Soal 1 : Apakah yang dimaksud dengan Asy’ariyah ?
Jawaban :
“Asy’ariyah” yang juga di kenal “Asya’irah” adalah penisbatan sebuah pemahaman dalam aqidah kepada imam Abu Hasan al-Asy’ari, dimana mereka sebetulnya berpegang pada pemahaman Abu Hasan al-Asy’ari pada fase kedua kehidupannya, yang dikenal pada saat itu beliau menganut paham Kullabiyah.
Alangkah baiknya jika setiap orang yang menisbatkan diri kepadanya dalam aqidah untuk betul-betul mengetahui fase-fase kehidupannya, terutama fase beliau ketiga dimana Imam Abu Hasan al-Asy’ari kembali kepada paham salaf.
Kehidupan Imam Abu Hasan al-Asy’ari melalui tiga fase, yaitu :
1.Fase dengan membawa pemahaman Mu’tazilah, gurunya dalam pemahaman ini adalah bapak tirinya yang bernama Abu Ali Al-Jubba’i,hal ini berlangsung hingga beliau berusia 40 tahun. ( Tabyin Kadzibil Muftari, hal.40 )
2.Fase dengan membawa pemahaman Kullabiyah, suatu pemahaman yang diambil dari tokoh pendirinya Abdullah bin Said bin Kullab al-Qaththan ( 240 H ). Pemahaman inilah yang menjadi tonggak ajaran dan pokok pemahaman mereka dalam madzhab, pemahaman ini dituangkan oleh beliau dalam kitab al-Luma’ fir Radd ‘ala Ahliz Zaighi wal Bida.’Pemahaman yang tersebar dan diikuti ramai pada hari ini adalah pemahaman pada fase yang kedua ini, yaitu suatu pemahaman yang berasaskan kepada paham Kullabiyah, dengan mentakwilkan sifat-sifat Allah.
3.Fase dengan membawa pemahaman salaf ( Ahlu sunnah wal jama’ah ), pemahaman yang mana beliau wafat dengannya, beliau tuangkan dalam karangannya yaitu al-Ibanah, Risalah ila Ahli Tsaghar dan Maqalat Islamiyyin.
Soal ke 2 : Apakah yang dimaksud dengan Ahlu sunnah wal jamaah?
Jawaban :
Makna Ahlu sunnah wal jama’ah secara singkat adalah mereka yang berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah saw dan mengikuti jama’ah sahabat Rasulullah saw dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
As’ariyah sepakat dalam definisi Ahlu sunnah wal jama’ah diatas, sebagai didalam kitab mereka Jauharah at-Tauhid dikatakan : “ Seluruh kebaikan dengan mengikuti salaf ( yang terdahulu ), dan semua keburukan pada bid’ah orang khalaf ( yang datang kemudian ).” Akan tetapi, benarkah pemahaman mereka adalah pemahaman para sahabat Nabi saw dan aqidah mereka adalah aqidah imam yang empat ?
Soal ke 3 : Apakah Syaikh Abu Hasan Ali al-Asy’ari adalah seorang ulama yang merumuskan dan mengumpulkan secara rapi akidah ahlu sunnah wal jama’ah yang belum tersusun di dalam Qur an dan Hadis?
Jawaban :
Pernyataan bahwa syaikh Abu Hasan al asy’ari adalah perumus akidah ahlu sunnah adalah tidak benar. Perlu di ketahui bahwa syaikh Abu Hasan Ali al-Asy’ari lahir di Basrah tahun 260 H dan wafat di Basrah juga pada tahun 324 H dalam usia 64 tahun. Telah banyak para ulama yang telah menyusun kitab aqidah sebelum imam Abu Hasan Ali al-Asy’ari, seperti Imam Abu Bakr Bin Abu Syaibah ( wafat 235 H ) yang telah menyususun kita al-Iman, Imam Ahmad Bin Hanbal ( wafat tahun 241 H ) menulis kitab Ushulus Sunnah dan ar-Raddu ‘alal Jahmiyah wal Zanadiqah, Imam Bukhari (wafat tahun 256 H ) menyusun kitab Khalqu Af’alil Ibaad, Imam Ahmad Bin Muhammad Bin Abu Hashim ( wafat tahun 287 H ) dengan kitab as-Sunnah, Imam Abu Bakar Ahmad Bin Muhammad al- Khallal ( wafat 311 H ) menyusun kitab as-Sunnah, Imam Muhammad Bin Ishaq Bin Khuzaimah ( wafat 311 H )menyusun kitab Tauhi wa Itsbaati Shifaati Rabbi ‘Azza wa Jalla, Imam Abu Ja’far Ahmad Bin Muhamad at-Thahawi (wafat 321H ) dengan kitabnya yang terkenal al-Aqidah ath-Thahawiyah.
Berdasarkan banyaknya para ulama yang telah menyusun kitab aqidah sebelum Syaikh Abu Hasan al-Asy’ari di atas, maka tidak patut kita mengatakan bahwa beliau adalah penyusun dan yangmerumuskan aqidah ahlu sunnah wal jama’ah. Bahkan pada fase yang kedua Imam Abu Hasan as-Asy’ari adalah kembali kepada pemahaman salaf dalam memahami sifat Allah. I’tiqad tersebut beliau cantumkan dalam kitab yang terakhir beliau tulis seperti al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah,Maqalatul Islamiyyin wa ikhtilafil Mushallin, dan Risalah ila Ahli Tsaghr.
Soal ke 4: Apakah pemahaman asy’ariyah yang mentakwilkan sifat Allah seperti jika berjumpa ayat yang mengatakan “Allah diatas Arasy” maka di takwikan menjadi “Allah menguasai Arasy” adalah pemahaman para sahabat Nabi saw ?
Jawaban :
Aqidah Asy’ariyah bukan aqidah ahlu sunnah wal jama’ah. Aqidah ahlu sunnah wal jama’ah meyakini ayat-ayat dan hadis tentang sifat Allah dengan menetapkan ( itsbath) lafaz dan makna secara hakiki tanpa ta’wil (adalah merubah makna dari maknanya yang Haq) dan tanpa ta’thil (adalah menghilangkan makna atau sifat Allah ), tanpa takyif (adalah mempersoalkan hakikat asma’ dan sifat Allah dengan bertanya “bagaimana”.), tanpa tasybih, atau tajsim dan tamtsil (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), dan tanpa tafwidh ( Penyerahan makna dan keadaan secara bersama ).
Perkataan salaf tentang Itsbath ( menetapkan ) sifat Allah diatas sangat banyak seperti :
Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisyi meriwayatkan dari Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit al- Khathib berkata , “ Adapun pembicaraan tentang sifat Allah seperti yang termaktub dalam kitab sunan dan shahih, yaitu mazhab salaf adalah menetapkan ( itsbat ) sifat-sifat tersebut pada makna zahirnya secara hakiki dengan tidak menanyakan bentuknya dan menafikan adanya penyerupaan ( tasybih ). Jika kita katakan bahwa Allah memiliki tangan, pendengaran, penglihatan, maka ini hanyalah sifat-sifat Allah yang Allah telah tetapkan sendiri bagi diriNya. Maka kita jangan mengatakan bahwa arti tangan adalah kekuasaan, arti pendegaran, penglihatan dan ilmu adalah anggota badan, dan kita tidak menyerupakannya dengan anggota badan dan alat berbuat. Kita katakan demikian karena itulah yang termaktub didalam nash dengan wajib menafikan tasybih. ( Dzammu Ta’wil, hal 15 ) Disebutkan juga oleh
Imam adz-Dzahabidalam at-Tazdkirah (3/1142-1143).
Para ulama salaf mengatakan, “ Berlakukanlah nash sifat itu seperti datangnya ( maknakan secara hakiki, tidak di tahrif )dan jangan ditanyakan bentuknya.” Mereka yang mengatakan Imam Tsauri, Laits bin Sa’ad, al-Auza’i, Ma’mar bin Rasyid ( Lihat Dzammu Ta’wil hal. 18-21,tahqiq Badr al-Badr )
Penetapan sifat wajah secarahakiki, diriwayatkan dari beberapa sahabat, diantaranya Abu Bakr ash-Shiddiq dan Anas bin Malik dalam tafsir surah yunus : 26.
Artinya :
Untuk orang-orang Yang berusaha menjadikan amalnya baik dikurniakan Segala kebaikan serta satu tambahan ( ziyadah ) Yang mulia dan air muka mereka pula (berseri-seri) tidak diliputi oleh sebarang kesedihan dan kehinaan. mereka itulah ahli syurga, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Abu Bakr berkata, “ Ziyadah adalah melihat wajah Allah SWT. “ Begitu juga ucapan Anas bin Malik, dengan menambahkan, “ Oleh karena itu, hari itu disebut yaum al-mazid ( hari adanya tambahan nikmat ).”
Sifat istiwa’, Ahlusunnah wal jama’ah meyakini bahwa istiwa’ berarti tinggi, diatas, bukan menguasai. Dengan demikian, Allah berada di atas’Arsy secara hakiki sesuai keagunganNya, tidak sama dengan sifat makhluk. Sifat istiwa’ termaktub di dalam al Qur an seperti di dalam surah al’Araf: 54, Yunus: 3, ar-Ra’du: 2, Thaha: 5, al-Fur qan: 59, as-Sajadah: 4, al-Hadid: 4.
Nabi Muhammad saw bersabda: “Ketika Allah memutuskan urusan makhluk, Dia menulis disisiNya di atas ‘Arsy Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului kemarahan-Ku.” HR Bukhari, Muslim. Pemahaman ini di yakini leh para sahabat, tabi’in, dan ulama setelahnya.
-Abdullah bin Abbas , pakar tafsir dari kalangan sahabat Nabi saw, Mujahid-murid beliau, Abul ‘Aliyah, dan Ishaq bin Rahawaih menafsirkan “Istawaa” pada surah al’Araf, ayat 54 : Allah berada di atas arsy dan tinggi. ( Bukari, kitab tauhid ). Inilah pendapat yang dipilih ulama tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya.
-Umar al-Khathab menyatakan bahawa:
“Bahawasanya segala urusan itu (datang) dari sana (sambil mengisyarat-kan tangannya ke langit).” (al-Imam az-Zhahabi di dalam kitab-nya menyatakan bahawa riwayat ini sahih.)
“Daripada Ibnu Abbas (ia berkata) bahawa Rasulullah s.a.w. berkhutbah kepada manusia pada hari Nahr (tanggal 10 Zulhijjah) kemudian Ibnu abbas menyebutkan khutbah Nabi s.a.w. kemudian beliau mengangkat (mendongakkan) kepalanya ke arah langit sambil mengucapkan: “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan! Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan!” (Riwayat Imam Bukhari, juz.2 halaman 191)
-Zainab binti jahsyi, berbangga terhadap para isteri Rasulullah saw lainnya dengan mengatakan , “ kalian dinikahkan dengan Rasulullah saw oleh keluarga kalian sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari atas langit yang ketujuh". HR Bukhari.
Adapun perkataan para ulama sangat masyhur tentang istiwa’. Abu Muthi’ al-Hakam bin Abdullah al-Balkhi berkata,”Aku menanyakan kepada Abu Hanifah tentangorang yang berkata :”Aku tidak mengetahui apakah Rabbku di langit atau di bumi.” Jawab Abu Hanifah, “Dia Kafir, karena Allah SWT berfirman yang mafhumnya : Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas Arsy. QS.Thaha : 5.
Dan “Arsy-Nya diatas langit.”Aku bertanya lagi, “ orang itu berkata, Allah di atas ‘Arsy, tetapi aku tidak tahu apakah ‘Arsy-Nya di atas langit atau di bumi.” Jawab Abu Hanifah, “ Jika dia mengingkari Allah diatas langit maka sesungguhnya dia telah kafir.”( Mukhtashar al-Uluw, hl. 136 ).
Imam Auza’i berkata, “ kami para tabi’in yang banyak berkata, Allah diatas ‘Arsy-Nya, kami mengimani sifat yang terdapat di sunnah.” ( al-‘Uluw, hal. 137-138 )
Imam Malik bin Anas, ketika ada orang bertanya tentang istiwa’ beliau menjawab, “Bentuk istiwa’ tidak diketahui, istiwa’ adalah diketahui ( maknanya yaitu di atas ), mengimaninya wajib dan menanyakan ( bentuknya ) adalah bid’ah, aku khawatir engkau termasuk orang yang sesat.” Maka orang tadi diusir dari majlis (al-‘Uluw, hal 141 ).
Imam Abdullah bin al-Mubarak ditanya,”Bagaimana kita mengethui Rabb kita?” Jawabnya, “ Dia berada diatas langit yang tujuh diatas ‘Arsy-Nya. Kami tidak mengatakan seperti Jahmiyah bahwa Allah itu di bumi.” Hal ini ditanyakan kepada Ahmad bin Hanbal, maka beliau berkata,”Begitu juga pendapatku.”(al-‘Uluw, hal. 151 )
Imam syafii berkata,” Ucapan yang sesuai sunnah yang aku katakan dan pendapatku sesuai dengan mereka seperti Sufyan, Malik dan lainnya yaitu mengikrarkan syahadat tiada Ilah yang berhak di sembah kecuali Allah dan Muhammad utusan Allah, Allah berada di ‘Arsy-Nya diatas langit, Dia mendekat kepada makhluksesuai kehendak-Nya dan turun kelangit dunia sesuai kehendak-Nya.” (al-‘Uluw, hal. 176 )
Jadi inilah perkataan imam sunnah tentang istiwa’dan tidak ada yang mengubah maknanya menjadi menguasai. Arti menguasai itu bukan keyakinan Ahlu sunnah wal jama’ah sebaliknya itu keyakinan yang menyimpang dari Ahlu sunnah. Bahkan arti istiwa’ menjadi istaula sangat tidak dikenal dalam bahasa arab.
Imam Ibnul ‘Arabi , seorang ulama pakar bahasa arab ketika diminta oleh tokoh mu’tazilah, Ahmad bin abu duwad untuk mencari makna istawa yang artinya istaula ( menguasai ) dalam bahasa arab, maka beliau menjawab, “ demi Allah itu tidak ada, aku tidak menemukannya” ( dikeluarkan oleh khatib al-Baghdadi dalam tarikh baghdad, 5/283).
Pakar bahasa lainnya Imam khalil bin Ahmad ketika ditanya juga berkata,”makna Istaula tidak dikenal oleh orang arab dan tidak ada dalam bahasa mereka ( Majmu’ Fatawa 5/146 ), Ibnul Jauzi berkata ,”makna itu dalam bahasa arab adalah mungkar ( Zadul Masiir,3/213 ), Ibnu Abdil Barr berkata, “ Ucapan mereka yang mentakwil Istawa menjadi Istaula tidak sesuai, karena tidak didapati dalam bahasa arab ( At- Tamhid, 7/131 )
Soal ke 5 : Benarkah paham asyaairah adalah paham yang benar berdasarkan hujah dibawah ini Firman Allah SWT dlm surat al_maidah ayat 54 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya :
"Hai orang2 yg beriman, barangsiapa di antara kamu yg murtad dr agama'a, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yg Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yg bersikap lemah lembut terhadap orang yg mu'min,bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yg berjihad dijalan Allah, dan tidak takut kepada celaan orang yg suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui".
حدثنا محمد بن المثنى قال ، حدثنا محمد بن جعفر قال ، حدثنا شعبة ، عن سماك بن حرب ، عن عياض الأشعري قال : لما نزلت هذه الآية ، " يا أيها الذين آمنوا من يرتد منكم عن دينه فسوف يأتي الله بقوم يحبهم ويحبونه " قال : أومأ رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى أبي موسى بشيء كان معه ، فقال : هم قوم هذا
Artinya :
"kami telah diberi hadist oleh muhammad bin al_mutsanna,ia berkata kami telah diberi hadist oleh muhammad bin ja'far,ia berkata kami telah d beri hadist oleh syu'bah dr simak bin harb dari 'iyadhz al_asy'ari ia berkata : manakala turun ayat ini :"Hai orang2 yg beriman, barangsiapa di antara kamu yg murtad dr agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yg Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya".'iyadhz berkata : Rasulullah menunjuki kepada abi musa al_asy'ari dgn sesuatu yg ada besertanya, Rasulullah pun berkata : mereka adalah kaum org ini (abu musa al_asy'ari Radhi Allahu 'anhu)".
Jawab :
Nabi saw menyuruh kita untuk berpegang kepada sunnahnya dan sunnah para sahabatnya. Pemahaman mentakwilkan sifat Allah seperti yang amalkan golongan asyaairah tidak diamalkan oleh Nabi saw dan para sahabatnya, termasuk Abu Musa al-‘asy ari sendiri. Tidak ada satu riwayatpun yang mengatakan bahwa Abu Musa al-asy’ari mengikut paham takwil dalam memehami sifat Allah SWT, sebagaimana paham asyaairah.
Didalam hadis di atas Nabi saw menjelaskan bahwa golongan yang dicintai Allah dan mereka mencintai-Nya adalah kaum ( keturunan ) Abu Musa al-asy’ari dan apa yang bersama dengannya ( pemahaman dan amalan ). Jika keturunannya yang di fokuskan untuk diikuti, maka ada syarat kedua yang harus dipahami yaitu apa yang bersama dengan Abu Musa al-asy’ari yaitu pemahaman dan amalannya. Adakah syaikh Abu Hasan al-asy’ari mewarisi pemahaman dan amalan Abu Musa al-asy’ari dalam paham dan amalan tentang sifat Allah? Justru tidak, karena seluruh para sahabat Nabi saw termasuk Abu Musa al-asy’ari tidak ada yang mentakwilkan sifat Allah sebagaimana paham Abu Hasan al-asy’ari ( paham fase dia yang kedua yaitu kullabiyah ).
Soal ke 6 : Adakah pertentangan antara ungkapan “Allah di langit” dan “Allah ada dan tidak bertempat?”
Jawaban :
Nabi saw bersabda :
أن النبي صلى الله عليه وسلم لما عن الآية (ثم دنى فتدلى فكان قاب قوسين أو أدنى) قال صلى الله عليه وسلم هو جبريل لأن الله موجود بلا مكان فلا يوصف بصفات الأجسام ولا بالمسافة بالمرة
Artinya :
"Sesungguhnya Nabi Shollallahu 'alaihi wa Sallam ketika di tanya tentang ayat (Tsumma dana fa tadalla fa kana qoba qowsaini aw adna) Bersabdalah Nabi, IA ADALAH JIBRIL KARENA SESUNGGUHNYA ALLAH DZAT YG WUJUD TANPA TEMPAT, MAKA TIDAK BOLEH DI SHIFATI DGN BEBERAPA SHIFATNYA JISIM DAN TIDAK DI SHIFATI DG JARAK JANGKAUAN.” HR Imam Bukhori dn Muslim dan Bayhaqi dalam kitab Asma wa al shifat /260.
Perhatikan hadis diatas,....Nabi saw mengatakan Allah adalah Dzat yang wujud tanpa tempat. Inilah yang dijadikan pegangan imam syafii dan golongan salaf untuk megatakan bahwa Allah adalah Dzat tanpa tempat.
Adakah ia ( perkataan Allah tidak bertempat ) bertentangan dengan sabda Nabi pada Hadis Mu’awiyah bin Hakam as-Sulami dimana Beliau mengatakan bahwa Allah dilangit?
Jawabannya tentu tidak, karena dua – duanya adalah sifat Allah yang harus kita pahami maknanya dan kita tetapkan ( Itsbath ) sebagaimana apa yang telah di tetapkan Allah dan rasulNya ttg sifat Allah serta beriman kepadanya tanpa mentakwilkannya dan mempertanyakannya “bagaimana," seperti golongan yang di dalam hatinya ada kecenderungan sesat dan membuat fitnah, dan mereka berusaha juga untuk mentakwilkannya. Sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya :
Dia lah Yang menurunkan kepadamu (Wahai Muhammad) Kitab suci Al-Quran. sebahagian besar dari Al-Quran itu ialah ayat-ayat "Muhkamaat" (yang tetap, tegas dan nyata maknanya serta jelas maksudnya); ayat-ayat Muhkamaat itu ialah ibu (atau pokok) isi Al-Quran. Dan Yang lain lagi ialah ayat-ayat "Mutasyaabihaat" (yang samar-samar, tidak terang maksudnya). Oleh sebab itu (timbulah faham Yang berlainan menurut kandungan hati masing-masing) - Adapun orang-orang Yang ada Dalam hatinya kecenderungan ke arah kesesatan, maka mereka selalu menurut apa Yang samar-samar dari Al-Quran untuk mencari fitnah dan mencari-cari Takwilnya (memutarkan maksudnya menurut Yang disukainya). padahal tidak ada Yang mengetahui Takwilnya (tafsir maksudnya Yang sebenar) melainkan Allah. dan orang-orang Yang tetap teguh serta mendalam pengetahuannya Dalam ilmu-ilmu ugama, berkata:" Kami beriman kepadaNya, semuanya itu datangnya dari sisi Tuhan kami" dan tiadalah Yang mengambil pelajaran dan peringatan melainkan orang-orang Yang berfikiran. QS. Ali Imran : 7
Ini kaedah yang Allah dan RasulNya ajarkan kepada kita, ini yang di pahami golongan salaf, ini yang di pahami oleh para 4 imam mazhab. Dua sifat diatas akan nampak bertentangan jika kita mengkajinya dengan akal kita saja, tanpa merujuk pemahaman Nabi saw dan para sahabatnya. Seperti golongan asyaairah yang akhirnya terpaksa harus mentakwilkan Istawaa kepada Istaula, karena dilihat ketidakcocokan menurut akal mereka.
Imam asy-Syafi'i juga menulis Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar, beliau juga diantara ulama yang mengimani Bahwa Allah tidak bertempat yang merupakan sifat Allah tanpa takwil dan tanpa mempertanyakan “bagaimana”. Imam asy-Syafi’i berkata:
واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه الأكبر، ص13)
Artinya :
“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Soal ke 7 : Jelaskan diantara contoh kesalahan paham asya’irah ?
Jawaban :
1.Sebagaimana kita ketahui bahwa mashdar talaqqi ( sumber dasar pengambilan ) Ahlu sunnah wal jama’ah adalah al-Qur an, Sunnah, ijma’, qiyas. Berbeda dengan Asy’ariyah dimana sumber pengambilan mereka adalah akal. Hal ini diperkuat oleh pendapat para tokoh mazhab seperti al-Juwaini, ar-Razi, al-Ghazali, al Amidi dan seluruh ulama mereka yang mengatakan jika akal dan nash saling bertentangan, maka yang menang adalah akal. Bahkan mereka mengatakan bahwa mengambil azair kitab dan sunnah termasuk dari pokok paham kekufuran. ( Sebagaimana disebutkan as-Sanusi(885 H) dalam syarhul kubra dan ar-Razi dalam Asasut taqdis, hal. 172 ). Mereka juga mengatakan bahwa nash-nash didalam kitab dan sunnah bersifat zhanniyah dilalah ( tidak mutlak mengandung kebenaran )dengan tidak memberi keyakinan, yang qath’i ( mendatangkan keyakinan ) adalah akal. ( Ma’alim Ushuluddin, Fakhruddin ar-Razi, hal. 24 ). Mereka memandang bahwa hadis tidak dapat dijadikan pegangan dalam akidah. Jika terjadi pertentangan dengan akal , maka yangmutawatir harus di takwil dan yang ahad tidak perlu di gubris. Kitab-kita akidah mereka selalu di penuhi dengan perkataan para filosof, sanjutnya kosong dari pada pemahaman dan amalan para sahabat saw.
2.Menurut salaf, keberadaan Allah merupakan hal yang fitri , dalil tentang hal itu telah terpatri pada alam, jiwa dan wahyu. Pada setiap sesuatu ada bukti tentang wujud Allah SWT. Sedangkan asy’ariyah hanya mempunyai satu-satunya alasan tentang wujud Allah yaitu “huduts” ( baru ) dan “ qidam “ ( terdahulu ). Menurut mereka , bukti bahwa Allah SWT itu wujud adalahbahwa semua makhluk bersifat baru dan setiap yang baru mesti ada yang terdahulu. Kekhususan Dzat yang terdahulu bahwa semua sifat – sifatnya tidak boleh sama ( baik lafaz maupun makna ) dengan sifat makhluk. Makanya Allah menurut mereka bukanlah jauhar (badan halus), tidak jisim ( badan kasar ), tidak mempunyai arah, dan tidak punya tempat… dan seterusnya. Karena itu sifat makhluk ( hadits ). Menurut salaf, sifat Allah ialah apa yang ditetapkan didalam syariat-Nya sesuai dengan kebesaran dan keagunganNya tanpa mentakwil, menyerupakan, membayangkan, dan seterusnya sebagaimana di terangkan di dalam kitab aqidah.
3.Mentakwilkan ( merubah makna dari makna hakikinya ) sifat-sifat Allah seperti istiwa di takwil ( di ubah maknanya ) kepada istaula, dimana pekara ini tidak ada contoh dari Nabi saw dan para sahabatnya
4.Iman menurut Ahlu sunnah adalah pengakuan hati, ucapan lisan, dan perbuatan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat. Sedangkan menurut asy’ariyah cukup dengan pembenaran hati, tidak bertambah dan berkurang. Ini menyerupai Jahmiyah sebagaimana yang disebut pada semua pembahasan aqidah mereka. ( al-Irsyad, hal. 397, al-Insaf, hal. 55, al-Baqillani.
Ahlu sunnah wal jama’ah menyatakanbahwa al-Qur an adalah kalamullah, sebaliknya asyaairah merupakan kombinasi antara pemahaman ahlu sunnah dan muktazilah yang mereka mengatakan qur an itu makhluk. Asy’ariyah membedakan antara lafaz dengan makna. Kalam yang mereka tetapkan adalah makna dalam diri-Nya, bukan berupa suara dan bukan pula huruf. Adapun kitab-kitab yang diturunkan termasuk al-Qur an bukanlah kalam Allah, akan tetapi ia tidak lebih dari dari sebuah makna yang terpahami oleh Jibril dan terpisah dari Dzat-Nya, jika diungkapkan dalam bahasa Ibani jadilah ia Taurat, jika berbahasa suryani maka jadilah ia Injil, dan jika berbahasa arab jadilah ia al-Qur an. Semuanya makhluk, sedangkan penyebutannya dengan kalamullah hanya sebagai majaz atau kiasan. ( al-Insaf, hal. 96-97, Ushuluddin, hal. 107, syarh al Bajuri, hal 64-66.
No comments:
Post a Comment