Tuesday, March 29, 2011

MENGAPA HARUS SALAFI

Penulis: Muhammad Naashiruddiin al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala

Pertanyaan :

Kenapa harus dinamakan dengan as Salafiyyah?? Apakah da`wah ini merupakan da`wah hizbiyyah, atau da`wah thooifiyyah atau da`wah madzhabiyyah, atau dia ini merupakan satu golongan yang baru dalam Islam ini??

Jawaban :

Sesungguhnya kata kata “as Salaf” ma`ruufun (sangat dikenal) dalam bahasa `arab dan di dalam syari`at ini, yang terpenting bagi kita disini adalah pembahasannya dari sisi syari`at.

Sesungguhnya telah shohih dari pada Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam, bahwasanya beliau `Alaihi wa Sallam pernah berkata kepada anaknya Faathimah radhiallahu `anha sebelum beliau `Alaihi wa Sallam wafat :

((فاتقي الله واصبري، فإنه نعم السلف أنا لك……)). رواه مسلم (2450) (98).

Artinya : “Bertaqwalah kamu kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya sebaik baik “salaf” bagi kamu adalah saya…”[1]

Penggunaan kalimat ‘salaf” sangat ma`ruf dikalangan para `ulama salaf dan sulit sekali untuk dihitung dan diperkirakan, cukup bagi kita satu contoh dari sekian banyak contoh contoh yang digunakan oleh mereka dalam rangka untuk memerangi bid`ah bid`ah.

كل خير في اتباع من سلف وكل شر في ابتداع من خلف

“Setiap kebajikan itu adalah dengan mengikuti orang salaf dan setiap kejelekan tersebut adalah yang diada adakan oleh orang khalaf”.

Ada sebahagian orang yang menda`wakan memiliki `ilmu, mengingkari penisbahan kepada “salaf”, dengan da`waan bahwa nisbah ini tidak ada asalnya. Dia berkata : “Tidak boleh bagi seseorang muslim untuk mengatakan saya seorang “salafiy,” seolah olah dia mengatakan juga : “Tidak boleh bagi seseorang mengatakan saya muslim yang mengikuti para “salafus shoolih” dengan apa apa mereka di atasnya dalam bentuk `aqidah, `ibadat dan akhlaq.” Maka tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran seperti ini kalau benar benar dia ingkari, sudah tentu diwajibkan juga bagi dia untuk berlepas diri dari Islam yang benar, yang telah dijalani oleh para “salafus shoolih”, Rasuulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam telah mengisyaratkan dalam hadist hadist yang mutawaatir diantaranya :

((خير أمتي قرني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم)).

Artinya : “Sebaik baik ummat saya adalah yang hidup sezaman dengan saya (sahabatku), kemudian orang orang yang mengikuti mereka (at Taabi`uun), kemudian orang orang yang mengikuti mereka (at Baaut Taa`bi`iin)….”[2]

Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari penisbahan kepada as Salafus Shoolih, sebagaimana kalau seandainya berlepas diri juga dari penisbahan yang lainnya, tidak mungkin bagi seorang ahli `ilmu untuk menisbahkannya kepada kekufuran atau kefasikan.

Orang yang mengingkari penamaan seperti ini (nisbah kepada “salaf”). Apakah kamu tidak menyaksikan, bukankah dia menisbahkan dirinya kepada satu madzhab dari sekian madzhab yang ada?, apakah madzhab ini berhubungan dengan `aqidah atau fiqh. Sesungguhnya dia mungkin Asy`ariy, Maaturiidiy dan mungkin juga dia dari kalangan ahlul hadist atau dia Hanafiy, Syaafi`ii, Maalikiy atau Hanbaliy diantara apa apa yang termasuk kedalam penamaan ahlus Sunnah wal Jamaa`ah, padahal seseorang yang menisbahkan dirinya kepada madzhab asy`Ariy atau kepada madzhab yang empat, sebenar dia telah menisbahkan dirinya kepada pribadi pribadi yang bukan ma`suum tanpa diragukan, walaupun diantara mereka ada juga para `ulama yang benar, alangkah aneh dan sangat mengherankan sekali, kenapa dia tidak mengingkari penisbahan kepada pribadi yang tidak ma`suum ini???

Adapun seorang yang mengintisabkan dirinya kepada “as Salafus Shoolih”, sesungguhnya dia telah menyandarkan dirinya kepada seseorang yang ma`suum secara umum (yang dimaksud Nabi Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam), Nabi Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam telah menyebutkan tentang tanda tanda “al Firqatun Naajiyyah” yaitu seseorang yang berpegang teguh dengan apa yang Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam dan para shohabatnya ada di atasnya, maka barang siapa yang berpegang teguh dengan jalan mereka secara yaqin, dia betul betul berada di atas petunjuk Robnya.

Nisbah kepada “as Salaf” ini merupakan nisbah yang akan memuliakan seseorang menisbahkan dirinya kepadanya, kemudian memudahkan baginya untuk mengikuti jalan kelompok orang yang selamat tersebut, tidak sama dengan seseorang yang menisbahkan dirinya kepada nisbah yang lain, karena penisbahan itu tidak akan terlepas dia diantara dua perkara :

Pertama, dia mungkin meng-intisabkan dirinya kepada seseorang yang bukan ma`suum, atau kepada orang orang yang mengikuti manhaj (methode) orang yang bukan ma`suum ini, yang tidak ada sifat suci baginya, berbeda dengan shahabat Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam yang memang diperintahkan kita oleh Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam untuk berpegang teguh dengan sunnah (cara/methode)nya dan sunnah para shahabatnya setelah beliau wafat.

Dan kita akan terus menerus menganjurkan dan menerangkan agar pemahaman kita terhadap al Quraan dan as Sunnah benar benar sesuai dengan pemahaman para shahabatnya Shollallahu `alaihi wa Sallam, supaya kita terjaga daripada berpaling dari kanan dan kekiri, juga terpelihara dari penyelewengan pemahaman yang khusus, sama sekali tidak ada dalil yang menunjukan atas pemahaman itu dari Kitaabullahi Subhaana wa Ta`aalaa dan Sunnah RasulNya Shollallahu `alaihi wa Sallam.
Kemudian, kenapa tidak cukup bagi kita untuk menisbahkan diri kepada al Quraan as Sunnah saja?

Jawabannya kembali kepada dua sebab :

Pertama : Berhubungan dengan nash nash syar`ii.

Kedua : Melihat kepada keadaan firqoh firqoh (golongan golongan) islaamiyah pada sa`at ini.

Ditinjau dari sebab yang pertama : kita menemukan dalil dalil syar`ii memerintahkan untuk menta`ati sesuatu yang lain disandari kepada al Kitab dan as Sunnah, sebagaimana dikatakan oleh Allah Ta`aalaa :

((يأيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم….)) النساء (59).

Artinya : “Hai orang orang yang beriman, tha`atilah Allah dan tha`atilah RasulNya, dan ulil amri diantara kalian.” An Nisaa` (59).

Kalau seandainya ada waliyul amri yang dibai`at dikalangan kaum muslimin maka wajib untuk mentha`atinya sebagaimana kewajiban mentha`ati al Kitab dan as Sunnah, bersamaan dengan demikian kadang kadang dia salam serta orang orang disekitarnya, namun tetap wajib mentha`atinya dalam rangka mencegah kerusakan daripada perbedaan pandangan pandangan yang demikian dengan syarat yang ma`ruuf, demikian disebutkan dalam hadist yang shohih :

((لا طاعة في معصية إنما الطاعة في المعروف)).

Artinya : “Tidak ada ketha`atan di dalam ma`shiat, sesungguhnya ketha`atan itu hanya pada yang ma`ruuf.”[3]

Allah Tabaaraka wa Ta`aalaa berkata :

((ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا)). النساء:(115).

Artinya : “Barang siapa menyakiti (menyelisihi) as Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam setelah sampai (jelas) kepadanya hudan (petunjuk), lalu dia mengikuti bukan jalan orang mu`minin (para shahabat), kami akan palingkan dia kemana sekira kira dia berpaling, lalu kami akan masukan dia keneraka jahannam yang merupakan sejelek jelek tempat baginya.” An Nisaa (115).

Sesungguhnya Allah `Azza wa Jalla Maha Tinggi dan Maha Suci Dia dari sifat kesia sia-an, tidak diragukan dan disangsikan lagi bahwasanya penyebutan jalan orang mu`miniin pada ayat ini sudah tentu ada hikmah dan faedah yang sangat tepat, yaitu; bahwasanya ada kewajiban yang penting sekali tentang pengikutan kita kepada Kitaabullahi Subhaana wa Ta`aalaa dan Sunnah RasulNya Shollallahu `alaihi wa Sallam wajib untuk dicocokan dengan apa apa yang telah dijalani oleh orang muslimiin yang pertama dikalangan ummat ini, mereka adalah shahabat Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam; kemudian orang orang yang mengikuti mereka dengan baik, inilah yang selalu diserukan oleh ad Da`watus Salafiyyah, dan apa apa yang telah difokuskan dalam da`wah tentang asas asas dan tarbiyahnya.

Sesungguhnya “ad Da`watus Salafiyyah”-merupakan satu satunya da`wah yang haq untuk menyatukan ummat ini, sementara apapun bentuk da`wah yang lain hanya memecah belah ummat ini; Allah `Azza wa Jalla berkata :

((وكونوا مع الصادقين)). التوبة (119).

Artinya : “Hendaklah kamu bersama orang orang yang benar.” At Taubah (119), dan barangsiapa yang membedakan diantara al Kitaab dan as Sunnah disatu sisi, dan antara “as Salafus Shoolih disisi yang lainnya dia bukan seorang yang jujur selama lamanya.

Ditinjau dari sebab yang kedua : Kelompok kelompok dan golongan golongan pada hari ini sama sekali tidak menghadap secara muthlaq untuk mengikuti jalan orang mu`miniin (jalan para shahabat radhiallahu `anhum) seperti yang disebutkan pada ayat diatas, dan dipertegas lagi dengan sebahagian hadist hadist yang shohih diantaranya : hadist al firaq (mengenai perpecahan) menjadi tujuh puluh tiga gologan, yang keseluruhannya di neraka kecuali satu, Rasuulullahu Shollallahu `alaihi wa Sallam telah menjelaskan tentang sifatnya bahwasanya dia :

“هي التي على مثل ما أنا عليه اليوم وأصحابي.”

Artinya : “Dia (al Firqatun Naajiyyah) itu adalah sesuai dengan apa apa yang saya hari ini dan para shahabat saya.”[4]

Dan hadist ini serupa dengan ayat diatas menyebutkan jalan orang mu`miniin, diantaranya juga hadist al `Irbaadh bin Saariyah radhiallahu `anhu :

“فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي”.

Artinya : “Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan Sunnah dan Sunnah al Khulafaaur Raasyidiin al Mahdiyiin setelah saya.”[5]

Jadi dihadist ini menunjukan dua Sunnah : Sunnatur Rasuul Shollallahu `alaihi wa Sallam dan Sunnatul Khulafaaur Raasyidiin.
Diwajibkan bagi kita-akhir ummat ini- untuk kembali kepada al Kitaab dan as Sunnah dan jalan orang mu`miniin (as Salafus Shoolih), tidak dibolehkan bagi kita mengatakan: kita akan memahami al Kitab dan as Sunnah secara bebas (merdeka) tanpa meruju` kepada pemahaman “as Salafus Shoolih!!”
Dan wajib adanya penisbahan yang membedakan secara tepat pada zaman ini, maka tidak cukup kita katakan : saya muslim saja!, atau madzhab saya adalah al Islam!, padahal seluruh firqah firqah yang ada mengatakan demikian : ar raafidhiy (as Syii`ah) dan al ibaadhiy (al Khawaarij/Firqatut takfiir) dan al qadiyaaniy (Ahmadiyyah) dan selainnya dari firqah firqah yang ada!!, jadi apa yang membedakan kamu daripada mereka keseluruhannya??

Kalau kamu mengatakan : saya muslim mengikuti al Kitab dan as Sunnah juga belum cukup, karena pengikut pengikut firqah firqah yang sesat juga mengatakan demikian, baik al `Asyaairah dan al Maaturiidiyyah dan kelompok kelompok yang lain- keseluruhan pengikut mereka juga menda`wakan mengikuti yang dua ini (al Kitab dan as Sunnah).

Dan tidak diragukan lagi adanya wujud penisbahan yang jelas lagi terang yang betul betul membedakan secara nyata yaitu kita katakan : “Ana muslim mengikuti al Kitab dan as Sunnah di atas pemahaman “as Salafus Shoolih,” atau kita katakan dengan ringkas : “Ana Salafiy.”

Dan diatas inilah; sesungguhnya kebenaran yang tidak ada penyimpangan padanya bahwasanya tidak cukup bersandarkan kepada al Kitab dan as Sunnah saja tanpa menyandarkan kepada methode pemahaman “as Salaf” sebagai penjelas terhadap keduanya dalam sisi pemahaman dan gambaran, al `ilmu dan al `amal, ad Da`wah serta al Jihad.

Kita mengetahui bahwasanya mereka-radhiallahu `anhum- tidak pernah fanatik kepada madzhab tertentu atau kepada pribadi tertentu, tidak terdapat dikalangan mereka ada mengatakan : “Bakriy (pengikut Abu Bakr), `Umariy (pengikut `Umar), `Utsmaaniy (pengikut `Utsman), `Alawiy (pengikuti `Ali) radhiallahu `anhum ajma`iin, bahkan salah seorang dari kalangan mereka apabila memudahkan baginya untuk bertanya kepada Abu Bakr atau `Umar atau Abu Hurairah dia akan bertanya; yang demikian itu dikarenakan mereka betul betul yaqin bahwasanya tidak dibolehkan meng-ikhlashkan “ittibaa`” (pengikutan) kecuali pada seorang saja, ketahuilah dia adalah Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam; dimana beliau tidak pernah berbicara dengan hawa nafsunya melainkan wahyu yang diwahyukan padanya.

Kalau kita terima bantahan para pengeritik ini bahwasanya kita hanya menamakan diri kita “kami orang muslim”, tanpa menisbahkan kepada “as Salafiyyah”-padahal nisbah itu merupakan nisbah yang mulia dan benar-, apakah mereka (para pengeritik) akan melepaskan dari penamaan dengan golongan golongan mereka, atau madzhab madzhab mereka, atau thoriiqah thoriiqah mereka- yang padahal penisbahan dan penyadaran itu bukan disyari`atkan dan tidak benar?!!

فحسبكم هذا التفاوت بيننا
وكل إناء بما فيه ينضح.

Artinya : “Cukuplah bagi kalian perbedaan ini diantara kita
Dan setiap bejana akan menuangkan apa apa yang ada padanya.
Dan Allah Tabaaraka wa Ta`aalaa yang Menunjuki kita ke jalan yang lurus, dan Dia-Subhaana wa Ta`aalaa- Yang Maha Penolong.

Diterjemahkan oleh Abul Mundzir-Dzul Akmal as Salafiy

Monday, March 28, 2011

Buku fadhail amal Jama’ah tabligh menurut ulama sunnah

Fatwa Lajnah Daimah no 21412

س : الشيخ محمد زكريا رحمه الله من أشهر العلماء في الهند وباكستان ، وخاصة في أوساط جماعة التبليغ ، وله مؤلفات عدة ، منها كتاب (فضائل أعمال) حيث يقرأ هذا الكتاب في الحلقات الدينية في جماعة التبليغ ، وأعضاء هذه الجماعة يعتقدونه مثل (صحيح البخاري ) وغيره وكنت منهم ،

Pertanyaan, “Syaikh Muhammad Zakariya itu termasuk ulama yang terkenal di India dan Pakistan terutama di kalangan Jamaah Tablig. Beliau memiliki beberapa karya tulis di antaranya adalah buku Fadhailul A’mal. Buku ini dibacakan pada berbagai acara keagamaan di kalangan JT. Para anggota JT menyakini buku ini semisal Sahih Bukhari atau buku hadits lainnya. Perlu diketahui bahwa aku adalah salah satu aktivis JT.

وأثناء قراءة هذا الكتاب وجدت بعض القصص المروية قد صعب علي فهمها واعتقادي عليها ، فلذا أرسل إلى لجنتكم كي تحل مشكلتي ،

Pada saat aku membaca buku tersebut aku jumpai beberapa kisah yang sulit aku pahami dan aku yakini. Oleh karena itu aku bertanya kepada Lajnah Daimah agar kebingunganku segera berakhir.

ومن هذه القصص قصة يرويها السيد أحمد الرفاعي ، حيث يقول : إنه بعد أداء فريضة الحج لما زار قبر الرسول صلى الله عليه وسلم وأنشد الأبيات التالية قائما أمام قبر الرسول صلى الله عليه وسلم ، حيث قال :

Di antara kisah tersebut adalah kisah yang dituturkan oleh Sayyid Ahmad Rifa’i. Beliau bercerita bahwa setelah beliau menunaikan ibadah haji beliau berziarah ke makam Rasulullah. Saat itu sambil berdiri beliau membacakan beberapa bait syair di bawah ini di hadapan makam Rasul

فـي حالـة البعـد روحي كنت أرسلها تقبـــل الأرض عنــي وهــي نــائبتي
وهـــذه دولــة الأشــباح قــد حــضرت فامدد يمينك كي تحظى بها شفتي

“Saat jauh darimu, kukirimkan arwahku
Bumi menerimaku dan bumi adalah wakilku
Banyak sosok manusia yang telah hadir di sini
Maka ulurkanlah tangan kananmu agar bibirku mendapatkan keberuntungan”.

بعد قراءة هذه الأبيات خرجت اليد اليمنى للرسول صلى الله عليه وسلم فقبلتها ، (الحاوي) للسيوطي ،

Setelah membaca bait-bait di atas keluarlah tangan kanan Rasulullah lantas aku menciumnya. Dikutip dari al Hawi karya Suyuthi.

وذكر أن هناك تسعين ألف مسلم كانوا ينظرون هذا الحدث العظيم ، وتشرفوا بزيارة اليد المباركة ، ومنهم الشيخ عبد القادر جيلاني رحمه الله ، والذي كان موجودا في ذاك المكان بالمسجد النبوي الشريف (البنيان المشيد)

Disebutkan bahwa ketika itu ada 90 ribu muslim yang menyaksikan peristiwa monumental itu. Mereka mendapatkan kemuliaan untuk menyaksikan tangan Nabi. Di antara yang hadir adalah Syaikh Abdul Qadir al Jailani. Beliau hadir di tempat tersebut di masjid Nabi. Dikutip dari buku al Bunyan al Masyid.

Bertolak dari kisah di atas aku ingin menanyakan beberapa hal:

Pertama, apakah kisah di atas adalah kisah nyata ataukan kisah yang mengada-ada?
Kedua, apa pendapat Lajnah Daimah mengenai buku al Hawi karya Suyuthi karena kisah ini tercantum di buku tersebut?

3- وإذا كانت هذه القصة غير صحيحة ، فهل تجوز الصلاة خلف الإمام الذي يروي هذه القصة ويعتقد أنها صحيحة ، وهل إمامته جائزة أم لا ؟

Ketiga, jika kisah di atas tidak benar, bolehkan shalat bermakmum orang yang menceritakan kisah di atas dan menyakini kebenarannya? Bolehkah orang tersebut menjadi imam?

4- وهل يجوز قراءة مثل هذه الكتب في الحلقات الدينية بالمساجد ، حيث يتلى هذا الكتاب في مساجد بريطانيا لجماعة التبليغ ، وله شهرة كبيرة بالمملكة العربية السعودية ، وخاصة بالمدينة المنورة ، حيث عاش مؤلف هذا الكتاب زمنا طويلا بالمدينة المنورة .

Keempat, apakah dibolehkan membacakan semisal buku di atas dalam berbagai acara keagamaan yang diadakan di masjid. Buku ini yaitu buku Fadhailul A’mal di bacakan di berbagai masjid JT di Inggris. Buku tersebut juga sangat terkenal di Arab Saudi terutama di Madinah, mengingat penulis buku tersebut tinggal lama di Madinah Munawwarh.

أرجو من المشائخ الكرام أن تفيدونا بالجواب الكافي المفصل ، وحتى أترجم إلى اللغات المحلية وأوزع على أصحابي وزملائي وبقية المسلمين الذين أتحدث معهم على هذا الموضوع ؟

Aku berharap agar para ulama yang duduk di Lajnah Daimah memberikan jawaban rinci kepadaku sehingga sehingga bisa aku terjemahkan ke dalam bahasa daerahku lalu kubagikan kepada sahabat dan kawanku serta kaum muslimin yang lain yang terlibat pembicaraan denganku terkait hal ini.

ج : هذه القصة باطلة لا أساس لها من الصحة ؛ لأن الأصل في الميت نبيا كان أم غيره أنه لا يتحرك في قبره بمد يد أو غيرها ، فما قيل من أن النبي صلى الله عليه وسلم أخرج يده للرفاعي أو غيره غير صحيح ، بل هو وهم وخيال لا أساس له من الصحة ، ولا يجوز تصديقه ، ولم

Jawaban Lajnah Daimah,

“Kisah di atas adalah kisah yang mengada-ada, sama sekali tidak benar. Pada dasarnya, orang yang telah meninggal dunia baik nabi ataupun lainnya tidaklah bisa menggerakkan anggota badannya di dalam kubur baik dengan menjulurkan tangan ataupun anggota tubuh lainnya. Sehingga cerita bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan tangannya dari dalam kubur kepada Rifai atau pun yang lainnya adalah suatu yang tidak benar, bahkan itu hanyalah cerita fiktif yang sama sekali tidak benar sehingga tidak boleh dipercaya.

يمد يده صلى الله عليه وسلم لأبي بكر ولا عمر ولا غيرهما من الصحابة فضلا عن غيرهم ،

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidak pernah menjulurkan tangannya kepada Abu Bakar, Umar ataupun sahabat yang lain. Bagaimana lagi dengan orang yang bukan termasuk sahabat Nabi.

ولا يغتر بذكر السيوطي لهذه القصة في كتابه : (الحاوي) ؛ لأن السيوطي في مؤلفاته كما قال العلماء عنه : حاطب ليل يذكر الغث والسمين ،

Jangan terpedaya gara-gara Suyuthi menyebutkan kisah ini dalam bukunya al Hawi karena Suyuthi dalam buku-bukunya sebagaimana penilaian banyak ulama adalah bagaikan orang yang mencari kayu bakar di malam hari artinya tidak menyeleksi terlebih dahulu apa yang ditulis.

ولا تجوز الصلاة خلف من يعتقد صحة هذه القصة لأنه مصدق بالخرافات ومختل العقيدة ،

Tidak boleh shalat bermakmum dengan orang yang menyakini benarnya kisah di atas karena dia adalah orang yang percaya dengan mitos sehingga akidahnya cacat.

ولا تجوز قراءة كتاب (فضائل أعمال) وغيره مما يشتمل على الخرافات والحكايات المكذوبة على الناس في المساجد أو غيرها ؛ لما في ذلك من تضليل الناس ونشر الخرافات بينهم .

Tidak boleh (baca:haram) membacakan buku Fadhailul A’mal ataupun buku lain yang sejenis kepada jamaah masjid atau kumpulan manusia yang lain. Ketentuan ini berlaku untuk semua buku yang berisikan mitos dan cerita-cerita bohong. Hal ini terlarang karena dalam perbuatan tersebut terdapat upaya menyesatkan banyak orang dan menyebarluaskan cerita-cerita tidak berdasar di tengah-tengah masyarakat.

نسأل الله عز وجل أن يوفق المسلمين لمعرفة الحق والعمل به إنه سميع مجيب . وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه .
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .

Kami memohon kepada Allah agar Dia memberi taufik kepada kaum muslimin agar mereka mau mengenal kebenaran dan mengamalkannya. Sesungguhnya Dia adalah zat yang maha mendengar dan mengabulkan doa”.

Fatwa ini ditandatangani oleh Bakr Abu Zaid, Shalih al Fauzan dan Abdullah bin Ghadayan masing-masing selaku anggota Lajnah Daimah dan Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh selaku ketua Lajnah Daimah.
Sumber: Fatawa Lajnah Daimah Majmu’ah kedua, jilid 2 hal 282-283.

KHURUJ BERSAMA JAMA’AH TABLIGH

Berikut ini adalah kutipan dari dua fatwa ulama ahli sunnah tentang hukum khuruj bersama Jamaah Tabligh. Yang pertama adalah fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz sedangkan yang kedua adalah fatwa Syaikh Shalih al Fauzan.

جماعة التبليغ ، والصلاة في المساجد التي فيها قبور
س : سؤال من : م . ع- من أمريكا يقول : خرجت مع جماعة التبليغ للهند والباكستان ، وكنا نجتمع ونصلي في مساجد يوجد بها قبور ، وسمعت أن الصلاة في المسجد الذي يوجد به قبر باطلة فما رأيكم في صلاتي وهل أعيدها؟ وما حكم الخروج معهم لهذه الأماكن؟

Jamaah Tabligh dan Shalat di Masjid yang di Dalamnya Terdapat Kuburan
Pertanyaan dari seseorang yang berdomisili di Amerika
Penanya mengatakan, “Aku ikut khuruj bersama Jamaah Tabligh ke India dan Pakistan. Kami berkumpul dan shalat di masjid-masjid yang di dalamnya terdapat kuburan.

Aku pernah mendengar bahwa shalat di masjid yang di dalamnya terdapat kuburan itu tidak sah. Apa pendapatmu tentang shalatku, apakah aku perlu mengulanginya? Apa hukum ikut khuruj bersama mereka ke tempat-tempat semisal ini?

ج : بسم الله ، والحمد لله ، أما بعد :
جماعة التبليغ ليس عندهم بصيرة في مسائل العقيدة فلا يجوز الخروج معهم إلا لمن لديه علم وبصيرة بالعقيدة الصحيحة التي عليها أهل السنة والجماعة حتى يرشدهم وينصحهم ويتعاون معهم على الخير ؛ لأنهم نشيطون في عملهم ، لكنهم يحتاجون إلى المزيد من العلم ، وإلى من يبصرهم من علماء التوحيد والسنة .
رزق الله الجميع الفقه في الدين والثبات عليه .

Syaikh Ibnu Baz mengatakan, “Bismillah wal Hamdu lillah. Amma Ba’du.
Jamaah Tabligh itu tidak memiliki ilmu tentang berbagai permasalahan akidah. Oleh karena itu, tidak boleh khuruj bersama mereka kecuali bagi orang yang memiliki ilmu dan pengetahuan tentang akidah yang benar. Itulah akidah ahli sunnah wal jamaah. Dengan demikian orang tersebut bisa membimbing dan menasehati mereka serta bisa tolong menolong bersama mereka dalam kebaikan.

Mereka adalah orang-orang yang bersemangat dalam kerja dakwah namun mereka memerlukan tambahan ilmu. Mereka juga memerlukan ulama yang faham tentang tauhid dan sunnah yang bisa mengajari mereka.

Moga Allah memberikan kepada semuanya pemahaman yang baik tentang agama dan konsisten dengannya.

أما الصلاة في المساجد التي فيها القبور فلا تصح ، والواجب إعادة ما صليت فيها ؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم : لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد متفق على صحته ،

Shalat yang dikerjakan di dalam masjid yang ada kuburan di dalamnya itu tidak sah. Anda memiliki kewajiban untuk mengulangi shalat yang telah anda lakukan di dalam masjid tersebut. Dalam masalah ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah itu melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah” (HR Bukhari dan Muslim).

وقوله صلى الله عليه وسلم : ألا وإن من كان قبلكم كانوا يتخذون قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد ألا فلا تتخذوا القبور مساجد فإني أنهاكم عن ذلك أخرجه مسلم في صحيحه . والأحاديث في هذا الباب كثيرة .
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد ، وآله وصحبه وسلم .

Dalil yang lain adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ingatlah, orang-orang sebelum kalian itu menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih di antara mereka sebagai tempat ibadah. Ingatlah janganlah kalian jadikan kuburan sebagai tempat ibadah. Sungguh aku melarang hal tersebut” (HR Muslim). Hadits-hadits tentang hal ini banyak sekali”.

نشرت في مجلة الدعوة في العدد ( 1438 ) بتاريخ 3 / 11 / 1414 هـ .

Fatwa ini pertama kali dipublikasikan di majalah ad Dakwah edisi 1438 tanggal 3 Dzulqa’dah 1414 H [Fatwa Syaikh Ibnu Baz ini ada di Majmu al Fatawa wa al Maqolat al Mutanawi’ah jilid 8 hal 331. Bisa juga dilihat di buku Kasyfu as Sattar karya Muhammad bin Nashir al ‘Uraini hal 68-69].

Dari fatwa ini kita bisa mendapatkan beberapa pelajaran:

1. Hukum khuruj bersama Jamaah Tabligh itu pada asalnya haram kecuali seorang yang berilmu (baca: ustadz salafy) yang diharapkan bisa membimbing mereka kepada akidah dan cara beragama yang benar.

2. Tolong menolong atau kerja sama dengan Jamaah Tabligh asalkan dalam kebaikan itu diperbolehkan. Namun ingat tolak ukur kebaikan itu timbangan syariah, bukan sekedar perasaan.

3. Dalam fatwa di atas Ibnu Baz memuji Jamaah Tabligh dalam sisi semangat dalam kerja dakwah. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua pujian kepada kelompok yang dinilai sesat itu terlarang tanpa terkecuali. Yang benar hukum tindakan semacam ini tergantung motif dan konteks pembicaraan.

4. Sisi kebaikan yang dimiliki sebuah kelompok ‘bermasalah’ tidaklah menghalangi kita untuk mengingatkan orang lain terhadap bahaya kelompok tersebut. Dalam fatwa di atas, sisi kebaikan yang ada pada Jamaah Tabligh tidak menghalangi Ibnu Baz untuk melarang khuruj bersama mereka bagi orang yang tidak memiliki ilmu.

و المقصود جماعة التبليغ التي شغلت الناس في هذا الزمان و هي جماعة ضالة في معتقدها و منهجها و نشأتها كما وضح ذلك الخبيرون بها مما تواتر عنهم مما لا يدع مجالا للشك في ضلال هذه الجماعة و تحريم مشاركتها و مساعدتها و الخروج معها فيجب على المسلمين الحذر منها و التحذير منها.

Syaikh Shalih al Fauzan mengatakan, “Intinya, Jamaah Tabligh yang telah menyita perhatian banyak orang di zaman ini adalah kelompok yang sesat dalam akidah, jalan beragama dan awal tumbuhnya sebagaimana penjelasan orang-orang yang benar-benar mengetahui mereka. Penjelasan para pakar dalam hal ini banyak sekali. Hal ini menyebabkan tidak ada lagi tersisa ruang untuk meragukan kesesatan kelompok ini.

Haram hukumnya berperan serta dan membantu acara-acara mereka serta khuruj bersama mereka. Seluruh kaum muslimin memiliki kewajiban untuk mewaspadai mereka dan mengingatkan orang lain agar tidak mengikuti mereka” (Kata pengantar Syaikh Shalih al Fauzan untuk buku Kasyfu al Sattar karya Muhammad bin Nashir al ‘Uraini hal 5).
Dari penjelasan Syaikh Shalih al Fauzan ini kita bisa membuat kesimpulan bahwa hukum khuruj bersama Jamaah Tabligh menurut beliau haram secara mutlak. Kita simpulkan demikian, karena beliau tidak memberi pengecualian.

Dari uraian di atas bisa kita simpulkan bahwa hukum khuruj bersama Jamaah Tabligh itu diperselisihkan, ada yang melarang secara mutlak semisal Syaikh Shalih al Fauzan atau memberi pengecualian dalam kondisi tertentu sbagaimana penjelasan Ibnu Baz.

Oleh karena itu dalam masalah ini dan yang semisal hendaknya kita tidak memakai ‘kaca mata kuda’ sehingga menilai masalah yang diperselisihkan di antara para ulama ahli sunnah sebagaimana masalah yang menjadi konsesus semua ulama ahli sunnah.

DOSA BID’AH LEBIH BURUK DARI PADA DOSA MAKSIAT

Syeikh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin- rahimahullah- mendapatkan pertanyaan sebagai berikut,

Assalamu’alaiku wr wb

Ustadz mau Tanya, apakah ada hadits yang menyatakan bahwa derajat orang yang suka tahlilan lebih rendah dari pada seorang pelacur?

Jawab:
Wa’alikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh

Sampai saat ini kami belum menjumpai hadits Nabi yang isinya sebagaimana yang ditanyakan. Namun mungkin yang dimaksudkan adalah perkataan seorang tabiin bernama Sufyan ats Tsauri.

قال وسمعت يحيى بن يمان يقول سمعت سفيان يقول : البدعة أحب إلى إبليس من المعصية المعصية يتاب منها والبدعة لا يتاب منها

Ali bin Ja’d mengatakan bahwa dia mendengar Yahya bin Yaman berkata bahwa dia mendengar Sufyan (ats Tsauri) berkata, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat” (Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnadnya no 1809 dan Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal 22).

Faktor terpenting yang mendorong seseorang untuk bertaubat adalah merasa berbuat salah dan merasa berdosa. Perasaan ini banyak dimiliki oleh pelaku kemaksiatan tapi tidak ada dalam hati orang yang gemar dengan bid’ah. Oleh karena itu, bagaimana mungkin seorang pelaku bid’ah bertaubat ketika dia tidak merasa salah bahkan dia merasa mendapat pahala dan mendekatkan diri kepada Allah dengan bid’ah yang dia lakukan.

Mungkin berdasarkan perkataan Sufyan ats Tsauri ini ada orang yang berkesimpulan bahwa orang yang melakukan bid’ah semisal tahlilan itu lebih rendah derajatnya dibandingkan yang melakukan maksiat semisal melacurkan diri.
Muhammad bin Husain al Jizani ketika menjelaskan poin-poin perbedaan antara maksiat dan bid’ah mengatakan, “Oleh karena itu maksiat memiliki kekhasan berupa ada perasaan menginginkan bertaubat dalam diri pelaku maksiat. Ini berbeda dengan pelaku bid’ah. Pelaku bid’ah hanya semakin mantap dengan terus menerus melakukan kebid’ahan karena dia beranggapan bahwa amalnya itu mendekatkan dirinya kepada Allah, terlebih para pemimpin kebid’ahan besar. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah,

أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآَهُ حَسَنًا

“Maka Apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu Dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan) ?” (QS Fathir:8).

Sufyan ats Tsauri mengatakan, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat”.

Dalam sebuah atsar (perkataan salaf) Iblis berkata, “Kubinasakan anak keturunan Adam dengan dosa namun mereka membalas membinasakanku dengan istighfar dan ucapan la ilaha illallah. Setelah kuketahui hal tersebut maka kusebarkan di tengah-tengah mereka hawa nafsu (baca:bid’ah). Akhirnya mereka berbuat dosa namun tidak mau bertaubat karena mereka merasa sedang berbuat baik” [lihat al Jawab al Kafi 58, 149-150 dan al I’tisham 2/62].
Oleh karena itu secara umum bid’ah itu lebih berbahaya dibandingkan maksiat. Hal ini dikarenakan pelaku bid’ah itu merusak agama. Sedangkan pelaku maksiat sumber kesalahannya adalah karena mengikuti keinginan yang terlarang [al Jawab al Kafi hal 58 dan lihat Majmu Fatawa 20/103].

Ketentuan ini hanya bernilai benar dan berlaku jika tidak ada indikator dan kondisi yang menyebabkan berubahnya status sebuah maksiat atau bid’ah.
Di antara contoh untuk indikator dan kondisi yang dimaksudkan adalah sebagai berikut. Sebuah penyimpangan baik berbentuk maksiat atau bid’ah akan besar dosanya jika dilakukan secara terus menerus, diiringi sikap meremehkan, anggapan kalau hal itu dibolehkan, dilakukan secara terang terangan atau sambil mengajak orang lain untuk melakukannya. Demikian pula sebuah maksiat atau bid’ah itu nilai dosanya berkurang jika dilakukan sambil sembunyi-sembunyi, tidak terus menerus atau penyesalan dan taubat.

Contoh lain untuk indikator adalah sebuah penyimpangan itu semakin besar dosanya jika bahaya yang ditimbulkannya semakin besar. Penyimpangan yang merusak prinsip-prinsip pokok agama itu dosanya lebih besar dari pada yang merusak hal-hal parsial dalam agama. Demikian pula, sebuah penyimpangan yang merusak agama itu lebih besar dosanya dibandingkan penyimpangan yang sekedar merusak jiwa.
Ringkasnya, ketika kita akan membandingkan bid’ah dengan maksiat maka kita harus memperhatikan situasi dan keadaan, menimbang manfaat dan bahaya dari komparasi tersebut dan memikirkan efek yang mungkin terjadi di kemudian hari dari pembandingan tersebut.

Penjelasan mengenai bahaya bid’ah dan ungkapan hiperbola untuk menunjukkan betapa ngerinya bid’ah sepatutnya tidaklah menyebabkan-pada saat ini atau di kemudian hari-sikap meremehkan dan menyepelekan maksiat.

Sebaliknya, penjelasan mengenai bahaya maksiat dan ungkapan hiperbola untuk menunjukkan betapa ngerinya maksiat sepatutnya tidaklah menyebabkan-pada saat ini atau di kemudian hari-sikap meremehkan dan menyepelekan bid’ah”. (Qawaid Ma’rifah al Bida’ hal 31-33, cetakan Dar Ibnul Jauzi Saudi Arabia).

Penjelasan di atas sangat perlu dilakukan oleh setiap orang yang ingin mengingatkan orang lain akan bahaya bid’ah supaya kita menjadi sebab terbukanya pintu-pintu keburukan tanpa kita sadari.

SIAPAKAH AHLU BID’AH...

Syeikh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin- rahimahullah- mendapatkan pertanyaan sebagai berikut,

“Di tengah-tengah banyak orang gencar pembicaraan tentang bid’ah. Misalnya seorang yang terjerumus melakukan bid’ah maka banyak orang mengatakan bahwa orang tersebut adalah mubtadi’ atau ahli bid’ah. Alangkah baiknya jika anda menjelaskan kapan seorang itu menjadi ahli bid’ah.

Artinya seandainya ada orang yang melakukan perbuatan bid’ah menurut penilaian sebagian ulama sedangkan sebagian ulama ahli sunah yang lain tidak menilai perbuatan tersebut sebagai bid’ah. Dengan bahasa lain, status orang tersebut diperselisihkan (apakah melakukan bid’ah ataukah tidak) oleh dua kelompok ulama.
Apa yang menjadi tolak ukur dalam kasus semacam ini?”

Jawaban beliau:

لا شك أن البدعة تتفاوت:
فأما البدعة الاعتقادية فإنه يقال لصاحبها مبتدع كبدعة المرجئة الذين يرجئون الأعمال من الإيمان أو يغلبون جانب الرجاء فيبيحون المعاصي و الإكثار منها. فإن كان كذلك فإنه يقال : هذا من المرجئة المبتدعة.
و كذلك بدعة الوعيدية من الخوارج و المعتزلة. فمنهم يغلبون جانب الوعيد و يرجحون دخول النار و يخلدون فيها أهل المعاصي و كبائر الذنوب و لو كانوا من أهل التوحيد.
و كذلك بدعة الرافضة الذين يكفرون الصحابة و من والاهم و يشركون بالله حيث يدعون عليا و أئمتهم من دون الله و نحو ذلك. فهذا يقال له مبتدع.

“Tidaklah diragukan bahwa bid’ah itu bertingkat-tingkat. Bid’ah dalam masalah akidah itulah bid’ah yang menyebabkan pelakunya divonis sebagai ahli bid’ah. Contohnya adalah bid’ah murjiah. Merekalah orang-orang yang tidak memasukkan amal anggota badan sebagai bagian dari iman. Atau mereka itu disebut murjiah karena terlalu menekankan sisi harapan kepada Allah sehingga secara tidak langsung mereka membolehkan orang untuk bermaksiat atau memperbanyak maksiat. Orang yang terpengaruh dengan faham murjiah, itulah orang yang mendapat vonis, ‘Ini adalah bagian dari murjiah, bagian dari para ahli bid’ah’.

Demikian pula, bid’ah wa’idiyyah. Itulah Khawarij dan Mu’tazilah. Mereka lebih mengedepankan ancaman Allah secara umum dan ancaman masuk neraka secara khusus. Mereka berkeyakinan bahwa tukang maksiat dan pelaku dosa besar itu kekal di dalam neraka meski mereka adalah orang yang bertauhid.

Demikian pula Syiah Rafidhah. Merekalah orang-orang yang mengkafirkan para sahabat dan semua orang yang loyal dengan para sahabat. Mereka adalah orang-orang yang menyekutukan Allah dengan berdoa kepada Ali dan para imam Syiah dan perbuatan yang serupa.

Orang semacam inilah yang disebut dengan ahli bid’ah.

وأما البدع العملية فإنه لا يقال لصاحبها مبتدع علي الإطلاق. ولكن يقال: فيه بدعة كالذين يحيون ليلة المعراج أو المولد أو ليلة النصف من شعبان أو يصلون صلاة الرغائب و ما أشبهها من البدع العملية.

Sedangkan bid’ah dalam masalah ibadah, pelakunya sama sekali tidak bisa disebut sebagai ahli bid’ah. Akan tetapi pelakunya kita katakan bahwa pada dirinya ada kebid’ahan. Semisal orang-orang yang memperingati malam Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi, beribadah pada malam Nishfu Sya’ban, melakukan shalat Raghaib dan bid’ah-bid’ah yang lain dalam masalah ibadah.

فهناك فرق بين البدع الاعتقادية فيقال لصاحبها مبتدع و البدع العملية و يقال لصاحبها فيه بدعة ولا يصدق عليه أنه مبتدع بدعة كلية. هذا هو المتبادر. والله أعلم.

Jadi ada perbedaan antara bid’ah dalam masalah akidah- itulah bid’ah yang pelakunya disebut sebagai ahli bid’ah- dengan bid’ah dalam masalah ibadah. Pelaku bid’ah dalam masalah ibadah mendapat sebutan ‘ada bid’ah pada dirinya’. Pelaku bid’ah semacam ini tidak tepat jika disebut sebagai ahli bid’ah.
Demikian jawaban instan yang bisa diberikan. Wallahu a’lam”.

[Fatwa ini kami jumpai dalam buku yang berjudul ‘Ijabah al Sa-il ‘an Ahammi al Masa-il Ajwibah al ‘Allamah al Jibrin ‘ala As-ilah al Imarat, hal 13-14, terbitan Maktabah al Ashalah wa al Turats, Emirat Arab tahun 2008 M. Fatwa ini disampaikan oleh Ibnu Jibrin pada tahun 1414 H sedangkan kata pengantar Ibnu Jibrin untuk buku tersebut ditulis pada tanggal 11 Syawal 1427 H].

PENGERTIAN BID’AH MACAM-MACAM BID’AH DAN HUKUM-HUKUMNYA

Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan

PENGERTIAN BID’AH

Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada
contoh. Sebelum Allah berfirman.

Badiiu’ as-samaawaati wal ardli

“Arti : Allah pencipta langit dan bumi” [Al-Baqarah : 117]

Arti ialah Allah yg mengadakan tanpa ada contoh sebelumnya.

Juga firman Allah.

Qul maa kuntu bid’an min ar-rusuli

“Arti : Katakanlah : ‘Aku bukanlah rasul yg pertama di antara rasul-rasul”. [Al-Ahqaf : 9].

Maksud ialah : Aku bukanlah orang yg pertama kali datang dgn risalah ini dari Allah Ta’ala kpd hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para rasul yg telah mendahuluiku.

Dan dikatakan juga : “Fulan mengada-adakan bid’ah”, maksud : memulai satu cara yg belum ada sebelumnya.

Dan peruntukan bid’ah itu ada dua bagian :

[1] Peruntukan bid’ah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti ada penemuan-penemuan baru dibidang IPTEK (juga termasuk didalam penyingkapan-penyingkapan ilmu dgn berbagai macam-macamnya). Ini ialah mubah (diperbolehkan) ; krn asal dari semua adat istiadat (kebiasaan) ialah mubah.

[2] Peruntukan bid’ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukum haram, krn yg ada dalam dien itu ialah tauqifi (tdk bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Arti : Barangsiapa yg mengadakan hal yg baru (beruntuk yg baru) di dalam urusan kami ini yg bukan dari urusan tersebut, maka peruntukan di tolak (tdk diterima)”. Dan di dalam riwayat lain disebutkan : “Arti : Barangsiapa yg beruntuk suatu amalan yg bukan didasarkan urusan kami, maka peruntukan di tolak”.

MACAM-MACAM BID’AH

Bid’ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam :

[1] Bid’ah qauliyah ‘itiqadiyah : Bid’ah perkataan yg keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yg sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.

[2] Bid’ah fil ibadah : Bid’ah dalam ibadah : seperti beribadah kpd Allah dgn apa yg tdk disyari’atkan oleh Allah : dan bid’ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu :

[a]. Bid’ah yg berhubungan dgn pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yg tdk ada dasar dalam syari’at Allah Ta’ala, seperti mengerjakan shalat yg tdk disyari’atkan, shiyam yg tdk disyari’atkan, atau mengadakan hari-hari besar yg tdk disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain sebagainya.

[b]. Bid’ah yg bentuk menambah-nambah terhadap ibadah yg disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.

[c]. Bid’ah yg terdpt pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yg sifat tdk disyari’atkan seperti membaca dzikir-dzikir yg disyariatkan dgn cara berjama’ah dan suara yg keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

[d]. Bid’ah yg bentuk menghususkan suatu ibadah yg disari’atkan, tapi tdk dikhususkan oleh syari’at yg ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya’ban (tanggal 15 bulan Sya’ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasar shiyam dan qiyamullail itu di syari’atkan, akan tetapi pengkhususan dgn pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.

HUKUM BID’AH DALAM AD-DIEN

Segala bentuk bid’ah dalam Ad-Dien hukum ialah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Arti : Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yg baru, krn sesungguh mengadakan hal yg baru ialah bid’ah, dan setiap bid’ah ialah sesat”. [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].
Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Arti : Barangsiapa mengadakan hal yg baru yg bukan dari kami maka peruntukan tertolak”.
Dan dalam riwayat lain disebutkan :

“Arti : Barangsiapa beramal suatu amalan yg tdk didasari oleh urusan kami maka amalan tertolak”.

Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yg diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) ialah bid’ah, dan setiap bid’ah ialah sesat dan tertolak.
Arti bahwa bid’ah di dalam ibadah dan aqidah itu hukum haram.

Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bid’ahnya, ada diantara yg menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf mengelilingi kuburan untuk mendekatkan diri kpd ahli kubur, mempersembahkan sembelihan dan nadzar-nadzar kpd kuburan-kuburan itu, berdo’a kpd ahli kubur dan minta pertolongan kpd mereka, dan seterusnya. Begitu juga bid’ah seperti bid’ah perkataan-perkataan orang-orang yg melampui batas dari golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah. Ada juga bid’ah yg merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti membangun bangunan di atas kubur, shalat berdo’a disisinya. Ada juga bid’ah yg mrpk fasiq secara aqidah sebagaimana hal bid’ah Khawarij, Qadariyah dan Murji’ah dalam perkataan-perkataan mereka dan keyakinan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan ada juga bid’ah yg mrpk maksiat seperti bid’ah orang yg beribadah yg keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shiyam yg dgn berdiri di terik matahari, juga memotong tempat sperma dgn tujuan menghentikan syahwat jima’ (bersetubuh).

Catatan :

Orang yg membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah syayyiah (jelek) ialah salah dan menyelesihi sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Arti : Sesungguh setiap bentuk bid’ah ialah sesat”.

Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghukumi semua bentuk bid’ah itu ialah sesat ; dan orang ini (yg membagi bid’ah) mengatakan tdk setiap bid’ah itu sesat, tapi ada bid’ah yg baik !

Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan dalam kitab “Syarh Arba’in” mengenai sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap bid’ah ialah sesat”, merupakan (perkataan yg mencakup keseluruhan) tdk ada sesuatupun yg keluar dari kalimat tersebut dan itu merupakan dasar dari dasar Ad-Dien, yg senada dgn sabda :

“Arti : Barangsiapa mengadakan hal baru yg bukan dari urusan kami, maka peruntukan ditolak”.

Jadi setiap orang yg mengada-ada sesuatu kemudian menisbahkan kpd Ad-Dien, padahal tdk ada dasar dalam Ad-Dien sebagai rujukannya, maka orang itu sesat, dan Islam berlepas diri dari ; baik pada masalah-masalah aqidah, peruntukan atau perkataan-perkataan, baik lahir maupun batin.

Dan mereka itu tdk mempunyai dalil atas apa yg mereka katakan bahwa bid’ah itu ada yg baik, kecuali perkataan sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu pada shalat Tarawih : “Sebaik-baik bid’ah ialah ini”, juga mereka berkata : “Sesungguh telah ada hal-hal baru (pada Islam ini)”, yg tdk diingkari oleh ulama salaf, seperti mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu kitab, juga penulisan hadits dan penyusunannya”.

Adapun jawaban terhadap mereka ialah : bahwa sesungguh masalah-masalah ini ada rujukan dalam syari’at, jadi bukan diada-adakan. Dan ucapan Umar Radhiyallahu ‘anhu : “Sebaik-baik bid’ah ialah ini”, maksud ialah bid’ah menurut bahasa dan bukan bid’ah menurut syariat. Apa saja yg ada dalil dalam syariat sebagai rujukan jika dikatakan “itu bid’ah” maksud ialah bid’ah menurut arti bahasa bukan menurut syari’at, krn bid’ah menurut syariat itu tdk ada dasar dalam syariat sebagai rujukannya.

Dan pengumpulan Al-Qur’an dalam satu kitab, ada rujukan dalam syariat krn Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan penulisan Al-Qur’an, tapi penulisan masih terpisah-pisah, maka dikumpulkan oleh para sahabat Radhiyallahu anhum pada satu mushaf (menjadi satu mushaf) untuk menjaga keutuhannya.

Juga shalat Tarawih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat secara berjama’ah bersama para sahabat beberapa malam, lalu pada akhir tdk bersama mereka (sahabat) khawatir kalau dijadikan sebagai satu kewajiban dan para sahabat terus sahalat Tarawih secara berkelompok-kelompok di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup juga setelah wafat beliau sampai sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu menjadikan mereka satu jama’ah di belakang satu imam. Sebagaimana mereka dahulu di belakang (shalat) seorang dan hal ini bukan mrpk bid’ah dalam Ad-Dien.

Begitu juga hal penulisan hadits itu ada rujukan dalam syariat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis sebagian hadits-hadist kpd sebagian sahabat krn ada permintaan kpd beliau dan yg dikhawatirkan pada penulisan hadits masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum ialah ditakutkan tercampur dgn penulisan Al-Qur’an. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, hilanglah kekhawatiran tersebut ; sebab Al-Qur’an sudah sempurna dan telah disesuaikan sebelum wafat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka setelah itu kaum muslimin mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai usaha untuk menjaga agar supaya tdk hilang ; semoga Allah Ta’ala memberi balasan yg baik kpd mereka semua, krn mereka telah menjaga kitab Allah dan Sunnah Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tdk kehilangan dan tdk rancu akibat ulah peruntukan orang-orang yg selalu tdk bertanggung jawab.

[Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang hrs Dicintai & Harus Dimusuhi oleh Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan At-Tibyan Solo, hal 47-55, penerjemah Endang Saefuddin.]

MAKNA SALAF, SALAFI DAN PENAMAAN GOLONGAN YANG BENAR

Masih banyak yang tidak memahami apa arti salaf, juga salafi.Saya pernah ditanya oleh seorang sahabat, “ apakah salafi itu suatu gerakan dakwah?” didalam kesempatan lain saya juga pernah ditanya”kenapa orang salafi sangat suka mennyalahkankan”. Bahkan ada juga orang yang membuat blog dengan mengatakan bahwa ia adalah mantan salafi.

Dari ungkapan dan soal-soal diatas, nampak sekali bahwa masih banyak orang tidak memahami arti salaf atau salafi, bahkan terdapat orang yang sangat membenci salafi, tetapi dia sendiri tidak mengetahui apa dan siapa salafi itu sebenarnya. Apalagi kalau membicarakan tentang wahabi. Banyak juga yang tidak suka paham wahabi, pokoknya benci, tetapi malangnya mereka tidak mengetahui apa itu wahabi dan siapa itu wahabi, dan apa ajarannya yang dibenci itu. Pada kesempatan ini, saya ingin mengajak para sahabat untuk memahami perkara ini semua.

MAKNA SALAF

Salafiyah adalah salah satu penamaan lain dari Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menunjukkan ciri dan kriteria mereka.

Salafiyah adalah pensifatan yang diambil dari kata سَلَفٌ (Salaf) yang berarti mengikuti jejak, manhaj dan jalan Salaf. Dikenal juga dengan nama سَلَفِيُّوْنَ (Salafiyyun). Yaitu bentuk jamak dari kata Salafy yang berarti orang yang mengikuti Salaf. Dan juga kadang kita dengar penyebutan para 'ulama Salaf dengan nama As-Salaf Ash-Sholeh (pendahulu yang sholeh).

Dari keterangan di atas secara global sudah bisa dipahami apa yang dimaksud dengan Salafiyah. Tapi kami akan menjelaskan tentang makna Salaf menurut para 'ulama dengan harapan bisa mengikis anggapan/penafsiran bahwa dakwah Salafiyah adalah suatu organisasi, kelompok, aliran baru dan sangkaan-sangkaan lain yang salah dan menodai kesucian dakwah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alahi wa alihi wa sallam ini.

Kata Salaf ini mempunyai dua definisi ; dari sisi bahasa dan dari sisi istilah.

Definisi Salaf secara bahasa

Berkata Ibnu Manzhur dalam Lisanul 'Arab : “Dan As-Salaf juga adalah orang-orang yang mendahului kamu dari ayah-ayahmu dan kerabatmu yang mereka itu di atas kamu dari sisi umur dan keutamaan karena itulah generasi pertama dikalangan tabi'in mereka dinamakan As-Salaf Ash-Sholeh”.

Berkata Al-Manawi dalam At-Ta'arif jilid 2 hal.412 : “As-Salaf bermakna At-Taqoddum (yang terdahulu). Jamak dari salaf adalah أََسْلاَفٌ (aslaf)”.
Masih banyak rujukan lain tentang makna salaf dari sisi bahasa yang ini dapat dilihat dalam Mauqif Ibnu Taimiyyah minal 'asya'irah jilid 1 hal.21.

Jadi arti Salaf secara bahasa adalah yang terdahulu, yang awal dan yang pertama. Mereka dinamakan Salaf karena mereka adalah generasi pertama dari ummat Islam.

Definisi Salaf secara Istilah :

Istilah Salaf dikalangan para 'ulama mempunyai dua makna ; secara khusus dan secara umum.

Pertama : Makna Salaf secara khusus adalah generasi permulaan ummat Islam dari kalangan para shahabat, Tabi'in (murid-murid para Shahabat), Tabi'ut Tabi'in (murid-murid para Tabi’in) dalam tiga masa yang mendapatkan kemulian dan keutamaan dalam hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary, Muslim dan lain-lainnya dimana Rasulullah shallallahu 'alahi wa alihi wa sallam menyatakan :

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian generasi setelahnya kemudian generasi setelahnya”.

Makna khusus inilah yang diinginkan oleh banyak ‘ulama ketika menggunakan kalimat Salaf dan saya akan menyebutkan beberapa contoh dari perkataan para 'ulama yang mendefinisikan Salaf dengan makna khusus ini atau yang menggunakan istilah Salaf dan mereka inginkan dengannya makna Salaf secara khusus.

Terdapat beberapa pendapat ulama tentang makna salaf, diantaranya :

Berkata Al-Bajury dalam Syarah Jauharut Tauhid hal.111 : “Yang dimaksud dengan salaf adalah orang-orang yang terdahulu dari para Nabi dan para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka”.

Berkata Al-Qolasyany dalam Tahrirul Maqolah Syarah Ar-Risalah : “As-Salaf Ash-Sholeh yaitu generasi pertama yang mapan di atas ilmu, yang mengikuti petunjuk Nabi shollahu 'alahi wa alihi wa sallam lagi menjaga sunnah-sunnah beliau. Allah memilih mereka untuk bersahabat dengan Nabi-Nya dan memilih mereka untuk menegakkan agama-Nya dan mereka itulah yang diridhoi oleh para Imam ummat (Islam) dan mereka berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad dan mereka mencurahkan (seluruh kemampuan mereka) dalam menasehati ummat dan memberi manfaat kepada mereka dan mereka menyerahkan diri-diri mereka dalam menggapai keridhoan Allah”.

Dan berkata Al-Ghazaly memberikan pengertian terhadap kata As-Salaf dalam Iljamul 'Awwam ‘An ‘ilmil Kalam hal.62 : “Yang saya maksudkan dengan salaf adalah madzhabnya para sahahabat dan Tabi'in”.

Lihat Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy hal.31 dan Bashoir Dzawisy Syaraf Bimarwiyati Manhaj As-Salaf hal.18-19.

Berkata Abul Hasan Al-Asy'ary dalam Kitab Al-Ibanah Min Ushul Ahlid Diyanah hal.21 : “Dan (diantara yang) kami yakini sebagai agama adalah mencintai para ‘ulama salaf yang mereka itu telah dipilih oleh Allah ‘Azza Wa Jalla untuk bershahabat dengan Nabi-Nya dan kami memuji mereka sebagaimana Allah memuji mereka dan kami memberikan loyalitas kepada mereka seluruhnya”.
Kedua : Makna salaf secara umum adalah tiga generasi terbaik dan orang-orang setelah tiga generasi terbaik ini, sehingga mencakup setiap orang yang berjalan di atas jalan dan manhaj generasi terbaik ini.

Diantara ulama yang memberikan makna salaf ini adalah :

Dan berkata Al-'Allamah Muhammad As-Safariny Al-Hambaly dalam Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyyah Wa Sawathi' Al-Asrar Al-Atsariyyah jilid 1 hal.20 : “Yang diinginkan dengan madzhab salaf yaitu apa-apa yang para shahabat yang mulia -mudah-mudahan Allah meridhoi mereka- berada di atasnya dan para Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik dan yang mengikuti mereka dan para Imam agama yang dipersaksikan keimaman mereka dan dikenal perannya yang sangat besar dalam agama dan manusia menerima perkataan-perkataan mereka…”.

Berkata Ibnu Abil 'Izzi dalam Syarah Al ‘Aqidah Ath-Thohawiyah hal.196 tentang perkataan Ath-Thohawy bahwasanya Al-Qur`an diturunkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala : "Yakni merupakan perkataan para shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dan mereka itu adalah Salafus Sholeh".
Dan berkata Asy-Syaikh Sholeh Al-Fauzan dalam Nazharat Wa Tu'uqqubat 'Ala Ma Fi Kitab As-Salafiyah hal.21 : “Dan kata Salafiyah digunakan terhadap jama'ah kaum mukminin yang mereka hidup di generasi pertama dari generasi-generasi Islam yang mereka itu komitmen di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan shahabat Muhajirin dan Anshor dan yang mengikuti mereka dengan baik dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati mereka dengan sabdanya : "Sebaik-baik manusia adalah zamanku kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya....".

Dan beliau juga berkata dalam Al-Ajwibah Al-Mufidah 'An As`ilah Al-Manahij Al-Jadidah hal.103-104 : "As-Salafiyah adalah orang-orang yang berjalan di atas Manhaj Salaf dari kalangan Shahabat dan tabi'in dan generasi terbaik, yang mereka mengikutinya dalam hal aqidah, manhaj, dan metode dakwah".

Dan berkata Syaikh Nashir bin ‘Abdil Karim Al-‘Aql dalam Mujmal Ushul I'tiqod Ahlus Sunnah Wal Jama'ah hal.5 : "As-Salaf, mereka adalah generasi pertama ummat ini dari para shahabat, tabi'in dan imam-imam yang berada di atas petunjuk dalam tiga generasi terbaik pertama. Dan kalimat As-Salaf juga digunakan kepada setiap orang yang berada pada setelah tiga generasi pertama ini yang meniti dan berjalan di atas manhaj mereka".

MAKNA SALAFY DAN PENISBAHAN DIRI KEPADA MANHAJ SALAF

Salafy bermakna orang yang mengikuti jalan orang salaf dalam memahami dan mengamalkan agama Islam. Jika lebih dari seorang, maka di sebut salafiyun. Orang yang ingin kita ikuti dalam beragama adalah orang-orang salaf, bukan salafy. Tetapi kita boleh belajar agama dari orang salafy. Salafy yang diartikan sebagai orang yang mengikuti generasi salaf tentu mempunyai berbagai tingkat pemahaman ilmu. Sehingga jika didapati ada salafy yang salah dalam mengemukakan atau memahami permasalahan tertentu didalam agama, bukan berarti salahnya ajaran orang-orang salaf. Karena salafy dan orang salaf adalah suatu perkara yang berbeda.

Asal penamaan Salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada putrinya Fathimah radihyallahu ‘anha :

فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ

“Karena sesungguhnya sebaik-baik salaf bagi kamu adalah saya". Dikeluarkan oleh Bukhary no.5928 dan Muslim no.2450.

Maka jelaslah bahwa penamaaan salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah perkara yang mempunyai landasan (pondasi) yang sangat kuat dan sesuatu yang telah lama dikenal tapi karena kebodohan dan jauhnya kita dari tuntunan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka muncullah anggapan bahwa manhaj salaf itu adalah suatu aliran, ajaran, atau pemahaman baru, dan anggapan-anggapan lainnya yang salah.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 4 hal 149 : “Tidak ada celaan bagi orang yang menampakkan madzhab salaf dan menisbahkan diri kepadanya dan merujuk kepadanya, bahkan wajib menerima hal tersebut menurut kesepakatan (para ulama). Karena sesungguhnya madzhab salaf itu adalah tak lain kecuali kebenaran”.

Berikut ini saya akan memberikan beberapa contoh untuk menunjukkan bahwa penggunaan nama salaf dan salafy sudah lama dikenal :

Berkata Imam Bukhary (wafat 256 H) dalam Shohihnya dengan Fathul Bary jilid 9 hal.552 : “Bab bagaimana para ‘ulama salaf berhemat di rumah-rumah mereka dan di dalam perjalanan mereka dalam makanan, daging dan lainnya”.

Imam Ibnul Mubarak (wafat 181 H) berkata : “Tinggalkanlah hadits ‘Amr bin Tsabit karena ia mencerca para ‘ulama salaf”. Baca : Muqoddimah Shohih Muslim jilid 1 hal.16.

Tentunya yang diinginkan dengan kata salaf oleh Imam Bukhary dan Ibnul Mubarak tiada lain kecuali para shahabat dan tabi’in.

Dan juga kalau kita membaca buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan nasab, akan didapatkan para ’ulama yang menyebutkan tentang nisbah Salafy (penisbahan diri kepada jalan para ‘ulama salaf), dan ini lebih memperjelas bahwa nisbah kepada manhaj salaf juga adalah sesuatu yang sudah lama dikenal dikalangan para ‘ulama.

Berkata As-Sam'any dalam Al-Ansab jilid 3 hal.273 : "Salafy dengan difathah (huruf sin-nya) adalah nisbah kepada As-Salaf dan mengikuti madzhab mereka".

Dan berkata As-Suyuthy dalam Lubbul Lubab jilid 2 hal.22 : "Salafy dengan difathah (huruf sin dan lam-nya) adalah penyandaran diri kepada madzhab As-Salaf".

Dan saya akan menyebutkan beberapa contoh para ‘ulama yang dinisbahkan kepada manhaj (jalan) para ‘ulama salaf untuk menunjukkan bahwa mereka berada diatas jalan yang lurus yang bersih dari noda penyimpangan :

1. Berkata Imam Adz-Dzahaby dalam Siyar A’lam An-Nubala` jilid 13 hal.183 setelah menyebutkan hikayat bahwa Ya'qub bin Sufyan Al-Fasawy rahimahullah menghina ‘Utsman bin 'Affan radhiyallahu ‘anhu : “Kisah ini terputus, Wallahu A’lam. Dan saya tidak mengetahui Ya'qub Al-Fasawy kecuali beliau itu adalah seorang Salafy, dan beliau telah mengarang sebuah kitab kecil tentang As-Sunnah”.

2. Dan dalam biografi ‘Utsman bin Jarzad beliau berkata : “Untuk menjadi seorang Muhaddits (ahli hadits) diperlukan lima perkara, kalau satu perkara tidak terpenuhi maka itu adalah suatu kekurangan. Dia memerlukan : Aqal yang baik, agama yang baik, dhobth (hafalan yang kuat), kecerdikan dalam bidang hadits serta dikenal darinya sifat amanah".

Kemudian Adz-Dzahaby mengomentari perkataan tersebut, beliau berkata : "Amanah merupakan bagian dari agama dan hafalan bisa masuk kepada kecerdikan. Adapun yang dibutuhkan oleh seorang hafizh (penghafal hadits) adalah : Dia harus seorang yang bertaqwa, pintar, ahli nahwu dan bahasa, bersih hatinya, senantiasa bersemangat, seorang salafy, cukup bagi dia menulis dengan tangannya sendiri 200 jilid buku hadits dan memiliki 500 jilid buku yang dijadikan pegangan dan tidak putus semangat dalam menuntut ilmu sampai dia meninggal dengan niat yang ikhlas dan dengan sikap rendah diri. Kalau tidak memenuhi syarat-syarat ini maka janganlah kamu berharap”. Lihat dalam Siyar A’lam An-Nubala` jilid 13 hal.280.

3. Dan Adz-Dzahaby berkata tentang Imam Ad-Daraquthny : “Beliau adalah orang yang tidak akan pernah ikut serta mempelajari ilmu kalam (ilmu mantik) dan tidak pula ilmu jidal (ilmu debat) dan beliau tidak pernah mendalami ilmu tersebut, bahkan beliau adalah seorang salafy". Baca Siyar A’lam An-Nubala`jilid 16 hal.457.

4. Dan dalam Tadzkirah Al-Huffazh jilid 4 hal.1431 dalam biografi Ibnu Ash-Sholah, berkata Imam Adz-Dzahaby : “Dan beliau adalah seorang Salafy yang baik aqidahnya". Dan lihat : Thobaqot Al-Huffazh jilid 2 hal.503 dan Siyar A’lam An-Nubala` jilid 23 hal.142.

5. Dalam biografi Imam Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Isa bin ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdasy, Imam Adz-Dzahaby berkata : “Beliau adalah seorang yang terpercaya, tsabt (kuat hafalannya), pandai, seorang Salafy…". Baca Siyar A’lam An-Nubala` jilid 23 hal.18.

6. Dan dalam Biografi Abul Muzhoffar Ibnu Hubairah, Imam Adz-Dzahaby berkata : “Dia adalah seorang yang mengetahui madzhab dan bahasa arab dan ilmu 'arudh, seorang salafy, atsary". Baca Siyar A’lam An-Nubala` jilid 20 hal.426.

7. Berkata Imam Adz-Dzahaby dalam biografi Imam Az-Zabidy : “Dia adalah seorang Hanafy, Salafy". Baca Siyar A’lam An-Nubala`jilid 20 hal.316.

8. Dan dalam Biografi Musa bin Ibrahim Al-Ba'labakky, Imam Adz-Dzahaby berkata : “Dan demikian pula beliau seorang perendah hati, seorang Salafy”. Lihat : Mu'jamul Muhadditsin hal.283.

9. Dan dalam biografi Muhammad bin Muhammad Al-Bahrony, Imam Adz-Dzahaby Berkata : "Dia seorang yang beragama, orang yang sangat baik, seorang Salafy”. Lihat : Mu'jam Asy-Syuyukh jilid 2 hal.280 (dinukil dari Al-Ajwibah Al-Mufidah hal.18).

10. Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam Lisanul Mizan Jilid 5 hal.348 dalam biografi Muhammad bin Qasim bin Sufyan Abu Ishaq : "Dan Ia adalah Seorang yang bermadzhab Salafy”.

HUKUM MENGIKUTI PAHAM SALAF

Hukum mengikuti paham salaf dalam beragama adalah wajib. Seseorang sepatutnya merasa bangga untuk bisa mengikuti paham salag dalam beragama, karena generasi salaf adalah generasi yang telah dijamin kebenarannya dan di redhai Allah SWT. Sesiapa yang tidak mengikuti pemahaman salaf dalam memahami Qur an dan Hadis, maka dia akan sesat, selanjutnya Allah akan memasukkannya ke neraka jahannam. Sebagaimana Allah berfirman :

Maksudnya : " Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin(para sahabat Nabi saw), Kami biarkan ia berterusan dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali ". [An-Nisa' : 115]

-Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :

( فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ )

Maksudnya : “ Sesungguhnya, orang yang hidup di antara kalian selepasku akan melihat banyak perselisihan yang timbul ; maka tetaplah kalian dengan sunnahku dan sunnah Khulafa al-Mahdiyyin al-Rashidiin, berpeganglah dengannya, dan gigitlah ia dengan geraham …“. [HR Abu Daud : 4607, al-Tirmidzi : no.2676]
Berdasarkan firman dan hadis diatas, sepatutnya kita menjauhi dari pada memahami Qur an dan Hadis hanya mengikut akal saja, atau mengikut adat istiadat yang berlaku, atau mengikut apa yang dilakukan orang ramai, atau hanya mengikut ulama tanpa meneliti apakah pendapatnya sesuai dengan pemahaman salaf apa tidak.

PENAMAAN UNTUK GOLONGAN YANG BENAR

Sebelum terjadi fitnah bid'ah perpecahan dan perselisihan dalam ummat ini, ummat Islam tidak dikenal kecuali dengan nama Islam dan kaum muslimin, kemudian setelah terjadinya perpecahan dan munculnya golongan-golongan sesat yang mana setiap golongan menyerukan dan mempropagandakan bid'ah dan kesesatannya dengan menampilkan bid'ah dan kesesatan mereka di atas nama Islam, maka tentunya hal tersebut akan melahirkan kebingungan ditengah-tengah ummat. Akan tetapi Allah Maha Bijaksana dan Maha Menjaga agama-Nya. Dialah Allah yang berfirman :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya”. (Q.S. Al Hijr ayat 9).

Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

“Terus menerus ada sekelompok dari ummatku yang mereka tetap nampak di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang mencerca mereka sampai datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu”.

Maka para ‘ulama salaf waktu itu yang merupakan orang-orang yang berada di atas kebenaran dan yang paling memahami aqidah yang benar dan tuntunan syari'at Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang murni yang belum ternodai oleh kotoran bid'ah dan kesesatan, mulailah mereka menampakkan penamaan-penamaan syari’at diambil dari Islam guna membedakan pengikut kebenaran dari golongan-golongan sesat tersebut.

Berkata Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah :

لَمْ يَكُوْنُوْا يَسْأَلُوْنَ عَنِ الْإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ قَالُوْا سَمّوْا لَنَا رِجَالَكُمْ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيْثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلاَ يُؤْخَذُ حَدِيْثُهُمْ

“Tidaklah mereka (para ‘ulama) bertanya tentang isnad (silsilah rawi). Tatkala terjadi fitnah mereka pun berkata : “Sebutkanlah kepada kami rawi-rawi kalian maka dilihatlah kepada Ahlus Sunnah lalu diambil hadits mereka dan dilihat kepada Ahlil bid’ah dan tidak diambil hadits mereka””.

Maka sebutan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang dikenal saat itu, adalah untuk membedakan antara orang yang mengaku Islam yang mengikuti paham Syiah, Khawarij, Mu’tazilah, jabariyah, Qadariyah, Murji’ah dengan golongan yang benar yang masih lagi berpegang kepada paham Nabi saw dan para sahabatnya dalam perkar akidah yang diperselisihkan, mereka adalah ahlu sunnah wal jama’ah.

Dalam perjalanan masa, ternyata terjadi fitnah kembali terhadap umat Islam dengan munculnya paham-paham yang bercanggah dengan paham Nabi saw dan para sahabatnya didalam akidah dan ibadah. Seperti munculnya paham Asyaa’irah dan Maturidiyah yang masih lagi berkait kepada paham Mu’tazilah, yang mencuba menta’wilkan sifat-sifat Allah dan berpendapat bahwa Qur an adalah makhluk secara makna lafdzi.

Pada masa yang sama telah muncul sifat fanatik diantara kalangan umat terhadap mazhab masing-masing, sehingga sanggup membuat hadis palsu mencaci maki, hanya untuk memburukan ulama dari mazhab lain yang tidak sependapat dengan mazhab mereka.

Begitu juga muncul pada masa itu fantisme dan pembenaran ajaran tarekat sufi dimana banyak didapati amalannya sangat bertentangan dengan amalan Nabi saw dan para sahabatnya.

Keadaan diatas sangat memberikan rasa khawatir untuk golongan yang masih lagi berpegang kepada paham ahlu sunnah wal jama’ah, karena golongan diatas juga mengaku sebagai ahlu sunnah wal jama’ah.

Berdasarkan keadaan diatas, yaitu pada abad 4 H, maka para murid-murid Imam Ahmad Bin hambal menyeru kaum muslimin yang mengaku ahlu sunnah wal jama’ah ( pada masa itu mereka berpegang kepada akidah asyaairah, fanatik dalam bermazhab dan mengamalkan ajaran tarekat ) untuk kembali kepada SALAF. Artinya kembali kepada pemahaman para sahabat dalam memahami Islam, yaitu untuk mennggalkan paham akidah asyaairah, fanatik dalam bermazhab dan ajaran tarekat sufi.

Sejak seruan itu, maka siapapun yang mengajak kepada pemahaman salaf mereka akan disebut sebagai salafy. Jika jumlah mereka banyak , maka di sebut salafiyun. Sehinggalah sampai kepada hari ini.

Pada abad 8 H, seruan dakwah untuk kembali kepada salaf diteruskan secara lantang oleh seorang ulama Ibnu Taimiyah yang di dukung oleh para muridnya, dan ulama lainnya. Dimana dakwh ini sanat di tentang oleh kalangan orang-orang yang terlanjur berpegang kepada akidah asyairah, fanatik dalambermazhab begitu juga ditentang oleh golongan pengamal ajaran tarekat sufi.

Selanjutnya seruan kembali kepada salaf diteruskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan ulama lainnya sehinggalah hari ini.