Tuesday, April 17, 2012

Hukum Membaca Al-Qur'an Bagi Orang Junub, Wanita Haid Dan Nifas

Hukum Membaca Al-Qur'an Bagi Orang Junub, Wanita Haid Dan Nifas

Artinya ” Dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Janganlah perempuan nan haid & orang nan junub membaca sedikit pun juga dari (ayat) Al-Qur'an. “

Dalam riwayat nan lain, “Janganlah orang nan junub & perempuan nan haid membaca sedikit pun juga dari (ayat) Al-Qur'an”

DLA'IF Dikeluarkan oleh Tirmidzi (no. 121). Ibnu Majah (no. 595 & 596). Ad-Daruquthni (1/117) & Baihaqiy (1/89), dari jalan Ismail bin Ayyaasy dari Musa bin Uqbah dari Naafi, dari Ibnu Umar (ia berkata seperti di atas)

Berkata Imam Bukhari, “Ismail (bin Ayyaasy) munkarul hadits (apabila dia meriwayatkan hadits) dari penduduk Hijaz & penduduk Iraq” (*1)

Saya berkata: Hadits di atas telah diriawayatkan oleh Ismail bin Ayyaasy dari Musa bin Uqbah seorang penduduk Iraq. Dengan demikian riwayat Ismail bin Ayyaasy dla'if.

Imam Az-Zaila'i di kitabnya Nashbur Raayah (I/195) menukil keterangan Imam Ibnu Adiy di kitabnya Al-Kaamil bahwa Ahmad & Bukhari & lain-lain telah melemahkan hadits ini & Abu Hatim menyatakan bahwa nan benar hadits ini mauquf kepada Ibnu Umar (yakni nan benar bukan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi hanya perkataan Ibnu Umar).

Berkata Al-Hafidzh Ibnu Hajar di kitabnya Talkhisul Habir (1/138): Di dlm sanadnya ada Ismail bin Ayyaasy, sedangkan riwayatnya dari penduduk Hijaz dla'if & di antaranya (hadits) ini. Berkata Ibnu Abi Hatim dari bapaknya (Abu Hatim), “Hadits Ismail bin Ayyaasy ini keliru, & (yang benar) dia hanya perkataan Ibnu Umar”. Dan telah berkata Abdullah bin Ahmad dari bapaknya (yaitu Imam Ahmad ia berkata), “(Hadits) ini batil, “Beliau mengingkari (riwayat) Ismail. Sekian dari Al-Hafidz Ibnu Hajar.

Hadits nan lain dari jalan Ibnu Umar

Artinya ” Dari jalan Abdul Malik bin Maslamah (ia berkata) Telah menceritakan kepadaku Mughirah bin Abdurrahman, dari Musa bin Uqbah & Naafi, dari Ibnu Umar, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “tak boleh bagi orang junub membaca sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur'an”

DLA'IF. Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni (1/117)

Al-Hafidz Ibnu Hajar telah melemahkan riwayat di atas disebabkan Abdul Malik bin Maslamah seorang rawi nan dla'if (Talkhisul Habir 1/138)

Hadits nan lain dari jalan Ibnu Umar.

Artinya ” Dari seorang laki-laki, dari Abu Ma'syar, dari Musa bin Uqbah, dari Naafi, dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Perempuan nan haid & orang nan junub, keduanya tak boleh membaca sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur'an”

DLA'IF. Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni (1/117)

Saya berkata: Riwayat ini dla'if karena: Pertama: Ada seorang rawi nan mubham (tidak disebut namanya yaitu dari seorang laki-laki). Kedua: Abu Ma'syar seorang rawi nan dla'if.

Hadits nan lain dari jalan Jabir bin Abdullah.

Artinya ” Dari jalan Muhammad bin Fadl, dari bapaknya, dari Thawus, dari Jabir, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “tak boleh bagi perempuan nan haid & nifas (dalam riwayat nan lain: Orang nan junub) membaca (ayat) Al-Qur'an sedikitpun juga (dalam riwayat) nan lain: Sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur'an)”

MAUDLU, Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni (2/87) & Abu Nua'im di kitabnya Al-Hilyah (4/22).

Saya berkata: Sanad hadits ini maudhu (palsu) karena Muhammad bin Fadl bin Athiyah bin Umar telah dikatakan oleh para Imam ahli hadits sebagai pendusta sebagaimana keterangan Al-Hafidz Ibnu Hajar di Taqrib-nya (2/200). Dan di kitabnya Talkhisul Habir (1/138) beliau mengatakan bahwa orang ini matruk.

Ketika hadits-hadits diatas dari semua jalannya dla'if bahkan hadits terakhir maudlu, maka tak bisa dijadikan sebagai dalil larangan bagi perempuan haid & nifas & orang nan junub membaca Al-Qur'an. Bahkan telah datang sejumlah dalil nan membolehkannya.

Pertama: Apabila tak ada 1 pun dalil nan sah (shahih & hasan) nan melarang perempuan haid, nifas & orang nan junub membaca ayat-ayat Al-Qur'an, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal tentang perintah & keutamaan membaca Al-Qur'an secara mutlak termasuk perempuan haid, nifas & orang nan junub.

Kedua: Hadits Aisyah ketika dia haid sewaktu menunaikan ibadah haji.

Artinya ” Dari Aisyah, ia berkata: Kami keluar (menunaikan haji) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan) kami tak menyebut kecuali haji. Maka ketika kami sampai di (satu tempat bernama) Sarif aku haid. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuiku & aku sedang menangis, lalu beliau bertanya, “Apa nan menyebabkanmu menangis?” Jawabku, “Aku ingin demi Allah kalau sekiranya aku tak haji pada tahun ini?” Jawabku, “Ya” Beliau bersabda, “Sesungguhnya (haid) ini adalah sesuatu nan telah Allah tentukan utk anak-anak perempuan Adam, oleh karena itu kerjakanlah apa-apa nan dikerjakan oleh orang nan sedang haji selain engkau tak boleh thawaf di Ka'bah sampai engkau suci (dari haid)”

Shahih riwayat Bukhari (no. 305) & Muslim (4/30)

Hadits nan mulia ini dijadikan dalil oleh para Ulama di antaranya amirul mu'minin fil hadits Al-Imam Al-Bukhari di kitab Shahih-nya bagian Kitabul Haid bab 7 & Imam Ibnu Baththaal, Imam Ath-Thabari, Imam Ibnul Mundzir & lain-lain bahwa perempuan haid, nifas & orang nan junub boleh membaca Al-Qur'an & tak terlarang. Berdasarkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah utk mengerjakan apa-apa nan dikerjakan oleh orang nan sedang menunaikan ibadah haji selain thawaf & tentunya juga terlarang shalat. Sedangkan nan selainnya boleh termasuk membaca Al-Qur'an. Karena kalau membaca Al-Qur'an terlarang bagi perempuan haid tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya kepada Aisyah. Sedangkan Aisyah saat itu sangat membutuhkan penjelasan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apa nan boleh & terlarang baginya. Menurut ushul “mengakhirkan keterangan dari waktu nan dibutuhkan tak boleh.

Ketiga: Hadits Aisyah.

Artinya ” Dari Aisyah, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdzikir atas segala keadaannya” [Hadits shahih riwayat Muslim (1/194 & lain-lain]

Hadits nan mulia ini juga dijadikan hujjah oleh Al-Imam Al-Bukhari & lain-lain imam tentang bolehnya orang nan junub & perempuan haid atau nifas membaca Al-Qur'an. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah atas segala keadaannya & nan termasuk berdzikir ialah membaca Al-Qur'an. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

“Sesungguhnya Kami-lah nan menurunkan Adz-Dzikra (*2) (Al-Qur'an) ini, & sesungguhnya Kami jugalah nan akan (tetap) menjaganya” [Al-Hijr: 9]

“Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikra (Al-Qur'an) supaya engkau jelaskan kepada manusia apa nan diturunkan kepada mereka & agar supaya mereka berfikir” [An-Nahl: 44]

Keempat: Surat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Heracleus nan di dalamnya berisi ayat Al-Qur'an sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari & Muslim & lain-lain. Hadits nan mulia inipun dijadikan dalil tentang bolehnya orang nan junub membaca Al-Qur'an. Karena sudah barang tentu orang-orang kafir tak selamat dari janabah, meskipun demikian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada mereka nan didalamnya terdapat firman Allah.

Kelima: Ibnu Abbas mengatakan tak mengapa bagi orang nan junub membaca Al-Qur'an (Shahih Bukhari Kitabul Haidh bab 7).

Jika engkau berkata: Bukankah telah datang hadits bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tak membaca Al-Qur'an ketika janabah?

Saya jawab: Hadits nan dimaksud tak sah dari hadits Ali bin Abi Thalib dgn lafadz.

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari tempat buang air (wc), lalu beliau makan daging bersama kami, & tak ada nan menghalangi beliau sesuatupun juga dari (membaca) Al-Qur'an selain janabah:

DLA'IF. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 229), Tirmidzi (no 164), Nasa'i (1/144), Ibnu Majah (no. 594), Ahmad (1/83, 84, 107 & 124), Ath-Thayaalis di Musnad-nya (no. 94), Ibnu Khuzaimah di Shahih-nya (no. 208), Daruquthni (1/119), Hakim (1/152 & 4/107) & Baihaqiy (1/88-89) semuanya dari jalan Amr bin Murrah dari Abdullah bin Salimah dari Ali, marfu (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam berbeda seperti diatas)

Hadits ini telah dishahihkan oleh Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Hakim, Adz-Dzahabi, Ibnu Sakan, Abdul Haq, Al-Baghawiy & Syaikhul Imam Ahmad Muhammad Syakir di takhrij Tirmidzi & takhrij musnad Ahmad.

Dan hadits ini telah didlaifkan oleh jama'ah ahli hadits –dan inilah nan benar- Insya Allah di antaranya oleh Syu'bah, Syafi'iy, Ahmad, Bukhari, Baihaqiy, Al-Mundziriy, An-Nawawi, Al-Khathaabiy & Syaikhul Imam Al-Albani & lain-lain.

Berkata Asy-Syafi'iy, “Ahli hadits tak mentsabitkan (menguatkan)nya”. Yakni, ahli hadits tak menguatkan riwayat Abdullah bin Salimah. Karena Amr bin Murrah nan meriwayatkan hadits ini Abdullah bin Salimah sesudah Abdullah bin Salimah tua & berubah hafalannya. Demikian telah diterangkan oleh para Imam di atas. Oleh karena itu hadits ini kalau kita ini mengikuti kaidah-kaidah ilmu hadits, maka tak ragu lagi tentang dla'ifnya dgn sebab di atas yaitu Abdullah bin Salimah ketika meriwayatkan hadits ini telah tua & berubah hafalannya. Maka bagaimana mungkin hadits ini sah (shahih atau hasan). Selain itu hadits ini juga tak bisa dijadikan dalil larangan bagi orang nan junub & perempuan nan haid atau nifas membaca Al-Qur'an, karena semata-mata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tak membacanya dlm junub tak berarti beliau melarangnya sampai datang larangan nan tegas dari beliau. Ini kalau kita ini takdirkan hadits di atas sah, apalagi hadits di atas dla'if tentunya lebih tak mungkin lagi dijadikan sebagai hujjah atau dalil

Meskipun demikian menyebut nama Allah atau membaca Al-Qur'am dlm keadaan suci (berwudlu) lebih utama yakni hukumnya sunat berdasarkan hadits shahih di bawah ini.

Artinya ” Dari Muhaajir bin Qunfudz, sesungguhnya dia pernah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam & beliau sedang buang air kecil (kencing), lalu ia memberi salam kepada beliau akan tetapi beliau tak menjawab (salam)nya sampai beliau berwudlu. Kemudian beliau beralasan & bersabda: “Sesungguhnya aku tak suka menyebut nama Allah (berdzikir) kecuali dlm keadaan suci (berwudlu)” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud & lain-lain]

[Disalin dari buku 3 Hukum Bagi Perempuan Haid Dan Junub (Menyentuh/Memegang Al-Qur; Membacanya Dan Tinggal Atau Diam Di Masjid, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam]
__
Referensis
(*1). Saya nukil dari Baihaqiy dgn ringkas nan menukil dari Bukhari
(*2). Adz-Dzikra adalah salah 1 nama dari nama-nama Al-Qur'an
sumber: www.almanhaj.or.id penulis Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat tags: Alaihi Wa Sallam, Imam Bukhari, Abu Hatim, Imam Ahmad, Ismail Bin, Sabda Nabi, Ahmad Dari, Bin Ahmad, Al Qur

ADAB MAJELIS ILMU

Adab Majelis Ilmu


ADAB MAJELIS ILMU

Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi.


Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allah, mereka membacakan kitabullah dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para malaikat mengelilingi mereka dan Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang ada didekatnya. Barangsiapa yang kurang amalannya, maka nasabnya tidak mengangkatnya.

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini merupakan potongan dari hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah oleh :

• Muslim, dalam Shahihnya, Kitab Adz Dzikir Wad Du’a, Bab Fadhlul Ijtima’ ‘Ala Tilawatil Qur’an Wa ‘Ala Dzikr, nomor 6793, juz 17/23. (Lihat Syarah An Nawawi).
• Abu Daud dalam Sunannya, Kitabul Adab, Bab Fil Ma’unah Lil Muslim nomor 4946.
• Ibnu Majah dalam Sunannya, Muqaddimah, Bab Fadhlul Ulama Wal Hatsu ‘Ala Thalabul Ilmi nomor 225.

BIOGRAFI SINGKAT PERAWI HADITS
Abu Hurairah. Beliau adalah salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Nama lengkapnya Abdurrahman bin Shahr [1] Diberi gelar Abu Hurairah karena beliau menyukai seekor kucing yang dimilikinya. Meskipun baru masuk Islam pada tahun ke tujuh hijriah, akan tetapi keilmuannya diakui oleh banyak sahabat.

Selama tiga atau empat tahun bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam betul-betul dimanfaatkan oleh beliau Radhiyallahu 'anhu. Senantiasa bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada saat banyak para shahabat sibuk di pasar atau di tempat yang lain.

Lelaki yang berperangai lembut dengan kulit putih serta jenggot agak kemerahan ini, sangat gigih menggali ilmu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa memperdulikan rasa lapar yang di alaminya. Sehingga tidaklah mengherankan apabila beliau banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim secara bersama sebanyak 326 hadits. Sedangkan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tanpa Imam Muslim sebanyak 93 hadits dan diriwayatkan oleh Imam Muslim tanpa Imam Bukhari 98 hadits.

MAKNA KOSA KATA HADITS
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّه - (tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu rumah Allah), yaitu masjid. Sedangkan madrasah dan tempat-tempat lain yang mendapatkan keutamaan ini, juga dengan dasar hadits yang diriwayatkan Muslim dengan lafadz.

لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ حَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

Tidaklah duduk suatu kaum berdzikir kepada Allah, kecuali para malaikat mengelilinginya, rahmat menyelimutinya dan turun kepada mereka ketenangan, serta Allah memujinya di hadapan makhluk yang berada di sisinya. [Riwayat Muslim, no. 6795 dan Ahmad]

السَّكِينَة - , ketenangan.

وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَة - , diselimuti rahmat Allah.

وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَة - , dikelilingi malaikat rahmah.

وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَه - , Allah memuji dan memberikan pahala di hadapan para malaikatNya.

وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُه - , siapa yang kurang amalannya tidak akan mencapai martabat orang yang beramal sempurna, walaupun memiliki nasab ulama.

FAIDAH HADITS
Pertama : Arti Penting Majelis Ilmu
Majelis ilmu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari para ulama rabbani. Bahkan mengadakan majelis ilmu merupakan perkara penting yang harus dilakukan oleh seorang ‘alim. Karena hal itu merupakan martabat tertinggi para ulama rabbani, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

مَاكَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ اللهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِّي مِن دُونِ اللهِ وَلَكِن كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ

Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:"Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia berkata):"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. [Ali Imran : 79].

Hal inipun dilakukan Rasulullah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan kita untuk menghadiri majelis ilmu. Dengan sabdanya,

إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ

Jika kalian melewati taman syurga maka berhentilah. Mereka bertanya,”Apakah taman syurga itu?” Beliau menjawab,”Halaqoh dzikir (majlis Ilmu). [Riwayat At Tirmidzi dan dishahihkan Syeikh Salim bin Ied Al Hilali dalam Shahih Kitabul Adzkar 4/4].

Demikian juga para salafus shalih sangat bersemangat mengadakan dan menghadirinya. Oleh karena itu kita dapatkan riwayat tentang majelis ilmu mereka. Di antaranya majelis Abdillah bin Mas’ud di Kufah, Abu Hurairah di Madinah, Imam Malik di masjid Nabawi, Syu’bah bin Al Hajjaj, Yazid bin Harun, Imam Syafi’i, Imam Ahmad di Baghdad, Imam Bukhari dan yang lainnya.

Kedua : Faidah dan Keutamaan Majelis Ilmu.
Di antara faidah majelis ilmu ialah :
• Mengamalkan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mencontoh jalan hidup para salaf shalih.
• Mendapatkan ketenangan.
• Mendapatkan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala
• Dipuji Allah di hadapan para malaikat.
• Mengambil satu jalan mendapatkan warisan para Rasul.
• Mendapatkan ilmu dan adab dari seorang alim.

Ketiga : Adab Majelis Ilmu.
Perkara yang harus diperhatikan dan dilakukan agar dapat mengambil faidah dari majelis ilmu ialah :

• Ikhlas.
Hendaklah kepergian dan duduknya seorang penuntut ilmu ke majelis ilmu, hanya karena Allah semata. Tanpa disertai riya’ dan keinginan dipuji orang lain. Seorang penuntut ilmu hendaklah bermujahadah dalam meluruskan niatnya. Karena ia akan mendapatkan kesulitan dan kelelahan dalam meluruskan niatnya tersebut. Oleh karena itu Imam Sufyan Ats Tsauri berkata,“Saya tidak merasa susah dalam meluruskan sesuatu melebihi niat.”[2]

•Bersemangat Menghadiri Majelis Ilmu.
Kesungguhan dan semangat yang tinggi dalam menghadiri majelis ilmu tanpa mengenal lelah dan kebosanan sangat diperlukan sekali. Janganlah merasa cukup dengan menghitung banyaknya. Akan tetapi hitunglah berapa besar dan banyaknya kebodohan kita. Karena kebodohan sangat banyak, sedangkan ilmu yang kita miliki hanya sedikit sekali.

Lihatlah kesemangatan para ulama terdahulu dalam menghadiri majelis ilmu. Abul Abbas Tsa’lab, seorang ulama nahwu berkomentar tentang Ibrahim Al Harbi,“Saya tidak pernah kehilangan Ibrahim Al Harbi dalam majelis pelajaran nahwu atau bahasa selama lima puluh tahun”.

Lantas apa yang diperoleh Ibrahim Al Harbi? Akhirnya beliau menjadi ulama besar dunia. Ingatlah, ilmu tidak didapatkan seperti harta waris. Akan tetapi dengan kesungguhan dan kesabaran.

Alangkah indahnya ungkapan Imam Ahmad bin Hambal,“Ilmu adalah karunia yang diberikan Allah kepada orang yang disukainya. Tidak ada seorangpun yang mendapatkannya karena keturunan. Seandainya didapat dengan keturunan, tentulah orang yang paling berhak ialah ahli bait Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ”. Demikian juga Imam Malik, ketika melihat anaknya yang bernama Yahya keluar dari rumahnya bermain,“Alhamdulillah, Dzat yang tidak menjadikan ilmu ini seperti harta waris”.

Abul Hasan Al Karkhi berkata,“Saya hadir di majelis Abu Khazim pada hari Jum’at walaupun tidak ada pelajaran, agar tidak terputus kebiasanku menghadirinya”.

Lihatlah semangat mereka dalam mencari ilmu dan menghadiri majelis ilmu. Sampai akhirnya mereka mendapatkan hasil yang menakjubkan.

• Bersegera Datang Ke Majelis Ilmu Dan Tidak Terlambat, Bahkan Harus Mendahuluinya Dari Selainnya.
Seseorang bila terbiasa bersegera dalam menghadiri majelis ilmu, maka akan mendapatkan faidah yang sangat banyak. Sehingga Asysya’bi ketika ditanya,“Dari mana engkau mendapatkan ilmu ini semua?”, ia menjawab,“Tidak bergantung kepada orang lain. Bepergian ke negeri-negeri dan sabar seperti sabarnya keledai, serta bersegera seperti bersegeranya elang”.[3]

• Mencari Dan Berusaha Mendapatkan Pelajaran Yang Ada Di Majelis Ilmu Yang Tidak Dapat Dihadirinya.
Terkadang seseorang tidak dapat menghadiri satu majelis ilmu karena alasan tertentu. Seperti : sakit dan yang lainnya. Sehingga tidak dapat memahami pelajaran yang ada dalam majelis tersebut. Dalam keadaan seperti ini hendaklah ia mencari dan berusaha mendapatkan pelajaran yang terlewatkan itu. Karena sifat pelajaran itu seperti rangkaian. Jika hilang darinya satu bagian, maka dapat mengganggu yang lainnya.

• Mencatat Fidah-Faidah Yang Didapatkan Dari Kitab.
Mencatat faidah pelajaran dalam kitab tersebut atau dalam buku tulis khusus. Faidah-faidah ini akan bermanfaat jika dibaca ulang dan dicatat dalam mempersiapkan materi mengajar, ceramah dan menjawab permasalahan. Oleh karena itu sebagian ahli ilmu menasihati kita. Jika membeli sebuah buku, agar tidak memasukkannya ke perpustakaan. Kecuali setelah melihat kitab secara umum. Caranya dengan mengenal penulis. Pokok bahasan yang terkandung dalam kitab dengan melihat daftar isi dan membuku-buka sesuai dengan kecukupan waktu sebagian pokok bahasan kitab.

• Tenang Dan Tidak Sibuk Sendiri Dalam Majelis Ilmu.
Ini termasuk adab yang penting dalam majelis ilmu. Imam Adz Dzahabi menyampaikan kisah Ahmad bin Sinan, ketika beliau berkata,“Tidak ada seorangpun yang bercakap-cakap di majelis Abdurrahman bin Mahdi. Pena tak bersuara. Tidak ada yang bangkit. Seakan-akan di kepala mereka ada burung atau seakan-akan mereka berada dalam shalat” [4]. Dan dalam riwayat yang lain,“Jika beliau melihat seseorang dari mereka tersenyum atau berbicara, maka dia mengenakan sandalnya dan keluar”.[5]

• Tidak Boleh Berputus Asa.
Terkadang sebagian kita telah hadir di suatu majelis ilmu dalam waktu yang lama. Akan tetapi tidak dapat memahaminya kecuali sedikit sekali. Lalu timbul dalam diri kita perasaan putus asa dan tidak mau lagi duduk disana. Tentunya hal ini tidak boleh terjadi. Karena telah dimaklumi, bahwa akal dan kecerdasan setiap orang berbeda. Kecerdasan tersebut akan bertambah dan berkembang karena dibiasakan. Semakin sering seseorang membiasakan dirinya, maka semakin kuat dan baik kemampuannya. Lihatlah kesabaran dan keteguhan para ulama dalam menuntut ilmu dan mencari jawaban satu permasalahan! Lihatlah apa yang dikatakan Syeikh Muhammad Al Amin Asy Syinqiti, “Ada satu masalah yang belum saya pahami. Lalu saya kembali ke rumah dan saya meneliti dan terus meneliti. Sedangkan pembantuku meletakkan lampu atau lilin di atas kepala saya. Saya terus meneliti dan minum the hijau sampai lewat 3/4 hari, sampai terbit fajar hari itu”. Kemudian beliau berkata,“Lalu terpecahlah problem tersebut”.

Lihatlah bagaimana beliau menghabiskan harinya dengan meneliti satu permasalahan yang belum jelas baginya.

• Jangan Memotong Pembicaraan Guru Atau Penceramah.
Termasuk adab yang harus diperhatikan dalam majelis ilmu yaitu tidak memotong pembicaraan guru atau penceramah. Karena hal itu termasuk adab yang jelek. Rasulullah n mengajarkan kepada kita dengan sabdanya.

ليس منا من لم يجل كبيرنا و يرحم صغيرنا و يعرف لعالمنا حقه

Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama. [Riwayat Ahmad dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’].

Imam Bukhari menulis di Shahihnya, bab Orang yang ditanya satu ilmu dalam keadaan sibuk berbicara, hendaknya menyempurnakan pembicaraannya. Kemudian menyampaikan hadits.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ فَمَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ قَالَ أَيْنَ أُرَاهُ السَّائِلُ عَنْ السَّاعَةِ قَالَ هَا أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ

Dari Abu Hurairah, beliau berkata,“Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di majelis menasihati kaum, datanglah seorang A’rabi dan bertanya,”Kapan hari kiamat?” (Tetapi) beliau terus saja berbicara sampai selesai. Lalu (beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam) bertanya,“Mana tampakkan kepadaku yang bertanya tentang hari kiamat?” Dia menjawab,”Saya, wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” Lalu beliau berkata, “Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat”. Dia bertanya lagi, “Bagaimana menyia-nyiakannya?” Beliau menjawab, “Jika satu perkara diberikan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat”. [Riwayat Bukhari].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ini berpaling dan tidak memperhatikan penanya untuk mendidiknya.

• Beradab Dalam Bertanya.
Bertanya adalah kunci ilmu. Juga diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya,

فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. [An Nahl : 43].

Demikian pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan, bahwa obat kebodohan yaitu dengan bertanya, sebagaimana sabdanya,

أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ

Seandainya mereka bertanya! Sesungguhnya obatnya kebodohan adalah bertanya. [Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi dan dishahihkan Syeikh Salim Al Hilali dalam Tanqihul Ifadah Al Muntaqa Min Miftah Daris Sa’adah, hal. 174].

Imam Ibnul Qayim berkata,”Ilmu memiliki enam martabat. Yang pertama, baik dalam bertanya …… Ada di antara manusia yang tidak mendapatkan ilmu, karena tidak baik dalam bertanya. Adakalanya, karena tidak bertanya langsung. Atau bertanya tentang sesuatu, padahal ada yang lebih penting. Seperti bertanya sesuatu yang tidak merugi jika tidak tahu dan meninggalkan sesuatu yang mesti dia ketahui.”[6]

Demikian juga Al Khathib Al Baghdadi memberikan pernyataan,”Sepatutnyalah rasa malu tidak menghalangi seseorang dari bertanya tentang kejadian yang dialaminya.”[7]

Oleh karena itu perlu dijelaskan beberapa adab yang harus diperhatikan dalam bertanya, diantaranya:

1. Bertanya perkara yang tidak diketahuinya dengan tidak bermaksud menguji.
Hal ini dijadikan syarat pertanyaan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya.

فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui. [An Nahl : 43].

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan syarat pertanyaan adalah tidak tahu. Sehingga seseorang yang tidak tahu bertanya sampai diberi tahu. Tetapi seseorang yang telah mengetahui suatu perkara diperbolehkan bertanya tentang perkara tersebut, untuk memberikan pengajaran kepada orang yang ada di majelis tersebut. Sebagaimana yang dilakukan Jibril kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Jibril yang mashur.

2. Tidak boleh menanyakan sesuatu yang tidak dibutuhkan, yang jawabannya dapat menyusahkan penanya atau menyebabkan kesulitan bagi kaum muslimin.
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang dalam firmanNya,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَسْئَلُوا عَنْ أَشْيَآءَ إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِن تَسْئَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْءَانُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللهُ عَنْهَا وَاللهُ غَفُورٌ حَلِيمُُ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah mema'afkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. [Al Maidah : 101].

Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ

Seorang Muslim yang paling besar dosanya adalah orang yang bertanya sesuatu yang tidak diharamkan, lalu diharamkan karena pertanyaannya. [Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad].

Oleh karena itulah para sahabat dan tabi’in tidak suka bertanya tentang sesuatu kejadian sebelum terjadi. Rabi’ bin Khaitsam berkata,“Wahai Abdullah, apa yang Allah berikan kepadamu dalam kitabnya dari ilmu maka syukurilah, dan yang Allah tidak berikan kepadmu, maka serahkanlah kepada orang ‘alim dan jangan mengada-ada. Karena Allah l berfirman kepada NabiNya,

قُلْ مَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ

Katakanlah (hai Muhammad),"Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al Qur'an ini, tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al Qur'an setelah beberapa waktu lagi. [Shad : 86-88].[8]

3. Diperbolehkan bertanya kepada seorang ‘alim tentang dalil dan alasan pendapatnya.
Hal ini disampaikan Al Khathib Al Baghdadi dalam Al Faqih Wal Mutafaqih 2/148 ,“Jika seorang ‘alim menjawab satu permasalahan, maka boleh ditanya apakah jawabannya berdasarkan dalil ataukah pendapatnya semata”.

4. Diperbolehkan bertanya tentang ucapan seorang ‘alim yang belum jelas. Berdasarkan dalil hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata,

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَلَمْ يَزَلْ قَائِمًا حَتَّى هَمَمْتُ بِأَمْرِ سَوْءٍ قُلْنَا وَمَا هَمَمْتَ قَالَ هَمَمْتُ أَنْ أَقْعُدَ وَأَدَعَهُ

Saya shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau memanjangkan shalatnya sampai saya berniat satu kejelekan? Kami bertanya kepada Ibnu Mas’ud,“Apa yang engkau niatkan?” Beliau menjawab, “Saya ingin duduk dan meninggalkannya”. [Riwayat Bukhari dan Muslim].

5. Jangan bertanya tentang sesuatu yang telah engkau ketahui jawabannnya, untuk menunjukkan kehebatanmu dan melecehkan orang lain.

• Mengambil Akhlak Dan Budi Pekerti Gurunya.
Tujuan hadir di majelis ilmu, bukan hanya terbatas pada faidah keilmuan semata. Ada hal lain yang juga harus mendapat perhatian serius. Yaitu melihat dan mencontoh akhlak guru. Demikianlah para ulama terdahulu. Mereka menghadiri majelis ilmu, juga untuk mendapatkan akhlak dan budi pekerti seorang ‘alim. Untuk dapat mendorong mereka berbuat baik dan berakhlak mulia.

Diceritakan oleh sebagian ulama, bahwa majelis Imam Ahmad dihadiri lima ribu orang. Dikatakan hanya lima ratus orang yang menulis, dan sisanya mengambil faidah dari tingkah laku, budi pekerti dan adab beliau.[9]

Abu Bakar Al Muthaawi’i berkata,“Saya menghadiri majelis Abu Abdillah – beliau sedang mengimla’ musnad kepada anak-anaknya- duabelas tahun. Dan saya tidak menulis, akan tetapi saya hanya melihat kepada adab dan akhlaknya”. [10]

Demikianlah perihal kehadiran kita dalam majelis ilmu. Hendaklah bukan semata-mata mengambil faidah ilmu saja, akan tetapi juga mengambil semua faidah yang ada.

Demikian sebagian faidah yang dapat diambil dari hadits ini. Mudah-mudahan bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun VI/1423H/2002M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Para ulama’ berbeda pendapat mengenai nama asli beliau. Pendapat terkuat, beliau bernama Abdurrahman bin Shahr
[2]. Lihat Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim, hal.68.
[3]. Lihat Rihlah Fi Thalabil Hadits, hal.196.
[4]. Tadzkiratul Hufadz 1/331
[5]. Siyar A’lam Nubala 4/1470.
[6]. Miftah Daris Sa’adah 1/169.
[7]. Al Faqiih Wal Mutafaaqih 1/143.
[8]. Jami’ Bayanil Filmi Wa Fadhlihi 2/136.
[9]. Siyar A’lam Nubala 11/316.
[10]. Ibid. 11/316

PANDUAN SOLAT SUNAT

PANDUAN SOLAT SUNAT

CARA NABI S.A.W.

Penulis: Mohd Yaakub bin Mohd Yunus

Disemak oleh: Ustaz Mohd Fikri Che Hussain


SOLAT SUNAT RAWATIB

SOLAT SUNAT RAWATIB : SOLAT RAWATIB SUBUH : SOLAT RAWATIB ZUHUR : SOLAT RAWATIB MAGHRIB

SOLAT RAWATIB ISYAK : SOLAT RAWATIB UNTUK SOLAT JUMAAT : SOLAT RAWATIB GHAIRU MU’AKKAD

Solat sunat Rawatib adalah solat-solat sunat yang didirikan sebelum mahupun sesudah solat fardu lima waktu. Bagi solat Rawatib sebelum solat fardu ianya dikenali sebagai solat sunat Qabliyah dan bagi solat Rawatib yang dikerjakan sesudah solat fardu ianya dikenali sebagai solat Ba’diyah.


Fungsi Solat Qabliyah adalah untuk menenangkan jiwa seseorang setelah melalui aktiviti kehidupan seharian yang adakalanya terlalu sibuk sehingga menyebabkan seseorang itu tidak mampu untuk khusyuk ketika mendirikan solat fardu. Oleh itu solat Qabliyah berfungsi untuk mententeramkan jiwa serta memastikan kita berada dalam keadaan yang cukup bersedia bagi menyempurnakan solat fardu.


Solat Ba’diyah pula bertindak bagi menyempurnakan apa-apa kekurangan yang mungkin wujud ketika melaksanakan solat fardu seperti kesilapan dalam bacaan, tidak khusyuk, tersilap dalam pergerakan dan lain-lain.


Solat sunat Rawatib ini pula terbahagi kepada mu’akkad (diperkuatkan) dan ghairu mu’akkad (tidak diperkuatkan). Para ulamak berbeza pendapat tentang jumlah rakaat solat Rawatib yang mu’akkad sama ada jumlah keseluruhannya dua belas atau sepuluh rakaat.


Hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Habibah radhiallahu’ anha menjelaskan terdapat dua belas rakaat solat Rawatib sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّي لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ

إِلاَّ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ.

Maksudnya:

Tidaklah seorang hamba Muslim mengerjakan solat kerana Allah dalam satu hari dua belas rakaat sebagai tathawwu’ dan bukan fardu, melainkan Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di syurga. – Hadis riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Sholaatil Musaafiriin wa Qashruhaa, no: 728


Di dalam riwayat yang lain diperjelaskan pula apakah itu solat-solat yang berjumlah dua belas rakaat seperti yang dimaksudkan hadis di atas. Daripada Ummu Habibah radhiallahu’ anha, dia berkata bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


مَنْ صَلَّى فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بُنِيَ لَهُ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ


أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ


وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الْفَجْرِ.

Maksudnya:

Barang siapa yang mengerjakan solat (sunat) sebanyak dua belas rakaat dalam sehari semalam kelak akan dibangunkan untuknya sebuah rumah di syurga. Kedua belas rakaat itu adalah empat rakaat sebelum solat Zuhur, dua rakaat setelah solat Zuhur, dua rakaat setelah solat Maghrib, dua rakaat setelah solat Isyak dan dua rakaat sebelum solat Subuh. – Hadis riwayat Imam al-Tirmidzi dalam Sunannya, Kitab al-Sholaah, no: 380.


Melalui riwayat Ibnu ‘Umar radhiallahu’ anh pula menunjukkan jumlah rakaat solat Rawatib adalah sepuluh. Dia berkata:


حَفِظْتُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ رَكَعَاتٍ


رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ


وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ.

Maksudnya:

Aku telah menghafal (menjaga) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang sepuluh rakaat (iaitu solat sunat) iaitu dua rakaat sebelum solat Zuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat setelah solat Maghrib di rumahnya, dua rakaat setelah solat Isyak di rumahnya dan dua rakaat sebelum solat Subuh. – Hadis riwayat Imam al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab al-Jumu’ah, no: 1180.


Dari sini dapat kita fahami bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengerjakan kedua-dua jumlah rakaat iaitu dua belas mahupun sepuluh rakaat solat sunat Rawatib. Perbezaan tersebut adalah disebabkan perbezaan jumlah rakaat ketika melaksanakan solat Qabliyah Zuhur. Oleh itu bolehlah bagi kita semua untuk memilih untuk mengerjakan solat Qabliyah Zuhur tersebut sebanyak empat mahupun dua rakaat.


Keutamaan mengerjakan solat Rawatib adalah sebagaimana yang dikhabarkan oleh hadis riwayat Ummu Habibah radhiallahu’ anha iaitu disediakan sebuah rumah di syurga bagi mereka yang mendirikannya. Selanjutnya penulis akan membentangkan setiap jenis solat Rawatib dan tatacara perlaksanaannya.


Ke atas


1) SOLAT RAWATIB SUBUH

v Dalil Disyariatkan

Solat Qabliyah Subuh ini merupakan salah satu dari solat sunat yang amat dititik beratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam malah diriwayatkan bahawa baginda tidak pernah meninggalkannya. Daripada ‘Aisyah radhiallahu’ anha dia berkata:


صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ ثُمَّ صَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ



وَرَكْعَتَيْنِ جَالِسًا وَرَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءَيْنِ وَلَمْ يَكُنْ يَدَعْهُمَا أَبَدًا.

Maksudnya:

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam solat Isyak kemudian solat lapan rakaat dan dua rakaat dengan duduk serta dua rakaat di antara dua seruan (yakni azan dan iqamah untuk solat subuh). Baginda shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan ke dua rakaat tersebut (yakni solat qabliyah subuh). - Hadis riwayat Imam al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab al-Jumu’ah, no: 1159.


Malah diriwayatkan bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetap melaksanakannya walaupun ketika bermusafir. Daripada Abu Maryam, dia berkata:


كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَأَسْرَيْنَا لَيْلَةً


فَلَمَّا كَانَ فِي وَجْهِ الصُّبْحِ نَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَامَ وَنَامَ النَّاسُ


فَلَمْ يَسْتَيْقِظْ إِلاَّ بِالشَّمْسِ قَدْ طَلَعَتْ عَلَيْنَا


فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤَذِّنَ فَأَذَّنَ ثُمَّ صَلَّى الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ


ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ فَصَلَّى بِالنَّاسِ ثُمَّ حَدَّثَنَا بِمَا هُوَ كَائِنٌ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ.

Maksudnya:

Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah perjalanan. Lalu kami melakukan perjalanan pada malam hari. Ketika di ambang waktu Subuh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berhenti lalu tidur dan orang-orang lain pun ikut serta tidur. Dan kami tidak bangun kecuali ketika matahari telah terbit menyinari kami. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh muadzdzin mengumandangkan azan, maka dia pun mengumandangkannya. Selanjutnya, baginda mengerjakan solat dua rakaat sebelum solat Subuh. Setelah itu baginda menyuruh muadzdzin melaungkan iqamah, maka dia pun melakukan iqamah. Setelah itu baru baginda mengerjakan solat secara berjemaah. Kemudian baginda memberitahu kami mengenai apa yang akan terjadi sampai hari kiamat kelak. – Hadis riwayat Imam al-Nasa’i dalam Sunannya, Kitab al-Mawaaqiit, no: 617.


Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah:


Di antara petunjuk yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sesebuah perjalanannya, iaitu baginda mencukupkan diri dengan melaksanakan solat yang fardu, dan baginda tidak diketahui melakukan solat sunat Rawatib sebelum dan sesudah solat fardu kecuali solat Witir dan solat sunat Rawatib Subuh kerana baginda tidak pernah meninggalkan kedua solat tersebut baik ketika mukim mahupun saat bermusafir. – Rujuk Zaad al-Ma’ad, jilid 1, ms. 456.


Hanya sahaja tidak ada sebarang riwayat yang menunjukkan solat ini hukumnya wajib. Oleh kerana itu ianya termasuk dalam kategori amalan sunat mu’akkadah.


v Keutamaannya

Perlaksanaan solat Rawatib subuh ini lebih baik dari segala perkara yang terdapat di dunia ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا.

Maksudnya:

Dua rakaat sebelum Subuh itu lebih baik dari dunia dan isinya. – Hadis riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Sholaatil Musaafiriin wa Qashruhaa, no: 725.


v Tatacara Perlaksanaannya Serta Hukum-Hukum Berkaitan


q Jumlah Rakaat Dan Waktu Mengerjakannya

Solat Qabliyah Subuh sebanyak dua rakaat ini didirikan setelah masuknya waktu solat Subuh iaitu di antara azan dan iqamah. Daripada ‘Aisyah radhiallahu’ anha, dia berkata:


كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالإِقَامَةِ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ.


Maksudnya:

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan dua rakaat solat dengan ringan di antara azan dan iqamah solat Subuh. – Hadis riwayat Imam al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab al-Azaan, no: 619.


q Dikerjakan Secara Ringkas

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meringankan perlaksanaannya iaitu dengan membaca surah-surah yang pendek secara ringkas dan pantas. Daripada ‘Aisyah radhiallahu’ anha, dia berkata:


كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَفِّفُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ


حَتَّى إِنِّي لأَقُولُ هَلْ قَرَأَ بِأُمِّ الْكِتَابِ.


Maksudnya:

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meringankan dua rakaat sebelum solat Subuh sehingga aku tertanya apakah baginda hanya membaca Ummul Kitab. – Hadis riwayat Imam al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab al-Jumu’ah, no: 1165.

q Surah Yang Dibacakan

Di antara ayat-ayat yang dibacakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika solat sunat Qabliyah subuh adalah seperti berikut :-


a) Surah al-Kaafiruun dan al-Ikhlas


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ


قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَد.ٌ


Maksudnya:

Daripada Abu Hurairah radhiallahu’ anh bahawasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa membaca di dalam (solat) dua rakaat sebelum Subuh: ‘Qul yaa ayyuhal kaafiruun’ dan ‘Qul huwallahu ahad’ – Hadis riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Sholaatul Musaafiriin wa Qashruhaa, no: 726.


b) Al-Baqarah (2) : 136 dan Aali ‘Imraan (3) : 52


أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ


كَانَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فِي الأُولَى مِنْهُمَا قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا الآيَةَ


الَّتِي فِي الْبَقَرَةِ وَفِي الآخِرَةِ مِنْهُمَا آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ.


Maksudnya:

Daripada Ibnu ‘Abbas radhiallahu’ anh bahawasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa membaca di dalam solat dua rakaat sebelum Subuh, iaitu rakaat pertama membaca: Quuluu aaamannaa billaahi wamaa unzila ilaina… kemudian ayat yang terdapat di dalam surah al-Baqarah (ayat 136), dan pada rakaat kedua membaca: Aaamannaa billaahi wasyad bi annaa muslimuun. (Aali ‘Imraan : 52) – Hadis riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Sholaatul Musaafiriin wa Qashruhaa, no: 727.


c) Al-Baqarah (2) : 136 dan Aali ‘Imraan (3) : 64


عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ


قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَالَّتِي فِي آلِ عِمْرَانَ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ.


Maksudnya:

Daripada Ibnu ‘Abbas radhiallahu’ anh bahawasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa membaca di dalam solat dua rakaat sebelum Subuh: Quuluu aamannaa billaahi wamaa unzila ilaina… surah al-Baqarah (ayat 136), dan yang terdapat di dalam surah Aali ‘Imraan: Ta’aalau ilaa kalimatin sawaa’ bainanaa wa bainakum (Aali ‘Imraan : 64) – Hadis riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Sholaatul Musaafiriin wa Qashruhaa, no: 727.


Memandangkan kesemua hadis di atas adalah hadis yang sahih maka bolehlah kita mengamalkannya secara bergilir-gilir.


Ø PERHATIAN

Di sepanjang perbahasan tentang solat-solat sunat dalam buku ini, penulis akan memperjelaskan surah-surah atau ayat-ayat yang pernah dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam solat-solat yang tertentu. Tentu sahaja sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini adalah sebaik-baik ikutan bagi seluruh umat Islam. Namun sekiranya ada di kalangan kita yang tidak menghafal surah-surah tersebut maka hendaklah dia membaca apa sahaja surah lain yang mudah baginya.


Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ

Maksudnya:

… oleh itu bacalah mana-mana yang mudah kamu dapat membacanya dari Al-Quran (dalam solat). - al-Muzzammil (73) : 20


Dan Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:


ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ

Maksudnya:

Bacalah sesuatu yang mudah bagimu dari al-Qur’an. - Hadis riwayat Imam al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab al-Azaan, no: 757.


q Baring Setelah Selesai Mengerjakannya

Setelah mengerjakan solat sunat Qabliyah Subuh tersebut, adalah disunatkan untuk berbaring di atas lambung kanan sebelum mengerjakan solat Subuh. Daripada Abu Hurairah radhiallahu’ anh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ


إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فَلْيَضْطَجِعْ عَلَى يَمِينِهِ.

Maksudnya:

Jika salah seorang di antara kalian telah mengerjakan solat dua rakaat sebelum Subuh, hendaklah dia berbaring di atas lambung kanannya. – Hadis riwayat Imam al-Tirmidzi dalam Sunannya, Kitab al-Sholaah, no: 385.


Namun begitu sekiranya terdapat urusan yang menyebabkan seseorang itu tidak dapat untuk berbaring sesudah mengerjakan solat Qabliyah Subuh maka tidak mengapa baginya untuk menyelesaikan urusan tersebut kerana amalan tersebut hanyalah sunat.



عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ



كَانَ إِذَا صَلَّى فَإِنْ كُنْتُ مُسْتَيْقِظَةً حَدَّثَنِي وَإِلاَّ اضْطَجَعَ حَتَّى يُؤْذَنَ بِالصَّلاَةِ.



Maksudnya:

Daripada ‘Aisyah radhiallahu’ anha bahawasanya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengerjakan solat sunat Subuh, sedang aku dalam keadaan terbangun, baginda akan berbicara denganku. Jika tidak demikian baginda akan berbaring sehingga azan (dikumandangkan iqamah) untuk mendirikan solat. – Hadis riwayat Imam al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab al-Tahajjud, no: 1161.



q Cara Mengqadha Solat Qabliyah Subuh

Bagi mereka yang tidak sempat mengerjakan solat Qabliyah Subuh maka dia boleh mengqadhanya dengan mengerjakannya setelah matahari terbit. Daripada Abu Hurairah radhiallahu’ anh. dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:



مَنْ لَمْ يُصَلِّ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فَلْيُصَلِّهِمَا بَعْدَ مَا تَطْلُعُ الشَّمْسُ.

Maksudnya:

Barangsiapa tidak sempat mengerjakan solat rawatib dua rakaat sebelum Subuh, maka hendaklah dia mengerjakannya setelah matahari terbit. – Hadis riwayat Imam al-Tirmidzi dalam Sunannya, Kitab al-Sholaah, no: 388.



Dibenarkan juga untuk mengqadhakan solat Qabliyah Subuh itu sebaik sahaja selesai solat fardu Subuh.



Daripada Qais, dia berkata:



رَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا يُصَلِّي بَعْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ



فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَلاَةُ الصُّبْحِ رَكْعَتَان.ِ



فَقَالَ الرَّجُلُ: إِنِّي لَمْ أَكُنْ صَلَّيْتُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا فَصَلَّيْتُهُمَا الآن.



َ فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Maksudnya:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat seseorang sedang mengerjakan solat sunat setelah mengerjakan solat Subuh. Baginda lalu bersabda: Solat subuh itu hanya dua rakaat.

Lelaki tersebut lalu berkata: Sesungguhnya tadi aku belum mengerjakan solat sunat dua rakaat sebelum (Qabliyah) solat Subuh, oleh itu aku mengerjakannya sekarang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun mendiamkannya (menandakan baginda bersetuju) - Hadis riwayat Imam Abu Dawud dalam Sunannya, Kitab al-Sholaah, no: 1076.



Ø PERHATIAN

Menerusi buku ini para pembaca akan melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menqadhakan beberapa jenis solat sunat yang baginda tidak sempat melaksanakannya. Apa yang harus para pembaca fahami adalah solat-solat tersebut hanya boleh diqadhakan sekiranya wujud keuzuran yang tidak boleh dielakkan seperti terlupa, tertidur, pengsan, hilang akal dan sibuk dengan hal yang lebih penting. Sekiranya seseorang itu secara sengaja meninggalkan solat sama ada fardu mahupun sunat tanpa alasan yang kukuh maka tidak dibenarkan baginya untuk mengqadha. Syeikh Muhammad bin Soleh al-‘Uthaimin rahimahullah berkata:



"Pendapat paling kuat menurutku adalah sebagaimana yang dipilih oleh Syeikh al-Islam Ibn Taimiyah rahimahullah bahawa sesiapa yang sengaja meninggalkan solat sehingga habis waktunya, mengqadanya tidaklah bermanfaat. Ini kerana, sesuatu ibadah tertakluk dengan waktu tertentu harus dikerjakan tepat pada waktu yang ditentukan. Maka sebagaimana ibadah itu tidak sah dikerjakan sebelum waktunya, ia juga tidak sah dikerjakan setelah habis waktunya. Kerana batasan waktu yang telah ditentukan oleh Allah hendaklah diperhatikan. – Rujuk buku Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Majmu’ Fatawa Arkanil Islam, (edisi terjemahan dengan tajuk Majmu’ Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Aqidah dan Ibadah : Bab Ibadah, Pustaka Arafah, Solo, 2002), ms. 322.



q Ringkasan tatacara mengerjakan Solat Rawatib Subuh


Rakaat Pertama

1.

Berniat di dalam hati untuk mengerjakan Solat Qabliyah Subuh
2.

Takbiratul Ihram
3.

Doa Iftitah
4.

Membaca surah al-Fatihah
5.

Membaca surah al-Qur’an
6.

Rukuk
7.

Iktidal
8.

Sujud
9.

Duduk antara dua sujud
10.

Sujud kali kedua
11.

Bangun untuk rakaat kedua

Rakaat Kedua

1.

Ulang seperti rakaat pertama dari nombor (4) hingga (10)
2.

Duduk untuk tahiyyat akhir
3.

Memberi salam ke kanan dan ke kiri
4.

Baring sebentar di atas lambung kanan



Ke atas











2) SOLAT RAWATIB ZUHUR



v Dalil Disyari’atkan



Solat Rawatib Zuhur adalah termasuk dalam kategori solat yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali jika baginda sedang bermusafir. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan bahawa Solat Qabliyah dan Ba’diyah Zuhur ini termasuk dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Di antaranya adalah sebuah riwayat daripada ‘Abdullah bin Syaqiq, dia berkata: Saya pernah bertanya kepada ‘Aisyah tentang solat tathawwu’ Rasulullah, lalu ‘Aisyah menjawab:



كَانَ يُصَلِّي فِي بَيْتِي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا ثُمَّ يَخْرُجُ فَيُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ يَدْخُلُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ

Maksudnya:

Rasulullah solat empat rakaat sebelum Zuhur di rumahnya lalu baginda solat (Zuhur) bersama orang ramai dan setelah itu baginda solat dua rakaat. – Hadis riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Sholaatul Musaafiriin wa Qashruhaa, no: 730.





v Keutamaannya



q Menghindari Siksa Api Neraka

Mengerjakan solat sunat Rawatib Zuhur dapat memelihara seseorang itu dari api neraka. Dalilnya adalah sebagaimana sebuah riwayat daripada Ummu Habibah radhiallahu’ anha, dia berkata aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:



مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ.

Maksudnya:

Barangsiapa yang memelihara solat empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat sesudahnya, Allah akan mengharamkannya dari Neraka. – Hadis riwayat Imam al-Tirmidzi dalam Sunannya, Kitab al-Sholaah, no: 428.



q Waktu Yang Afdhal Untuk Beribadah

Pada waktu ini pintu langit terbuka dan ianya memudahkan amalan-amalan soleh untuk naik ke atas.



Daripada Abu Ayyub al-Anshori bahawa dia bersolat empat rakaat sebelum Zuhur. Kemudian sewaktu dia ditanya: Mengapa anda selalu mengerjakan solat sunat ini? Dia menjawab: Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mengerjakannnya, lalu saya pun bertanya seperti itu dan baginda menjawab:



إِنَّهَا سَاعَةٌ تُفْتَحُ فِيهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ فَأَحْبَبْتُ أَنْ يَرْتَفِعَ لِي فِيهَا عَمَلٌ صَالِحٌ.

Maksudnya:

Sesungguhnya ada suatu saat di mana semua pintu langit dibuka maka saya ingin sekali bahawa pada saat itu ada suatu amal kebaikanku yang naik ke sana. – Hadis riwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya, no: 22449





v Tatacara Perlaksanaannya Serta Hukum-Hukum Berkaitan



q Waktu Mengerjakannya

Solat Qabliyah Zuhur dilaksanakan setelah azan Zuhur dikumandangkan dan sebelum melaksanakan solat Zuhur. Manakala solat Ba’diyah Zuhur didirikan sesudah mengerjakan solat Zuhur.



q Jumlah Rakaatnya

Berkaitan dengan jumlah rakaatnya terdapat tiga pendapat dari segi perlaksanaannya.



Pertama : Mengerjakan dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Daripada Ibnu ‘Umar radhiallahu’ anh, dia berkata:



حَفِظْتُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا



وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ.



Maksudnya:

Aku telah menghafal (menjaga) daripada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang sepuluh rakaat (iaitu solat sunat) iaitu dua rakaat sebelum solat Zuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat setelah solat Maghrib di rumahnya, dua rakaat setelah solat Isyak di rumahnya dan dua rakaat sebelum solat Subuh. – Hadis riwayat Imam al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab al-Jumu’ah, no: 1180.



Kedua: Mengerjakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Daripada Ummu Habibah radhiallahu’ anha, dia berkata bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:



مَنْ صَلَّى فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بُنِيَ لَهُ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا



وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الْفَجْرِ.



Maksudnya:

Barang siapa yang mengerjakan solat (sunat) sebanyak dua belas rakaat dalam sehari semalam kelak akan dibangunkan untuknya sebuah rumah di syurga. Kedua belas rakaat itu adalah empat rakaat sebelum solat Zuhur, dua rakaat setelah solat Zuhur, dua rakaat setelah solat Maghrib, dua rakaat setelah solat Isyak dan dua rakaat sebelum solat Subuh. – Hadis riwayat Imam al-Tirmidzi dalam Sunannya, Kitab al-Sholaah, no: 380.



Ketiga: Mengerjakan empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Daripada Ummu Habibah radhiallahu’ anha, dia berkata aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:



مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ.



Maksudnya:

Barangsiapa yang memelihara solat empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat sesudahnya, Allah akan mengharamkannya dari Neraka. – Hadis riwayat Imam al-Tirmidzi dalam Sunannya, Kitab al-Sholaah, no: 428



Kesemua tatacara di atas adalah bersandarkan kepada dalil-dalil yang sabit daripada baginda shallallahu ‘alaihi wasallam maka dibenarkan bagi kita untuk melaksanakannya menurut salah satu dari tatacara di atas ataupun boleh juga bagi kita untuk menggilirkan tatacara perlaksanaan solat Rawatib Zuhur ini menurut ketiga-tiga tatacara tersebut.



Sekiranya solat Rawatib Zuhur ini dikerjakan sebanyak empat rakaat, diperbolehkan bagi kita untuk mengerjakannya dua rakaat lalu memberi salam dan sesudah itu dikerjakan lagi dua rakaat ataupun mengerjakannya sebanyak empat rakaat sekaligus dengan dua tasyahhud sebagaimana solat empat rakaat yang biasa.



q Cara Mengqadha Solat Qabliyah Zuhur

Bagi mereka yang terlepas mengerjakan Solat Qabliyah Zuhur maka diperbolehkan untuk mengqadhanya setelah mengerjakan solat Zuhur. Daripada ‘Aisyah radhiallahu’ anha, dia berkata:



أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا لَمْ يُصَلِّ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ صَلاَّهُنَّ بَعْدَهُ.



Maksudnya:

Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak sempat mengerjakan solat empat rakaat sebelum (Qabliyah) Zuhur, baginda akan mengerjakan keempat rakaat itu setelahnya. – Hadis riwayat Imam Tirmidzi dalam Sunannya, Kitab al-Sholaah, no: 426



q Cara Mengqadha Solat Ba’diyah Zuhur

Bagi mereka yang terlepas mengerjakan Solat Ba’diyah Zuhur maka diperbolehkan untuk mengqadhanya setelah mengerjakan solat Asar. Hal ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah radhiallahu’ anha yang melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan solat dua rakaat sesudah solat Asar sedangkan waktu itu termasuk waktu yang dilarang untuk mendirikan solat lalu beliau bertanya kepada baginda lalu baginda menjawab:



يَا بِنْتَ أَبِي أُمَيَّةَ سَأَلْتِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ إِنَّهُ أَتَانِي أُنَاسٌ



مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ بِالإِسْلاَمِ مِنْ قَوْمِهِمْ فَشَغَلُونِي عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ فَهُمَا هَاتَانِ.



Maksudnya:

Wahai anak Abu Umayah, kamu bertanya tentang dua rakaat yang saya kerjakan setelah Asar, hal itu kerana saya telah didatangi oleh beberapa orang dari ‘Abdul Qais untuk mengislamkan beberapa orang daripada kaumnya sehingga aku tidak sempat mengerjakan solat rawatib dua rakaat sesudah Zuhur, dan inilah dua rakaat itu. – Hadis riwayat Imam al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab al-Maghaazi, no 4370.



Justeru itu menerusi hadis ini dapatlah kita simpulkan bahawa dibenarkan untuk mengqadha solat Ba’diyah Zuhur pada waktu dilarang mengerjakan solat iaitu setelah mengerjakan solat Asar secara mutlak. Sebahagian ulamak pula berpendapat bahawa larangan mengerjakan solat setelah waktu Asar hanyalah ketika matahari tenggelam. Sekiranya setelah mengerjakan solat asar dan matahari masih berwarna putih bersih maka ia tidak termasuk dalam waktu yang terlarang. Dalilnya adalah sebagaimana riwayat dibawah:



عَنْ عَلِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ إِلاَّ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ.



Maksudnya:

Daripada ‘Ali bin Abi Thalib bahawasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dari mengerjakan solat setelah Asar, kecuali jika matahari masih tinggi. – Hadis riwayat Imam Abu Dawud dalam Sunannya, Kitab al-Sholaah, no: 1082.



q Ringkasan tatacara mengerjakan Solat Rawatib Zuhur


A) Tatacara Solat Rawatib Zuhur Dua Rakaat

Rakaat Pertama

1) Berniat di dalam hati untuk mengerjakan solat Qabliyah / Ba’diyah Zuhur

2) Takbiratul Ihram

3) Doa Iftitah

4) Membaca surah al-Fatihah

5) Membaca surah al-Qur’an

6) Rukuk

7) Iktidal

8) Sujud

9) Duduk antara dua sujud

10) Sujud kali kedua

11) Bangun untuk rakaat kedua



Rakaat Kedua

1) Ulang seperti rakaat pertama dari nombor (4) hingga (10)

2) Duduk untuk tahiyyat akhir

3) Memberi salam ke kanan dan ke kiri

B) Tatacara Solat Rawatib Zuhur Empat Rakaat

Boleh dilaksanakan seperti solat Rawatib Zuhur dua rakaat di atas sebanyak dua kali ataupun dengan sekaligus mengerjakan empat rakaat dengan dua tahiyyat seperti di bawah.


Rakaat Pertama

1) Berniat di dalam hati untuk mengerjakan solat Qabliyah / Ba’diyah Zuhur

2) Takbiratul Ihram

3) Doa Iftitah

4) Membaca surah al-Fatihah

5) Membaca surah al-Qur’an

6) Rukuk

7) Iktidal

8) Sujud

9) Duduk antara dua sujud

10) Sujud kali kedua

11) Bangun untuk rakaat kedua



Rakaat Kedua

1) Ulang seperti rakaat pertama dari nombor (4) hingga (10)

2) Duduk untuk tahiyyat awal

3) Bangun untuk rakaat ketiga


Rakaat Ketiga

1) Ulang seperti rakaat pertama dari nombor (4) hingga (10)

2) Bangun untuk rakaat keempat


Rakaat Keempat

1) Ulang seperti rakaat pertama dari nombor (4) hingga (10)

2) Duduk untuk tahiyyat akhir

3) Memberi salam ke kanan dan ke kiri



Ke atas











3) SOLAT RAWATIB MAGHRIB



v Dalil Disyari’atkan



Solat Ba’diyah Maghrib adalah termasuk dalam kategori solat sunat Rawatib yang mu’akkad. Dalilnya adalah seperti riwayat di bawah:



فَقَالَتْ كَانَ يُصَلِّي فِي بَيْتِي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا ثُمَّ يَخْرُجُ فَيُصَلِّي بِالنَّاسِ



ثُمَّ يَدْخُلُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَكَانَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ الْمَغْرِبَ ثُمَّ يَدْخُلُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ.



Maksudnya:

Lalu dia (‘Aisyah radhiallahu’ anha) berkata adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersolat di rumahku sebelum Zuhur empat rakaat, kemudian baginda keluar lalu bersolat (Zuhur) bersama orang ramai, kemudian baginda masuk ke rumahku dan bersolat dua rakaat. Baginda bersolat Maghrib dengan orang ramai, kemudian baginda masuk ke dalam rumahku lalu bersolat dua rakaat. - Hadis riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Sholaatil Musaafiriin wa Qashruhaa, no: 730.





v Keutamaannya



Bagi mereka yang mengerjakan solat Ba’diyah Maghrib ini, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menyediakan baginya sebuah rumah di syurga. Sila rujuk hadis daripada Ummu Habibah radhiallahu’ anha yang telah penulis paparkan pada awal perbahasan tentang solat rawatib.





v Tatacara Perlaksanaannya Serta Hukum-Hukum Berkaitan



q Jumlah Rakaatnya

Ianya dilaksanakan sebanyak dua rakaat setelah mengerjakan solat Maghrib dan Rasulullah s.a.w mendirikannya di rumah baginda. Daripada ‘Aisyah radhiallahu’ anha:



وَكَانَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ الْمَغْرِبَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى بَيْتِي فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ

Maksudnya:

Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan solat Maghrib kemudian baginda kembali ke rumahku lalu baginda mengerjakan solat dua rakaat. – Hadis riwayat Imam Abu Dawud dalam Sunannya, Kitab al-Sholaah, no: 1060.



Justeru itu adalah lebih afdal sekiranya solat Ba’diyah Maghrib ini didirikan di rumah masing-masing melainkan terdapat keperluan untuk mengerjakannya di masjid.



q Surah Yang Dibacakan

Lazimnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca surah al-Kaafiruun dan al-Ikhlash semasa solat Ba’diyah Maghrib ini. Daripada Ibnu Mas’ud radhiallahu’ anh, dia berkata:



مَا أُحْصِي مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ



بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَفِي الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الْفَجْرِ بِقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ.



Maksudnya:

Saya tidak dapat menghitung betapa seringnya saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam solat dua rakaat selepas Maghrib dan dua rakaat sebelum Subuh ‘Qul yaa ayyuhal kaafiruun’ dan ‘Qul huwallahu ahad’. – Hadis riwayat Imam al-Tirmidzi dalam Sunannya, Kitab al-Sholaah, no: 396.



q Ringkasan tatacara mengerjakan Solat Rawatib Ba’diyah Maghrib


Rakaat Pertama

1) Berniat di dalam hati untuk mengerjakan solat Ba’diyah Maghrib

2) Takbiratul Ihram

3) Doa Iftitah

4) Membaca surah al-Fatihah

5) Membaca Surah al-Qur’an

6) Rukuk

7) Iktidal

8) Sujud

9) Duduk antara dua sujud

10) Sujud kali kedua

11) Bangun untuk rakaat kedua



Rakaat Kedua

1) Ulang seperti rakaat pertama dari nombor (4) hingga (10)

2) Duduk untuk tahiyyat akhir

3) Memberi salam ke kanan dan ke kiri



Ke atas











4) SOLAT RAWATIB ISYAK



v Dalil Disyari’atkan



Solat Ba’diyah Isyak ini merupakan sebahagian dari solat Rawatib yang mu’akkad. Daripada Ibnu ‘Umar, dia berkata:



حَفِظْتُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا



وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ.



Maksudnya:

Aku telah menghafal (menjaga) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang sepuluh rakaat (iaitu solat sunat) iaitu dua rakaat sebelum solat Zuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat setelah solat Maghrib di rumahnya, dua rakaat setelah solat Isyak di rumahnya dan dua rakaat sebelum solat Subuh. – Hadis riwayat Imam al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab al-Jumu’ah, no: 1180.





v Keutamaannya



Bagi mereka yang mengerjakan solat Ba’diyah Isyak ini, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menyediakan baginya sebuah rumah di syurga. Sila rujuk hadis daripada Ummu Habibah radhiallahu’ anha yang telah penulis paparkan pada awal perbahasan tentang solat rawatib.





v Tatacara Perlaksanaannya Serta Hukum-Hukum Berkaitan



q Jumlah Rakaat dan Waktu Perlaksanaannya

Ianya didirikan setelah mengerjakan Solat Isyak sebanyak dua rakaat dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan solat ini di rumah.



فَقَالَتْ كَانَ يُصَلِّي فِي بَيْتِي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا ثُمَّ يَخْرُجُ فَيُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ يَدْخُلُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ



وَكَانَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ الْمَغْرِبَ ثُمَّ يَدْخُلُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَيُصَلِّي بِالنَّاسِ الْعِشَاءَ



وَيَدْخُلُ بَيْتِي فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ...



Maksudnya:

Lalu dia (‘Aisyah radhiallahu’ anh) berkata adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersolat di rumahku sebelum Zuhur empat rakaat, kemudian baginda keluar lalu bersolat (Zuhur) bersama orang ramai, kemudian baginda masuk ke rumahku dan bersolat dua rakaat. Baginda bersolat Maghrib dengan orang ramai, kemudian baginda masuk ke dalam rumahku lalu bersolat dua rakaat. Baginda bersolat Isyak dengan orang ramai, kemudian baginda masuk ke dalam rumahku lalu bersolat dua rakaat.- Hadis riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Sholaatil Musaafiriin wa Qashruhaa, no: 730.



q Ringkasan tatacara mengerjakan Solat Rawatib Ba’diyah Isyak


Rakaat Pertama

1) Berniat di dalam hati untuk mengerjakan solat Ba’diyah Isyak

2) Takbiratul Ihram

3) Doa Iftitah

4) Membaca surah al-Fatihah

5) Membaca Surah al-Qur’an

6) Rukuk

7) Iktidal

8) Sujud

9) Duduk antara dua sujud

10) Sujud kali kedua

11) Bangun untuk rakaat kedua



Rakaat Kedua

1) Ulang seperti rakaat pertama dari nombor (4) hingga (10)

2) Duduk untuk tahiyyat akhir

3) Memberi salam ke kanan dan ke kiri



Ke atas











5) SOLAT RAWATIB UNTUK SOLAT JUMAAT

Berkaitan dengan solat rawatib ketika solat Jumaat penulis akan membahagikan perbincangan kepada empat topik besar iaitu:

1.

Mendirikan Solat Sunat Mutlak.
2.

Azan untuk solat Jumaat hanya sekali.
3.

Adakah disyari’atkan Solat Qabliyah Jumaat?
4.

Solat Ba’diyah Jumaat.



v Mendirikan Solat Sunat Mutlak



Mendirikan solat sunat Mutlak pada hari Jumaat iaitu sebelum imam naik ke mimbar dan azan dilaungkan merupakan satu amalan yang agak asing bagi kebanyakan umat Islam di Malaysia. Lazimnya mereka lebih terbiasa untuk mengerjakan solat sunat Qabliyah Jumaat berbanding solat sunat Mutlak ini sehinggakan sesetengah pihak akan terpinga-pinga apabila disebut solat sunat Mutlak pada hari Jumaat ini. Hal ini tidak sepatutnya berlaku kerana Imam al-Syafi’i rahimahullah telah memperjelaskan tentang kewujudan solat sunat Mutlak ini di dalam kitabnya al-Umm. Beliau telah menyatakan:



Dikhabarkan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad, yang mengatakan dikhabarkan kepada saya oleh Ishak bin Abdullah, daripada Sa’id al-Maqburi, daripada Abu Hurairah, bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang solat pada tengahari, sehinggalah gelincir matahari, selain Jumaat. – Rujuk kitab al-Umm (Kitab Induk) karya Imam al-Syafi’i, jilid 2, ms. 21.



Dikhabarkan kepada kami oleh Malik daripada Ibnu Syihab, daripada Tsa’labah bin Abi Malik, bahawa dia mengkhabarkan kepadanya, bahawa mereka itu berada pada zaman ‘Umar bin al-Khatthab radhiallahu’ anh pada hari Jumaat mengerjakan solat (sunat Mutlak - pen) sehingga datanglah ‘Umar bin al-Khatthab. Tatkala ‘Umar telah datang dan duduk atas mimbar dan juruazan melakukan azan, mereka duduk berbincang-bincang. Sehingga apabila juruazan sudah diam, nescaya mereka itu diam. Dan tiada seorangpun yang berbicara. Disampaikan hadis kepada saya oleh Ibnu Abi Fudaik, daripada Ibnu Abi Dzi’b, daripada Ibnu Syihab, yang mengatakan, disampaikan hadis kepada saya oleh Tsa’labah bin Abi Malik, bahawa duduk imam itu memutuskan bertasbih. Dan perkataan imam itu memutuskan perkataan orang-orang yang hadir. Mereka itu berbincang-bincang pada hari Jumaat dan ‘Umar duduk atas mimbar. Apabila juruazan sudah diam, nescaya ‘Umar berdiri, lalu tiada seorangpun yang berkata-kata sehingga diselesaikan oleh ‘Umar akan khutbah itu seluruhnya. Apabila dibacakan iqamah untuk solat dan ‘Umar turun, lalu mereka itu berkata-kata.



Apabila manusia pergi menghadiri solat Jumaat, nescaya mereka itu bersolat, sehingga jadilah imam di atas mimbar. Apabila imam telah berada di atas mimbar, nescaya dicegah dari mereka itu orang yang telah mengerjakan solat dua rakaat (Tahiyyatul Masjid - pen) atau lebih dari berkata-kata. Sehingga imam itu sudah mulai berkhutbah. Apabila dia telah mula berkhutbah, nescaya diam dengan memperhatikan. – Rujuk kitab al-Umm (Kitab Induk) karya Imam al-Syafi’i, jilid 2, ms. 22.



Sekian kata-kata Imam al-Syafi’i rahimahullah. Dari ini dapat kita rumuskan bahawa :



q Adalah disunnahkan untuk mengerjakan solat sunat mutlak sebelum azan dikumandangkan. Berkenaan dengan solat sunat mutlak ini, Syaikh al-Albani rahimahullah berkata:



Dianjurkan bagi orang yang masuk masjid pada hari Jumaat (bila sahaja) untuk mengerjakan solat sunat Mutlak sebelum duduk tanpa terikat dengan bilangan (rakaat – pen), juga tidak ditentukan waktunya, hingga imam keluar. Atau duduk ketika masuk masjid setelah solat Tahiyyatul Masjid atau sebelumnya. – Rujuk Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Al-Awjiba an-Naafi’ah ‘an As’ilati Lajnah Masjid al-Jaami’ah, (edisi terjemahan dengan tajuk Solat Jum’at Bersama Rasulullah : Hukum Dan Bid’ah Solat Jumaat, Najla Press, Jakarta, 2002) ms. 60.



q Tentang larangan untuk bersolat pada waktu tengahari sehingga gelincir matahari, maka khusus untuk hari Jumaat ianya diperbolehkan. Maka solat sunat Mutlak ini dilakukan sebelum diserukan azan solat Jumaat sebanyak dua rakaat-dua rakaat tanpa batasan jumlah yang tertentu. Maka perhatikanlah akan hal ini wahai pembaca yang budiman, berapa ramaikah umat Islam di Malaysia yang melakukan solat sunat Mutlak yang sememangnya disyari’atkan ini bahkan dianjurkan perlaksanaannya oleh Imam al-Syafi’i rahimahullah sendiri? Dalil tentang solat sunat Mutlak ini adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:



مَنْ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَهُ ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ



ثُمَّ يُصَلِّي مَعَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الأُخْرَى وَفَضْلُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ.



Maksudnya:

Barangsiapa mandi pada hari Jumaat kemudian mendatangi solat Jumaat dan bersolat sekadar kemampuannya, serta dia diam mendengarkan khutbah imam sehingga selesai, lalu dia bersolat bersamanya, maka diampunilah dosa-dosanya yang terdapat di antara Jumaat itu dengan Jumaat berikutnya dan ditambah tiga hari. - Hadis riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab al-Jumu’ah, no: 857.



q Berbicara ketika azan dikumandangkan adalah tidak mengapa dan yang diharamkan adalah berbicara ketika imam sudah memulakan khutbahnya. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:



إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ "أَنْصِتْ!" وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ.



Maksudnya:

Apabila kamu berkata kepada temanmu di hari Jumaat “Diamlah!”, padahal imam sedang berkhutbah, maka engkau telah melakukan perbuatan sia-sia. - Hadis riwayat Imam al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab al-Jumu’ah, no: 934.



Setelah Imam berkhutbah tidak dibenarkan lagi bagi para makmun mengerjakan apa jua jenis solat sunat kecuali bagi mereka yang belum mengerjakan solat sunat dua rakaat Tahiyyatul Masjid.





v Azan Untuk Solat Jumaat Hanya Sekali



Sebelum kita meneruskan perbahasan tentang solat Qabliyah Jumaat, sewajarnya kita mengulas terlebih dahulu persoalan tentang azan untuk solat Jumaat. Berkaitan dengan laungan azan untuk solat Jumaat, Imam al-Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya al-Umm telah berkata:



Saya (Imam al-Syafi’i) menyukai bahawa azan pada hari Jumaat itu, ketika imam masuk masjid. Dan dia duduk pada tempatnya yang dia berkhutbah...Apabila imam telah berbuat demikian, lalu juruazan melaksanakan azan. Apabila telah selesai (azan tersebut – pen), lalu imam itu berdiri, lalu membaca khutbah. Tiada lebih dari demikian. – Rujuk Imam al-Syafi’i, al-Umm (Kitab Induk), jilid 2, ms. 15.



Dikhabarkan kepada kami oleh al-Rabi’, yang mengatakan: Dikhabarkan kepada kami oleh al-Syafi’i, yang mengatakan: Dikhabarkan kepada saya oleh orang yang dapat dipercayai, daripada al-Zuhri, daripada al-Sa’ib bin Yazid: bahawa adalah permulaan bagi azan itu bagi Jumaat, ketika imam duduk atas mimbar pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar dan ‘Umar. Tatkala masa Khalifah Uthman dan orang semakin ramai lalu Uthman menyuruh dengan azan kedua. Lalu dilaksanakan azan itu. Maka tetaplah urusannya atas yang demikian.

‘Atha’ menentang bahawa Uthman yang mengadakan azan kedua itu. Dan mengatakan: azan kedua itu diadakan oleh Muawiyah – dan Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih mengetahui.

Manapun (antara –pen) orang yang dua (iaitu Uthman atau Muawiyah – pen) yang mengadakan (azan kedua tersebut – pen), maka keadaan yang pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah saya (Imam al-Syafi’i) lebih menyukai. – Rujuk Imam al-Syafi’i, al-Umm (Kitab Induk), jilid 2, ms. 15-16.



Sekian kata-kata Imam al-Syafi’i rahimahullah. Dari kenyataannya itu dapat kita rumuskan bahawa :



q Pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Khalifah Abu Bakar al-Siddiq, Khalifah ‘Umar al-Khatthab radhiallahu’ anhum, azan untuk solat Jumaat hanya dikumandangkan satu kali iaitu setelah imam memasuki masjid dan duduk atas mimbar. Tetapi pada zaman Khalifah Uthman al-Affan radhiallahu’ anh, jumlah umat Islam di kota Madinah al-Munawwarah semakin ramai, rumah-rumah mereka semakin jauh dari Masjid Nabawi dan kedaan kota semakin sibuk dan pesat membangun. Disebabkan oleh perkembangan tersebut, Khalifah Uthman al-Affan radhiallahu’ anh telah berijtihad bahawa laungan azan untuk solat Jumaat yang dikumandang hanya sekali di Masjid Nabawi sudah tidak memadai untuk memanggil orang ramai solat berjemaah di masjid. Maka beliau memerintahkan satu lagi azan dilaungkan sebelum masuk waktu solat Jumaat di sebuah ruangan pasar miliknya bernama al-Zaura’ bertujuan untuk orang ramai yang sibuk dengan urusan harian bersiap sedia untuk mengerjakan solat Jumaat. Tempat yang bernama al-Zaura’ ini terletak di tengah-tengah kota Madinah. Oleh itu azan pertama itu tidak dilakukan di Masjid Nabawi yang kekal dengan hanya satu azan sahaja oleh seorang tukang azan. Daripada al-Sa’ib bin Yazid radhiallahu’ anh, dia berkata:



كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ



وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ



عَلَى الزَّوْرَاءِ.



Maksudnya:

Seruan (azan) pada hari Jumaat pada mulanya (dilakukan) apabila Imam duduk di atas mimbar, (begitulah) pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar dan ‘Umar radhiallahu’ anhuma. Namun tatkala manusia bertambah ramai pada (zaman ‘Uthman radhiallahu’ anh), beliau menambahkan seruan ke tiga di atas al-Zaura’. - Hadis riwayat Imam al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab al-Jumu’ah, no: 912.



Iqamah juga dikenali sebagai azan maka maksud tiga azan dalam hadis ini adalah dua kali azan yakni di al-Zaura’ dan Masjid Nabawi dan sekali Iqamah sejurus sebelum melaksanakan solat Jumaat. Berkaitan dengan faktor yang menyebabkan Saidina Uthman radhiallahu’ anh mengarahkan diserukan azan pertama di al-Zaura’, menurut Syaikh Abu Ubaidah Masyhur:



Sebab yang mendorong Uthman untuk melakukan azan dua kali sudah tidak ada lagi pada zaman sekarang ini. Sebab dulu Uthman berada di sebuah kota yang sangat besar seperti al-Madinah al-Munawwarah dengan hanya satu masjid di dalamnya. Padahal jumlah penduduk terlalu ramai dan tempat tinggal sangat berjauhan. Oleh kerana itu mereka menghadapi kesulitan untuk mendengar suara azan yang dikumandangkan dari pintu masjid. Adapun kota yang sudah banyak masjidnya, maka orang tidak perlu lagi untuk berjalan jauh-jauh ketika hendak menghadiri solat Jumaat. Selain itu bukankah azan pada zaman sekarang telah dimasukkan di dalam pembesar suara. Maka azan dua kali yang diupayakan oleh Uthman tidak perlu lagi dikerjakan...Kesimpulannya, bahawa menurut kami, sekarang ini sudah cukup mengumandangkan azan sekali sahaja, seperti yang dikerjakan pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Azan itu hendaklah dilakukan ketika imam keluar dan mula naik ke atas mimbar. – Rujuk Abu Ubaidah Mashur bin Hassan, Al-Qawl al-Mubiin fii Akhthaa’ al-Musholliin (Edisi terjemahan dengan tajuk Koreksi Total Ritual Solat, Pustaka Azzam, Jakarta 2001), ms. 344.



Menurut Syaikh Wahid Abdussalam Bali senario yang memungkinkan untuk melaungkan azan dua kali untuk solat Jumaat pada zaman sekarang adalah seperti berikut:



Jika sekarang ada sebuah kampung yang tidak memiliki pembesar suara untuk menguatkan suara azan, penduduknya tidak memiliki jam untuk memberitahukan kepada mereka bahawa waktu (untuk solat) Jumaat sudah dekat, dan tidak pula di rumah-rumah mereka terdapat radio dan sejenisnya dari sarana-sarana komunikasi moden yang dengannya mereka boleh mengetahui masuknya waktu solat Jumaat, maka disyari’atkan agar muadzin mengumandangkan azan kepada mereka di tempat tinggi beberapa waktu sebelum waktu Jumaat yang cukup agar mereka dapat bersiap-siap untuk menunaikan solat Jumaat

Adapun jika manusia memiliki jam yang dapat memberitahukan waktu kepada mereka, atau di masjid terdapat pembesar suara yang boleh memperdengarkan kepada manusia di rumah-rumah dan tempat kerja mereka, maka azan awal di dalam keadaan ini tidak diperlukan lagi. Sebaiknya, ketika itu hanya mencukupkan dengan satu azan pada saat khatib naik mimbar. – Rujuk Syaikh Wahid Abdussalam Bali, Al-Kalimat al-Nafi’ah fil Akhtha’ asy-Sya’iah (edisi terjemahan dengan tajuk 474 Kesalahan Dalam Akidah & Ibadah Beserta Koreksinya, Darul Haq, Jakarta 2005), ms. 385.



Menurut Imam al-Syafi’i r.h mencontohi Rasulullah s.a.w. adalah lebih beliau sukai iaitu mengekalkan dengan hanya satu laungan azan sahaja sepertimana ketika Nabi s.a.w. telah duduk di atas mimbar. Ini sebagaimana dikatakan oleh al-Sa’ib bin Yazid radhiallahu’ anh, dia berkata:



كَانَ بِلاَلٌ يُؤَذِّنُ إِذَا جَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ



فَإِذَا نَزَلَ أَقَامَ.



Maksudnya:

Bilal menyerukan azan bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah duduk di atas mimbar, dan dia iqamah bila baginda telah turun. - Hadis riwayat Imam al-Nasa’i dalam Sunannya, Kitab al-Jumu’ah, hadis. no 1377.



Wahai pembaca yang budiman, ketahuilah bahawa inilah mazhab sebenar Imam al-Syafi’i rahimahullah tentang jumlah azan untuk solat Jumaat. Sebaik sahaja tukang azan selesai melaungkan azan, maka imam akan bangun dan memulakan khutbahnya. Maka ketika ini semua makmum wajib diam dan menumpukan perhatian kepada khutbah imam.





v Adakah Disyari’atkan Solat Qabliyah Jumaat?



Setelah kita fahami bahawa yang lebih bertepatan dengan sunnah baginda shallallahu ‘alaihi wasallam dan mazhab sebenar Imam al-Syafi’i rahimahullah berkaitan dengan azan pada hari Jumaat adalah dengan dikumandangkan sekali sahaja, maka kita juga boleh simpulkan bahawa pendapat yang lebih tepat adalah tidak disyari’atkan untuk mengerjakan solat sunat Qabliyah sesudah azan kerana tidak ada ruang waktu untuk mendirikannya. Ini adalah kerana sebaik sahaja selesai azan, imam akan membacakan khutbahnya. Telah berkata al-Hafidz al-‘Iraqi rahimahullah berkaitan dengan hal ini:



Tidak diriwayatkan daripada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahawa baginda pernah solat sunat sebelum solat Jumaat, kerana baginda keluar untuk solat Jumaat lalu Bilal azan di hadapannya kemudian berkhutbah. - Dinukil dari kitab Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Al-Awjiba an-Naafi’ah ‘an As’ilati Lajnah Masjid al-Jaami’ah, ms. 43-44.



Ibnu Qayyim rahimahullah pula telah berkata:



Apa yang perlu dicatat, tidak terdapat solat sunat Qabliyah Jumaat. Ini disebabkan, apabila Bilal selesai melaungkan azan, maka Nabi s.a.w. terus menyampaikan khutbah tanpa ada selang waktu. Inilah yang terjadi. Maka bagaimana mungkin ada anggapan bahawa setelah Bilal azan mereka bangkit untuk mendirikan solat sunat dua rakaat. – Rujuk Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Mukhtashar Zaadul Ma’ad, ms. 47.



Dan sekiranya ada yang menyatakan bahawa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam solat sunat di rumahnya, maka tentu telah datang riwayat daripada isteri-isteri baginda akan hal tersebut. Tetapi tidak ada seorang pun daripada para isteri baginda yang meriwayatkan sebegitu.



Tambahan pula hadis-hadis tentang solat Qabliyah Jumaat tidak ada yang sah daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Hadis yang sering dipergunakan untuk menjustifikasikan solat Qabliyah Jumaat adalah hadis yang telah diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dan al-Thabraniy rahimahullah iaitu:



كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ اَلْجُمُعَة أَرْبَعًا وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا لاَ يُفْصَلُ فِي شَيْءٍ مِنْهُنَّ.



Maksudnya:

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu solat sebelum (Qabliyah) Jumaat empat rakaat dan sesudah (Ba’diyah) sebanyak empat rakaat, baginda tidak memisahkan di antara empat rakaat itu (dengan salam). - Hadis riwayat Imam Ibnu Majah dalam Sunannya, Kitab Iqamah al-Shalah wa al-Sunnah Fiha, no: 1119 dan Imam al-Thabraniy dalam kitab al-Mu’jam Kabir, no: 12674.



Namun begitu perawi-perawi dalam sanad hadis ini telah dikritik hebat oleh ulamak hadis seperti Imam Ahmad, Imam al-Bushiriy, Imam al-Zayla’iy, Imam Ibnu Qayyim, Imam al-Nawawi, al-Hafidz Ibnu Hajar dan Imam al-Albani rahimahullah sehingga taraf hadis ini adalah berstatus dha’if jiddan (sangat lemah). Ulamak hadis telah bersepakat bahawa hadis dha’if Jiddan tidak boleh dijadikan sandaran untuk menetapkan hukum.



Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah iaitu seorang tokoh ulamak hadis bermazhab Syafi’i juga telah berkata:



Ada juga hadis yang menyebutkan disunnahkan melaksanakan solat sunat sebelum (Qabliyah) Jumaat, tetapi sanad hadis ini dha’if (lemah). Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah oleh al-Bazzar:



كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ اَلْجُمُعَة رَكْعَتَيْنِ وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا.

Maksudnya:

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan solat sunat dua rakaat sebelum (Qabliyah) solat Jumaat, dan empat rakaat setelah solat Jumaat.”



Hadis serupa daripada ‘Ali yang diriwayatkan oleh Atsram dan Thabraniy dalam kitab al-Ausath:



كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ اَلْجُمُعَة أَرْبَعًا وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا.



Maksudnya:

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan solat sunat sebelum (Qabliyah) solat Jumaat empat rakaat dan setelahnya empat rakaat.”



Akan tetapi dalam silsilah sanad riwayat ini terdapat Muhammad bin Abdurrahman al-Sahmi, dan dia adalah orang yang dha’if (lemah) menurut Imam al-Bukhari dan lainnya. Atsram mengatakan bahawa hadis ini adalah hadis yang lemah. Daripada Ibnu ‘Abbas juga disebutkan hadis yang serupa, akan tetapi dengan tambahan لاَ يُفْصَلُ فِي شَيْءٍ مِنْهُنَّ “Baginda tidak memisahkan empat rakaat itu (dengan salam)”. Ibnu Majah meriwayatkan hadis ini dengan sanad yang lemah. Imam al-Nawawi mengatakan dalam kitab al-Khulashah, bahawa hadis ini adalah hadis yang batil. Hadis ini juga disebutkan daripada Ibnu Mas’ud dan silsilah sanadnya lemah dan terputus. – Rujuk Al-Hafidz Ibnu Hajar al-’Asqalani, Fathul Baari, Jilid 5, ms. 210-211 ketika mengsyarah no: 937.



Setelah mengetahui kelemahan hadis solat Qabliyah Jumaat ini, maka penulis ingin menganjurkan kepada para pembaca yang budiman untuk meninggalkannya dan menggantikannya pula dengan melaksanakan solat sunat Mutlak seperti yang telah diperjelaskan sebelum ini memandangkan solat sunat Mutlak tersebut memang sahih ada contohnya daripada baginda shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga merupakan mazhab sebenar Imam al-Syafi’i rahimahullah.





v Solat Ba’diyah Jumaat.



Berkaitan dengan solat sunat Ba’diyah (sesudah) Jumaat maka telah sepakat di kalangan ulamak bahawa ianya disyari’atkan. Ianya boleh dilaksanakan dengan dua rakaat atau empat rakaat setelah kita menyelesaikan solat Jumaat dan yang afdal ianya dikerjakan di rumah. Daripada Abu Hurairah radhiallahu’ anh, bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:



إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا.



Maksudnya:

Barangsiapa di antara kamu yang hendak bersolat, maka hendaklah bersolat empat rakaat sesudah (solat) Jumaat. - Hadis riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab al-Jumu’ah, no: 881.



Daripada Ibnu ‘Umar (radhiallahu’ anh), dia berkata:



كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بَعْدَ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ فِي بَيْتِهِ.



Maksudnya:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersolat dua rakaat sesudah (solat) Jumaat dua rakaat di rumahnya. - Hadis riwayat Imam al-Nasa’i, dalam Sunannya, Kitab al-Jumu’ah, no: 1411.





v Ringkasan Tatacara Mengerjakan Solat Ba’diyah Jumaat


A) Tatacara Solat Rawatib Zuhur Dua Rakaat

Rakaat Pertama

1) Berniat di dalam hati untuk mengerjakan solat Ba’diyah Jumaat

2) Takbiratul Ihram

3) Doa Iftitah

4) Membaca surah al-Fatihah

5) Membaca Surah al-Qur’an

6) Rukuk

7) Iktidal

8) Sujud

9) Duduk antara dua sujud

10) Sujud kali kedua

11) Bangun untuk rakaat kedua



Rakaat Kedua

1) Ulang seperti rakaat pertama dari nombor (4) hingga (10)

2) Duduk untuk tahiyyat akhir

3) Memberi salam kanan dan kiri

B) Tatacara Solat Ba’diyah Jumaat Empat Rakaat

Boleh dilaksanakan seperti solat Ba’diyah Jumaat dua rakaat di atas sebanyak dua kali ataupun dengan sekaligus mengerjakan empat rakaat dengan dua tahiyyat seperti di bawah.

Rakaat Pertama

1) Berniat di dalam hati untuk mengerjakan solat Qabliyah / Ba’diyah Zuhur

2) Takbiratul Ihram

3) Doa Iftitah

4) Membaca surah al-Fatihah

5) Membaca Surah al-Qur’an

6) Rukuk

7) Iktidal

8) Sujud

9) Duduk antara dua sujud

10) Sujud kali kedua

11) Bangun untuk rakaat kedua



Rakaat Kedua

1) Ulang seperti rakaat pertama dari nombor (4) hingga (10)

2) Duduk untuk tahiyyat awal

3) Bangun untuk rakaat ketiga

Rakaat Ketiga

1) Ulang seperti rakaat pertama dari nombor (4) hingga (10)

2) Bangun untuk rakaat keempat

Rakaat Keempat

1) Ulang seperti rakaat pertama dari nombor (4) hingga (10)

2) Duduk untuk tahiyyat akhir

3) Memberi salam ke kanan dan ke kiri



Ke atas











6) SOLAT RAWATIB GHAIRU MU’AKKAD

Berkaitan solat Rawatib Qabliyah Asar, Maghrib dan Isyak maka ianya termasuk dalam solat sunat yang tidak mu’akkad. Maka mengerjakannya termasuklah amalan-amalan sunat yang terpuji. Dalil disyariatkan solat-solat tersebut adalah keumuman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:



بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ ثَلاَثًا لِمَنْ شَاءَ.

Maksudnya:

Di antara setiap dua azan (iaitu azan dan iqamah) ada solat (sunat) – baginda mengulanginya hingga tiga kali- bagi yang menghendakinya. – Hadis riwayat Imam al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab al-Azaan, no 624.



Di samping itu terdapat juga hadis khusus yang meriwayatkan anjuran untuk mengerjakan solat Qabliyah Asar sebanyak empat rakaat malah bagi mereka yang mengerjakannya akan dikasihi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Daripada Ibnu ‘Umar radhiallahu’ anh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:



رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا.

Maksudnya:

Allah akan mengasihi orang yang mengerjakan solat empat rakaat sebelum Asar. – Hadis riwayat Imam al-Tirmidzi dalam Sunannya, Kitab al-Sholaah, no: 430.



Berkaitan solat Qabliyah Maghrib telah diriwayatkan daripada Anas bin Malik radhiallahu’ anh, dia berkata:



كَانَ الْمُؤَذِّنُ إِذَا أَذَّنَ قَامَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبْتَدِرُونَ السَّوَارِيَ



حَتَّى يَخْرُجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمْ كَذَلِكَ يُصَلُّونَ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ



وَلَمْ يَكُنْ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ شَيْءٌ. قَالَ عُثْمَانُ بْنُ جَبَلَةَ وَأَبُو دَاوُدَ عَنْ شُعْبَةَ:



لَمْ يَكُنْ بَيْنَهُمَا إِلَّا قَلِيلٌ.



Biasanya apabila muadzdzin (juru azan) mengumandangkan azan, maka para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan segera menghampiri tiang-tiang (untuk dijadikan sutrah) sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar sedang mereka dalam keadaan demikian. Mereka solat dua rakaat sebelum (Qabliyah) Maghrib. Tiada (yakni jarak waktu yang singkat) sesuatu di antara azan dan iqamah. ‘Utsman bin Jabalah dan Daud meriwayatkan daripada Syu’bah: Tiada (jarak) antara keduanya kecuali sebentar. – Hadis riwayat Imam al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab al-Azaan, no: 625



Berkenaan dengan solat Qabliyah Maghrib ini al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata:



Saya (iaitu Ibnu Hajar) katakan bahawa seluruh dalil menunjukkan bahawa solat dua rakaat sebelum (Qabliyah) Maghrib dilaksanakan secara ringkas (ringan) seperti solat sunat Fajar. Hikmah dianjurkan solat sunat dua rakaat tersebut adalah sebagai harapan agar doanya dimakbulkan, sebab doa di antara azan dan iqamah tidak ditolak (mustajab). Apabila suatu waktu itu lebih mulia, maka pahala ibadah yang dikerjakan pada waktu tersebut akan lebih banyak – al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Baari, jilid 4, ms. 89

www.hafizfirdaus.com/

Sunday, April 15, 2012

ADAKAH ZAKAT GAJI BULANAN?

oleh: As Syaikh Ahmad Bin Yahya An Najmi

1. Pertanyaan:

Apakah gaji bulanan ada (kewajiban) zakatnya?

Jawaban :

Tidak Ada zakat padanya kecuali bila anda menerima gaji, dan tetap tersimpan bersamamu satu haul (tahun).

As Syaikh Abu Usamah Abdullah Bin Abdurrahim Al Bukhari

2. Pertanyaan:

Tolong jelaskan hukum zakat profesi? (dibahasakan kepada Syaikh dengan nama penghasilan bulanan -red) [1]

Jawaban:

Syaikh Abu Usamah Abdullah Bin Abdurrahim Al Bukhari pada sore 5 Syawal 1425, menjawab sebagai berikut:

“Pemasukan bulanan yang disebut oleh para pegawai dengan nama gaji (bulanan), apabila digunakan dan selalu habis, maka tidak ada zakat padanya.”

Zakat itu diwajibkan dengan beberapa perkara:

Satu: Harta yang terkumpul telah berlalu padanya satu haul yaitu satu tahun

Dua: Hendaknya telah mencapai nisabnya

Apabila telah berlalu satu haul dan telah sempurna, bersama pemilikan, serta mencapai nisabnya, maka diwajibkan padanya zakat, baik itu gaji bulanan, atau harta yang yang dia simpan selain dari gaji bulanannya, atau selainnya, maka wajib zakat senilai 2,5% pada harta yang ada.”

Asy Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Jibrin

3. Pertanyaan:

Gajiku 8000 Real dan pada setiap bulannya kebanyakan tidak tersisa kecuali jumlah yang sedikit. Apakah ada kewajiban zakat terhadapku? Kami mohon penjelasan bagaimana mengeluarkan zakat gaji bulanan? Ia adalah perkara yang musykil bagi banyak orang.

Jawaban:

Tidak ada zakat pada suatu harta hingga telah berputar padanya satu haul (satu tahun). Maka bila engkau telah menghabiskan gaji tersebut, maka tidak ada zakat terhadapmu. Apabila engkau menyimpan gaji tersebut seukuran nisabnya, maka wajib zakat terhadapmu bila telah berputar satu haul pada harta simpanan itu… (Baca Fatawa Zakah dari Situs Beliau)

[1]Pertanyaan oleh Juhdi -Desa Wanasari Kec. Cibitung Kab. Bekasi -juhdi@…co.id.

Sumber: http://ghuroba.blogsome.com dikutip dari Majalah An Nashihah Volume 11 Tahun 1/1427 H hal.5 ol& Vol 09 Tahun 1/1426 H hal. 4