Sunday, March 27, 2011

DIMANAKAH ALLAH SWT ....?

Pembahasan ayat yang berkenaan dengan sifat Allah adalah pembahasan tentang tauhid. Didalam pembahasan ini kita wajib bersandar kepada :

Pertama, Niat yang ikhlas dalam pembahasan, maknanya kita benar-benar ingin mencari kebenaran bukan kemenangan dalam berdialog.

Kedua, Pemahaman tersebut wajib merujuk kepada Al-Quran dan Hadis mengikut pemahaman Rasulullah saw dan para sahabatNya. Sebagaimana firman Allah SWT :

Artinya : Dan sesiapa Yang menentang (ajaran) Rasulullah sesudah terang nyata kepadanya kebenaran pertunjuk (yang dibawanya), dan ia pula mengikut jalan Yang lain dari jalan orang-orang Yang beriman, Kami akan memberikannya Kuasa untuk melakukan (kesesatan) Yang dipilihnya, dan (pada hari akhirat kelak) Kami akan memasukkannya ke Dalam neraka jahanam; dan neraka jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.An-Nisa : 115

Firman Allah diatas di perkuat juga oleh sabda Rasulullah saw ;

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ )

Maksudnya : “ Sesungguhnya, orang yang hidup di antara kalian selepasku akan melihat banyak perselisihan yang timbul ; maka tetaplah kalian dengan sunnahku dan sunnah Khulafa al-Mahdiyyin al-Rashidiin, berpeganglah dengannya, dan gigitlah ia dengan geraham …“. [HR Abu Daud : 4607, al-Tirmidzi : no.2676]
Keharusan kita untuk berpegang kepada pemahaman Nabi saw dan para sahabatnya adalah perintah Allah dan RasulNya. Kaedah ini bukan rumusan ulama, ianya satu pegangan untuk hambaNya dan umat Nabi saw dalam memahami Qur an, untuk mengelakkan diri dari menggunakan akalfikiran sepenuhnya, fanatik kepada teori ulama yang berunsurkan falsafah.

BAGAIMANA MEMAHAMI BAHAWA ALLAH SWT DI LANGIT?

Diantara ucapan sunnah adalah mengatakan bahwa Allah dilangit( bukan Allah duduk dilangit, sebagaimana selalu disebutkan oleh golongan asyaairah sebagai tuduhan kepada pengikut salaf ), sebagaimana bertanya “dimanakah Allah” adalah sunnah juga. Perkara ini mungkin masih asing di setengah kalangan masyarakat. Jika seseorang ditanya “dimanakah Allah”, kecenderungan secara umum terkadang orang akan menjawab bahwa Allah didalam hati atau Allah berada dimana-mana.Terkadang ada juga yang marah jika ditanya dengan soal "dimanakah Allah."

Bagaimana kita memahami bahwa Allah memang dilangit atau bersemayam di atas arsyNya?

Didalam memahami sifat Allah ( Istawaa ) pada surah Thaha ayat diatas, kita akan dapati beberapa golongan yang berlainan pendapat, misalnya :

1. Golongan yang menta’tilkan sifat Allah SWT. Golongan ini adalah golongan yang bathil, karena mereka menafikan sifat Allah, paham seperti ini lebih cenderung kepada mengutamakan akal daripada nash, golongan ini di pegang oleh Mu’azilah. Pemahaman Mu’tazilah adalah batil karena paham mereka tidak merujuk kepada sunnah Nabi saw dan para sahabatnya.

2. Golongan Musyabbihah/ Mujassimah. Golongan ini adalah golongan yang batil, karena mereka menyerupakan sifat Allah dengan makhlukNya. Pemahaman Musyabbihah/ Mujassimah ini adalah batil karena paham mereka tidak merujuk kepada sunnah Nabi saw dan para sahabatnya.

3. Golongan yang menta’wilkan sifat Allah. Golongan ini adalah batil, karena mereka mencari-cari ta’wil sifat Allah. Sehingga mereka menta’wilkan sifat Allah “Istawaa” pada surah Thaha ayat diatas dengan “Istaula”. Paham ini dikenal dengan paham Asyaa’irah Kullabiyah, yang sangat bertentangan dengan paham Ahlu sunnah wal jama’ah dan generasi salaf ( 3 generasi dari kalangan para sahabat Nabi saw, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga hari kiamat ). Golongan ini adalah diantara golongan yang digambarkan oleh Allah didalam surah ali imran ayat 7, yaitu golongan dimana didalam hati mereka ada cenderung kesesatan untuk mencari-cari takwil ayat mutasyabihat serta menimbulkan fitnah dengannya, golongan ini adalah golongan yang tidak menyadari bahwa tidak ada sisiapa yang mampu mentakwilkan sifat Allah kecuali Allah sendiri.

4.Tafwidh ( penyerahan ) : Menurut ulama salaf, tafwidh hanya pada al-kaif ( hal dan keadaan ), tidak pada maknanya. Al Istiwa’ misalnya berarti al’uluw ( ketinggian ), yang tak seorangpun mengetahui bagaimana dan seberapa ketingian tersebut kecuali Allah. Adapun orang yang menganut paham tafwidh ( penyerahan ), maka menurut mufawwidhah ( orang yang menganut paham tafwidh ) adalah penyerahan dalam masalah keadaan dan makna secara bersamaan. Pendapat ini bertentangan dengan apa yang di terangkan oleh ulama salaf seperti Ummu Salamah ra, Rabi’ah guru besar Imam Malik dan Imam Malik sendiri. Mereka semua berpendapat bahwa “Istiwa’ ( bersemayam di atas ) itu jelas pengertiannya,bagaimana cara / keadaan itu tidak diketahui, iman kepadanya wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.

5. Golongan yang mengitsbatkan ( menetapkan ) sifat-sifat Allah. Golongan ini memahami setiap ayat yang berkenaan sifat Allah, seperti makna “Istawaa”. Golongan ini adalah golongan yang benar, mereka memahami setiap makna sifat Allah dan beriman serta berserah kepada Allah tentang bagaimana dan keadaan sifatNya.

Mereka beriman kepada nama-nama Allah s.w.t. dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang diterangkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya s.a.w., menurut apa yang layak bagi Allah s.w.t., tanpa ta’wil (adalah merubah makna dari maknanya yang Haq)dan ta’thil (adalah menghilangkan makna atau sifat Allah ), tanpa takyif(adalah mempersoalkan hakikat asma’ dan sifat Allah dengan bertanya “bagaimana”.), dan tamtsil/ tasybih/ tajsim (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), berdasarkan firman Allah s.w.t.:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tiada sesuatupun yang serupa dengan (ZatNya, sifat-sifatNya, dan pentadbiranNya) dan Dia lah yang Maha Mendengar, lagi Maha Melihat. (asy-Syura 42: 11).

Pemahaman yang mengitsbatkan sifat Allah adalah pemahaman yang merujuk kepada Qur an dan sunnah RasulNya, serta para sahabatnya, yang diikuti oleh generasi selanjutnya termasuklah 4 imam mazhab.

Golongan yang mengitsbatkan sifat-sifat Allah adalah golongan yang benar dalam memahami sifat–sifat Allah dengan merujuk kepada pemahaman generasi salaf. Walaupun golongan ahli bid’ah senantiasa melemparkan tuduhan dengan berbagai tuduhan, seperti ada yang menuduh mereka berpaham Hasyawiyah, Musyabbihah dan Mujassimah dll. Tiada maksud dari berbagai tuduhan tersebut kecuali mereka ( ahli id’ah ) ingin menjauhkan manusia dari pemahaman yang haq.

Diantara contoh gelar yang melemparkan kepada pengikut hadis dan atsar adalah Fakhruddin ar-Razi, dimana beliau melemparkan gelar terhadap ahli hadis bahwa mereka adalah “Hasyawiyah”, maka tidak samar lagi bahwa ini adalah termasuk gelar-gelar buruk yang biasanya dilontarkan oleh para ahli bid’ah dengan tujuan untuk melarikan manusia dari jalan yang benar.

Ucapan ar-Razi diatas dibantah dengan ucapan Imam Abu Hatim ar-Razi : Tanda-tanda ahli bid’ah adalah mencela ahli atsar (hadis). Dan tanda – tand ahli kaum Zindiq adalah menggelari ahli atsar dengan “Hasyawiyah”, dengan bertujuan untuk menggugurkan atsar ( Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, al-Lalika’i,1/204)
Dibantah juga oleh Imam ash-Shabuni yang berkata,” Tanda-tanda ahli bid’ah itu sangat nampak. Tanda-tanda mereka yang paling menyolok adalah permusuhan mereka yang sangat terhadap para pengemban hadis Nabi saw , pelecehan mereka dan gelar mereka terhadap ahli hadis dengan Hasyawiyah, jahalah, Zhahiriyah, dan Musyabbihah. (Aqidah salaf ashabul hadis, hal. 116 ).

Dibawah ini saya paparkan satu persatu pembahasan dan pendapat, beserta dalil-dalil tentang benarnya pemahaman golongan yang mengitsbatkan sifat-sifat Allah. Satu golongan yang benar dalam memahami sifat–sifat Allah dengan merujuk kepada pemahaman generasi salaf. Semoga dapat dipahami oleh orang-orang yang senantiasa menuduh bahwa pengikut salaf adalah Mujassimah dan Musyabbihah dan berbagai tuduhan tanpa mengetahui perkara sebenarnya. Dan semoga dapat diterima oleh orang-orang pencari kebenaran yang ikhlas semata-mata ingin memahamai Islam dan ta’at kepada Allah mengikut pemahaman RasulNya dan para sahabatnya.

1. Allah SWT berfirman :

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“Iaitu (Allah) Ar-Rahman, Yang bersemayam di atas Arasy.” (Thohaa: 5)

Kata “Istawaa” didalam surahThaha, ayat 5 diatas adalah sifat Allah. Ayat ini di katagorikan sebagai ayat mutasyabihat. Berkenaan dengan ayat mutasyabihat ini, maka kami mengajak saudara untuk menyemak tafsir surah ali imran ayat 7 yang diambil dari tafsir al azhar, Buya Hamka dibawah ini :
Allah berfirman yang artinya :

"Dia yang telah menurunkan kepada engkau sebuah Kitab, sebahagian daripadanya adalah ayat-ayat yang muhkam, yaitulah Ibu dari Kitab, dan yang lain adalah (ayat-ayat) yang mutasyabih. " (pangkal ayat 7).

Di sini dijelaskan bahwasanya ayat-ayat dalam al-Qur'an itu ada dua macam, pertama muhkam; kedua mutasyabih. Misalnya ayat-ayat yang mengenai hukum, memerintahkan sembahyang, membayar zakat, mengerjakan puasa dan naik haji dan sebagainya.

Demikian juga tentang pembahagian waris harta pusaka, muhkam sebab jelas diterangkan, misalnya laki-laki rnendapat dua kali sebanyak yang diterima oleh perempuan. Ayat-ayat yang muhkam disebut sebagai Ibu dari Kitab. Ibu Kitab artinya menjadi sumber hukum, yang tidak bisa diartikan lain lagi.
Tetapi ada lagi ayat yang mutasyabih. Arti yang asli dari kata mutasyabih ialah serupa-serupa, macam-macam, tidak tepat kepada suatu arti. Panjang lebar perbincangan ulama tentang maksud mutasyabih itu.

Kita ambil suatu misal, yaitu ayat-ayat yang mengenai penyendirian hubungan bercampur-gaul di antara suami dengan isteri. Tidak berjumpa satu ayatpun dalam al-Qur'an yang menerangkan hal bersetubuh dengan terang-terang. Yang ada hanyalah perkataan seumpama awlamastumun nisa' yang berarti: atau menyentuh kamu akan perempuan. Atau ma lam tamas suhunna yang berarti: selama belum kamu sentuh mereka. Atau rafatsu ila nisa-ikum yang asal arti kata rafats itu ialah bercakap "main-main" antara suami-isteri seketika akan seketiduran. Atau libasun artinya yang asli ialah pakaian.

Kata-kata yang demikian mengandung dua arti yaitu arti yang tersurat dan arti yang tersirat. Sebab itu tidak heran kalau ada ulama fiqh yang berfaham bahwa wudhu' baru batal kalau bersetubuh dan setengah ulama fiqh lagi berfaham wudhu telah batal karena bersentuhan saja.

Dimasukkan orang juga dalam ayat-ayat mutasyabih, huruf-huruf yang ada di pangkal surat seperti Alim-Lam-Mim, Alif-Lam-Ra , Ha- Mim , dan sebagainya itu. Karena dia mungkin hanya semata-mata huruf untuk permulaan surat, dan mungkin dia mengandung arti sendiri di belakang yang tertulis.

Tetapi yang lebih masyhur dimasukkan ke dalam ayat yang mutasyabih ialah membicarakan beberapa hal berkenaan dengan ketuhanan. seumpama ayat yang menerangkan bahwa Tuhan mempunyai tangan, atau Tuhan mempunyai banyak tangan, atau mempunyai dua tangan, atau Tuhan mempunyai banyak mata, atau Tuhan duduk bersemayam di atas 'Arsy.

Satu keterangan dari Imam as-Syaukani di dalam tafsir Fathul-Qadir tentang muhkam dan mutasyabih ini, yakni setelah beliau memperbincangkan pendapat ulama tentang ini, adalah menarik hati kita buat melengkapkan tafsir ini. Kata beliau, (kita simpulkan): Kalau kita renungkan, dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa seluruh ayat di dalam al-Qur'an itu adalah muhkam yaitu apabila kita meniliknya dari segi ayat-ayat yang lain. Di ayat lain Tuhan bersabda:

كِتابٌ أُحْكِمَتْ آياتُهُ

"Kitab yang telah dijelaskan ayat-ayatnya.' (Hud:1)
Dan sabda Tuhan lagi:

تِلْكَ آياتُ الْكِتابِ الْحَكيمِ

"Itulah ayat-ayat dari kitab yang Hakim " (Yunus: 1)
Yang dimaksud adalah kitab yang penuh dengan kebijaksanaan Kata Imam as-Syaukani selanjutnya: "Maksud muhkam di sini ialah benar ucapannya itu, jitu maknanya, penuh dengan balaghah fashahah, melebihi segala perkataan."

Dan ada pula ayat yang menerangkan bahwa seluruh ayat ayat al-Qur'an itu mutasyabih. Ada sabda Tuhan di ayat lain:

كِتاباً مُتَشابِهاً

"Kitab yang berserupa-serupaan !' (az-zumar 23)
Maksud mutasyabih dengan rnakna ini ialah bahwa ayat yang satu menyerupai ayat yang lain dalam kebenarannya, dalam kefasihannya, dalam keindahan dan dalam balaghahnya. Demikian kesan as-Syaukani.

Setengah ahli ilmu berkata bahwa terdapatnya ayat-ayat yang mutasyabih dalam al-Qur'an banyak pula faedahnya. Diantaranya ialah bahwa untuk mencapai arti dan maksudnya dan kebenaran yang terkandung di dalamnya, lebih sukar daripada ayat yang muhkam.

Dengan sebab yang demikian niscaya lebih besarlah pahala bagi orang-orang yang mujtahid, yang bersungguh-sungguh mengkajinya.
Mufassir az-Zamakhsyari dan ar-Razi setelah menguraikan beberapa pendapat tentang muhkam dan mutasyabih ini, akhirnya sampai kepada kesimpulan yang seperti ini. Yang maksudnya, adanya ayat yang mutasyabih bukanlah menutup pintu buat berfikir, tetapi menambah pahala bagi kesungguhan

فَأَمَّا الَّذينَ في‏ قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ ما تَشابَهَ مِنْهُ ابْتِغاءَ الْفِتْنَةِ وَ ابْتِغاءَ تَأْويلِهِ

"Adapun orang-orang yang didalam hatinya ada kesesatan, maka mereka cari-carilah yang mutasyabih daripadanya itu, karena hendak membuat fitnah dan karena hendak rnenta'wil."

Ayat ini menjelaskan bahwa ayat yang mutasyabih itu dapat dipergunakan oleh orang yang di dalam hatinya sudah ada bibit kesesatan untuk membuat fitnah. Atau untuk mencari penafsiran sendiri.
Ta'wil artinya ialah tafsir. Misalnya bertemu ayat bahwa Tuhan bersemayam di 'Arsy . lalu dibuatnya arti sendiri sehingga terbayanglah seakan-akan Allah itu seorang raja yang sedang duduk enak-enak di atas kursi singgasana mahligai. Atau Tuhan bertangan, dibuatnya ta'wil menurut seenaknya sendiri. sehingga melanggar hak Tuhan.

Maksudnya salah satu dari dua pertama karena membuat fitnah, membuat onar, sehingga i'tikad orang jadi rusak. Kedua hendak menunjukkan bahwa maksud itu timbul dari hati yang sesat dan jahat.

وَ ما يَعْلَمُ تَأْويلَهُ إِلاَّ اللهُ

"Padahal tidaklah mengetahui akan ta 'wilnya itu, melainkan Allah."
Oleh sebab itu maka ta'wil yang sah dari ayat Allah hanyalah ta'wil yang datang dari Allah sendiri. Adapun segala ta'wil yang timbul dari hati yang sesat, pasti tidak benar. Dengan ini bukanlah berarti bahwa semua orang dilarang menta'wilkan ayat yang mutasyabih. Dia boleh dita'wilkan asal menurut tuntunan Tuhan. Itulah sebabnya maka lanjutan ayat berbunyi:

وَ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنا

"Dan orang-orang yang telah mendalam padanya ilmu, berkata mereka. Kami percaya kepadanya, semuanya itu adalah dari sisi Tuhan kami."
Artinya bahwa ayat-ayat yang mutasyabih itu diterimanya dalam keseluruhan, dan tidak dia mencari ta'wil yang timbul dari hati tersesat; melainkan dengan hati tunduk kepada Allah. Dan selalu ia memohon kepada Tuhan agar Tuhan menambah lagi ilmunya.

" Ya Tuhanku! Tambahkan untukku ilmu."

Ar-Rasikhuna fil-ilmi , orang yang telah rasikh ilmunya, artinya telah dalarn, telah berurat, telah dianugerahi Tuhan segala kunci-kunci ilmu. Maka menurut kebiasaannya, apabila orang yang telah amat mendalam ilmunya mengakuilah dia akan kekurangannya.

Sebagaimana Imam Syafi'i yang termasuk barisan orang rasikh, pernah berkata:

" Tiap-tiap Tuhan menambah ilmuku, bertambahlah aku faham akan kejahilanku."

Oleh sebab itu maka pada pokoknya Tuhan Allah sendiri yang tahu akan ta'wil ayat-ayatNya , Tuhan pun bisa memberikan ilmu ta'wil itu kepada barang siapa yang Dia kehendaki dari hambaNya. Nabi kita saw pernah memohonkan kepada Tuhan Allah, agar Ibnu Abbas diberi ilmu:

" Ya Tuhan! Berilah dia faham tentang agama dan ajarlah kiranya dia menta'wilkan."
Itu pula sebabnya maka ulama-ulama dan penganut Madzhab Salaf tidak mau mencari ta'wil atau tafsir dari ayat-ayat yang mengenai sifat Tuhan tadi. Misalnya tentang Allah bertangan, Allah mempunyai banyak mata, Allah bersemayam di `Arsy. Ketika Imam Malik ditanyai orang tentang tafsir ayat Tuhan bersemayam di `Arsy itu,

beliau berkata:
"Arti `Arsy kita tahu , arti bersemayam kita faham, tetapi bagaimana caranya Tuhan bersemayam itu tidaklah dapat kita ketahui. Sedang menanyakan hal yang demikian adalah haram."

2. Pemahaman tentang adanya Allah dilangit dalam surah Thaha ayat 5 diperkuat oleh keterangan Rasulullah saw didalam hadis Mu’awiyah Ibn hakam as-Sulamy saat dia bertanya kepada budak perempuan dengan soalan dimanakan Allah SWT ?Lantas budak tersebut menjawab bahwa Allah di langit. Rasulullah mendiamkan jawaban itu, diamnya nabi saw berarti bersetuju dengan jawaban itu. Pemahaman ini juga yang dipegang oleh Nabi saw dan para sahabat ya , dimana mereka adalah orang arab yang sangat memahami bahasa arab, tidak ada dalam sejarah mereka memahami kata ‘istawa’ dengan makna ‘istaula’, sehingga mengatakan bahawa Allah berada dimana-mana, sebagaimana pemahaman sebahagian masyarakat hari ini.

Adapun hadis tersebut adalah :

sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Tidakkah kalian percaya padaku sedangkan aku adalah kepercayaan Yang berada di atas langit. Datang kepadaku wahyu dari langit di waktu pagi dan petang.” (HR.Bukhori-Muslim).

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Rahman, sayangilah siapa saja yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh Yang berada di atas langit.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Imam Al-Albani).

قَالَ مُعَاوِيَةُ بْنُ حَكَمُ السُّلَمِي : وَكَانَتْ لِيْ جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ اُحُدٍ وَالْجُوَانِيَةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ فَاِذَا بَالذِّئْبِ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا وَاَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ آدَمَ اَسَفَ كَمَا يَاْسِفُوْنَ . لَكِنَّيْ صَكَكْتُهَا صَكَّةً فَاَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ . قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ اَفَلاَ اَعْتِقُهَا ؟ قَالَ : اِئْتِنِيْ بِهَا . فَقَالَ لَهَا : اَيْنَ اللهُ ؟ قَالَتْ : فِى السَّمَاءِ . قَالَ : مَنْ اَنَا ؟ قَالَتْ : اَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ . قَالَ : اَعْتِقُهَا فِاِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ.

"Berkata Muawiyah bin Hakam as-Sulami: Aku memiliki seorang hamba wanita yang mengembalakan kambing di sekitar pergunungan Uhud dan Juwainiyah. Pada suatu hari aku melihat seekor serigala menerkam dan membawa lari seekor kambing gembalaannya. Sedang aku termasuk seorang anak Adam kebanyakan. Maka aku mengeluh sebagaimana mereka. Kerananya wanita itu aku pukul dan aku marahi. Kemudian aku menghadap Rasulullah, maka baginda mempersalahkan aku. Aku berkata: Wahai Rasulullah, adakah aku harus memerdekakannya!" Jawab Rasullullah: Bawalah wanita itu ke sini. Maka Rasulullah bertanya kepada wanita itu. “Di mana Allah? Dijawabnya: Di langit. Rasullullah bertanya lagi: Siapa aku? Dijawabnya: Engkau Rasullullah. Maka baginda bersabda: Merdekakanlah wanita ini kerana dia adalah seorang mukminah". (H/R Muslim dan Abi Daud)

-sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Tidakkah kalian percaya padaku sedangkan aku adalah kepercayaan Yang berada di atas langit. Datang kepadaku wahyu dari langit di waktu pagi dan petang.” (HR. Bukhori-Muslim).

-Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Rahman, sayangilah siapa saja yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh Yang berada di atas langit.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Imam Al-Albani).

Para sahabat Nabi saw juga berpendirian sebagaimana apa yang di firmankan Allah dan apa yang disabdakan RasulNya di atas, seperti :

-Abdullah bin Abbas , pakar tafsir dari kalangan sahabat Nabi saw, Mujahid-murid beliau, Abul ‘Aliyah, dan Ishaq bin Rahawaih menafsirkan “Istawaa” pada surah al’Araf, ayat 54 : Allah berada di atas arsy dan tinggi. ( Bukari, kitab tauhid ). Inilah pendapat yang dipilih ulama tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya.

-Umar al-Khathab menyatakan bahawa:

“Bahawasanya segala urusan itu (datang) dari sana (sambil mengisyarat-kan tangannya ke langit).” (al-Imam az-Zhahabi di dalam kitab-nya menyatakan bahawa riwayat ini sahih.)

-“Daripada Ibnu Abbas (ia berkata) bahawa Rasulullah s.a.w. berkhutbah kepada manusia pada hari Nahr (tanggal 10 Zulhijjah) kemudian Ibnu abbas menyebutkan khutbah Nabi s.a.w. kemudian beliau mengangkat (mendongakkan) kepalanya ke arah langit sambil mengucapkan: “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan! Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan!” (Riwayat Imam Bukhari, juz.2 halaman 191)

-Zainab binti jahsyi, berbangga terhadap para isteri Rasulullah saw lainnya dengan mengatakan , “ kalian dinikahkan dengan Rasulullah saw oleh keluarga kalian sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari atas langit yang ketujuh". HR Bukhari.

Begitu banyak dalil-dalil al-Qur’an yang lain yang mana begitu jelas yang menunjukkan bahawa Allah itu bersemayam di ‘arsy di langit. Tidak harus wujud penamaan sifat yang lain dengan nama yang lain bagi menggantikan kalimah ‘istawa,’ yang mana telah ditetapkan oleh Allah s.w.t. sendiri kepada diriNya. Siapa kita yang mahu menukarkan makna kalimah ‘istawa’ (bersemayam) kepada istawla’ (berkuasa)? Sehingga mengatakan bahawa Allah SWT berada dimana-mana. Adakah kita orang yang layak, sedangkan kita tidak langsung mengetahui. Adakah akal kita telah benar-benar bijak sehingga mampu menukar ketetapan yang telah ditetapkan oleh Allah s.w.t. sendiri ke atas diri-Nya?

Allah berfirman :

هَؤُلاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً لَوْلا يَأْتُونَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا

“Maka tidak ada Yang lebih zalim dari orang-orang Yang berdusta terhadap Allah.” (al-Kahfi: 15)

Terdapat banyak ayat, di mana Allah menyatakan dan menetapkan yang Dirinya itu bersemayam di ‘arsy dengan menggunakan kalimah istawa’ ‘alal ‘arsy (ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ). Dan andainya Allah mahu menamakannya dengan nisbahan yang lain, tentu Allah sudah menunjukkannya dengan jelas. Adalah kesilapan yang disengajakan yang paling besar andainya ada di antara mereka (manusia) menukar-nukar kalimah al-Qur’an yang telah sedia ditetapkan oleh Allah dengan kalimah-kalimah yang lain menurut akal, prasangka, dan hawa nafsu. Maha Suci Allah dari semua itu.

Berikut kami sampaikan perkataan Sheikh Soleh Abdullah Fauzan di dalam Kitab Tahid-nya (maksudnya) dalam menafsirkan ayat yang berkenaan dengan istawa’ ‘alal ‘arsy (ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ) :

Bahawa wajib - Menetapkan nama-nama (asma’) untuk Allah s.w.t. seperti mana Allah menetapkannya, dan maka siapa yang menafikannya bererti ia telah menafikan apa yang telah ditetapkan Allah dan juga bererti dia telah menentang Allah s.w.t.

Bahawasanya Allah s.w.t. mengancam orang-orang yang ilhad (menyelewengkan) dalam asma’-Nya dan Dia akan membalas perbuatan mereka yang buruk itu.

Berkata Sheikh Soleh Abdullah Fauzan seterusnya; dalam tujuh ayat di dalam Qur’an ini (7:54, 12:3, 13:2, 20:5, 25:59, 32:4, 57:4) lafaz istawa’ datang dalam bentuk dan lafaz yang sama. Maka hal ini menyatakan bahawa yang dimaksudkan adalah maknanya yang hakiki yang tidak menerima ta’wil, iaitu ketinggian dan keluhuran-Nya di atas ‘arsy.

‘Arsy menurut bahasa Arab adalah singgahsana untuk raja. Sedangkan yang dimaksudkan dengan ‘Arsy di sini adalah singgahsana yang mempunyai beberapa kaki yang dipikul oleh malaikat, ia merupakan atap bagi semua makhluk (rujuk al-Mu’min ayat 7 dan al-Haqqah ayat 17). Sedangkan bersemayamnya Allah di atasnya (‘arsy) adalah yang sesuai dengan keagungan-Nya. Kita tidak mengetahui kaifiyah (cara-nya), sebagaimana kaifiyah sifat-sifat-Nya yang lain. Akan tetapi kita hanya menetapkannya sesuai dengan apa yang kita fahami dari maknanya dalam bahasa Arab, sebagaimana sifat-sifat lainnya, kerana memang al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab.

Saat membincangkan adakah Allah bertempat, karena kita mengatakan bahwa Allah dilangit? Jawabannya tentu Allah adalah Dzat tanpa tempat.Sebagaimana meujuk kepada sabda Nabi saw :

أن النبي صلى الله عليه وسلم لما عن الآية (ثم دنى فتدلى فكان قاب قوسين أو أدنى) قال صلى الله عليه وسلم هو جبريل لأن الله موجود بلا مكان فلا يوصف بصفات الأجسام ولا بالمسافة بالمرة

Diriwayatkan Imam Bukhori dan Muslim dn Bayhaqi dalam kitab Asma wa al shifat 260

Artinya : "Sesungguhnya Nabi Shollallahu 'alaihi wa Sallam ketika di tanya tentang ayat (Tsumma dana fa tadalla fa kana qoba qowsaini aw adna) Bersabdalah Nabi, IA ADALAH JIBRIL KARENA SESUNGGUHNYA ALLAH DZAT YG WUJUD TANPA TEMPAT, MAKA TIDAK BOLEH DI SHIFATI DG BEBERAPA SHIFATNYA JISIM DAN TIDAK DI SHIFATI DG JARAK JANGKAUAN"

Perhatikan hadis diatas,....Nabi saw mengatakan Allah adalah Dzat yang wujud tanpa tempat. Inilah yang dijadikan pegangan imam syafii dan golongan salaf untuk mengatakan bahwa Allah adalah Dzat tanpa tempat.

Adakah ia ( perkataan Allah tidak bertempat ) bertentangan dengan sabda Nabi pada Hadis yang lain dimana Beliau mengatakan bahwa Allah dilangit?

Jawannya tidak, karena dua – duanya adalah sifat Allah yang harus kita pahami maknanya dan beriman kepadaNya daripada mentakwilkannya. Ini kaedah yang Allah dan RasulNya ajarkan kepada kita, ini yang di pahami golongan salaf, ini yang di pahami oleh para 4 imam mazhab ( yang sebagian pengikutnya mengikut paham asyaairah ).

Dua sifat diatas akan nampak bertentangan jika kita mengkajinya dengan akal kita saja, tanpa merujuk metode Nabi saw dan para sahabatnya, seperti golongan asyaairah yang akhirnya terpaksa harus mentakwilkan Istawaa kepada Istaula, karena dilihat ketidakcocokan menurut akal mereka.

Manakala yang berikut pula adalah dalil-dalil dari Al-Quran yang mengukuhkan lagi kenyataan yang Allah itu di langit :

1. Pusat Pemerintahan Allah juga di Langit (Mentadbir Dari Langit)

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ

“Patutkah kamu merasa aman (tidak takut) kepada Tuhan yang pusat pemerintahan-Nya di langit itu: menunggang-balikkan bumi menimbus kamu, lalu bergegarlah bumi itu Dengan serta-merta (melenyapkan kamu di bawahnya)?” (al-Mulk: 16)

Allah berfirman :

يُدَبِّرُ الأمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الأرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ

“Allah mentadbirkan segala urusan dari langit ke bumi; Kemudian urusan itu naik kepada-Nya...” (as-Sajdah: 5)

2. Manakala berikut, menunjukkan naik-nya amalan

Amalan-amalan yang baik itu akan naik kepada Allah. Apabila istilah naik digunakan, bermakna kedudukannya mestilah menghala ke atas. Ke atas adalah dimaksudkan menuju ke tempat yang tinggi, iaitu langit.

Allah berfirman :

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ وَالَّذِينَ يَمْكُرُونَ السَّيِّئَاتِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَكْرُ أُولَئِكَ هُوَ يَبُورُ

“Kepada Allah-lah naiknya Segala perkataan Yang baik (yang menegaskan iman dan Tauhid, untuk dimasukkan ke Dalam kira-kira balasan), dan amal Yang soleh pula di angkatnya naik (sebagai amal Yang makbul - Yang memberi kemuliaan kepada Yang melakukannya).” (al-Fatheer: 10)

3. Manakala berikut, dalil menunjukkan bahawa Jibril itu naik menghadap Tuhanya-Nya

تَعْرُجُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Rabb.” (al-Ma’arij: 4)


4. Begitu juga dalil yang berikut ini, iaitu di mana Fir’aun memperolok-olokkan kenyataan nabi Musa a.s.:
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الأسْبَابَ, أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لأظُنُّهُ كَاذِبًا وَكَذَلِكَ زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَصُدَّ عَنِ السَّبِيلِ وَمَا كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلا فِي تَبَابٍ

“Dan Firaun pula berkata: "Hai Haman! binalah untukku sebuah bangunan Yang tinggi, semoga Aku sampai ke jalan-jalan (yang Aku hendak menujunya) "(Iaitu) ke pintu-pintu langit, supaya Aku dapat melihat Tuhan Musa; dan Sesungguhnya Aku percaya Musa itu seorang pendusta!" Demikianlah diperhiaskan (oleh Syaitan) kepada Firaun akan perbuatannya Yang buruk itu untuk dipandang baik, serta ia dihalangi dari jalan Yang benar; dan tipu daya Firaun itu tidak membawanya melainkan ke Dalam kerugian dan kebinasaan. (al-Mu’min: 36-37)

Maka, barangsiapa mengatakan Allah itu tidak di langit atau memepermainkan (mendustakan) pernyataan yang menunjukkan Allah itu di langit, maka dia menyerupai Fir’aun yang mempermainkan kata-kata Musa a.s..

5. Allah Mengangkat (Menunjukkan Naik Ke Atas) Isa Ke Sisi-Nya

إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَجَاعِلُ الَّذِينَ اتَّبَعُوكَ فَوْقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأَحْكُمُ بَيْنَكُمْ فِيمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

(ingatlah) ketika Allah berfirman: "Wahai Isa! Sesungguhnya Aku akan mengambilmu dengan sempurna, dan akan mengangkatmu ke sisiKu…” (Ali Imran: 55)

Allah berfirman :

بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

“Bahkan Allah telah mengangkat Nabi Isa kepadanya; dan adalah Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana.” (an-Nisa’: 158)

6. Kedudukan Allah Yang Di Atas

يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka). (an-Nahl: 50)

7. Perihal Penurunan al-Qur’an (Dari Langit)
وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ (١٩٢)نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ (١٩٣)عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ (١٩٤)بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ)

“Dan Sesungguhnya Al-Quran (yang di antara isinya kisah-kisah Yang tersebut) adalah diturunkan oleh Allah Tuhan sekalian alam. ia dibawa turun oleh malaikat Jibril Yang amanah. ke Dalam hatimu, supaya Engkau (Wahai Muhammad) menjadi seorang dari pemberi-pemberi ajaran dan amaran (kepada umat manusia). (ia diturunkan) Dengan bahasa Arab Yang fasih serta terang nyata. (as-Syu’ara: 192-195)

Allah berfirman :

تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ

“Turunnya Kitab Al-Quran ini dari Allah, Yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana.” (az-Zumar: 1)

8. Berita-Berita Langit
وَأَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيدًا وَشُهُبًا (٨)وَأَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ فَمَنْ يَسْتَمِعِ الآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَصَدًا

“Dan Bahawa Sesungguhnya Kami telah berusaha mencari berita langit, lalu Kami dapati langit itu penuh Dengan pengawal-pengawal Yang sangat kuat kawalannya, dan (dengan rejaman-rejaman) api Yang menyala. Padahal Sesungguhnya Kami dahulu biasa menduduki tempat-tempat (perhentian) di langit untuk mendengar (percakapan penduduknya – para malaikat); maka sekarang sesiapa Yang cuba Mendengar, akan mendapati api Yang menyala Yang menunggu merejamnya.” (al-Jin: 8-9)

Dan sekian banyak lagi dalil-dalil al-Qur’an yang jelas menunjukkan Allah itu di langit di ‘arsy-Nya. Begitu juga dengan perihal kisah nabi isra’ dan mikraj, di mana nabi menuju ke langit.

Adapun Dalil daripada atsar (sahabat Rasulullah s.a.w.) adalah :

1. Umar al-Khathab menyatakan bahawa:

“Bahawasanya segala urusan itu (datang) dari sana (sambil mengisyarat-kan tangannya ke langit).” (al-Imam az-Zhahabi di dalam kitab-nya menyatakan bahawa riwayat ini sahih)

2. Riwayat daripada Ibnu abbas pula (maksudnya);

“Daripada Ibnu Abbas (ia berkata) bahawa Rasulullah s.a.w. berkhutbah kepada manusia pada hari Nahr (tanggal 10 Zulhijjah) kemudian Ibnu abbas menyebutkan khutbah Nabi s.a.w. kemudian beliau mengangkat (mendongakkan) kepalanya ke arah langit sambil mengucapkan: “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan! Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan!” (Riwayat Imam Bukhari, juz.2 halaman 191)

Diantara keterangan para ulamak tentang ‘Allah SWT dilangit’ adalah :

1.Hujah Para imam Ahlus Sunnah wa-al-Jama’ah (dan para Tabi’ Tabi’ien):

Telah berkata Imam abu Hanifah:

“Barangsiapa yang mengingkari sesungguhnya Allah berada di atas langit, maka sesungguhnya dia telah kafir.”

2. Telah berkata Imam Malik Bin Annas:

“Allah berada di langit sedangkan ilmu-Nya di tiap-tiap tempat dan tidak tersembunyi sesuatupun dari-Nya.”

Imam Malik bin Anas (tahun 93-179 H),

Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam -Radd ‘alal-Jahmiyyah : Telah menceritakan ayahku, kemudian ia menyebutkan sanadnya dari ‘Abdullah bin Naafi’, ia berkata : Telah berkata Malik bin ...Anas :

الله في السماء، وعلمه في كل مكان، لا يخلو منه شيء.

“Allah berada di atas langit, dan ilmu-Nya berada di setiap tempat. Tidak ada terlepas dari-Nya sesuatu”. [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah dalam As-Sunnah hal. 5, Abu Dawud dalam Al-Masaail hal. 263, Al-Aajuriiy hal. 289, dan Al-Laalikaa’iy 1/92/2 dengan sanad shahih – dinukil melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 140 no. 130].

Telah menyebutkan kepadanya ‘Aliy bin Ar-Rabii’ At-Tamimiy Al-Muqri’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Abi Dawud, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Salamah bin Syabiib, ia berkata : Telah menceritakan kepa...da kami Mahdiy bin Ja’far, dari Ja’far bin ‘Abdillah, ia berkata : Datang seorang laki-laki kepada Malik bin Anas. Ia berkata : “Wahai Abu ‘Abdillah, ‘Ar-Rahman yang beristiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy’; bagaimana Allah beristiwaa’ ?”. Perawi berkata : “Belum pernah aku melihat beliau (Malik) marah sedemikian rupa seperti marahnya beliau kepada orang itu. Tubuhnya berkeringat, orang-orang pun terdiam. Mereka terus menantikan apa yang akan terjadi. Maka keadaan Al-Imam Malik kembali normal, beliau berkata : “Kaifiyah-nya tidaklah dapat dinalar, istiwaa’ sendiri bukan sesuatu yang majhul, beriman kepadanya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Dan sesungguhnya aku khawatir kamu berada dalam kesesatan”. Kemudian beliau memerintahkan orang tersebut untuk dikeluarkan dari majelisnya. [Syarh Ushuulil-I’tiqad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah, hal. 398)

Telah masyhur riwayat Al-Imam Maalik bin anas rahimahullah sebagai berikut :

ذكره علي بن الربيع التميمي المقري قال ثنا عبد الله ابن أبي داود قال ثنا سلمة بن شبيب قال ثنا مهدي بن جعفر عن جعفر بن عبد الله قال جاء رجل إلى مالك بن أنس فقال يا أب...ا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استوى قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه الرحضاء يعني العرق قال واطرق القوم وجعلوا ينتظرون ما يأتي منه فيه قال فسرى عن مالك فقال الكيف غير معقول والاستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة فإني أخاف أن تكون ضالا وامر به فأخرج


Berkata Ibnu Khuzaimah rahimahullah : “Siapa yang tidak mengatakan bahwa Allah itu berada di atas langit-langit-Nya tinggi dan menetap di atas Arsy-Nya berpisah dari makhluk-Nya maka wajib dimintai tobat apabila dia bertobat maka diterima kalau tidak maka dipenggal lehernya kemudian dilemparkan ke tempat sampah agar manusia tidak terganggu dengan baunya”. (Disebutkan oleh Al-Hakim dalam Ma’rifatil ‘Ulumul Hadits hal. 152 dan Mukhtashor ‘Uluw hal. 225).

3. Telah berkata imam as-syafi’e:

“Dan Allah di atas ‘arsy-Nya di atas langit-Nya.”

Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’I, tahun 150-204 H).

Syaikhul Islam berkata bahwa telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Kholil bin Abdullah Al Hafizh, beliau berkata bahwa telah memberitahuka...n kepada kami Abul Qosim bin ‘Alqomah Al Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah telah memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, beliau berkata,

القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر الاعتقاد

“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya. [Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, hal. 123-124. Disebutkan pula dalam Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal.165]

4. Telah berkata Imam Ahmad:

“Benar! Allah di atas ‘arsy-Nya dan tidak sesuatupun yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya.”

5. Telah berkata imam at-Tirmidzi:

“Telah berkata ahli ilmu: Dan Ia (Allah) di atas ‘arsy sebagaimana Ia telah menetapkan diri-Nya.”

(Rujukan daripada Kitab al-‘Uluw, oleh Imam az-Zhahabi)

6. Telah berkata imam Ibnu Khuzaimah:

“Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah di atas ‘arsy-Nya Ia istiwa’ di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Tuhan-Nya (setelah hujah ditegakkan)... (Sahih, dikeluarkan oleh al-Hakim di dalam kitabnya Ma’rifah ‘ulumil-Hadits, halaman 84)

Imam Abu Hanifah (tahun 80-150 H) mengatakan dalam Fiqhul Akbar,

من انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر

“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.” [Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, ha...l. 116-117, Darus Salafiyah, Kuwait, cetakan pertama, 1406 H. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 137, Al Maktab Al Islamiy].

Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri ber...firman,

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”. [QS. Thaha: 5] Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, Adz Dzahabi, hal. 135-136, Maktab Adhwaus Salaf, Riyadh, cetakan pertama, 1995].

7. Telah berkata Sheikhul Islam imam Abdul Kadir Jailani:

“Tidak boleh mensifatkan-Nya bahawa Ia (Allah) berada di tiap-tiap tempat (Allah di mana-mana). Bahkan wajib mengatakan, “Sesungguhnya Ia di atas langit (iaitu) di atas ‘arsy-Nya sebagaimana Ia telah berfirman: “ar-Rahman di atas ‘arsy, Ia istawa’”, di dalam surah Thoha, ayat ke 5.” (Fatwa Hamawiyyah Kubra, halaman 87)

8. Berikut pula saya membawakan kata-kata ibnu Katheer di dalam tafseernya, yang mana mentafsirkan ayat “summas tawa ‘alal ‘arsy (ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ)” sebagai di bawah (petikan di bawah).

"Sesiapa mengingkari sesungguhnya Allah berada di atas langit, maka sesungguhnya dia telah kafir. Adapun terhadap orang yang tawaqquf (diam) dengan mengatakan: Aku tidak tahu apakah Tuhanku di langit atau di bumi? Berkata al-Imam Abu Hanifah: Sesungguhnya dia telah kafir kerana Allah telah berfirman: Ar-Rahman di atas ‘Arasy al Istiwa" (Lihat: Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 137. Imam Az-Zahabi. Tahqiq al Albani)

"Allah berada di atas langit sedangkan ilmu-Nya di tiap-tiap tempat (di mana-mana), tidak tersembunyi sesuatupun daripada-Nya" (Lihat: Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 137. Imam Az-Zahabi. Tahqiq al Albani, Hlm. 140)

"Benar, Allah di atas Arasy-Nya dan tidak sesiapapun yang tersembunyi daripada pengetahuan-Nya" (Lihat: Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 137. Imam Az-Zahabi. Tahqiq al Albani, Hln. 188)

"Barangsiapa TIDAK menetapkan Allah Ta'ala di atas ‘Arasy-Nya dan Allah istiwa di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Tuhannya". (Lihat: Ma'rifah Ulum al-Hadis. Hlm. 84. Riwayat yang sahih, dikeluarkan oleh al-Hakim)

Berkata lagi Imam Ibnu Khuzaimah (dari kalangan ulama as-Syafieyah):

"Kami beriman dengan khabar dari Allah Jalla wa-'Ala sesungguhnya Pencipta kami Ia beristiwa (bersemayam) di atas ‘Arasy-Nya. Kami Tidak mengganti/mengubah kalam (firman) Allah dan kami tidak akan mengucapkan perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada kami sebagaimana (perbuatan kaum) yang menghilangkan sifat-sifat Allah seperti golongan Jahmiyah yang pernah berkata: Sesungguhnya Dia istawla (menguasai) ‘ArasyNya bukan istiwa (bersemayam). Maka mereka telah mengganti perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada mereka, ini menyerupai perbuatan Yahudi tatkala diperintah mengucapkan: Hithtatun (Ampunkanlah dosa-dosa kami), tetapi mereka mengucapkan (mengubah): Hinthah (makanlah gandum)! Mereka (kaum Yahudi) telah menyalahi perintah Allah Yang Maha Agung dan Maha Tinggi maka seperti itulah (perbuatan kaum) Jahmiyah". (Lihat: Kitabut Tauhid Fi Ithbatis Sifat. Hlm. 101. Oleh Ibnu Khuzaimah)

Beliau menjelaskan:

"Tidak boleh mensifatkan Allah bahawa Ia berada di tiap-tiap tempat. Bahkan (wajib) mengatakan: Sesungguhnya Allah di atas langit (yakni) di atas ‘Arasy sebagaimana Ia telah berfirman: Ar-Rahman di atas ‘Arasy, Ia beristiwa.(Surah Taha, 20:5) Dan wajiblah memutlakkan sifat istiwa tanpa takwil, sesungguhnya Allah istiwa dengan Zat-Nya di atas ‘Arasy. Keadaan-Nya di atas ‘Arasy disebut pada tiap-tiap kitab yang Ia turunkan kepada tiap-tiap Nabi yang Ia utus tanpa bertanya (para nabi yang diutus tidak bertanya): Bagaimana caranya (Allah istiwa di atas ‘ArasyNya)?" (Lihat: Fatawa Hamwiyah Kubra. Hlm. 84)

Imam Az-Zahabi, salah seorang ulama besar bermazhab Syafie:

“Sesiapa mengingkari bahawa Allah ‘Azza wa-Jalla di langit, maka dia seorang yang kafir”. (Lihat: مختصرالعلو للعلي الغفار oleh al-Hafiz Syamsuddin az-Zahabi. Hlm. 137).

Adapun fatwa kafir, yang ditujukan oleh para ulama diatas adalah bukan untuk semua pengikut asyaairah secara keseluruhan. Fatwa kafir diatas ditujukan kepada sesiapa dari golongan asyaairah ( sebagai contoh ) yang mengetahui kebenaran ( pendapat wajibnya untuk mengitsbatkan sifat-sifat Allah ), tetapi mereka mengingkarinya. Adapun untuk pengikut-pengikut asyaairah yang awam, yang tidak tahu apa-apa dalam pembahasan ini, maka mereka tidak kafir. Mereka tetap ahlu sunnah wal jamaah dengan akidah fitrahnya, akidah ahlu sunnah wal jama’ah. Perkara ini penting saya sampaikan karena banyak pendakwah dan pelajar yang salah paham dalam hal ini. Diantara orang yang tidak mengetahui terkadang menuduh pengikut salaf mengkafirkan para ulama tertentu, bahkan dengan beraninya mereka menuduh bahwa pengikut salaf mengkafirkan 4 imam mamazhab, padahal 4 imam mazhab tidak berakidah asyaairah sebagaimana apa yang mereka pegang dan yakini. Siapakah mereka yang kafir tersebut? Hanya Allah yang tahu, para ulama ahlu sunnah wal jama'ah memfatwakan secara umum berdasarkan pada pendapat dan amalan seseorang, tetapi tidak mengkafirkan orang, sehinggalah memang terbukti menentang hukum Allah secara terang-terangan baik pada ucapan maupun perbuatan.

-Berikut kita lihat kata-kata Al-Hafidz Ibnu Katsir Rahimahullah:

“Adapun firman-Nya:

“Kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy. (al-a’raaf: 54)

Orang-orang mempunyai berbagai pendapat dalam permasalahan ini dan sekarang bukanlah tempatnya untuk membahasnya secara luas, namun dalam perkara ini, kita menempuh mazhab para salafus-Soleh seperti imam Malik, al-Auza’i, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’ad, as-Syafi’e, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih dan lain-lain dari kalangan para imam kaum muslimin, baik yang dahulu mahupun yang sekarang, iaitu membiarkan sebagaimana datangnya tanpa takyif, tasybih dan ta’thil. Apa yang terbersit (tergambar) di dalam benak fikiran orang-orang Musyabbih (yang menyamakan sifat Allah dengan makhluk-Nya) tidak terdapat pada Dzat allah s.w.t., sebab Allah sedikitpun tidak sama dengan makhluk-Nya. Allah berfirman (maksudnya):

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dialah yang maha mendengar lagi Maha melihat.” (as-Syuura: 11)

Bahkan perkara ini sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang imam yang bernama Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru kepada imam al-Bukhari: “Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka dia telah kafir. Barangsiapa yang mengingkari apa yang telah disifatkan Allah terhadap Dzat-Nya, maka ia telah kafir. Apa yang Allah sebutkan tentang sifat-sifat-Nya dan yang Rasulullah s.a.w. sebutkan tentang sifat-sifat Allah tidak merupakan tasybih (penyerupaan Allah dengan Makhluk). Barangsiapa yang menetapkan untuk allah apa yang dengan jelas telah tercantum dalam ayat dan hadith-hadith sahih yang sesuai dengan kemulian Allah serta menafikan dari Dzat Allah semua sifat kekurangan, bererti ia telah menempuh jalan petunjuk.” (Tafseer al-‘Azim, Ibnu Kather)

-Imam Ibnul ‘Arabi , ulama pakar bahasa arab ketika diminta oleh tokoh mu’tazilah, Ahmad bin abu duwad untuk mencari makna istawa yang artinya istaula ( menguasai ) dalam bahasa arab, maka beliau menjawab, “ demi Allah itu tidak ada, aku tidak menemukannya” ( dikeluarkan oleh khatib al-Baghdadi dalam tarikh baghdad, 5/283). Pakar bahasa lainnya Imam khalil bin Ahmad ketika ditanya juga berkata,”makna Istaula tidak dikenal oleh orang arab dan tidak ada dalam bahasa mereka ( Majmu’ Fatawa 5/146 ), Ibnul Jauzi berkata ,”makna itu dalam bahasa arab adalah mungkar ( Zadul Masiir,3/213 ), Ibnu Abdil Barr berkata, “ Ucapan mereka yang mentakwil Istawa menjadi Istaula tidak sesuai, karena tidak didapati dalam bahasa arab ( At- Tamhid, 7/131 )

Jelaslah bahawa, hakikat-nya para imam itu sendiri seperti ibnu Katheer, as-Syafi’e, imam Ahmad bin Hanbal, imam Malik, dan lain-lain adalah bersama para salaf dalam menyatakan bahawa Allah itu bersemayam di ‘arsy selaras dengan keagungan-Nya tanpa ta’wil dan ta’til.

DALIL AKAL BAHWA ALLAH DI LANGIT

Syaikh Muhammad Al Utsaimin berkata: “Akal seorang muslim yang jernih akan mengakui bahwa Allah memiliki sifat sempurna dan maha suci dari segala kekurangan. Dan ‘Uluw (Maha Tinggi) adalah sifat sempurna dari Suflun (rendah). Maka jelaslah bahwa Allah pasti memiliki sifat sempurna tersebut yaitu sifat ‘Uluw (Maha Tinggi)”. (Qowaaidul Mutslaa, Bab Syubuhaat Wa Jawaabu ‘anha)

DALIL FITRAH BAHWA ALLAH DI LANGIT

Perhatikanlah orang yang berdoa, atau orang yang berada dalam ketakutan, kemana ia akan menengadahkan tangannya untuk berdoa dan memohon pertolongan? Bahkan seseorang yang tidak belajar agama pun, karena fitrohnya, akan menengadahkan tangan dan pandangan ke atas langit untuk memohon kepada Allah Ta’ala, bukan ke kiri, ke kanan, ke bawah atau yang lain.

Namun perlu digaris bawahi bahwa pemahaman yang benar adalah meyakini bahwa Allah bersemayam di atas Arsy tanpa mendeskripsikan cara Allah bersemayam. Tidak boleh kita membayangkan Allah bersemayam di atas Arsy dengan duduk bersila atau dengan bersandar atau semacamnya. Karena Allah tidak serupa dengan makhluknya.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah” (QS. Asy Syura: 11)

Maka kewajiban kita adalah meyakini bahwa Allah berada di atas Arsy yang berada di atas langit sesuai yang dijelaskan Qur’an dan Sunnah tanpa mendeskripsikan atau mempertanyakan kaifiyah (tata cara) –nya.

Imam Malik pernah ditanya dalam majelisnya tentang bagaimana caranya Allah bersemayam? Maka beliau menjawab: “Bagaimana caranya itu tidak pernah disebutkan (dalam Qur’an dan Sunnah), sedangkan istawa (bersemayam) itu sudah jelas maknanya, menanyakan tentang bagaimananya adalah bid’ah, dan saya memandang kamu (penanya) sebagai orang yang menyimpang, kemudian memerintahkan si penanya keluar dari majelis”. (Dinukil dari terjemah Aqidah Salaf Ashabil Hadits)

BAGAIMANA MEMAHAMI BAHWA ALLAH BERSAMA MAKHLUKNYA

Allah Ta’ala berada di atas Arsy, namun Allah Ta’ala juga dekat dan bersama makhluk-Nya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Allah bersamamu di mana pun kau berada” (QS. Al Hadid: 4)

Ayat ini tidak menunjukkan bahwa dzat Allah Ta’ala berada di segala tempat. Karena jika demikian tentu konsekuensinya Allah juga berada di tempat-tempat kotor dan najis, selain itu jika Allah berada di segala tempat artinya Allah berbilang-bilang jumlahnya. Subhanallah, Maha Suci Allah dari semua itu. Maka yang benar, Allah Ta’ala Yang Maha Esa berada di atas Arsy namun dekat bersama hambanya. Jika kita mau memahami, sesungguhnya tidak ada yang bertentangan antara dua pernyataan tersebut.

Karena kata ma’a (bersama) dalam ayat tersebut, bukanlah kebersamaan sebagaimana dekatnya makhluk dengan makhluk, karena Allah tidak serupa dengan makhluk. Dengan kata lain, jika dikatakan Allah bersama makhluk-Nya bukan berarti Allah menempel atau berada di sebelah makhluk-Nya apalagi bersatu dengan makhluk-Nya.
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin menjelaskan hal ini: “Allah bersama makhluk-Nya dalam arti mengetahui, berkuasa, mendengar, melihat, mengatur, menguasai dan makna-makna lain yang menyatakan ke-rububiyah-an Allah sambil bersemayam di atas Arsy di atas makhluk-Nya” (Qowaaidul Mutslaa, Bab Syubuhaat Wa Jawaabu ‘anha) .

Ketika berada di dalam gua bersama Rasulullah karena dikejar kaum musyrikin, Abu Bakar radhiallahu’anhu merasa sedih sehingga Rasulullah membacakan ayat Qur’an, yang artinya:
“Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita” (QS. Taubah: 40)
Dalam Tafsir As Sa’di dijelaskan maksud ayat ini: “ ’Allah bersama kita’ yaitu dengan pertolongan-Nya, dengan bantuan-Nya dan kekuatan dari-Nya”. Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya:
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku qoriib (dekat). Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepadaKu” (QS. Al Baqarah: 186)

Dalam ayat ini pun kata qoriib (dekat) tidak bisa kita bayangkan sebagaimana dekatnya makhluk dengan makhluk. Dalam Tafsir As Sa’di dijelaskan maksud ayat ini: “Sesungguhnya Allah Maha Menjaga dan Maha Mengetahui. Mengetahui yang samar dan tersembunyi. Mengetahui mata yang berkhianat dan hati yang ketakutan. Dan Allah juga dekat dengan hamba-Nya yang berdoa, sehingga Allah berfirman ‘Aku mengabulkan doa orang yang berdoa jika berdoa kepada-Ku’ ”. Kemudian dijelaskan pula: “Doa ada 2 macam, doa ibadah dan doa masalah. Dan kedekatan Allah ada 2 macam, dekatnya Allah dengan ilmu-Nya terhadap seluruh makhluk-Nya, dan dekatnya Allah kepada hambaNya yang berdoa untuk mengabulkan doanya” (Tafsir As Sa’di).

Jadi, dekat di sini bukan berarti menempel atau bersebelahan dengan makhluk-Nya. Hal ini sebenarnya bisa dipahami dengan mudah. Dalam bahasa Indonesia pun, tatkala kita berkata ‘Budi dan Tono sangat dekat’, bukan berarti mereka berdua selalu bersama kemanapun perginya, dan bukan berarti rumah mereka bersebelahan.
Kaum muslimin, akhirnya telah jelas bagi kita bahwa Allah Yang Maha Tinggi berada dekat dan selalu bersama hamba-Nya. Allah Maha Mengetahui isi-isi hati kita. Allah tahu segala sesuatu yang samar dan tersembunyi. Allah tahu niat-niat buruk dan keburukan maksiat yang terbesit di hati. Allah bersama kita, maka masih beranikah kita berbuat bermaksiat kepada Allah dan meninggakan segala perintah-Nya?
Allah tahu hamba-hambanya yang butuh pertolongan dan pertolongan apa yang paling baik. Allah pun tahu jeritan hati kita yang yang faqir akan rahmat-Nya. Allah dekat dengan hamba-Nya yang berdoa dan mengabulkan doa-doa mereka. Maka, masih ragukah kita untuk hanya meminta pertolongan kepada Allah? Padahal Allah telah berjanji untuk mengabulkan doa hamba-Nya. Kemudian, masih ragukah kita bahwa Allah Ta’ala sangat dekat dan mengabulkan doa-doa kita tanpa butuh perantara? Sehingga sebagian kita masih ada yang mencari perantara dari dukun, paranormal, para wali dan sesembahan lain selain Allah.

Rujukan:

1 - Kitab al-Ibaanah al-usul ad-Diyanah, Imam Abu Hasan al-Asy’ary.

2 - Kitab ‘Aqidah Shahih Penyebab Selamatnya Seorang Muslim, al-Hafizd Abu Bakar al-Humaidi,
Pustaka Imam as-Syafi’e, Indonesia.

2 - al-‘Aqidah at-Thahawiyyah, imam Abu Jaafar at-Thahawi.

3 - al-‘Uluw, al-imam az-Zhahabi.

4 - Fatwa Hamawiyyah Kubra, Sheikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

5 – Tafseer Ibnu Katheer, e-Book Terbitan Darussalam (english version).

6 – at-Tauhid Lish-Shafil Awwal al-'Ally, Sheikh Dr. Soleh Fauzan Bin Fauzan Bin Abdullah al-
Fauzan.

No comments:

Post a Comment