Tauhid adalah perkara yang sangat penting dalam kehidupan manusia,ia adalah asas sebagai tolak ukur dari kebenaran suatu ibadah, juga sebagai wujud tanggungjawab di hadapan Tuhan kelak. Jika tauhid seseorang itu benar, maka Insya Allah amalnya akan diterima. Tetapi jika tauhidnya batil, maka seluruh amalnya akan terhapus sia-sia. Memahai tauhid adalah kewajiban setiap insan dan merupakan haq Allah yang wajib kita tunaikan. Memahami tauhid hendaknya mengikut cara Nabi muhammad saw dan para sahabatnya, karena dengan cara itulah kita akan sampai kepada pemahaman tauhid sesuai yang dimaksudkan Allah SWT. Jika memahami tauhid dengan selain cara mereka ( dengan akal secara mutlak dan mengikuti hawa nafsu serta unsur-unsur falsafah yang bertentangan dengan syarak), maka kesesatan hasilnya.
Menggunakan akal fikiran untuk mengenal dan memahami keimanan memang wajib,tetapi akal pada masanya harus tunduk kepada wahyu Ilahi. Jalan yang selamat untuk memahami tauhid adalah dengan mengikuti pemahaman generasi salaf, Sebagaimana Allah berfirman :
Artinya :Dan sesiapa Yang menentang (ajaran) Rasulullah sesudah terang nyata kepadanya kebenaran pertunjuk (yang dibawanya), dan ia pula mengikut jalan Yang lain dari jalan orang-orang Yang beriman, Kami akan memberikannya Kuasa untuk melakukan (kesesatan) Yang dipilihnya, dan (pada hari akhirat kelak) Kami akan memasukkannya ke Dalam neraka jahanam; dan neraka jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. An-Nisa’ :115
Maka di bawah ini kami ingin menjelaskan tauhid dan perkara yang berkenaan dengannya secara ringkas :
1. Apakah makna tauhid.
Dari segi bahasa : berasal dari kata ‘ mengesakan Allah SWT , jika berikrar dengan mengatakan bahawa Allah itu satu, maka maksudnya secara istilah adalah mengesakan peribadatan hanya kepada Allah.
Allah berfirman pada surah Adz Dzariat : 56
Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Allah berfirman juga pada surah Al Isra’ : 23
Artinya : Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia[850].
2. Makna kalimah tauhid Laa ilaaha illallah.
Memahami makna لاَ إِلهَ إِلاَّ الله merupakan perkara yang diwajibkan oleh Allah atas setiap muslim, sebagaimana dalam firman-Nya :
Artinya : Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.Muhammad : 19
Al Imam Al Biqo’i berkata: “Sesungguhnya ilmu tentang " Laa Ilaaha Illallah " ini merupakan ilmu yang paling agung yang dapat menyelamatkan dari kengerian di hari kiamat (Fathul Majid hal. 54)
لاَ إِلهَ إِلاَّ الله bila ditinjau secara harfiah bermakna :
-لاَ (Laa) : Tidak ada, atau tiada
-إله (Ilaaha): Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:” اَلإلَهُ adalah zat yang diibadahi lagi ditaati. Al Imam Ibnul Qoyyim berkata : اَلإلَهُ adalah zat yang hati ini rela untuk beribadah kepada-Nya dengan penuh kecintaan, pemujaan, kepasrahan, pemuliaan, pengagungan, pengabdian, perendahan diri, ketakutan dan harapan serta penyerahan diri. (lihat Taisirul ‘Azizil Hamid hal.75)
إلاَّ- (Illa) : Kecuali, atau melainkan
الله- (Allah) : Ibnu Abbas berkata: Allah, Dialah yang mempunyai hak penyembahan dan ibadah atas seluruh makhluk-Nya. (Fathul Majid hal. 19).
Adapun bila ditinjau dari rangkaian kata secara utuh, maka maknanya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitab Al Ushul Ats Tsalatsah yaitu :
لاَ مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ الله “Tiada penyembahan (Tuhan) yang berhak diibadahi melainkan Allah semata. لاَإِلهَ sebagai nafyu (peniadaan) atas segala apa yang diibadahi selain Allah, إِلاَّالله sebagai itsbat (penetapan) bahwa seluruh ibadah hanyalah milik Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dalam hal ibadah ini sebagaimana tiada sekutu bagi-Nya dalam hal kekuasaan.”
Dari penjelasan Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di atas ada suatu permasalahan yang menarik untuk dibahas, yaitu : yang berkaitan dengan makna ' la Ilaaha Illallahu ' itu sendiri, dimana muncul suatu tanda tanya :
- Mengapa dimaknakan seperti itu ?! Dan mengapa tidak dimaknakan dengan “Tiada Tuhan melainkan Allah?” atau لاَ خَالِقَ إِلاَّ الله“Tiada Pencipta melainkan Allah?”
- Mengapa ada tambahan بِحقٍّ “ yang berhak”, apakah ada dasarnya ?
Adapun tanda tanya pertama, mengapa tidak dimaknakan dengan “Tiada tuhan melainkan Allah” ? maka jawabnya adalah, kerana tidak sesuai dengan realita yang ada, yaitu adanya Tuhan-Tuhan di dalam semesta ini yang diibadahi selain Allah, seperti pohon, batu, manusia dan lain sebagainya.
Allah berfirman yang bermaksud :
Demikianlah, Karena Sesungguhnya Allah, Dia-lah yang hak[1185] dan Sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah Itulah yang batil; dan Sesungguhnya Allah dialah yang Maha Tinggi lagi Maha besar. (Q.S. Luqman:30).
Bahkan Allah sendiri yang mengistilahkan penyembahan-penyembahan selain-Nya itu dengan istilah أَلِهَة”Tuhan-Tuhan”
sebagaimana dalam Q.S Huud: 101 yang bermaksud :
Artinya : Dan kami tidaklah menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, Karena itu tiadalah bermanfaat sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka. Juga dalam Surah Shaad ayat 5 Allah berfirman :
Artinya : Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja? Sesungguhnya Ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.
Tidak pula dimaknakan dengan “tiada pencipta melainkan Allah”, kerana إله dalamkalimat Laa Ilaa ha Illallah ini bermakna مَأْلُوْهٌ yang artinya مَعْبُوْدٌ ”yang diibadahi” sebagaimana yang telah lalu dari penjelasan para ulama.
Jika kalian ditanya apakah makna kalimah “ Laa ilaaha illallah itu ? maka jawablah dengan tegas “ Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah atau tidak ada penyembahan yang benar kecuali Allah “.
Jadi, segala sesuatu yang dijadikan penyembahan oleh manusia , baik berupa berhala-berhala atau patung-patung, pepohonan ,batu-batuan, atau kuburan yang dikeramatkan, jin dan syaitan, atau orang soleh yang telah mati, maka semua itu adalah penyembahan yang batil ( salah ).
Allah berfirman :
Artinya : (Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah Karena Sesungguhnya Allah, dialah (Tuhan) yang Haq dan Sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, Itulah yang batil, dan Sesungguhnya Allah, dialah yang Maha Tinggi lagi Maha besar. QS. Al Haj :62.
3. Rukun kalimah Laa ilaaha illallah
Kalimah Laa ilaaha illallah mempunyai 2 rukun, yaitu :
An Nafyu (mentiadakan), yaitu mentiadakan atau meninggalkan seluruh bentuk penyembahan yang diagungkan dan dipuja oleh umat manusia selain Allah, hal ini tercermin dalam kalimah ‘ Laa ilaaha ‘. (tidak ada penyembahan yang benar ).
Al Istbat ( menetapkan ), yaitu menetapkan dengan penuh keyakinan bahawa satu-satunya yang berhak diibadahi atau disembah hanyalah Allah SWT, tidak ada sekutu bagiNya . Hal ini tercermin dalam kata “ illallah “ (kecuali Allah)
4. Pembahagian tauhid.
Tauhid adalah perkara yang sangat penting dalam hidup manusia, setiap orang Islam wajib untuk mempelajari ilmu tauhid. Dikarenakan pentingnya ilmu tauhid ini, maka para ulama mencuba membuat suatu methode atau rumusan untuk memudahkan dalam memahami ilmu tauhid. Terdapat dua pendekatan atau methode yang terkenal di masyarakat kita hari ini, yaitu :
Pertama Tauhid dengan pendekatan sifat 20, dimana pemahaman ini dinisbahkan kepada pemahaman Syaikh Abu Hasan al-Asy’ari. Dan kedua Tauhid dengan pendekatan 3 pembahagian ( Rububiyah, Uluhiyah, Asma wa sifat ), dimana pendekatan ini telah disampaikan oleh Ibnu Jarir At thobari, beliau telah membahagikan tauhid kepada 3 bahagian ( Rububiyah, Uluhiyah, Asma wa sifat ), sebagaimana yang terdapat dalam kitab tasirnya ( Tafsir At Thobari ), begitu juga dengan Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu Qoyyim Al jauziah.
Pada kesempatan ini kita memilih untuk memahami tauhid dengan pendekatan 3 pembahagian, dikarenakan pendekatan ini lebih mudah untuk dipahami, dan lebih mendekati kebenarannya merujuk kepada pemahaman nabi saw dan para sahabatnya berdasarkan dalil-dalil yang shahih. Yang menjadi penentu kebenaran sesuatu itu bukanlah pada nama dan istilahnya sebalik pada isi kandungannya.
Ada sebahagian masyarakat berkata bahawa Pemahaman Tauhid dengan pendekatan 3 pembahagian tidak wujud dizaman Rasulullah saw, dan beliau tidak pernah menggunakan doktrin ini. Mereka seolah-olah lupa bahawa tauhid dengan pendekatan Sifat 20 yang mereka pertahankan juga tiada di zaman Rasulullah SAW.
Persoalannya, antara isi kandungan Tauhid 3 pembahagian dan Sifat 20, manakah yang lebih sesuai dengan al-Quran dan al-Sunnah, manakah yang lebih mudah difahami untuk mempelajari akidah. Inilah yang patut dibahaskan, bukannya bergaduh dengan isu nama dan istilah Tauhid al-Uluhiyyah dan lain-lain.
Tauhid terbahagi menjadi 3 ( Tauhid rububiyyah, uluhiyyah, dan Asma’ wa sifat ) berdasarkan istiqra’ ( penelitian menyeluruh ) terhadap dalil-dalil yang ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah, sebagaimana ulama nahwu membahagikan kalimat di dalam bahasa arab menjadi 3 : Isim, fi’il, dan huruf, berdasarkan penelitian menyeluruh terhadap kalimat-kalimat yang ada di dalam bahasa arab. ( Lihat Kitab At-Tahdzir min Mukhtasharat Muhammad Ash-Shabuny fii At-Tafsir karangan Syeikh Bakr Abu Zaid hal: 30, cet. Darur Rayah- Riyadh )
Kami sebutkan disini di antara ulama-ulama yang menyebutkan pembahagian ( atau pemahaman tauhid dengan pendekatan 3 pembahagian ) ini baik secara jelas mahupun dengan isyarat :
1. Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi ( wafat th. 321 ) , di dalam muqaddimah kitab beliau Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah . Beliau berkata :
نقول في توحيد الله معتقدين بتوفيق الله إن الله واحد لا شريك له ، و لا شيء مثله ، و لا شيء يعجزه ، و لا إله غيره
Ertinya: Kami mengatakan di dalam pengesaan kepada Allah dengan meyakini : bahawa Allah satu tidak ada sekutu bagiNya, tidak ada yang serupa denganNya, tidak ada yang melemahkanNya, dan tidak ada tuhan yang berhak disembah selainNya.
Perkataan beliau ” tidak ada yang serupa denganNya ” : ini termasuk tauhid Asma’ dan Sifat . Perkataan beliau ” tidak ada yang melemahkanNya ” : ini termasuk tauhid Rububiyyah. Perkataan beliau ” dan tidak ada tuhan yang berhak disembah selainNya.” : ini termasuk tauhid Uluhiyyah.
2. Ibnu Abi Zaid Al-Qairawany Al-Maliki ( wafat th. 386 H ) , di dalam muqaddimah kitab beliau Ar-Risalah Al-Fiqhiyyah hal. 75 ( cet. Darul Gharb Al-Islamy ) . Beliau mengatakan :
من ذلك : الإيمان بالقلب و النطق باللسان بأن الله إله واحد لا إله غيره ، و لا شبيه له و لا نظير، … ، خالقا لكل شيء ، ألا هو رب العباد و رب أعمالهم والمقدر لحركاتهم و آجالهم .
Ertinya : Termasuk di antaranya adalah beriman dengan hati dan mengucapkan dengan lisan bahawasanya Allah adalah sesembahan yang satu, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, tidak ada yang serupa denganNya dan tidak ada tandinganNya…Pencipta segala sesuatu, ketahuilah bahawa Dia adalah pencipta hamba-hambaNya dan pencipta amalan-amalan mereka, dan yang mentakdirkan gerakan-gerakan mereka dan ajal-ajal mereka .
Perkataan beliau ” sesembahan yang satu, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia ” : ini termasuk tauhid Uluhiyyah .
Perkataan beliau ” tidak ada yang serupa denganNya dan tidak ada tandinganNya ” : ini termasuk tauhid Asma’ wa Sifat.
Perkataan beliau ” Pencipta segala sesuatu, ketahuilah bahawa Dia adalah pencipta hamba-hambaNya dan pencipta amalan-amalan mereka, dan yang mentakdirkan gerakan-gerakan mereka dan ajal-ajal mereka ” : ini termasuk tauhid Rubiyyah.
3. Ibnu Baththah Al-’Akbari ( wafat th. 387 H ), di dalam kitab beliau Al-Ibanah ‘an Syariatil Firqatin Najiyyah wa Mujanabatil Firaq Al-Madzmumah ( 5 / 475 )
وذلك أن أصل الإيمان بالله الذي يجب على الخلق اعتقاده في إثبات الإيمان به ثلاثة أشياء : أحدها : أن يعتقد العبد ربانيته ليكون بذلك مباينا لمذهب أهل التعطيل الذين لا يثبتون صانعا . الثاني : أن يعتقد وحدانيته ، ليكون مباينا بذلك مذاهب أهل الشرك الذين أقروا بالصانع وأشركوا معه في العبادة غيره . والثالث : أن يعتقده موصوفا بالصفات التي لا يجوز إلا أن يكون موصوفا بها من العلم والقدرة والحكمة وسائر ما وصف به نفسه في كتابه
Ertinya : Dan yang demikian itu bahawa asas keimanan kepada Allah yang wajib ke atas para makhluk untuk meyakininya di dalam menetapkan keimanan kepadaNya ada tiga perkara :
Pertama : Hendaklah seorang hamba meyakini rabbaniyyah Allah ( kekuasaan Allah ) supaya dia membezakan diri dari jalan orang-orang atheisme yang mana mereka tidak menolak adanya pencipta.
Kedua : Hendaklah meyakini wahdaniyyah Allah ( keesaan Allah dalam peribadatan ) supaya dia membezakan diri daripada jalan orang-orang musyrik yang mana mereka mengakui adanya pencipta alam kemudian mereka menyekutukanNya dengan selainNya.
Ketiga : Hendaklah meyakini bahawasanya Dia bersifat dengan sifat-sifat yang mesti Dia miliki, seperti ilmu, qudrah ( kekuasaan ), hikmah ( kebijaksanaan ) , dan sifat-sifat yang lain yang Dia tetapkan di dalam kitabNya.
4. Abu Bakr Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthusyi ( wafat th. 520 H ), di dalam muqaddimah kitab beliau Sirajul Muluk ( 1 / 1 ) , beliau berkata :
وأشهد له بالربوبية والوحدانية. وبما شهد به لنفسه من الأسماء الحسنى. والصفات العلى. والنعت الأوفى
Ertinya : Dan aku bersaksi atas rububiyyahNya dan uluhiyyahNya, dan atas apa-apa yang Dia bersaksi atasnya untuk dirinya berupa nama-nama yang paling baik dan sifat-sifat yang tinggi dan sempurna.
5. Al-Qurthubi ( wafat th. 671 H ) , di dalam tafsir beliau (1/ 102) , beliau berkata ketika menafsirkan lafaz jalalah ( الله) di dalam Al-Fatihah:
فالله اسم للموجود الحق الجامع لصفات الإلهية، المنعوت بنعوت الربوبية، المنفرد بالوجود الحقيقي، لا إله إلا هو سبحانه.
Ertinya : Maka ( الله ) adalah nama untuk sesuatu yang benar-benar ada, yang mengumpulkan sifat-sifat ilahiyyah ( sifat-sifat sesuatu yang berhak disembah ) , yang bersifat dengan sifat-sifat rububiyyah ( sifat-sifat sesuatu yang berkuasa ) , yang bersendiri dengan kewujudan yang hakiki, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selainNya.
Adapun pembahagian tauhid tersebut adalah :
a. Tauhid rububiyyah.
Tauhid rububiyyah bermakna : Keyakinan untuk mengesakan Allah SWT dengan perbuatan-perbuatanNya, seperti :
1. Allah menjadikan segala kejadian alam ini.
2. Allah memberi rezeki kepada makhlukNya.
3. Allah menghidupkan makhlukNya.
4. Allah mematikan makhlukNya.
5. Allah menyusun dan mentadbir alam ini.
6. Allah memberi pertolongan kepada makhlukNya.
Ketahuilah bahwa ikrar terhadap tauhid rububiyyah mengandung konsekuensi untuk ikrar terhadap tauhid uluhiyyah, sedangkan ikrar terhadap tauhid uluhiyyah menngandung pengertian ikrar terhadap tauhid rububiyyah. Penjelasanya adalah:
Bahwa tauhid yang pertama (rububiyyah) merupakan petunjuk pasti untuk sampai kepada tauhid yang kedua (uluhiyah) yakni ikrar terhadap tauhid rububiyah secara pasti mewajibkan pula untuk ikrar terhadap tauhid uluhiyah sebab apabila telah diyakini bahwa Allah-lah satu-satunya pencipta dan pengatur segala sesuatu, dan bahwa ditangan-Nyalah segala kekuasaan, maka Dia menjadi wajib untuk disembah dan bukan selain-Nya.
Sedangkan tauhid yang kedua (uluhiyah) ketika seseorang telah mengimani, otomatis ia (mestinya) mengimani tauhid yang pertama (rububiyah), sebab tidak ada yang bisa dijadikan Ilah (sesembahan) kecuali Ar Rabb Ta`ala, Dzat yang memiliki sifat Rububiyyah, maha pencipta dan maha pengatur segala urusan.
Orang-orang musyrik Mekah dizaman Rasulullah saw telah berikrar rububiyah Allah, mereka menyadari bahawa Allah yang menciptakan langit dan bumi. Tetapi mereka mengingkari uluhiyah Allah. Mereka tidak tunduk dan meyembah Allah.
Dalil-dalil al Qur`an yang menegaskan bahwa orang-orang musyrikin yang diperangi oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam itu telah mengikrarkan rububiyyah Allah antara lain:
Artinya : Bertanyalah kepada mereka (yang musyrik itu): "Siapakah Yang memberi rezeki kepada kamu dari langit dan bumi? atau siapakah Yang Menguasai pendengaran dan penglihatan? dan siapakah Yang mengeluarkan makhluk Yang hidup dari benda Yang mati, dan mengeluarkan benda Yang mati dari makhluk Yang hidup? dan siapakah pula Yang mentadbirkan urusan sekalian alam? "(Dengan pertanyaan-pertanyaan itu) maka mereka (yang musyrik) tetap akan menjawab (mengakui) Dengan berkata: "Allah jualah Yang Menguasai segala-galanya! "Oleh itu, katakanlah: "(Jika kamu mengakui Yang demikian), maka mengapa kamu tidak mahu bertaqwa?Yunus : 31
Didalam surah Al Mukminun ayat 84-89 Allah berfirman :
Artinya : 84. Tanyakanlah (Wahai Muhammad): "Kepunyaan siapakah bumi ini dan Segala Yang ada padanya, kalau kamu mengetahui?"
85. mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah". katakanlah: "Mengapa kamu tidak mahu ingat (dan insaf)?"
86. Tanyakanlah lagi: "Siapakah Tuhan Yang memiliki dan mentadbirkan langit Yang tujuh, dan Tuhan Yang mempunyai Arasy Yang besar?"
87. mereka akan menjawab: "(Semuanya) kepunyaan Allah". katakanlah: "Mengapa kamu tidak mahu bertaqwa?"
88. Tanyakanlah lagi: siapakah Yang memegang Kuasa pemerintahan tiap-tiap sesuatu, serta ia dapat melindungi (segala-galanya) dan tidak ada sesuatupun Yang dapat disembunyi daripada kekuasaannya? (Jawablah) jika kamu mengetahui!"
89. mereka akan menjawab: "(Segala-galanya) dikuasai Allah". katakanlah: "Jika demikian, Bagaimana kamu tertarik hati kepada perkara Yang tidak benar?"
Dengan demikian adalah amat nyata bahwa kaum musyrikin benar-benar telah mengikrarkan tauhid rububiyah, namun hal itu tidaklah cukup bagi mereka untuk disebut sebagai orang-orang yang bertauhid, dan tidak cukup pula untuk menjadikan terpeliharanya darah serta harta benda mereka.
Dari sini menjadi amat terang pula bahwa barang siapa yang mengingkari tauhid al-ibadah (uluhiyah), maka bukanlah ia termasuk golongan orang muslim, sekalipun ia mengimani rububiyyah Allah.
Itulah kejahilan mereka dalam memahami makna tauhidullah, hingga mereka hanya ikrar terhadap tauhid rububiyyah saja tanpa tauhid uluhiyah, menyebabkan mereka terjerumus dalam peribadatan kepada selain Allah.
Di dalam surah Luqman ayat 25 Allah juga berfirman :
Artinya : Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah : "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui.
Banyak sekali ayat Al Qur`an yang menerangkan tentang ikrar mereka terhadap tauhid rububiyyah, tetapi ikrar mereka tersebut tidak memberikan arti apa-apa bagi mereka, sebab yang mereka ikrarkan hanyalah tauhid rububiyyah belaka. Selamanya, iman terhadap tauhid rububiyyah tidak akan memberi manfaat apapun kepada pelakunya sebelum ia juga berikrar terhadap tauhid uluhiyyah dan melaksanakan peribadatan hanya kepada Allah semata.
Begitulah manusia jahiliyah, mereka menyembah patung-patung, kayu-kayu, kuburan-kuburan dan monumen-monumen orang–orang shalih dengan anggapan bahwa apa yang mereka lakukan itu bukanlah peribadatan tetapi hanyalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Allah Ta`ala telah berfirman mengenai meareka:
Artinya : Ingatlah! (hak Yang wajib dipersembahkan) kepada Allah ialah Segala Ibadat dan bawaan Yang suci bersih (dari Segala rupa syirik). dan orang-orang musyrik Yang mengambil selain dari Allah untuk menjadi Pelindung dan Penolong (sambil berkata): "Kami tidak menyembah atau memujanya melainkan supaya mereka mendampingkan Kami kepada Allah sehampir-hampirnya", - Sesungguhnya Allah akan menghukum di antara mereka (dengan orang-orang Yang tidak melakukan syirik) tentang apa Yang mereka berselisihan padanya. Sesungguhnya Allah tidak memberi hidayah petunjuk kepada orang-orang Yang tetap berdusta (mengatakan Yang bukan-bukan), lagi sentiasa kufur (dengan melakukan syirik). Az-Zumar : 3
Mereka sebenarnya yakin dan mengakui bahwa benda serta patung-patung tesebut tidaklah akan mampu memberikan manfaat atau madharat apapun kepada mereka, hanya saja mereka beranggapan bahwa semua itu adalah pemberi syafa`at kelak disisi Allah. akan tetapi sungguh sayang, syafa`at semacam itu adalah syafa`at yang tiada bermanfaat, sebuah syafaat yang hakikatnya tidak ada, sebeb tiada seorangpun yang bisa memberi syafaat tanpa idzin dari Allah, padahal Allah ta`ala tidak mungkin akan mengijinkan seseorang untuk memberikan syafa`atnya (kelak di hari kiamat) kecuali kepada orang yang diridhai-Nya.
Siapapun yang tidak diridhai oleh Allah baik yang memberi syafa`at maupun yang diberi, maka Allah tidak mungkin memberi izin padanya untuk memberi atau mendapat syafa`at. Firman-Nya:
Artinya : Maka tidak akan berguna kepada mereka sebarang syafaat pertolongan Kalaulah ditakdirkan ada) sesiapa Yang boleh memberikan syafaat itu.
b. Tauhid uluhiyyah
Syaikul Islam Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah berkata :”Ketahuilah semoga Allah merahmati anda bahwa tauhid ialah mengesakan Allah dengan beribadah. Inilah dia agama semua Rasul Allah yang diutus untuk para hamba- Nya. Utusan paling pertama adalah adalah Nuh alahissalam yang diutus Allah Ta’ala kapada kaumnya ketika mereka berlaku ghuluw (berlebih-lebihan ) terhadap para ulama sholihin yaitu Wadd, Suwa`, Yaghuts, Ya`uq, serta Nasr “.
Tauhid uluhiyyah bermakna tauhid secara istilah, yaitu : Mengesakan Allah SWT dengan beribadah hanya kepada-Nya sahaja, dan tidak sekali-kali menyekutukan-Nya dalam segala jenis ibadah.
Mengesakan Allah dengan cara mempersembahkan segala apa yang khusus menjadi hak Allah; berupa asma`, sifat-sifat, perbuatan-perbuatan dan peribadatan hanya kepada Allah semata, baik secara ilmu maupun secara aqidah (keyakinan).Contohnya : Sholat, penyembelihan binatang, memohon pertolongan, doa, nadzar, korban, raja’ (pengharapan), takut, tawakkal, raghbah (senang), rahbah (takut), dan inabah (kembali / taubat) dan ibadah yang lainnya.
Rasul Allah paling pertama adalah Nuh alihis-salam, beliau diutus untuk menyeru kaumnya agar mereka mentauhidkan Allah serta mengingatkan mereka supaya jangan menyembah kepada patung: Wadd, Suwa`, Yaghuts, Ya`uq dan Nashr.
Sebab-sebab peribadatan mereka terhadap patung-patung itu ialah karena ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap orang–orang shalih.
Nama-nama Wadd, Suwa`, Yaghuts, Ya`uq dan Nashar, sebelumnya nama orang-orang shalih yang telah wafat, kemudian mereka dimonumentalkan menjadi patung-patung. Mula-mula tidak disembah, namun ketika zaman menjadi semakin panjang, akhirnya patung-patung inipun disembah.
Karena itulah Nuh ‘alaihi salam mengajak mereka untuk kembali bertauhid kepada Allah dan mengingatkan mereka supaya jangan syirik kepada Allah Azza wa Jalla. Begitu pulalah semua rasul Allah, mereka diutus untuk mengemban prinsip ini, prinsip Tauhidullah.(Al-Anbiya`:25)
Kemudian rasul paling akhir adalah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam. Beliau inilah yang telah membinasakan patung-patung orang shalih tersebut.
Manakala terjadi Fathul Makkah, ketika beliau masuk Ka`bah, beliau mendapati patung-patung yang jumlahnya mencapai 360 buah patung, terdapat didalam dan disekitar Ka`bah, lalu dihancurkan lah patung–patung itu oleh beliau dengan kampak seraya mengucapkan: “yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap, sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap (Al-Isra`:81)
Allah Ta`ala telah (sengaja) mengutus Nabi Muhammad sallahu ‘alaihi wa salam ini ketengah-tengah manusia yang beribadah, berhaji, shadaqoh dan berdzikir (banyak-banyak) kepada Allah, namun bersamaan dengan itu, mereka menjadikan para makluk sebagai wasilah (perantara) yang dianggap bisa menjadi penghubung antara diri mereka dengan Allah. Mereka mengatakan: “Kami menginginkan mereka untuk menjadi wasilah yang mendekatkan diri kami kepada Allah, kami menghendaki syafa`at mereka.”
Tauhid uluhiyyah inilah yang ditolak dan di ingkari oleh orang-orang kafir sejak zaman nabi Nuh AS hinggalah ke zaman nabi Muhammad saw. Jika seseorang menyekutukan Allah atau mengingkari tauhid uluhiyyah ini maka akan terhapuslah seluruh amalannya dan ia akan menjadi orang yang rugi. Sebagaimana firman Allah pada surah Az-Zumar :65-66
Artinya : 65. Dan Sesungguhnya Telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.
66. Karena itu, Maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur".
Dan konsep ketauhidan ini adalah merupakan intipati dakwah para rasul, bermula dari rasul yang pertama sehinggalah yang terakhir. Sebagaimana Allah berfirman :
Artinya : Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus Dalam kalangan tiap-tiap umat seorang Rasul (dengan memerintahkannya menyeru mereka): "Hendaklah kamu menyembah Allah dan jauhilah Taghut". maka di antara mereka (yang menerima seruan Rasul itu), ada Yang diberi hidayah petunjuk oIeh Allah dan ada pula Yang berhak ditimpa kesesatan. oleh itu mengembaralah kamu di bumi, kemudian lihatlah Bagaimana buruknya kesudahan umat-umat Yang mendustakan Rasul-rasulNya.
An-Nahl : 36
Allah berfirman :
Artinya :Dan Kami tidak mengutus sebelummu (Wahai Muhammad) seseorang Rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahawa Sesungguhnya tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Aku; oleh itu, Beribadatlah kamu kepadaku". Al-Anbiya’: 25
Jadi, jelaslah bahawa Tauhid uluhiyah adalah maksud atau intipati utama dari dakwah para rasul yang diutuskan. Dikatakan sedemikian adalah kerana uluhiyah adalah sifat Allah yang ditunjukkan oleh nama-Nya, “Allah”, yang ertinya dzul uluhiyah (yang memiliki uluhiyah).
Juga disebut “tauhid ibadah”, kerana ubudiyah adalah sifat ‘abd (hamba) yang wajib menyembah Allah secara ikhlas, kerana ketergantungan mereka kepadanya.
Sheikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Ketahuilah, keperluan seorang hamba untuk menyembah Allah tanpa menyekutukan-Nya denga sesuatu apa pun, tidak memiliki bandingan yang dapat dikiankan, tetapi dari sebahagian sudut mirip dengan keperluan jasad kepada makanan dan minuman. Akan tetapi di antara keduanya ini terdapat perbezaan mendasar. Kerana hakikat seorang hamba adalah hati dan ruhnya, ia tidak boleh bergantung melainkan kepada Allah yang tiada Tuhan melainkan-Nya. Ia tidak mampu beroleh ketenangan di dunia ini kecuali dengan mengingati-Nya. Seandainya hamba memperoleh kenikmatan dan kesenangan tanpa Allah, maka hal itu tidak akan berlangsung atau berkekalan lama, tetapi pasti akan berpindah-pindah dari suatu subjek kepada subjek yang lainnya. Adapun Tuhannya maka Dia diperlukan setiap saat dan setiap waktu, di mana pun ia berada maka dia selalu bersamanya.” (Majmu’ Fatawa, 1/24)
Tauhid ini adalah inti dari dakwah para rasul, kerana ia adalah asas dan dasar perlaksanaan segala amalan. Tanpa merealisasikannya, semua amal ibadah tidak akan diterima. Kerana andainya ia tidak wujud, maka akan bangkitlah lawannya, iaitu kesyirikan. Sedangkan Allah s.w.t. berfirman:
Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampunkan dosa syirik mempersekutukanNya (dengan sesuatu apajua), dan akan mengampunkan dosa Yang lain dari itu bagi sesiapa Yang dikehendakiNya (menurut aturan SyariatNya). dan sesiapa Yang mempersekutukan Allah (dengan sesuatu Yang lain), maka Sesungguhnya ia telah melakukan dosa Yang besar. Nisa :48
Dan skop tauhid ini adalah kewajiban pertama seluruh hamba. Allah s.w.t. berfirman:
Artinya :Dan Tuhanmu telah perintahkan, supaya Engkau tidak menyembah melainkan kepadanya semata-mata, dan hendaklah Engkau berbuat baik kepada ibu bapa. jika salah seorang dari keduanya, atau kedua-duanya sekali, sampai kepada umur tua Dalam jagaan dan peliharaanMu, maka janganlah Engkau berkata kepada mereka (sebarang perkataan kasar) sekalipun perkataan "Ha", dan janganlah Engkau menengking menyergah mereka, tetapi Katakanlah kepada mereka perkataan Yang mulia (yang bersopan santun).Al-Isra’:23
c. Tauhid Asma’ wa sifat ( nama dan sifat Allah ).
Tauhid Asma’ wa sifat yaitu beriman terhadap segala apa yang terkandung dalam al-Qur'an dan hadis shahih tentang sifat-sifat Allah yang Dia ungkapkan tentang diriNya atau diungkapkan oleh Ralulullah saw tentang sifat-sifat Allah tersebut.
Beriman kepada sifat-sifat Allah harus sebagaimana adanya, dengan memahami makna setiap sifat Allah dengan menetapkan ( Itsbath ) sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya ttg sifat Allah SWT tanpa ta’wil (adalah merubah makna dari maknanya yang Haq)dan tanpa ta’thil (adalah menghilangkan makna atau sifat Allah ), tanpa takyif(adalah mempersoalkan hakikat asma’ dan sifat Allah dengan bertanya “bagaimana”.), tanpa tamtsil (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya),dan tanpa tafwidh ( Penyerahan makna dan keadaan secara bersama ).
Misalnya tentang sifat al-Istiwa' ( bersemayam diatas ), an-nuzul( turun ), al yad ( tangan ) al-maji' ( kedatangan )dan sifat-sifat lainnya,kita menerangkan semua sifat-sifat itu sesuai dengan keterangan ulama salaf. Al-Istiwa' misalnya, menurut keterangan para thabi'in sebagaimana yang ada didalam Shahih Bukhari berarti al- 'Uluw wal irtifa' ( tinggi dan berada di atas )sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah. Allah berfirman .Berdasarkan firman Allah s.w.t.:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tiada sesuatupun yang serupa dengan (ZatNya, sifat-sifatNya, dan pentadbiranNya) dan Dia lah yang Maha Mendengar, lagi Maha Melihat. (asy-Syura 42: 11).
Maksud beriman kepada sifat-sifat Allah sebagaimana adanya dengan menetapkan (itsbath) sebagaimana apa yang telah ditetapkan Allah dan rasulNya adalah tanpa hal-hal berikut dibawah ini :
1.Tahrif adalah memalingkan zhahir ayat dan hadis shahih pada makna lain yang batil dan salah. Seperti istawa (tinggi dan berada di atas langit) diartikan istaula (menguasai).
2.Ta’til ialah mengingkari sifat-sifat Allah dan menafikannya. Seperti Allah berada di atas langit, sebagian kelompok yang sesat mengatakan bahwa Allah berada di setiap tempat.
3.Takyif ialah menvisualisasikan sifat-sifat Allah, misalnya dengan menggambarkan bahwa bersemayamnya Allah di atas langit itu begini dan begitu. Padahal bersemayamnya Allah diatas ‘Arsy itu tidak serupa dengan bersemayamnya para makhluk, dan tiak seorangpun yang mengetahui gambarannya kecuali Allah semata.
4.Tamtsil ialah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhlukNya. Karena itu tidak boleh mengatakan, “Allah turun ke langit sebagaimana kita turun.” Hadis tentang nuzul Allah (turunnya Allah ) itu ada dalam riwayat imam Muslim. Sebagian orang yang tidak berilmu menisbatkan tasybih ( penyerupaan ) nuzul ini kepada syaikh Islam Ibnu Taimiyyah. Ini adalah bohong dan fitnah besar. Kami menemukan keterangan tersebut dalam kitab beliau , justru sebaliknya, yang kami temukan adalah pendapat beliau yang menafikan tamtsil dan tasybih.
5.Tafwidh ( penyerahan ) : Menurut ulama salaf, tafwidh hanya pada al-kaif ( hal dan keadaan ), tidak pada maknanya. Al Istiwa’ misalnya berarti al’uluw ( ketinggian ), yang tak seorangpun mengetahui bagaimana dan seberapa ketingian tersebut kecuali Allah. Adapun orang yang menganut paham tafwidh ( penyerahan ), maka menurut mufawwidhah ( orang yang menganut paham tafwidh ) adalah penyerahan dalam masalah keadaan dan makna secara bersamaan. Pendapat ini bertentangan dengan apa yang di terangkan oleh ulama salaf seperti Ummu Salamah ra, Rabi’ah guru besar Imam Malik dan Imam Malik sendiri. Mereka semua berpendapat bahwa “Istiwa’ ( bersemayam di atas ) itu jelas pengertiannya,bagaimana cara / keadaan itu tidak diketahui, iman kepadanya wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.
Adapun diantara contoh tauhid asma’ wa sifat beserta pembahasannya adalah :
a-Allah di atas langit, sebagaimana firmanNya :
ءأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
Patutkah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit. (al-Mulk 67: 16)
Untuk memahami ayat diatas, bahwa Allah di langit, kita merujuk kepada hadis shahih dibawah ini:
sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Tidakkah kalian percaya padaku sedangkan aku adalah kepercayaan Yang berada di atas langit. Datang kepadaku wahyu dari langit di waktu pagi dan petang.” (HR. Bukhori-Muslim).
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Rahman, sayangilah siapa saja yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh Yang berada di atas langit.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Imam Al-Albani).
قَالَ مُعَاوِيَةُ بْنُ حَكَمُ السُّلَمِي : وَكَانَتْ لِيْ جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ اُحُدٍ وَالْجُوَانِيَةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ فَاِذَا بَالذِّئْبِ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا وَاَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ آدَمَ اَسَفَ كَمَا يَاْسِفُوْنَ . لَكِنَّيْ صَكَكْتُهَا صَكَّةً فَاَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ . قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ اَفَلاَ اَعْتِقُهَا ؟ قَالَ : اِئْتِنِيْ بِهَا . فَقَالَ لَهَا : اَيْنَ اللهُ ؟ قَالَتْ : فِى السَّمَاءِ . قَالَ : مَنْ اَنَا ؟ قَالَتْ : اَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ . قَالَ : اَعْتِقُهَا فِاِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ.
"Berkata Muawiyah bin Hakam as-Sulami: Aku memiliki seorang hamba wanita yang mengembalakan kambing di sekitar pergunungan Uhud dan Juwainiyah. Pada suatu hari aku melihat seekor serigala menerkam dan membawa lari seekor kambing gembalaannya. Sedang aku termasuk seorang anak Adam kebanyakan. Maka aku mengeluh sebagaimana mereka. Kerananya wanita itu aku pukul dan aku marahi. Kemudian aku menghadap Rasulullah, maka baginda mempersalahkan aku. Aku berkata: Wahai Rasulullah, adakah aku harus memerdekakannya!" Jawab Rasullullah: Bawalah wanita itu ke sini. Maka Rasulullah bertanya kepada wanita itu. “Di mana Allah? Dijawabnya: Di langit. Rasullullah bertanya lagi: Siapa aku? Dijawabnya: Engkau Rasullullah. Maka baginda bersabda: Merdekakanlah wanita ini kerana dia adalah seorang mukminah". (H/R Muslim dan Abi Daud)
Begitu pula dengan hadits pertanyaan Rosululloh kepada budak perempuan yang telah disebutkan di atas. Imam Adz-Dzahabi berkata setelah membawakan hadits budak perempuan di atas, “Demikianlah pendapat kami bahwa setiap orang yang ditanyakan di manakah Allah, dia segera menjawab dengan fitrahnya, ‘Allah di atas langit!’ Dan di dalam hadits ini ada dua perkara yang penting; Pertama disyariatkannya pertanyaan, ‘Dimana Allah?’ Kedua, disyariatkannya jawaban yang ditanya, ‘Di atas langit’. Maka siapa yang mengingkari kedua perkara ini maka sesungguhnya dia mengingkari Al-Musthofa shollallohu ‘alaihi wa sallam“. (Mukhtashor Al-’Uluw)
Nabi saw bersabda :
أن النبي صلى الله عليه وسلم لما عن الآية (ثم دنى فتدلى فكان قاب قوسين أو أدنى) قال صلى الله عليه وسلم هو جبريل لأن الله موجود بلا مكان فلا يوصف بصفات الأجسام ولا بالمسافة بالمرة
Artinya :
"Sesungguhnya Nabi Shollallahu 'alaihi wa Sallam ketika di tanya tentang ayat (Tsumma dana fa tadalla fa kana qoba qowsaini aw adna) Bersabdalah Nabi, IA ADALAH JIBRIL KARENA SESUNGGUHNYA ALLAH DZAT YG WUJUD TANPA TEMPAT, MAKA TIDAK BOLEH DI SHIFATI DGN BEBERAPA SHIFATNYA JISIM DAN TIDAK DI SHIFATI DG JARAK JANGKAUAN.” HR Imam Bukhori dn Muslim dan Bayhaqi dalam kitab Asma wa al shifat /260.
Perhatikan hadis diatas,....Nabi saw mengatakan Allah adalah Dzat yang wujud tanpa tempat. Inilah yang dijadikan pegangan imam syafii dan golongan salaf untuk megatakan bahwa Allah adalah Dzat tanpa tempat.
Adakah ia ( perkataan Allah tidak bertempat ) bertentangan dengan sabda Nabi pada Hadis Mu’awiyah bin Hakam as-Sulami dimana Beliau mengatakan bahwa Allah dilangit?
Jawabannya tentu tidak, karena dua – duanya adalah sifat Allah yang harus kita pahami maknanya dan kita tetapkan ( Itsbath ) sebagaimana apa yang telah di tetapkan Allah dan rasulNya ttg sifat Allah serta beriman kepadanya tanpa mentakwilkannya dan mempertanyakannya “bagaimana," seperti golongan yang di dalam hatinya ada kecenderungan sesat dan membuat fitnah, dan mereka berusaha juga untuk mentakwilkannya. Sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya :
Dia lah Yang menurunkan kepadamu (Wahai Muhammad) Kitab suci Al-Quran. sebahagian besar dari Al-Quran itu ialah ayat-ayat "Muhkamaat" (yang tetap, tegas dan nyata maknanya serta jelas maksudnya); ayat-ayat Muhkamaat itu ialah ibu (atau pokok) isi Al-Quran. Dan Yang lain lagi ialah ayat-ayat "Mutasyaabihaat" (yang samar-samar, tidak terang maksudnya). Oleh sebab itu (timbulah faham Yang berlainan menurut kandungan hati masing-masing) - Adapun orang-orang Yang ada Dalam hatinya kecenderungan ke arah kesesatan, maka mereka selalu menurut apa Yang samar-samar dari Al-Quran untuk mencari fitnah dan mencari-cari Takwilnya (memutarkan maksudnya menurut Yang disukainya). padahal tidak ada Yang mengetahui Takwilnya (tafsir maksudnya Yang sebenar) melainkan Allah. dan orang-orang Yang tetap teguh serta mendalam pengetahuannya Dalam ilmu-ilmu ugama, berkata:" Kami beriman kepadaNya, semuanya itu datangnya dari sisi Tuhan kami" dan tiadalah Yang mengambil pelajaran dan peringatan melainkan orang-orang Yang berfikiran. QS. Ali Imran : 7
Ini kaedah yang Allah dan RasulNya ajarkan kepada kita, ini yang di pahami golongan salaf, ini yang di pahami oleh para 4 imam mazhab. Dua sifat diatas akan nampak bertentangan jika kita mengkajinya dengan akal kita saja, tanpa merujuk pemahaman Nabi saw dan para sahabatnya. Seperti golongan asyaairah yang akhirnya terpaksa harus mentakwilkan Istawaa kepada Istaula, karena dilihat ketidakcocokan menurut akal mereka.
Imam asy-Syafi'i juga menulis Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar, beliau juga diantara ulama yang mengimani Bahwa Allah tidak bertempat yang merupakan sifat Allah tanpa takwil dan tanpa mempertanyakan “bagaimana”. Imam asy-Syafi’i berkata:
واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه الأكبر، ص13)
Artinya :
“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Para sahabat Nabi saw juga berpendirian sebagaimana apa yang di firmankan Allah dan apa yang disabdakan RasulNya di atas, seperti :
-Abdullah bin Abbas , pakar tafsir dari kalangan sahabat Nabi saw, Mujahid-murid beliau, Abul ‘Aliyah, dan Ishaq bin Rahawaih menafsirkan “Istawaa” pada surah al’Araf, ayat 54 : Allah berada di atas arsy dan tinggi. ( Bukari, kitab tauhid ). Inilah pendapat yang dipilih ulama tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya.
-Umar al-Khathab menyatakan bahawa:
“Bahawasanya segala urusan itu (datang) dari sana (sambil mengisyarat-kan tangannya ke langit).” (al-Imam az-Zhahabi di dalam kitab-nya menyatakan bahawa riwayat ini sahih.)
“Daripada Ibnu Abbas (ia berkata) bahawa Rasulullah s.a.w. berkhutbah kepada manusia pada hari Nahr (tanggal 10 Zulhijjah) kemudian Ibnu abbas menyebutkan khutbah Nabi s.a.w. kemudian beliau mengangkat (mendongakkan) kepalanya ke arah langit sambil mengucapkan: “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan! Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan!” (Riwayat Imam Bukhari, juz.2 halaman 191)
-Zainab binti jahsyi, berbangga terhadap para isteri Rasulullah saw lainnya dengan mengatakan , “ kalian dinikahkan dengan Rasulullah saw oleh keluarga kalian sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari atas langit yang ketujuh". HR Bukhari.
Dibawah ini dapat kita perhatikan beberapa pandangan para ulama :
"Sesiapa mengingkari sesungguhnya Allah berada di atas langit, maka sesungguhnya dia telah kafir. Adapun terhadap orang yang tawaqquf (diam) dengan mengatakan: Aku tidak tahu apakah Tuhanku di langit atau di bumi? Berkata al-Imam Abu Hanifah: Sesungguhnya dia telah kafir kerana Allah telah berfirman: Ar-Rahman di atas ‘Arasy al Istiwa" (Lihat: Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 137. Imam Az-Zahabi. Tahqiq al Albani)
"Allah berada di atas langit sedangkan ilmu-Nya di tiap-tiap tempat (di mana-mana), tidak tersembunyi sesuatupun daripada-Nya" (Lihat: Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 137. Imam Az-Zahabi. Tahqiq al Albani, Hlm. 140)
"Benar, Allah di atas Arasy-Nya dan tidak sesiapapun yang tersembunyi daripada pengetahuan-Nya" (Lihat: Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 137. Imam Az-Zahabi. Tahqiq al Albani, Hln. 188)
"Barangsiapa TIDAK menetapkan Allah Ta'ala di atas ‘Arasy-Nya dan Allah istiwa di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Tuhannya". (Lihat: Ma'rifah Ulum al-Hadis. Hlm. 84. Riwayat yang sahih, dikeluarkan oleh al-Hakim)
Berkata lagi Imam Ibnu Khuzaimah (dari kalangan ulama as-Syafieyah):
"Kami beriman dengan khabar dari Allah Jalla wa-'Ala sesungguhnya Pencipta kami Ia beristiwa (bersemayam) di atas ‘Arasy-Nya. Kami Tidak mengganti/mengubah kalam (firman) Allah dan kami tidak akan mengucapkan perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada kami sebagaimana (perbuatan kaum) yang menghilangkan sifat-sifat Allah seperti golongan Jahmiyah yang pernah berkata: Sesungguhnya Dia istawla (menguasai) ‘ArasyNya bukan istiwa (bersemayam). Maka mereka telah mengganti perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada mereka, ini menyerupai perbuatan Yahudi tatkala diperintah mengucapkan: Hithtatun (Ampunkanlah dosa-dosa kami), tetapi mereka mengucapkan (mengubah): Hinthah (makanlah gandum)! Mereka (kaum Yahudi) telah menyalahi perintah Allah Yang Maha Agung dan Maha Tinggi maka seperti itulah (perbuatan kaum) Jahmiyah". (Lihat: Kitabut Tauhid Fi Ithbatis Sifat. Hlm. 101. Oleh Ibnu Khuzaimah)
Beliau menjelaskan:
"Tidak boleh mensifatkan Allah bahawa Ia berada di tiap-tiap tempat. Bahkan (wajib) mengatakan: Sesungguhnya Allah di atas langit (yakni) di atas ‘Arasy sebagaimana Ia telah berfirman: Ar-Rahman di atas ‘Arasy, Ia beristiwa.(Surah Taha, 20:5) Dan wajiblah memutlakkan sifat istiwa tanpa takwil, sesungguhnya Allah istiwa dengan Zat-Nya di atas ‘Arasy. Keadaan-Nya di atas ‘Arasy disebut pada tiap-tiap kitab yang Ia turunkan kepada tiap-tiap Nabi yang Ia utus tanpa bertanya (para nabi yang diutus tidak bertanya): Bagaimana caranya (Allah istiwa di atas ‘ArasyNya)?" (Lihat: Fatawa Hamwiyah Kubra. Hlm. 84)
Imam Az-Zahabi, salah seorang ulama besar bermazhab Syafie:
“Sesiapa mengingkari bahawa Allah ‘Azza wa-Jalla di langit, maka dia seorang yang kafir”. (Lihat: مختصرالعلو للعلي الغفار oleh al-Hafiz Syamsuddin az-Zahabi. Hlm. 137).
Telah berkata Imam Malik Bin Annas:
“Allah berada di langit sedangkan ilmu-Nya di tiap-tiap tempat dan tidak tersembunyi sesuatupun dari-Nya.”
Telah berkata imam as-syafi’e:
“Dan Allah di atas ‘arsy-Nya di atas langit-Nya.”
Telah berkata Imam Ahmad:
“Benar! Allah di atas ‘arsy-Nya dan tidak sesuatupun yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya.”
Telah berkata imam at-Tirmidzi:
“Telah berkata ahli ilmu: Dan Ia (Allah) di atas ‘arsy sebagaimana Ia telah menetapkan diri-Nya.”
(Rujukan daripada Kitab al-‘Uluw, oleh Imam az-Zhahabi)
Telah berkata imam Ibnu Khuzaimah:
“Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah di atas ‘arsy-Nya Ia istiwa’ di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Tuhan-Nya (setelah hujah ditegakkan)... (Sahih, dikeluarkan oleh al-Hakim di dalam kitabnya Ma’rifah ‘ulumil-Hadits, halaman 84)
Telah berkata Sheikhul Islam imam Abdul Kadir Jailani:
“Tidak boleh mensifatkan-Nya bahawa Ia (Allah) berada di tiap-tiap tempat (Allah di mana-mana). Bahkan wajib mengatakan, “Sesungguhnya Ia di atas langit (iaitu) di atas ‘arsy-Nya sebagaimana Ia telah berfirman: “ar-Rahman di atas ‘arsy, Ia istawa’”, di dalam surah Thoha, ayat ke 5.” (Fatwa Hamawiyyah Kubra, halaman 87)
Berikut pula saya membawakan kata-kata ibnu Katheer di dalam tafseernya, yang mana mentafsirkan ayat “summas tawa ‘alal ‘arsy (ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ)” sebagai di bawah (petikan di bawah).
Berikut kita lihat kata-kata Al-Hafidz Ibnu Katsir Rahimahullah:
“Adapun firman-Nya:
“Kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy. (al-a’raaf: 54)
Orang-orang mempunyai berbagai pendapat dalam permasalahan ini dan sekarang bukanlah tempatnya untuk membahasnya secara luas, namun dalam perkara ini, kita menempuh mazhab para salafus-Soleh seperti imam Malik, al-Auza’i, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’ad, as-Syafi’e, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih dan lain-lain dari kalangan para imam kaum muslimin, baik yang dahulu mahupun yang sekarang, iaitu membiarkan sebagaimana datangnya tanpa takyif, tasybih dan ta’thil. Apa yang terbersit (tergambar) di dalam benak fikiran orang-orang Musyabbih (yang menyamakan sifat Allah dengan makhluk-Nya) tidak terdapat pada Dzat allah s.w.t., sebab Allah sedikitpun tidak sama dengan makhluk-Nya. Allah berfirman (maksudnya):
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dialah yang maha mendengar lagi Maha melihat.” (as-Syuura: 11)
Bahkan perkara ini sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang imam yang bernama Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru kepada imam al-Bukhari: “Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka dia telah kafir. Barangsiapa yang mengingkari apa yang telah disifatkan Allah terhadap Dzat-Nya, maka ia telah kafir. Apa yang Allah sebutkan tentang sifat-sifat-Nya dan yang Rasulullah s.a.w. sebutkan tentang sifat-sifat Allah tidak merupakan tasybih (penyerupaan Allah dengan Makhluk). Barangsiapa yang menetapkan untuk allah apa yang dengan jelas telah tercantum dalam ayat dan hadith-hadith sahih yang sesuai dengan kemulian Allah serta menafikan dari Dzat Allah semua sifat kekurangan, bererti ia telah menempuh jalan petunjuk.” (Tafseer al-‘Azim, Ibnu Kather)
Jelaslah bahawa, hakikat-nya para imam itu sendiri seperti ibnu Katheer, as-Syafi’e, imam Ahmad bin Hanbal, imam Malik, dan lain-lain adalah bersama para salaf dalam menyatakan bahawa Allah itu bersemayam di ‘arsy selaras dengan keagungan-Nya tanpa ta’wil dan ta’til.
Allah berfirman :
هَؤُلاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً لَوْلا يَأْتُونَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا
“maka tidak ada Yang lebih zalim dari orang-orang yang berdusta terhadap Allah.” (al-Kahfi: 15)
Imam Ibnul ‘Arabi , seorang ulama pakar bahasa arab ketika diminta oleh tokoh mu’tazilah, Ahmad bin abu duwad untuk mencari makna istawa yang artinya istaula ( menguasai ) dalam bahasa arab, maka beliau menjawab, “ demi Allah itu tidak ada, aku tidak menemukannya” ( dikeluarkan oleh khatib al-Baghdadi dalam tarikh baghdad, 5/283).
Pakar bahasa lainnya Imam khalil bin Ahmad ketika ditanya juga berkata,”makna Istaula tidak dikenal oleh orang arab dan tidak ada dalam bahasa mereka ( Majmu’ Fatawa 5/146 ), Ibnul Jauzi berkata ,”makna itu dalam bahasa arab adalah mungkar ( Zadul Masiir,3/213 ), Ibnu Abdil Barr berkata, “ Ucapan mereka yang mentakwil Istawa menjadi Istaula tidak sesuai, karena tidak didapati dalam bahasa arab ( At- Tamhid, 7/131 )
b-Allah mempunyai tangan, sebagaimana firmanNya:
بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ
(Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah sentiasa terbuka Dia menafkahkan sebagaimana yang Dia kehendaki... (al-Ma’idah 5: 64)
c-Allah mempunyai muka. Ini adalah sifat dzatiyah Allah sesuai dengan keagungan-Nya. Allah s.w.t. berfirman:
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ
Dan tetap kekalah Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan Kemuliaan (ar-Rahman 55: 27)
d-Allah mempunyai mata, sebagaimana firmanNya :
فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا
...maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami... (at-Thur 52: 48)
Allah menafikan jika ada sesuatu yang menyerupai-Nya, dan Dia menetapkan bahawa Dia adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Maka Dia diberi nama dan sifat dengan nama dan sifat yang Dia sendiri berikan untuk diri-Nya dan dengan nama dan sifat yang disampaikan oleh Rasul-Nya (melalui hadis).
Al-Qur’an dan as-Sunnah dalam hal ini tidak boleh dilanggar, kerana tidak seorangpun yang lebih mengetahui Allah daripada Allah sendiri, dan tidak ada sesudah Allah orang yang lebih mengetahui Allah daripada Rasul-Nya. Maka barangsiapa yang mengingkari nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya atau menamakan Allah dan menyifati-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat makhluk-Nya, menta’wilkannya dari maknanya yang benar (haq), maka dia telah berbicara tentang allah tanpa ilmu dan berdusta terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Allah s.w.t. berfirman:
هَؤُلاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً لَوْلا يَأْتُونَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا
Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah? (al-Kahfi 18: 15)
Ibnu Mas’ud berkata, “Sungguh, ketika itu aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa sampai tampak gigi taringnya.” Periwayat berkata, “Maka orang-orang pun menyebut bahwa dialah sang penghuni surga yang paling rendah kedu...dukannya.” Dalam riwayat lain disebutkan: Maka Ibnu Mas’ud pun tertawa, lalu berkata, “Apakah kalian tidak bertanya kepadaku mengapa aku tertawa?”. Mereka menjawab, “Mengapa engkau tertawa?”. Beliau menjawab, “Demikian itulah tertawanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. -Ketika itu- mereka -para sahabat- bertanya, ‘Mengapa anda tertawa wahai Rasulullah?’. ‘Disebabkan tertawanya Rabbul ‘alamin tatkala orang itu berkata, ‘Apakah Engkau mengejekku, sedangkan Engkau adalah Rabbul ‘alamin?’. Lalu Allah berfirman, ‘Aku tidak sedang mengejekmu. Akan tetapi Aku Maha kuasa melakukan segala sesuatu yang Kukehendaki.’.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [2/314-315])
Allah pun bisa tertawa, namun tertawanya Allah tidak sebagaimana makhluk. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. asy-Syura: 11). Syaikh Ibnu Utsai...min rahimahullah berkata, “Para salaf telah bersepakat menetapkan ‘tertawa’ ada pada diri Allah. Oleh sebab itu wajib menetapkannya (menerimanya, pent) tanpa menyelewengkan maknanya, tanpa menolaknya, tanpa membagaimanakan sifatnya, dan tidak menyerupakannya. Itu merupakan tertawa yang hakiki yang sesuai dengan -keagungan- Allah ta’ala.” (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 61)
MANHAJ SALAF (PARA SAHABAT, TABI’IN DAN ULAMA PADA KURUN WAKTU YANG DIUTAMAKAN) DALAM HAL ASMA’ DAN SIFAT ALLAH
Iaitu mengimani dan menetapkannya sebagaimana ia datang tanpa tahrif (mengubah), ta’thil (menafikan), takyif (menanyakan bagaimana) dan tamtsil (menyerupakan), dan hal itu termasuk pengertian beriman kepada Allah.*
* Iman seperti ini juga dianut oleh Syeikh Abdul Qadir al-Jailani (wafat tahun 561 H.), lihat kitabnya “al-Fathur Rabbani wal Faidhur Rahmaniy”, cetakan al-Haramain, hal. 34, 61, 76, dan 303).
Imam Ahmad rahimahullah berkata, Allah tidak boleh disifati kecuali dengan apa yang disifati oleh-Nya untuk Diri-Nya atau apa yang sifatkan melalui Rasul-Nya, serta tidak boleh melampaui al-Qur’an dan al-Hadis. Mazhab (jalan/landasan) salaf menyifati Allah dengan apa yang Dia sifatkan untuk Diri-Nya dan dengan apa yang disifatkan melalui Rasul-Nya, tanpa tahrif dan ta’thil, takyif dan tamtsil.
Kita mengetahui bahawa apa yang Allah sifatkan untuk Diri-Nya adalah haq (benar), tidak mengandungi teka-teki dan tidak untuk dibongkar. Maknanya sudah dimengerti, sebagaimana maksud orang yang berbicara juga dimengerti dari pembicaraannya. Apalagi jika yang berbicara itu adalah Rasulullah, manusia yang paling mengerti dengan apa yang dia katakan, yang paling fasih dalam menjelaskan ilmu, dan paling baik serta mengerti dalam menjelaskan atau memberi petunjuk. Dan sekali pun demikian, tidaklah ada sesuatu yang menyerupai Allah. Tidak dalam Diri (Dzat)-Nya Yang Maha Suci yang disebut dalam asma’ dan sifat-Nya, juga tidak dalam perbuatan-Nya. Sebagaimana yang kita yakini bahawa Allah s.w.t. mempunyai Dzat, juga ad’al (perbuatan), maka begitu pula Dia benar-benar mempunyai sifat-sifat, tetapi tidak ada satu pun yang menyamai-Nya, juga tidak dalam perbuatan-Nya.
Sifat-sifat Allah terbahagi menadi dua bahagian. Bahagian pertama, adalah sifat dzatiyah, iaitu sifat yang senantiasa melekat dengan-Nya. Sifat ini tidak berpisah dari DzatNya. Seperti “العلم” (ilmu(, “القدرة” (kekuasaan), “السمع” (mendengar), “البصر” (melihat), “العزة” (kemuliaan), “الحكمة” (hikmah), “العلو” (ketinggian), “العظمة” (keagungan), “الوجة” (wajah), “اليدين” (dua tangan), “العينين” (dua mata).
Bahagian kedua, adalah sifat fi’liyah. Iaitu sifat yang Dia perbuat jika berkehendak. Seperti, bersemayam di atas ‘Arsy, turun ke langit dunia ketika tinggal sepertiga akhir dari malam, dan datang pada hari kiamat.
Syukron akh atas artikelnya yang sangat bermanfaat. Semoga kita senantiasa dilimpahkan rahmat dari Allah SWT. Simak tentang dasar-dasar ilmu tauhid di web saya ya akh transparan.org -
ReplyDelete