Tuesday, September 4, 2012

AQIDAH IMAM SYAFI'I : ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA ADA DI ATAS


Oleh
Syaikh Muhammad bin Mûsa Alu Nashr



Di antara pokok utama aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, ialah meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’alaberada di langit (di atas langit), Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas makhluk-makhluk-Nya dan ber-istiwâ` (bersemayam) di atas 'Arsy sesuai dengan kesempurnaan dan keagungan-Nya, tidak seperti bersemayamnya seorang manusia. Akan tetapi, meskipun Allah Subhanahu wa Ta’alabersemayam di atas Arsy, ilmu-Nya ada di setiap tempat dan Dia lebih dekat dari urat leher seseorang. Tidak pula tersembunyi dari-Nya apa pun yang ada di langit dan di bumi, bahkan Dia mengetahui dan menyaksikan pembicaraan-pembicaraan rahasia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَىٰ ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَىٰ مِنْ ذَٰلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا

… Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada …. [al-Mujâdilah/58:7].

Tapi kebersamaan ini adalah kebersamaan pendengaran, ilmu, penguasaan dan rahmah, bukan kebersamaan secara fisik sebagaimana dikatakan Jahmiyah [1] dan Huluuliyah [2] . Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan.
Sifat 'Uluw (Tinggi) Allah Subhanahu wa Ta’ala, terbagi menjadi umum dan khusus. Umum ditinjau dari ketinggian-Nya atas seluruh makhluk; dan khusus, jika ditinjau dari bersemayamnya di atas 'Arsy setelah penciptaan langit dan bumi.

Dari sini Ahlus-Sunnah menetapkan ketinggian Dzat Allah, Dzat-Nya yang Maha Suci. Dia ada sebelum penciptaan makhluk, sebelum penciptaan langit dan bumi, serta sebelum adanya waktu dan tempat.

Kemudian, setelah menciptakan 'Arsy, Dia bersemayam di atasnya. Di sini bisa disimpulkan bahwa ketinggian adalah sifat dzatiyah [3] Allah. Sedangkan bersemayamnya Allah Subhanahu wa Ta’aladi atas 'Arsy adalah sifat fi’liyah ikhtiyariyah[4], maka Allah bersemayam kapan saja dan dengan cara apa saja yang Dia kehendaki.

Al-Istiwâ` (bersemayam), al-'uluw (tinggi) dan al-irtifa' (ketinggian) mempunyai empat arti. Berarti 'ala (di atas), irtafa'a (tinggi), sha'ada (naik), dan istaqarra (tetap) tanpa perlu ditanyakan bagaimananya.

Seperti jawaban Imam Mâlik ketika ditanya tentang istiwâ, beliau berkata: "Al-Istiwâ` tidaklah asing (yaitu bisa difahami) dan wujudnya tidak masuk akal (tidak mampu difahami akal), sedangkan mengimaninya wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid'ah," kemudian beliau memerintahkan untuk mengeluarkan si penanya dari masjid.

Oleh karena itu, Ahlus-Sunnah menetapkan ketinggian Dzat Allah dan sifat 'uluw (tinggi) secara umum atas seluruh makhluk sebelum penciptaan serta sifat 'uluw (tinggi) secara khusus, yaitu ketinggian dan bersemayam-Nya setelah penciptaan Arsy. Sehingga sifat 'uluw (tinggi) yang umum melekat dengan Dzat-Nya, sedangkan sifat 'uluw (tinggi) secara khusus berkenaan dengan kehendak dan pilihan-Nya.

Banyak kelompok telah menyelisihi Ahlus-Sunnah dalam penetapan sifat 'uluw; di antaranya Jahmiyah, Hulûliyah Ittihadiyah, Mu'tazilah dan selain mereka. Mereka menafsirkan kata istiwâ` dengan istilâ` (menguasai, merebut). Ini merupakan penafsiran baru yang disusupkan ke dalam Islam, yang tidak pernah dikenal oleh generasi pertama umat ini, generasi umat yang terbaik. Kata istiwâ`, jika dibuat aktif dengan kata sambung (على), maka tidak punya arti kecuali 'uluw (tinggi) dan fauqiyyah (ketinggian).

Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas 'Arsy. [Thaha/20:5]

Sebenarnya, makna lainnya dari istiwâ` masih banyak, tetapi yang menjadi titik perbedaan antara Ahlus-Sunnah dengan kelompok-kelompok lain, ialah dalam bentuk aktif dengan kata sambung (على). Maka dalam firman Allah yang telah disebutkan tadi, makna (على) ialah di atas. Disinilah penyelisihan ahlul bid'ah terghadap Ahlus-Sunnah. Mereka bersikeras, makna istiwâ` ialah istaulâ`. Mereka berhujjah dengan sebuah bait syair palsu yang berbunyi:

اسْتَوَى بِشْرٌ عَلَى الْعِرَاقِ مِنْ غَيْرِ سَيْفٍ وَلاَ دَمٍ مِهْرَاقٍ

(Bisyr menguasai/merebut Iraq tanpa pedang dan darah yang mengalir).

Syair ini tidak diketahui siapa yang membuatnya. Ada yang mengatakan syair ini milik Akhtal an-Nashrani (seseorang yang beragama Nashara), tetapi tidak ditemukan dalam kumpulan syair-syairnya. Kalaupun perkataan ini benar, apakah kita akan mengatakan bahwa Akhtal yang beragama Nashrani lebih paham tentang makna-makna Al-Qur`ân dibandingkan para sahabat dan generasi pertama dari umat ini? Padahal perkataan ini sangat jelas ketidakbenarannya. Bagaimana mereka sanggup menolak ayat-ayat Al- Qur`ân dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian mengambil hujjah dari syair yang dipalsukan, tidak jelas siapa yang mengatakannya? Sehingga Ahlus-Sunnah bisa dengan mudah mematahkan argumen mereka yang lemah ini dengan Al-Qur`ân dan Sunnah, bahkan melalui tinjauan bahasa sekalipun.

Telah banyak kisah dari ahli ilmu tentang bantahan ini, sebagaimana sebuah kisah dari seorang ahli bahasa Imam Ibnul-'Arâbi. Suatu ketika ada yang bertanya kepada beliau: "Wahai Imam, apa makna firman Allah ( الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى) ?"

Beliau menjawab: "Maknanya ialah isti'lâ` (tinggi di atas)".

Si penanya membantah: "Tidak, maknanya ialah istaula (menguasai/merebut)".

Beliau berkata: "Diam! Orang Arab tidak memaknai istawâ` dengan pengertian istaulâ`, kecuali ketika ada perlawanan dan perselisihan. Siapakah yang mampu melawan kekuasaan Allah dan menentang-Nya?"

Kemudian kalau kita mengatakan istawâ` bermakna istaulâ`, maka kita telah menetapkan kelemahan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena berarti Arsy-Nya pernah dikuasai pihak lain selama beberapa waktu sehingga Allah perlu menguasainya kembali. Sehingga sangat jauh (tidak mungkin) hal ini terjadi terhadap Allah yang Maha Sempurna.

Ayat-ayat Al-Qur'ân yang menerangkan sifat 'uluw (tinggi) bagi Allah Subhanahu wa Ta’alasangatlah banyak. Di antaranya firman Allah Ta'ala:

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang. [al-Mulk/67:16].

Maksud man fis sama, ialah 'Dzat yang berada di dalam langit' ialah Dzat yang berada di atas langit. Jadi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas langit (bukan di dalamnya, Pent.). Lantaran jumlah langit adalah tujuh, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas langit ke tujuh. Tempat 'Arsy berada di atas langit tujuh. Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala bersemayam di atas Arsy tersebut sesuai dengan kesempurnaan-Nya, sedangkan ilmu-Nya meliputi segala tempat. Ini karena kata sambung (في, fii) pada ayat di atas mempunyai arti "di atas" (fauqiyyah dan 'uluw), bukan sebagai zharfiyyah (keterangan tempat).

Ketika kita mengatakan الماء في الكوز (air di dalam cangkir), dalam perkataan ini (في) menjadi keterangan tempat (zharfiyyah), sehingga diartikan "di dalam". Seperti halnya kita mengatakan الطُّلاَّبُ فِيْ الْقَاعَة (murid-murid di dalam kelas). Karena kelas mengelilingi mereka, maka diartikan murid-murid "di dalam" kelas. Tetapi hal ini tidak mungkin terjadi pada Allah, dimana langit mengelilingi-Nya. Maka kita artikan (في) dengan "di atas", karena ini juga salah satu makna (في).

Di antara dalil bahwa (في) bermakna "di atas" juga adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’alaketika menceritakan perkataan Fir'aun kepada para penyihirnya:

قَالَ آمَنْتُمْ لَهُ قَبْلَ أَنْ آذَنَ لَكُمْ إِنَّهُ لَكَبِيرُكُمُ الَّذِي عَلَّمَكُمُ السِّحْرَ فَلَأُقَطِّعَنَّ أَيْدِيَكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ مِنْ خِلافٍ وَلَأُصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ وَلَتَعْلَمُنَّ أَيُّنَا أَشَدُّ عَذَاباً وَأَبْقَى

Berkata Fir'aun: "Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku beri izin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara bertimbal-balik, dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian di atas pohon kurma, dan sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya". [Thâhâ/20:71].

Dalam ayat ini Fir'aun mengancam para penyihir yang beriman dengan kenabian Musa. Mereka diancam akan disalib di atas pohon kurma. Apakah mungkin orang yang berakal mengatakan makna (في) dalam ayat tersebut adalah "di dalam"? Lalu apa gunanya ancaman Fir'aun ini kalau para penyihir disalib di dalam pohon kurma? Bukankah Fir'aun melakukan ancaman ini supaya yang lain takut dengan kekejamannya? Bagaimana yang lain akan takut kalau tidak bisa melihat apa yang terjadi?

Ayat lain yang menerangkan (في) bermakana "di atas", yaitu firman Allah:

قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ ثُمَّ انْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

Katakanlah: "Berjalanlah di atas bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu". [al-An'âm/6:11].

Apakah pengertian "berjalan di dalam bumi" yang termaktub dalam ayat di atas berarti menelusuri goa-goa di perut bumi yang gelap? Apakah mengarungi air bak? Apa yang dapat disaksikan? (Tidak ada, Pent.).

Jadi, maksud dari "berjalan di dalam bumi", ialah berjalan di atasnya untuk merenungi ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta ini untuk mengantarkan kepada rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Demikian, aqidah Imam Syafi'i rahimahullah yang terangkum dalam pernyataan beliau berikut ini: "Konsep ajaran Islam yang aku pegangi dan dipegangi orang-orang yang aku ketahui, semisal Sufyan (ats-Tsauri), (Imam) Mâlik dan lain-lain, (ialah) pengakuan terhadap persaksian bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah. Sesungguhnya Allah di atas 'Arsy, mendekati makhluk-makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya, dan turun ke langit bumi sesuai dengan kehendak-Nya". (Mukhtashar 'Uluw)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
*). Diterjemahkan oleh Ustad Muhammad Taufik Badri.
[1]. Golongan menyimpang produk Jahm bin Shafwân. Di antara pokok penyimpangannya, yaitu keyakinan bahwa AllahSubhanahu wa Ta'alal tidak mempunyai sifat-sifat.
[2]. Golongan menyimpang yang menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatu dengan makhluk-Nya atau Allah berada dimana-mana.
[3]. Sifat-sifat yang tidak terpisahkan dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta'ala .
[4]. Perbuatan-perbuatan (sifat-sifat) yang tergantung pada kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala . Allah melakukannya ketika berkehendak saja.

BIMBINGAN BERHARI RAYA IDUL FITHRI


Oleh
Ustadz Abu Sulaiman Aris Sugiyantoro


MENGAPA DINAMAKAN ‘ID?
Secara bahasa, ‘Id ialah sesuatu yang kembali dan berulang-ulang. Sesuatu yang biasa datang dan kembali dari satu tempat atau waktu.

Kemudian dinamakan ‘Id, karena Allah kembali memberikan kebaikan dengan berbuka, setelah kita berpuasa dan membayar zakat fithri. Dan dengan disempurnakannya haji, setelah diperintahkan thawaf dan menyembelih binatang kurban. Karena, biasanya pada waktu-waktu seperti ini terdapat kesenangan dan kebahagiaan.

As Suyuthi rahimahullah berkata,”’Id merupakan kekhususan umat ini. Keberadaan dua hari ‘Id, merupakan rahmat dari Allah kepada ummat ini. Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata,”Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah, dan penduduk Madinah mempunyai dua hari raya. Pada masa Jahiliyyah, mereka bermain pada dua hari raya tersebut. Beliau bersabda, ’Aku datang dan kalian mempunyai dua hari, yang kalian bermain pada masa Jahiliyah. Kemudian Allah mengganti dengan yang lebih baik dari keduanya, (yaitu) hari Nahr dan hari Fithri’.” [Dr. Abdullah Ath Thayyar, Ahkam Al ‘Idain Wa ‘Asyri Dzil Hijjah, hlm. 9].

HAL-HAL YANG DISUNNAHKAN PADA HARI ‘ID
Ada beberapa amalan yang disunnahkan bagi kita pada hari yang berbahagia ini, diantaranya:

1. Mandi.
Pada hari ‘Id, disunnahkan untuk mandi. Karena pada hari tersebut kaum muslimin akan berkumpul, maka disunnahkan mandi seperti pada hari Jum’at. Namun, apabila seseorang hanya berwudhu’ saja, maka sah baginya. (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 3/257). Dan kaifiyatnya seperti mandi janabat.

Nafi’ menceritakan, dahulu, pada ‘Idul Fithri, Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma mandi sebelum berangkat ke tanah lapang. [Diriwayatkan Imam Malik dalam Al Muwaththa’, 1/177].

Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullah berkata,”Sunnah pada hari ‘Idul Fithri ada tiga. (Yaitu): berjalan kaki menuju tanah lapang, makan sebelum keluar rumah dan mandi. [Irwa’ul Ghalil, 2/104].

2. Berhias Sebelum Berangkat Shalat ‘Id.
Disunnahkan untuk membersihkan diri dan mengenakan pakaian terbaik yang dimilikinya, memakai minyak wangi dan bersiwak.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُ يَوْمَ الْعِيْدِ بُرْدَةً حَمْرَاءَ

"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pada hari ‘Id, Beliau mengenakan burdah warna merah". [Ash Shahihah, 1.279].

Imam Malik rahimahullah berkata,”Saya mendengar Ahlul Ilmi, mereka menganggap sunnah memakai minyak wangi dan berhias pada hari ‘Id.” [Al Mughni, 3/258].

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Dahulu, ketika keluar pada shalat dua hari raya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenakan pakaian yang terindah. Beliau memiliki hullah yang dikenakannya untuk dua hari raya dan hari Jum,at. Suatu waktu, Beliau mengenakan dua pakaian hijau, dan terkadang mengenakan burdah (kain selimut warna merah)." [Zaadul Ma’ad, 1/426].

Sedangkan bagi kaum wanita, tidak dianjurkan untuk berhias dengan mengenakan baju yang mewah, atau mengenakan minyak wangi. Dan hendaknya, mereka menjauh dari kaum lelaki agar tidak menimbulkan fitnah, sebagaimana realita yang kita lihat pada zaman sekarang.

3. Makan Sebelum Shalat ‘Idul Fithri.
Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ. رواه البخاري

"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar untuk shalat ‘Idul Fithri, sehingga Beliau makan beberapa kurma". [HR Al Bukhari].

Dan dari Buraidah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَ يَوْمَ النَّحْرِ لَا يَأْكُلُ حَتَّى يَرْجِعَ
فَيَأْكُلُ مِنْ نَسِيْكَتِهِ. رواه الترمذي وابن ماجه

"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar pada hari ‘Idul Fithri, sehingga Beliau makan. Dan Beliau tidak makan pada hari ‘Idul Adh-ha, sehingga Beliau pulang ke rumah, kemudian makan dari daging kurbannya".[HR At Tirmidzi dan Ibnu Majah].

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Dahulu, sebelum keluar untuk shalat ‘Idul Fithri, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam makan beberapa kurma, dengan jumlah yang ganjil. Dan pada hari ‘Idul Adh-ha, Beliau tidak makan sehingga kembali dari tanah lapang, maka Beliau makan dari daging kurbannya." [Zaadul Ma’ad, 1/426].

4. Mengambil Jalan Yang Berbeda Ketika Berangkat Dan Pulang Dari Shalat ‘Id.
Disunnahkan untuk menyelisihi jalan, yaitu dengan mengambil satu jalan ketika berangkat menuju shalat ‘Id, dan melewati jalan yang lain ketika pulang dari tanah lapang.

Dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ. رواه البخاري

"Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika hari ‘Id, Beliau mengambil jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang". [HR Al Bukhari di dalam Bab Al ‘Idain]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Dahulu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dengan berjalan kaki, dan beliau menyelisihi jalan; (yaitu) berangkat lewat satu jalan dan kembali lewat jalan yang lain". [Zaadul Ma’ad, 1/432].

Hukum mengambil jalan yang berbeda ini hanya khusus pada dua hari ‘Id. Tidak disunnahkan untuk amalan lainnya, seperti shalat Jum’ah, sebagaimana disebutkan Ibnu Dhuwaiyan di dalam kitab Manarus Sabil 1/151. Atau dalam masalah amal shalih yang lain, Imam An Nawawi menyebutkan di dalam kitab Riyadhush Shalihin, bab disunnahkannya pergi ke shalat ‘Id, menjenguk orang sakit, pergi haji, perang, mengiringi jenazah dan yang lainnya dengan mengambil jalan yang berbeda, supaya memperbanyak tempat-tempat ibadahnya.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal seperti ini tidak bisa diqiaskan. Terlebih lagi amalan-amalan tersebut ada pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak pernah dinukil bahwa Beliau mengambil jalan yang berbeda, kecuali pada dua hari ‘Id. Kita mempunyai satu kaidah yang penting bagi thalibul ilmi, segala sesuatu yang ada sebabnya pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Beliau tidak mengerjakannya, maka amalan tersebut tertolak”. Hingga Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Maka yang benar, ialah pendapat yang mengatakan, mengambil jalan yang berbeda, khusus pada dua shalat ‘Id saja, sebagaimana yang zhahir dari perkataan muallif -Al Hajjawi di dalam Zaadul Mustaqni’- karena ia tidak menyebutkan pada hari Jum’at, tetapi hanya menyebutkan pada dua hari ‘Id. Hal ini menunjukkan, bahwa dia memilih pendapat tidak disunnahkannya mengambil jalan yang berbeda, kecuali pada dua hari ’Id”. [Asy Syarhul Mumti’, 5/173-175].

5. Bertakbir.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ البقرة- 185

"Dan supaya kalian sempurnakan hitungan Ramadhan dan bertakbirlah karena yang telah dikaruniakan Allah kepada kalian, semoga kalian bersyukur". [Al Baqarah:185].

Waktu bertakbir dimulai setelah terlihatnya hilal bulan Syawwal, hal ini jika memungkinkan. Dan jika tidak mungkin, maka dengan datangnya berita, atau ketika terbenamnya matahari pada tanggal 30 Ramadhan. Kemudian, takbir ini hingga imam selesai dari khutbah ‘Id. Demikian menurut pendapat yang benar, diantara pendapat Ahlul Ilmi. Akan tetapi, kita tidak bertakbir ketika mendengarkan khutbah, kecuali jika mengikuti takbirnya imam. Dan ditekankan untuk bertakbir ketika keluar dari rumah menuju tanah lapang, atau ketika menunggu imam datang. [Ahkamul ‘Idain, 24].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Takbir pada hari Idul Fithri dimulai ketika terlihatnya hilal, dan berakhir dengan selesainya ‘Id. Yaitu ketika imam selesai dari khutbah, (demikian) menurut pendapat yang benar". [Majmu’ Fatawa, 24/220, 221].

Adapun sifat (shighat) takbir, dalam hal ini terdapat keluasan. Telah datang satu riwayat yang shahih dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, bahwa ia bertakbir pada hari hari tasyriq dengan genap (dua kali) mengucapkan lafadz Allahu Akbar. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dan sanadnya shahih, akan tetapi disebutkan di lafadz yang lain dengan tiga kali.

اللهُ أَكْبَرُ , اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ, لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله , اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ, وَللهِ الْحَمْدُ

Tidak selayaknya bertakbir secara jama’i, yaitu berkumpul sekelompok orang untuk melafadzkan dengan satu suara, atau satu orang memberi komando kemudian diikuti sekelompok orang tersebut. Karena, amalan seperti ini tidak pernah dinukil dari Salaf. Yang sunnah, setiap orang bertakbir sendiri-sendiri. Seperti ini pula pada setiap dzikir, atau ketika memanjatkan do’a-do’a yang masyru’ pada setiap waktu. [Ahkamul ‘Idain, Ath Thayyar, hlm. 30].

Syaikh Al Albani rahimahullah berkata: "Patut untuk diberi peringatan pada saat sekarang ini, bahwa mengeraskan suara ketika bertakbir tidak disyari’atkan secara berjama’ah dengan satu suara, sebagaimana yang dikerjakan oleh sebagian orang. Demikian pula pada setiap dzikir yang dibaca dengan keras atau tidak, maka tidak disyari’atkan untuk berjama’i. Hendaknya kita waspada terhadap masalah ini" [Silsilah Al Ahadits Shahihah, 1/121].

HUKUM SHALAT ID
Hukum shalat ‘Id adalah fardhu ‘ain, bagi setiap orang untuk mengerjakannya. Dari Ummu ‘Athiyyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata:

أَمَرَنَا -تَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أَنْ نُخْرِجَ فِي الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ. متفق عليه

"Nabi memerintahkan kepada kami (kaum wanita) untuk keluar mengajak ‘awatiq (wanita berusia muda) dan gadis yang dipingit. Dan Beliau memerintahkan wanita haid untuk menjauhi mushalla (tempat shalat) kaum muslimin". [Muttafaqun ‘alaih].

Dahulu, Rasululllah Shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa menjaga untuk mengerjakan shalat ‘Id. Ini merupakan dalil wajibnya shalat ‘Id. Dan karena shalat ‘Id menggugurkan kewajiban shalat Jum’at, jika ‘Id jatuh pada hari Jum’at. Sesuatu yang bukan wajib, tidak mungkin akan menggugurkan satu kewajiban yang lain. Lihat At Ta’liqat Ar Radhiyah, Syaikh Al Albani, 1/380.

Pendapat yang mengatakan bahwa shalat ‘Id adalah fardhu ‘ain, merupakan madzhab Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Begitu pula pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dia mengatakan di dalam Majmu’Fatawa (23/161), sebagai berikut: “Oleh karena itu, kami merajihkan bahwa hukum shalat ‘Id adalah wajib ‘ain. Adapun pendapat yang mengatakan tidak wajib, adalah perkataan yang sangat jauh dari kebenaran, karena shalat ‘Id termasuk syi’ar Islam yang terbesar. Kaum muslimin yang berkumpul pada hari ini, lebih banyak daripada hari Jum’at. Demikian pula disyari’atkan pada hari itu untuk bertakbir. Adapun pendapat yang mengatakan hukumnya fardhu kifayah, tidak tepat”.

WAKTU SHALAT ‘IDUL FITHRI
Sebagian besar Ahlul Ilmi berpendapat, bahwa waktu shalat ‘Id adalah setelah terbitnya matahari setinggi tombak hingga tergelincirnya matahari. Yakni waktu Dhuha.

Juga disunnahkan untuk mengakhirkan shalat ‘Idul Fithri, agar kaum muslimin memperoleh kesempatan menunaikan zakat fithri.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Dahulu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakhirkan shalat ‘Idul Fithri dan menyegerakan shalat ‘idul Adh-ha. Sedangkan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, seorang sahabat yang sangat berpegang kepada Sunnah. Dia tidak keluar hingga terbit matahari”. [Zaadul Ma’ad, 1/427].

TEMPAT MENDIRIKAN SHALAT ‘ID
Disunnahkan mengerjakan shalat ‘Id di mushalla. Yaitu tanah lapang di luar pemukiman kaum muslimin, kecuali jika ada udzur. Misalnya, seperti: hujan, angin yang kencang dan lainnya, maka boleh dikerjakan di masjid.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Mengerjakan shalat ‘Id di tanah lapang adalah sunnah, karena dahulu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm keluar ke tanah lapang dan meninggalkan masjidnya. Demikian pula khulafaur rasyidin. Dan ini merupakan kesepakatan kaum muslimin. Mereka telah sepakat di setiap zaman dan tempat untuk keluar ke tanah lapang ketika shalat ‘Id”. [Al Mughni, 3/260].

TIDAK ADA ADZAN DAN IQAMAH SEBELUM SHALAT ‘ID
Dari Ibnu Abbas dan Jabir Radhiyallahu 'anhuma, keduanya berkata:

لَمْ يَكُنْ يُؤَذِّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَلاَ يَوْمَ الأَضْحَى.رواه البخاري ومسلم

"Tidak pernah adzan pada hari ‘Idul Fithri dan hari ‘Idul Adh-ha". [HR Al Bukhari dan Muslim]

Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ. رواه مسلم

"Saya shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada dua hari raya, sekali atau dua kali, tanpa adzan dan tanpa iqamat". [HR Muslim].

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Dahulu, ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai ke tanah lapang, Beliau memulai shalat tanpa adzan dan iqamat ataupun ucapan “ash shalatu jami’ah”. Dan yang sunnah, untuk tidak dikerjakan semua itu”. [Zaadul Ma’ad, 1/427].

SHIFAT SHALAT ‘ID
Shalat ‘Id, dikerjakan dua raka’at, bertakbir di dalam dua raka’at tersebut 12 kali takbir, 7 pada raka’at yang pertama setelah takbiratul ihram dan sebelum qira’ah, dan 5 takbir pada raka’at yang kedua sebelum qira’ah.

عن عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيدَيْنِ سَبْعًا فِي الْأُولَى وَخَمْسًا فِي الْآخِرَةِ. رواه ابن ماجه

"Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir pada dua shalat ‘Id tujuh kali pada raka’at pertama, dan lima kali pada raka’at yang kedua". [HR Ibnu Majah].

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى سَبْعًا وَخَمْسًا سِوَى تَكْبِيرَتَيْ الرُّكُوعِ. رواه أبو داود و ابن ماجه

"Dari Aisyah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir pada shalat ‘Idul Fithri dan shalat ‘Idul Adh-ha tujuh kali dan lima kali, selain dua takbir ruku". [HR Abu Dawud, Ibnu Majah. Lihat Irwa’ul Ghalil, 639].

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Beliau memulai shalat ‘Id sebelum berkhutbah. Beliau shalat dua raka’at. Bertakbir pada raka’at yang pertama, tujuh kali takbir yang beruntun setelah takbir iftitah. Beliau diam sejenak antara dua takbir. Tidak diketahui dzikir tertentu antara takbir-takbir ini. Akan tetapi (ada) disebutkan bahwa Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu memuji Allah, menyanjungNya dan mengucapkan shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (diantara dua takbir tersebut), sebagaimana disebutkan oleh Al Khallal. Dan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma merupakan seorang sahabat yang sangat tamassuk (berpegang teguh) dengan Sunnah. Beliau mengangkat kedua tangannya setiap kali takbir. Dan setelah menyempurnakan takbirnya, Nabi memulai qira’ah. Beliau membaca Al Fatihah, kemudian membaca surat Qaaf pada salah satu raka’at. Pada raka’at yang lain, membaca surat Al Qamar. Terkadang membaca surat Al A’laa dan surat Al Ghasyiyah. Telah sah dari Beliau dua hal ini, dan tidak sah riwayat yang menyatakan selainnya.

Ketika selesai membaca, Beliau bertakbir dan ruku’. Kemudian, apabila telah menyempurnakan raka’at yang pertama, Beliau bangkit dari sujud dan bertakbir lima kali secara beruntun. Setelah itu Beliau membaca. Maka takbir merupakan pembuka di dalam dua raka’at, kemudian membaca, dan setelah itu ruku’”. [Zaadul Ma’ad, 1/427].

APAKAH ADA SHALAT SUNNAH SEBELUM DAN SESUDAH ‘ID?
Tidak disunnahkan shalat sunnah sebelum dan sesudah ‘Id. Disebutkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلًّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الْفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا. رواه البخاري

"Sesungguhnya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat ‘Idul Fithri dua raka’at, tidak shalat sebelumnya atau sesudahnya" [HR Al Bukhari].

Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Sama sekali tidak ada satu shalat sunnah saat sebelum atau sesudah ‘Id”. Kemudian dia ditanya: “Bagaimana dengan orang yang ingin shalat pada waktu itu?” Dia menjawab: “Saya khawatir akan diikuti oleh orang yang melihatnya. Ya’ni jangan shalat”. [Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/283].

Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Kesimpulannya, pada shalat ‘Id tidak ada shalat sunnah sebelum atau sesudahnya, berbeda dari orang yang mengqiyaskan dengan shalat Jum’ah. Namun, shalat sunnah muthlaqah tidak ada dalil khusus yang melarangnya, kecuali jika dikerjakan pada waktu yang makruh seperti pada hari yang lain". [Fath-hul Bari, 2/476].

Apabila shalat ‘Id dikerjakan di masjid karena adanya udzur, maka diperintahkan shalat dua raka’at tahiyyatul masjid. Wallahu a’lam.

APABILA SESEORANG TERTINGGAL DARI SHALAT ‘ID, APAKAH PERLU MENGQADHA?
Dalam masalah ini, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan di dalam Asy Syarhul Mumti’ 5/208: "Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat tidak diqadha. Orang yang tertinggal atau luput dari shalat ‘Id, tidak disunnahkan untuk mengqadha’nya, karena hal ini tidak pernah ada dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan karena shalat ‘Id merupakan shalat yang dikerjakan dengan berkumpul secara khusus. Oleh sebab itu tidak disyari’atkan, kecuali dengan cara seperti itu".

Kemudian beliau Syaikh Ibnu Utsaimin juga berkata: "Shalat Jum’at juga tidak diqadha. Tetapi, bagi orang yang tertinggal, (ia) mengganti shalat Jum’at dengan shalat fardhu pada waktu itu. Yaitu Dhuhur. Pada shalat ‘Id, apabila tertinggal dari jama’ah, maka tidak diqadha, karena pada waktu itu tidak terdapat shalat fardhu ataupun shalat sunnah".

KHUTBAH ‘IDUL FITHRI
Dalam Shahihain dan yang lainnya disebutkan:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ .رواه البخاري و مسلم

"Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar ke tanah lapang pada ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha. Pertama kali yang Beliau kerjakan ialah shalat, kemudian berpaling dan berdiri menghadap sahabat, dan mereka tetap duduk di barisan mereka. Kemudian Beliau memberikan mau’izhah, wasiat dan memerintahkan mereka". [HR Al Bukhari dan Muslim].

Dalam masalah khutbah ‘Id ini, seseorang tidak wajib mendengarkannya. Dibolehkan untuk meninggalkan tanah lapang seusai shalat. Tidak sebagaimana khutbah Jum’ah, yang wajib bagi kita untuk menghadirinya.

Di dalam hadits Abdullah bin As Sa’id Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ قَالَ إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ

"Saya menyaksikan shalat ‘Id bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika selesai, Beliau berkata: “Kami sekarang berkhutbah. Barangsiapa yang mau mendengarkan, silahkan duduk. Dan barangsiapa yang mau, silahkan pergi". [Dikeluarkan oleh Abu Dawud, An Nasa’i, Ibnu Majah. Lihat Irwa’ul Ghalil 3/96]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Dahulu, apabila Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyempurnakan shalat, Beliau berpaling dan berdiri di hadapan para sahabat, sedangkan mereka duduk di barisan mereka. Beliau memberikan mau’izhah, wasiat dan memerintahkan dan melarang mereka. Beliau membuka khuthbah-khutbahnya dengan memuji Allah. Tidak pernah diriwayatkan -dalam satu haditspun- bahwasanya Beliau membuka dua khutbah pada ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha dengan bertakbir. Dan diberikan rukhshah bagi orang yang menghadiri ‘Id untuk mendengarkan khutbah atau pergi". [Zaadul Ma’ad, 1/429].

APABILA HARI ‘ID BERTEPATAN DENGAN HARI JUM’AT
Apabila hari ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka kewajiban shalat Jum’at bagi orang yang telah menghadiri ‘Id menjadi gugur. Tetapi bagi penguasa, sebaiknya memerintahkan agar didirikan shalat Jum’at, supaya dihadiri oleh orang yang tidak menyaksikan ‘Id atau bagi yang ingin menghadiri Jum’at dari kalangan orang-orang yang telah shalat ‘Id. Dan sebagai pengganti Jum’at bagi orang yang tidak shalat Jum’at, adalah shalat Dhuhur. Tetapi yang lebih baik, ialah menghadiri keduanya. [Lihat Ahkamul ‘Idain, Ath Thayyar, hlm. 18; Majalis ‘Asyri Dzil Hijjah, Syaikh Abdullah Al Fauzan, hlm. 107].

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau berkata:

قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ. رواه أبو داود و ابن ماجه

"Telah berkumpul pada hari kalian ini dua ‘Id. Barangsiapa yang mau, maka shalat ‘Id telah mencukupi dari Jum’at. Akan tetapi, kami mengerjakan shalat Jum’at". [HR Abu Dawud, Ibnu Majah]

MENGUCAPKAN SELAMAT PADA HARI ‘ID
Syaikhul Islam ditanya tentang mengucapkan selamat pada hari ‘Id. Beliau menjawab:

“Mengucapkan selamat pada hari ‘Id; apabila seseorang bertemu saudaranya, kemudian dia berkata تقبل الله منا ومنكم (semoga Allah menerima amal kebaikan dari kami dan dari kalian), atau أعاده الله عليك (semoga Allah memberikan kebaikan kepada Anda), atau semisalnya, dalam hal seperti ini telah diriwayatkan dari sekelompok diantara para sahabat, bahwa mereka dahulu mengerjakannya. Dan diperperbolehkan oleh Imam Ahmad dan selainnya. Imam Ahmad berkata,’Saya tidak memulai seseorang dengan ucapan selamat ‘Id. Namun, jika seseorang menyampaikan ucapan selamat kepadaku, aku akan menjawanya, karena menjawab tahiyyah hukumnya wajib. Adapun memulai ucapan selamat ‘Id bukan merupakan sunnah yang diperintahkan, dan tidak termasuk sesuatu yang dilarang. Barangsiapa yang mengerjakannya, maka ada contohnya. Dan bagi orang yang tidak mengerjakannya, ada contohnya juga". [Majmu’ Fatawa, 24/253, lihat juga Al Mughni, 3/294].

Wallahu a’lamu bish shawab.

Diselesaikan pada 15 Rajab 1425, bertepatan 30 Agustus 2004.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]

Monday, September 3, 2012

Ringkasan SIFAT SHALAT NABI Shallallahu 'alaihi wa sallam


Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaani
 
Perhatian : Tulisan ini hanya ringkasan, bagi pembaca yang ingin mengetahui dalil-dalilnya dipersilahkan merujuk buku aslinya iaitu : "Sifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam", oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaani, dengan edisi Indonesia diterbitkan oleh Gema Risalah Press - Bandung.


I. MENGADAP KA'BAH

1. Apabila anda - wahai Muslim - ingin menunaikan shalat, menghadaplah ke Ka'bah
(qiblat) dimanapun anda berada, baik shalat fardlu maupun shalat sunnah, sebab ini
termasuk diantara rukun-rukun shalat, dimana shalat tidak sah tanpa rukun ini.

2. Ketentuan menghadap qiblat ini tidak menjadi keharusan lagi bagi 'seorang yang
sedang berperang' pada pelaksanaan shalat khauf saat perang berkecamuk dahsyat.
Dan tidak menjadi keharusan lagi bagi orang yang tidak sanggup seperti orang
yang sakit atau orang yang dalam perahu, kendaraan atau pesawat bila ia
khawatir luputnya waktu.
Juga tidak menjadi keharusan lagi bagi orang yang shalat sunnah atau witir
sedang ia menunggangi hewan atau kendaraan lainnya. Tapi dianjurkan
kepadanya - jika hal ini memungkinkan - supaya menghadap ke qiblat pada saat
takbiratul ikhram, kemudian setelah itu menghadap ke arah manapun
kendaraannya menghadap.
3. Wajib bagi yang melihat Ka'bah untuk menghadap langsung ke porosnya, bagi
yang tidak melihatnya maka ia menghadap ke arah Ka'bah.


HUKUM SHALAT TANPA MENGHADAP KA'BAH KARENA KELIRU

4. Apabila shalat tanpa menghadap qiblat karena mendung atau ada penyebab
lainnya sesudah melakukan ijtihad dan pilihan, maka shalatnya sah dan tidak perlu
diulangi.

5. Apabila datang orang yang dipercaya saat dia shalat, lalu orang yang datang itu
memberitahukan kepadanya arah qiblat maka wajib baginya untuk segera menghadap
ke arah yang ditunjukkan, dan shalatnya sah.


2. BERDIRI

6. Wajib bagi yang melakukan shalat untuk berdiri, dan ini adalah rukun, kecuali bagi :
Orang yang shalat khauf saat perang berkecamuk dengan hebat, maka
dibolehkan baginya shalat diatas kendaraannya.
Orang yang sakit yang tidak mampu berdiri, maka boleh baginya shalat sambil
duduk dan bila tidak mampu diperkenankan sambil berbaring.
Orang yang shalat nafilah (sunnah) dibolehkan shalat di atas kendaraan atau
sambil duduk jika dia mau, adapun ruku' dan sujudnya cukup dengan isyarat
kepalanya, demikian pula orang yang sakit, dan ia menjadikan sujudnya lebih
rendah dari ruku'nya.
7. Tidak boleh bagi orang yang shalat sambil duduk meletakkan sesuatu yang agak
tinggi dihadapannya sebagai tempat sujud. Akan tetapi cukup menjadikan sujudnya
lebih rendah dari ruku'nya - seperti yang kami sebutkan tadi - apabila ia tidak mampu
meletakkan dahinya secara langsung ke bumi (lantai).


SHALAT DI KAPAL LAUT ATAU PESAWAT

8. Dibolehkan shalat fardlu di atas kapal laut demikian pula di pesawat.

9. Dibolehkan juga shalat di kapal laut atau pesawat sambil duduk bila khawatir akan
jatuh.

10. Boleh juga saat berdiri bertumpu (memegang) pada tiang atau tongkat karena
faktor ketuaan atau karena badan yang lemah.


SHALAT SAMBIL BERDIRI DAN DUDUK

11.
Dibolehkan shalat lail sambil berdiri atau sambil duduk meski tanpa udzur
(penyebab apapun), atau sambil melakukan keduanya.
Caranya ; ia shalat membaca
dalam keadaan duduk dan ketika menjelang ruku' ia berdiri lalu membaca ayat-ayat
yang masih tersisa dalam keadaan berdiri. Setelah itu ia ruku' lalu sujud. Kemudian ia
melakukan hal yang sama pada rakaat yang kedua.

12. Apabila shalat dalam keadaan duduk, maka ia duduk bersila atau duduk
dalam bentuk lain yang memungkinkan seseorang untuk beristirahat.


SHALAT SAMBIL MEMAKAI SANDAL

13. Boleh shalat tanpa memakai sandal dan boleh pula dengan memakai sandal.

14. Tapi yang lebih utama jika sekali waktu shalat sambil memakai sandal dan sekali
waktu tidak memakai sandal, sesuai yang lebih gampang dilakukan saat itu, tidak
membebani diri dengan harus memakainya dan tidak pula harus melepasnya. Bahkan
jika kebetulan telanjang kaki maka shalat dengan kondisi seperti itu, dan bila kebetulan
memakai sandal maka shalat sambil memakai sandal. Kecuali dalam kondisi tertentu
(terpaksa).

15. Jika kedua sandal dilepas maka tidak boleh diletakkan disamping kanan akan
tetapi diletakkan disamping kiri jika tidak ada disamping kirinya seseorang yang shalat,
jika ada maka hendaklah diletakkan didepan kakinya, hal yang demikianlah yang
sesuai dengan perintah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. (1)


SHALAT DI ATAS MIMBAR

16. Dibolehkan bagi imam untuk shalat di tempat yang tinggi seperti mimbar dengan
tujuan mengajar manusia. Imam berdiri diatas mimbar lalu takbir, kemudian membaca
dan ruku' setelah itu turun sambil mundur sehingga memungkinkan untuk sujud ke tanah
didepan mimbar, lalu kembali lagi keatas mimbar dan melakukan hal yang serupa di
rakaat berikutnya.


KEWAJIBAN SHALAT MENGHADAP PEMBATAS(sutrah) DAN MENDEKAT
KEPADANYA

17. Wajib shalat menghadap tabir pembatas, dan tiada bedanya baik di masjid
maupun selain masjid, di masjid yang besar atau yang kecil, berdasarkan kepada
keumuman sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Janganlah shalat melainkan menghadap pembatas, dan jangan
biarkan seseorang lewat dihadapanmu, apabila ia enggan maka
perangilah karena sesungguhnya ia bersama pendampingnya".
(Maksudnya syaitan).
18. Wajib mendekat ke pembatas karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan hal itu.

19. Jarak antara tempat sujud Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tembok yang
dihadapinya seukuran tempat lewat domba. maka barang siapa yang mengamalkan hal
itu berarti ia telah mengamalkan batas ukuran yang diwajibkan. (2)


KADAR KETINGGIAN PEMBATAS

20. Wajib pembatas dibuat agak tinggi dari tanah sekadar sejengkal atau dua jengkal
berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Jika seorang diantara kamu meletakkan dihadapannya sesuatu
setinggi ekor pelana (3) (sebagai pembatas) maka shalatlah
(menghadapnya), dan jangan ia pedulikan orang yang lewat dibalik
pembatas".
21. Dan ia menghadap ke pembatas secara langsung, karena hal itu yang termuat
dalam konteks hadits tentang perintah untuk shalat menghadap ke pembatas. Adapun
bergeser dari posisi pembatas ke kanan atau ke kiri sehingga membuat tidak lurus
menghadap langsung ke pembatas maka hal ini tidak sah.

22. Boleh shalat menghadap tongkat yang ditancapkan ke tanah atau yang
sepertinya, boleh pula menghadap pohon, tiang, atau isteri yang berbaring di
pembaringan sambil berselimut, boleh pula menghadap hewan meskipun unta.


HARAM SHALAT MENGHADAP KE KUBUR.

23. Tidak boleh shalat menghadap ke kubur, larangan ini mutlak, baik kubur para nabi
maupun selain nabi.


HARAM LEWAT DIDEPAN ORANG YANG SHALAT TERMASUK DI MASJID
HARAM.

24. Tidak boleh lewat didepan orang yang sedang shalat jika didepannya ada
pembatas, dalam hal ini tidak ada perbedaan antara masjid Haram atau masjid-masjid
lain, semua sama dalam hal larangan berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam.
"Artinya : Andaikan orang yang lewat didepan orang yang shalat
mengetahui akibat perbuatannya maka untuk berdiri selama 40, lebih
baik baginya dari pada lewat di depan orang yang sedang shalat".
Maksudnya lewat di antara shalat dengan tempat sujudnya. (4)

KEWAJIBAN ORANG YANG SHALAT MENCEGAH ORANG LEWAT
DIDEPANNYA MESKIPUN DI MASJID HARAM

25. Tidak boleh bagi orang yang shalat menghadap pembatas membiarkan
seseorang lewat didepannya berdasarkan hadits yang telah lalu.
"Artinya : Dan janganlah membiarkan seseorang lewat didepanmu...."
Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Jika seseorang diantara kamu shalat menghadap sesuatu
pembatas yang menghalanginya dari orang lain, lalu ada yang ingin lewat
didepannya, maka hendaklah ia mendorong leher orang yang ingin lewat
itu semampunya (dalam riwayat lain : cegahlah dua kali) jika ia enggan
maka perangilah karena ia adalah syaithan".

BERJALAN KEDEPAN UNTUK MENCEGAH ORANG LEWAT

26. Boleh maju selangkah atau lebih untuk mencegah yang bukan mukallaf yang lewat
di depannya seperti hewan atau anak kecil agar tidak lewat di depannya.


HAL-HAL YANG MEMUTUSKAN SHALAT

27. Di antara fungsi pembatas dalam shalat adalah menjaga orang yang shalat
menghadapnya dari kerusakan shalat disebabkan yang lewat di depannya, berbeda
dengan yang tidak memakai pembatas, shalatnya bisa terputus bila lewat didepannya
wanita dewasa, keledai, atau anjing hitam.
........................................................................................................................
Fote Note.
1.Saya (Al-Albaani) berkata : disini terdapat isyarat yang halus untuk tidak meletakkan sandal didepan. Adab inilah yang banyak disepelekan oleh kebanyakan orang yang shalat, sehingga Anda menyaksikan sendiri diantara mereka yang shalat menghadap ke sandal-sandal.
2.Saya (Al-Albaani) berkata : dari sini kita tahu bahwa apa yang dilakukan oleh banyak orang di setiap masjid seperti yang saya saksikan di Suriah dan negeri-negeri lain iaitu shalat di tengah masjid jauh dari dinding atau tiang adalah kelalaian terhadap perintah dan perbuatan Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam.
3.Iaitu kayu yang dipasang di bagian belakang pelana angkutan dipunggung unta. Di dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa : mengaris diatas tanah tidak cukup untuk dijadikan sebagai garis pembatas, karena hadits yang teriwayatkan tentang itu lemah.
4.Adapun hadits yang disebutkan dalam kitab "Haasyiatul Mathaaf" bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat tanpa menghadap pembatas dan orang-orang lewat didepannya, adalah hadits yang tidak shahih, lagi pula tidak ada keterangan di hadits tersebut bahwa mereka lewat diantara beliau dengan tempat sujudnya.
.............................................................................................................................

3. NIAT

28. Bagi yang akan shalat harus meniatkan shalat yang akan dilaksanakannya serta
menentukan niat dengan hatinya, seperti fardhu zhuhur dan ashar, atau sunnat zhuhur
dan ashar. Niat ini merupakan syarat atau rukun shalat. Adapun melafazhkan niat
dengan lisan maka ini merupakan bid'ah, menyalahi sunnah, dan tidak ada
seorangpun yang menfatwakan hal itu di antara para ulama yang dotokohkan oleh
orang-orang yang suka taqlid (fanatik buta).

4. TAKBIR

29. Kemudian memulai shalat dengan membaca. "Allahu Akbar" (Artinya : Allah
Maha Besar). Takbir ini merupakan rukun, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam.
"Artinya : Pembuka Shalat adalah bersuci, pengharamannya adalah
takbir, sedangkan penghalalannya adalah salam" . (1)
30. Tidak boleh mengeraskan suara saat takbir disemua shalat, kecuali jika menjadi
imam.

31. Boleh bagi muadzin menyampaikan (memperdengarkan) takbir imam kepada
jama'ah jika keadaan menghendaki, seperti jika imam sakit, suaranya lemah atau
karena banyaknya orang yang shalat.

32. Ma'mum tidak boleh takbir kecuali jika imam telah selesai takbir.


MENGANGKAT KEDUA TANGAN DAN CARA-CARANYA.

33. Mengangkat kedua tangan, boleh bersamaan dengan takbir, atau sebelumnya,
bahkan boleh sesudah takbir. Kesemuanya ini ada landasannya yang sah dalam
sunah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.


34. Mengangkat tangan dengan jari-jari terbuka.

35. Mensejajarkan kedua telapak tangan dengan pundak/bahu, sewaktu-waktu
mengangkat lebih tinggi lagi sampai sejajar dengan ujung telinga. (2)


MELETAKKAN KEDUA TANGAN DAN CARA-CARANYA

36.
Kemudian meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri sesudah takbir, ini
merupakan sunnah (ajaran) para nabi-nabi Alaihimus Shallatu was sallam dan
diperintahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabat beliau,
sehingga tidak boleh menjulurkannya.

37. Meletakkan tangan kanan diatas punggung tangan kiri dan diatas pergelangan
dan lengan.

38. Kadang-kadang menggenggam tangan kiri dengan tangan kanan. (3)


TEMPAT MELETAKKAN TANGAN

39. Keduanya diletakkan diatas dada saja. Laki-laki dan perempuan dalam hal
tersebut sama. (4).

40. Tidak meletakkan tangan kanan diatas pinggang.


KHUSU' DAN MELIHAT KE TEMPAT SUJUD

41.
Hendaklah berlaku khusu' dalam shalat dan menjauhi segala sesuatu yang
dapat melalaikan dari khusu' seperti perhiasan dan lukisan, janganlah shalat saat
berhadapan dengan hidangan yang menarik, demikian juga saat menahan berak dan
kencing.


42. Memandang ke tempat sujud saat berdiri.

43. Tidak menoleh kekanan dan kekiri, karena menoleh adalah curian yang
dilakukan oleh syaitan dari shalat seorang hamba.

44. Tidak boleh mengarahkan pandangan ke langit (ke atas).


DO'A IFTITAAH (PEMBUKAAN)

45.
Kemudian membuka bacaan dengan sebagian do'a-do'a yang sah dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang jumlahnya banyak, yang masyhur diantaranya ialah :

"Subhaanaka Allahumma wa bihamdika, wa tabaarakasmuka, wa ta'alaa jadduka,
walaa ilaha ghaiyruka".
"Artinya : Maha Suci Engkau ya Allah, segala puji hanya bagi-Mu,
kedudukan-Mu sangat agung, dan tidak ada sembahan yang hak selain
Engkau".
Perintah ber-istiftah telah sah dari Nabi, maka sepatutnya diperhatikan untuk
diamalkan.
(5)


5. QIRAAH (BACAAN)

46. Kemudian wajib berlindung kepada Allah Ta'ala, dan bagi yang
meninggalkannya mendapat dosa.


47. Termasuk sunnah jika sewaktu-waktu membaca.

"A'udzu billahi minasy syaiythaanirrajiim, min hamazihi, wa nafakhihi, wa nafasyihi"
"Artinya : Aku berlindung kepada Allah dari syithan yang terkutuk, dari
godaannya, dari was-wasnya, serta dari gangguannya".
48. Dan sewaktu-waktu membaca tambahan.

"A'udzu billahis samii-il a'liimi, minasy syaiythaani ......."
"Artinya : Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui, dari syaitan......."
49. Kemudian membaca basmalah (bismillah) disemua shalat secara sirr (tidak
diperdengarkan).


MEMBACA AL-FAATIHAH

50.
Kemudian membaca
surat Al-Fatihah sepenuhnya termasuk bismillah, ini adalah
rukun shalat dimana shalat tak sah jika tidak membaca Al-Fatihah, sehingga wajib
bagi orang-orang 'Ajm (non Arab) untuk menghafalnya.

51. Bagi yang tak mampu menghafalnya boleh membaca.

"Subhaanallah, wal hamdulillah walaa ilaha illallah, walaa hauwla wala quwwata illaa
billah".
"Artinya : Maha suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada sembahan
yang haq selain Allah, serta tidak ada daya dan kekuatan melainkan
karena Allah".
52. Didalam membaca Al-Fatihah, disunnahkan berhenti pada setiap ayat, dengan
cara membaca. (Bismillahir-rahmanir-rahiim) lalu berhenti, kemudian membaca.
(Alhamdulillahir-rabbil 'aalamiin) lalu berhenti, kemudian membaca.
(Ar-rahmanir-rahiim) lalu berhenti, kemudian membaca. (Maaliki yauwmiddiin) lalu
berhenti, dan demikian seterusnya.
Demikianlah cara membaca Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam seluruhnya. Beliau berhenti diakhir setiap ayat dan tidak
menyambungnya dengan ayat sesudahnya meskipun maknanya berkaitan.


53. Boleh membaca. (Maaliki) dengan panjang, dan boleh pula. (Maliki) dengan
pendek.



BACAAN MA'MUM

54.
Wajib bagi ma'mum membaca Al-Fatihah dibelakang imam yang membaca sirr
(tidak terdengar) atau saat imam membaca keras tapi ma'mum tidak mendengar
bacaan imam, demikian pula ma'mum membaca Al-Fatihah bila imam berhenti
sebentar untuk memberi kesempatan bagi ma'mum yang membacanya.
Meskipun
kami menganggap bahwa berhentinya imam ditempat ini tidak tsabit dari sunnah. (6)


BACAAN SESUDAH AL-FATIHAH

55.
Disunnahkan sesudah membaca Al-Fatihah, membaca
surat yang lain atau
beberapa ayat pada dua raka'at yang pertama. Hal ini berlaku pula pada shalat
jenazah.


56. Kadang-kadang bacaan sesudah Al-Fatihah dipanjangkan kadang pula
diringkas karena ada faktor-faktor tertentu seperti safar (bepergian), batuk, sakit, atau
karena tangisan anak kecil.

57. Panjang pendeknya bacaan berbeda-beda sesuai dengan shalat yang
dilaksanakan. Bacaan pada shalat subuh lebih panjang dari pada bacaan shalat
fardhu yang lain, setelah itu bacaan pada shalat dzuhur, pada shalat ashar, lalu
bacaan pada shalat isya, sedangkan bacaan pada shalat maghrib umumnya
diperpendek.

58. Adapun bacaan pada shalat lail lebih panjang dari semua itu.

59. Sunnah membaca lebih panjang pada rakaat pertama dari rakaat yang kedua.

60. Memendekkan dua rakaat terakhir kira-kira setengah dari dua rakaat yang
pertama. (7)

61. Membaca Al-Fatihah pada semua rakaat.

62. Disunnahkan pula menambahkan bacaan
surat Al-Fatihah dengan surat-surat
lain pada dua rakaat yang terkahir.

63. Tidak boleh imam memanjangkan bacaan melebihi dari apa yang disebutkan
didalam sunnah karena yang demikian bisa-bisa memberatkan ma'mum yang tidak
mampu seperti orang tua, orang sakit, wanita yang mempunyai anak kecil dan orang
yang mempunyai keperluan.


MENGERASKAN DAN MENGECILKAN BACAAN

64.
Bacaan dikeraskan pada shalat shubuh, jum'at, dua shalat ied, shalat istisqa,
khusuf dan dua rakaat pertama dari shalat maghrib dan isya. Dan dikecilkan (tidak
dikeraskan) pada shalat dzuhur, ashar, rakaat ketiga dari shalat maghrib, serta dua
rakaat terakhir dari shalat isya.

65. Boleh bagi imam memperdengarkan bacaan ayat pada shalat-shalat sir (yang
tidak dikeraskan).

66. Adapun witir dan shalat lail bacaannya kadang tidak dikeraskan dan kadang
dikeraskan.


MEMBACA AL-QUR'AN DENGAN TARTIL

67.
Sunnah membaca Al-Qur'an secara tartil (sesuai dengan hukum tajwid) tidak
terlalu dipanjangkan dan tidak pula terburu-buru, bahkan dibaca secara jelas huruf
perhuruf.
Sunnah pula menghiasi Al-Qur'an dengan suara serta melagukannya sesuai
batas-batas hukum oleh ulama ilmu tajwid.
Tidak boleh melagukan Al-Qur'an seperti
perbuatan Ahli Bid'ah dan tidak boleh pula seperti nada-nada musik.


68. Disyari'atkan bagi ma'mum untuk membentulkan bacaan imam jika keliru.
..........................................................................................................................
Fote Note
1."Pengharaman" maksudnya : haramnya beberapa perbuatan yang diharamkan oleh Allah didalam shalat. "Penghalal" maksudnya : halalnya beberapa perbuatan yang dihalalkan oleh Allah di luar shalat.
2.Saya (Al-Albaani) berkata : adapun menyentuh kedua anak telinga dengan ibu jari, maka perbuatan ini tidak ada landasannya di dalam sunnah Nabi, bahkan hal ini hanya mendatangkan was-was.
3.Adapun yang dianggap baik oleh sebagian orang-orang terbelakang, iaitu menggabungkan antara meletakkan dan menggemgam dalam waktu yang bersamaan, maka amalan itu tidak ada dasarnya
4.Saya (Al-Albaani) berkata : amalan meletakkan kedua tangan selain di dada hanya ada dua kemungkinan ; dalilnya lemah, atau tidak ada dalilnya sama sekali.
5.Barang siapa yang ingin membaca do'a-do'a istiftah yang lain, silahkan merujuk kitab : "Sifat Shalat Nabi".
6.Saya telah sebutkan landasan orang yang berpendapat demikian, dan alasan yang dijadikan landasan untuk menolaknya di kitab Silsilah Hadits Dho'if No. 546 dan 547.
7.Perincian tentang ini, lihat Sifat Shalat hal 106-125 cet. ke 6 dan ke 7
..............................................................................................................................


6. RUKU'

69. Bila selesai membaca, maka diam sebentar menarik nafas agar bisa teratur

70. Kemudian mengangkat kedua tangan seperti yang telah dijelaskan terdahulu pada
takbiratul ihram.

71. Dan takbir, hukumnya adalah wajib.

72. Lalu ruku' sedapatnya agar persendian bisa menempati posisinya dan setiap anggota
badan mengambil tempatnya. Adapun ruku' adalah rukun.


CARA RUKU'

73. Meletakkan kedua tangan diatas lutut dengan sebaik-baiknya, lalu merenggangkan jari-jari seolah-olah menggemgam kedua lutut. Semua itu hukumnya wajib.

74. Mensejajarkan punggung dan meluruskannya, sehingga jika kita menaruh air
dipunggungnya tidak akan tumpah. Hal ini wajib.

75. Tidak merendahkan kepala dan tidak pula mengangkatnya tapi disejajarkan dengan punggung.

76. Merenggangkan kedua siku dari badan.

77. Mengucapkan saat ruku'. "Subhaana rabbiiyal 'adhiim".
"Artinya : Segala puji bagi Allah yang Maha Agung". tiga kali atau lebih. (1)

MENYAMAKAN PANJANGNYA RUKUN

78. Termasuk sunnah untuk menyamakan panjangnya rukun, diusahakan antara ruku'
berdiri dan sesudah ruku', dan duduk diantara dua sujud hampir sama.

79. Tidak boleh membaca Al-Qur'an saat ruku' dan sujud.


I'TIDAL SESUDAH RUKU'

80. Mengangkat punggung dari ruku' dan ini adalah rukun.

81. Dan saat i'tidal mengucapkan . "Syami'allahu-liman hamidah".
"Artinya : Semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya". adapun
hukumnya wajib.
82. Mengangkat kedua tangan saat i'tidal seperti dijelaskan terdahulu.

83. Lalu berdiri dengan tegak dan tenang sampai seluruh tulang menempati posisinya. Ini
termasuk rukun.

84. Mengucapkan saat berdiri. "Rabbanaa wa lakal hamdu"
"Artinya : Ya tuhan kami bagi-Mu-lah segala puji". (2) Hukumnya adalah wajib
agi setiap orang yang shalat meskipun sebagai imam, karena ini adalah wirid
aat berdiri, sedang tasmi (ucapana Sami'allahu liman hamidah) adalah wirid
'tidal (saat bangkit dari ruku' sampai tegak).
85. Menyamakan panjang antara rukun ini dengan ruku' seperti dijelaskan terdahulu.


7. SUJUD

86. Lalu mengucapkan "Allahu Akbar" dan ini wajib.

87. Kadang-kadang sambil mengangkat kedua tangan.


TURUN DENGAN KEDUA TANGAN.

88. Lalu turun untuk sujud dengan kedua tangan diletakkan terlebih dahulu sebelum kedua lutut, demikianlah yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam serta tsabit dari perbuatan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk menyerupai cara berlututnya unta yang turun dengan kedua lututnya yang terdapat di kaki depan.

89. Apabila sujud -dan ini adalah rukun- bertumpu pada kedua telapak tangan serta
melebarkannya.

90. Merapatkan jari jemari.

91. Lalu menghadapkan ke kiblat.

92. Merapatkan kedua tangan sejajar dengan bahu.

93. Kadang-kadang meletakkan keduanya sejajar dengan telinga.

94. Mengangkat kedua lengan dari lantai dan tidak meletakkannya seperti cara anjing.
Hukumnya adalah wajib.

95. Menempelkan hidung dan dahi ke lantai, ini termasuk rukun.

96. Menempelkan kedua lutut ke lantai.

97. Demikian pula ujung-ujung jari kaki.

98. Menegakkan kedua kaki, dan semua ini adalah wajib.

99. Menghadapkan ujung-ujung jari ke qiblat.

100. Meletakkan / merapatkan kedua mata kaki.


BERLAKU TEGAK KETIKA SUJUD

101. Wajib berlaku tegak ketika sujud, iaitu tertumpu dengan seimbang pada semua
anggota sujud yang terdiri dari : Dahi termasuk hidung, dua telapak tangan, dua lutut dan ujung-ujung jari kedua kaki.

102. Barangsiapa sujud seperti itu berarti telah thuma'ninah, sedangkan thuma'ninah
ketika sujud termasuk rukun juga.

103. Mengucapkan ketika sujud. "Subhaana rabbiyal 'alaa"
"Artinya : Maha Suci Rabbku yang Maha Tinggi" diucapkan tiga kali atau lebih.
104. Disukai untuk memperbanyak do'a saat sujud, karena saat itu do'a banyak
dikabulkan.

105. Menjadikan sujud sama panjang dengan ruku' seperti diterangkan terdahulu.

106. Boleh sujud langsung di tanah, bolah pula dengan pengalas seperti kain, permadani, tikar dan sebagainya.

107. Tidak boleh membaca Al-Qur'an saat sujud.


IFTIRASY DAN IQ'A KETIKA DUDUK ANTARA DUA SUJUD

108. Kemudian mengangkat kepala sambil takbir, dan hukumnya adalah wajib.

109. Kadang-kadang sambil mengangkat kedua tangan.

110. Lalu duduk dengan tenang sehingga semua tulang kembali ke tempatnya
masing-masing, dan ini adalah rukun.

111. Melipat kaki kiri dan mendudukinya. Hukumnya wajib.

112. Menegakkan kaki kanan (sifat duduk seperti No. 111 dan 112 ini disebut Iftirasy).

113. Menghadapkan jari-jari kaki kekiblat.

114. Boleh iq'a sewaktu-waktu, iaitu duduk diatas kedua tumit.

115. Mengucapkan pada waktu duduk. "Allahummagfirlii, warhamnii' wajburnii', warfa'nii', wa 'aafinii, warjuqnii".
"Artinya : Ya Allah ampunilah aku, syangilah aku, tutuplah kekuranganku,
angkatlah derajatku, dan berilah aku afiat dan rezeki".
116. Dapat pula mengucapkan. "Rabbigfirlii, Rabbigfilii".
"Artinya : Ya Allah ampunilah aku, ampunilah aku".
117. Memperpanjang duduk sampai mendekati lama sujud.


SUJUD KEDUA

118. Kemudian takbir, dan hukumnya wajib.

119. Kadang-kadang mengangkat kedua tangannya dengan takbir ini.

120. Lalu sujud yang kedua, ini termasuk rukun juga.

121. Melakukan pada sujud ini apa-apa yang dilakukan pada sujud pertama.


DUDUK ISTIRAHAT

122. Setelah mengangkat kepala dari sujud kedua, dan ingin bangkit ke rakaat yang kedua wajib takbir.

123. Kadang-kadang sambil mengangkat kedua tangannya.

124. Duduk sebentar diatas kaki kiri seperti duduk iftirasy sebelum bangkit berdiri,
sekadar selurus tulang menempati tempatnya.


RAKAAT KEDUA

125. Kemudian bangkit raka'at kedua -ini termasuk rukun- sambil menekan kelantai
dengan kedua tangan yang terkepal seperti tukang tepung mengepal kedua tangannya.

126. Melakukan pada raka'at yang kedua seperti apa yang dilakukan pada rakaat pertama.

127. Akan tetapi tidak membaca pada raka'at yang kedua ini do'a iftitah.

128. Memendekkan raka'at kedua dari raka'at yang pertama.


DUDUK TASYAHUD

129. Setelah selesai dari raka'at kedua duduk untuk tasyahud, hukumnya wajib.

130. Duduk iftirasy seperti diterangkan pada duduk diantara dua sujud.

131. Tapi tidak boleh iq'a ditempat ini.

132. Meletakkan tangan kanan sampai siku diatas paha dan lutut kanan, tidak diletakkan jauh darinya.

133. Membentangkan tangan kiri diatas paha dan lutut kiri.

134. Tidak boleh duduk sambil bertumpu pada tangan, khususnya tangan yang kiri.


MENGGERAKAN TELUNJUK DAN MEMANDANGNYA

135. Menggemgam jari-jari tangan kanan seluruhnya, dan sewaktu-waktu meletakkan ibu jari diatas jari tengah.

136. Kadang-kadang membuat lingkaran ibu jari dengan jari tengah.

137. Mengisyaratkan jari telunjuk ke qiblat.

138. Dan melihat pada telunjuk.

139. Menggerakan telunjuk sambil berdo'a dari awal tasyahud sampai akhir.

140. Tidak boleh mengisyaratkan dengan jari tangan kiri.

141. Melakukan semua ini disemua tasyahud.
.......................................................................................................................
Fote Note.
1.Masih ada dzikir-dzikir yang lain untuk dibaca pada ruku' ini, ada dzikir yang panjang, ada yang sedang, dan ada yang pendek, lihat kembali kitab Sifat Shalat nabi.
2.Masih ada dzikir-dzikir yang lain untuk dibaca pada ruku' ini, ada dzikir yang panjang, ada yang sedang, dan ada yang pendek, lihat kembali kitab Sifat Shalat Nabi,


..........................................................................................................................



UCAPAN TASYAHUD DAN DO’A SESUDAHNYA

142. Tasyahud adalah wajib, jika lupa harus sujud sahwi.

143. Membaca tasyahud dengan sir (tidak dikeraskan).

144. Dan lafadznya : “At-tahiyyaatu lillah washalawaatu wat-thayyibat, assalamu ‘alan -nabiyyi warrahmatullahi wabarakaatuh, assalaamu ‘alaiynaa wa’alaa ‘ibaadil-llahis-shaalihiin, asyhadu alaa ilaaha illallah, asyhadu anna muhamaddan‘abduhu warasuuluh”.
“Artinya : Segala penghormatan bagi Allah, shalawat dan kebaikan serta
keselamatan atas Nabi (1) dan rahmat Allah serta berkat-Nya. Keselamatan
atas kita dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada
sembahan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad hamba dan
asul-Nya”.
145. Sesudah itu bershalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan mengucakan : “Allahumma shalli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa ali muhammad,
kamaa shallaiyta ‘alaa ibrahiima wa ‘alaa ali ibrahiima, innaka hamiidum majiid”.

“Allahumma baarik ‘alaa muhammaddiw wa’alaa ali muhammadin kamaa baarikta ‘alaa
ibraahiima wa ‘alaa ali ibraahiima, innaka hamiidum majiid”.
“Artinya : Ya Allah berilah shalawat atas Muhammad dan keluarga
Muhammad, sebagaimana Engkau bershalawat kepada Ibrahim dan keluarga
Ibrahim sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mulia.

Ya Allah berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana
Engkau memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim sesunguhnya Engkau
Maha Terpuji dan Mulia”.
146. Dapat juga diringkas sebagai berikut : “Allahumma shalli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa ali muhammad, wabaarik ‘alaa muhammadiw wa’alaa ali muhammadin kamaa shallaiyta wabaarikta ‘alaa ibraahiim wa’alaa ali ibraahiim, innaka hamiidum majiid”.
“Artinya : Ya Allah bershalawtlah kepada Muhammad dan keluarga
Muhammad sebagaimana engkau bershalwat dan memberkahi Ibrahim dan
keluarga Ibrahim sesungguhnya Engkau Terpuji dan Mulia”.
147. Kemudian memilih salah satu do’a yang disebutkan dalam kitab dan sunnah yang paling disenangi lalu berdo’a kepada Allah dengannya.


RAKAAT KETIGA DAN KEEMPAT

148. Kemudian takbir, dan hukumnya wajib. Dan sunnah bertakbir dalam keadaan duduk.

149. Kadang-kadang mengangkat kedua tangan.

150. Kemudian bangkit ke raka’at ketiga, ini adalah rukun seperti sebelumnya.

151. Seperti itu pula yang dilakukan bila ingin bangkit ke raka’at yang ke empat.

152. Akan tetapi sebelum bangkit berdiri, duduk sebentar diatas kaki yang kiri (duduk
iftirasy) sampai semua tulang menempati tempatnya.

153. Kemudian berdiri sambil bertumpu pada kedua tangan sebagaimana yang dilakukan ketika berdiri ke rakaat kedua.

154. Kemudian membaca pada raka’at ketiga dan keempat surat Al-Fatihah yang
merupakan satu kewajiban.

155. Setelah membaca Al-Fatihah, boleh sewaktu-waktu membaca bacaan ayat atau
lebih dari satu ayat.


QUNUT NAZILAH DAN TEMPATNYA

156. Disunatkan untuk qunut dan berdo’a untuk kaum muslimin karena adanya satu
musibah yang menimpa mereka.

157. Tempatnya adalah setelah mengucapkan : “Rabbana lakal hamdu”.

158. Tidak ada do’a qunut yang ditetapkan, tetapi cukup berdo’a dengan do’a yang sesuai dengan musibah yang sedang terjadi.

159. Mengangkat kedua tangan ketika berdo’a.

160. Mengeraskan do’a tersebut apabila sebagai imam.

161. Dan orang yang dibelakangnya mengaminkannya.

162. Apabila telah selesai membaca do’a qunut lalu bertakbir untuk sujud.


QUNUT WITIR, TEMPAT DAN LAFADZNYA

163. Adapun qunut di shalat witir disyari’atkan untuk dilakukan sewaktu-waktu.

164. Tempatnya sebelum ruku’, hal ini berbeda dengan qunut nazilah.

165. Mengucapkan do’a berikut :”Allahummah dinii fiiman hadayit, wa ‘aafiinii fiiman
‘aafayit, watawallanii fiiman tawallayit, wa baariklii fiimaa a’thayit, wa qinii syarra
maaqadhayit, fainnaka taqdhii walaa yuqdhaa ‘alayika wainnahu laayadzillu maw waalayit walaa ya’izzu man ‘aadayit, tabaarakta rabbanaa wata’alayit laa manjaa minka illaa ilayika”.
“Artinya : Ya Allah tunjukilah aku pada orang yang engkau tunjuki dan berilah
aku afiat pada orang yang Engkau beri afiat. Serahkanlah aku pada orang
yang berwali kepada-Mu, berilah aku berkah pada apa yang Engkau berikan
kepadaku, lindungilah aku dari keburukan yang Engkau tetapkan, karena
Engkau menetapkan, dan tidak ada yang menetapkan untukku. Dan
sesungguhnya tidak akan hina orang yang berwali kepada-Mu, dan tidak akan
mulia orang yang memusuhi-Mu, Engkau penuh berkah, Wahai Rabb kami
an kedudukan-Mu sangat tinggi, tidak ada tempat berlindung kecuali
epada-Mu”.
166. Do’a ini termasuk do’a yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperbolehkan karena tsabit dari para shahabat radiyallahu anhum.

167. Kemudian ruku’ dan bersujud dua kali seperti terdahulu.


TASYAHUD AKHIR DAN DUDUK TAWARUK

168. Kemudian duduk untuk tasyahud akhir, keduanya adalah wajib.

169. Melakukan pada tasyahud akhir apa yang dilakukan pada tasyahud awal.

170. Selain duduk di sini dengan cara tawaruk iaitu meletakan pangkal paha kiri ketanah dan mengeluarkan kedua kaki dari satu arah dan menjadikan kaki kiri kebawah betis kanan.

171. Menegakkan kaki kanan.

172. Kadang-kadang boleh juga dijulurkan.

173. Menutup lutut kiri dengan tangan kiri yang bertumpu padanya.


KEWAJIBAN SHALAWAT ATAS NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM DAN
BERLINDUNG DARI EMPAT PERKARA


174. Wajib pada tasyahud akhir bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana lafadz-lafadznya yang telah kami sebutkan pada tasyahud awal.

175. Kemudian berlindung kepada Allah dari empat perkara, dan mengucapkan :”
Allahumma inii a’uwdzubika min ‘adzaabi jahannam, wa min ‘adzaabil qabri wa min fitnatil mahyaa wal mamaati wa min tsarri fitnatil masyihid dajjal”.
“Artinya : Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari siksa Jahannam dan dari
siksa kubur, dan dari fitnah orang yang hidup dan orang yang mati serta dari
keburukan fitnah masih ad-dajjal”. (2)

BERDO’A SEBELUM SALAM

176. Kemudian berdo’a untuk dirinya dengan do’a yang nampak baginya dari do’a-do’a tsabit dalam kitab dan sunnah, dan do’a ini sangat banyak dan baik. Apabila dia tidak menghafal satupun dari do’a-do’a tersebut maka diperbolehkan berdo’a dengan apa yang mudah baginya dan bermanfaat bagi agama dan dunianya.


SALAM DAN MACAM-MACAMNYA

177. Memberi salam kearah kanan sampai terlihat putih pipinya yang kanan, hal ini adalah rukun.

178. Dan kearah kiri sampai terlihat putih pipinya yang kiri meskipun pada shalat jenazah.

179. Imam mengeraskan suaranya ketika salam kecuali pada shalat jenazah.

180. Macam-macam cara salam.
Pertama mengucapkan. “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuhu” ke arah
kanan dan mengucapkan. “Assalamu’alaikum warahmatullah” ke arah kiri.
Kedua : Seperti diatas tanpa (Wabarakatuh).
Ketiga mengucapkan.”Assalamu’alaikum warahmatullahi” ke arah kanan dan.
“Assalamu’alaikum” ke arah kiri.
Keempat : Memberi salam dengan satu kali kedepan dengan sedikit miring kearah
kanan.
PENUTUP

Saudaraku seagama.
Inilah yang terjangkau bagiku dalam meringkas sifat shalat nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai satu usaha untuk mendekatkannya kepadamu sehingga engkau mendapatkan satu kejelasan, tergambar dalam benakmu, seakan-akan engkau melihatnya dengan kedua belah matamu. Apabila engkau melaksanakan shalatmu sebagaimana yang aku sifatkan kepadamu tentang shalat nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku mengharapkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menerima shalatmu, karena engkau telah melaksanakan satu perbuatan yang sesuai dengan perkataan nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”.
Setelah itu satu hal jangan engkau lupakan, agar engkau menghadirkan hatimu dan khusyu’ ketika melakukan shalat, karena itu tujuan utama berdirinya sang hamba di hadapan Allah Subahanahu wa Ta’ala, dan sesuai dengan kemampuan yang ada padamu dari apa yang aku sifatkan tentang kekhusu’an serta mengikuti cara shalat nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga engkau mendapatkan hasil diharapkan sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan firman-Nya.
“Artinya : Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar”.
Akhirnya. Aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menerima shalat kita dan amal kita secara keseluruhan, dan menyimpan pahala shalat kita sampai kita bertemu dengan-Nya. “Di hari tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak kecuali yang datang dengan hati yang suci”. Dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
.......................................................................................................................
Fote Note.
1.Ini adalah yang disyariatkan sesudah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan tsabit dalilnya diriwayatkan Ibnu Mas’ud, Aisyah, Ibnu Zubair dan Ibnu Abas Radhiyallahu ‘anhu, barang siapa yang ingin penjelasan lebih lengkap lihat kitab Sifat Shalat.
2.Fitnah orang hidup adalah segala yang menimpa manusia dalam hidupnya seperti fitnah dunia dan syahwat, fitnah orang yang mati adalah fitnah kubur dan pertanyaan dua malaikat, dan fitnah masih ad-dajjal apa yang nampak padanya dari kejadian-kejadian yang luar biasa yang banyak menyesatkan manusia dan menyebabkan mereka mengikuti da’wahnya tentang ketuhanannya.


Disalin dari buku Ringkasan Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diterbitkan oleh Lembaga Ilmiah Masjid
At-Taqwa Rawalumbu Bekasi Timur. Penterjemah : Amiruddin Abd. Djalil dan M.Dahri.

Ringkasan SIFAT SHALAT NABI Shallallahu 'alaihi wa sallam


Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaani
 
Perhatian : Tulisan ini hanya ringkasan, bagi pembaca yang ingin mengetahui dalil-dalilnya dipersilahkan merujuk buku aslinya iaitu : "Sifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam", oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaani, dengan edisi Indonesia diterbitkan oleh Gema Risalah Press - Bandung.


I. MENGADAP KA'BAH

1. Apabila anda - wahai Muslim - ingin menunaikan shalat, menghadaplah ke Ka'bah
(qiblat) dimanapun anda berada, baik shalat fardlu maupun shalat sunnah, sebab ini
termasuk diantara rukun-rukun shalat, dimana shalat tidak sah tanpa rukun ini.

2. Ketentuan menghadap qiblat ini tidak menjadi keharusan lagi bagi 'seorang yang
sedang berperang' pada pelaksanaan shalat khauf saat perang berkecamuk dahsyat.
Dan tidak menjadi keharusan lagi bagi orang yang tidak sanggup seperti orang
yang sakit atau orang yang dalam perahu, kendaraan atau pesawat bila ia
khawatir luputnya waktu.
Juga tidak menjadi keharusan lagi bagi orang yang shalat sunnah atau witir
sedang ia menunggangi hewan atau kendaraan lainnya. Tapi dianjurkan
kepadanya - jika hal ini memungkinkan - supaya menghadap ke qiblat pada saat
takbiratul ikhram, kemudian setelah itu menghadap ke arah manapun
kendaraannya menghadap.
3. Wajib bagi yang melihat Ka'bah untuk menghadap langsung ke porosnya, bagi
yang tidak melihatnya maka ia menghadap ke arah Ka'bah.


HUKUM SHALAT TANPA MENGHADAP KA'BAH KARENA KELIRU

4. Apabila shalat tanpa menghadap qiblat karena mendung atau ada penyebab
lainnya sesudah melakukan ijtihad dan pilihan, maka shalatnya sah dan tidak perlu
diulangi.

5. Apabila datang orang yang dipercaya saat dia shalat, lalu orang yang datang itu
memberitahukan kepadanya arah qiblat maka wajib baginya untuk segera menghadap
ke arah yang ditunjukkan, dan shalatnya sah.


2. BERDIRI

6. Wajib bagi yang melakukan shalat untuk berdiri, dan ini adalah rukun, kecuali bagi :
Orang yang shalat khauf saat perang berkecamuk dengan hebat, maka
dibolehkan baginya shalat diatas kendaraannya.
Orang yang sakit yang tidak mampu berdiri, maka boleh baginya shalat sambil
duduk dan bila tidak mampu diperkenankan sambil berbaring.
Orang yang shalat nafilah (sunnah) dibolehkan shalat di atas kendaraan atau
sambil duduk jika dia mau, adapun ruku' dan sujudnya cukup dengan isyarat
kepalanya, demikian pula orang yang sakit, dan ia menjadikan sujudnya lebih
rendah dari ruku'nya.
7. Tidak boleh bagi orang yang shalat sambil duduk meletakkan sesuatu yang agak
tinggi dihadapannya sebagai tempat sujud. Akan tetapi cukup menjadikan sujudnya
lebih rendah dari ruku'nya - seperti yang kami sebutkan tadi - apabila ia tidak mampu
meletakkan dahinya secara langsung ke bumi (lantai).


SHALAT DI KAPAL LAUT ATAU PESAWAT

8. Dibolehkan shalat fardlu di atas kapal laut demikian pula di pesawat.

9. Dibolehkan juga shalat di kapal laut atau pesawat sambil duduk bila khawatir akan
jatuh.

10. Boleh juga saat berdiri bertumpu (memegang) pada tiang atau tongkat karena
faktor ketuaan atau karena badan yang lemah.


SHALAT SAMBIL BERDIRI DAN DUDUK

11.
Dibolehkan shalat lail sambil berdiri atau sambil duduk meski tanpa udzur
(penyebab apapun), atau sambil melakukan keduanya.
Caranya ; ia shalat membaca
dalam keadaan duduk dan ketika menjelang ruku' ia berdiri lalu membaca ayat-ayat
yang masih tersisa dalam keadaan berdiri. Setelah itu ia ruku' lalu sujud. Kemudian ia
melakukan hal yang sama pada rakaat yang kedua.

12. Apabila shalat dalam keadaan duduk, maka ia duduk bersila atau duduk
dalam bentuk lain yang memungkinkan seseorang untuk beristirahat.


SHALAT SAMBIL MEMAKAI SANDAL

13. Boleh shalat tanpa memakai sandal dan boleh pula dengan memakai sandal.

14. Tapi yang lebih utama jika sekali waktu shalat sambil memakai sandal dan sekali
waktu tidak memakai sandal, sesuai yang lebih gampang dilakukan saat itu, tidak
membebani diri dengan harus memakainya dan tidak pula harus melepasnya. Bahkan
jika kebetulan telanjang kaki maka shalat dengan kondisi seperti itu, dan bila kebetulan
memakai sandal maka shalat sambil memakai sandal. Kecuali dalam kondisi tertentu
(terpaksa).

15. Jika kedua sandal dilepas maka tidak boleh diletakkan disamping kanan akan
tetapi diletakkan disamping kiri jika tidak ada disamping kirinya seseorang yang shalat,
jika ada maka hendaklah diletakkan didepan kakinya, hal yang demikianlah yang
sesuai dengan perintah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. (1)


SHALAT DI ATAS MIMBAR

16. Dibolehkan bagi imam untuk shalat di tempat yang tinggi seperti mimbar dengan
tujuan mengajar manusia. Imam berdiri diatas mimbar lalu takbir, kemudian membaca
dan ruku' setelah itu turun sambil mundur sehingga memungkinkan untuk sujud ke tanah
didepan mimbar, lalu kembali lagi keatas mimbar dan melakukan hal yang serupa di
rakaat berikutnya.


KEWAJIBAN SHALAT MENGHADAP PEMBATAS(sutrah) DAN MENDEKAT
KEPADANYA

17. Wajib shalat menghadap tabir pembatas, dan tiada bedanya baik di masjid
maupun selain masjid, di masjid yang besar atau yang kecil, berdasarkan kepada
keumuman sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Janganlah shalat melainkan menghadap pembatas, dan jangan
biarkan seseorang lewat dihadapanmu, apabila ia enggan maka
perangilah karena sesungguhnya ia bersama pendampingnya".
(Maksudnya syaitan).
18. Wajib mendekat ke pembatas karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan hal itu.

19. Jarak antara tempat sujud Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tembok yang
dihadapinya seukuran tempat lewat domba. maka barang siapa yang mengamalkan hal
itu berarti ia telah mengamalkan batas ukuran yang diwajibkan. (2)


KADAR KETINGGIAN PEMBATAS

20. Wajib pembatas dibuat agak tinggi dari tanah sekadar sejengkal atau dua jengkal
berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Jika seorang diantara kamu meletakkan dihadapannya sesuatu
setinggi ekor pelana (3) (sebagai pembatas) maka shalatlah
(menghadapnya), dan jangan ia pedulikan orang yang lewat dibalik
pembatas".
21. Dan ia menghadap ke pembatas secara langsung, karena hal itu yang termuat
dalam konteks hadits tentang perintah untuk shalat menghadap ke pembatas. Adapun
bergeser dari posisi pembatas ke kanan atau ke kiri sehingga membuat tidak lurus
menghadap langsung ke pembatas maka hal ini tidak sah.

22. Boleh shalat menghadap tongkat yang ditancapkan ke tanah atau yang
sepertinya, boleh pula menghadap pohon, tiang, atau isteri yang berbaring di
pembaringan sambil berselimut, boleh pula menghadap hewan meskipun unta.


HARAM SHALAT MENGHADAP KE KUBUR.

23. Tidak boleh shalat menghadap ke kubur, larangan ini mutlak, baik kubur para nabi
maupun selain nabi.


HARAM LEWAT DIDEPAN ORANG YANG SHALAT TERMASUK DI MASJID
HARAM.

24. Tidak boleh lewat didepan orang yang sedang shalat jika didepannya ada
pembatas, dalam hal ini tidak ada perbedaan antara masjid Haram atau masjid-masjid
lain, semua sama dalam hal larangan berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam.
"Artinya : Andaikan orang yang lewat didepan orang yang shalat
mengetahui akibat perbuatannya maka untuk berdiri selama 40, lebih
baik baginya dari pada lewat di depan orang yang sedang shalat".
Maksudnya lewat di antara shalat dengan tempat sujudnya. (4)

KEWAJIBAN ORANG YANG SHALAT MENCEGAH ORANG LEWAT
DIDEPANNYA MESKIPUN DI MASJID HARAM

25. Tidak boleh bagi orang yang shalat menghadap pembatas membiarkan
seseorang lewat didepannya berdasarkan hadits yang telah lalu.
"Artinya : Dan janganlah membiarkan seseorang lewat didepanmu...."
Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Jika seseorang diantara kamu shalat menghadap sesuatu
pembatas yang menghalanginya dari orang lain, lalu ada yang ingin lewat
didepannya, maka hendaklah ia mendorong leher orang yang ingin lewat
itu semampunya (dalam riwayat lain : cegahlah dua kali) jika ia enggan
maka perangilah karena ia adalah syaithan".

BERJALAN KEDEPAN UNTUK MENCEGAH ORANG LEWAT

26. Boleh maju selangkah atau lebih untuk mencegah yang bukan mukallaf yang lewat
di depannya seperti hewan atau anak kecil agar tidak lewat di depannya.


HAL-HAL YANG MEMUTUSKAN SHALAT

27. Di antara fungsi pembatas dalam shalat adalah menjaga orang yang shalat
menghadapnya dari kerusakan shalat disebabkan yang lewat di depannya, berbeda
dengan yang tidak memakai pembatas, shalatnya bisa terputus bila lewat didepannya
wanita dewasa, keledai, atau anjing hitam.
........................................................................................................................
Fote Note.
1.Saya (Al-Albaani) berkata : disini terdapat isyarat yang halus untuk tidak meletakkan sandal didepan. Adab inilah yang banyak disepelekan oleh kebanyakan orang yang shalat, sehingga Anda menyaksikan sendiri diantara mereka yang shalat menghadap ke sandal-sandal.
2.Saya (Al-Albaani) berkata : dari sini kita tahu bahwa apa yang dilakukan oleh banyak orang di setiap masjid seperti yang saya saksikan di Suriah dan negeri-negeri lain iaitu shalat di tengah masjid jauh dari dinding atau tiang adalah kelalaian terhadap perintah dan perbuatan Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam.
3.Iaitu kayu yang dipasang di bagian belakang pelana angkutan dipunggung unta. Di dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa : mengaris diatas tanah tidak cukup untuk dijadikan sebagai garis pembatas, karena hadits yang teriwayatkan tentang itu lemah.
4.Adapun hadits yang disebutkan dalam kitab "Haasyiatul Mathaaf" bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat tanpa menghadap pembatas dan orang-orang lewat didepannya, adalah hadits yang tidak shahih, lagi pula tidak ada keterangan di hadits tersebut bahwa mereka lewat diantara beliau dengan tempat sujudnya.
.............................................................................................................................

3. NIAT

28. Bagi yang akan shalat harus meniatkan shalat yang akan dilaksanakannya serta
menentukan niat dengan hatinya, seperti fardhu zhuhur dan ashar, atau sunnat zhuhur
dan ashar. Niat ini merupakan syarat atau rukun shalat. Adapun melafazhkan niat
dengan lisan maka ini merupakan bid'ah, menyalahi sunnah, dan tidak ada
seorangpun yang menfatwakan hal itu di antara para ulama yang dotokohkan oleh
orang-orang yang suka taqlid (fanatik buta).

4. TAKBIR

29. Kemudian memulai shalat dengan membaca. "Allahu Akbar" (Artinya : Allah
Maha Besar). Takbir ini merupakan rukun, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam.
"Artinya : Pembuka Shalat adalah bersuci, pengharamannya adalah
takbir, sedangkan penghalalannya adalah salam" . (1)
30. Tidak boleh mengeraskan suara saat takbir disemua shalat, kecuali jika menjadi
imam.

31. Boleh bagi muadzin menyampaikan (memperdengarkan) takbir imam kepada
jama'ah jika keadaan menghendaki, seperti jika imam sakit, suaranya lemah atau
karena banyaknya orang yang shalat.

32. Ma'mum tidak boleh takbir kecuali jika imam telah selesai takbir.


MENGANGKAT KEDUA TANGAN DAN CARA-CARANYA.

33. Mengangkat kedua tangan, boleh bersamaan dengan takbir, atau sebelumnya,
bahkan boleh sesudah takbir. Kesemuanya ini ada landasannya yang sah dalam
sunah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.


34. Mengangkat tangan dengan jari-jari terbuka.

35. Mensejajarkan kedua telapak tangan dengan pundak/bahu, sewaktu-waktu
mengangkat lebih tinggi lagi sampai sejajar dengan ujung telinga. (2)


MELETAKKAN KEDUA TANGAN DAN CARA-CARANYA

36.
Kemudian meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri sesudah takbir, ini
merupakan sunnah (ajaran) para nabi-nabi Alaihimus Shallatu was sallam dan
diperintahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabat beliau,
sehingga tidak boleh menjulurkannya.

37. Meletakkan tangan kanan diatas punggung tangan kiri dan diatas pergelangan
dan lengan.

38. Kadang-kadang menggenggam tangan kiri dengan tangan kanan. (3)


TEMPAT MELETAKKAN TANGAN

39. Keduanya diletakkan diatas dada saja. Laki-laki dan perempuan dalam hal
tersebut sama. (4).

40. Tidak meletakkan tangan kanan diatas pinggang.


KHUSU' DAN MELIHAT KE TEMPAT SUJUD

41.
Hendaklah berlaku khusu' dalam shalat dan menjauhi segala sesuatu yang
dapat melalaikan dari khusu' seperti perhiasan dan lukisan, janganlah shalat saat
berhadapan dengan hidangan yang menarik, demikian juga saat menahan berak dan
kencing.


42. Memandang ke tempat sujud saat berdiri.

43. Tidak menoleh kekanan dan kekiri, karena menoleh adalah curian yang
dilakukan oleh syaitan dari shalat seorang hamba.

44. Tidak boleh mengarahkan pandangan ke langit (ke atas).


DO'A IFTITAAH (PEMBUKAAN)

45.
Kemudian membuka bacaan dengan sebagian do'a-do'a yang sah dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang jumlahnya banyak, yang masyhur diantaranya ialah :

"Subhaanaka Allahumma wa bihamdika, wa tabaarakasmuka, wa ta'alaa jadduka,
walaa ilaha ghaiyruka".
"Artinya : Maha Suci Engkau ya Allah, segala puji hanya bagi-Mu,
kedudukan-Mu sangat agung, dan tidak ada sembahan yang hak selain
Engkau".
Perintah ber-istiftah telah sah dari Nabi, maka sepatutnya diperhatikan untuk
diamalkan.
(5)


5. QIRAAH (BACAAN)

46. Kemudian wajib berlindung kepada Allah Ta'ala, dan bagi yang
meninggalkannya mendapat dosa.


47. Termasuk sunnah jika sewaktu-waktu membaca.

"A'udzu billahi minasy syaiythaanirrajiim, min hamazihi, wa nafakhihi, wa nafasyihi"
"Artinya : Aku berlindung kepada Allah dari syithan yang terkutuk, dari
godaannya, dari was-wasnya, serta dari gangguannya".
48. Dan sewaktu-waktu membaca tambahan.

"A'udzu billahis samii-il a'liimi, minasy syaiythaani ......."
"Artinya : Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui, dari syaitan......."
49. Kemudian membaca basmalah (bismillah) disemua shalat secara sirr (tidak
diperdengarkan).


MEMBACA AL-FAATIHAH

50.
Kemudian membaca
surat Al-Fatihah sepenuhnya termasuk bismillah, ini adalah
rukun shalat dimana shalat tak sah jika tidak membaca Al-Fatihah, sehingga wajib
bagi orang-orang 'Ajm (non Arab) untuk menghafalnya.

51. Bagi yang tak mampu menghafalnya boleh membaca.

"Subhaanallah, wal hamdulillah walaa ilaha illallah, walaa hauwla wala quwwata illaa
billah".
"Artinya : Maha suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada sembahan
yang haq selain Allah, serta tidak ada daya dan kekuatan melainkan
karena Allah".
52. Didalam membaca Al-Fatihah, disunnahkan berhenti pada setiap ayat, dengan
cara membaca. (Bismillahir-rahmanir-rahiim) lalu berhenti, kemudian membaca.
(Alhamdulillahir-rabbil 'aalamiin) lalu berhenti, kemudian membaca.
(Ar-rahmanir-rahiim) lalu berhenti, kemudian membaca. (Maaliki yauwmiddiin) lalu
berhenti, dan demikian seterusnya.
Demikianlah cara membaca Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam seluruhnya. Beliau berhenti diakhir setiap ayat dan tidak
menyambungnya dengan ayat sesudahnya meskipun maknanya berkaitan.


53. Boleh membaca. (Maaliki) dengan panjang, dan boleh pula. (Maliki) dengan
pendek.



BACAAN MA'MUM

54.
Wajib bagi ma'mum membaca Al-Fatihah dibelakang imam yang membaca sirr
(tidak terdengar) atau saat imam membaca keras tapi ma'mum tidak mendengar
bacaan imam, demikian pula ma'mum membaca Al-Fatihah bila imam berhenti
sebentar untuk memberi kesempatan bagi ma'mum yang membacanya.
Meskipun
kami menganggap bahwa berhentinya imam ditempat ini tidak tsabit dari sunnah. (6)


BACAAN SESUDAH AL-FATIHAH

55.
Disunnahkan sesudah membaca Al-Fatihah, membaca
surat yang lain atau
beberapa ayat pada dua raka'at yang pertama. Hal ini berlaku pula pada shalat
jenazah.


56. Kadang-kadang bacaan sesudah Al-Fatihah dipanjangkan kadang pula
diringkas karena ada faktor-faktor tertentu seperti safar (bepergian), batuk, sakit, atau
karena tangisan anak kecil.

57. Panjang pendeknya bacaan berbeda-beda sesuai dengan shalat yang
dilaksanakan. Bacaan pada shalat subuh lebih panjang dari pada bacaan shalat
fardhu yang lain, setelah itu bacaan pada shalat dzuhur, pada shalat ashar, lalu
bacaan pada shalat isya, sedangkan bacaan pada shalat maghrib umumnya
diperpendek.

58. Adapun bacaan pada shalat lail lebih panjang dari semua itu.

59. Sunnah membaca lebih panjang pada rakaat pertama dari rakaat yang kedua.

60. Memendekkan dua rakaat terakhir kira-kira setengah dari dua rakaat yang
pertama. (7)

61. Membaca Al-Fatihah pada semua rakaat.

62. Disunnahkan pula menambahkan bacaan
surat Al-Fatihah dengan surat-surat
lain pada dua rakaat yang terkahir.

63. Tidak boleh imam memanjangkan bacaan melebihi dari apa yang disebutkan
didalam sunnah karena yang demikian bisa-bisa memberatkan ma'mum yang tidak
mampu seperti orang tua, orang sakit, wanita yang mempunyai anak kecil dan orang
yang mempunyai keperluan.


MENGERASKAN DAN MENGECILKAN BACAAN

64.
Bacaan dikeraskan pada shalat shubuh, jum'at, dua shalat ied, shalat istisqa,
khusuf dan dua rakaat pertama dari shalat maghrib dan isya. Dan dikecilkan (tidak
dikeraskan) pada shalat dzuhur, ashar, rakaat ketiga dari shalat maghrib, serta dua
rakaat terakhir dari shalat isya.

65. Boleh bagi imam memperdengarkan bacaan ayat pada shalat-shalat sir (yang
tidak dikeraskan).

66. Adapun witir dan shalat lail bacaannya kadang tidak dikeraskan dan kadang
dikeraskan.


MEMBACA AL-QUR'AN DENGAN TARTIL

67.
Sunnah membaca Al-Qur'an secara tartil (sesuai dengan hukum tajwid) tidak
terlalu dipanjangkan dan tidak pula terburu-buru, bahkan dibaca secara jelas huruf
perhuruf.
Sunnah pula menghiasi Al-Qur'an dengan suara serta melagukannya sesuai
batas-batas hukum oleh ulama ilmu tajwid.
Tidak boleh melagukan Al-Qur'an seperti
perbuatan Ahli Bid'ah dan tidak boleh pula seperti nada-nada musik.


68. Disyari'atkan bagi ma'mum untuk membentulkan bacaan imam jika keliru.
..........................................................................................................................
Fote Note
1."Pengharaman" maksudnya : haramnya beberapa perbuatan yang diharamkan oleh Allah didalam shalat. "Penghalal" maksudnya : halalnya beberapa perbuatan yang dihalalkan oleh Allah di luar shalat.
2.Saya (Al-Albaani) berkata : adapun menyentuh kedua anak telinga dengan ibu jari, maka perbuatan ini tidak ada landasannya di dalam sunnah Nabi, bahkan hal ini hanya mendatangkan was-was.
3.Adapun yang dianggap baik oleh sebagian orang-orang terbelakang, iaitu menggabungkan antara meletakkan dan menggemgam dalam waktu yang bersamaan, maka amalan itu tidak ada dasarnya
4.Saya (Al-Albaani) berkata : amalan meletakkan kedua tangan selain di dada hanya ada dua kemungkinan ; dalilnya lemah, atau tidak ada dalilnya sama sekali.
5.Barang siapa yang ingin membaca do'a-do'a istiftah yang lain, silahkan merujuk kitab : "Sifat Shalat Nabi".
6.Saya telah sebutkan landasan orang yang berpendapat demikian, dan alasan yang dijadikan landasan untuk menolaknya di kitab Silsilah Hadits Dho'if No. 546 dan 547.
7.Perincian tentang ini, lihat Sifat Shalat hal 106-125 cet. ke 6 dan ke 7
..............................................................................................................................


6. RUKU'

69. Bila selesai membaca, maka diam sebentar menarik nafas agar bisa teratur

70. Kemudian mengangkat kedua tangan seperti yang telah dijelaskan terdahulu pada
takbiratul ihram.

71. Dan takbir, hukumnya adalah wajib.

72. Lalu ruku' sedapatnya agar persendian bisa menempati posisinya dan setiap anggota
badan mengambil tempatnya. Adapun ruku' adalah rukun.


CARA RUKU'

73. Meletakkan kedua tangan diatas lutut dengan sebaik-baiknya, lalu merenggangkan jari-jari seolah-olah menggemgam kedua lutut. Semua itu hukumnya wajib.

74. Mensejajarkan punggung dan meluruskannya, sehingga jika kita menaruh air
dipunggungnya tidak akan tumpah. Hal ini wajib.

75. Tidak merendahkan kepala dan tidak pula mengangkatnya tapi disejajarkan dengan punggung.

76. Merenggangkan kedua siku dari badan.

77. Mengucapkan saat ruku'. "Subhaana rabbiiyal 'adhiim".
"Artinya : Segala puji bagi Allah yang Maha Agung". tiga kali atau lebih. (1)

MENYAMAKAN PANJANGNYA RUKUN

78. Termasuk sunnah untuk menyamakan panjangnya rukun, diusahakan antara ruku'
berdiri dan sesudah ruku', dan duduk diantara dua sujud hampir sama.

79. Tidak boleh membaca Al-Qur'an saat ruku' dan sujud.


I'TIDAL SESUDAH RUKU'

80. Mengangkat punggung dari ruku' dan ini adalah rukun.

81. Dan saat i'tidal mengucapkan . "Syami'allahu-liman hamidah".
"Artinya : Semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya". adapun
hukumnya wajib.
82. Mengangkat kedua tangan saat i'tidal seperti dijelaskan terdahulu.

83. Lalu berdiri dengan tegak dan tenang sampai seluruh tulang menempati posisinya. Ini
termasuk rukun.

84. Mengucapkan saat berdiri. "Rabbanaa wa lakal hamdu"
"Artinya : Ya tuhan kami bagi-Mu-lah segala puji". (2) Hukumnya adalah wajib
agi setiap orang yang shalat meskipun sebagai imam, karena ini adalah wirid
aat berdiri, sedang tasmi (ucapana Sami'allahu liman hamidah) adalah wirid
'tidal (saat bangkit dari ruku' sampai tegak).
85. Menyamakan panjang antara rukun ini dengan ruku' seperti dijelaskan terdahulu.


7. SUJUD

86. Lalu mengucapkan "Allahu Akbar" dan ini wajib.

87. Kadang-kadang sambil mengangkat kedua tangan.


TURUN DENGAN KEDUA TANGAN.

88. Lalu turun untuk sujud dengan kedua tangan diletakkan terlebih dahulu sebelum kedua lutut, demikianlah yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam serta tsabit dari perbuatan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk menyerupai cara berlututnya unta yang turun dengan kedua lututnya yang terdapat di kaki depan.

89. Apabila sujud -dan ini adalah rukun- bertumpu pada kedua telapak tangan serta
melebarkannya.

90. Merapatkan jari jemari.

91. Lalu menghadapkan ke kiblat.

92. Merapatkan kedua tangan sejajar dengan bahu.

93. Kadang-kadang meletakkan keduanya sejajar dengan telinga.

94. Mengangkat kedua lengan dari lantai dan tidak meletakkannya seperti cara anjing.
Hukumnya adalah wajib.

95. Menempelkan hidung dan dahi ke lantai, ini termasuk rukun.

96. Menempelkan kedua lutut ke lantai.

97. Demikian pula ujung-ujung jari kaki.

98. Menegakkan kedua kaki, dan semua ini adalah wajib.

99. Menghadapkan ujung-ujung jari ke qiblat.

100. Meletakkan / merapatkan kedua mata kaki.


BERLAKU TEGAK KETIKA SUJUD

101. Wajib berlaku tegak ketika sujud, iaitu tertumpu dengan seimbang pada semua
anggota sujud yang terdiri dari : Dahi termasuk hidung, dua telapak tangan, dua lutut dan ujung-ujung jari kedua kaki.

102. Barangsiapa sujud seperti itu berarti telah thuma'ninah, sedangkan thuma'ninah
ketika sujud termasuk rukun juga.

103. Mengucapkan ketika sujud. "Subhaana rabbiyal 'alaa"
"Artinya : Maha Suci Rabbku yang Maha Tinggi" diucapkan tiga kali atau lebih.
104. Disukai untuk memperbanyak do'a saat sujud, karena saat itu do'a banyak
dikabulkan.

105. Menjadikan sujud sama panjang dengan ruku' seperti diterangkan terdahulu.

106. Boleh sujud langsung di tanah, bolah pula dengan pengalas seperti kain, permadani, tikar dan sebagainya.

107. Tidak boleh membaca Al-Qur'an saat sujud.


IFTIRASY DAN IQ'A KETIKA DUDUK ANTARA DUA SUJUD

108. Kemudian mengangkat kepala sambil takbir, dan hukumnya adalah wajib.

109. Kadang-kadang sambil mengangkat kedua tangan.

110. Lalu duduk dengan tenang sehingga semua tulang kembali ke tempatnya
masing-masing, dan ini adalah rukun.

111. Melipat kaki kiri dan mendudukinya. Hukumnya wajib.

112. Menegakkan kaki kanan (sifat duduk seperti No. 111 dan 112 ini disebut Iftirasy).

113. Menghadapkan jari-jari kaki kekiblat.

114. Boleh iq'a sewaktu-waktu, iaitu duduk diatas kedua tumit.

115. Mengucapkan pada waktu duduk. "Allahummagfirlii, warhamnii' wajburnii', warfa'nii', wa 'aafinii, warjuqnii".
"Artinya : Ya Allah ampunilah aku, syangilah aku, tutuplah kekuranganku,
angkatlah derajatku, dan berilah aku afiat dan rezeki".
116. Dapat pula mengucapkan. "Rabbigfirlii, Rabbigfilii".
"Artinya : Ya Allah ampunilah aku, ampunilah aku".
117. Memperpanjang duduk sampai mendekati lama sujud.


SUJUD KEDUA

118. Kemudian takbir, dan hukumnya wajib.

119. Kadang-kadang mengangkat kedua tangannya dengan takbir ini.

120. Lalu sujud yang kedua, ini termasuk rukun juga.

121. Melakukan pada sujud ini apa-apa yang dilakukan pada sujud pertama.


DUDUK ISTIRAHAT

122. Setelah mengangkat kepala dari sujud kedua, dan ingin bangkit ke rakaat yang kedua wajib takbir.

123. Kadang-kadang sambil mengangkat kedua tangannya.

124. Duduk sebentar diatas kaki kiri seperti duduk iftirasy sebelum bangkit berdiri,
sekadar selurus tulang menempati tempatnya.


RAKAAT KEDUA

125. Kemudian bangkit raka'at kedua -ini termasuk rukun- sambil menekan kelantai
dengan kedua tangan yang terkepal seperti tukang tepung mengepal kedua tangannya.

126. Melakukan pada raka'at yang kedua seperti apa yang dilakukan pada rakaat pertama.

127. Akan tetapi tidak membaca pada raka'at yang kedua ini do'a iftitah.

128. Memendekkan raka'at kedua dari raka'at yang pertama.


DUDUK TASYAHUD

129. Setelah selesai dari raka'at kedua duduk untuk tasyahud, hukumnya wajib.

130. Duduk iftirasy seperti diterangkan pada duduk diantara dua sujud.

131. Tapi tidak boleh iq'a ditempat ini.

132. Meletakkan tangan kanan sampai siku diatas paha dan lutut kanan, tidak diletakkan jauh darinya.

133. Membentangkan tangan kiri diatas paha dan lutut kiri.

134. Tidak boleh duduk sambil bertumpu pada tangan, khususnya tangan yang kiri.


MENGGERAKAN TELUNJUK DAN MEMANDANGNYA

135. Menggemgam jari-jari tangan kanan seluruhnya, dan sewaktu-waktu meletakkan ibu jari diatas jari tengah.

136. Kadang-kadang membuat lingkaran ibu jari dengan jari tengah.

137. Mengisyaratkan jari telunjuk ke qiblat.

138. Dan melihat pada telunjuk.

139. Menggerakan telunjuk sambil berdo'a dari awal tasyahud sampai akhir.

140. Tidak boleh mengisyaratkan dengan jari tangan kiri.

141. Melakukan semua ini disemua tasyahud.
.......................................................................................................................
Fote Note.
1.Masih ada dzikir-dzikir yang lain untuk dibaca pada ruku' ini, ada dzikir yang panjang, ada yang sedang, dan ada yang pendek, lihat kembali kitab Sifat Shalat nabi.
2.Masih ada dzikir-dzikir yang lain untuk dibaca pada ruku' ini, ada dzikir yang panjang, ada yang sedang, dan ada yang pendek, lihat kembali kitab Sifat Shalat Nabi,


..........................................................................................................................



UCAPAN TASYAHUD DAN DO’A SESUDAHNYA

142. Tasyahud adalah wajib, jika lupa harus sujud sahwi.

143. Membaca tasyahud dengan sir (tidak dikeraskan).

144. Dan lafadznya : “At-tahiyyaatu lillah washalawaatu wat-thayyibat, assalamu ‘alan -nabiyyi warrahmatullahi wabarakaatuh, assalaamu ‘alaiynaa wa’alaa ‘ibaadil-llahis-shaalihiin, asyhadu alaa ilaaha illallah, asyhadu anna muhamaddan‘abduhu warasuuluh”.
“Artinya : Segala penghormatan bagi Allah, shalawat dan kebaikan serta
keselamatan atas Nabi (1) dan rahmat Allah serta berkat-Nya. Keselamatan
atas kita dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada
sembahan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad hamba dan
asul-Nya”.
145. Sesudah itu bershalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan mengucakan : “Allahumma shalli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa ali muhammad,
kamaa shallaiyta ‘alaa ibrahiima wa ‘alaa ali ibrahiima, innaka hamiidum majiid”.

“Allahumma baarik ‘alaa muhammaddiw wa’alaa ali muhammadin kamaa baarikta ‘alaa
ibraahiima wa ‘alaa ali ibraahiima, innaka hamiidum majiid”.
“Artinya : Ya Allah berilah shalawat atas Muhammad dan keluarga
Muhammad, sebagaimana Engkau bershalawat kepada Ibrahim dan keluarga
Ibrahim sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mulia.

Ya Allah berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana
Engkau memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim sesunguhnya Engkau
Maha Terpuji dan Mulia”.
146. Dapat juga diringkas sebagai berikut : “Allahumma shalli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa ali muhammad, wabaarik ‘alaa muhammadiw wa’alaa ali muhammadin kamaa shallaiyta wabaarikta ‘alaa ibraahiim wa’alaa ali ibraahiim, innaka hamiidum majiid”.
“Artinya : Ya Allah bershalawtlah kepada Muhammad dan keluarga
Muhammad sebagaimana engkau bershalwat dan memberkahi Ibrahim dan
keluarga Ibrahim sesungguhnya Engkau Terpuji dan Mulia”.
147. Kemudian memilih salah satu do’a yang disebutkan dalam kitab dan sunnah yang paling disenangi lalu berdo’a kepada Allah dengannya.


RAKAAT KETIGA DAN KEEMPAT

148. Kemudian takbir, dan hukumnya wajib. Dan sunnah bertakbir dalam keadaan duduk.

149. Kadang-kadang mengangkat kedua tangan.

150. Kemudian bangkit ke raka’at ketiga, ini adalah rukun seperti sebelumnya.

151. Seperti itu pula yang dilakukan bila ingin bangkit ke raka’at yang ke empat.

152. Akan tetapi sebelum bangkit berdiri, duduk sebentar diatas kaki yang kiri (duduk
iftirasy) sampai semua tulang menempati tempatnya.

153. Kemudian berdiri sambil bertumpu pada kedua tangan sebagaimana yang dilakukan ketika berdiri ke rakaat kedua.

154. Kemudian membaca pada raka’at ketiga dan keempat surat Al-Fatihah yang
merupakan satu kewajiban.

155. Setelah membaca Al-Fatihah, boleh sewaktu-waktu membaca bacaan ayat atau
lebih dari satu ayat.


QUNUT NAZILAH DAN TEMPATNYA

156. Disunatkan untuk qunut dan berdo’a untuk kaum muslimin karena adanya satu
musibah yang menimpa mereka.

157. Tempatnya adalah setelah mengucapkan : “Rabbana lakal hamdu”.

158. Tidak ada do’a qunut yang ditetapkan, tetapi cukup berdo’a dengan do’a yang sesuai dengan musibah yang sedang terjadi.

159. Mengangkat kedua tangan ketika berdo’a.

160. Mengeraskan do’a tersebut apabila sebagai imam.

161. Dan orang yang dibelakangnya mengaminkannya.

162. Apabila telah selesai membaca do’a qunut lalu bertakbir untuk sujud.


QUNUT WITIR, TEMPAT DAN LAFADZNYA

163. Adapun qunut di shalat witir disyari’atkan untuk dilakukan sewaktu-waktu.

164. Tempatnya sebelum ruku’, hal ini berbeda dengan qunut nazilah.

165. Mengucapkan do’a berikut :”Allahummah dinii fiiman hadayit, wa ‘aafiinii fiiman
‘aafayit, watawallanii fiiman tawallayit, wa baariklii fiimaa a’thayit, wa qinii syarra
maaqadhayit, fainnaka taqdhii walaa yuqdhaa ‘alayika wainnahu laayadzillu maw waalayit walaa ya’izzu man ‘aadayit, tabaarakta rabbanaa wata’alayit laa manjaa minka illaa ilayika”.
“Artinya : Ya Allah tunjukilah aku pada orang yang engkau tunjuki dan berilah
aku afiat pada orang yang Engkau beri afiat. Serahkanlah aku pada orang
yang berwali kepada-Mu, berilah aku berkah pada apa yang Engkau berikan
kepadaku, lindungilah aku dari keburukan yang Engkau tetapkan, karena
Engkau menetapkan, dan tidak ada yang menetapkan untukku. Dan
sesungguhnya tidak akan hina orang yang berwali kepada-Mu, dan tidak akan
mulia orang yang memusuhi-Mu, Engkau penuh berkah, Wahai Rabb kami
an kedudukan-Mu sangat tinggi, tidak ada tempat berlindung kecuali
epada-Mu”.
166. Do’a ini termasuk do’a yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperbolehkan karena tsabit dari para shahabat radiyallahu anhum.

167. Kemudian ruku’ dan bersujud dua kali seperti terdahulu.


TASYAHUD AKHIR DAN DUDUK TAWARUK

168. Kemudian duduk untuk tasyahud akhir, keduanya adalah wajib.

169. Melakukan pada tasyahud akhir apa yang dilakukan pada tasyahud awal.

170. Selain duduk di sini dengan cara tawaruk iaitu meletakan pangkal paha kiri ketanah dan mengeluarkan kedua kaki dari satu arah dan menjadikan kaki kiri kebawah betis kanan.

171. Menegakkan kaki kanan.

172. Kadang-kadang boleh juga dijulurkan.

173. Menutup lutut kiri dengan tangan kiri yang bertumpu padanya.


KEWAJIBAN SHALAWAT ATAS NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM DAN
BERLINDUNG DARI EMPAT PERKARA


174. Wajib pada tasyahud akhir bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana lafadz-lafadznya yang telah kami sebutkan pada tasyahud awal.

175. Kemudian berlindung kepada Allah dari empat perkara, dan mengucapkan :”
Allahumma inii a’uwdzubika min ‘adzaabi jahannam, wa min ‘adzaabil qabri wa min fitnatil mahyaa wal mamaati wa min tsarri fitnatil masyihid dajjal”.
“Artinya : Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari siksa Jahannam dan dari
siksa kubur, dan dari fitnah orang yang hidup dan orang yang mati serta dari
keburukan fitnah masih ad-dajjal”. (2)

BERDO’A SEBELUM SALAM

176. Kemudian berdo’a untuk dirinya dengan do’a yang nampak baginya dari do’a-do’a tsabit dalam kitab dan sunnah, dan do’a ini sangat banyak dan baik. Apabila dia tidak menghafal satupun dari do’a-do’a tersebut maka diperbolehkan berdo’a dengan apa yang mudah baginya dan bermanfaat bagi agama dan dunianya.


SALAM DAN MACAM-MACAMNYA

177. Memberi salam kearah kanan sampai terlihat putih pipinya yang kanan, hal ini adalah rukun.

178. Dan kearah kiri sampai terlihat putih pipinya yang kiri meskipun pada shalat jenazah.

179. Imam mengeraskan suaranya ketika salam kecuali pada shalat jenazah.

180. Macam-macam cara salam.
Pertama mengucapkan. “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuhu” ke arah
kanan dan mengucapkan. “Assalamu’alaikum warahmatullah” ke arah kiri.
Kedua : Seperti diatas tanpa (Wabarakatuh).
Ketiga mengucapkan.”Assalamu’alaikum warahmatullahi” ke arah kanan dan.
“Assalamu’alaikum” ke arah kiri.
Keempat : Memberi salam dengan satu kali kedepan dengan sedikit miring kearah
kanan.
PENUTUP

Saudaraku seagama.
Inilah yang terjangkau bagiku dalam meringkas sifat shalat nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai satu usaha untuk mendekatkannya kepadamu sehingga engkau mendapatkan satu kejelasan, tergambar dalam benakmu, seakan-akan engkau melihatnya dengan kedua belah matamu. Apabila engkau melaksanakan shalatmu sebagaimana yang aku sifatkan kepadamu tentang shalat nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku mengharapkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menerima shalatmu, karena engkau telah melaksanakan satu perbuatan yang sesuai dengan perkataan nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”.
Setelah itu satu hal jangan engkau lupakan, agar engkau menghadirkan hatimu dan khusyu’ ketika melakukan shalat, karena itu tujuan utama berdirinya sang hamba di hadapan Allah Subahanahu wa Ta’ala, dan sesuai dengan kemampuan yang ada padamu dari apa yang aku sifatkan tentang kekhusu’an serta mengikuti cara shalat nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga engkau mendapatkan hasil diharapkan sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan firman-Nya.
“Artinya : Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar”.
Akhirnya. Aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menerima shalat kita dan amal kita secara keseluruhan, dan menyimpan pahala shalat kita sampai kita bertemu dengan-Nya. “Di hari tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak kecuali yang datang dengan hati yang suci”. Dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
.......................................................................................................................
Fote Note.
1.Ini adalah yang disyariatkan sesudah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan tsabit dalilnya diriwayatkan Ibnu Mas’ud, Aisyah, Ibnu Zubair dan Ibnu Abas Radhiyallahu ‘anhu, barang siapa yang ingin penjelasan lebih lengkap lihat kitab Sifat Shalat.
2.Fitnah orang hidup adalah segala yang menimpa manusia dalam hidupnya seperti fitnah dunia dan syahwat, fitnah orang yang mati adalah fitnah kubur dan pertanyaan dua malaikat, dan fitnah masih ad-dajjal apa yang nampak padanya dari kejadian-kejadian yang luar biasa yang banyak menyesatkan manusia dan menyebabkan mereka mengikuti da’wahnya tentang ketuhanannya.


Disalin dari buku Ringkasan Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diterbitkan oleh Lembaga Ilmiah Masjid
At-Taqwa Rawalumbu Bekasi Timur. Penterjemah : Amiruddin Abd. Djalil dan M.Dahri.