BERPEGANG KEPADA JAMA’AH
(Jama’ah mengajak kepada Allah atau kepada golongan/ jama’ah )
Didalam kehidupan ditengah masyarakat, kita dapati dimana kita akan senantiasa melalui dua tahap pencarian, yaitu :
1. Mencari kebenaran ditengah berbagai perbedaan
2. Mencari jama’ah untuk bersama (didalam beramal dan berdakwah),ditengah
banyaknya jama’ah dan golongan yang sesat.
Untuk memudahkan pembahasan 2 pencarian diatas, maka selanjutnya kami akan membahas satu persatu, agar dapat di pahami secara mudah dan mengelakkan dari pada pemahaman yang salah.
MENCARI KEBENARAN
Mencari satu kebenaran adalah sifat fitrah setiap manusia, karena manusia itu sendiri adalah insan yang hanif, yang selalu condong kepada kebenaran. Hanya terkadang kebenaran tersebut terhalang atas beberapa faktor, seperti :
1. Tamak dan bodoh. Jika sifat ini wujud dalam diri manusia, maka biasanya ia malas untuk mencari kebenaran, dia merasa ada perkara yang lebih penting dari pada itu adalah mencari materi keduniaan.
2. Kesombongan. Sifat sombong adalah sifat penghalang datangnya kebenaran, sifat ini biasanya dapat kita lihat jika seseorang merasa benar dari pada orang lain walaupun didapati pendapatnya tiada dalil dan hujah yang kuat. Pada prinsip orang seperti ini, perkataan dan doktrin ulama yang dia kagumi adalah segala-galanya dari pada dalil itu sendiri. Perasaan bangga dan kagum kepada golongannya, mazhabnya, syaikhnya, ulamanya menutupi mata hatinya untuk meneliti dan mengkaji perbedaan yang ada.
3. Salah dalam berpegang kepada kaedah. Salah dalam berpegang kepada kaedah membuat seeorang jauh dari kebenaran, misalnya dia beranggapan bahwa untuk memahami Qur an cukup dengan akal saja. Islam adalah agama yang sesuai dngan akal, maka jika didapati ada pertentangan dengan akal maka perkara tersebut tidak boleh diterima.
Keadaan masyarakat yang berbagai perbedaan dan pendirian seperti yang kita lihat hari ini, sebetulnya telah di khabarkan oleh Nabi muhammad saw di dalam hadis Irbadh bin sariyah :
- Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
( فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ )
Maksudnya : “ Sesungguhnya, orang yang hidup di antara kalian selepasku akan melihat banyak perselisihan yang timbul ; maka tetaplah kalian dengan sunnahku dan sunnah Khulafa al-Mahdiyyin al-Rashidiin, berpeganglah dengannya, dan gigitlah ia dengan geraham …“. [HR Abu Daud : 4607, al-Tirmidzi : no.2676]
Hadis di atas memberikan isyarat dan pengajaran kepada kita sebagai pengikut Nabi saw kepada dua perkara :
1. Akan berlaku perselisihan dan berbagai perbedaan di kalangan kita selepas kewafatannya, hal itu dapat kita lihat dan buktikan keadaan masyarakat hari ini. Seperti didalam memahami bab akidah saja, kita akan mendapati perbedaan pandangan dan golongan, seperti akidah menurut paham syiah, khawarij, mu’razilah, jabariyah, qadariyah, murji’ah, asyaa’irah, maturidiyah dan menurut pahama golongan salaf. Didalam bab fekah, kita dapati juga pendapat para ulama yang berbeda khususnya diantara pendapat 4 imam mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali).
2. Rasulullah saw memberikan kaedah untuk jalan keselamatan dan jalan mendapatkan pendapat yang benar dari berbagai paham dan golongan, dan mazhab yaitu berpegang kepada paham dan amalan mengikut Nabi saw dan para sahabatnya.( berpegang kepada sunnah Rasulullah saw dan para sahabatnya ).
Sebagai insan yang berakal, sepatutnya kita mula berfikir dan belajar untuk mengkaji dalam mencari kebenaran. Mengikhlaskan diri dengan membuka fikiran dan hati, dan melepaskan diri dari unsur fanatisme. Telah masanya bagi kita untuk mencocokan setiap pemahaman kita dalam perkara akidah, ibadah dan akhlak serta dakwah, adakah ia mencontoh Nabi saw dan para sahabatnya.
Suatu pemahaman akidah dan ibadah benar adanya jika ia sesuai dengan pemahaman Nabi saw dan para sahabatnya. Ini kaedah yang kita tidak bisa lari daripadanya, jika tidak berpegang pada itu maka kesesatan adanya. Sebagaimana dijelakan Allah dalam firmanNya :
Artinya : Dan sesiapa Yang menentang (ajaran) Rasulullah sesudah terang nyata kepadanya kebenaran pertunjuk (yang dibawanya), dan ia pula mengikut jalan Yang lain dari jalan orang-orang Yang beriman(jalan para sahabat Nabi saw), Kami akan memberikannya Kuasa untuk melakukan (kesesatan) Yang dipilihnya, dan (pada hari akhirat kelak) Kami akan memasukkannya ke Dalam neraka jahanam; dan neraka jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.An-Nisa’:115
Sebagai Ahlu sunnah wal jama’ah ( pengikut Nabi saw dan para sahabatnya ), maka dengan kaedah diatas cukuplah kita untuk dapat memahami bahwa kita berpegang kepada apa yang menjadi pegangan Nabi saw dan para sahabatnya didalam akidah, ibadah dan ahklak. Maknanya sebagai ahlu sunnah wal jama’ah kita tidak berpegang kepada asyaa’irah dalam akidah, tidak mengikatkan diri/ fanatik kepada mazhab syafii atau yang lainnya dalam fekah, dan tidak berpegang kepada ajaran tarekat sufi, sebagaimana di pahami banyak masyarakat, karena 3 perkara tersebut tidak dicontohkan dan tidak diamalkan oleh Nabi saw dan para sahabatnya.
MENCARI JAMA’AH
Masih banyak di kalangan masyarakat kita, terkadang dikalangan pelajar dan pendidik yang salah dalam memahami arti jama’ah. Mereka tidak dapat memahami mana jama’ah muslimin dan jama’ah dari kamu muslimin.
Terkadang di dalam dirinya ada perasaan bersalah jika tidak bergabung dengan jama’ah. Sehingga dia mengikuti suatu jama’ah yang dia sendiri tidak tahu benar dan salah jama’ah tersebut. Karena yang dia pahami bahwa dia harus bergabung dengan orang banyak dalam urusan agama, itu yang dipahami dari makna jama’ah. Perkara yang lebih malang lagi adalah jika seseorang tidak dapat membedakan mana jama’ah yang mengajak manusia ke pada Allah atau jama’ah yang mengajak kepada golongan, atau jama’ah itu sendiri.
Maka pembahasan ini sangat penting untuk kita ketahui untuk memastikan adakah kita didalam jama’ah, adakah jama’ah yang kita ikuti ini benar mengajak manusia kepada Allah, atau hanya mengajak manusia kepada golongan, atau mengajak manusia kepada paham pendiri jama’ah itu sendiri.
Untuk lebih mengenal lebih terperinci dalam hal ini , kita lihat pembahasan hadis dibawah ini :
Dari Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ta’ala ‘anhu berkata: Manusia bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan menimpaku. Maka aku bertanya; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliah dan keburukan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan? Beliau bersabda: ‘Ada’. Aku bertanya: Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan? Beliau bersabda: “Ya, akan tetapi di dalamnya ada dakhanun”. Aku bertanya: Apakah dakhanun itu? Beliau menjawab: “Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah”. Aku bertanya: Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan? Beliau bersabda: “Ya”, dai - dai yang mengajak ke pintu Jahanam. Barang siapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau bersabda: “Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita”. Aku bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya? Beliau bersabda: “Berpegang teguhlah pada Jama’ah Muslimin dan imamnya”. Aku bertanya: “Bagaimana jika tidak ada jama’ah maupun imamnya?” Beliau bersabda: “Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu”. (Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399)
MAKNA HADITS
Pertama, Mengenali Sabilul Mujrimin adalah kewajiban Syar’i.
Perlu diketahui bahwa Manhaj Rabbani yang abadi yang tertuang dalam uslub Qurani yang diturunkan ke hati Penutup Para Nabi tersebut tidak hanya mengajarkan yang haq saja untuk mengikuti jejak orang-orang beriman (Sabilul Mu’minin). Akan tetapi juga membuka kedok kebatilan dan menyingkap kekejiannya supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (Sabilul Mujrimin).
Alloh berfirman,
“Dan demikianlah, kami jelaskan ayat-ayat, supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa”. (QS Al-An’am: 55)
Yang demikian itu karena istibanah (kejelasan) jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (Sabilul Mujrimin) secara langsung berakibat pada jelasnya pula Sabilul Mu’minin. Oleh karena itu istibanah (kejelasan) Sabilul Mujrimin merupakan salah satu sasaran dari beberapa sasaran penjelasan ayat-ayat Rabbani. Karena ketidakjelasan Sabilul Mujrimin akan berakibat langsung pada keraguan dan ketidakjelasan Sabilul Muminin. Oleh karena itu, menyingkap rahasia kekufuran dan kekejian adalah suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk menjelaskan keimanan, kebaikan dan kemaslahatan. Ada sebagian cendikiawan syair menyatakan.
“Aku kenali keburukan tidak untuk berbuat buruk, akan tetapi untuk menjaga diri”
“Barang siapa yang tidak dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan, maka akan terjerumus ke dalamnya”
Hakikat inilah yang dimengerti oleh generasi pertama umat ini -Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ‘anhu. Maka ia berkata, “Manusia bertanya kepada Rosululloh tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya tentang keburukan, karena khawatir akan terjebak di dalamnya”.
Kedua, Kekokohan Kita Dihancurkan dari Dalam
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda berkenan dengan keinginan kaum kafir untuk membinasakan kaum muslimin dan Islam, seperti yang dinyatakan dalam hadits Tsaubah rodhiallohu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian seperti menyerbu makanan di atas piring. Berkata seseorang: Apakah karena sedikitnya kami waktu itu? Beliau bersabda: Bahkan kalian pada waktu itu banyak sekali, akan tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Alloh mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn. Seseorang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah wahn itu? Beliau bersabda: Mencintai dunia dan takut mati”. (Riwayat Abu Dawud no. 4297. Ahmad V/278. Abu Na’im dalam Al-Hilyah)
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa :
Pertama, Kaum kafir saling menghasung untuk menjajah Islam, negeri-negerinya serta penduduknya.
Kedua, Negeri-negeri muslimin adalah negeri-negeri sumber kebaikan dan barakah yang mengundang air liur kaum kafir untuk menjajahnya.
Ketiga, kaum kafir mengambil potensi alam negeri muslimin tanpa rintangan dan halangan sedikit pun.
Keempat, kaum kafir tidak lagi gentar terhadap kaum Muslimin karena rasa takut mereka kepada kaum Muslimin sudah dicabut Allah dari dalam hati mereka. Padahal pada mulanya Allah menjanjikan kepada kaum Muslimin dalam firman-Nya,
“Akan kami jangkitkan di dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah, di mana Allah belum pernah menurunkan satu alasan pun tentangnya”. (QS Ali Imran: 151)
Dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda artinya, “Aku diberi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku: Aku ditolong dengan rasa ketakutan dengan jarak satu bulan perjalanan; dan dijadikan bumi untukmu sebagai tempat sujud ; …. dan seterusnya”. (Riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari I/436. Muslim dalam Nawawi V/3-4 dari Jabir bin Abdullah rodhiallohu ‘anhu)
Akan tetapi kekhususan tersebut dibatasi oleh sabda beliau ShallAllohu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Tsauban yang lalu, yang menyatakan, “Allah akan mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian …”.
Dari hadits ini mengertilah kita bahwa kekuatan umat Islam bukanlah terletak pada jumlah dan perbekalannya, atau pada artileri dan logistiknya. Akan tetapi kekuatannya terletak pada aqidahnya. Seperti yang kita saksikan ketika beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab pertanyaan yang berkenan dengan jumlah, maka beliau jawab, “Bahkan ketika itu kalian banyak sekali, akan tetapi kalian seperti buih di atas aliran air”. Kemudian apa yang menjadikan “pohon yang akarnya menghujam ke bumi dan cabangnya menjulang ke langit” itu seperti buih yang mengambang di atas air?
Sesungguhnya racun yang meluruhkan kekuatan kaum muslimin dan melemahkan gerakannya serta merenggut barokahnya bukanlah senjata dan pedang kaum kafir yang bersatu untuk membuat makar terhadap Islam, para pemeluknya dan negeri-negerinya. Akan tetapi adalah racun yang sangat keji yang mengalir dalam jasad kaum muslimin yang disebut oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “Dakhanun”. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari XIII/36 mengartikannya dengan hiqd (kedengkian), atau daghal (pengkhianatan dan makar), atau fasadul qalb (kerusakan hati). Semua itu mengisyaratkan bahwa kebaikan yang datang setelah keburukan tersebut tidak murni, akan tetapi keruh. Dan Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim XII/236-237, mengutip perkataan Abu ‘Ubaid yang menyatakan bahwa arti dakhanun adalah seperti yang disebut dalam hadits lain, “Tidak kembalinya hati pada fungsi aslinya”. (Riwayat Abu Dawud no. 4247)
Sedangkan makna aslinya adalah apabila warna kulit binatang itu keruh/suram. Maka seakan-akan mengisyaratkan bahwa hati mereka tidak bening dan tidak mampu membersihkan antara yang satu dengan yang lain. Kemudian berkata Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah XV/15: Bahwa sabda beliau: “Dan di dalamnya ada Dakhanun, yakni tidak ada kebaikan murni, akan tetapi di dalamnya ada kekeruhan dan kegelapan”. Adapun Al ‘Adzimul Abadi dalam ‘Aunil Ma’bud XI/316 menukil perkataan Al Qari yang berkata: “Asal kata dakhanun adalah kadurah (kekeruhan) dan warna yang mendekati hitam. Maka hal ini mengisyaratkan bahwa kebaikan tersebut tercemar oleh kerusakan (fasad)”.
Dan sesungguhnya penanam racun yang keji dan menjalar di kalangan umat ini tidak lain adalah oknum-oknum dari dalam sendiri. Seperti yang dinyatakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Mereka adalah dari kalangan bangsa kita dan berbahasa dengan bahasa kita”. Berkata Ibnu Hajar rohimahulloh dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”. Sedangkan Al Qabisi menyatakan -seperti dinukil oleh Ibnu Hajar- secara lahir maknanya adalah bahwa mereka adalah pemeluk dien (agama) kita, akan tetapi batinnya menyelisihi. Dan kulit sesuatu adalah lahirnya, yang pada hakikatnya berarti penutup badan. Mereka mempunyai sifat seperti yang dikatakan dalam hadits riwayat Muslim yang artinya
“Akan ada di kalangan mereka orang yang berhati iblis dengan jasad manusia” (Riwayat Muslim)
Yakni mereka memberikan harapan-harapan kepada manusia berupa mashalih (pembangunan), siyadah (kepemimpinan) dan istiqlal (kemerdekaan dan kebebasan) .. dan umat merasa suka dengan propaganda mereka. Untuk itu mereka mengadakan pertemuan-pertemuan, muktamar-muktamar dan diskusi-diskusi. Oleh sebab itu mereka diberi predikat sebagai dai atau du’at -dengan dlamah pada huruf dal- merupakan bentuk jamak dari da’a yang berarti sekumpulan orang yang melazimi suatu perkara dan mengajak serta menghasung manusia untuk menerimanya. (Lihat ‘Aunil Ma’bud XI/317).
Ketiga, Jamaah minal Muslimin dan bukan Jamaah Muslimin.
Kalau kita mengamati kenyataan, maka kita akan melihat bahwa faham hizbiyah (kelompok) telah mengalir di dalam otak sebagian besar kelompok yang menekuni medan dakwah ilallah, di mana seolah-olah tidak ada kelompok lain kecuali kelompoknya, dan menafikan kelompok lain di sekitarnya. Persoalan ini terus berkembang, sehingga ada sebagian yang mendakwahkan bahwa merekalah Jama’ah Muslimin/Jamaah ‘Umm (Jama’ah Induk) dan pendirinya adalah imam bagi seluruh kaum muslimin, serta mewajibkan berbaiat kepadanya. Selain itu mereka mengkafirkan sawadul a’dzam (sebagian besar) muslimin, dan mewajibkan kelompok lain untuk bergabung dengan mereka serta berlindung di bawah naungan bendera mereka.
Kebanyakan mereka lupa, bahwa mereka bekerja untuk mengembalikan kejayaan Jamaatul Muslimin. Kalaulah Jamaatul Muslimin dan imam-nya itu masih ada, maka tidaklah akan terjadi ikhtilaf dan perpecahan ini di mana Allah tidak menurunkan sedikit pun keterangan tentangnya.
Sebenarnya para pengamal untuk Islam itu adalah Jamaah minal muslimin (kumpulan sebagian dari muslimin) dan bukan Jamaatul Muslimin atau Jamaatul ‘Umm (Jamaah Induk), karena kaum muslimin sekarang ini tidak mempunyai Jamaah ataupun Imam. Ketahuilah wahai kaum muslimin, bahwa yang disebut Jamaah Muslimin adalah yang tergabung di dalamnya seluruh kaum muslimin yang mempunyai imam yang melaksanakan hukum-hukum Allah. Adapun jamaah yang bekerja untuk mengembalikan daulah khilafah, mereka adalah jamaah minal muslimin yang wajib saling tolong menolong dalam urusannya dan menghilangkan perselisihan yang ada di antara individu supaya ada kesepakatan di bawah kalimat yang lurus dalam naungan kalimat tauhid.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rohimahulloh dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rohimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa Jamaah adalah Sawadul A’dzam. Kemudian diceritakan dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika ‘Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jamaah, karena Allah tidak akan mengumpulkan umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah mengikuti salah satu firqah. Hindarilah semua firqah itu jika kalian mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan”.
Makna jama’ah
Al-Jamaah menurut bahasa :
Diambil dari perkataan (اجْتِمَاع) iaitu berkumpul dan lawannya (تَفَرَّقَ) iaitu bercerai-berai. Maka al-Jamaah membawa erti; satu golongan yang berhimpun untuk sesuatu urusan atau perkara .
Al-Jamaah menurut istilah :
Merupakan golongan salaf dari kalangan sahabat Rasulullah s.a.w., tabi’in ( generasi selepas sahabat ), tabi’ Tabi’in ( Generasi selepas tabi'in ), serta sesiapa yang mengikuti jalan mereka hingga hari kiamat, di mana mereka ini berkumpul atas landasan Al-Quran dan Al-Sunnah, serta berjalan di atas jalan yang telah dilalui oleh Rasulullah s.a.w, baik yang zahir mahupun batin.
- Sabda Nabi s.a.w:
(وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ، ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ)
Maksudnya : “ Dan sesungguhnya, agama ini (Islam), akan berpecah kepada 73 puak, 72 daripadanya di Neraka, dan satu di Syurga, iaitu al-Jamaah”. [HR Abu Daud : no.4597] .
Hadith Abdullah bin Amru Radhiyallahu anhuma yang bermaksud :
.............Ia berkata : Siapakah jama'ah yang selamat dari api neraka wahai Rasulullah ? Beliau menjawab : " Ialah Orang yang tetap berpegang dengan manhaj atau sunnah yang aku dan para sahabatku berjalan diatasnya ". ( Hadith sahih yang diriwayatkan oleh Tirmidzi 2779 )
-Berkata Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu :
( الجَمَاعَةُ مَا وَفَقَ الحَقَّ وَ إِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ )
Maksudnya : " al-Jamaah itu, adalah apa-apa yang bertepatan dengan kebenaran, walau kamu bersendirian ".
Jika kita melihat pengertian diatas, maka didapati bahwa makna jama’ah bukan berpihak kepada banyaknya orang didalam suatu jama’ah, tetapi berpihak kepada kebenaran walaupun bersendirian. Berjama’ah bermakna berpihak kepada kebenaran (mengikut pahaman Nabi saw dan para sahabatnya ). Sebagai contoh, jika seseorang bernama Ahmad tinggal di suatu kampung, didapati bahwa semua penduduknya mengamalkan syirik dan bid’ah kecuali dia. Maka dalam keadaan demikian dia telah berjama’ah.
Penjelasan ini perlu disampaikan , agar kaum muslimin tidak perlu merasa bersalah jika memang ada diantara mereka terpaksa harus bersendirian di tengah masyarakat yang telah menjauhi paham salaf( para sahabat Nabi saw ) dalam berakidah, ibadah dan akhlak. Namun jika didapati ada suatu jama’ah yang bergerak di dalam dakwah, dimana pemahaman dan amalannya mengikut paham Nabi saw dan para sahabatnya, sepatutnya kita mendukungnya dan beramal serta berdakwah bersamanya. Dengan tetap bekerjasama dengan jama’ah lain yang satu manhaj dan pemahamannya, yaitu mengiktu pemahaman dan amalan Nabi saw dan para sahabatnya.( Dengan tidak berpegang kepada akidah asya’irah, fanatik dalam bermazhab, dan membenarkan/ mengamalkan ajaran tarekat sufi ).
Keempat, menjauhi semua firqah
Dinyatakan dalam hadits Hudzaifah tersebut supaya menjauhi semua firqah jika kaum muslimin tidak mempunyai jamaah dan tidak pula imam pada hari terjadi keburukan dan fitnah. Semua firqah tersebut pada dasarnya akan menjerumuskan ke dalam kesesatan, karena mereka berkumpul di atas perkataan/teori mungkar (mungkari minal qaul) atau perbuatan mungkar, atau hawa nafsu. Baik yang mendakwahkan mashalih (pembangunan) atau mathami’ (ketamakan). Atau yang berkumpul di atas asas pemikiran kafir, seperti; sosialisme, komunisme, kapitalisme, dan demokrasi. Atau yang berkumpul di atas asas kedaerahan, kesukuan, keturunan, kemazhaban, atau yang lainnya. Sebab mereka semua itu akan menjerumuskan ke dalam neraka Jahanam, dikarenakan membawa misi selain Islam atau Islam yang sudah diubah…!
Untuk lebih memahamai, maka kita uraikan berbentuk soal. Bagaimana melihat bahwa golongan tersebut berkumpul dan mengajak manusia kepada Allah atau mengajak kepada paham golongan/ jama’ah dan pendiri jama’ah itu sendiri? Jawaban untuk soal ini dapat kita lihat dari beberapa aspek :
1. Kita melihat kepada pemahaman akidah dan ibadah pendiri jama’ah atau golongan tersebut, atau pegangan tokoh-tokoh/ masyaikhnya, selanjutnya kita lihat di tempat pengajaran dan pendidikannya ( madrasah/ pondok/ halaqah ilmu ) mereka, akidah menurut mazhab siapakah yang diajarkan disana? Sebagai contoh, jika didapati pendiri dan para tokoh/ masyaikhnya berpegang kepada akidah asyaa’irah, dan mengikatkan diri/ fanatik kepada salah satu mazhab 4 dalam fekah, serta membenarkan dan mengamalkan ajaran tarekat sufi, selanjunya didapat bahwa itu semua diajarkan dan ada nya pembenaran tentang itu di tempat-tempat pengajaran dan pendidikan mereka, maka dapat diketahui bahwa jama’ah/ golongan tersebut bukan mengajak kepada Allah, melainkan mengajak manusia kepada apa yang dipahami pendiri dan tokoh/ masyaikh dalam jama’ah tersebut.
2. Kita akan dapati di setiap jama’ah atau golongan adanya orang-orang awam, terkadang mereka tidak memahami apa yang di pahami dan diamalkan para tokoh dan masyaikh mereka. Mereka hanya tahu bagaimana mengajak manusia kepada Allah, yang pada hakikatnya mengajak kepada pemikiran tokoh dan masyaikhnya. Mereka hanya berjalan diatas doktrin dan motivasi dari tokoh / masyaikhnya bukan diatas dalil dan hujah. Mereka terjebak kepada lebih mengutamakan sunnah-sunnah Nabi saw yang dzahir saja seperti cara berpakaian, makan dan minum, tidur, dan berakhlak. Tetapi kurang perhatian kepada sunnah dalam pemahaman dan pengamalan akidah dan ibadah khusus. Pemikiran dan hati mereka terkadang ditutupi untuk berfikir dan berdialog oleh doktrin – doktrin tokoh dan masyaikh mereka, sehingga doktrin itu terus di pegang tanpa melihat tempat dan waktu sehingga susah bagi mereka untuk keluar dari kesalahan yangmereka tidak sadari.
Kelima, jalan penyelesaiannya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada Hudzaifah untuk menjauhi semua firqah yang menyeru dan menjerumuskan ke neraka Jahanam, dan supaya memegang erat-erat pokok pohon (ashlu syajarah) hingga ajal menjemputnya sedangkan ia tetap dalam keadaan seperti itu. Dari pernyataan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, bahwa pernyataan itu mengandung perintah untuk melazimi Al Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafuna Shalih. Hal ini seperti yang diisyaratkan dalam hadits riwayat ‘Irbadh Ibnu Sariyah yang artinya “Barang siapa yang masih hidup di antara kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang diada-adakan karena hal itu sesat. Dan barang siapa yang menemui yang demikian itu, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin. Gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian”. (Riwayat Abu Dawud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 440 dan yang lainnya)
Jika kita menggabungkan kedua hadits tersebut, yakni hadits Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ‘anhu yang berisi perintah untuk memegang pokok-pokok pohon (ashlu syajarah) dengan hadits ‘Irbadh ini, maka terlihat makna yang sangat dalam. Yaitu perintah untuk ber-iltizam pada As-Sunnah An-Nabawiyah dengan pemahaman Salafuna As-Shalih Ridhwanullah ta’ala ‘alaihim manakala muncul firqah-firqah sesat dan hilangnya Jamaah Muslimin serta Imamnya.
Kedua, di sini ditunjukkan pula bahwa lafadz (an ta’adhdha bi ashli syajarah) dalam hadits Hudzaifah tersebut tidak dapat diartikan secara zhahir hadits. Tetapi maknanya adalah perintah untuk berpegang teguh, dan bersabar dalam memegang Al-Haq serta menjauhi firqah-firqah sesat yang menyaingi Al-Haq. Atau bermakna bahwa pohon Islam yang rimbun tersebut akan ditiup badai topan hingga mematahkan cabang-cabangnya dan tidak tinggal kecuali pokok pohonnya saja yang kokoh. Oleh karena itu maka wajib setiap muslim untuk berada di bawah asuhan pokok pohon ini walaupun harus ditebus dengan jiwa dan harta. Karena badai topan itu akan datang lagi lebih dahsyat.
Ketiga, oleh karena itu menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk mengulurkan tangannya kepada kelompok (firqah) yang berpegang teguh dengan pokok pohon itu untuk menghadapi kembalinya fitnah dan bahaya bala. Kelompok ini seperti disabdakan beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam akan selalu ada dan akan selalu muncul untuk menyokong kebenaran hingga yang terakhir dibunuh Dajjal. Diantara tanda-tanda kelompok yang benar ini adalah tentu secara basic tidak berpegang kepada akidah asyaaiah, fanatik dalam bermazhab, dan tidak berpegang kepada mana mana ajaran tarekat sufi. Jika ada satu jamaah di dapati adanya 3 perkara tersebut ( akidah asyaairah, fanatik bermazhab dan pengamalan ajaran tarekat sufi ), maka cukuplah bagi kita untuk menilai bahwa jama'ah ini bermasalah dan perlu di hindari atau di dakwah agar mereka kembali kepada jalan Allah( mengikuti Paham Nabi saw dan para sahabatnya ) bagi sesiapa yang mampu mendakwahkannya.
Maraji’: Al Ilzamat wa at Tatabu oleh Ad-Daruquthni Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, oleh Ibnu Katsir Al Jami’ As Shahih, oleh Bukhari dengan Fathul Bari, Haliyatul Auliya’ oleh Abu Na’im Al- Ashbahani, Silsilah Al-Hadits As-Shahihah, oleh Muhammad Nashiruddien Al-Albani, As-Sunnan, oleh Ibnu Majah, As-Sunnan, oleh Abu Dawud, As-Sunnan, oleh Tirmidzi, Syiar A’lam An-Nubala, oleh Adz-Dzahabi, Syarhu Sunnah, oleh Baghawi, As-Shahih, oleh Muslim bin Al-Hujjaj, ‘Aunil Ma’bud, oleh Syamsul Al-Abadi, Al-Kaasyif, oleh Dzahabi, Al-Mustadrak, oleh Hakim, Al-Musnad, oleh Ahmad bin Hambal.
No comments:
Post a Comment