Wednesday, March 23, 2011

SIAPAKAH AHLU SUNNAH WAL JAMAAH

Adalah suatu fakta di masyarakat kita dimana masih banyak yang tidak memahami apa makna ahlu sunnah wal jama’ah. Terkadang seseorang itu telah belajar dengan masa yang lama, jika ditanya apakah makna ahlu sunnah wal jama’ah, siapakah mereka yang dikatakan ahlu sunnah wal jama’ah, apakah kriteria dimana kita bisa mengetahui bahwa seseorang itu adalah ahlu sunnah wal jama’ah...? Maka banyak jawaban terkadang kurang bisa dipertanggung jawabkan, bahkan perkara yang lebih buruk lagi adalah dimana sesorang memahami arti ahlu sunnah wal jama’ah mengikut unsur paham fanatisme, seperti mengatakan bahwa seseorang dikatakan ahlu sunnah wal jama’ah jika ia mengikut mazhab kami, jika ia mengikut jama’ah dakwah kami, jika ia mengikut pendapat ulamak kami dll.

Mengetahui makna ahlu sunnah wal jama’ah adalah sangat penting, karena itu melambangkan identitas kita, selanjutnya akan menentukan sikap seseorang kemana langkah tujuan hidupnya. Sebagai contoh jika ada orang yang tidak menyadari bahwa dia adalah mahasiswa, maka ia akan melakukan perkara-perkara diluar dari sepatutnya dia sebagai mahasiswa untuk melakukannya. Jika ia menyadari identitasnya sebagai mahasiswa, maka dia tahu apa tugas sebagai mahasiswa, apa yang sepatutnya dilakukan oleh mahasiswa.

Terlebih dari itu adalah wajib bagi kita sebagai muslim untuk mengetahui apa apa yang akan kita lakukan berdasarkan ilmu. Allah melarang kita untuk melakukan sesuatu tanpa ilmu. Sebagaimana firmanNya :

(yang artinya): “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS al-Israa’ [17]: 36)

MENGENAL AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH

Pengenalan akan siapa sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah ditekankan sejak jauh-jauh hari oleh Råsulullah kepada para sahabatnya ketika beliau berkata kepada mereka :

افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah”. Hadits shohih dishohihkan oleh oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalil Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain -rahimahumullahu-.

Demikianlah umat ini akan terpecah, dan kebenaran sabda beliau telah kita saksikan pada zaman ini yang mana hal tersebut merupakan suatu ketentuan yang telah ditakdirkan oleh Allåh Yang Maha Kuasa dan merupakan kehendak-Nya yang harus terlaksana dan Allåh Maha Mempunyai Hikmah dibelakang hal tersebut.

HIKMAH PERSELISIHAN/ PERBEDAAN

Banyak dikalangan masyarakat kita yang menghindari diri dari membicarakan khilafiyah, seperti telah menjadi doktrin keagamaan bahwa berbicara tentang khilafiyah tidak dibenarkan.

Sehingga wujud tradisi untuk mengelakkan adanya percakapan yang berunsurkan perbedaan. Jika ditanya kenapa, mereka jawab bahwa hal itu akan mengeraskan hati. Berdalilkan dengan pernyataan ini akhirnya sesorang akan kekal dengan suatu amalan yang salah secara hukum. Diantara bahayanya prinsip ini dalam proses belajar adalah bisa menjadikan seseorang terjebak kepada fanatik dalam berprinsip dan bersikap, dan memandang orang lain salah jika tidak sependapat dengannya.

Diantara hikmah adanya perselisihan adalah ujian bagi kita, siapa yang akan mencari kebenaran dan mendapatkannya, atau ia akan mengingkarinya dan tetap pada pendirian yang salah. Sebaliknya peselisihan bukanlah rahmat, sebagaimana banyak diperkatakan masyarakat. Berdasarkan kepada hadits, yang artinya :

“Perselisihan pada umatku adalah rahmat”

Hadis ini dinyatakan dhaif oleh ahli hadits. Misalnya:Syaikh Al-Albani rahimahulah berkata: “Hadits tersebut tidak ada asalnya”. [Adh-Dha'ifah :II / 76-85]Imam As-Subki berkata: “Hadits ini tidak dikenal oleh ahli hadits dan saya belum mendapatkannya baik dengan sanad shahih, dha’if (lemah), maupun maudhu (palsu).”
Syaikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan -hafidzahullahu- menjelaskan hikmah terjadinya perpecahan dan perselisihan tersebut dalam kitab Lumhatun ‘Anil Firaq, beliau berkata :“( Perpecahan dan perselisihan ) merupakan hikmah dari Allåh guna menguji hamba-hambaNya hingga nampaklah siapa yang mencari kebenaran dan siapa yang lebih mementingkan hawa nafsu dan sikap fanatisme.

Allåh berfirman :

“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sungguh Allåh Maha Mengetahui orang-orang yang benar dan sungguh Dia Maha Mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-‘Ankabut : 29 / 1-3).

Dan Allåh berfirman :

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allåh menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan : “Sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”.(QS. Hud : 10 / 118-119)
“Dan kalau Allåh menghendaki tentu saja Allåh menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil”. (QS. Al-‘An’am : 6 / 35).

JALAN MENUJU KEBENARAN

Jalan menuju kebenaran adalah berpegang kepada Qur an dan Hadis shahih Rasulullah saw. Jalan kebenaran telah dijelaskan dengan sejelas-jelasnya sebagaimana dalam sabda Rasululullah :

قَدْْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْمَحَجَّةِ الْبَيْضَاءِ لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ
“Sungguh saya telah meninggalkan kalian di atas petunjuk yang sangat terang malamnya seperti waktu siangnya tidaklah menyimpang darinya setelahku kecuali orang yang binasa”. Hadits Shohih dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalul Jannah.

Dan dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyAllåhu ‘anhu- :

خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيْلُ اللهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيْلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ ثُمَّ تَلاَ ]وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ [

“Pada suatu hari Råsulullah menggaris di depan kami satu garisan lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan Allåh”. Kemudian beliau menggaris beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan-jalan, yang di atas setiap jalan ada syaithon menyeru kepadanya”. Kemudian beliau membaca (ayat) : “Dan sesungguhnya ini adalah jalanKu maka ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) maka kalian akan terpecah dari jalanNya”. (QS. Al ‘An’am : 6 / 153 )”.

Diriwayatkan oleh : Abu Daud Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 244, Ath-Thobary dalam Tafsirnya 8/88, Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dalam As-Sunnah no.11, Sa’id bin Manshur dalam Tafsirnya 5/113 no 935, Ahmad 1/435, Ad Darimy 1/78 no 202, An-Nasai dalam Al-Kubro 5/94 no.8364 dan 6/343 no.11174, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 1/180-181 no.6-7 dan dalam Al-Mawarid no 1741, Al-Hakim dalam Mustadraknya 2/348, Asy-Syasyi dalam Musnadya 2/48-51 no.535-537, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/263 dan Al-Lalaka’i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/80-81. Dan hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain.

PEMAHAMAN PARA SAHABAT

Allah SWT memberikan kita akal untuk kita berfikir tentang kebesaranNya, sehingga dengan mengkaji kebesaranNya akan melahirkan sifat untuk bertauhid kepadaNya.
Begitu juga kita dapat mengkaji Qur an dengan akal, tetapi akal sangat terbatas kemampuannya sehingga akal harus di bimbing dan didasari oleh hadis-hadis Rasulullah saw. Dengan maksud itu kenapa Nabi saw di utus, untuk menjelaskan wahyu Allah yaitu al-Qur an

Pada hari ini, semua golongan sehinggalah golongan yang sesatpun seperti syiah mengklaim bahwa mereka berpegang kepada Qur an dan Hadis Rasulullah saw. Begitu juga sebelumnya dari golongan mu’tazilah, jabariyah, Qadaiyah, asyaa’irah dan maturidiyah dll. Bagaimana kita bisa membedakan bahwa ditengah beragamnya pendapat dari berbagai golongan ada satu pendapat benar dari satu golongan yang benar?
Dalam keadaan seperti ini kita sangat memerlukan pemahaman salaf ( para sahabat Nabi saw ) untuk memahami Quran dan Hadis Rasulullah saw. Karena telah terbukti pemahaman dan amalan mereka di ridhai Allah SWT, sebagai mana firmanNya :

Maksudnya : “ Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah redha kepada mereka dan mereka pun redha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka syurga-syurga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar “. [Al-Taubah : 100]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :

( خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ )
Maksudnya : “ Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya “. [HR al-Bukhari : no.2562, Muslim : no.2533]

Bahkan Allah SWT perintahkan kepada kita untuk berpegang kepada para sahabat Nabi saw dalam memahami dan mengamalkan Qur an dan Hadis Rasulullah saw, hanya itu jalan keselamatan. Adapun sesiapa yang berpegang pada jalan lain selain jalam para sahabat dalam memahami Islam maka ia akan sesat dimana tempatnya di akhirat adalah neraka jahannam. Sebagaimana firman Allah :

Maksudnya : " Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin( para sahabat Nabi saw ), Kami biarkan ia berterusan dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali ". [An-Nisa' : 115]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :

( فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ )
Maksudnya : “ Sesungguhnya, orang yang hidup di antara kalian selepasku akan melihat banyak perselisihan yang timbul ; maka tetaplah kalian dengan sunnahku dan sunnah Khulafa al-Mahdiyyin al-Rashidiin, berpeganglah dengannya, dan gigitlah ia dengan geraham …“.
[HR Abu Daud : 4607, al-Tirmidzi : no.2676]

MAKNA SUNNAH

Sunnah secara lughoh (bahasa) : berarti jalan, baik maupun jelek, lurus maupun sesat, demikianlah dijelaskan oleh Ibnu Manzhurdalam Lisanul ‘Arab 17/89 dan Ibnu An-Nahhas.

Makna secara lughoh itu terlihat dalam hadits Jarir bin ‘Abdullah. Råsulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ سْنَّ فِي الإِْ سْلاَمِ سُنُّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ وَمَنْ سَنَّ فِي الإِْ سْلاَمِ سُنُّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ
“Siapa yang membuat sunnah yang baik maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya setelahnya dan siapa yang membuat sunnah yang jelek maka atasnya dosanya dan dosa orang yang melakukannya setelahnya”. Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shohihnya no.1017.

Lihat Mauqif Ahlis Sunnah Min Ahlil Bid’ah Wal Ahwa`i 1/29-33 dan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhajul Asya’irah Fi Tauhidillah I/19.

Adapun secara istilah : Sunnah mempunyai makna khusus dan makna umum. Dan yang diinginkan di sini tentunya adalah makna umum.

Adapun makna sunnah secara khusus yaitu makna menurut istilah para ulama dalam suatu bidang ilmu yang mereka tekuni:

Para ulama ahli hadits mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang disandarkan kepada Nabi shållallåhu ‘alaihi wa sallam baik itu perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan-pen.) maupun sifat lahir dan akhlak.

Para ulama ahli ushul fiqh mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang datang dari Nabi Shållallåhu ‘alaihi wa sallam selain dari Al-Qur’an, sehingga meliputi perkataan beliau, pekerjaan, taqrir, surat, isyarat, kehendak beliau melakukan sesuatu atau apa-apa yang beliau tinggalkan.

Para ulama fiqh memberikan definisi sunnah sebagai hukum yang datang dari Nabi shållallåhu ‘alaihi wa sallam di bawah hukum wajib.
Adapun makna umum sunnah adalah Islam itu sendiri secara sempurna yang meliputi aqidah, hukum, ibadah dan seluruh bagian syariat.

Berkata Imam Al-Barbahary : “Ketahuilah sesungguhnya Islam itu adalah sunnah dan sunnah adalah Islam dan tidaklah tegak salah satu dari keduanya kecuali dengan yang lainnya” (lihat : Syarh As-Sunnah hal.65 point 1).

Berkata Imam Asy-Syathiby dalam Al-Muwafaqot 4/4 : “(Kata sunnah) digunakan sebagai kebalikan/lawan dari bid’ah maka dikatakan : “Si fulan di atas sunnah” apabila ia beramal sesuai dengan tuntunan Nabi shållallåhu ‘alaihi wa sallam yang sebelumnya hal tersebut mempunyai nash dari Al-Qur’an, dan dikatakan “Si Fulan di atas bid’ah” apabila ia beramal menyelisihi hal tersebut (sunnah)”.

Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa 4/180 menukil dari Imam Abul Hasan Muhammad bin ‘Abdul Malik Al-Karkhy beliau berkata : “Ketahuilah… bahwa sunnah adalah jalan Råsulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam dan mengupayakan untuk menempuh jalannya dan ia (sunnah) ada 3 bagian : perkataan, perbuatan dan aqidah”.
Berkata Imam Ibnu Rajab -rahimahullahu ta’ala- dalam Jami’ Al-‘Ulum Wal Hikam hal. 249 :

“Sunnah adalah jalan yang ditempuh, maka hal itu akan meliputi berpegang teguh terhadap apa-apa yang beliau shållallåhu ‘alaihi wa sallam berada di atasnya dan para khalifahnya yang mendapat petunjuk berupa keyakinan, amalan dan perkataan. Dan inilah sunnah yang sempurna, karena itulah para ulama salaf dahulu tidak menggunakan kalimat sunnah kecuali apa-apa yang meliputi seluruh hal yang tersebut di atas”. Hal ini diriwayatkan dari Hasan, Al-Auza’iy dan Fudhail bin ‘Iyadh”.

MAKNA AHLU SUNNAH

Penjelasan makna sunnah di atas secara umum akan memberikan gambaran tentang makna Ahlus Sunnah (pengikut sunnah Nabi saw). Terdapat beberapa pandangan ulama’ dibawah ini yang dapat membantu kita memahami apakah arti ahlu sunnah, diantaranya adalah :

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 3 hal.375 ketika memberikan defenisi tentang Ahlus Sunnah : “Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan sunnah Råsulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam dan apa-apa yang disepakati oleh orang-orang terdahulu yang pertama dari kalangan sahabat Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”.

Berkata Ibnu Hazm dalam Al-Fishal jilid 2 hal. 281 : “Dan Ahlus Sunnah -yang kami sebutkan- adalah ahlul haq (pengikut kebenaran) dan selain mereka adalah ahlul bid’ah (pengikut perkara-perkara baru dalam agama), maka mereka (ahlus sunnah) adalah para sahabat -radhiyAllåhu ‘anhum- dan siapa saja yang menempuh jalan mereka dari orang-orang pilihan di kalangan tabi’in kemudian Ashhabul Hadits dan siapa yang mengikuti mereka dari para ahli fiqh zaman demi zaman sampai hari kita ini dan orang-orang yang mengikuti mereka dari orang awam di Timur maupun di Barat bumi -rahmatullahi ’alaihim-”.

Dan Ibnul Jauzy berkata dalam Talbis Iblis hal.21 : “Tidak ada keraguan bahwa ahli riwayat dan hadits yang mengikuti jejak Råsulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam dan jejak para sahabatnya mereka itulah Ahlus Sunnah karena mereka di atas jalan yang belum terjadi perkara baru padanya. Perkara baru dan bid’ah hanyalah terjadi setelah Råsulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya”.
Berkata Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa 3/157 :” Termasuk jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mengikuti jejak-jejak Råsulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam secara zhohir dan batin dan mengikuti jalan orang-orang terdahulu yang pertama dari para (sahabat) Muhajirin dan Anshar dan mengikuti wasiat Råsulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam tatkala berkata : “Berpeganglah kalian pada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan hidayah setelahku berpeganglah kalian dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian dan berhati-hatilah kalian dari perkara yang baru karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’.”

Dan beliau berkata dalam Majmu’ Fatawa 3/375 ketika memberikan defenisi tentang Ahlus Sunnah : “Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan kitab Allåh dan sunnah Råsulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam dan apa-apa yang disepakati oleh generasi dahulu yang pertama dari kaum Muhajirin dan Anshar dan yang mengikuti mereka dengan baik”.

Dan di dalam Majmu’ Fatawa 3/346 beliau berkata : “Siapa yang berkata dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Ijma’ maka ia termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah“.
Berkata Abu Nashr As-Sijzy : “Ahlus Sunnah adalah mereka yang kokoh di atas keyakinan yang dinukil kepada mereka olah para ulama Salafus Sholeh -mudah-mudahan Allåh I merahmati mereka- dari Råsulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam atau dari para sahabatnya -radhiyAllåhu ‘anhum- pada apa-apa yang tidak ada nash dari Al-Qur’an dan dari Råsulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam, karena mereka itu -radhiyAllåhu ‘anhum- para Imam dan kita telah diperintahkan mengikuti jejak-jejak mereka dan sunnah mereka, dan ini sangat jelas sehingga tidak butuh ditegakkannya keterangan tentangnya”.
(Lihat : Ar-Raddu ‘Ala Man Ankaral Harf hal.99)

Maka jelaslah dari keterangan-keterangan di atas dari para Imam tentang makna penamaan Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang menerapkan Islam secara keseluruhan sesuai dengan petunjuk Allåh dan Rasul-Nya berdasarkan pemahaman para ulama salaf dari kalangan para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik .

Dan tentunya merupakan suatu hal yang sangat jelas bagi orang yang memperhatikan hadits-hadits Råsulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam akan disyariatkannya penamaan Ahlus Sunnah terhadap orang-orang yang memenuhi kriteria-kriteria di atas.
Råsulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam menyatakan dalam hadits ‘Irbath bin Sariyah -radhiyAllåhu ’anhu- :

صَلَّى لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ وَذَرِفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُ مُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Råsulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam sholat bersama kami sholat Shubuh, kemudian beliau menghadap kepada kami kemudian menasehati kami dengan suatu nasehat yang hati bergetar karenanya dan air mata bercucuran, maka kami berkata : “Yaa Råsulullah seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan maka berwasiatlah kepada kami”.

Maka beliau bersabda : “Saya wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allåh dan mendengar serta taat walaupun yang menjadi pemimpin atas kalian seorang budak dari Habasyah (sekarang Ethopia) karena sesungguhnya siapa yang hidup di antara kalian maka ia akan melihat perselisihan yang sangat banyak maka berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan kepada sunnah para Khalifah Ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah ia dengan gigi geraham dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang baru, karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah.” Hadits shohih dari seluruh jalan-jalannya.

Dan masih banyak lagi dalil yang menunjukkan hal di atas. Wallåhu a’lam.
Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/36-37, 47-49, Haqiqatul Bid’ah 1/63-66, 268-269 dan Manhaj Ahlus Sunnah 1/19-20, 24-27.

MAKNA JAMA’AH

Al-Jamaah menurut bahasa :

Diambil dari perkataan (اجْتِمَاع) iaitu berkumpul dan lawannya (تَفَرَّقَ) iaitu bercerai-berai. Maka al-Jamaah membawa erti; satu golongan yang berhimpun untuk sesuatu urusan atau perkara .

Al-Jamaah menurut istilah :

Merupakan golongan salaf dari kalangan sahabat Rasulullah s.a.w., tabi’in ( generasi selepas sahabat ), tabi’ Tabi’in ( Generasi selepas tabi'in ), serta sesiapa yang mengikuti jalan mereka hingga hari kiamat, di mana mereka ini berkumpul atas landasan Al-Quran dan Al-Sunnah, serta berjalan di atas jalan yang telah dilalui oleh Rasulullah s.a.w, baik yang zahir mahupun batin.
- Sabda Nabi s.a.w:

(وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ، ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ)
Maksudnya : “ Dan sesungguhnya, agama ini (Islam), akan berpecah kepada 73 puak, 72 daripadanya di Neraka, dan satu di Syurga, iaitu al-Jamaah”. [HR Abu Daud : no.4597] .

Hadith Abdullah bin Amru Radhiyallahu anhuma yang bermaksud :
.............Ia berkata : Siapakah jama'ah yang selamat dari api neraka wahai Rasulullah ? Beliau menjawab : " Ialah Orang yang tetap berpegang dengan manhaj atau sunnah yang aku dan para sahabatku berjalan diatasnya ". ( Hadith sahih yang diriwayatkan oleh Tirmidzi 2779 )

-Berkata Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu :

( الجَمَاعَةُ مَا وَفَقَ الحَقَّ وَ إِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ )
Maksudnya : " al-Jamaah itu, adalah apa-apa yang bertepatan dengan kebenaran, walau kamu bersendirian ".

Adapun secara istilah para ulama berbeda penafsiran tentang makna jama’ah yang tersebut di dalam hadits-hadits Råsulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam, namun perbedaan tetap pada maksud yang sama, bahkan ianya saling mendukung satu sama lain, di antara hadits-hadits itu adalah :

Wasiat Nabi shållallåhu ‘alaihi wa sallam kepada Hudzaifah
Dalam hadits riwayat Bukhory-Muslim , beliau berkata :

تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ
“Engkau komitmen dengan jama’ah kaum muslimin dan Imamnya .”

Hadits Ibnu ‘Abbas

Dalam riwayat Bukhory-Muslim Råsulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam bersabda :
فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شَيْئًا فَمَاتَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Karena sesungguhnya siapa yang berpisah dengan Al-Jama’ah sedikitpun kemudian ia mati maka matinya adalah mati jahiliyah”.

Hadits Ibnu ‘Abbas

Råsulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ
“Tangan Allåh di atas Al-Jama’ah”.

Atsar ‘Ali bin Abi Thålib Rådhiyallåhu ‘anhu

السنة -والله- سنّة محمد صلى الله عليه وسلم, والبدعة ما فارقها، والجماعة -والله- مجامعة أهل الحق وإِنْ قلّوا، والفُرقة مجامعة أهل الباطل وإِن كثروا
Demi Alloh (yang dimaksud dengan) sunnah adalah sunnahnya Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-, sedang bid’ah adalah apapun yang menyelisihi sunnah. Dan demi Alloh, yang dimaksud dengan al-Jama’ah adalah bersama dengan ahlul haq meski jumlah mereka sedikit, sedang al-Furqoh adalah bersama dengan ahlul batil meski jumlah mereka banyak. (lihat Kanzul Ummal 1/378)

Atsar Ibnu Mas’ud rådhiyallåhu ‘anhumaa

الجماعة ما وافق الحق وإن كنت وحدك -وفي رواية- إن الجماعة ما وافق طاعة الله عز و جل
“Al-Jama’ah adalah apa yang sesuai dengan kebenaran meski kau seorang diri”… dalam riwayat lain redaksinya: “Sesungguhnya al-Jama’ah adalah apa yang sesuai dengan ketaatan kepada Alloh” (Tahdzibul Kamal 22/264-265)
Atsar Nu’aim bin Hammad råhimahullåh

إذا فسدت الجماعة، فعليك بما كانت عليه الجماعة قبل أن تفسد وإن كنت وحدك، فإنك أنت الجماعة حينئذ
Jika al-Jama’ah itu rusak, maka tetaplah kamu menjalani apa yang dilakukan oleh al-Jama’ah sebelum mereka rusak, meski kamu hanya seorang diri. Karena sesungguhnya kamu di saat seperti itu tetap disebut al-Jama’ah (meski hanya seorang diri). (Tahdzibul Kamal 22/265)

Atsar Abu Syamah asy-Syafi’i råhimahullåh

حيث جاء الأمر بلزوم الجماعة، فالمراد به لزوم الحق واتباعه، وإن كان الممتسك به قليلا والمخالف له كثيرا، لأن الحق هو الذي كانت عليه الجماعة الأولى من عهد النبي وأصحابه، ولا نظر إلى كثرة أهل البدع بعدهم
Setiap ada perintah untuk tetap bersama al-Jama’ah, maka maksudnya adalah: (perintah untuk) menetapi kebenaran dan mengikutinya, meski orang yang berpegang-teguh dengannya itu sedikit dan yang menyelisihinya banyak. Karena kebenaran itu adanya pada al-Jama’ah yang pertama, pada masa Nabi dan para sahabatnya, dan tidak perlu peduli dengan banyaknya ahli bid’ah setelah mereka. (al-Ba’its li Abi Syamah, hal:19)

Atsar Ibnul Qåyyum råhimahullåh

وجعلوا السنة بدعة والمعروف منكرا لقلة أهله وتفردهم في الإعصار والأمصار وقالوا من شذ شذ الله به في النار وما عرف المختلفون أن الشاذ ما خالف الحق وان كان الناس كلهم عليه إلا واحدا منهم فهم الشاذون
Mereka telah menjadikan yang sunnah itu bid’ah, dan menjadikan yang ma’ruf itu munkar, karena saking sedikitnya orang yang membelanya di banyak kurun waktu dan tempat. Mereka lalu berdalih dengan hadits “Barangsiapa yang “syadz” (menyendiri), niscaya nanti akan menyendiri di neraka”. Orang-orang yang menyelisihi (kami) itu tidak tahu bahwa yang dimaksud dengan “syadz” dalam hadits itu adalah apapun yang menyelisihi kebenaran, meski semua manusia menjalaninya kecuali satu orang, maka merekalah yang disebut “syadz” (orang yang menyendiri). (I’lamul Muwaqqi’in 3/397).

Dari hadits dan atsar di atas dan yang semisalnya para ulama berbeda di dalam menafsirkan kalimat Al-Jama’ah yang terdapat di dalam hadits-hadits tersebut sehingga ditemukan ada enam penafsiran :

Pertama : Jama’ah adalah Assawadul A’zhom (kelompok yang paling besar dari umat Islam). Ini adalah pendapat Abu Mas’ud Al-Anshory, ‘Abdullah bin Mas’ud dan Abu Ghalib.

Kedua : Al-Jama’ah adalah jama’ah ulama ahli ijtihad atau para ulama hadits.
Dikatakan bahwa mereka ini adalah jama’ah karena Allåh Subhanahu wa ta’ala menjadikan mereka hujjah terhadap makhluk dan manusia ikut pada mereka pada perkara agama.
Berkata Imam Al-Bukhory menafsirkan jama’ah : ”Mereka adalah ahlul ‘ilmi (para ulama)”.
Dan Imam Ahmad berkata tentang jama’ah : ”Apabila mereka bukan Ashhabul Hadits (ulama hadits) maka saya tidak tahu lagi siapa mereka”.
Dan Imam Tirmidzi berkata : ”Dan penafsiran jama’ah di kalangan para ulama bahwa mereka adalah ahli fiqh, (ahli) ilmu dan (ahli) hadits”.
Dan ini merupakan pendapat ‘Abdullah bin Mubarak, Ishaq bin Rahaway, ‘Ali bin Al-Madiny, ‘Amr bin Qais dan sekelompok dari para ulama salaf dan juga merupakan pendapat ulama ushul fiqh.

Ketiga : Al-Jama’ah adalah para sahabat.
Hal ini berdasarkan hadits perpecahan umat yang di sebahagian jalannya disebutkan bahwa yang selamat adalah Al-Jama’ah dan dalam riwayat yang lain : “Apa-apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya”. Dan ini adalah pendapat “Umar bin ‘Abdil ‘Aziz dan Imam Al-Barbahary.

Keempat : Al-Jama’ah adalah jama’ah umat Islam apabila mereka bersepakat atas satu perkara dari perkara-perkara agama. Pendapat ini disebutkan oleh Imam Asy-Syathiby.

Kelima : Al-Jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin apabila mereka bersepakat di bawah seorang pemimpin yang syar’i. Ini adalah pendapat Imam Ibnu Jarir Ath-Thobary dan Ibnul Atsir.

Keenam : Al-Jama’ah adalah jama’ah kebenaran dan pengikutnya. Ini adalah pendapat Imam Al Barbahary dan Ibnu Katsir.

Demikianlah penafsiran-penafsiran para ulama tentang makna Al-Jama’ah, yang semuanya itu akan membawa kepada kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :

1. Penafsiran-penafsiran tersebut walaupun saling berbeda lafadz dan konteksnya akan tetapi tidak saling bertentangan bahkan saling melengkapi makna maupun kriteria Al-Jama’ah.

2. Maka jelaslah bahwa makna Al-Jama’ah yang dikatakan sebagai golongan yang selamat dan pengikut kebenaran adalah Islam yang hakiki yang belum dihinggapi oleh noda yang mengotorinya.

3. Mungkin bisa disimpulkan dari penafsiran-penafsiran Al-Jama’ah di atas bahwa makna Al-Jama’ah kembali kepada dua perkara :
Satu : Jama’ah yang berarti bersatu di bawah kepemimpinan seorang pemerintah sesuai dengan ketentuan syariat maka wajib untuk komitmen terhadap jama’ah ini dan diharamkan untuk keluar darinya dan mengadakan kudeta terhadap pemimpinnya .
Dua : Jama’ah yang berarti mengikuti kebenaran yang dibawa oleh Råsulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam kemudian diikuti oleh para sahabatnya, para ulama ahli ijtihad dan ahlul hadits yang mereka itulah Assawadul A’zhom dan pengikut kebenaran.

Berkata ‘Abdullah bin Mas’ud tentang Al-Jama’ah :

الْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَك
“Al-Jama’ah adalah apa yang mencocoki kebenaran walaupun engkau sendiri”.
Berkata Abu Syamah dalam Al-Ba’its hal.22 : “Dan apabila datang perintah untuk komitmen terhadap Al-Jama’ah, maka yang diinginkan adalah komitmen terhadap kebenaran dan pengikut kebenaran tersebut walaupun yang komitmen terhadapnya sedikit dan yang menyelisihinya banyak orang. Karena kebenaran adalah apa-apa yang jama’ah pertama dan para sahabatnya berada di atasnya dan tidaklah dilihat kepada banyaknya ahlul bathil setelah mereka.”
Lihat : Al-I’tishom 2/767-776 tahqiq Salim Al-Hilaly, Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhaj Al-Asy’ariyah Fi Tauhidillah 1/20-23, Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/49-54, Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asy’ariyah 1/26-32.

NAMA-NAMA AHLU SUNNAH YANG SYAR’I

Ketika muncul berbagai kelompok bid’ahdan kesesatan, masing-masing menyeru kepada kelompoknya dalam keadaan mereka menisbatkan diri kepada Islam hanya secara zahir, maka para pengikut jalan Rasulullah saw dan para sahabatnya secara pemanhaman dan amalan perlu memiliki nama – nama yang bisa membedakan mereka dari kelompok-kelompok sesat dan bid’ah tersebut. Sehingga muncullah saat itu nama-nama ahlu sunnah yang syar’i, bersumber dari Islam. Diantara nama-nama mereka adalah : Ahlu sunnah wal jama’ah ( Pengikut Nabi saw dan para sahabat ), Firqatun Najiyah ( Kelompok yang selamat ), Ath-Tha’ifah al-Manshurah ( Kelompok yang mendapat pertolongan ), Salafiyun ( Pengikut para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan dan petunjuk ).

KEDUDUKAN ORANG YANG BERIJTIHAD

Seorang ulama ahlu sunnah wal jama’ah tidak boleh di hukum sebagai mubtadi’ atau ahlu bid’ah , atau terkeluar dari ahlu sunnah wal jama’ah dengan sebab satu kesalahan dalam ijtihad. Sama saja apakah ijtihad tersebut didalam masalah akidah atau didalam masalah halal dan haram yang banyak diperselisihkan oleh para ulama ahlu sunnah.

Hal ini karena dia bermaksud menepati kebenaran, dan itulah yang dia pahami sesuai dengan ijtihadnya. Maka dia berudzur dalam hal itu, bahkan dia diberi pahala atas ijtihadnya, Rasulullah saw bersabda :

Artinya : Jika seseorang hakim berijtihad memutuskan perkara, kemudian benar maka dia mendapat dua pahala. Dan jika ia berijtihad memutuskan perkara kemudian keliru maka dia mendapat satu pahala. HR Bukhari.

Permasalahan ini adalah salah satu dari perkara – perkara yang disepakati oleh para ulama, tidak ada yang menyelisihinya kecuali ahlu bida’, dari khawarij dan mu’tazilah atau orang awam yang terpengaruh dengan pemikiran mereka.
Terdapat nash-nash dari kitab dan sunnah serta perkataan salaful ummah menunjukkan bahwa seorang muslim diberi udzur jika seorang keliru tanpa dia sengaja, apa bila dia bermaksud mengikuti kebenaran, sebagai mana Allah berfirman menceritakan perkataan orang-orang yang beriman :

Artinya : Allah tidak memberati seseorang melainkan apa Yang terdaya olehnya. ia mendapat pahala kebaikan Yang diusahakannya, dan ia juga menanggung dosa kejahatan Yang diusahakannya. (Mereka berdoa Dengan berkata): "Wahai Tuhan kami! janganlah Engkau mengirakan Kami salah jika Kami lupa atau Kami tersalah. Wahai Tuhan Kami ! janganlah Engkau bebankan kepada Kami bebanan Yang berat sebagaimana Yang telah Engkau bebankan kepada orang-orang Yang terdahulu daripada kami. Wahai Tuhan kami! janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa Yang Kami tidak terdaya memikulnya. dan maafkanlah kesalahan kami, serta ampunkanlah dosa kami, dan berilah rahmat kepada kami. Engkaulah Penolong kami; oleh itu, tolonglah Kami untuk mencapai kemenangan terhadap kaum-kaum Yang kafir". Al-Baqarah : 286

Didalam shahih muslim disebutkan bahwa Allah berfirman setelah itu, “Sungguh telah aku lakukan”. HR Muslim 1/116.

Adapun nash-nash sunnah diantaranya :

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Seorang laki-laki yang belum pernah berbuat kebaikan apapun berpesan kepada keluarganya. Jika dia mati, maka hendaknya mereka membakarnya lalu separuh abunya ditebar di daratan dan separuh lagi di lautan. Demi Allah, jika Allah mampu mengembalikannya, niscaya dia akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah ditimpakan kepada siapapun di dunia. Ketika laki-laki itu mati, mereka melakukan apa yang dipesankannya. Lalu Allah memerintahkan daratan agar mengumpulkannya dan memerintahkan lautan agar mengumpulkannya pula. Kemudian Allah bertanya, 'Mengapa kamu melakukan itu?' Dia menjawab, 'Karena takut kepada-Mu ya Rabbi, dan Engkau lebih mengetahuinya.' Maka Allah mengampuninya." HR Bukhari,Muslim.

Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Laki-laki ini syak ( ragu ) terhadap qudrah Allah dan syak terhadap kemampuan Allah untuk bisa membangkitkannya jika tubuhnya telah menjadi debu, bahkan meyakini dia tidak akan dibangkitkan jika tubuhnya telah menjadi debu. Ini adalah kekufuran dengan kesepakatan kaum muslimin, tetapi karena dia jahil ( bodoh )tidak mengetahui hal itu dan beriman serta takut kepada hukuman Allah, maka Allah mengampuninya dengan keimanannya. ( Majmu’ Fatawa 3/231 )

Ayat-ayat diatas menunjukkan bahwa Allah memberikan udzur pada suatu kesalahan dengan sebab kejahilan ( ketidaktahuan )betapapun besar kesalahan tersebut, meskipun berhubungan dengan masalah akidah seperti mengingkari qudrah Allah untuk membangkitkan manusia.

Jika saja Allah memberikan udzur atas kesalahan yang begitu besar, maka para ulama ahlu sunnah wal jama’ah lebih berhak mendapatkan udzur jika mereka keliru dalam ijtihad.

No comments:

Post a Comment