Asas atau fondasi ajaran Islam (aqidah
Islamiyyah) sebagaimana telah kita ketahui bersama adalah kalimat tawhid Laa
ilaaha illallah yang di dalamnya berisi an nafyu dan al itsbat.
An-Nafyu artinya meniadakan penghambaan dari setiap ilah-ilah
atau rabb-rabb selain Allah, sedangkan al-Itsbat artinya menetapkan
penghambaan hanya kepada Allah semata, dengan mengarahkan semua bentuk
peribadahan hanya kepada Allah saja. Yang pertama bermakna mengkufuri thaghut.
Sedangkan yang kedua bermakna iman kepada Allah. Firman-Nya dalam al Quran :
“Maka barang siapa yang kufur
terhadap thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhny ia telah berpegang
teguh pada tali yang sangat kuat.” (Al-Baqarah:
256)
Mengkufuri thaghut didahulukan
sebelum menetapkan iman, karena iman tidak pernah akan terealisasi sebelum kita
mengosongkan jiwa dari segala bentuk penghambaan kepada selain-Nya. Seseorang
yang mengaku beriman namun tidak mengkufuri thaghut pada hakikatnya belum
beriman, kondisinya tidak jauh berbeda dengan orang yang mengaku mengkufuri
thaghut namun menolak penghambaan kepada Allah.
Mengkufuri thaghut dan hanya
menghambakan diri kepada Allah bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan. Keduanya harus berjalan beriringan, karena inilah maksud dari
kalimat syahadat yang pertama, Laa ilaaha illallah. Laa ilaaha
berarti mengkufuri thaaghut, dan illallah berarti beriman atau beribadah
hanya kepada Allah semata. Dengan ini, sempurnalah tawhidullah seorang muslim.
Ibnu Katsir telah menjelaskan kepada
kita tentang tafsir ayat di atas (Al Baqarah : 256). Beliau berkata dalam kitab
tafsirnya, “Maksudnya barangsiapa yang meninggalkan tandingan-tandingan,
berhala-berhala dan segala sesuatu yang diserukan oleh syaitan untuk disembah
selain Allah, lalu ia mentauhidkan Allah dengan hanya menyembah-Nya dan
bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang haq kecuali Allah, berarti ia telah
seperti yang diungkapkan oleh-Nya ‘maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh
pada al ‘urwah al wutsqa (buhul tali yang sangat kuat)’ maksudnya
ia telah kokoh urusannya dan istiqamah di atas tuntunan yang paling baik dan
pada jalan yang lurus.”[1]
Ibnu Katsir juga menjelaskan kepada
kita semua dengan mengutip perkataan ‘ulama salaf dalam mendefinisikan al
‘urwah al wutsqa. Ia berkata, “Mujahid mengatakan bahwa al ‘urwah al
wutsqa artinya iman. Menurut As Saddi artinya diinul Islam.
Sedangkan menurut Sa’id ibn Jubair dan Add Dhahak adalah kalimat ‘Laa ilaaha
illallah’. Menurut Anas ibn Malik arti al ‘urwah al wutsqa adalah Al
Quran. Menurut riwayat yang bersumber dari Salim ibn Abul Ja’d, yang dimaksud
al ‘urwah al wutsqa adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.
Semua pendapat tersebut benar, satu sama lainnya tidak bertentangan.
Mu’adz ibn Jabal mengatakan
sehubungan dengan ayat “yang tidak akan putus”. Bahwa yang dimaksud
terputus artinya tidak dapat masuk syurga.”[2]
Dari penjelasan di atas, kita akan
mengerti bahwa tidak seorang pun dapat menjadi bagian dari ahli tawhid (muwahhidin)
hingga ia memenuhi dua syarat, yakni mengkufuri thaghut dan menyembah hanya
kepada Allah saja. Dengan kata lain, tiada tauhiduLlah tanpa mengkufuri
thaghut. Orang-orang yang belum mengkufuri thaghut, kendati pun ia menyembah
Allah dalam shalat, zakat, puasa, serta berbagai bentuk ibadah yang lainnya
bukanlah termasuk ke dalam ahli tauhid. Jika ia bukan termasuk ahli tauhid,
maka jelaslah bahwa ia termasuk ke dalam golongan ahli syirik (musyrikin).
Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab rahimahullah
berkata : “Dan siapa yang bersyahadat laa ilaaha ilallaah,
namun di samping ibadah kepada Allah, dia beribadah kepada yang lain juga, maka
syahadatnya tidak dianggap meskipun dia shalat, shaum, zakat dan melakukan
amalan Islam lainnya.”[3]
Syaikh Sulaiman ibnu Abdillah ibnu
Muhammad rahimahullah mengatakan : “Sesungguhnya ucapan laa ilaaha
ilallaah
tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan tuntutannya berupa komitmen terhadap tauhid, meninggalkan syirik akbar, dan kufur kepada thaghut maka sesungguhnya hal itu (syahadat) tidak bermanfaat, berdasarkan ijma’ (para ulama).”[4]
tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan tuntutannya berupa komitmen terhadap tauhid, meninggalkan syirik akbar, dan kufur kepada thaghut maka sesungguhnya hal itu (syahadat) tidak bermanfaat, berdasarkan ijma’ (para ulama).”[4]
Sesungguhnya Allah telah memberikan
kabar gembira bagi orang-orang yang menjauhi thaghut dan hanya menyembah-Nya
saja,
“Dan orang-orang yang menjauhi
thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita
gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku,” (Az
Zumar: 17)
Hanya kepada ahli tawhid sajalah
berita gembira itu disampaikan. Merekalah yang akan mendapatkan kebahagiaan,
baik di dunia maupun di akhirat. Sedangkan dalam ayat yang lain, Allah menolak
keimanan orang-orang yang mengaku muslim, mengaku bertawhid, mengaku beriman
kepada-Nya, namun mereka tidak mau mengkufuri thaghut. Firman-Nya,
“Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang
diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak
berhukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut
itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.”
(An Nisa : 60)
Ayat di atas menceritakan sebagian
orang yang mengaku beriman, namun mereka hendak berhukum kepada thaghut.
Padahal, berhukum adalah salah satu bentuk penghambaan atau penyembahan atau
peribadahan yang sudah sepatutnya hanya ditujukan kepada Allah saja, yakni
berhukum dengan apa yang diturunkan-Nya (Al Quran dan as Sunnah). Maka,
barangsiapa yang berhukum kepada thaghut, ia sesungguhnya telah melakukan
perbuatan syirik akbar yang menyebabkan dirinya keluar dari Islam, sedangkan
keimanannya tidak diterima Allah subhanahu wa ta’ala.
Sejak dahulu, Allah telah mengutus
para Rasul untuk menyeru manusia kepada tawhid dan meninggalkan kemusyrikan.
Firman-Nya,
“Dan sungguhnya Kami telah
mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja),
dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi
petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti
kesesatan baginya.” (An Nahl : 36)
“Dan Kami tidak mengutus
seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya
tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan
Aku.” (Al Anbiya : 25)
Dua ayat di atas menegaskan bahwa
inti da’wah para Nabi dan Rasul adalah mengajak manusia untuk menyembah kepada
Allah saja dan menjauhi atau mengkufuri thaghut. Hal ini ditegaskan kembali
oleh Allah, bahwa tujuan penciptaan manusia dan jin itu sendiri adalah hanya
untuk beribadah kepada-Nya saja, bukan kepada selain-Nya.
“Dan aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Adz
Dzaariyaat : 56)
Oleh karena itu, tiada pilihan lain
bagi kita selain melaksanakan perintah-Nya, bertauhid dengan sempurna, karena
tidak akan pernah ada iman di dalam dada, kecuali dengan mengkufuri thaghut dan
menyembah-Nya saja. Keduanya wajib dilaksanakan sebagai landasan amaliyah kita.
Tanpanya, segala amalan yang kita kerjakan akan sia-sia.
“Sungguh, bila kamu berbuat
syirik, maka hapuslah amalanmu, dan sunguh kamu tergolong orang-orang yang rugi”. (Az Zumar : 65)
“Dan bila mereka berbuat syirik,
maka lenyaplah dari mereka apa yang pernah mereka amalkan.” (Al An’am : 88)
Wallahu a’lam…
[1]
Tafsir Ibn Katsir Juz III
[2]
Tafsir Ibn Katsir Juz III
[3]
Ad Durar As Saniyyah : 1/323, & Minhajut Ta’sis : 61
[4]
Kitab At Taisir