Penulis: Syaikh ‘Abdurrahman Ad Dimasyqiyyah
Selalu ada pergelutan antara al haq dengan al bathil. Dan Allah telah mengirimkan sekelompok orang yang mempergunakan waktunya guna melindungi dan membela Dien ini (yaitu Al Qur’an dan As Sunnah). Di lain pihak, ada orang-orang yang mengaku dan merasa bahwa mereka adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan. Padahal Allah telah berfirman tentang mereka,
“Dan ketika dikatakan pada mereka supaya jangan berbuat kerusakan di muka bumi ini dengan perbuatannya, mereka berkata ‘tapi kami adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan’. Tapi sesungguhnya mereka adalah pembuat kerusakan namun mereka tidak menyadarinya”(Al Baqarah 11-12)
Mereka adalah orang-orang yang berbahaya, karena mereka menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang melakukan perbaikan padahal kenyataannya mereka adalah perusak agama.
Pada abad ke 20, yang merupakan akhir dari kerajaan ‘Ustmani, banyak bermunculan kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi yang mengatasnamakan Islam, yang menyatakan bahwa masuk ke dalam dunia politik atau mengambil cara-cara politik adalah merupakan jalan atau cara terbaik guna menjaga martabat Islam dan umat Islam. Namun mereka tidak menganggap bahwa problem utama dari turunnya martabat Islam adalah kelemahan umat Islam. Kelompok-kelompok ini mendasari pemikiran-pemikirannya dengan berdasarkan pada tekanan-tekanan dan emosional, bukan dengan ilmu (agama), dan mereka tidak berusaha untuk mencari ilmu itu. Tingkah laku mereka semrawut, sehingga dengannya tercipta kekacauan.
Usaha dakwah kepada Tauhid, dakwah kepada Al Qur’an dan As Sunnah tidaklah diambil dalam manhaj mereka, kecuali bila situasi politik memperbaiki keadaan umat. Mereka berkata “simpanlah dulu usaha-usaha dakwah semacam itu di rak-rak kalian sampai situasi politik kita memperbaikinya”. Padahal berjuta-juta orang menunggu pada dakwah al haq ini. Tapi mereka hanyalah memprioritaskan dakwah mereka untuk kembali pada khilafah. Sampai-sampai mereka menggantungkan semua hal dan tidak ada yang bisa dilakukan sampai khilafah kembali. Sehingga ketika mereka menyikapi orang-orang kuffar, mereka berkata “biarkan mereka masuk neraka”, kenapa mereka berkata demikian? “Karena orang-orang kuffar itu telah merebut tanah-tanah kaum muslimin”, menurut mereka. Padahal dakwahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah demikian. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memprioritaskan dakwah kepada tauhid kepada umat manusia, walaupun nantinya hanya satu orang yang mengikuti beliau.
Sebenarnya banyak dari musuh-musuh Islam yang menjadi pemimpin-pemimpin kaum Muslimin (dikarenakan lemahnya pemahaman umat Islam akan dakwah al haq) , ini seharusnya tidak boleh dilupakan oleh kita. Dan orang-orang kuffar menyadari hal ini, sehingga mereka mendukung misionaris-misionaris agama mereka yang membuka jalan atau kesempatan untuk masuk ke dalam komunitas muslimin. Dan seharusnya kitalah, Umat Islam, yang melakukan hal tersebut, yaitu mendakwahi orang-orang kuffar itu sehingga mereka masuk Islam, yang dengan masuknya ke dalam Islam ini dapat memasukkan dia ke dalam surga dan menyelamatlannya dari neraka. Tapi para “politisi” kita, seperti Hizbut Tahrir dan yang lainnya, tidaklah menganggap hal ini sebagai sesuatu yang harus dipertimbangkan.
Orang-orang (kelompok-kelompok) itu hanyalah berbicara tentang konspirasi-konspirasi yang dilakukan barat, invasi kebudayaan, bagaimana umat Islam diserang oleh kaum kuffar lewat buku-buku, sekolah-sekolah dan lain-lain. Padahal sebenarnya sudah ada jenis invasi lain yang mengambil tempat di tengah-tengah muslimin, yang sudah terjadi mulai berabad-abad yang lampau sampai sekarang, yaitu Sufisme dan Ilmul Kalam. Jenis invasi ini membajak agama yang didalamnya terdapat kesesatan-kesesatan. Malah sekarang orang-orang mengajarkan kesesatan-kesesatan ini di sekolah-sekolah Islam, bahkan ada yang menjadi sarjana di bidang ini dan lain-lain. Maka invasi itu tidak hanya invasi kebudayaan dari barat saja, tapi kita pun harus mengetahui jenis invasi ini.
Hal lain yang harus kita perhatikan adalah mencari sebab-sebab keruntuhan umat. Karena keruntuhan umat itu tidaklah terjadi kecuali disebabkan oleh hal-hal tertentu yang menjadikan kenapa hal ini terjadi. Tapi orang-orang ini berkata “Tidak ada yang salah padamu, ini semua adalah tanggung jawab orang-orang kuffar sehingga semua ini terjadi, karena mereka menolak hukum Allah”. Padahal jika kita, umat Islam, pun tidak mematuhi hukum Allah, maka Allah pun mempunyai hukum untuk menghukum kita.
Diantara kelompok-kelompok yang memakai cara-cara politik itu adalah Hizbut Tahrir. Mereka, orang-orang Hizbut Tahrir, ini mempunyai ciri-ciri yang khas dalam setiap pembicaraannya, diantaranya yaitu selalu mendengung-dengungkan masalah khilafah, Adzab Kubur dan Hadits Ahad (maksudnya adalah mereka menolak adanya adzab kubur dan hadits ahad). Itulah ciri-ciri khas dari Hizbut Tahrir. Mereka mengajarkan bahwa hal tersebut adalah merupakan sesuatu yang harus prioritaskan. Mereka berkata “jika kamu tidak berusaha untuk menegakkan khilafah, maka kamu musyrik”, apakah mereka berkata demikian? Ya, karena kamu tidak berusaha untuk menegakkan khilafah!!!. Lalu apakah kaum muslimin pada masa kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Makkah dan belum hijrah ke Madinah, mereka itu musyrik?
Perlu diperhatikan sebelum kita masuk ke dalam permasalahan yang akan kita bicarakan ini. Hendaknya diingat bahwa hal yang kita lakukan ini adalah dalam rangka perbaikan diri, terutama pada diri-diri kita sendiri. Sebab kita memang membutuhkan koreksi. Oleh karena itu, hanyalah orang-orang yang memerlukan pada perbaikan diri akan mendengarkan (membaca) penjelasan ini, sedangkan orang-orang yang fanatik tidak akan mendengarkan dan menghiraukannya.
Ketika orang-orang sibuk melakukan bantahan terhadap syubhat-syubhat Hizbut Tahrir, ada satu hal yang sering luput untuk diperhatikan dan tidak diketahui oleh mereka. Yaitu tentang aqidah yang dianut pendiri Hizbut Tahrir ini. Pendiri kelompok ini adalah seorang yang beraqidah asy’ariyah maturidiyah, dan dia menyatakan bahwa orang-orang asy’ariyah maturidiyah sebagai Ahlut Tauhid wa Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ini adalah salah satu yang harus kita bongkar terlebih dahulu dari kelompok ini, bukan hanya membahas permasalahan-permasalahan mereka dalam mengingkari hadits ahad dan adzab kubur atau dakwahnya kepada penegakkan khilafah saja.
Mereka mempunyai hal yang lebih sesat dari itu semua, seperti pemakaian ilmul kalam dalam membahas setiap permasalahan agama. Padahal A’imah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, seperti Imam Asy Syafi’i dan Imam Abu Hanifah telah membantah ilmul kalam itu. Mereka mencap orang-orang yang mempelajari ilmul kalam itu sebagai mubtadi’, yang harus dihukum cambuk dan dimasukkan ke penjara serta ditahdzir.
Pendiri Hizbut Tahrir adalah Taqiyuddin An Nabhani. Dia adalah merupakan salah satu cucu dari Yusuf bin Isma’il An Nabhani, yang dia (Yusuf) ini adalah seorang yang sangat berlebihan pada Sufisme. Yusuf Isma’il mempunyai (mengarang) banyak kitab, diantaranya adalah Jami’ Karamatul Awliya’. Kitab ini didalamnya berisi banyak cerita-cerita “yang lucu”, salah satunya adalah Ali Al Amali, jika kita membacanya maka kita akan tertawa sekaligus menangis.
Mereka (pengikut Hizbut Tahrir) menggelari Taqiyuddin sebagai mujtahid muthlaq, Apakah kamu pernah mendengarnya? [ya]. Lalu apakah yang mereka katakan tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Mereka katakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak seharusnya berijtihad. Apakah kamu pernah mendengar hal ini? Bahwa beliau tidak seharusnya berijtihad?.
Maka kita katakan pada mereka, siapa yang paling sempurna satu sama lain yang berhak untuk melakukan ijtihad? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah Taqiyuddin? Dia (Taqiyuddin) adalah majhul atau tidak dikenal, dia bukanlah siapa-siapa. Lalu bagaimana hal itu bisa dikatakan? Apakah kalian berpikir bahwa perbuatan kalian ini tidak akan diketahui? Allah memelihara agama-Nya dan barang siapa yang melakukan kedustaan dan kesesatan maka akan disingkapkan kedustaan dan kesesatannya itu dan dia akan dihukum. Pencuri, bagaimana mungkin seseorang menawarkan bid’ah kepada umat dan menyatakan bahwa kebid’ahan itu adalah sunnah, apakah dia tidak sadar dan takut akan dihukum? Allah lah yang akan menghukumnya.
Taqiyuddin lahir di Ijzim, Palestina pada tahun 1909. Kemudian setelah dewasa, dia belajar Universitas Al Azhar sampai lulus. Setelah dia lulus, dia pergi ke Libanon dan Yordania, dan bekerja di universitas Islam sebagai tenaga pengajar sampai akhirnya dia mendirikan Hizbut Tahrir.
Dia wafat pada tahun 1977. Dia memiliki (menulis) banyak kitab, seperti Risalatul Arab yang didalamnya terdapat kecenderungan pada nasionalisme, menunjukkan konsepnya tentang nasionalisme dan lain-lain. Walaupun dia menyatakan menarik kembali konsepnya itu, namun yang nyata bagi kami, dia tidak secara tegas menyatakan hal tersebut di kitab-kitabnya yang terakhir. Karena kitab Risalatul Arab merupakan salah satu kitab pertama yang dia tulis.
Aqidahnya, seperti yang telah disinggung sebelumnya, adalah maturidiyah yang merupakan sebuah pemahaman sebuah firqah yang dinisbahkan pada Abu Manshur Al Maturidi, yang memiliki kesesatan yang lebih daripada Asy’ariyah. Dia menyebut a’imah dari firqah tersebut sebagai “Ahlus Sunnah wal Jama’ah”.
Dalam salah satu tulisannya, yang didalamnya terdapat pernyataan yang sebenarnya adalah merupakan imitasi dari perkataannya Ar Razi (seorang tokoh dari ahlul kalam). Dia berkata bahwa kita tidak bisa menerima Al Qur’an sampai terpenuhinya 10 syarat, dan salah satu syaratnya itu adalah Al Qur’an itu harus disesuaikan dengan ‘aql. Ini merupakan perkataannya Ar Razi.
Dia juga menulis dalam kitabnya Asy Syakhsiyyah Al Islamiyyah III/132, yang tulisannya membuktikan akan ke-maturidiyah-annya dan ke-asy’ariyah-annya. Dia men-ta’wilkan beberapa sifat Allah, seperti tangan Allah yang dia artikan sebagai kekuatan atau kekuasaan. Padahal kita temukan dalam kitab Syarhul Fiqhul Akbar Abu Hanifah halaman 33, disitu dikatakan bahwa tidak boleh untuk men-ta’wilkan tangan Allah sebagai kekuatan atau kekuasaan. Dan juga dalam kitab Tabyin Khadibul Muftari halaman 150, disana terdapat perkataan dari Imam Asy’ari (Abul Hasan Al Asy’ari) sendiri bahwa tidak boleh menyatakan atau meng-qiyaskan tangan Allah itu sehingga artinya adalah kekuatan atau kekuasaan. Sebab itu adalah perkataannya Mu’tazilah, salah satu firqah yang paling sesat.
Jika kita membuka kitab Syarh Ushulul Khomsah Al Mu’tazilah halaman 228, disana akan ditemukan perkataan salah satu imam dari mu’tazilah yaitu Al Qadhi ‘Abdul Jabbar, yang berkata bahwa manhaj “ahlus sunnah” adalah meyakini bahwa tangan Allah itu maksudnya adalah kekuasaan atau kekuatan.
Maka permasalahan inilah yang harus kita bahas terlebih dahulu, janganlah kita berbicara tentang syubhat-syubhat mereka tentang khilafah, hadits ahad, atau ‘adzab kubur, tapi mari kita bahas tentang at ta’wil yang mereka lakukan.
Imam Abu Ja’far Ath Thahawi (penulis kitab Aqidah Thahawiyah) mengatakan bahwa ta’wil yang terbaik adalah meninggalkan ta’wil dan hanya mencukupkan pada nash (Al Qur’an dan As Sunnah) dan apa yang ada (disepakati) oleh Jama’atul Muslimin. Lalu, bagaimana bisa mereka, tukang ta’wil, dikatakan sebagai Ahlus Sunnah Wal Jama’ah padahal ucapan mereka bertolak belakang dengan ucapan Imam Ath Thahawi. Dan banyak lagi kesesatan lainnya.
Seputar tentang hadis Ahad:
Pengertian ahad secara etimologi berasal dari kata “Ahad” atau “Wahid” bererti satu. Maka khabar ahad خبر احد atau khabar wahid خبر واحد adalah suatu berita (khabar) yang disampaikan oleh satu orang sahaja. (Lihat: Al-hadis an-Nabawi Mustalahatuhu Balagatuh Ulumuhu, m/s. 21, Muhammad as-Shabbag)
“Hadis Ahad ialah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir atau tidak memenuhi sebahagian dari syarat-syarat mutawatir.” (Lihat: Syarah Nukhbatu al-Fikri oleh al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah (m/s. 4-8), al-Ahkam oleh Imam al-Amidi rahimahullah (2/31). Lafaz al-Amidi adalah: “Yang lebih pasti untuk hadis Ahad ialah, salah satu hadis yang tidak sampai ke tingkatan mutawatir”)
Hadis Ahad adalah hadis yang berada di bawah nilai hadis sahih setelah memenuhi ketentuan maqbul (diterima), dan beramal dengannya adalah wajib. Jumhur ulama, sama ada dari kalangan sahabat atau tabi’in serta para ulama setelahnya sama ada dari kalangan ahli hadis, ahli fiqh ataupun ahli usul berpendapat bahawa hadis ahad yang sahih itu dapat dijadikan hujjah yang diamalkan. Kewajipan beramal dengannya didasarkan atas kewajipan syar’i bukan atas dasar akli (akal). (Lihat: Qawaid at-Tahdis min Funun Mustalah al-Hadis, m/s. 147-148, Muhammad Jamal ad-Din al-Qasami)
Menurut ulama ahli hadis bahawa hadis ahad yang ada pada kitab al-Jami’ as-sahih oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, menunjukkan kepada ilmu yakin. (Lihat: Qawaid at-Tahdis min Funun Mustalah al-Hadis, m/s. 148, Muhammad Jamal ad-Din al-Qasami) Dengan demikian keadaannya, maka hadis ahad dalam kedua kitab ini memberi faedah yang qat’i (iaitu nilaian hadis sahih).
Kriteria yang disebutkan oleh Imam asy-Syafi'i rahimahullah merupakan kriteria yang dibuat oleh para ulama ahli hadits (mushthalah), yaitu:
1. Sanadnya tersambung (tidak putus/muttashil).
2. Para perawinya adil.
3. Perawinya dhabit (tepat dan sempurna hafalannya).
4. Selamat dari syudzudz. Yang dimaksud dengan syudzudz adalah
riwayatnya bertentangan dengan riwayat orang lain yang lebih tsiqah darinya.
5. Selamat dari cacat yang menjadikannya cedera. (Lihat syarat-syarat hadits dalam kitab Ikhtishar 'Ulum al-Hadits (hal. 10) dan kitab Tadrib ar-Rawi (hal. 22), juga kitab Lamahaatfi Ushul al-Hadits (hal. 11))
Semua syarat atau kriteria ini sebenarnya telah pun disebutkan oleh Imam asy-Syafi'i rahimahullah melalui ucapannya seperti di atas, sekalipun tidak berurutan seperti yang diurutkan oleh para ulama ahli hadis. Dengannya juga telah menunjukkan bahawa betapa dalamnya ilmu Imam asy-Syafi'i rahimahullah dalam bidang hadis. Oleh kerana itu, kitab-kitabnya dipenuhi dengan serangkaian dalil dan dasar atas hujjah-hujjah Sunnah, serta bantahan terhadap orang yang menentangnya dan terhadap orang yang mengambil hadis hanya sebahagian dan menolak sebahagian yang lain.
Mereka yang tidak mengambil hadis ahad dalam persoalan akidah, nescaya menolak beberapa hadis ahad tentang akidah lainnya seperti berkenaan:
Keistimewaan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang melebihi semua nabi-nabi.
1 - Syafaat yang besar di akhirat.
2 - Syafaat terhadap umatnya yang melakukan dosa besar.
3 - Semua mukjizat selain al-Quran.
4 - Proses permulaan makhluk, sifat malaikat dan jin, sifat neraka dan
syurga yang tidak diterangkan dalam al-Quran.
5 - Pertanyaan malaikat Mungkar dan Nakir di alam kubur.
6 - Himpitan kubur terhadap mayat.
7 – Jambatan (titian ash-Shirath), telaga dan timbangan amal.
8 - Keimanan bahawa Allah menetapkan kepada semua manusia akan keselamatannya,
kesengsaraannya,rezekinya, matinya ketika masih dalam kandungan ibunya.
9 - Keistimewaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang dikumpulkan oleh Imam
as-Suyuti dalam kitab al-Khasais al-Kubra, seperti Rasulullah masuk ke syurga
ketika baginda masih hidup dan melihat kedudukannya serta hal-hal yang
disediakan untuk orang yang bertaqwa.
10 - Berita kepastian bahawa sepuluh sahabat dijamin masuk syurga.
11 - Bagi orang yang melakukan dosa besar tidak kekal selama-lamanya
dalam neraka.
12 - Percaya kepada hadis sahih tentang sifat hari kiamat dan padang mahsyar yang
tidak dijelaskan dalam al-Quran.
13 - Percaya terhadap semua tanda kiamat seperti keluarnya Imam Mahdi, turunnya
Nabi Isa, keluarnya Dajjal, keluarnya api, munculnya matahari dari barat dan
binatang-binatang dan lain-lainnya.
No comments:
Post a Comment