Bismillah,
Sesungguhnya sebagian aqidah ummat Islam diambil dari hadits
ahad yang shohih, aqidah tersebut antara lain :
- Keyakinan adanya pertanyaan
malaikat Munkar dan Nakir didalam kubur.
- Keyakinan bahwa para pelaku dosa besar yang bertauhid tidak kekal di dalam neraka.
- Keyakinan akan turunnya Isa di akhir zaman.
- Keyakinan akan fitnah Dajjal di akhir zaman.
- Keyakinan atas syafa’at Nabi yang terbesar di padang Mahsyar.
- Keyakinan atas syafa’at Nabi untuk para pelaku dosa besar dari ummatnya.
- Keyakinan terhadap 10 orang shahabat yang dijamin masuk surga.
- Keyakinan akan masuknya tujuh puluh ribu dari Ummat Islam ke Surga tanpa Hisab.
- Dan lain-lain.
- Keyakinan bahwa para pelaku dosa besar yang bertauhid tidak kekal di dalam neraka.
- Keyakinan akan turunnya Isa di akhir zaman.
- Keyakinan akan fitnah Dajjal di akhir zaman.
- Keyakinan atas syafa’at Nabi yang terbesar di padang Mahsyar.
- Keyakinan atas syafa’at Nabi untuk para pelaku dosa besar dari ummatnya.
- Keyakinan terhadap 10 orang shahabat yang dijamin masuk surga.
- Keyakinan akan masuknya tujuh puluh ribu dari Ummat Islam ke Surga tanpa Hisab.
- Dan lain-lain.
Selain itu pada mushaf al
Qur’an (mushaf utsmani) sebetulnya ada juga ayat yang AHAD periwayatannya yaitu
QS at Taubah ayat terakhir. Sebagaimana Imam Bukhari menulis dalam
shahihnya sebuah riwayat yang panjang dari Zaid bin Tsabit yang diminta abu
bakar mengumpulkan al qur’an dst Zaid bin Tsabit berkata : “…. HINGGA AKU
DAPATI AKHIR SURAT AT TAUBAH PADA ABU KHUZAIMAH AL ANSHARI DAN AKU TIDAK
MENDAPATKAN ITU DARI SHAHABAT YANG LAIN, YAITU AYAT LAQAD JA’AKUM RASULUN
…dst”. (lihat al itqann fil ulumil qur’an bab tertib alqur’an dan
penghimpunannya)
Sebagian besar aqidah yang
disebutkan diatas (seperti Keyakinan adanya pertanyaan malaikat Munkar dan
Nakir didalam kubur dan seterusnya), terdapat dalam hadits ahad yang
shohih dan semua aqidah yang terdapat dalam hadits ahad yang shohih adalah
mutawatir ma’nawiy. Memang aqidah diatas tidak tersurat dalam rukun iman yang
enam, namun kesemuanya masuk kedalam butir rukun iman terhadap Rasulullah
shallallahu alaihi wa ala alihi wa salam, karena semua keyakinan diatas adalah
diajarkan dan diyakini oleh Rasulullah.
Misalnya keyakinan kita adanya alam barzakh, ini juga tidak
tersurat pada rukun iman yang enam, begitu pula keyakinan adanya surga dan
neraka juga tidak tersurat dalam rukun iman yang enam, namun termasuk dalam
butir rukun iman terhadap hari akhir.
Maka barangsiapa menolak mengimani aqidah- aqidah diatas
jelas telah merusak pondasi keimanan yang terdapat dalam rukun iman.
Selama ini banyak sekali kalangan yang menolak mengimani
aqidah- aqidah diatas dengan berbagai alasan yang canggih.
Berawal dari sosok Ibrahim bin Ismail bin Ulayyah (193 H)
manusia di zaman tabi’in yang pertama kali mengajarkan pada pengikutnya untuk
menolak seluruh hadits ahad sebagai sumber hukum Islam, sehingga ia menuai
kecaman keras dari Imam Asy Syafi’ie, bahkan Imam Asy Syafi’ie sampai berkata
tentang Ibrahim bin Ulayyah : “Dia orang yang sesat. Duduk dipintu As-Suwal
untuk menyesatkan manusia”. (Lihat Lisaanul Mizan Ibnu Hajar I/34 (64) dan
Lihat juga Mausu’ah Ahlis Sunnah I/513).
Saat ini beberapa kelompok cendekiawan muslim juga
menyatakan penolakannya terhadap hadits ahad meskipun sedikit berbeda dengan
Ibnu Ulayyah yang menolak total kandungan hadits ahad, mereka para cendekiawan
muslim saat ini hanya menolak sebatas pada kandungan aqidahnya saja.
Hizbut Tahrir sebagai kelompok yang memiliki cita- cita
mulia menegakkan syari’at Islam amat disayangkan ternyata menyimpan dan
menyebarluaskan penyimpangan aqidah yaitu meragukan keyakinan yang terdapat
dalam hadits ahad meskipun hadits tersebut shohih.
Bahkan pendiri Hizbut Tahrir
(Taqiyyuddin An Nabhani) mengharamkan mengambil aqidah kecuali pada riwayat
yang mutawatir saja. Hal ini karena Taqiyyuddin menganggap hadits ahad meskipun
shohih, hanya membuahkan Dhon dan SEMUA Dhon tidak bisa diimani (HARAM
DIIMANI).
Taqiyyuddin mengharamkan meyakini aqidah selain dari riwayat
yang mutawatir saja meskipun riwayat tersebut shohih. Taqiyyuddin juga
berpendapat bahwa SEMUA Dhon tidak bisa dijadikan aqidah.
Taqiyyuddin berkata : “….Apa saja yang tidak terbukti oleh
kedua jalan tadi, yaitu akal serta nash al qur’an dan hadits mutawatir, HARAM
baginya untuk mengimaninya (menjadikan sebagai aqidah)…”
(Lihat Peraturan Hidup dalam Islam,
Penulis: Taqiyyuddin an Nabhani, Judul asli: Nidzomul Islam, Penerjemah: Abu
Amin dkk, Penerbit: Pustaka Thariqul ‘Izzah Indonesia, Cetakan II (revisi),
April 1993, halaman 12, paragraf ke-4 , baris ke-7 dari atas, dan lihat juga
As-Syakhshiyah al-Islamiyah, Taqiyyudin An-Nabhani, Beirut : Al-Quds, 1953,
cet. ke-2, Jilid 1 h.129).
Berikut ini sedikit ulasan tentang sejauh mana penyimpangan
aqidah tersebut melekat pada Hizbut Tahrir. Semoga yang sedikit ini bisa
memberi pencerahan baik bagi para syabab Hizbut Tahrir maupun untuk kaum
muslimin yang saya cintai dimanapun berada :
PERTAMA :
Hibut Tahrir mengharamkan mengimani hadits ahad meskipun
shohih dan mengharamkan semua jenis dhon aqidah padahal ayat ayat al Qur’an
yang dijadikan dalil oleh Hizbut Tahrir, yaitu : Qs. an-Nisa’ : 157; Qs.
al-An’am : 116, 148; Qs. Yunus : 36, 66; dan Qs. an-Najm : 23, 28,
Ayat-ayat ini tidak bisa dijadikan hujjah haramnya semua
DHON karena yang diharamkan dalam ayat ayat ini hanyalah DHON lemah kaum kafir,
seperti :
Persangkaan bahwa Isa alaihis salam mati dibunuh (an Nisa’
157), persangkaan bahwa Allah memiliki anak (al An’am 116, 148), persangkaan
bahwa Allah tidak melarang kesyirikan (al An’am 148), persangkaan bahwa ada
sekutu Rabb selain Allah (Yunus 36, 66 dan an Najm 23,28).
Adapun kaidah Ushul “Al Ibratu bi Umuumil lafdhi la bi
khushuushis Sabab” menyebabkan ayat- ayat diatas yang asbabun nuzulnya
diperuntukkan hanya untuk kaum kafir saja menjadi diperuntukkan juga bagi kaum
muslimin yang mengikuti DHON lemah kaum kafir diatas.
Jadi kaidah tersebut tidak lantas mengubah makna ayat
menjadi semua jenis DHON adalah haram diimani, sebagaimana kesimpulan
penafsiran Hizbut Tahrir selama ini.
Dalam hal ini Hizbut Tahrir telah menafsirkan ayat secara
aneh dengan memelintirkan kaidah “Al Ibratu bi Umuumil lafdhi la bi khushuushis
Sabab” secara keliru sehingga sangat berbahaya bagi ummat Islam yang awwam
dalam memahami kaidah ini.
Untuk jelasnya dalam memahami kaidah mulia ini mari kita
lihat QS al Baqarah : 170,
Allah berfirman yang artinya :
“Dan apabila dikatakan kepada mereka
(orang-orang kafir) : “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka
menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun
nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat
petunjuk?”. (QS al Baqarah : 170).
Ayat ini berdasarkan kaidah “Al Ibratu bi Umuumil lafdhi la
bi khushuushis Sabab” berarti peruntukan ayat ini tidak hanya ditujukan pada
orang kafir sebagaimana asbabun nuzulnya, akan tetapi juga ditujukan pada kaum
muslimin yang mengikuti perbuatan maksiat nenek moyangnya.
Namun tidak lantas ditafsirkan bahwa semua perbuatan nenek
moyang adalah haram diikuti, karena yang dimaksud perbuatan nenek moyang dalam
ayat ini adalah yang maksiat saja khususnya kesyirikannya. Adapun perbuatan
nenek moyang yang sholih (misalnya perbuatan Ibrahim yang berkorban hewan
ternak, menunaikan haji, serta mengkhitan anaknya), maka justru wajib diikuti.
Demikian pula tafsir ayat al Qur’an yaitu : Qs. an-Nisa’ :
157; Qs. al-An’am : 116, 148; Qs. Yunus : 36, 66; dan Qs. an-Najm : 23, 28,
yang oleh Hizbut Tahrir disimpulkan kandungan ayat-ayat ini adalah “semua jenis
DHON haram diimani”, ini adalah kesalahan fatal mengingat maksud DHON dalam
ayat-ayat ini adalah terbatas pada DHON lemah kaum kufur saja, seperti
misalnya; DHON bahwa Isa alaihis salam mati dibunuh (an Nisa’ 157), DHON bahwa
Allah memiliki anak (al An’am 116, 148), DHON bahwa Allah tidak melarang
kesyirikan (al An’am 148), DHON bahwa ada sekutu Rabb selain Allah (Yunus 36,
66 dan an Najm 23,28).
DHON lemah seperti inilah yang dilarang untuk diimani, dan
bukan berarti semua jenis DHON adalah dilarang untuk diimani.
Bahkan al Qur’an secara jelas menyatakan bahwa DHON kuat
yang berasal dari aqidah tauhid ummat Islam WAJIB diimani, berdasarkan ayat
ayat al Qur’an berikut :
QS al Baqarah 45-46, QS. at Taubah : 118, QS. al Haaqqah :
21-20 , dan QS. al Baqarah : 249.
Untuk jelasnya simak arti ayat-ayat al Qur’an berikut :
“ Sesungguhnya aku memiliki DHON, bahwa Sesungguhnya
aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan
yang diridhai”. (QS. al Haaqqah : 20-21)
“……. orang-orang yang memiliki DHON
bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang
sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah
beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al Baqarah : 249).
Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan
taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, Padahal
bumi itu Luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, dan
mereka memiliki DHON bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah,
melainkan kepada-Nya saja. kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka
tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi
Maha Penyayang. (QS. at Taubah : 118)
“……orang yang khusyu’ adalah orang-orang yang memiliki DHON
bahwa mereka akan bertemu dengan Rabb mereka …..”. (QS al Baqarah 45-46)
Semua ayat diatas menunjukkan bahwa orang orang yang beriman
memiliki DHON kuat yang rajih yang sesuai dengan ajaran Islam.
Adalah hal yang mengada-ada jika kemudian para syabab Hizbut
Tahrir mengatakan bahwa ayat- ayat diatas tidak bisa dijadikan landasan hukum,
padahal semua kalimat diatas dari sisi Allah datangnya. Dan secara jelas Allah
mencantumkan kalimat “DHON” pada ayat-ayat tersebut. Bahkan para ulama ahli
tafsir memaknai kalimat “DHON” dalam ayat- ayat diatas sebagai dhon yang kuat
atau bahkan keyakinan.
Bahkan didalam Kamus Arab Indonesia
karya Prof. H Mahmud Yunus pada halaman 249 disebutkan :
DHONNUN – DHUNUUNUN (j) berarti : Sangkaan, Dugaan, YAKIN,
Syak.
Kamus ini dicetak dan diterbitkan oleh Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/ Pentafsir al Qur’an yang diketuai oleh Prof. H Bustami Abd. Gani
pada tahun 1973 di Jakarta.
Jadi DHON dapat bermakna yakin dan tidak selalu bermakna
syak.
Penyimpangan tafsir yang terjadi pada Hizbut Tahrir seperti
diatas kemungkinan muncul karena adanya pendapat Taqiyyuddin An Nabhani
(pendiri Hizbut Tahrir), yang tentu saja akan didukung pengikutnya mengingat
pendapat tersebut tercantum dalam kitab mutabanat Hizbut Tahrir, yaitu
kitab-kitab yang isinya merupakan harga mati bagi pengikut Hizbut Tahrir.
Berkata Taqiyyuddin (pendiri Hizbut Tahrir) :
“Jadi aqidah seorang muslim itu harus bersandar kepada akal
atau pada sesuatu yang telah terbukti kebenaran dasarnya oleh akal. Seorang
muslim wajib meyakini (menjadikan sebagai aqidah) segala sesuatu yang telah
terbukti dengan akal atau yang datang dari sumber berita yang yakin dan pasti
(Qath’i), yaitu apa-apa yang telah ditetapkan oleh al Qur’an dan hadits
mutawatir. Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal serta
nash al qur’an dan hadits mutawatir, HARAM baginya untuk mengimaninya
(menjadikan sebagai aqidah)…..”.
(SUMBER : Peraturan Hidup dalam
Islam, Penulis: Taqiyyuddin an Nabhani, Judul asli: Nidzomul Islam, Penerjemah:
Abu Amin dkk, Penerbit: Pustaka Thariqul ‘Izzah Indonesia, Cetakan II (revisi),
April 1993, halaman 12, paragraf ke-4 , baris ke-7 dari atas).
Taqiyudin juga Berkata :
“… Khabar ahad tidak memiliki kedudukan pada masalah aqidah,
(maka) sesungguhnya khabar ahad dengan syarat-syarat yang terkandung di
dalamnya menurut ilmu ushul al-Fiqh tidak bermanfaat kecuali dhon (praduga),
dan dhon tidak diperhitungkan dalam bab aqidah (keyakinan).
(Taqiyyudin An-Nabhani,
As-Syakhshiyah al-Islamiyah, (Beirut : Al-Quds, 1953), cet. ke-2, Jilid 1
h.129.)
KEDUA :
Hadits Nabi yang Mutawatir hanya berjumlah 324 buah saja (lihat
http://hadith.al-islam.com), dan dari 324 buah hadits yang mutawatir
tersebut hanya sekitar 200-an hadits saja yang memuat materi aqidah.
Sementara hadits yang shohih dalam bukhari dan muslim
mencapai sedikitnya 13.000 buah (Bukhari+Muslim: Menurut penomoran
al-Alamiyah, terdapat 5352 hadits dalam Shahih Muslim. Sedangkan menurut Abdul
Baqi, ada 3033 hadits. Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, Imam Bukhari menuliskan
sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’al-Shahih yang dikenal
sebagai Shahih Bukhari.)
, dan dari 13.000 buah hadits shohih tadi didalam Shahih
Muslim terdapat sedikitnya 650 hadits tentang aqidah begitu pula didalam shahih
bukhari lebih dari itu sehingga terdapat lebih dari 1.500 hadits tentang aqidah
yang terjamin keshohihannya.
TERNYATA DARI 1.500-an HADITS AQIDAH YANG SHOHIH, HANYA
200-an SAJA YANG MUTAWATIR.
JADI 86,66 % HADITS NABI YANG MEMUAT AQIDAH (dalam Bukhori
dan Muslim) ADALAH HADITS AHAD.
Jika mengimani hadits ahad itu haram hukumnya sebagaimana
fatwa pendiri Hizbut Tahrir Taqiyyuddin an Nabhani, maka tentunya Nabi pun
tidak akan meriwayatkan hadits aqidah secara ahad.
Namun kenyataannya 80 % hadits Nabi yang memuat aqidah
justru diriwayatkan Nabi secara ahad ketika sedang berdua atau sedang bersama
sedikit shahabat tanpa mengumpulkan shahabat.
Didalam Islam terdapat sebuah kaidah, jika sesuatu itu
hukumnya haram maka jalan menuju sesuatu itu juga haram hukumnya.
Misalnya berzina itu haram maka ikhtilat (campur baur) dan
khalwat (menyendiri) dengan lawan jenis yang bukan mahram secara umum haram
hukumnya karena merupakan jalan menuju zina.
Begitu pula meminum khamr (mabuk) itu haram maka membuat
khamr dan menjual khamr haram juga hukumnya.
Contoh lain berjudi itu haram maka membuat dan membeli
peralatan judi (kasino) juga haram hukumnya.
Jika mengimani aqidah dari hadits
ahad itu haram maka meriwayatkan hadits aqidah secara ahad pun seharusnya haram
hukumnya. Namun kenyataannya sebagian besar hadits Nabi adalah diriwayatkan
secara ahad. Maka apakah mungkin Nabi melakukan perbuatan yang haram ???
Sungguh aneh jika para syabab meyakini bahwa Nabi tidak
mungkin meriwayatkan hadits aqidah pada beberapa gelintir orang saja, darimana
keyakinan ini diperoleh ?.
Faktanya Nabi bahkan pernah mengajarkan aqidah kepada Muadz
bin Jabal ketika berboncengan berdua saja diatas kendaraan.
Dari shahabat Muadz bin Jabal radliallahuanhu beliau
menuturkan :
“Aku pernah dibonceng Nabi diatas seekor keledai. Lalu
beliau bersabda kepadaku: “ Hai Muadz, tahukah kamu apa hak Allah yang wajib
dipenuhi oleh para hamba Nya dan apa hak para hamba yang pasti dipenuhi Allah
?”. Aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” . Beliau pun
bersabda: “Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba Nya ialah supaya
mereka beribadah kepada Nya saja dan tidak berbuat syirik sedikitpun kepada
Nya; sedangkan hak para hamba yang pasti dipenuhi Allah adalah: bahwa Allah
tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik sedikitpun kepada Nya”. Aku
bertanya: “Ya Rasulullah, tidak perlukah aku menyampaikan kabar gembira ini
kepada orang-orang?”. Beliau menjawab: “Janganlah kamu menyampaikan kabar
gembira ini kepada mereka, sehingga mereka nanti akan bersikap menyandarkan
diri”.
(Lihat Shahih Muslim Kitabul Iman Bab Man LaqiyAllahu
ta’ala bil Iman Ghaira Syakki fihi Dakholal Jannah dan Shahih Bukhari
No.2856).
Jika alasannya karena Nabi tidak akan menyembunyikan ilmu
pada beberapa orang saja maka bukankah Nabi telah bersabda “Sampaikan dariku
walaupun satu ayat”, dengan adanya perintah ini maka Nabi tidak bersalah jika
hanya meriwayatkan hadits aqidah kepada beberapa gelintir shahabat saja
mengingat mereka punya kewajiban menyebarluaskannya.
Maka sunnah perbuatan Nabi mengatakan bahwa mengimani hadits
ahad yang shohih adalah wajib hukumnya.
KETIGA :
Para shahabat dalam riwayat yang shohih juga me-WAJIB-kan
mengimani hadits ahad meskipun tentang aqidah,
Simak riwayat berikut :
Abdullah bin Umar bertanya pada ayahnya, yaitu Umar bin
Khathab tentang hadits bertemakan ‘aqidah ru’yatullah yang disampaikan Sa’ad
bin Abi Waqqash kepadanya, maka Umar berkata padanya : “Jika Sa’ad meriwayatkan
sesuatu kepadamu dari Nabi, maka jangan engkau bertanya lagi kepada selainnya
tentang sesuatu itu”(maksudnya ambilah riwayat itu). (Atsar shahih riwayat
Bukhari, No.202)
Adapun riwayat-riwayat lain tentang Umar menolak penyampaian
hadits dari shahabat adalah lemah dan bertentangan dengan ayat al Qur’an al
Hujurat ayat 6 : “In jaa akum faasiqun binaba’in fatabayyanu”. Yang mafhum
mukholafah nya jika yang menyampaikannya bukan orang fasik (termasuk shahabat
tentunya bukan orang fasik) maka tidak wajib ada tabayyun.
Dalam periwayatan hadits aqidah Umar
tidak pernah mempersyaratkan saksi penguat dari shahabat lain atau dengan kata
lain beliau tidak pernah mempersyaratkan adanya saksi perawi lain, kecuali
dalam perkara Qadha’ wa syahadah.
KEEMPAT :
Hizbut Tahrir berdalih dengan kemutawatiran ayat ayat dalam
mushaf Utsmani dan fakta bahwa para shahabat menolak masuknya riwayat ahad ke
dalam pembukuan al Qur’an (mushaf utsmani).
Maka ini adalah pembodohan terhadap ummat Islam tanpa
menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.
Padahal para shahabat menolak masuknya riwayat ahad ke dalam
al Qur’an bukan karena dalil aqidah itu wajib mutawatir akan tetapi semata-mata
karena hal itu sunnah Nabi. Yaitu berdasar perilaku Nabi bahwa :
1. Nabi tidak pernah meriwayatkan
wahyu (ayat al Qur’an) tanpa mengumpulkan shahabat.
2. Nabi selalu menyuruh juru tulis
al Qur’an dan para shahabat untuk menulis wahyu yang turun tersebut.
3. Nabi selalu mengulang-ulang
ayat-ayat al Qur’an didepan majelis shahabat dan ketika beliau menjadi imam
Sholat.
Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dengan periwayatan
hadits, baik masalah aqidah maupun hukum Islam lainnya, karena ketika
meriwayatkan sebuah hadits :
1. Nabi tidak selalu mengumpulkan
shahabat bahkan terkadang hanya berdua saja dengan seorang shahabat.
2. Nabi melarang menulis hadits akan
tetapi mewajibkan menyebarluaskannya.
3. Nabi tidak mengulang hadits
secara persis lafadz haditsnya akan tetapi disesuaikan dengan situasi dan
kondisi yang dihadapi.
Sehingga jelas bahwa kemutawatiran al Qur’an tidak bisa
dijadikan dalil mengharamkan meyakini hadits ahad yang shohih.
Karena al Qur’an pada asalnya memang mutawatir dan tidak
mungkin ahad sedangkan hadits pada asalnya lazim secara ahad.
Selain itu ditemukan fakta bahwa sebenarnya justru
pada mushaf utsmani ada ayat yang ahad periwayatannya yaitu at Taubah ayat
terakhir.
Imam Bukhari menulis dalam shahihnya
sebuah riwayat yang panjang dari Zaid bin Tsabit yang diminta abu bakar
mengumpulkan al qur’an dst Zaid bin Tsabit berkata : “…. HINGGA AKU DAPATI
AKHIR SURAT AT TAUBAH PADA ABU KHUZAIMAH AL ANSHARI DAN AKU TIDAK MENDAPATKAN
ITU DARI SHAHABAT YANG LAIN, YAITU AYAT LAQAD JA’AKUM RASULUN …dst”.
(lihat al itqann fil ulumil qur’an bab tertib alqur’an dan penghimpunannya)
(lihat al itqann fil ulumil qur’an bab tertib alqur’an dan penghimpunannya)
Maka kesimpulannya ternyata memang
ada ayat yang tidak mutawatir dalam mushaf al Qur’an, misalnya dalam kasus ini
adalah ayat dari abu khuzaimah al anshari yaitu ayat akhir surat at Taubah.
Jadi meskipun al Qur’an sendiri
asalnya memang wajib mutawatir namun mushaf al Qur’an sendiri tidak semua
ayatnya mutawatir karena dibukukan saat kondisi para shahabat penghafal banyak
yang wafat dalam perang.
Demikian sedikit yang dapat saya sampaikan, kebenaran tidak
selalu ada pada diri saya, namun dalil yang saya utarakan kiranya cukup kuat
untuk membuktikan kekeliruan aqidah Taqiyyuddin dan jumhur syabab Hizbut
Tahrir.
Hidayah kembali kepada Allah subhanahu wata’ala, semoga
Allah memudahkan kita menggapainya.
Penulis(pengelolakomaht@yahoo.co.id)