Saturday, March 31, 2012

MEMBONGKAR KESESATAN SUFI (bahagian II, sorotan terhadap sufi )

SOROTAN TERHADAP TASAWWUF

Beberapa komentar tentang tasawwuf akan menjelaskan bahwa sebenarnya tasawwuf itu berasal dari luar Islam. Berikut ini komentar para ulama dan ilmuwan yang menyoroti tasawwuf.

Syaikh Ihsan Ilahi Dhahir rahimahullah menulis:

“Ketika kita memperhatikan dengan teliti tentang ajaran sufi yang pertama dan terakhir, serta pendapat-pendapat yang dikutip dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab sufi, baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara sufi dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Begitu juga kita tidak melihat adanya bibit-bibit sufi di dalam perjalanan hidup Nabi saw dan para sahabat beliau, yang mereka itu adalah (sebaik-baik) pilihan Allah dari kalangan makhluk-Nya. Tetapi kita bisa melihat bahwa sufi diambil dari percikan kependetaan Nasrani, Brahmana (Hindu), Yahudi, dan kezuhudan Agama Budha.” (Ihsan Ilahi Dhahir, At-Tashawwuf al-Mansya’ wal Mashadir hal 27, seperti dikutip Syaikh Dr Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Haqiqatut Tashawwuf / diterjemahkan menjadi Hakikat Tasawuf, Pustaka As-Salaf, Cet I, 1998/ 1419H, hal 19).

Komentar ilmuwan lainnya hampir sama.

“Jelas bahwa tasawwuf memiliki pengaruh dari kehidupan para pendeta Nasrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara. Dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika Islam membebaskan setiap negeri dengan tauhid.” (Dr Shobir Tho’imah, Ash-Shufiyyah Mu’taqadan wa Masla­kan, Riyadh, Cet I, 1985M/ 1405H, hal 25, ibid hal 19).

Lebih jelas lagi, komentar berikut ini: “Sesungguhnya tasaw­wuf itu adalah tipuan/ makar paling hina dan tercela. Syetan telah membuatnya untuk menipu para hamba Allah dan memerangi Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Sesungguhnya tasawwuf adalah topeng kaum Majusi agar ia terlihat sebagai orang yang Rabbani (taat pada Tuhan), bahkan juga topeng semua musuh agama ini (Islam). Bila diteliti ke dalam akan ditemui di dalamnya (ajaran kaum sufi, ed) ada Brahmaisme, Budhisme, Zaratuisme, Platoisme, Yahudisme, Nasranisme, dan Paganisme/ Berhalaisme.” (Syaikh Abdur Rahim Al-Wakil rahimahullah, Mashra’ut Tashawwuf, hal 19, ibid hal 19).

Syaikh Al-Fauzan menyimpulkan:

“Jelaslah bahwa sufi adalah ajaran (dari) luar yang menyusup ke dalam Islam. Hal itu tampak dari kebiasaan-kebiasaan yang dinisbatkan kepadanya. Sufi adalah suatu ajaran yang asing (aneh) di dalam Islam dan jauh dari petunjuk Allah ‘Azza wa Jalla.

Yang dimaksud dengan kalangan sufi yang belakangan adalah mereka yang sudah banyak berisi dengan kebohongan. Adapun sufi yang dahulu, mereka masih berada di dalam keadaan netral, seperti Al-Fudhail bin ‘Iyadh, Al-Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain-lain.” (Syaikh Dr Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, terjemah Hakikat Tasawwuf, hal 20).

Ucapan-ucapan Orang Shufi Sangat Tidak Layak

Ibnul Jauzi (w 597H) dalam Kitabnya, Talbis Iblis mencontohkan betapa ekstrimnya bualan orang sufi, hingga melewati batas dan menentang Allah SWT.
Karena orang-orang sufi jauh dari ilmu, ungkap Ibnul Jauzi, maka perhatian mereka tertuju kepada amal, lalu mereka sepakat menunjukkan kelemahlembutan yang menyerupai karamah, lalu mereka mengeluarkan berbagai macam bualan.

Diriwayatkan, Abu Yazid Al-Busthamy (tokoh sufi) berkata, “Aku ingin andaikata saja hari Kiamat sudah tiba, sehingga aku bisa memancangkan kemah di Neraka Jahannam.”

“Mengapa begitu wahai Abu Yazid?” tanya seseorang.

Dia menjawab, “Sebab aku tahu bahwa jika Jahannam melihatku, maka apinya akan padam, sehingga aku bisa menolong orang lain.”

Abu Musa As-Syibli berkata, saya mendengar Abu Yazid berkata: “Apabila telah ada hari Kiamat dan Dia memasukkan ahli surga ke surga dan ahli neraka ke neraka, maka mintakanlah padaNya untuk memasukkanku ke neraka. Lalu ditanyakan padanya (Abu Yazid), kenapa? Dia berkata: “Sehingga para makhluk tahu bahwa kebaikan­-Nya dan kelemahlembutanNya di dalam neraka menyertai para wali­-Nya.”

Komentar Ibnul Jauzi: “Benar-benar perkataan yang sangat menji­jikkan, karena dia telah menghinakan apa yang diagungkan Allah, yaitu perintah-Nya kepada Neraka. Padahal Allah juga telah pan­jang lebar menjelaskan masalah Neraka ini, seperti firman-Nya:

”Maka peliharalah diri kalian dari api neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu.” (Al-Baqarah: 24).

“Apabila Neraka itu melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya.” (QS Al-Furqan/25:12).

Dari Abu Hurairah ra, dia berkata,
“Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya neraka kalian ini, yang dinyalakan dengan Bani Adam, merupakan satu bagian dari tujuh puluh bagian dari panas Jahannam.”

Para sahabat berkata, “Demi Allah, itu benar-benar sudah cukup wahai Rasulullah.”

Beliau bersabda,
“Jahannam itu dilebihkan enam puluh tujuh bagian, yang semuanya seperti itu panasnya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).

Dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi saw, beliau bersabda:
Yu’taa bijahannama yaumaidzin lahaa sab’uuna alfa zimaamin ma’a kulli zimaamin sab’uuna alfa malakin yajurruunahaa.”

“Jahannam didatangkan pada hari itu ia memiliki tujuh puluh ribu belenggu, serta setiap belenggu dijaga 70.000 malaikat yang menyeretnya.” (HR Muslim). (Talbis Iblis, hal 341-342).

Dari Al-Junaid bin Muhammad, dia berkata, “Kemarin ada seseorang yang ingin bertemu denganku, yang berasal dari Bustham. Dia bercerita tentang Abu Yazid Al-Busthami yang pernah berkata, “Ya Allah, seandainya sudah ada dalam pengetahuan-Mu bahwa Engkau akan mengadzab seseorang dari hamba-Mu dengan api neraka, maka agungkanlah penciptaanku, agar dengan keberadaanku Engkau tidak mengadzab selainku.”

Komentar Ibnul Jauzi, “Dari semua pernyataannya ini bisa dilihat secara jelas bagaimana keburukan perangainya. Terutama bualannya yang terakhir, sangat nyata kesalahannya, yang bisa dilihat dari tiga segi:

1. Tentang perkataannya, “Seandainya sudah ada dalam pengetahuan-Mu”, kita sudah tahu bahwa Allah pasti akan mengadzab makhluk dengan api neraka, dan Allah telah menyebutkan sebagian nama-nama makhluk itu, seperti Fir’aun dan Abu Lahab. Maka bagaimana mungkin dikatakan “Seandainya”, jika sudah ada kepastian dan keputusan?

2. Tentang perkataannya, “Maka agungkanlah penciptaanku, agar dengan keberadaanku Engkau tidak mengadzab selainku”, berarti dia juga berbelas kasihan terhadap orang-orang kafir. Masih mendingan jika dia berkata, “Agar aku dapat membela orang-orang Mukmin.” Yang pasti, bualannya itu merupakan kelancangan terhadap rahmat Allah.

3. Dia tidak tahu ketetapan Allah terhadap api neraka atau terlalu merasa yakin terhadap kesabaran dirinya. Padahal kedua-duanya tidak ada dalam dirinya. (Talbis Iblis, hal 246, terjema­hannya –Perangkap Syetan– Pustaka Al-Kautsar Jakarta, cet I, hal 288).

Ibnul Jauzi mencontohkan bualan sufi lain lagi sebagai beri­kut:

Ibnu Aqil pernah menuturkan dari Asy-Syibli (tokoh sufi), bahwa dia berkata, sesungguhnya Allah telah berfirman:

“Dan kelak Rabbmu memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” (Ad-Dhuha: 5). Demi Allah, Muhammad saw tidak ridha karena di dalam neraka ada seorang dari ummatnya.”

Kemudian dia (Asy-Syibli) berkata, “Sesungguhnya Muhammad memintakan syafa’at bagi ummatnya, lalu aku memintakan syafa’at setelah beliau, bagi orang-orang yang ada di dalam neraka, se­hingga di sana tidak menyisa seorangpun.”

Ibnu Aqil berkata, “Anggapan Asy-Syibli yang pertama tentang Rasulullah saw (tidak ridha karena di dalam neraka
ada seorang dari ummatnya) adalah dusta, karena beliau ridha terhadap adzab yang dijatuhkan kepada orang-orang yang jahat. Dalam hubungannya dengan khamr (minuman keras) saja beliau sudah melaknat sepuluh orang. Maka bagaimana mungkin ada anggapan bahwa beliau tidak ridha terhadap adzab yang dijatuhkan kepada orang-orang dzalim? Tentu saja ini anggapan yang salah dan menunjukkan kebodohan (tokoh sufi tersebut) terhadap syari’at.

Bualannya (Asy-Syibli-tokoh sufi) bahwa dia bisa memintakan syafa’at bagi semua orang, yang berarti melampaui Rasulullah saw, jelas merupakan kekafiran. Sebab selagi orang memastikan dirinya termasuk penghuni surga, maka dia justru menjadi penghuni neraka.

Lalu bagaimana mungkin dia membual dan memberikan kesaksian atas dirinya, bahwa kedudukannya lebih tinggi daripada kedududukan Nabi dan bahkan melebihi kapasitas seorang Nabi yang memintakan syafa’at?

Ibnu Aqil berkata, yang mungkin aku punyai untuk melibas para ahli bid’ah adalah mulutku dan hatiku. Seandainya kemampuanku meluas ke dalam pedang pastilah aku aliri bumi dengan darah orang. (Talbis Iblis, hal 248, terjemahannya hal 290).

Diriwayatkan dari Abul Abbas bin Atha’, dia berkata, “Aku membaca Al-Quran, namun tidak kutemukan keterangan
di dalamnya bahwa Allah menyebutkan seorang hamba, memujinya dan menimpakan cobaan kepadanya. Maka aku memohon kepada Allah agar Dia menimpakan cobaan kepadaku. Tak seberapa lama setelah itu, aku kehilangan duapuluh orang anggota keluarga, semuanya meninggal dunia.”

Bahkan, menurut kisahnya, hartanya juga ludes, tak seorangpun keluarganya yang masih hidup dan dia menjadi gila. Ketika dia sudah sembuh, yang pertama kali dia ucapkan adalah: “Benar apa yang kukatakan. Rupanya Engkau (Allah) telah menimpakan cobaan kepadaku secara semena-mena. Aku harus menanggung kehendakMu. Namun sangat mencengangkan, karena aku masih bisa bersabar.”

Ibnul Jauzi berkomentar, “Karena kebodohanlah yang mendorong Abul Abbas (orang sufi) memohon cobaan atas dirinya. Berarti dia merasa hebat dan kuat. Yang seperti ini merupakan tindakan yang amat buruk. Apa yang dia katakan terhadap Allah sama sekali tidak layak.”

Abul Hasan Ali bin Ibrahim Al-Hushri (orang sufi) berkata: “Sejak lama aku tidak berlindung dari syetan jika aku hendak membaca Al-Quran. Karena siapakah syetan yang berani mendekati firman Allah?”

Komentar Ibnul Jauzi, “Tentu saja perkataannya ini bertentangan dengan firman Allah yang memerintahkan:

“Apabila kamu membaca Al-Quran, hendaklah kamu meminta perlindun­gan kepada Allah dari syetan yang terkutuk.” (An-Nahl: ayat 98).” (Talbis Iblis, hal 249, terjemahannya, hal 290).

Demikianlah sebagian dari bualan orang sufi yang diriwayatkan dan dikomentarai oleh Ibnul Jauzi, yang pada teks aslinya diri­wayatkan dengan nama-nama periwayatnya sebagaimana yang biasa diterapkan dalam periwayatan hadits yang disebut sanad.

Problema di masyarakat, nyleneh pun dianggap saleh

Kata-kata orang sufi itu secara sekilas menunjukkan kekhusyu­’an, keikhlasan, ketawadhu’an; namun hakekatnya justru merupakan bualan yang sangat jauh dari ajaran Islam, bahkan menentang ayat-ayat Allah SWT. Di sinilah salah satu bentuk kerancuan sufisme yang menjauhkan Islam dari pemahaman yang benar, namun sekaligus menjerat orang untuk tercebur dalam kesesatannya tanpa terasa, bahkan menganggap bahwa mereka telah masuk pada tahapan kesalehan. Celakanya, label kesalehan itupun disandangkan kepada orang sufi, sehingga orang sufi diidentikkan dengan orang saleh, lantas tahap lebih atasnya lagi adalah wali, yang kadang tingkahnya aneh-aneh, atau nyleneh, atau bahkan sangat melanggar syari’at pun tetap mereka anggap saleh. Karena wali telah mereka anggap di luar jangkauan orang awam, hingga keanehannya itu justru menandakan kewaliannya, menurut mereka.

Kesesatan telah mereka warisi dari generasi ke generasi, hingga kadang-kadang menyeret orang intelek, yang akibatnya akan lebih menyeret banyak orang lagi. Contoh nyata, seorang profesor bernama Dawam Rahardjo mengatakan bahwa Gus Dur (Abdurrahman Wahid) adalah wali dan sangat brilliant sekali. Ungkapan Profesor Dawam Rahardjo itu bukan hanya diucapkan di kalangan terbatas, namun disiarkan secara nasional, karena disiarkan oleh televisi swasta yang mewawancarainya, yakni ANteve, Selasa pagi 26 Oktober 1999M/ 16 Rajab 1420H. Dalam wawancara itu, Profesor Dawam Ra­hardjo selaku mantan atasan Gus Dur, menurut pewawancara ANteve, ditanya atau dimintai komentar-komentarnya dengan adanya Gus Dur terpilih sebagai presiden Indonesia yang ke-empat, pekan lalu (20/10 1999), yang kemudian siang itu (26/10 1999) akan ada pengumuman tentang susunan kabinet dari Presiden Gus Dur.

Kenapa ungkapan Prof Dawam Rahardjo –bahwa Gus Dur itu wali– di sini dipersoalkan?
Ini sekadar contoh soal, bahwa orang yang berbicara tentang Al-Quran dengan sangat ngawur seperti Gus Dur, ternyata dinyata­kan secara terang-terangan oleh seorang profesor, sebagai wali dan sangat brilliant sekali.

Apa alasan Profesor Dawam rahardjo menggelari Gus Dur sebagai wali?
Di antaranya Profesor Dawam Rahardjo beralasan, Gus Dur belajar Bahasa Inggeris cepat sekali, dan pidatonya dengan bahasa Inggeris bagus sekali.

Apa kaitannya antara bagusnya pidato bahasa Inggeris seseorang denga kewalian? Hanya profesor Dawamlah yang mungkin bisa menjawab. Mestinya, kewalian yang disandangkannya itu lebih pantas dikaitkan dengan bagaimana orang yang digelari wali itu dalam memahami dan mengamalkan Al-Quran. Coba kita simak, satu bukti nyata sebagai berikut:

Abdurrahman Wahid alias Gus Dur Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) menulis artikel berjudul Antara Asas Islam dan Asas Pancasila di koran Media Indonesia, Rabu 17 Maret 1999, halaman 6.

Di antaranya Abdurrahman Wahid menulis: “Bahkan, Allah memerintahkan manusia untuk beragam agama, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (lakum dienukum wa liya dien). Bahkan, dalam hal perbedaan agama, kita diperintahkan berbeda keyakinan, tetapi boleh bersama-sama dalam hal perbuatan. “Bagi kami amal perbuatan kami bagi kamu amal perbuatan kamu.” (Walanaa a’maalunaa walakum a’maalukum).”

Demikian petikan tulisan Abdurrahman Wahid/ Gus Dur. Tulisan itu mari kita cermati, apakah memang Gus Dur pantas digelari wali dari segi kealimannya tentang ayat-ayat Al-Quran.

Tentang lakum dienukum wa liya dien, (bagimu agamamu, dan bagiku agamaku); apakah benar itu suruhan Allah untuk beragam agama? Kalau cara memahaminya begitu, seperti pemahaman Gus Dur itu, maka berarti orang-orang kafir pun akan masuk surga, karena mengikuti perintah Allah untuk beragam agama.

Kemudian Gus Dur juga menyamarkan ayat 139 Surat Al-Baqarah, “Wa lanaa a’maalunaa wa lakum a’maalukum (bagi kami amal perbuatan kami, dan bagi kamu amal perbuatan kamu) dengan semaunya, dengan ungkapan: “Kita diperintahkan berbeda keyakinan, tetapi boleh bersama-sama dalam hal perbuatan.”

Benarkah surat Al-Baqarah ayat 139 itu merupakan perintah agar berbeda keyakinan, tetapi boleh bersama-sama dalam perbuatan?

Kita simak Tafsir Ibnu Katsir:

“Lanaa a’maalunaa wa lakum a’maalukum” (Bagi kami amalan kami dan bagi kamu amalan kamu” artinya kami berlepas diri dari kamu sekalian (barooun minkum) dan dari apa yang kalian sembah, sedang kalian lepas-diri dari kami. Sebagaimana Allah berfirman dalam ayat yang lain –QS Yunus/ 10:41– (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, halaman 235), sebagaimana firman Allah Ta’ala –QS Al-Kafirun/ 109: 1-6). Juga QS Al-Mumtahanah/ 60:4:

“Sesungguhnya kami berlepas-diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS Al-Mumtahanah/ 60:4) (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2, halaman 509).

Betapa jelasnya keterangan Ibnu Katsir, mufassir yang diakui Dunia Islam itu dalam masalah ini, dan betapa jauhnya penyamaran yang dilakukan Abdurrahman Wahid yang pernah jadi juri Festival Film Indonesia itu. (Lihat: Hartono Ahmad Jaiz, Bahaya Pemikiran Gus Dur, Pustaka Al-Kautsar Jakarta, cetakan kelima, Mei 1999, halaman 41-44).

Pantaskah seorang Profesor Dawam Rahardjo menjuluki Gus Dur yang telah menafsiri Al-Quran dengan ro’yu (pendapat) yang sangat melenceng –ditimbang dengan tafsir yang diakui Dunia Islam– itu sebagai wali yang brilliant (sangat cerdas) sekali?

Untuk mengatakan bahwa seseorang itu brilliant sekali atau cerdas sekali, bila yang mengatakan itu seorang profesor, sebenarnya sudah layak dipercaya. Tetapi, berhubung perkataan sang profesor yang menggelari Gus Dur sebagai wali itu terbukti hanya kata-kata tak bermakna, maka kini perlu dibuktikan pula, benarkah Gus Dur itu brilliant sekali seperti yang dikatakan Profesor Dawam Rahardjo?

Dalam kasus yang berkaitan dengan kondisi dan situasi saat sang profesor itu diwawancarai (26/10 1999), tersebar berita bahwa Gus Dur pada awal pemerintahannya, sebagai presiden Indone­sia, ia mengatakan akan membuka hubungan ekonomi dengan Israel. Sedang untuk hubungan diplomatik, belum dibuka hubungan.

Dalam kondisi ekonomi dan keamanan yang masih sangat belum mantap, istilahnya masih krisis, ditambah hubungan antar agama di Indonesia sendiri terjadi bunuh-bunuhan antara Muslimin dan orang Kristen ataupun Katolik seperti di Ambon dan Maluku Tenggara, bahkan di Jakarta seperti kasus Ketapang Jakarta Pusat, masih merupakan dengan Israel. Semua orang tahu, Israel itu musuh orang Islam sedunia, karena Israel masih mengangkangi Masjidil Aqsha, tempat suci ke-tiga bagi ummat Islam sedunia. Juga Israel adalah pembantai yang amat sadis terhadap ummat Islam, baik di dalam masjid sedang shalat maupun di luar, penjajah yang sangat licik, dan pencaplok wila­yah-wilayah Palestina. Dalam hal berdagang atau berhubungan dengan masyarakat Islam, Israel itu sangat curang sambil meme­rangi Islam.

Kita simak bukti dari pengamatan seorang yang cukup terpercaya dalam kasus ini sebagai berikut:

Dr Hidayat Noer Wahid pengamat Timur Tengah mencontohkan ting­kah Yahudi Israel. Dengan dibukanya kedutaan Israel di Mesir, ternyata Yahudi bisa menekan hingga mampu menghapus ayat-ayat Al-Quran yang mengecam Yahudi di pelajaran sekolah. Menghapus peta Palestina, hingga adanya hanya Israel. Yahudi mendukung penggala­kan turisme, namun turis Yahudi yang datang (ke Mesir) hanya gembel, hingga tak menambah pendapatan bagi Mesir. Malahan 52 orang Yahudi yang ketahuan masuk ke Mesir memakai paspor Belanda terbukti semuanya mengidap AIDS.

Dari segi pertanian, Israel menjual pupuk ke Mesir, namun tahu-tahu akibatnya tanah jadi tandus. Itu di samping sampo Israel yang bikin botak rambut, dan tanaman yang didatangkan dari Israel menyebarkan hama. (H Hartono Ahmad Jaiz, Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar Jakarta, 1994, halaman 99-100).

Untuk memberi gambaran latar belakang, bagaimana sikap ummat Islam Indonesia berhadapan dengan orang-orang tertentu yang pro Zionis Israel, kita simak kasus film propaganda Yahudi –Zionis Israel– berjudul Schindler’s List tahun 1994 yang ditolak keras oleh para tokoh Islam, namun ada orang-orang tertentu yang membe­la film Zionis Yahudi Israel itu, sebagai berikut:

Contoh kecil, dalam kasus pro kontra tentang film propaganda Yahudi, Schindler’s List, tercatat nama-nama pembela film Zionis itu. Setidaknya, yang telah menyuara setuju untuk diedarkan adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Umar Khayam (dua budayawan ini diwawancarai ANteve di rumah sakit, Abdurrahman Wahid dioper­asi matanya namun sempat menyuarakan persetujuan) dan Profesor Dawam Rahardjo yang dimuat Republika. Mereka itu dinilai oleh KH Hasan Basri (Ketua Umum MUI –Majelis Ulama Indonesia) sebagai orang-orang yang berpikiran bebas, sampai pendapat yang aneh-aneh sekalipun. (Ibid, 1994, hal 96-97).

Pembaca bisa menilai, seberapa brilliant-nya Gus Dur yang kini mempresideni penduduk Indonesia yang berjumlah 210 jutaan jiwa yang hampir 90% Muslim ini. Apakah pupuk Israel yang bikin tandus tanah, sampo Israel yang bikin botak kepala, dan tanaman-tanaman yang diekspor dari Israel dengan menyebarkan hama, serta turis-turis gembel dari Israel yang semuanya ternyata mengidap penyakit paling berbahaya dan tak bisa disembuhkan yakni AIDS itu merupakan barang-barang dagangan yang sangat diperlukan oleh 210 juta penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim ini? Belum lagi upaya menghapus ayat-ayat Al-Quran dari kurikulum sekolah yang Zionis tekankan. Brilliant sekalikah orang yang awal-awal kebija­kannya justru tidak punya pertimbangan pasar sama sekali itu?

Dari sisi lain, mari kita cermati sosok Gus Dur yang dia itu presiden, kiai, dan orang terkenal secara internasional. Dalam hal memandang Israel yang menjajah dan mencaplok tanah-tanah Palestina, Gus Dur selaku presiden mesti merujuk pada undang-undang dasar dan perundangan serta peraturan yang dipakai di Indonesia. Di antaranya ditegaskan dalam Mukaddimah Undang-undang Dasar 1945 bahwa “segala bentuk penjajahan harus dihapuskan.”

Orang yang faham betul tentang kepenjajahan Israel terhadap Palestina dan tentang sikap Indonesia seharusnya, di antaranya adalah Menteri Luar Negeri Ali Al-Atas yang lalu. Bisa kita simak sikapnya sebagai penanggung jawab politik luar negeri sampai menjelang kepemimpinan Gus Dur, sebagai berikut:

Dalam acara dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI, 5 Juli 1999, Menlu Ali Al-Atas menegaskan, Indonesia menolak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Alasannya, negara Israel merupakan negara kolonial, sehingga pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel merupakan pelanggaran terhadap konstitusi (UUD 1945). (Adian Husaini, Menimbang Hubungan Dagang RI-Israel, Harian Republika, Jakarta, Jum’at 29 Oktober 1999M/ 19 Rajab 1420H, halaman 6).

Lantas, bagaimana seharusnya sebagai figur kiai atau tokoh Islam. Kita simak ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits yang sangat banyak mengecam Yahudi Bani Israel karena tingkahnya yang jahat, curang, paling loba sedunia, sombong, berkhianat, berbuat makar dan sebagainya. Dan kita lihat sejarah Nabi Muhammad SAW, bagaimana Nabi SAW memperlakukan Yahudi Bani Israel. Nabi SAW mau berjanji damai dengan Yahudi, hingga ada ikatan janji antara Yahudi dan Muslimin. Namun kemudian orang-orang Yahudi berkhia­nat, bahkan tetap memusuhi Muslimin, maka Nabi SAW mengadakan pengusiran terhadap Yahudi Bani Qainuqa’ (setelah perang Badr 2 H), pengusiran Yahudi Bani Nadhir setelah perang Uhud 3 H.

Selanjutnya, pengkhianatan dan permusuhan yang paling parah dilakukan oleh Yahudi Bani Quraidhah, maka seluruh lelaki dewasa Yahudi Bani Quraidhah selain anak-anak dan perempuan dihukum bunuh semua/ potong leher, akibat ganasnya pengkhianatan terhadap Muslimin dan penyerangan terhadap Muslimin secara khianat. Keber­angkatan untuk menyerbu Bani Quraidah (th 5 H) itu sendiri langsung dibangkitkan dan dikomandoi oleh Malaikat Jibril dengan barisan malaikat, ketika Nabi SAW baru saja meletakkan senjata dari Madinah. Peristiwa itu setelah perang Khandaq.

Ada peristiwa terkenal dalam keberangkatan untuk menyerbu Bani Quraidhah yang kemudian Muslimin mengepungnya sampai 15 hari, hingga Yahudi khianat itu menyerah. Dalam perjalanan, Malaikat Jibril berjalan dalam sebuah prosesi para malaikat, sementara Rasulullah Saw membuntuti di belakangnya beserta orang-orang Muhajirin dan Anshar. Saat itu beliau bersabda kepada para saha­bat:

“Laa yusholliyanna ahadukumul ‘ashro illaa fii Banii Quraidhata”

“Janganlah sekali-kali seseorang di antara kalian shalat ashar kecuali di Bani Quraidhah.” (HR Al-Bukhari /946 dari Ibnu Umar, Muslim, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, shahih).

Seketika itu pula mereka memenuhi perintah beliau dan bangkit menuju Bani Quraidhah. Mereka masuk waktu ashar ketika masih di perjalanan. Sebagian ada yang berkata, “Kami tidak akan shalat ashar kecuali setelah tiba di Bani Quraidhah seperti yang diper­intahkan kepada kita.” Sehingga mereka mengerjakan shalat ashar itu setelah shalat isya’.

Sementara yang lain ada yang berkata, “Yang beliau maksudkan dari kita bukan itu tetapi agar kita segera keluar, karena itu mereka melakukan shalat ashar di tengah perjalanan, tetapi beliau tidak menegur satupun di antara dua golongan ini.

Para fuqaha’ saling berbeda pendapat antara dua golongan ini. Golongan pertama berkata, mereka yang mengakhirkannya adalah yang benar. Sekiranya kami bersama mereka, tentu kami akan mengakhir­kannya seperti yang mereka lakukan dan kami tidak akan mengerja­kan shalat ashar kecuali setelah tiba di Bani Quraidhah, karena patuh kepada perintah beliau dan meninggalkan ta’wil yang berten­tangan dengan dhahir.

Golongan lain berkata, “Mereka yang shalat ashar pada waktunya di tengah jalan dan yang lebih dahulu pergi adalah orang-orang yang mendapatkan fadhilah. Mereka bersegera melaksanakan perintah beliau dan segera mencari keridhaan Allah dengan shalat pada waktunya, kemudian mereka bersegera menghadapi musuh. Jadi, mereka mendapatkan fadhilah jihad, fadhilah shalat pada waktunya, dan memahami apa yang dimaksudkan dari perintah tersebut.” (Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, Zaadul Ma’aad, jilid III, halaman 118-120).

Setelah pengepungan terhadap benteng Bani Quraidhah berlang­sung 15 hari, dan Nabi SAW menawarkan 3 syarat namun tidak ada yang dimaui oleh Bani Quraidhah, kemudian kaum Yahudi Bani Qu­raidhah yang sangat jahat permusuhannya terhadap Islam ini meny­erah. Ekskusi pun dilakukan, diserahkan Rasulullah SAW kepada Sa’d bin Mu’adz, yaitu hukuman bunuh/ dipenggal lehernya bagi setiap laki-laki Bani Quraidhah, sedangkan anak-anak dan wanita dijadikan tawanan, dan harta benda mereka dibagi. Lalu nabi SAW bersabda kepada Sa’d, “Engkau telah memutuskan tentang diri mereka dengan hukum Allah dari atas langit yang tujuh.” (Zaadul Ma’aad, jilid III, halaman 122).

Sebelum eksekusi, ada beberapa orang di antara mereka yang masuk Islam, sedangkan Amr bin Sa’d, salah seorang pemimpin Bani Quraidhah melarikan diri dan tidak diketahui ke mana perginya. Sebelumnya ia tidak mau bergabung dengan mereka untuk melanggar perjanjian. Rasulullah SAW memerintahkan untuk membunuh setiap lelaki (dewasa) yang pisau cukur telah ditarik atas (kumis)nya, adapun yang belum tumbuh (kumis), maka dimasukkan ke golongan anak-anak (tidak dibunuh). Lalu digalilah parit-parit untuk mereka di pasar Madinah, dan dipenggallah leher-leher mereka, jumlahnya antara 700 sampai 900 orang. Tidak ada seorang perem­puan pun yang dibunuh kecuali satu wanita yang dipenggal leher­nya, karena dia pernah melemparkan batu penggilingan ke kepala Suwaid bin Ash-Shamit hingga meninggal dunia. Mereka digiring ke parit-parit serombongan-serombongan… (Zaadul Ma’aad, halaman 123).

Perang (pengusiran terhadap Yahudi) Bani Qainuqa’ terjadi setelah perang Badr, perang (pengusiran terhadap Yahudi) Bani Nadhir setelah perang Uhud, dan perang (pembunuhan seluruh lelaki dewasa Yahudi pengkhianat) Bani Quraidhah setelah perang Khandaq.

Permusuhan Yahudi terhadap ummat Islam dari awal sangat kerasnya, hingga Nabi SAW langsung dikomandoi oleh malaikat Jibril dalam keberangkatannya menuju ke Bani Quraidhah.

Hadits tentang perang terhadap orang-orang Yahudi Bani Quraid­hah dan penawanan para wanita serta anak-anak mereka, diriwayat­kan oleh Al-Bukhari dalam Kitab Al-Maghazi (Fathul Bari, 7/475 no. 4122) dan Muslim dalam bab Hukum orang yang memerangi dan mengingkari janji, dari Aisyah, (nomor 1154 Mukhtashar Al-Mundziri), dikeluarkan pula oleh Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah dalam Zaadul Ma’aad (3/ 129).

Dalam masa sekarang pun, menghadapi Israel yang menjajah, membantai, dan mencaplok tanah-tanah Palestina, dan menguasai Masjidil Aqsha tempat suci yang ketiga setelah Makkah dan Madinah bagi Muslimin sedunia itu telah difatwakan oleh para ulama secara internasional. Bahkan pemerintah Indonesia sendiri ikut pula memfatwakan masalah Israel dalam kaitannya dengan Palestina itu. Kita simak bukti berikut:

Profesor Ibrahim Hosen (kini Ketua Komisi Fatwa MUI –Majelis Ulama Indonesia) selaku wakil menteri agama Indonesia menandatan­gani Fatwa Ulama Internasional tentang haramnya mengakui dan berdamai dengan Yahudi Israel.

Tandatangan utusan Indonesia itu terpampang paling jelas dalam dokumen yang dibukukan dengan judul Fatwa ‘Ulama’ Al-Muslimin bitahriimit Tanaazuli ‘an ayyi juz’in min Falasthien yang diterbitkan oleh Jam’iyyah Al-Ishlah Al-Ijtima’iyyah, Kuwait 1410H/ 1990M.

Fatwa haramnya berdamai dengan Yahudi dan larangan mengakui Yahudi Israel itu disepakati oleh ulama pada Konferensi Negara-negara Islam di Pakistan 1968.

Alasan haramnya berdamai dengan Israel, menurut fatwa ini, karena Yahudi Israel itu merampas dan menyerang, maka berdamai dengan perampas itu dilarang syari’at Islam. Sebab berarti menga­kui bolehnya perampas itu merampas, dan mengakui hasil rampasan­nya itu milik perampas. Maka tidak boleh orang Muslim berdamai dengan Yahudi yang melanggar hak itu. Dan hal itu akan memungkin­kan tetapnya mereka menjadi negara di bumi Muslimin yang disucikan. Bahkan wajib atas Muslimin semuanya untuk berjuang memboikot kekuatan mereka demi membebaskan negeri-negeri Palestina dan Arab dan menyelamatkan Masjidil Aqsha serta tempat-temat suci Islam lainnya dari tangan perampas. Seluruh Muslimin wajib berjihad untuk mengembalikan negeri-negeri itu dari perampas.”(Fatwa Ulama’ Al-Muslimin…, hal 71, dan copian teks aslinya di halaman 73) (Lihat Harian Pelita, Jakarta, Selasa 21 Februari 1995/ 21 Ramadhan 1415H, halaman 5).

Fatwa-fatwa lainnya, di antaranya dikeluarkan oleh Muktamar Ulama Palestina yang pertama, Januari 1935, mengharamkan penjua­lan tanah Palestina kepada Israel, karena sama dengan memperlan­car pengusiran ummat Islam oleh Israel. Maka penjual tanah itu dihukumi tidak boleh dishalati dan dikubur di pekuburan Muslimin, dan selama hidupnya wajib diboikot. (Al-Quds, 20 Syawal 1353H/ 26 Desember 1935M, tertanda Muhammad Amin Al-Husaini, Mufti Al-Quds dan Ketua Majlis Tinggi Islam, disertai 7 mufti lainnya dan hampir seratusan hakim agama).

Fatwa-fatwa lainnya, di antaranya fatwa Ulama Najd, fatwa Syeikh Rasyid Ridha, fatwa Lajnah Fatwa al-Azhar 1956 tentang haramnya berdamai dengan Israel dan wajib berjihad. Dan Fatwa Syeikh Al-Azhar Hasan Ma’mun, intinya:

“Bertemanan dan saling mengadakan hubungan perjanjian yang diadakan orang-orang Muslimin dengan negara-negara lain yang non Islam itu boleh dari segi syari’ah apabila untuk kemaslahatan kaum Muslimin. Adapun kalau hal itu untuk mendukung negara yang memusuhi negeri Islam seperti Yahudi yang memusuhi Palestina, maka itu menguatkan bagi musuh, mengakibatkan berlanjutnya dalam permusuhan terhadapnya (negeri Islam), dan barangkali (melanjut­kan) dalam memperluas di dalam (wilayah)nya pula. Maka yang demikian itu tidak boleh secara syari’at (Islam).” (Hasan Ma’mun, Syeikh Universitas Al-Azhar, Mufti Diyar Mesir, Fatwa ‘Ulama’ Muslimin, hal 63-66).

Segi yang lain, Gus Dur sebagai tokoh yang hubungannya dengan internasional, tentunya perlu mempertimbangkan data dan fakta. Seperti yang ditulis Adian Husaini, ditegaskan: “Dengan Kasat mata, Israel memang masih menjadi negara penjajah, karena menca­plok wilayah Palestina dan masih belum memenuhi resolusi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) 242 dan 338 yang memerintahkan Israel keluar dari wilayah Pendudukan tahun 1967. Karena itulah, maka Indonesia tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. (Republika, 29/10 1999).

Semuanya itu sebenarnya sudah jelas, seharusnya bagaimana sikap yang harus diambil. Namun jauh-jauh hari sebelum jadi presiden, Gus Dur ketika diadakan dialog di TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) 24 Mei 1999, Gus Dur selaku deklarator PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan Ketua Tanfidziyah (eksekutif) Jami’iyah NU (Nahdlatul Ulama –satu organisasi Islam yang sering disebut tradisional) menegaskan, Indonesia perlu membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Alasannya, Indonesia mengakui Uni Soviet (Rusia) dan RRC sebagai negara. Padahal, kedua negara itu menganut atheisme. “Israel itu masih mengakui Tuhan, Anda tidak mau mengakui. Siapa yang bodoh,” kata Gus Dur bersemangat, ketika itu. (Adian Husaini, Menimbang Hubungan Dagang RI-Israel, Republika, 29/10 1999, hal 6).

Ungkapan Gus Dur yang –kalau tak salah– telah dua kali disi­arkan TPI (karena siarannya diulang lagi waktu itu) dan dikutip Adian ini ketika Gus Dur jabarkan sekarang dengan akan membuka hubungan ekonomi dengan Israel, dalam bahasa ndeso (desa)nya namanya ucapan gebyah uyah (menyama ratakan, semua garam itu asin). Bahasa kotanya mungkin menggeneralisir dan rancu, bahasa mantiq (logika)nya mungkin menarik natijah/ konklusi/kesimpulan dengan qodhiyah/ unsur yang kurang syarat, hingga sekilas seperti benar, padahal salah dan rancu. Bahasa ushul fiqhnya, ia akan menarik garis dengan cara qiyas aulawi (ini yang begini saja boleh apalagi itu yang begitu maka lebih boleh lagi) namun qiyas/ perbandingan (analogi)nya itu kurang syarat alias qiyas ma’al fariq alias qiyas batil.
Kenapa?
Karena, hubungan antar manusia atau antar negara itu bukan sekadar: apakah yang akan dihubungi itu mempercayai Tuhan atau tidak. Tetapi ada kaitan-kaitan lainnya. Yang jelas-jelas anti Tuhan pun, kalau itu tidak memusuhi Islam, maka ummat Islam boleh berhubungan secara manusiawi seperti berdagang dan sebagainya, dan perlu adil, namun dilarang mengangkat mereka sebagai teman akrab, apalagi pemimpin. Bahkan kalau mereka yang kafir itu tunduk dalam kekuasan Islam, isitilahnya kafir dzimmi, maka dilindungi. Sampai Nabi SAW bersabda:

Man aadzaa dzimmiyyan faqod aadzaani wa man aadzaanii faqod aadzallaah. (Rowahut Thobroni).

Barangsiapa mengganggu/menyakiti dzimmi (non Muslim yang tunduk pada kekuasaan Islam) maka sungguh ia mengganggu saya (Muhammad), dan siapa mengganggu saya maka sungguh ia mengganggu Allah.” (Diriwayatkan oleh at-Thabrani).

Sebaliknya, kalau orang yang kafir atau atheis itu memusuhi Islam, maka namanya kafir harbi, yaitu orang kafir dan musuh Islam. Itu hitungannya bukan karena sakadar kekafirannya terhadap Tuhan, namun karena memusuhi itu.

Perlu diketahui, orang muslim sendiri, bahkan sahabat Nabi SAW, yang pada dasarnya sebagai orang beriman dan memang ta’at, namun suatu ketika wajib diboikot oleh ummat Islam. Terkenal dalam ayat Al-Quran, al-hadits, dan sejarah Islam tentang kasus Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin Rabi’ yang diboikot oleh Nabi SAW beserta seluruh sahabat, termasuk keluar­ganya pun tak boleh melayaninya; gara-gara Ka’ab bin Malik dkk ini tidak ikut perang jihad (saat itu Perang Tabuk) padahal dalam keadaan segar bugar tanpa halangan. 50 hari mereka itu diboikot hingga menangis tiap hari, terasa bumi ini sesak, karena salamnya pun tidak boleh dijawab oleh ummat Islam. Setelah tobat dan penderitaannya memuncak dan berlangsung 50 hari, barulah Allah SWT membolehkan tegur sapa dan bergaul kepada Ka’ab dkk itu. (Lihat tafsir QS At-Taubah ayat 118.)

Jadi, persoalan pokok boleh tidaknya berhubungan antar manu­sia, antar bangsa, atau antar negara, itu bukan sekadar memperca­yai Tuhan atau tidaknya. Memang tentang kepercayaan atau keyaki­nannya itu menjadi salah satu unsur yang diperhitungkan, tetapi tidak langsung hantam kromo atau menggebyah uyah seperti yang dikatakan Gus Dur itu.

Setelah jelas bahwa logika Gus Dur itu jauh dari kebenaran, lalu dalam kenyataan, masih pula ia jauh lagi dalam hal perencanaan teknisnya. Yaitu, untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel, kini belum, tetapi untuk hubungan ekonomi, ya dibukalah.

Kilah yang keluar dari mulutnya, di antaranya, karena tidak semua Yahudi Israel itu jahat. Dicontohkan, dia sendiri mendirikan lembaga Shimon Peres, dan punya teman-teman orang Yahudi, yang dia anggap baik-baik.

Kilah Gus Dur itu sangat naif. Bisa diambil contoh, di dalam Islam, khamr (minuman keras) dan judi itu ada manfaatnya, tetapi mudharatnya/dosa besarnya lebih besar dibanding manfaatnya. (lihat QS Al-Baqarah: 219). Maka hukum finalnya, khamr dan judi itu haram, keji, dan termasuk perbuatan syetan, wajib dijauhi (lihat QS Al-Maa’idah/ 5:90-91). Bahkan Nabi SAW melaknat 10 orang yang berhubungan dengan khamr.

La’anan Nabiyyu SAW fil khomri ‘asyarotan: ‘Aashirohaa wa mu’tashirohaa wa syaaribahaa wa haamilahaa wal mahmuulata ilaihi wa saaqiyahaa wa baai’ahaa wa aakila tsamanihaa wal musytariya lahaa wal musytaroota lahaa.

“Rasulullah Saw melaknat tentang khamr, sepuluh golongan: 1 yang memerasnya, 2 yang minta diperaskannya, 3 yang meminumnya, 4 yang membawanya, 5 yangminta diantarinya, 6 yang menuangkannya, 7 yang menjualnya, 8 yangmakan harganya, 9 yang membelinya, dan 10 yang minta dibelikannya.” (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Bahkan lagi, orang yang menjual buah anggur kepada pihak yang sudah diketahui membuat khamr pun dilarang.

Man habasal ‘inaba ayyaamal qithoofi hattaa yabii’ahu min Yahuu­diyyin aw nashrooniyyin aw mimman yattakhidzuhu khomron faqod takhohhaman naaro ‘alaa bashiirotin.

“Barangsiapa menahan buah anggurnya pada musim-musim memetik­nya, kemudian dijual kepada seorang Yahudi atau Nasrani atau kepada tukang membuat arak, maka sungguh jelas dia akan masuk neraka.” (HR At-Thabarani dalam Al-Awsath).

(Itu Gus Dur bisa dipastikan telah faham). Lantas, bagaimana kalau Gus Dur membuka hubungan dagang antar Indonesia dengan Israel itu akan mengayakan Israel, yang dengan kekayaannya itu akan lebih gila lagi dalam menggencet Palestina khususnya, dan ummat Islam sedunia pada umumnya? Bukankah hal itu lebih buruk ketimbang sekadar menjual buah anggur kepada produser khamr? Bukankah itu berarti mempersenjatai musuh Islam untuk memerangi Islam?

Kita bandingkan dengan kehidupan sehari-hari saja, biar agak mudah persoalannya. Kita ambil misal, seorang “anak gaul” (perilakunya bebas) telah dilarang oleh orang tuanya, “jangan sampai kamu kawin dengan gadis “Pojokan” (rumahnya di pojokan, misalnya) itu. Karena dia itu anak perampas tanah-tanah orang Islam, pembu­nuh, penipu, perampas masjid ummat Islam, masih mengidap AIDS lagi. Dan dia itu terlibat dalam semua kasus itu.”

Lalu si “anak gaul” ini tetap bersikap cengengesan, dan tetap akan mengadakan hubungan dengan gadis “Pojokan” tersebut. Ketika orang tuanya marah-marah, maka si “anak gaul” ini bilang: “Kan saya hanya bertemanan, Pak. Kalau untuk kawin sih, belum. Ini hanya bertemanan, masa’ nggak boleh? Apakah kalau orang serumah itu menjadi perampok, tidak ada yang tidak merampok? Bayi-bayinya kan belum merampok? Jadi kita berhubungan dengan para perampok seisi rumah itu karena di sana masih ada bayi-bayi yang belum jadi perampok. Dan pula kita bergaul dengan perampok itu agar mereka tidak merampok kita, setelah kita nasehati.”

Sebagai orang tua yang baik, tentu wajib mengambil sikap terhadap anaknya yang sikapnya cengengesan dan ngotot untuk bergaul dengan perampok itu. Sebaliknya, kalau orang tua itu diam saja, atau bahkan mengiyakan, itu justru perlu dipertanyakan. Mungkin si orang tua ini sendiri memang tidak lurus, mungkin takut terhadap keganasan anaknya kalau mengamuk, atau mungkin punya utang (harta atau budi) dengan si perampok tersebut, dll.

Walhasil, dari berbagai segi, tokoh terutama Presiden Abdur­rahman wahid dan Menteri Luar Negeri Dr Alwi Shihab yang ingin menyelenggarakan hubungan ekonomi dengan Israel itu terbukti sangat dangkal cara berfikir ataupun menimbang suatu persoalan.

(Tentang dangkalnya pendapat Dr Alwi Shihab di samping ungkapan­ nya mengaburkan ajaran Islam dan menyakiti ummat Islam, bisa dibaca dalam buku Di Bawah Bayang-bayang Soekarno Soeharto, Tragedi Politik Islam Indonesia dari Orde Lama hingga Orde Baru, Darul Falah Jakarta, 1999, halaman 150-155).

Maka batallah julukan wali, brilliant sekali dsb.nya itu, kalau tidak mau menyebut sebagai sebaliknya. Hanya saja, karena bagaimanapun beliau itu adalah orang yang berpengaruh, apalagi telah menjadi presiden, maka seorang dari kelompok yang sangat keras sikapnya terhadap Israel yaitu Mas Mutammimul Ula SH, setelah jadi anggota DPR, Meskipun demikian, masih agak mendingan sedikit ketimbang Pak Zarkasih Noer dari PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang sama-sama diwawancarai pagi itu, yang memang siang harinya kemudian Zarkasih Noer termasuk yang diumumkan sebagai menteri (tentu pagi itu ia sudah tahu bahwa dirinya akan diumumkan jadi menteri), yakni menteri koperasi, dalam jajaran kabinet yang disebut “Kabinet Persatuan Nasional”. Zaman Presiden Habibi kabinet itu disebut “Kabinet Reformasi”, sedang zaman Soeharto disebut “Kabinet Pembangunan”, yang terakhir kabinet masa Soeharto itu hanya berumur 70 hari karena Soehartonya didemo para mahasiswa berhari-hari hingga turun dari jabatan kepresidenan yang ia istilahkan lengser keprabon, dan diserahkan kepada wakilnya, BJ Habibie.

Masalah kurang kerasnya Mas Tamim dalam menggenjot gagasan Gus Dur tentang mau mengadakan hubungan dagang/ ekonomi dengan Israel ini sangat beda dengan seniornya dalam pergaulan seperti H Ahmad Sumargono. Sekalipun juga jadi anggota DPR namun Bang Gogon (Sumargono) dari awal tampak masih agak lantang dalam kasus akan adanya hubungan ekonomi dengan Israel itu. (Maaf Mas Tamim, ini sekadar ngitik-itik/ mengkilik-kilik, tapi boleh juga dipikirkan). Dan kemudian alhamdulillah, setelah agak ramai penolakan dan protes terhadap kemauan keras Gus Dur itu, khabarnya Mas Tamim bangkit pula menentang ketidakbijakan Presiden Gus Dur dan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab tersebut.

Kembali kepada persoalan awal, ada profesor yang menggelari tokoh dengan gelar wali dan dipuji karena dianggap brilliant sekali, itu pantas sekali dipertanyakan dan diragukan ungkapannya itu.

Kalau profesornya saja seperti itu cara berfikirnya, dan orang yang digelari wali yang sangat brilliant saja seperti itu cara berfikir dan kebijaksanaannya, bisa kita bayangkan, bagaimana orang awamnya yang model mereka. Makanya tak mengherankan bila ajaran shufi yang sangat jauh dari Islam pun dengan mudah menyebar dan dipegangi oleh orang awam secara turun temurun, bahkan menjangkiti orang-orang yang disebut atau menyebut dirinya sebagai intelektual Muslim. Hal yang sangat dimaklumi adanya, sekaligus sebagai keadaan yang sangat perlu dihadapi dengan hikmah dan mau’idhah hasanah.

Barangkali ada yang langsung bergumam dengan mengatakan, tulisan ini sendiri tidak menempuh jalan dengan hikmah dan mau’idhah hasanah, buktinya langsung menunjuk nama Profesor Dawam Rahardjo dan Gus Dur.

Maaf, mereka berdua itu telah menyampaikan pendapat-pendapat tersebut di media massa umum, bahkan kemungkinan sekali jangkauannya lebih luas dari buku ini, yakni koran harian umum, dan televisi swasta yang menjangkau se Indonesia. Sehingga, kebatilan yang mereka umumkan lewat media massa secara luas itu perlu diumumkan pula kebatilannya, agar orang umum tahu bahwa itu batil. Dan sebaliknya, bila apa yang saya (penulis) kemukakan ini batil, maka saya pun akan menerima kebenaran, bila ada yang menjelaskannya dengan bukti-bukti/dalil bahwa pendapat saya ini batil, dan bahkan saya akan berterimakasih, karena kebatilan yang tersebar –akibat aneka kelemahan saya– bisa terhapus. Di samping itu, penyebutan nama-nama tersebut adalah untuk membuktikan secara ilmiah tentang adanya kasus itu, hingga tidak berkadar sebagai karangan fiksi/ khayalan belaka. Karena, masalah ini adalah masalah yang menyangkut agama Islam, satu ajaran yang harus dipertanggung jawabkan di dunia dan bahkan sampai di akherat kelak.

dikutip dari buku Tasawuf Belitan Iblis
karya H Hartono Ahmad Jaiz -

MEMBONGKAR KESESATAN SUFI (bahagian I, sejarah dan fitnah tasawwuf )

SEJARAH DAN FITNAH TASAWWUF

Orang-orang sufi pada periode-periode pertama menetapkan untuk merujuk (kembali) kepada Al-Quran dan As-Sunnah, namun kemudian Iblis memperdayai mereka karena ilmu mereka yang sedikit sekali.

Ibnul Jauzi (wafat 597H) yang terkenal dengan bukunya Talbis Iblis menyebutkan contoh, Al-Junaid (tokoh sufi) berkata, “Madzhab kami ini terikat dengan dasar, yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah.”

Dia (Al-Junaid) juga berkata, “Kami tidak mengambil tasawuf dari perkataan orang ini dan itu, tetapi dari rasa lapar, mening­galkan dunia, meninggalkan kebiasan sehari-hari dan hal-hal yang dianggap baik. Sebab tasawuf itu berasal dari kesucian mu’amalah (pergaulan) dengan Allah dan dasarnya adalah memisahkan diri dari dunia.”

Komentar Ibnul Jauzi, jika seperti ini yang dikatakan para syeikh mereka, maka dari syeikh-syeikh yang lain muncul banyak kesalahan dan penyimpangan, karena mereka menjauhkan diri dari ilmu.

Jika memang begitu keadaannya, lanjut Ibnul Jauzi, maka mereka harus disanggah, karena tidak perlu ada sikap manis muka dalam menegakkan kebenaran. Jika tidak benar, maka kita tetap harus waspada terhadap perkataan yang keluar dari golongan mereka.

Dicontohkan suatu kasus, Imam Ahmad bin Hanbal (780-855M) pernah berkata tentang diri Sary As-Saqathy, “Dia seorang syeikh yang dikenal karena suka menjamu makanan.” Kemudian ada yang mengabarinya bahwa dia berkata, bahwa tatkala Allah menciptakan huruf-huruf, maka huruf ba’ sujud kepada-Nya. Maka seketika itu pula Imam Ahmad berkata: “Jauhilah dia!” (Ibnul Jauzi, Talbis Iblis, Darul Fikri, 1368H, hal 168-169).

Kapan awal munculnya tasawuf

Tentang kapan awal munculnya tasawuf, Ibnul Jauzi mengemuka­kan, yang pasti, istilah sufi muncul sebelum tahun 200H. Ketika pertama kali muncul, banyak orang yang membicarakannya dengan berbagai ungkapan. Alhasil, tasawuf dalam pandangan mereka meru­pakan latihan jiwa dan usaha mencegah tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu membawanya ke akhlak yang baik, hingga mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akherat.

Begitulah yang terjadi pada diri orang-orang yang pertama kali memunculkannya. Lalu datang talbis Iblis (tipuan mencampur adukkan yang haq dengan yang batil hingga yang batil dianggap haq) terhadap mereka (orang sufi) dalam berbagai hal. Lalu Iblis memperdayai orang-orang setelah itu daripada pengikut mereka. Setiapkali lewat satu kurun waktu, maka ketamakan Iblis untuk memperdayai mereka semakin menjadi-jadi. Begitu seterusnya hingga mereka yang datang belakangan telah berada dalam talbis Iblis.

Talbis Iblis yang pertama kali terhadap mereka adalah mengha­langi mereka mencari ilmu. Ia menampakkan kepada mereka bahwa maksud ilmu adalah amal. Ketika pelita ilmu yang ada di dekat mereka dipadamkan, mereka pun menjadi linglung dalam kegelapan.

Di antara mereka ada yang diperdaya Iblis, bahwa maksud yang harus digapai adalah meninggalkan dunia secara total. Mereka pun menolak hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan bagi badan, mereka menyerupakan harta dengan kalajengking, mereka berlebih-lebihan dalam membebani diri, bahkan di antara mereka ada yang sama sekali tidak mau menelentangkan badannya, terlebih lagi tidur.

Sebenarnya tujuan mereka itu bagus. Hanya saja mereka meniti jalan yang tidak benar dan diantara mereka ada yang karena minim­nya ilmu, lalu berbuat berdasarkan hadits-hadits maudhu` (palsu), sementara dia tidak mengetahuinya.

Syari’at dianggap ilmu lahir hingga aqidahnya rusak

Kemudian datang suatu golongan yang lebih banyak berbicara tentang rasa lapar, kemiskinan, bisikan-bisikan hati dan hal-hal yang melintas di dalam sanubari, lalu mereka membukukan hal-hal itu, seperti yang dilakukan Al-Harits Al-Muhasibi (meninggal 857M). Ada pula golongan lain yang mengikuti jalan tasawuf, menyendiri dengan ciri-ciri tertentu, seperti mengenakan pakaian tambal-tambalan, suka mendengarkan syair-syair, memukul rebana, tepuk tangan dan sangat berlebih-lebihan dalam masalah thaharahdan kebersihan. Masalah ini semakin lama semakin menjadi-jadi, karena para syaikh menciptakan topik-topik tertentu, berkata menurut pandangannya dan sepakat untuk menjauhkan diri dari ulama. Memang mereka masih tetap menggeluti ilmu, tetapi mereka menamakannya ilmu batin, dan mereka menyebut ilmu syari’at seba­gai ilmu dhahir. Karena rasa lapar yang mendera perut, mereka pun membuat khayalan-khayalan yang musykil, mereka menganggap rasa lapar itu sebagai suatu kenikmatan dan kebenaran. Mereka memba­yangkan sosok yang bagus rupanya, yang menjadi teman tidur mere­ka. Mereka itu berada di antara kufur dan bid’ah.

Kemudian muncul beberapa golongan lain yang mempunyai jalan sendiri-sendiri, dan akhirnya aqidah mereka jadi rusak. Di antara mereka ada yang berpendapat tentang adanya inkarnasi/hulul (penitisan) yaitu Allah menyusup ke dalam diri makhluk dan ada yang menyatakan Allah menyatu dengan makhluk/ ittihad. Iblis senantiasa menjerat mereka dengan berbagai macam bid’ah, sehingga mereka membuat sunnah tersendiri bagi mereka. (ibid, hal 164).

Perintis tasawuf tak diketahui pasti

Abdur Rahman Abdul Khaliq, dalam bukunya Al-Fikrus Shufi fi Dhauil Kitab was Sunnah menegaskan, tidak diketahui secara tepat siapa yang pertama kali menjadi sufi di kalangan ummat Islam. Imam Syafi’i ketika memasuki kota Mesir mengatakan, “Kami ting­galkan kota Baghdad sementara di sana kaum zindiq (menyeleweng; aliran yang tidak percaya kepada Tuhan, berasal dari Persia; orang yang menyelundup ke dalam Islam, berpura-pura –menurut Leksikon Islam, 2, hal 778) telah mengadakan sesuatu yang baru yang mereka namakan assama’ (nyanyian).

Kaum zindiq yang dimaksud Imam Syafi’i adalah orang-orang sufi. Dan assama’ yang dimaksudkan adalah nyanyian-nyanyian yang mereka dendangkan. Sebagaimana dimaklumi, Imam Syafi’i masuk Mesir tahun 199H.

Perkataan Imam Syafi’i ini mengisyaratkan bahwa masalah nyanyian merupakan masalah baru. Sedangkan kaum zindiq tampaknya sudah dikenal sebelum itu. Alasannya, Imam Syafi’i sering berbicara tentang mereka di antaranya beliau mengatakan:

“Seandainya seseorang menjadi sufi pada pagi hari, maka siang sebelum dhuhur ia menjadi orang yang dungu.”

Dia (Imam Syafi’i) juga pernah berkata: “Tidaklah seseorang menekuni tasawuf selama 40 hari, lalu akal­nya (masih bisa) kembali normal selamanya.” (Lihat Talbis Iblis, hal 371).

Semua ini, menurut Abdur Rahman Abdul Khaliq, menunjukkan bahwa sebelum berakhirnya abad kedua Hijriyah terdapat satu kelompok yang di kalangan ulama Islam dikenal dengan sebutan Zanadiqoh (kaum zindiq), dan terkadang dengan sebutan mutashawwi­fah (kaum sufi).

Imam Ahmad (780-855M) hidup sezaman dengan Imam Syafi’i (767-820M), dan pada mulanya berguru kepada Imam Syafi’i. Perkataan Imam Ahmad tentang keharusan menjauhi orang-orang tertentu yang berada dalam lingkaran tasawuf, banyak dikutip orang. Di antara­nya ketika seseorang datang kepadanya sambil meminta fatwa ten­tang perkataan Al-Harits Al-Muhasibi (tokoh sufi, meninggal 857M). Lalu Imam Ahmad bin Hanbal berkata:

“Aku nasihatkan kepadamu, janganlah duduk bersama mereka (duduk dalam majlis Al-Harits Al-Muhasibi)”.

Imam Ahmad memberi nasihat seperti itu karena beliau telah melihat majlis Al-Harits Al-Muhasibi. Dalam majlis itu para peserta duduk dan menangis –menurut mereka– untuk mengoreksi diri. Mereka berbicara atas dasar bisikan hati yang jahat. (Perlu kita cermati, kini ada kalangan-kalangan muda yang mengadakan daurah/penataran atau halaqah /pengajian, lalu mengadakan muhasabatun nafsi/ mengoreksi diri, atau mengadakan apa yang mereka sebut renungan, dan mereka menangis tersedu-sedu, bahkan ada yang meraung-raung. Apakah perbuatan mereka itu ada dalam sunnah Rasulullah saw? Ataukah memang mengikuti kaum sufi itu?).

Abad III H Sufi mulai berani, semua tokohnya dari Parsi

Tampaknya, Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallahu`anhu mengucapkan perkataan tersebut pada awal abad ketiga Hijriyah. Namun sebelum abad ketiga berakhir, tasawuf telah muncul dalam hakikat yang sebenarnya, kemudian tersebar luas di tengah-tengah umat, dan kaum sufi telah berani mengatakan sesuatu yang sebelumnya mereka sembunyikan.

Jika kita meneliti gerakan sufisme sejak awal perkembangannya hingga kemunculan secara terang-terangan, kita akan mengetahui­ bahwa seluruh tokoh pemikiran sufi pada abad ketiga dan keempat Hijriyah berasal dari Parsi (kini namanya Iran, dulu pusat agama Majusi, kemusyrikan yang menyembah api, kemudian menjadi pusat Agama Syi’ah), tidak ada yang berasal dari Arab.

Sesungguhnya tasawuf mencapai puncaknya, dari segi aqidah dan hukum, pada akhir abad ketiga Hijriyah, yaitu tatakla Husain bin Manshur Al-Hallaj berani menyatakan keyakinannya di depan pengua­sa, yakni dia menyatakan bahwa Allah menyatu dengan dirinya, sehingga para ulama yang semasa dengannya menyatakan bahwa dia telah kafir dan harus dibunuh.

Pada tahun 309H/ 922M ekskusi (hukuman bunuh) terhadap Husain bin Manshur Al-Hallaj dilaksanakan. Meskipun demikian, sufisme tetap menyebar di negeri Parsi, bahkan kemudian berkembang di Irak.

Abad keempat mulai muncul thariqat/ tarekat

Tersebarnya sufisme didukung oleh Abu Sa`id Al-Muhani. Ia mendirikan tempat-tempat penginapan yang dikelola secara khusus yang selanjutnya ia ubah menjadi markas sufisme. Cara penyebaran sufisme seperti itu diikuti oleh para tokoh Sufi lainnya sehingga pada pertengahan abad keempat Hijriyah berkembanglah cikal bakal thariqat/ tarekat sufiyah, kemudian secara cepat tersebar di Irak, Mesir, dan Maghrib (Maroko).

Pada abad keenam Hijriyah muncul beberapa tokoh tasawuf, mas­ing-masing mengaku bahwa dirinya keturunan Rasulullah SAW, kemud­ian mendirikan tempat thariqat sufiyah dengan pengikutnya yang tertentu. Di Irak muncul thariqat sufiyah Ar-Rifa`i (Rifa’iyah); di Mesir muncul Al-Badawi, yang tidak diketahui siapa ibunya, siapa bapaknya, dan siapa keluarganya; demikian juga Asy-Syadzali

(Syadzaliyah/ Syadziliyah) yang muncul di Mesir. Dari thariqat-thariqat tersebut muncul banyak cabang thariqat sufiyah.

Abad ke-6,7, & 8 puncak fitnah shufi

Pada abad keenam, ketujuh, dan kedelapan Hijriyah fitnah sufisme mencapai puncaknya. Kaum Sufi mendirikan kelompok-kelompok khusus, kemudian di berbagai tempat dibangun kubah-kubah di atas kuburan. Semua itu terjadi setelah tegaknya Daulah Fathi­miyah (kebatinan) di Mesir, dan setelah perluasan kekuasaan ke wilayah-wilayah dunia Islam. Lalu, kuburan-kuburan palsu muncul, seperti kuburan Husain bin Ali radliyallahu `anhuma di Mesir, dan kuburan Sayyidah Zainab. Setelah itu, mereka mengadakan peringatan maulid Nabi, mereka melakukan bid`ah-bid`ah dan khufarat-khufarat. Pada akhirnya mereka meng-ilahkan (menuhankan) Al-Hakim Bi-Amrillah Al-Fathimi Al-Abidi.

Propaganda yang dilakukan oleh Daulah Fathimiyah tersebut berawal dari Maghrib (Maroko), mereka menggatikan kekuasaan Abbasiyah yang Sunni. Daulah Fathimiyah berhasil menggerakkan kelompok Sufi untuk memerangi dunia Islam. Pasukan-pasukan kebat­inan tersebut kemudian menjadi penyebab utama berkuasanya pasukan salib (Kristen Eropa) di wilayah-wilayah Islam.

Pada abad kesembilan, kesepuluh, dan kesebelas Hijriyah, telah muncul berpuluh-puluh thariqat sufiyah, kemudian aqidah dan syari`at Sufi tersebar di tengah-tengah umat. Keadaan yang merata berlanjut sampai masa kebangkitan Islam baru.

Ibnu Taimiyyah dan murid-muridnya memerangi shufi

Sesungguhnya kebangkitan Islam sudah mulai tampak pada akhir abad ketujuh dan awal abad kedelapan Hijriyah, yaitu tatkala Imam Mujahid Ahmad bin Abdul-Hakim Ibnu Taimiyyah (1263-1328M) meme­rangi seluruh aqidah yang menyimpang melalui pena dan lisannya, di antara yang diperangi adalah aqidah kaum Sufi.

Setelah itu, perjuangan beliau dilanjutkan oleh murid-muridnya, seperti Ibnul-Qayyim (Damaskus 1292-1350M), Ibnu-Katsir (wafat 774H), Al-Hafizh Adz-Dzahabi, dan Ibnu Abdil-Hadi.

Meskipun mendapat serangan, tasawuf, dan aqidah-aqidah batil terus mengakar, hingga berhasil menguasai umat. Namun, pada abad kedua belas hijriyah Allah mempersiapkan Imam Muhammad bin Abdul-Wahhab untuk umat Islam. Ia mempelajari buku-buku Syaikh Ibnu Taimiyyah, kemudian bangkit memberantas dan memerangi kebatilan. Dengan sebab upaya beliau, Allah merealisasikan kemunculan ke­bangkitan Islam baru.

Da`wah Muhammad bin Abdul-Wahhab disambut oleh orang-orang mukhlis di seluruh penjuru dunia Islam. Namun, daulah sufisme tetap memiliki kekuatan di berbagai wilayah dunia Islam, dan simbol-simbol tasawuf masih tetap ada. Simbol-simbol tasawuf yang dimaksudkan adalah kuburan-kuburan, syaikh-syaikh atau guru-guru sesat, dan aqidah-aqidah yang rusak dan batil (lihat: Al-Fikrush-Shufi fi Dhau`il-Kitab was Sunnah,oleh Abdur-Rahman Abdul-Khaliq, halaman 49-53, dikutip Laila binti Abdillah dalam As-Shufiyyah `Aqidah wa Ahdaf, Darul Wathan Riyad, I, 1410H, hal 13-17).

dikutip dari buku Tasawuf Belitan Iblis
karya H Hartono Ahmad Jaiz -

MAKNA IBADAH DAN PEMBAGIANNYA

Ibadat dalam Islam mempunyai ciri-ciri yang tersendiri yang berbeza sama sekali daripada konsep ibadah di dalam agama dan kepercayaan yang lain. Antara ciri-ciri tersebut ialah tidak ada sebarang perantaraan di antara Allah dan manusia, dan ibadat dalam Islam tidak terikat dengan sesuatu tempat atau masa yang tertentu.

Firman Allah SWT :

Maksudnya:“Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia, kecuali agar mereka beribadah kepada Ku”

(Az-Zariyat: 56)

Rasulullah SAW bersabda. ( Terjemahannya ):

“Seluruh muka bumi ini adalah masjid untukku; Suci dan bersih.”

Ibadat itu terdiri daripada berbagai bentuk, bukan satu macam sahaja sehingga manusia merasa tidak jemu dalam menunaikan ibadatnya. Peningkatan ibadat itu pula berbeza dan beraneka rupa sesuai dengan perangai, kecenderungan dan minat manusia itu sendiri.

Ibadat di dalam Islam merangkumi segala kegiatan manusia dari segi rohaniah dan jasmaniah. Tiap-tiap seorang muslim boleh mencampurkan urusan dunia dan akhirat, inilah kombinasi yang indah di dalam Islam yang tidak terdapat di dalam agama-agama lain.

Pintu untuk membuat ibadat adalah terbuka di semua penjuru. Semua aktiviti manusia sehingga makan dan minum pun boleh menjadi ibadat jika ia berniat untuk mengumpulkan tenaga bagi memperjuangkan perkara-perkara yang baik seperti yang disuruh oleh Islam.
Pengertian Dan Ruang Lingkup Ibadat

Perkataan ibadat datang dari perkataan Arab. Dari segi bahasa bererti: patuh, taat, tunduk, menyembah dan perhambakan diri kepada sesuatu.

Dari segi istilah agama: Ibadat bererti tindakan menurut dan mengikat diri dengan sepenuhnya kepada segala perkara-perkara yang disyariatkan oleh Allah dan diseru oleh para Rasul, sama ada ia berbentuk suruhan atau larangan.

Di antara ayat perintah beribadat, contohnya sebagaimana firman Allah SWT :

Maksudnya:

“Dirikanlah sembahyang serta berikan zakat.”

(An-Nisa’ : 77)

Sementara itu banyak terdapat ayat al Qur’an dan al Hadis yang mewajibkan supaya beribadat. Di antaranya:

Maksudnya :

“Dan (ingatlah) Aku tidak menciptakan Jin dan Manusia melainkan untuk mereka menyembah dan beribadat kepadaKu.”

(Az-Zaariyat : 56)

Firman Allah SWT lagi:

Maksudnya :

“Wahai sekalian manusia beribadahlah kepada Tuhan kau yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang terdahulu daripada kamu supaya kamu (menjadi orang-orang yang) bertaqwa.”

(Al-Baqarah : 21)

Daripada ayat di atas boleh dibuat kesimpulan berikut:

1. Allah SWT menciptakan umat manusia dan memerintah mereka supaya melakukan ibadat serta menjunjung perintahNya dan meninggalkan larangan-laranganNya.
2. Tujuan sebenar Allah SWT menciptakan manusia ialah untuk beribadat. Manusia diwajibkan beribadat kepada Allah SWT serta mengemukakan ibadah-ibadahnya, hanya kepada Allah tanpa menyekutui Allah dengan sesuatu makhluk.
3. Mewajibkan dan tugas beribadat sentiasa dituntut hingga sampai menemui Allah, seseorang itu tidak akan terlepas daripada tugas tersebut walaupun jiwanya telah meningkat tinggi dan sentiasa dalam perhubungan yang kuat dengan tuhannya.
4. Setiap peribadatan hendaklah berdasarkan keikhlasan yang lahir daripada hati yang redha, sebagai mengabdikan diri kepada Allah SWT.

Pembahagian Dan Matlamat Ibadah

Ibadah terbahagi kepada tiga iaitu ibadah asas (fardu ain), ibadah fardu kifayah dan ibadah umum.

1. Ibadah Asas.

Ibadah asas ialah ibadat yang merupakan fardu ain yang merangkumi soal-soal aqidah sperti dalam rukun iman yang enam. Ia juga merupakan amalan wajib yang perlu ditunaikan oleh setiap orang muslim seperti yang terkandung dalam rukun Islam. Ini bererti bahawa sebelum kita melaksanakan ibadat yang lain, kedua-dua ibadat yang asas ini perlu dilaksanakan terlebih dahulu.
2. Ibadah Fardu Kifayah.

Bidang ibadat ini menitikberatkan kepada amalan-amalan sosial dalam masyarakat Islam yang merupakan nadi atau urat saraf yang menghubungkan antara antara satu sama lain. Ia meliputi menyelenggarakan mayat untuk dikuburkan, menegakkan jihad dalam semua bidang, menegakkan sekolah dan institusi pengajian tinggi (dalam semua bidang yang diperlukan), mewujudkan ekonomi Islam, mewujudkan pentadbiran Islam dan melaksanakan kebajikan am.
3. Ibadah Umum.

Ibadah umum ialah segala kegiatan manusia yang tunduk kepada hukum-hukum dan nilai-nilai agama Islam. Segala aktiviti dan amalan manusia dan tugas-tugasnya sehari-hari tergolong dalam istilah ibadah jika ia dilaksana dengan ikhlas dan jujur. Ibadah umum boleh dibahagikan kepada dua bahagian :

* Peribadi dan akhlak yang tinggi yang boleh mendatangkan pahala seperti bercakap benar, amanah jujur merendah diri, tidak mementingkan diri sendiri atau menganggap diri lebih tinggi dan mulia daripada orang lain, menunaikan janji dan tidak mengkhianati orang lain.

Firman Allah SWT: Maksudnya:

“…hendaklah kamu bertolong-tolongan untuk membuat kebajikan dan bertakwa dan janganlah kamu bertolong-tolongan pada melakukan dosa ( maksiat )…”

( Al- Iara’ : 37 )

Sabda Rasulullah SAW ( Terjemahannya ) :

“ Iman itu mempunyai 77 cabang dan malu ialah salah satu daripada cabang iman.

( Al Bukhari )

Termasuk dalam erti iman ialah sayang kepada saudaranya. Sabda Rasulullah SAW maksudnya :

“Tidak beriman ( iman yang sempurna ) salahnya ( sesama Muslim ) sebagaimana ia mencintai dirinya . “

( Al Bukhari )

Ibadah umum dalam bentuk mengatur cara kehidupan seharian daripada pengurusan keperluan peribadi sehinggalah kepada cara membina negara, perhubungan antara bangsa, cara melaksanakan hukum dalam masa perang dan damai. Semuanya ada peraturan-peraturan akhlak yang mulia daripada perspektif Islam yang boleh membuat amalan-amalan kita itu menjadi ibadah.
Syarat-Syarat Bagi Sesuatu Amalan (Adat) Menjadi Ibadah

Semua pekerjaan kita boleh menjadi ibadah jika dilakukan mengikut cara-cara yang telah ditetapkan oleh Islam. Ia mesti mengandungi perhubungan dua hala. Iaitu perhubungan kita dengan Allah dan perhubungan kita sesama manusia.

Firman Allah SWT :

Maksudnya:

“Akan ditimpa kehinaan ke atas mereka itu di mana sahaja. Mereka berada melainkan mereka menghubungkan diri dengan Allah dan menghubungkan diri sesama manusia”.

Kalau kita hanya menegakkan salah satu dari dua hubungan ini sahaja, umpamanya perhubungan sesama manusia sahaja tanpa memberikan perhatian kepada perhubungan dengan Allah SWT dan tidak menurut perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW, ia tidak dikira ibadah dan Allah mungkin menimpakan azab dan kehinaan ke atas kita.

Oleh itu, amalan-amalan biasa hanya akan diakui sebagai ibadat jika ia memenuhi syarat-syarat berikut:

1. Amalan yang dikerjakan itu hendaklah diakui Islam, iaitu sesuai dengan hukum-hukum syariat dan tidak bercanggah dengan hukum-hukum tersebut.
2. Amalan-amalan itu dikerjakan dengan niat yang baik dan diredhai Allah. Sebagai seorang muslim amalan tersebut mestilah untuk memelihara kehormatan dirinya, menyenangkan keluarganya, memberi manfaat kepada umatnya dan dapat memakmurkan bumi Allah sebagaimana yang dianjurkan oleh Allah SWT.
3. Amalan-amalan itu hendaklah dibuat dengan seelok-eloknya bagi menepati kehendak-kehendak hadis Nabi SAW sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim yang bererti; “Sesungguhnya Allah mewajibkan kebaikan pada tiap-tiap sesuatu.”
4. Ketika membuat kerja-kerja hendaklah sentiasa menurut hukum-hukum syariat dan batasnya, tidak menzalimi orang, tidak khianat, tidak menipu dan tidak menindas atau merampas hak orang.
5. Dalam mengerjakan amalan-amalan dunia itu tidak lalai dan tidak cuai dari menjalankan kewajipan ibadat yang khusus seperti solat, puasa dan sebagainya sesuai dengan firman Allah SWT :

Maksudnya :

“(Ibadat itu dikerjakan oleh) orang-orang yang kuat imannya yang tidak dilalaikan oleh perniagaan atau berjualbeli daripada menyebut serta mengingati Allah dan mendirikan sembahyang serta memberi zakat. Mereka takutkan hari (kiamat) yang padanya berbalik-balik hati dan pandangan.”

(An-Nuur : 37)

Jadi bila sahaja seorang mukmin dapat menyempurnakan kelima-lima syarat di atas dalam mengendalikan segala pekerjaan dan urusan hidupnya setiap hari dia adalah dikira sentiasa beribadat kepada Allah meskipun dia tidak duduk di masjid-masjid atau di surau-surau ketika membuat kerja-kerja tersebut.
Kesimpulan

Konsep ibadah dalam Islam adalah amat luas dan menyeluruh, merangkumi tingkah laku dan amalan manusia seluruhnya yang dikerjakan menurut ajaran Islam. Ibadah mempunyai kaitan yang rapat dengan akhlak. Menerusi ibadah yang betul akan melahirkan kelakuan yang baik bersopan dan berakhlak mulia. Nilai akhlak berpunca daripada agama ditetapkan oleh al Qur’an dan al sunnah. Setiap amalan yang memenuhi syarat-syarat berkenaan boleh menjadi ibadah.


http://www.islamgrid.gov.my

MAKNA BID'AH ( pembagian ibadah )

QO’IDAH BID’IYYAH

1. Ta’rif (Definisi) Bid’ah.

Bid’ah menurut bahasa/etimologi bermakna إختراع(ikhtira’) yaitu sesuatu yang diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya, misalnya perkataan orang Arab : أبدع الله الخلق (ertinya: Allah telah mengadakan makhluk dari tidak ada menjadi ada tanpa ada contoh sebelumnya, atau disingkat Allah telah menciptakan makhluk). Atau sebagaimana pula dalam firman Allah : بديع السموات والأرض (البقرة : 117) ertinya : Allah menciptakan langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya (Al-Baqarah : 117).

Bid’ah menurut istilah/terminologi adalah : عبارة عن طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه ertinya : “Cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at dengan maksud untuk melebihkan dalam beribadah kepada Allah”9. Hal ini mengacu kepada sabda Nabi r yang diriwayatkan oleh Ummul Mu’minin ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha, bersabda Nabi r: من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو ردّ ertinya : “Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam urusan (agama) ini suatu perkara yang tidak ada perintahnya maka ia tertolak.” (Muttafaq ‘alaihi), dalam riwayat Muslim, bersabda Nabi r : من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو ردّ ertinya : “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tiada perintahnya dariku dari perkara ini (agama) maka ia tertolak. (HR Muslim)10

2. Dalil haramnya bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat.11

* Dalil dari Al-Qur’an :

وأن هذا صراطي مستقيما فاتبعوه ولا تتبعوا السبل فتفرق بكم عن سبيله ذلكم وصاكم به لعلكم تتقون

“Dan bahawa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), kerana jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.”12

Diriwayatkan dari Abul Hujjaj bin Jubair Al-Makky13, menafsirkan ولا تتبعوا السبل (dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain), beliau berkata yang dimaksud dengan السبل (jalan-jalan yang lain) adalah bid’ah dan syubuhat.

* Dalil dari hadits Rasulullah r

1. عن أم المؤمنين عائشة رضي الله عنها, قال رسول الله : من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو ردّ (متفق عليه) و في رواية لمسلم, , قال رسول الله : من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو ردّ (رواه مسلم)

Dari Ummul Mu’minin ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha bersabda Rasulullah r “Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam urusan (agama) ini suatu perkara yang tidak ada perintahnya maka ia tertolak.” (Muttafaq ‘alaihi), dalam riwayat Muslim, bersabda Nabi r : “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tiada perintahnya dariku dari perkara ini (agama) maka ia tertolak.” (HR Muslim)

, قال رسول الله : أما بعد، فإن أصدق الحديث كلام الله وخير الهدي هدي محمد rوشر الأمور محدثاتها وكلّ محدثة بدعة ، وكل بدعة ضلالة ، وكل ضلالة في النار (متفق عليه)

Bersabda Rasulullah r : “Adapun setelah itu, sesungguhnya sebenar-benar kalam adalah Kalam Allah I dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad r. Sedangkan seburuk-buruk suatu perkara adalah perkara yang baru (muhdats) dan setiap muhdats itu Bid’ah dan setiap kebid’ahan itu neraka tempatnya.” (Muttafaq ‘alaihi)

عن عرباض بن سرية, , قال رسول الله : من يعش منكم فسيرى إخنلافا كثيرا, فعليكم بستتي و سنة.

الخلفاء الزاشدين المهدين, تمسكوا بها و عضوا عليها باالنواجذ, وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة و كل بدعة ضلالة (رواه مسلم)

Dari ‘Irbadh bin Sariyah, bersabda Rasulullah r : “Barangsiapa yang hidup sepeninggalku nanti, akan melihat perselisihan yang banyak, maka peganglah sunnahku dan sunnah Khalifah yang lurus dan mendapatkan petunjuk, genggamlah dengan kuat dan gigitlah dengan gerahammu, jauhilah olehmu perkara yang muhdats (baru), kerana setiap muhdats itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR Muslim)

Dari hadits di atas, dinyatakan bahawa كل بدعة ضلالة (Setiap bid’ah itu sesat), yakni hal ini menunjukkan secara terang dan nyata bahawa tidak ada bid’ah hasanah, kerana Rasulullah r telah menjelaskan secara jelas bahawa كل بدعة ضلالة (Setiap bid’ah itu sesat). Para ulama’ sepakat bahawa kata كل (Kullu) yang diikuti oleh اسم ناقرة ism naaqirah (objek umum) bukan اسم معرفة ‘ism ma’rifat (objek khas) tanpa adanya استثناء istitsna’ (pengecualian), maka ia terkena keumuman dari kata كل (Kullu) tersebut. Sehingga bermakna, bahawa semua bid’ah tanpa terkecuali adalah sesat!!! Maka batallah pernyataan sebagian kaum muslimin yang menyatakan bahawa bid’ah itu ada yang hasanah.

Imam Malik, sebagaimana dinukil oleh Imam Syathibi dalam I’tisham14, menyatakan secara tegas bantahan terhadap orang-orang yang menyatakan kewujudan bid’ah hasanah, beliau rahimahullah berkata :

من ابتدع في الإسلام بدعة و يراها حسنة فقد زعم أن النبي صلّى الله عليه و سلّم خان رسالة, لأنّ الله تعالى يقول : اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا (المائدة : 3) فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا.

“Barangsiapa yang mengada-adakan bid’ah di dalam Islam dan menganggapnya sebagai suatu hal yang hasanah, sungguh dia telah menuduh Rasulullah r mengkhianati risalahnya, kerana Allah I telah berfirman : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-redhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka apa-apa yang bukan bagian agama pada hari itu (ayat ini diturunkan) maka bukanlah pula termasuk agama pada hari ini.”15

3. Ibadah itu tauqifiyyah dan tak perlu tambahan lagi.

Tauqifiyyah maksudnya adalah لا يثبت و لا يعمل إلا بدليل من القرآن و السنة (Tidaklah ditetapkan dan diamalkan kecuali jika berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah)16

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Ubudiyah17 menjelaskan tentang dua tiang dasar dalam ibadah, yakni :

3.1. Tidak boleh beribadah kecuali hanya kepada Allah ta’ala semata (ikhlash)

3.2. Tidak boleh beribadah kecuali dengan apa-apa yang disyariatkan-Nya dan haram beribadah dengan berbagai jenis bid’ah.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam I’lamul Muwaqqi’in18 berkata : “Bahawa asal di dalam ibadah adalah batal dan haram sampai tegak dalil yang memerintahkannya.”

Ibnu Katsir di dalam tafsirnya19, mengatakan : “Bahawa di dalam masalah ibadah hanya terbatas pada nash, tidak boleh dipalingkan dengan berbagai macam qiyas (analogi) dan ra’yu (akal fikiran). “

Dari sini para ulama’ fiqh beristinbath (menggali hukum dan membuat kesimpulan) kaedah ushul fiqh yang berbunyi : الأصل في العبادة الممنع والمحرم أم الأصل في العبادة الإتباع yang ertinya, “Hukum asal dalam masalah ibadah adalah terlarang dan haram atau hukum asal di dalam ibadah adalah ittiba’”, sehingga datang nash, dalil atau hujjah yang memalingkannya. Maksudnya adalah terlarang dan haram beribadah hingga telah terang dan jelas bagi kita akan dalilnya dari Kitabullah atau hadits Rasulullah r. Sehingga dengan kaedah ini, syari’at Islam akan senantiasa murni dan terjaga daripada hawa nafsu dan apa-apa yang bukan dari Islam, akan terjaga daripada penyelewengan para munharifin (kaum yang menyimpang), dan Islam tetap menjadi agama yang berbeza dari agama selainnya yang dengan segala kesempurnaannya tak memerlukan penambahan dan pengurangan. Kerana jika kita menambahkan sesuatu dalam agama ini padahal agama ini telah sempurna, ataupun menguranginya, bererti pada hakikatnya kita menganggap sesuatu itu kurang, sehingga perlu kita tambahkan dan kita kurangi.20

4. Pembagian Ibadah dan dhowabithnya

Ibadah menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah : إسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضه من الأقوال والأفعال ظاهزا وباطنا ertinya: “Suatu nama yang mencakupi apa-apa yang dicintai Allah I dan diredhai-Nya daripada ucapan dan perbuatan, baik yang zahir mahupun bathin”.

Syaikh ‘Utsaimin di dalam kitab Al-Ibtida’ fi kamal Asy-Syar’i menjelaskan syarat yang mesti dipenuhi dalam ibadah, bahawa sebagaimana ketika Fudhail bin Iyadh menerangkan ayat الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “ Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”21. Beliau menerangkan bahawa أَحْسَنُ عَمَلًا (yang lebih baik amalnya) adalah أخلصه وأصوابه “yang paling ikhlash dan paling benar (ittiba’ Rasul)”. Jadi syarat mutlak dalam ibadah adalah :

4.1. Ikhlash lillahi (ikhlas kerana Allah) I dan menjauhkan diri dari syirik baik syirik asghar22 maupun syirik akbar23.

4.2. Mutaba’ah li Rasulillah (mengikuti Rasulullah) dan menjauhkan diri daripada bid’ah dan muhdats.

Syaikh ‘Utsaimin melanjutkan, “Perlu diketahui bahawa mutaba’ah tidak akan dapat tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari’at dalam enam perkara:

4.2.1. Sebab, yakni jika seseorang melakukan ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan mardud (tertolak). Contoh : seseorang yang melakukan sholat tahajjud pada malam 27 Rajab, dengan alasan bahawa malam tersebut adalah malam mi’raj Rasulullah r, adalah bid’ah, kerana sholat tahajjudnya dikaitkan dengan sebab yang tidak ditetapkan dengan syari’at, walaupun sholat tahajjud itu sendiri adalah sunnah. Namun kerana dikaitkan dengan sebab yang tidak syar’i, sholatnya menjadi bid’ah.

4.2.2. Jenis, yakni ibadah mesti sesuai dengan syari’at dalam jenisnya, jika tidak maka termasuk bid’ah. Contoh : seseorang menyembelih kuda untuk korban adalah tidak sah, kerana menyelisihi syari’at dalam ketentuan jenis haiwan korban, yang disyari’atkan hanyalah unta, sapi dan kambing.

4.2.3. Kadar (bilangan), yakni ibadah mesti sesuai dengan bilangan/kadarnya, jika menyelisihinya maka termasuk bid’ah. Contoh : seseorang sholat zuhur 5 rakaat, dengan menambah bilangan sholat tersebut, hal ini tidak syak lagi termasuk bid’ah yang nyata.

4.2.4. Kaifiyat (cara), seandainya seseorang berwudhu dengan cara membasuh kaki terlebih dahulu kemudian tangan, maka tidak sah wudhunya, kerana menyelisihi kaifiyat wudhu’.

5. Waktu, yaitu seandainya ada orang yang menyembelih binatang korban pada hari pertama bulan Dzulhijjah, maka tidak sah, kerana waktunya tidak sebagaimana yang diperintahkan.

6. Tempat, seandainya seseorang beri’tikaf bukan di Masjid, maka tidak sah I’tikafnya, kerana I’tikaf hanyalah disyari’atkan di masjid, tidak pada selainnya.

Al-Ustadz Abdul Hakim Abdat, dalam Risalah Bid’ahnya menukil pembagian ibadah menjadi dua jenis, yakni :

6.1. Ibadah Mutlak, yaitu suatu ibadah yang tidak ditentukan secara khusus oleh Rasulullah kaifiyatnya, jumlahnya, waktu, tempat maupun sifatnya secara khusus dan terperinci. Biasanya ibadah mutlak berbentuk suatu perintah dan berita umum dari Rasulullah tanpa ada qoyyid (pembatas) jumlah, waktu, tempat maupun sifatnya. Contohnya adalah, mengucapkan salam, Rasulullah r bersabda, افشوا السلام بينكم “Tebarkan salam di antara kalian”, lafaz hadits ini adalah umum, tidak diterangkan beliau r akan batasan waktunya, bilangannya, dan tempatnya.

6.2. Ibadah Muqoyyad, yaitu ibadah yang terikat dengan jumlah, bilangan, waktu, tempat mahupun sifatnya, yang diterangkan secara tafshil (terperinci) oleh Rasulullah r. Contohnya adalah sholat, di mana banyak hadits yang datang menerangkan tentang sifatnya, bilangannya, waktunya, dan tempatnya.

Ta’rif Sunnah dan sunnah adalah lawan bid’ah.

Sunnah menurut bahasa adalah طريق (jalan/cara), سبيل (jalan), dan منهج(manhaj/method). Adapun menurut istilah adalah ما أضيف إلى النبي صلى الله عليه و سلم من فعل أو قول أو تقرير أو صفة خلقية و خلوقية “Apa-apa yang disandarkan kepada Nabi r daripada perbuatan atau perkataan atau persetujuan ataupun sifat akhlak dan penampilan beliau r”. Sunnah ditinjau daripada pemahamannya ada dua, yakni :

6.2.1. Sunnah menurut fuqoha’ (ahli fiqh), adalah bermakna mandub/hukum. Maksudnya adalah jika diamalkan mendapatkan pahala namun jika ditinggalkan tidaklah mengapa dan tidak disiksa.

6.2.2. Sunnah menurut muhadditsin (ahli hadits), adalah bermakna hadits, sebagaimana definisi sunnah menurut istilah di atas, sehingga ada sunnah yang berhukum wajib dan ada yang sunat.

Adapun ditinjau dari pelaksanaannya, sunnah dibagi menjadi dua, yaitu :

6.2.2.1. Sunnah Fi’liyah, yakni Apa-apa yang disandarkan kepada Nabi r daripada perbuatan atau perkataan atau persetujuan ataupun sifat akhlak dan penampilan beliau r. Hukumnya ada yang wajib dan ada yang sunat.

6.2.2.2. Sunnah Tarkiyah, yakni apa-apa yang disangka sebagai suatu sunnah dan dinisbatkan kepada Rasulullah r, padahal beliau tidak pernah menunjukkannya, meninggalkannya adalah wajib dan melaksanakannya adalah bid’ah.

Jadi jelas bahawa meninggalkan sunnah adalah suatu bid’ah dan meninggalkan bid’ah adalah sunnah, kedua-duanya tak dapat dipersatukan untuk selama-lamanya, kerana ia bagaikan air dan minyak, ia bagaikan langit dan bumi. Sebagaimana dalam kalimat tauhid لا إله إلا الله terkandung nafyu (penafian/peniadaan) dan itsbat (penetapan), yakni nafyu terhadap segala bentuk kesyirikan dan itsbat terhadap tauhid ibadah lillah. Demikian pula bid’ah dan sunnah, mengetahui bid’ah adalah suatu keperluan agar terhindar daripadanya dan lebih memahami akan hakikat sunnah itu sendiri, sebagaimana ucapan seorang penyair :



عرفت الشرّ لا للشرّ ولكن لتوقيه و من لم يعرف الخير من الشرّ يقع فيه

“Aku mengetahui keburukan bukan untuk mengamalkan keburukan, tetapi untuk menghindarinya

dan barang siapa yang tidak mengetahui antara kebaikan dan keburukan, nescaya dia terjerumus ke dalamnya”

Bahkan mengetahui sesuatu dengan cara mengetahui lawannya adalah selaras dengan firman Allah :

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ(256)

“Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”24. Sebagaimana tauhid tidaklah diketahui kecuali dengan menjauhi lawannya, yakni syirik, dan iman takkan terealisasi kecuali dengan menjauhi lawannya, yaitu kufur. Demikian pula, sunnah takkan jelas dan tanda-tandanya tidak akan terang, kecuali dengan mengenal lawannya, yaitu bid’ah.

Sungguh indah perkataan Ibnu Qutaibah :

و لن تكمل الحكمة والقدرة إلا بخلق الشيء وضده, ليعرف كل منهما بصاحبه, فالنور يعرف بالظلم, والعلم يعرف بالجهل, والخير يعرف بالشّرّ, والنفع يعرف بالضرّ, والحلو يعرف بالمرّ.

“Hikmah dan qudrah takkan sempurna melainkan dengan menciptakan lawannya agar masing-masing diketahui dari pasangannya. Cahaya diketahui dengan adanya kegelapan, ilmu diketahui dengan adanya kebodohan, kebaikan diketahui dengan adanya keburukan, kemanfaatan diketahui dengan adnaya kemudharatan, dan rasa manis diketahui dengan adanya rasa pahit.”25

7. Pembagian Bid’ah dan bahaya serta kerosakannya terhadap ummat.

Telah dijelaskan bahawa bid’ah seluruhnya adalah sesat, dan adalah tidak benar menganggap bid’ah ada yang hasanah, dengan hujjah dan alasan yang telah disebutkan. Para ulama’ membagi bid’ah menjadi dua26, yakni :

7.1. Bid’ah Haqiqiyah : Suatu macam bid’ah yang tidak ditunjukkan sedikitpun suatu dalil syar’i dari segala sisi, baik secara ijmal (umum), apalagi secara tafshil (terperinci). Contoh : Peringatan Maulid Nabi27, Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an, Tahlilan28, Demonstrasi29, dan lain-lain.

7.2. Bid’ah Idhafiyah : Suatu macam bid’ah yang jika ditinjau dari satu sisi ia memiliki dalil/hujjah, namun jika ditinjau dari sisi lain, tidak ada tuntunan syariatnya dari Rasulullah r. Dengan cara, memutlakkan ibadah muqoyyad ataupun sebaliknya, memuqoyyadkan ibadah mutlak, tanpa ada keterangannya dari Rasulullah. Contoh : Dzikir jama’i30, membasuh kaki hingga lutut ketika berwudhu’, membaca yasin setiap malam jumaat31, dan lain-lain.

Termasuk dalam kerangka cemburu kepada Allah, Rasul-Nya dan agama-Nya, adalah menafikan hal baru yang disandarkan kepada agama, menjauhinya dan mentahdzirnya (memperingatkan ummat daripada bahayanya). Ini kerana perlakuan bid’ah akan menimbulkan beberapa kerosakan sebagai berikut:

7.2.1. Orang-orang awam akan menganggap dan meyakininya sebagai suatu yang benar atau baik.

8.2.2. Menimbulkan kesesatan bagi ummat dan menolong mereka untuk mengerjakan yang salah.

7.2.3. Jika yang melakukan bid’ah itu orang yang alim, ia dapat menjadikan masyarakat mendustakan Rasulullah r. Kerana mereka menganggap ini sunnah dari Rasulullah r padahal beliau r tak pernah mengajarkannya.

7.2.4. Sunnah menjadi samar dengan bid’ah, akibatnya seluruh sendi agama menjadi samar pula, sehingga kesyirikan, khurafat dan tahyul menjadi samar.

7.2.5. Padamnya cahaya agama Allah, kerana kebid’ahan merupakan sumber perpecahan dan penghalang turunnya pertolongan Allah, akibatnya ummat Islam selalu terlingkupi kehinaan dan kekalahan.

8. Kaedah dalam menyatakan suatu amalan sebagai bid’ah

Imam Al-Muhaddits Al-Ashr Al-Allaamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam kitabnya Ahkamul Jana-iz wa bid’uha32 menjelaskan lapan perkara yang dapat dikategorikan sebagai bid’ah :

8.1. Setiap perkara yang menyelisihi sunnah baik ucapan, amalan, I’tiqod maupun dari hasil ijtihad.

8.2. Setiap sarana yang dijadikan wasilah untuk bertaqarrub kepada Allah, namun Rasulullah r melarangnya atau tidak mengajarkannya.

8.3. Setiap perkara yang tidak mungkin di syariatkan kecuali dengan nash (tauqifiyah) namun tak ada nashnya, maka ia adalah bid’ah, kecuali amalan sahabat.

8.4. Sesuatu yang dimasukkan dalam ibadah dari adat-adat dan tradisi orang kafir.

8.5. Apa-apa yang dinyatakan ulama’ kontemporari sebagai amalan mustahab tanpa ada dalil yang mendukungnya.

8.6. Setiap tata cara ibadah yang dijelaskan melalui hadits dho’if atau maudhu’

8.7. Berlebihan (ghuluw) dalam beribadah.

8.8. Setiap peribadatan yang dimutlakkan syari’at, kemudian dibatasi oleh manusia seperti tempat, waktu, kaifiyat dan bilangan tanpa ada dalil khususnya.

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahawa segala hal yang diada-adakan dalam permasalahan agama adalah tercela dan jelek sekali. Kerana sebagaimana perkataan Imam Fudhail bin Iyadh, bahawa إن البدعة أحب إلى ألشيطان من للمعصية “Sesungguhnya bid’ah itu lebih dicintai syaithan berbanding maksiat”, kerana pelaku maksiat sedar akan kesalahannya, kerana dia mengetahui bahawa maksiat itu adalah keharaman yang nyata, sedangkan pelaku bid’ah yang mengamalkan suatu bid’ah menganggapnya sebagai suatu sunnah.

Ibnu ”’Umar Radhiallahu ‘anhu juga berkata : كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة “Setiap bid’ah adalah sesat meskipun manusia menganggapnya baik”33. Maka janganlah tertipu dengan banyaknya bid’ah di hadapan mata dan manusia menganggapnya sebagai kebajikan, kerana sesungguhnya Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu berkata : اتبعوا ولا تبتدعوا فقد كفيتكم “Ittiba’lah jangan berbuat bid’ah kerana kau telah dicukupi.”34

Nota kaki:

10 Disarikan dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 23-26

11 Disarikan dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 91-105

12 QS Al-An’am (6) : 153

13 Beliau adalah Sa’id bin Jubair, ulama’ Tabi’in yang ahli tafsir dan pakar di zamannya

14 Al-I’tisham (I/49)

15 ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 20

16 Lihat Kitabut Tauhid ‘Aliy Lishshoffil awwal Syaikh Sholih Fauzan Al Fauzan hal. 11.

17 Ubudiyah, hal. 127

18 I’lamul Muwaqqi’in juz I hal. 334

19 Tafsir Al-Qur’anil Adhim (IV/258)

20 Disarikan dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 69-73

21 QS Al-Mulk (67) : 2

22 Syirik yang tidak sampai menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, dan membatalkan amalan yang disertainya saja, seperti riya’, sum’ah, dan lain-lain.

23 Syirik yang membatalkan keislaman pelakunya dan mengeluarkannya dari Islam serta menghapus seluruh amalnya, seperti menyembah berhala atau wali-wali selain Allah, tabaruk (mengambil berkah) pada mayat, dan lain-lain.

24 QS Al-Baqarah (2) : 256. Kalimat فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ (barang siapa yang ingkar dengan thaghut) menunjukkan nafyu (penafian) terhadap thaghut dan segala bentuk kesyirikan sedangkan وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ (barangsiapa yang iman kepada Allah) menunjukkan itsbat (penetapan) terhadap Allah sebagai ilah Al-Haq (satu-satunya sesembahan yang benar).

25 Ta’wil Mukhalafil Hadits hal. 14, disarikan dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 37-41.

26 ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 147-148

27 Masalah ini tidak syak lagi termasuk bid’ah yang nyata, dan tidak khilaf para ulama’ Salaf tentangnya. Telah banyak pula bantahan para ulama’ baik Salaf dan kholaf tentang peringatan Maulid Nabi yang bid’ah ini. Syaikhul Islam menerangkan bahawa bid’ah ini pertama kali dihembuskan oleh para zanadiqah (munafiqin) Syi’ah ketika mereka berkuasa pada era bani Fathimiyyah. Syi’ah dan Shufi merupakan penyebab utama tersebarnya bid’ah, syirik dan khurafat di tengah-tengah ummat Islam. Namun, sangat menyedihkan, ketika sebahagian harakah da’wah yang merebak saat ini, mereka terjebak dengan bid’ah semacam ini. Termasuk juga peringatan-peringatan hari besar Islam lainnya.

28 Tahlilan atau peringatan kematian telah banyak dijelaskan oleh para ulama’ akan bid’ah dan bahayanya. Budaya di Indonesia dengan 40 hari, 100 hari, 1000 hari, dan seterusnya adalah adat yang berakar daripada keyakinan syirik dan khurafat bid’ah, peninggalan dari sisa-sisa I’tiqad agama Hindhu yang paganis dan berhalais.

29 Tidak syak lagi, demonstrasi atau Mudhoharoh, yang seolah-olah telah menjadi wasilah dalam amar ma’ruf nahi munkar terutama terhadap penguasa dan memperjuangkan penegakan syari’at Islam, adalah bid’ah baru yang berasal dari sistem kufur yang tidak dikenal di dalam Islam, yaitu Demokrasi. Menegakkan demonstrasi pada hakikatnya adalah tasyabbuh ‘alal kuffar (meniru golongan kafir) dalam method dan cara. Padanya terdapat kerosakan-kerosakan seperti ikhtilat, keluarnya wanita-wanita ke jalan, khuruj terhadap pemerintah, dan lain-lain.

30 Dzikir Jama’i yang sekarang lagi dilakukan masyarakat, dan laku bak kacang goreng, adalah method ibadah yang bid’ah. Kerana Islam tidak pernah mengajarkan berdzikir secara jama’ah dan dipimpin oleh seorang Imam adalah metode ibadah yang bid’ah. Dikatakan bid’ah, kerana pada satu sisi, memang ada dalil yang menunjukkan anjuran berdzikir, namun pada sisi kaifiyat pelaksanaan, sesungguhnya tidak ada satupun dalil yang warid dari Rasulullah r menerangkan akan metode berdzikir demikian. Sehingga dikatakan termasuk sebagai bid’ah idhafi.

31 Pada hakikatnya, membaca Al-Qur’an adalah termasuk sunnah Rasulullah r, namun yang menjadi permasalahan adalah jika kita mengkhusukan suatu surat atau ayat dari Al-Qur’an, dan juga mengkhusukan waktu tertentu, seperti membaca surat Yasin setiap malam Jum’at, tanpa didasarkan dari dalil, atau tidak berdiri dari hujjah. Maka amalan ibadah ini, disebabkan oleh pengkhususan waktu dan jenis ayat yang tak pernah diajarkan oleh Nabi, maka amalam tersebut menjadi amalan bid’ah.

32 Ahkamul Jana-iz wa Bid’uha hal. 241-242.

33 Diriwayatkan oleh Al-Lalikai (no 126), Ibnu bathah (205), Baihaqi dalam Al-Madkhal ila sunan (191), Ibnu Nashir dalam As-Sunnah (no 70) dengan tahqiqnya. Sanadnya shahih. Dinukil dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 92.

34 Diriwayatkan oleh Ibnu Khaitsamah dalam Al-Ilmu (no 14) dari jalan An-Nakha’i. Sanadnya shahih. Dinukil dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 20.

KONSEP IBADAH DALAM ISLAM ( pembagian jenis ibadah )

Konsep Ibadah

* 1. KONSEP IBADAH DALAM ISLAM Pendahuluan Hidup manusia dibumi ini bukanlah suatu kehidupan yang tidak mempunyai tujuan dan matlamat dan bukanlah mereka boleh melakukan sesuatu mengikut kehendak perasaan dan keinginan tanpa ada batas dan tanggungjawab. Tetapi penciptaan makhluk manusia di bumi ini adalah mempunyai suatu tujuan dan tugas risalah yang telah ditentu dan ditetapkan oleh Allah Tuhan yang menciptanya. Tugas dan tanggungjawab manusia sebenarnya telah nyata dan begitu jelas sebagaimana terkandung di dalam al-Quran iaitu tugas melaksanakan ibadah mengabdikan diri kepada Allah dan tugas sebagai khalifah-Nya dalam makna mentadbir dan mengurus bumi ini mengikut undang-undang Allah dan peraturan- Nya. Firman Allah swt. maksudnya: “Dan Aku Tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah (menyembah) kepada Ku”. (Az-Zaariyaat: 56) Firman Allah swt. bermaksud: “Dan Dialah yang menjadikan kamu khalifah (penguasa-penguasa) di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebaha-gian (yang lain) beberapa darjat untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu”. (al-An’aam: 165) Tugas sebagai khalifah Allah ialah memakmurkan bumi ini dengan mentadbir serta mengurusnya dengan peraturan dan undang-undang Allah. Tugas beribadah dan mengabdi diri kepada Allah dalam rangka melaksanakan segala aktiviti pengurusan bumi ini yang tidak terkeluar dari garis panduan yang datang dari Allah swt. dan dikerjakan segala kegiatan pengurusan itu dengan perasaan ikhlas kerana mencari kebahagian dunia dan akhirat serta keredaan Allah. Allah swt. telah menyediakan garis panduan yang lurus dan tepat kepada manusia dalam rangka pengurusan ini. Allah dengan rasa kasih sayang yang bersangatan kepada manusia diturunkannya para rasul dan bersamanya garis panduan yang diwahyukan dengan tujuan supaya manusia itu boleh mengurus diri

* 2. mereka dengan pengurusan yang lebih sempurna dan bertujuan supaya manusia itu dapat hidup sejahtera dunia dan akhirat. Pengertian Ibadah Kalimat ibadah berasal daripada kalimat `abdun’. Ibadah dari segi bahasa bererti patuh, taat, setia, tunduk, menyembah dan memperhambakan diri kepada sesuatu. Dari segi istilah agama Islam pula ialah tindakan, menurut, mengikut dan mengikat diri dengan sepenuhnya kepada segala perkara yang disyariatkan oleh Allah dan diserukan oleh para Rasul-Nya, sama ada ia berbentuk suruhan atau larangan. Ibnu Taimiah pula memberi takrif Ibadah, iaitu nama bagi sesuatu yang disukai dan kasihi oleh Allah swt. Perintah Allah dan Rasul-Nya ini hendaklah ditunaikan dengan perasaan penuh sedar, kasih dan cinta kepada Allah, bukan kerana terpaksa atau kerana yang lain dari cintakan kepada-Nya. Para Nabi dan Rasul merupakan hamba Allah yang terbaik dan sentiasa melaksanakan ibadah dengan penuh kesempurnaan di mana setiap arahan Tuhannya, mereka patuhi dengan penuh perasaan cinta dan kasih serta mengharap keredaan dari Tuhannya. Mereka menjadi contoh teladan yang paling baik kepada kita semua dalam setiap pekerjaan dan amalan sebagaimana yang dianjurkan oleh al-Quran itu sendiri. Firman Allah swt. maksudnya: “Sesungghnya bagi mu, apa yang ada pada diri Rasulullah itu contoh yang paling baik”. (al-Ahzab: 21) Sesetengah ulama mengatakan bahawa perhambaan (ibadah) kepada Allah hendaklah disertai dengan perasaan cinta serta takut kepada Allah swt. dan hati yang sihat dan sejahtera tidak merasa sesuatu yang lebih manis, lebih lazat, lebih seronok dari kemanisan iman yang lahir dari pengabdian (ibadah) kepada Allah swt. Dengan ini maka akan bertautlah hatinya kepada Allah dalam keadaan gemar dan reda

* 3. terhadap setiap perintah serta mengharapkan supaya Allah menerima amalan yang dikerjakan dan merasa bimbang serta takut kalau-kalau amalan tidak sempurna dan tidak diterima oleh Allah seperti yang ditegaskan dalam firman-Nya yang bermaksud: “(Ia itu) Oran yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat”. (Qaf: 33) Orang yang memperhambakan dirinya (beribadah) kepada Allah mereka akan sentiasa patuh dan tunduk kepada kehendak dan arahan Tuhannya, sama ada dalam perkara yang ia suka atau yang ia tidak suka dan mereka mencintai dan mengasihi Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang lain-lainnya. Mereka mengasihi makhluk yang lain hanyalah kerana Allah semata-mata, tidak kerana yang lain Kasihkan kepada Rasulullah saw. pula kerana ia membawa Risalah Islam, cintakan kepada Rasulullah saw. hendaklah mengikuti sunahnya sebagaimana firman Allah swt. maksudnya: “Katakanlah (wahai Muhammad) sekiranya kamu kasihkan Allah maka ikutilah aku (pengajaranku) nescaya Allah akan mengasihi kamu dan mengampunkan dosa- dosa kamu”. (Al-Imran: 31) Dan andainya kecintaan kamu kepada selain Allah dan Rasul-Nya itu mengatasi dan melebihi dari kencintaan dan kasih kepada yang lain; Allah akan turunkan keseksaan-Nya kepada manusia yang telah meyimpang dari ketentuan-Nya. Firman Allah swt. maksudnya: “Katakanlah (Muhammad) jika ibu bapa kamu, anak-anak kamu, saudara mara kamu, suami isteri kamu, kaum keluarga kamu, harta benda yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu bimbangkan kerugiannya, dan rumahtangga yang kamu sukai itu lebih kamu kasihi daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad untuk

* 4. agama Allah, maka tunggulah (kesiksaan yang akan didatangkan) oleh Allah. Dan Allah tidak memberi hidayah kepada orang-orang fasik”. (At-Taubah: 24) Ruang lingkup Ibadah dan Hubunganya dengan kehidupan Sebgaimana yang dijelaskan di atas nyatalah ibadah itu itu bukanlah sesempit apa yang difahami oleh sebahagian dari kalangan manusia yang tidak dapat memahami kesempurnaan Islam itu sendiri di mana pada anggapan mereka Islam itu hanya suatu perbicaraan pasal akhirat (mati) dan melakukan beberapa jenis ibadah persendirian tidak lebih dari itu. Begitu juga bila disebut ibadah apa yang tergambar hanyalah masjid, tikar sembahyang, puasa, surau, tahlil, membaca al-Quran, doa, zikir dan sebagainya iaitu kefahaman sempit disekitar ibadah-ibadah khusus dan ritual sahaja tidak lebih dari itu. Kefahaman seperti ini adalah akibat dari serangan fahaman Sekular yang telah berakar umbi ke dalam jiwa sebahagian dari kalangan orang-orang Islam. Islam adalah suatu cara hidup yang lengkap dan sempurna, yang merangkumi semua bidang kehidupan dunia dan akhirat, di mana dunia merupakan tanaman atau ladang yang hasil serta keuntungannya akan dituai dan dinikmati pada hari akhirat kelak. Ibadah dalam Islam meliputi semua urusan kehidupan yang mempunyai paduan yang erat dalam semua lapangan hidup dunia dan akhirat, tidak ada pemisahan antara kerja-kerja mencari kehidupan di muka bumi ini dan hubungannya dengan balasan akhirat. Islam mengajarkan kepada kita setiap apa juga amalan yang dilakukan oleh manusia ada nilai dan balasan sama ada pahala atau siksa. Inilah keindahan Islam yang disebut sebagai ad-Deen yang lengkap sebagai suatu sistem hidup yang boleh memberi kesejahteraan hidup penganutnya di dunia dan di akhirat. Dengan kata lain setiap amalan atau pekerjaan yang membawa manfaat kepada individu dan masyarakat selama ia tidak bercanggah dengan syarak jika sekiranya ia memenuhi syarat-syaratnya, seperti dikerjakan dengan ikhlas kerana

* 5. Allah semata-mata bukan kerana mencari kepentingan dan mencari nama serta ada niat mengharapkan balasan dari manusia atau ingin mendapat pujian dan sanjungan dari manusia; maka amalan-amalan yang demikian akan mejadi ibadah yang diberi pahala di sisi Allah swt di akhirat kelak, insya’-Allah. Berdasarkan kepada konsep ibadah tersebut maka setiap perbuatan pertolongan baik kepada orang lain seperti membantu orang sakit, tolong merengankan beban dan kesukaran hidup orang lain, memenuhi keperluannya, menolong orang yang teraniaya, mengajar dan membimbing orang yang jahil adalah ibadah. Termasuk juga dalam makna ibadah ialah setiap perbuatan, perkataan manusia zahir dan batin yang disukai dan diredai oleh Allah swt. Bercakap benar, taat kepada ibu bapa, amanah, menepati janji, berakata benar, memenuhi hajat keperluan orang lain adalah iabadah. Menuntut ilmu, menyuruh perkara kebaikan dan mencegah segala kejahatan, berjihad, memberi pertolongan kepada sesama manusia, dan kepada binatang, berdoa, puasa, sembahyang, membaca al-Quran semuanya itu juga adalah sebahagian dari ibadah. Begitu juga termasuk dalam pengertian ibadah cinta kepada Allah dan Rasul- Nya, melaksanakan hukum-hukum Allah, sabar menerima ujian, bersyukur menerima nikmat, reda terhadap qadha’ dan qadar-Nya dan banyak lagi kegiatan dan tindakan manusia yang termasuk dalam bidang ibadah. Kesimpulannya ruanglingkup ibadah dalam Islam adalah terlalu terlalu luas yang merangkumi semua jenis amalan dan syiar Islam dari perkara yang sekecil- kecilnya seperti cara makan, minum dan masuk ketandas hinggalah kerja-kerja menguruskan kewangan dan pentadbiran negara semuanya adalah dalam makna dan pengertian ibadah dalam artikata yang luas apabila semuanya itu dikerjakan dengan sebaik-baiknya dengan menurut adab dan peraturan serta memenuhi syarat- syaratnya.

* 6. Ibadah Sebagai Sarana Hablu minallah dan Habu minannas Setiap ibadah dalam Islam, apakah itu shalat, membayar zakat, melaksanakan puasa, dan menunaikan haji, memiliki dua demensi. Pertama, kegiatan ibadah dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban atau penggilan Allah SWT, dalam rangka hablum minallah. Kedua, ibadah yang dilakukan oleh hamba Allah itu memiliki implikasi sosial. Dimensi kedua ini menyaran pada implikasi hablum minallah terhadap hablum minannas. Dalam dimensi kewajiban, ibadah shalat (lima waktu), membayar zakat, menjalankan puasa, dan menunaikan haji merupakan ibadah yang wajib hukumnya (fardlu ‘ain); artinya setiap muslim wajib melaksanakan ibadah-ibadah itu, kecuali haji; ibadah haji wajib hukumnya bagi seorang muslim yang mampu untuk menunaikannya. Dalam ajaran Islam, ibadah shalat merupakan ibadah yang sangat penting. Karena sangat pentingnya shalat, maka shalat dipandang sebagai tiyang agama. Shalat, digariskan sebagai ibadah yang mampu mencegah umat muslim dari perbuatan keji dan munkar, memiliki dimensi sosial, antara lain, mendidik umat manusia untuk berlaku demokratis. Sewaktu melaksanakan ibadah shalat berjamaah di mushalla atau masjid, antar kaum muslimin tidak ada perbedaan; tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin, bawahan dan atasan, kaum elit dan rakyat biasa dan sebagainya. Seseorang yang paling awal datang ke mushalla atau masjid untuk shalat berjamaah, dia memiliki hak untuk menempatkan diri pada barisan terdepan. Implikasi sosial lebih lanjut bisa dilihat bila seorang muslim kembali ke tengah-tengah masyarakat, dia akan mendahulukan atau memperhatikan hak orang lain ketimbang hak yang dimilikinya. Ini berarti bahwa dia tidak akan merasa menang sendiri; dia tidak akan merasa pintar sendiri; dia tidak akan merasa benar sendiri, dia rame ing gawe sepi ing pamrih (tidak melakukan korupsi dan manipulasi, karena dua perbuatan ini mengarah kepada pengambilan sesuatu yang bukan menjadi haknya), dan sebagainya.

* 7. Demikian pula, ibadah puasa juga mendidik kaum muslimin untuk tidak berpurba sangka (prejudice), tidak melakukan pembedaan (discrimination), dan sejenisnya terhadap sesama umat manusia. Hal ini didasarkan pada salah satu unsur puasa adalah menahan lapar dan dahaga. Perasaan lapar dan dahaga merupakan masalah keseharian yang dihadapi oleh orang-orang miskin, namun bukan menjadi masalah bagi orang-orang berada. Pada tataran tertentu, seseorang yang berasal dari kelompok orang berada akan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh saudara- saudaranya yang berada di bawah garis kemiskinan, yaitu perasaan lapar dan dahaga. Hal ini, sebenarnya, mengajarkan pada umat manusia untuk tidak berpurbasangka, melakukan diskriminasi atau pembedaan terhadap sesama umat. Implikasi sosial yang dipancarkan oleh ibadah zakat bisa timbul dari hikmah ibadah puasa. Seperti diketehui dan dirasakan bahwa setiap orang yang berpuasa pasti mengalami rasa lapar dan dahaga. Dengan mengalami sendiri bagaimana rasanya lapar dan dahaga sewaktu berpuasa itu, maka orang-orang, katakanlah, dari kalangan kaya terlatih untuk merasakan derita lapar dan dahaga sebagaimana yang dialami oleh golongan fakir-miskin dalam hidup keseharian mereka. Ajaran ini diharapkan dapat menimbulkan rasa belas kasihan dan sifat penyantun si kaya terhadap si miskin. Pada waktu-waktu selepas puasa, diharapkan bahwa si kaya atas kemauannya sendiri akan selalu mengulurkan tangan, memberikan pertolongan dan bantuan baik secara material maupun non-material. Bantuan-bantuan itu bisa berupa infag, sedekah dan zakat (materi) dan nasihat, dorongan moril dan sejenisnya (non- materi). Dalam kehidupan bernegara, ajaran ini menggariskan kepada para pemegang kekuasaan untuk mengarahkan segala kebijakan (ekonomi, politik, dan sosial budaya, dan sebagainya) demi kepentingan orang banyak, khususnya orang miskin, wong cilik bukan demi kepentingan untuk mencari popularitas dalam rangka mempertahankan kekuasaan mereka. Implikasi sosial yang terpancar dalam ibadah haji, antara lain, adalah terciptanya persaudaraan sesama umat Islam dari seluruh pelosok dunia dan

* 8. sekaligus merupakan syiar Islam yang luar biasa. Setiap musim haji tiba,
sejumlah besar umat Islam yang berasal dari seluruh penjuru dunia berbondong-bondong ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Momen ibadah haji ini bisa dimanfaatkan sebagai syiar Islam dan sekaligus sebagai sarana untuk menjalin persaudaraan sesama muslim sedunia. Usai menunaikan ibadah haji, seorang muslim dapat memanfaatkan momen ibadah yang telah dilaksanakan itu sebagai titik tolak untuk mengembangkan tali persaudaraannya dengan sesama umat muslim, dengan umat sebangsa di tanah airnya secara lebih baik. Ibadah haji, sebagaimana dinyatakan oleh Ustadz Fauzan Abidin merupakan ibadah yang dimaksudkan untuk mensucikan diri dari: kotoran lahiriah, kotoran bathiniah, kotoran pikiran dan kotoran sosial. (Radar Banjarmasin, 31 Januari). Seorang muslim yang telah menunaikan ibadah haji berarti yang bersangkutan telah memenuhi lima rukun Islam. Dia adalah seorang muslim yang telah tersucikan dari segala kotoran sebagaimana dijelaskan oleh Ustadz tersebut. Bila ibadah dalam kerangka hablum minallah memiliki implikasi sosial (hablum minnas) yang positif, dan bila nilai-nilai baik yang terkandung di dalamnya terpateri secara kukuh dan terpadu dalam diri seorang muslim dan secara terus menerus diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara maka Insya Allah berarti dia adalah mukmin, muslim dan sekaligus muhsin. Dalam ajaran Islam, hubungan antar manusia (hablum minannas) yang terbimbing melalui ibadah (hablum minallah) telah diatur secara sangat rapi. Dalam kerangka hubungan antar manusia, ajaran Islam menggariskan pola persaudaraan sesama muslim ( ukhuwah al- Islamiyah atas dasar al muslimu akhul muslim), persaudaraan sesama warga bangsa (ukhuwah al- wathaniyah), dan persaudaraan sesama manusia (ukhuwah al-basyariyah). Dalam hal ini, para mukminin, muslimin dan muhsinin yang telah menunaikan lima rukun Islam (bukan hanya rukun Islam ke lima) menjadi harapan kita semua untuk menjadi pelopor dalam mengemban ajaran

* 9. Allah SWT, bahwa: “Islam adalah rahmat bagi sekalian alam”, yang di samping dengan tetap menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT, secara sosial mereka akan senantiasa, antara lain, menjaga kelestarian, keselarasan, keharmonisan di muka bumi ini. Dominasi dalam arti positif , misalnya, dapat kita lihat dalam ajaran Islam di mana hubungan antar manusia (hablum minannas) telah diatur sedemikian rapinya sehingga dominasi pihak yang mayoritas, kuat, kaya, berpengaruh atau sejenisnya harus diupayakan menjadi hal yang positif dan diridhai oleh Allah S.W.T. Dalam pandangan Islam, orang atau kelompok orang yang dominan, kuat, kaya, atau berpengaruh bisa saja melakukan dominasi tetapi harus dalam kerangka untuk melindungi atau mengayomi pihak lain yang lemah. Orang kaya yang secara ekonomi dominan harus melindungi atau mengayomi pihak yang miskin dengan cara memberikan sedekah, santunan, zakat, pekerjaan atau sejenisnya. Dalam dunia kerja hubungan antara majikan dan buruh dalam ajaran Islam tidak berimplikasi pada dominasi majikan terhadap buruh, seperti yang diisyaratkan oleh sistem kelas model kapitalisme. Seperti diuraikan di atas, ajaran Islam menggariskan pola persaudaraan sesama muslim, persaudaraan sesama warga bangsa, dan persaudaraan sesama manusia. Dengan demikian jikalau kaum muslimin menjadi kekuatan yang dominan maka tidak ada alasan bagi mereka untuk melakukan penindasan, penekanan, intimidasi, perampasan hak atau sejenisnya terhadap kelompok lain yang lemah atau minoritas. Sebab, ajaran Islam menunjukkan bahwa semua umat manusia di bumi ini, tanpa memandang rasa, suku dan agama, adalah saudara. Dalam pandangan Islam, jikalau terjadi dominasi yang mengarah pada penindasan, intimidasi, pemaksaan, perampasan hak dan sejenisnya, berarti di sana terjadi pula pengingkaran terhadap ajaran Islam bahwa : “Islam adalah rahmat bagi sekalian alam”, dan terhadap hakikat manusia sebagai Allah S.W.T, yang antara lain untuk menjaga kelestarian, keselarasan, keharmonisan di muka bumi ini

* 10. Hubungan Iman dan Amal Iman bukanlah sekadar suatu keyakinan dan pembenaran dalam hati terhadap apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. tetapi iman yang hakiki dan sebenar ialah merangkumi pembenaran dan keyakinan di dalam hati, pengucapan di lidah serta melaksanakan amalan dengan anggota badan iaitu melakukan amalan soleh, maka dengan ini dapatlah difahami iman itu bukanlah sekadar ucapan lidah dan keyakinan dalam hati sahaja tetapi amalan merupakan sebagai bukti kesempurnaan, keteguhan dan kemantapan iman seseorang. Imam al-Ghazali menjelaskan dalam hubungan ini dengan katanya: “Iman itu ialah akidah, perkataan dan perbuatan”. Dengan makna akidah itu sebagai membenarkan dan mepercayai dengan hati kepada segala yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. (perkara yang mudah (dharuri) dari agama). Perkataan adalah sebagai ikrar dan pengakuan dengan lisan dan perbuatan adalah sebagai beramal melaksanakan segala perintah Allah dengan anggota (badan yang lahir). Hadis Rasulullah saw. menguatkan adanya hubungan yang sangat erat di antara iman dan amal. dengan sabdanya sebagai berikut: Sabda Rasulullah saw. maksudnya: “Iman itu lebih dari enam puluh cabang; yang paling tingginya La-Ilaaha- Illallaah dan dan yang paling rendahnya membuang sampah dari tengah jalan”. (H.R.Bukhari) Hadis ini menyatakan dengan jelas perbuatan membuang sampah sebagai sebahagian dari iman. Ini bermkna iman itu jelas bukan sekadar keyakinan dan kepercayaan dalam hati tetapi ia juga merangkumi amal atau perbuatan manusia. Pembagian Ibadah Untuk memudahkan bahasan dan perbincangan kita berhubung dengan ibadah ini, ulamak-ulamak Islam membahagikan ibadah kepada dua bahagian

* 11. sebagai berikut: 1. Ibadah khusus 2. Ibadah Umum Ibadah khusus ialah semua amalan yang tercantum dalam bab al-Ibadaat yang utamanya ialah sembahyang, puasa, zakat dan haji. Ibadah Umum pula ialah segala amalan dan segala perbuatan manusia serta gerak-geri dalam kegiatan hidup mereka yang memenuhi syarat-syarat berikut:
1) Amalan yang dikerjakan itu di akui oleh syarak dan sesuai dengan Islam.
2) Amalan tersebut tidak bercanggah dengan syariat, tidak zalim, khianat dan sebagainya
3) Amalan tersebut dikerjakan dengan niat ikhlas semata-mata keranaAllah swt. tidak riak, ujub dan um’ah.
4) Amalan itu hendaklah dikerjakan dengan sebaik-baiknya
5) Ketika mengerjakan amalan tersebut tidak lalai atau mengabaikan kewajipan ibadah khusus seperti sembahyang dan sebagainya. Firman Allah swt. maksudnya: “Lelaki yang tidak dilalaikan mereka oleh perniagaan atau jual beli dari mengingati Allah, mendirikan sembahyang dan mengeluarkan zakat mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”. (An- Nur: 37)

Amalan-Amalan yang Tidak Menjadi Ibadah Dilihat dari syarat-syarat di atas, nampaklah kepada kita bahawa sesuatu amalan yang dikerjakan oleh seseorang begitu sukar sekali untuk mencapai kesempurnaan dalam makna ibadah dengan ertikata yang sebenar-benarnya mengikut syarat-syarat dan ketentuan tersebut di atas, oleh itu kita hendaklah bersungguh-sungguh dalam mengusahakan amalan kita supaya dapat mencapai matlamat ibadah yang sempurna dengan menyempurnakan segala syarat-syaratnya. Dan kita hendaklah sentiasa meneliti dan memperhatikan dengan sungguh-

* 12. sungguh agar kita tidak tertipu dengan amalan kita sendiri; dengan menyangka kita telah banyak melaksanakan amal ibadah dengan sempurna tetapi pada hakikatnya tidak demikian, kita takut akan tergolong ke dalam golongan manusia yang tertipu dan sia-sia amalan kita dan apa yang kita dapat hanyalah penat dan lelah. Ini kerana kita melakukan amalan dan kerja-kerja kebajikan itu tidak menepati dan tidak selari dengan ketentuan dan syarat-syarat ibadah dan amal soleh yang dikehandkki itu. Dari itu disamping kita melaksanakan segala amalan zahir dengan sempurna mengikut petunjuk dari Rasulullah saw. apa yang lebih penting lagi ialah kita membetulkan amalan batin iaitu amalan hati supaya betul iaitu niat dengan ikhlas, amalan itu semata-mata kerana Allah tidak kerana yang lain dari-Nya. Dan kita juga hendaklah sentiasa menjaga keikhlasan hati kita ini dari penyakit-penyakit yang boleh merusakannya seperti riak, ujub, sum’ah, takabur dan sebagainya. Kesimpulan secara mudah ialah seorang lelaki yang memakai pakaian untuk menutup aurat dari kain sutra, dan perempuan yang berpakaian meliputi badannya tetapi masih menampakan susuk badannya masih lagi tidak dinamakan ibadah, atau seorang menderma dengan tujuan supaya dipuji dan digelar sebagai dermawan atau seorang yang rajin bersembahyang dengan niat tujuan supaya digelar sebagai ahli ibadah oleh manusia; itu semua tidak termasuk dalam makna ibadah yang diterima oleh Allah swt. Dengan demikian jelaslah kepada kita segala amalan yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas itu tidak dikira sebagai ibadah. Niat dan tujuan serta matlamat adalah sangat penting dalam sesuatu amalan di samping amalan tersebut tidak bercanggah serta diakui sah oleh syariat Islam. Matalamat dan Tujuan Ibadah Sebagaimana kita ketahui dan maklum bahawa pengutusan manusia ke dunia ini tidak lain melainkan untuk beribadah (memperhambakan diri) kepada al-Khaliq, Allah Yang Maha Pencipta dan juga kita telah mengetahui bahawa pengertian ibadah

* 13. dalam Islam merangkumi semua bidang amalan dalam kehidupan manusia. Dan di sini timbul pertanyaan kenapa kita mengabdi menyembah Allah dan apakah matlamat ibadah itu ? Apakah ada faedah untuk-Nya atau apa faedah yang boleh didapati oleh seseorang hamba yang menyembah-Nya ? Jawapannya ialah bahawa Allah swt. Yang Maha Suci dan Maha Tinggi tidak mendapat sebarang faedah dari ketaatan orang yang menyembah-Nya dan tidak memberi mudarat sedikitpun dari keengganan orang yang menentang dan engkar kepada perintah-Nya. Begitu juga tidak menambahkan kuasa keagungan pemerintahan-Nya oleh puji- pujian orang yang memuji-Nya dan tidak mengurangi keagungan kekuasaan-Nya oleh keengkaran orang-orang yang mengengkari perintah-Nya. Ini kerana Allah Maha Kaya dan mempunyai segala-galanya kerana semua yang ada di alam ini menjadi milik-Nya belaka sedangkan kita manusia adalah satu dari makhluk Allah yang banyak itu, makhluk manusia ini terlalu kecil, hina dan miskin, serba kekurangan dan sentiasa berhajat dan memerlukan kepada-Nya. Allah, Dialah Tuhan Maha Pemurah, Maha Mulia, Maha Penyayang serta bersifat Maha Memberi kepada semua makhuk-Nya dan Dia tidak menyuruh kita mengerjakan sesuatu melainkan perkara itu mendatangkan kebaikan bagi makhluk itu sendiri. Firman Allah swt. maksudnya: “Sesungguhnya Kami telah kurniakan hikmat (ilmu pengetahuan) kepada Luqman supaya dia bersyukur kepada Allah dan sesiapa yang bersyukur, sebenarnya dia bersyukur dagi faedah dirinya sendiri dan sesiapa yang ingkar, sesungghnya Allah Maha Kaya lagi Terpuji”. (Luqman: 12) Dari itu kita wajiblah mensyukuri segala nikmat dan kurniaan Allah swt. kepada kita semua yang mana sekiranya kita hendak menghitugnya sudah tentu kita tidak mampu untuk berbuat demikian, begitulah besar dan banyaknya pemberian Allah kepada kita semua sebagai makhluk-Nya.

* 14. Kelazatan Bermunajat dan Mentaati Allah Kelazatan beribadah ini dapat digambarkan dari beberapa peristiwa yang berlaku kepada baginda Rasulullah saw. para sahabat, tabi’in dan para solihin, kelazatan ini akan timbul apabila adanya hubungan hamba dengan Tuhannya yang begitu erat dan di mana seorang hamba begitu gembira dan begitu senang memuji- muji kebesaran Allah swt. ini semua berlaku dari sebab makrifat-nya (kenalnya) seseorang hamba itu kepada Tuhannya sehingga hamba itu merasa rindu apabila ia tidak dapat menghadap Tuhannya, dan merasa gelisah kerana tidak dapat bertemu dengan yang dicintai dan dikasihinya. B begitu juga apabila seorang hamba mengalami sedikit kesusahan tentulah ia akan mengadu ketempat yang dapat menerima pengaduan dan boleh menyelesaikan masalah dan kesusahannya. Tiada tempat yang layak untuk berbuat demikian melainkan kepada Yang Maha Agung dan Maha Berkuasa. Firman Allah swt. maksudnya: “Demi sesungguhnya Kami mengetahui bahawa engkau (Muhammad) bersusah hati dengan apa yang mereka katakan maka hendaklah engkau bertasbih memuji Tuhanmu serta jadilah dari golongan orang-orang yang sujud beribadah dan sembahlah Tuhanmu sehingga tiba kepadmu perkara yang tetap (iaitu mati)”. (al- Hijr: 97-99) Begitu juga di waktu orang-orang mukmin mendapat kurnia ia bersyukur seterusnya memuji kepada Allah swt. Firman Allah swt. maksudnya: “Bila datang pertolongan Allah dan kemenangan (pembukaan Makkah) dan engkau lihat manusia berduyun-duyun masuk agama Allah swt. maka ucapkanlah tasbih dengan memuji Tuhanmu dan mintalah ampun kepada-Nya, sesungguhnya Dia suka menerima taubat”. (an-Nasr: 1-4)

* 15. Ibadah Hanya Untuk Allah Pada hakikatnya pengabdian terhadap Allah swt. merupakan suatu kebebasan yang hakiki, jalan bagi mencapai kepada ketuannan yang sejati, kerana Allahlah yang boleh membebaskan hati nurani manusia dari perhambaan kepada sebarang makhluk dan memerdekakannya dari perhambaan dan kehinaan serta tunduk kepada yang lain dari Allah seperti tunduk kepada Tuhan-Tuhan palsu, berhala, manusia yang selalunya memperhamba dan mengongkong keyakinan manusia dengan sekuat-kuatnya miskipun pada lahirnya mereka bertindak seperti tuan yang bebas dan merdeka. Penghambaan diri kepada Allah itu membebaskan manusia daripada perhambaan sesama makhluk kerana dalam hati manusia ada keperluan sejati kepada Allah, kepada Tuhan yang disembah yang mana dia bergantung kepadanya dan berusaha serta bekerja untuk mencapai keredaan-Nya. Jika yang disembah itu bukan Allah Yang Maha Esa tentulah manusia akan meraba-raba meyembah bermacam-macam Tuhan dari setiap objek benda dan khayalan yang ada dalam pemikiran dan yang berada di sekeliling mereka. Tidak ada sesuatu pekerjaan yang paling mulia bagi manusia yang berakal selain dari beribadah menyembah Allah yang menciptanya dan menjadikan dirinya dengan sebaik-baiknya dan perkerjaan yang seburuk-buruknya kepada seorang manusia itu pula ialah menafi dan mendustakan Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka menyembah dan mengabdikan diri mereka kepada Tuhan yang lain dari Allah swt. Seorang hamba abdi yang taat kepada tuannya tentulah akan merasa senang dan gembira kerana ia tahu apa yang disukai oleh tuannya lalu disempurnakannya suruhan itu dengan segala senang hati dan disempurnakan dengan sebaik-baiknya. Manakala seorang hamba yang dimiliki oleh beberapa orang tuan selalu bertelingkah antara sesama mereka; yang satu menyuruh hamba itu melakukan sesuatu yang ditegah oleh yang lain, maka alangkah susah dan deritanya hamba tersebu itu untuk melakukan perintah-perintah Tuhan yang saling bertentangan

* 16. perintahnya antara satu Tuhan dengan Tuhan yang lain. Kalau orang yang menyembah selain dari Allah menjadi musyrik (kafir di- sebabkan ia melakukan perbuatan syirik), maka begitulah juga orang yang takabur menjadi musyrik (orang syirik), sebagaimana Firaun kerana kesombongan dan takaburnya, sebagaimana firman Allah swt. bermaksudnya: “Nabi Musa as. berkata: “Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhan kamu daripada perbuatan orang yang takabur yang tidak percaya hari Perhitungan”, demikianlah Allah meterikan setiap hati orang yang takabur lagi bermaharajalela”. (al-A’raf: 27) Kajian menunjukan bahawa semakin besar keangkuhan seseorang yang enggan tunduk dan patuh beribadah (mengabdi diri) kepada Allah, semakin besar kesyirikannya dengan Allah, Kerana menurut kebiasaannya semakin banyak takabur tidak mahu menyembah Allah semakin bertambahlah pergantungan manusia itu terhadap makhluk yang dicintainya yang menjadi pujaan utama bagi hatinya; yang demikian mereka akan menjadi musyrik dengan sebab menjadikan dirinya hamba (menyembah) kepada selain dari Allah swt. Hati atau keyakinan manusia tidak akan terlepas dari perhambaan kepada makhluk kecuali mereka menjadikan Allah sebagai Tuhannya yang sebenar dan sejati, tiada Tuhan yang disembah melainkan Allah, tiada tempat bergantung dan meminta pertolongan melainkan dari-Nya, Tidak merasa gembira melainkan dengan apa yang disukai dan diredai-Nya, Tidak ia benci melainkan apa yang dibenci oleh Allah, tidak ia memusuhi kecuali orang yang Allah memusuhinya, tidak ia kasih melainkan kepada orang yang di kasihi oleh Allah, tidak ia memberi kecuali kerana Allah dan tidak ia melarang kecuali kerana Allah. Semakin tulus keikhlasan seseorang itu kepada Allah maka semakin sempurnalah ubudiyahnya (perhambaanya) kepada Allah dan terlepas dari pergantungannya kepada sesama makhluk, dengan sempurna ubudiyahnya kepada Allah maka sempurnalah kesuciannya dari sifat syirik.

* 17. Tidak Harus Kepentingan Dunia Dijadikan Tujuan Ibadah Samasekali tidak sesuai dengan tujuan Islam yang suci di mana tujuan atau kepentingan dunia menjadi matlamat dalam amalan atau ibadah seseorang, ataupun kepentingan dunia atau faedah-faedah dunia menjadi pendorong seseorang untuk melakukan printah ibadah kepada Allah swt. Begitu juga kalau tujuan beramal dan beribadah kepada Allah swt. untuk mendapatkan kesucian jiwa dan dengan itu dapat mengembara ke alam arwah dan dapat melihat malaikat serta dapat melakukan sesuatu yang luar biasa, mendapat keramat (kemuliaan) dan ilmu ladunni. Semuanya ini disangkal oleh para ulamak dengan katanya: “Yang demikian adalah terkeluar daripada jalan ibadah, Ia merupakan ramalan kepada ilmu atau perkara ghaib, malah akan menjadi ibadah kepada Allah itu sebagai jalan menuju ke arah demikian yang mana pada akhirnya lebih hampir kepada meninggal ibadah.”Orang-orang yang beribadah dengan maksud yang demikian termasuk di bawah pengertian ayat al-Quran yang maksudnya: “Sebagian daripada manusia yang menyembah Allah secara tidak tetap, bila mendapat kebaikan dia teruskan dan bila terkena kesusahan dia berpaling tadah. Rugilah dia di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang amat nyata”. (al-Hajj: 11) Begitulah keadaan orang yang beribadah dengan tujuan mendapatkan faedah-faedah dunyawi jika sampai dan berhasil tujuan dan kehendaknya bergembiralah dia dan kuatlah tujuannya tetapi lemahlah ibadahnya jika tujuannya tidak berhasil dia meninggalkan ibadah itu. Rahasia-rahasia ibadah a. Gerakan Shalat Adalah ibadah shalat yang secara khusus yang perintahnya melalui sebuah peristiwa yang sangat luar biasa yang dikenal dengan quot;ISRA’ Mi’ RAJ yang kisahnya sebagian dilukiskan dalam QS Al Isra’ ayat 1. Berbeda dengan ibadah-

* 18. ibadah yang lain. Perintah shalat terjadi tanpa diutusnya Malaikat Jibril turun ke bumi melainkan Nabi Muhammad SAW sendiri hadir bertemu di ArsyNya Allah SWT.dzat yang sedang disembah. Sebegitu pentingnya shalat ini sampai Allah memberikan manfaat lebih di banding ibadah-ibadah lain, baik dari segi kejiwaan maupun dari segi fisik, apabila shalat itu dilakukan dengan sempurna. Sebelum menyentuh makna bacaan shalat yang luar biasa, termasuk aspek quot;olah rohaniquot; yang dapat melahirkan ketenangan jiwa. Secara gerakan shalat yang dicontohkan Rasulullah SAW syarat akan hikmah dan bermanfaat bagi kesehatan. Syaratnya, semua gerakan tersebut dilakukan dengan benar, thuma’ninah serta istiqamah (terus-menerus). Dalam buku Mukjizat Gerakan Shalat (Qultum Media, 2005). Madyo Wratsongko mengung-kapkan bahwa gerakan shalat dapat melenturkan urat saraf, mengaktifkan sistem keringat dan sistem pemanas tubuh. Membiasakan pembuluh darah halus di otak mendapatkan tekanan tinggi, serta membuka pembuluh darah di bagian dalam tubuh (arteri jantung). Sehingga analisa kebenaran Rasulullah SAW dalam kisah diatas pendahuluan tadi quot;jika engkau berdiri untuk melakukan shalat, maka bertak-birlahquot;. Saat takbiratul ikhram, Nabi Muhammad SAW mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahu (H.R. Bukhari). Di hadits lain sejajar dengan telinga. Gerakan takbir (takbiratul ikhram) ini dilakukan selanjutnya ketika rukuk dan ketika bangkit dari rukuk, apa maknanya? Maka kita otomatis dada, memberikan aliran darah dari pembuluh balik yang terdapat di lengan untuk dialirakan ke bagian otak pengatur keseimbangan tubuh, membuka mata dan membuka telinga kita, sehingga keseimbangan tubuh terjaga. quot;Rukuklah dengan tenangquot; (thuma’ninah). Ketika ruku, Rasulullah SAW, meletakkan kedua telapak tangan di atas lutut (H.R. Bukhari dari Sa’adib nu Abi

* 19. Waqas). Apa maknanya? Rukuk yang dilakukan dengan tenang dan maksimal, dapat merawat kelenturan tulang belakang yang berisi sumsum tulang belakang (sebagai saraf sentral manusia) beserta aliran darahnya. Rukuk juga dapat memelihara kelenturan tuas sistem keringat yang terdapat punggung, paha dan betis belakang. Demikian pula tulang leher, tengkuk dan saluran saraf memori dapat dijaga dengan mengangkat kepala secara maksimal dengan mata menghadap ketempat sujud. quot;Lalu bangunlah hingga engkau berdiri tegakquot; apa maknanya? saat kita berdiri dari rukuk dengan mengangkat kedua tangan (i’tidal) darah dari kepala akan turun kebawah, sehingga pangkal otak yang mengatur keseimbangan berkurang tekanannya. quot;Selepas itu sujudlah dengan tenangquot; apa maknanya? Bila dilaksanakan dengan benar dan lama. Sujud dapat memaksimalkan aliran darah dan oksigen ke otak atau kepala, termasuk ke mata, telinga, leher dan pundak, serta hati. Cara seperti ini efektif untuk membongkar sumbatan pembuluh darah di jantung, sehingga dapat meminimalisir resiko jantung koroner. quot;Kemudian bangunlah hingga engkau duduk dengan tenangquot;. Apa maknanya? Cara duduk diantara dua sujud dapat menyeimbangkan ubuh kita. Selain itu, juga dapat menjaga kelenturan saraf di bagian paha dalam, cekungan lutut, cekungan betis sampai jari-jari kaki. Akhirnya marilah kita contoh seoptimal mungkin perilaku abi Muhammad SAW, termasuk cara shalatnya insya Allah pasti membawa kebaikan. b. Rahasia Puasa Sebagai muslim yang sejati, kedatangan dan kehadiran Ramadhan yang mulia pada tahun ini merupakan sesuatu yang amat membahagiakan kita. Betapa tidak, dengan menunaikan ibadah Ramadhan, amat banyak keuntungan yang akan kita peroleh, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak.

* 20. Disinilah letak pentingnya bagi kita untuk membuka tabir rahasia puasa sebagai salah satu bagian terpenting dari ibadah Ramadhan. Dr. Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Al Ibadah Fil Islam mengungkapkan ada lima rahasia puasa yang bisa kita buka untuk selanjutnya bisa kita rasakan kenikmatannya dalam ibadah Ramadhan. a.Menguatkan Jiwa. Dalam hidup hidup, tak sedikit kita dapati manusia yang didominasi oleh hawa nafsunya, lalu manusia itu menuruti apapun yang menjadi keinginannya meskipun keinginan itu merupakan sesuatu yang bathil dan mengganggu serta merugikan orang lain. Karenanya, di dalam Islam ada perintah untuk memerangi hawa nafsu dalam arti berusaha untuk bisa mengendalikannya, bukan membunuh nafsu yang membuat kita tidak mempunyai keinginan terhadap sesuatu yang bersifat duniawi. Manakala dalam peperangan ini manusia mengalami kekalahan, malapetaka besar akan terjadi karena manusia yang kalah dalam perang melawan hawa nafsu itu akan mengalihkan penuhanan dari kepada Allah Swt sebagai Tuhan yang benar kepada hawa nafsu yang cenderung mengarahkan manusia pada kesesatan. Allah memerintahkan kita memperhatikan masalah ini dalam firman-Nya yang artinya: Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (QS 45:23). Dengan ibadah puasa, maka manusia akan berhasil mengendalikan hawa nafsunya yang membuat jiwanya menjadi kuat, bahkan dengan demikian, manusia akan memperoleh derajat yang tinggi seperti layaknya malaikat yang suci dan ini akan membuatnya mampu mengetuk dan membuka pintu-pintu langit hingga segala do’anya dikabulkan oleh Allah Swt, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Ada tiga golongan orang yang tidak ditolak do’a mereka: orang yang berpuasa hingga berbuka, pemimpin yang adil dan do’a orang yang dizalimi (HR. Tirmidzi).
* 21. b.Mendidik Kemauan. Puasa mendidik seseorang untuk memiliki kemauan yang sungguh-sungguh dalam kebaikan, meskipun untuk melaksanakan kebaikan itu terhalang oleh berbagai kendala. Puasa yang baik akan membuat seseorang terus mempertahankan keinginannya yang baik, meskipun peluang untuk menyimpang begitu besar. Karena itu, Rasulullah Saw menyatakan: Puasa itu setengah dari kesabaran. Dalam kaitan ini, maka puasa akan membuat kekuatan rohani seorang muslim semakin prima. Kekuatan rohani yang prima akan membuat seseorang tidak akan lupa diri meskipun telah mencapai keberhasilan atau kenikmatan duniawi yang sangat besar, dan kekuatan rohani juga akan membuat seorang muslim tidak akan berputus asa meskipun penderitaan yang dialami sangat sulit. c.Menyehatkan Badan. Disamping kesehatan dan kekuatan rohani, puasa yang baik dan benar juga akan memberikan pengaruh positif berupa kesehatan jasmani. Hal ini tidak hanya dinyatakan oleh Rasulullah Saw, tetapi juga sudah dibuktikan oleh para dokter atau ahli-ahli kesehatan dunia yang membuat kita tidak perlu meragukannya lagi. Mereka berkesimpulan bahwa pada saat-saat tertentu, perut memang harus diistirahatkan dari bekerja memproses makanan yang masuk sebagaimana juga mesin harus diistirahatkan, apalagi di dalam Islam, isi perut kita memang harus dibagi menjadi tiga, sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk air dan sepertiga untuk udara. d.. Mengenal Nilai Kenikmatan. Dalam hidup ini, sebenarnya sudah begitu banyak kenikmatan yang Allah berikan kepada manusia, tapi banyak pula manusia yang tidak pandai mensyukurinya. Dapat satu tidak terasa nikmat karena menginginkan dua, dapat dua tidak terasa nikmat karena menginginkan tiga dan begitulah seterusnya. Padahal kalau manusia mau memperhatikan dan merenungi, apa yang diperolehnya sebenarnya sudah sangat menyenangkan karena begitu banyak orang yang memperoleh sesuatu tidak lebih banyak atau tidak lebih mudah dari apa yang kita peroleh.

* 22. Maka dengan puasa, manusia bukan hanya disuruh memperhatikan dan merenungi tentang kenikmatan yang sudah diperolehnya, tapi juga disuruh merasakan langsung betapa besar sebenarnya nikmat yang Allah berikan kepada kita. Hal ini karena baru beberapa jam saja kita tidak makan dan minum sudah terasa betul penderitaan yang kita alami, dan pada saat kita berbuka puasa, terasa betul besarnya nikmat dari Allah meskipun hanya berupa sebiji kurma atau seteguk air. Disinilah letak pentingnya ibadah puasa guna mendidik kita untuk menyadari tinggi nilai kenikmatan yang Allah berikan agar kita selanjutnya menjadi orang yang pandai bersyukur dan tidak mengecilkan arti kenikmatan dari Allah meskipun dari segi jumlah memang sedikit dan kecil. Rasa syukur memang akan membuat nikmat itu bertambah banyak, baik dari segi jumlah atau paling tidak dari segi rasanya, Allah berfirman yang artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: quot;Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasati Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS 14:7). e.Mengingat dan Merasakan Penderitaan Orang Lain. Merasakan lapar dan haus juga memberikan pengalaman kepada kita bagaimana beratnya penderitaan yang dirasakan orang lain. Sebab pengalaman lapar dan haus yang kita rasakan akan segera berakhir hanya dengan beberapa jam, sementara penderitaan orang lain entah kapan akan berakhir. Dari sini, semestinya puasa akan menumbuhkan dan memantapkan rasa solidaritas kita kepada kaum muslimin lainnya yang mengalami penderitaan yang hingga kini masih belum teratasi, seperti penderitaan saudara-saudara kita di Ambon atau Maluku, Aceh dan di berbagai wilayah lain di Tanah Air serta yang terjadi di berbagai belahan dunia lainnya seperti di Chechnya, Kosovo, Irak, Palestina dan sebagainya. Oleh karena itu, sebagai simbol dari rasa solidaritas itu, sebelum Ramadhan berakhir, kita diwajibkan untuk menunaikan zakat agar dengan demikian setahap

* 23. demi setahap kita bisa mengatasi persoalan-persoalan umat yang menderita. Bahkan zakat itu tidak hanya bagi kepentingan orang yang miskin dan menderita, tapi juga bagi kita yang mengeluarkannya agar dengan demikian, hilang kekotoran jiwa kita yang berkaitan dengan harta seperti gila harta, kikir dan sebagainya. Allah berfirman yang artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS 9:103). c. Rahasia Zakat Zakat merupakan ibadah yang memiliki dimensi ganda, trasendental dan horizontal. Oleh sebab itu zakat memiliki banyak arti dalam kehidupan ummat manusia, terutama Islam. Zakat memiliki banyak hikmah, baik yng berkaitan dengan Sang Khaliq maupun hubungan sosial kemasyarakatan di antara manusia, antara lain : 1. Menolong, membantu, membina dan membangun kaum dhuafa yang lemah papa dengan materi sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya.Dengan kondisi tersebut mereka akan mampu melaksanakan kewajibannya terhadap Allah SWT 2. Memberantas penyakit iri hati, rasa benci dan dengki dari diri orang-orang di sekitarnya berkehidupan cukup, apalagi mewah. Sedang ia sendiri tak memiliki apa- apa dan tidak ada uluran tangan dari mereka (orang kaya) kepadanya. 3. Dapat mensucikan diri (pribadi) dari kotoran dosa, emurnikan jiwa (menumbuhkan akhlaq mulia menjadi murah hati, peka terhadap rasa kemanusiaan) dan mengikis sifat bakhil (kikir) serta serakah. Dengan begitu akhirnya suasana ketenangan bathin karena terbebas dari tuntutan Allah SWT dan kewajiban kemasyarakatan, akan selalu melingkupi hati. 4. Dapat menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan Islam yang berdiri atas prinsip-prinsip: Ummatn Wahidan (umat yang satu), Musawah (persamaan derajat, dan dan kewajiban), Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) dan Takaful Ijti'ma

* 24. (tanggung jawab bersama) 5. Menjadi unsur penting dalam mewujudakan keseimbanagn dalam distribusi harta (sosial distribution), dan keseimbangan tanggungjawab individu dalam masyarakat 6. Zakat adalah ibadah maaliyah yang mempunyai dimensi dan fungsi sosial ekonomi atau pemerataan karunia Allah SWT dan juga merupakan perwujudan solidaritas sosial, pernyataan rasa kemanusian dan keadilan, pembuktian persaudaraan Islam, pengikat persatuan ummat dan bangsa, sebagai pengikat bathin antara golongan kaya dengan yang miskin dan sebagai penimbun jurang yang menjadi pemisah antara golongan yang kuat dengan yang lemah 7. Mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera dimana hubungan seseorang dengan yang lainnya menjadi rukun, damai dan harmonis yang akhirnya dapat menciptakan situasi yang tentram, aman lahir bathin. Dalam masyarakat seperti itu takkan ada lagi kekhawatiran akan hidupnya kembali bahaya komunisme 9atheis) dan paham atau ajaran yang sesat dan menyesatkan. Sebab dengan dimensi dan fungsi ganda zakat, persoalan yang dihadapi kapitalisme dan sosialisme dengan sendirinya sudah terjawab. Akhirnya sesuai dengan janji Allah SWT, akan terciptalah sebuah masyarakat yang baldatun thoyibun wa Rabbun Ghafur.

* 25. Kesimpulan Sebagaimana yang telah kita faham sebelum ini runglingkup ibadah itu adalah terlalu luas sebagaimana yang telah dijelaskan iaitu ibadah merupakan semua kegiatan hidup manusia itu sendiri yang sesuai dengan syariat Islam yang suci dan murni itu, oleh itu bolehlah difaham ibadah dalam Islam bermula sejak dari adab- adab masuk ketandas mengerjakan qadha’ hajat hinggalah sampai kepada bagaimana cara mengurus kewangan dan mentadbir negara. Kegiatan hidup manusia ini akan termasuk ke dalam makna ibadah yang diberi ganjaran dan pembalasan pahala baik di akhirat apabila ia menepati dengan kehendak syarak, tidak menyeleweng dari kehendak dan ketentuan Allah swt. dikerjakan mengikut peraturan dan syarat-syaratnya, disertai pula dengan niat yang betul dan ikhlas semata-mata dilakukan kerana mencari keredaan Allah swt. tidak kerana yang lain dari-Nya, menghindarkan diri dari perasaan riak, (menunjuk- nunjuk), ingin dipuji dan terkenal sebagai orang yang rajin, tekun, orang baik dan ingin disebut-sebut sebagai ahli ibadah oleh orang ramai dan juga suka berbangga dengan memberi tahu kepada orang lain akan amal kebajikannya. Ia juga hendaklah menghindarkan diri dari merasa bangga kerana ia telah banyak berbuat kebajikan dan berbuat amal ibadah. Oleh itu ibadah dalam Islam bukanlah terhad kepada amalan-amalan ibadah yang ritual semata-mata seperti sembahyang, zikir, puasa, haji dan sebagainya yang disebut sebagai ibadah khusus, tetapi ibadah merangkumi, kerja-kerja kemasyarakatan dan sosial, mencari rezki, sahinggalah kepada mengurus dan mentadbir negara; semuanya itu akan menjadi ibadah sekiranya ia dilakukan menurut cara dan kehendak Islam serta niat dari hati yang ikhlas semata-mata kerana Allah swt.