no. 1561].

[29] ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf bin ‘Abdi ‘Auf bin ‘Abdil-Haarits bin Zahrah Al-Qurasyiy, Abu Muhammad Az-Zuhriy; salah seorang shahabat Nabi yang mulia. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 32 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 594 no. 3999].

[30] Muhammad bin Ja’far Al-Hudzaliy, Abu ‘Abdillah Al-Bashriy – terkenal dengan nama Ghundar; seorang yang tsiqah shahiihul-kitaab, namun padanya ada kelalaian. Termasuk thabaqah ke-9, wafat tahun 293/294 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 833 no. 5824].

[31] Syu’bah bin Al-Hajjaaj bin Al-Ward Al-‘Atakiy Al-Azdi, Abu Busthaam Al-Waasithiy; seorang yang tsiqah, haafidh, mutqin, dan disebut Ats-Tsauriy sebagai amiirul-mukminiin fil-hadiits. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 160 H di Bashrah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 436 no. 2805].

[32] Yang benar adalah : ‘Abdu Rabbih.

‘Abdu Rabbihi bin Sa’iid bin Qais bin ‘Amru Al-Anshaariy An-Najjaariy Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-5, wafat tahun 139 H/140 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 568 no. 3810].

[33] Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihaab bin ‘Abdillah Al-Qurasyiy Az-Zuhriy, Abu Bakr Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, faqiih, hafiidh, lagi mutqin. Termasuk thabaqah ke-4, wafat tahun 125 H, atau dikatakan sebelumnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 896 no. 6336].

[34] ‘Abdurrahmaan bin Jaabir bin ‘Abdillah Al-Anshaariy, Abu ‘Atiiq Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 573 no. 3849].

[35] Muhammad bin Jaabir bin ‘Abdillah Al-Anshaariy As-Sulamiy Al-Madaniy; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-5, dipakai Abu Daawud dalam Fadlaailul-Anshaar [Taqriibut-Tahdziib, hal. 832 no. 5815].

[36] ‘Aqiil bin Jaabir bin ‘Abdillah Al-Anshaariy Al-Madaniy; seorang yang maqbuul. Termasuk thabaqah ke-4, dan dipakai oleh Abu Daawud [Taqriibut-Tahdziib, hal. 686 no. 4693].