Tuesday, May 17, 2011

MADZHAB ASY’ARIYAH AHLU SUNNAHKAH?

MADZHAB ASY’ARIYAH AHLU SUNNAHKAH?

Banyak persoalan yang berkaitan dengan mazhab Asy’ariyah yang sampai hari ini terus di bincangkan dan diperdebatkan. Ada yang pro juga ada yang kontra. Bahkan ada yang marah jika perkara ini di bincangkan, dan terus menuduh sesat atau wahabi. Saya mengajak sahabat-sahabat untuk saling bersabar dan membuka hati dan fikiran kita masing-masing. Harus kita sadari bahwa perbincangan tentang Asma wa sifat Allah bukanlah perkara yang baru. Ianya telah di bincangkan dan diperdebatkan oleh ulama-ulama terdahulu sebelum kita, bahkan ia juga dibincangkan pada zaman 4 imam madzhab.

Berangkat dari dialog serta banyaknya soal-soal dari sahabat-sahabat, juga hasil dari chatting melalui Facebook, maka saya mengambil kesimpulan untuk menulis seputar paham Asy’ariyah berbentuk soal jawab dan komentar, agar mudah dipahami semua.

PERNYATAAN HAMBA ALLAH :

Baik saya bantu anda dengan melihat pada pada faktor T (WAKTU). hal ini supaya anda bisa memahami bahwa kenapa faham asyariyyah itu bisa tumbuh dan berkembang. Paham Asyariyyah itu tetap berdasarkan pada orang-orang terdahulu (salaf), hanya menggunakan penjelasan yang lebih UNTUK MENJAGA KESELAMATAN BAGI KAUM MUSLIMIN. Paham ini mulai berkembang sekitar tahun 400H

Istilah salaf yang ada sekarang dan bisa menghukumi terhadap kaum muslimin lainnya, hal itu bermula dari pandangan-pandangan Syeikh Ibnu Thaimiyyah Rah, ini mulai berkembang tahun 700H, dan sekarang mulai terangkat kembali melalui kajian dari orang-orang yang lebih bercorakan dari wahabi. sekitar tahun 1300H.

KOMENTAR DAN JAWABAN SAIDAN :

Jika kita sebut paham asyaairah, maka identiknya kepada paham “takwil” dalam memahami ayat tentang sifat Allah. Jika anda mengatakan bahwa paham takwil bermula dari tahun 400 H, dan Ibnu Taimiyah adalah orang yang memulakan dalam membantah atau menghukumi terhadap pandangan Asya’irah, adalah kekeliruan yang besar.
Ketahuilah, bahwa Imam Abu Hasan Asy’ari dengan paham takwilnya adalah mengambil pemahaman dari seorang Muktazilah Abdullah bin Sa’id bin Kullab al-Qaththan ( 240 H ) ( Penganut paham takwil, dan tidak sepenuhnya mengambil paham Muktazilah yaitu ta’til ), setelah dia ( Imam Abu Hasan Asy’ari ) meninggalkan paham Mu’tazilah. Paham yang dipegang oleh Imam Abu Hasan Asy’ari ( takwil ) sebelumnya di kenal dengan istilah paham Kullabiyah, yang dinisbatkan kepada paham Abdullah bin Sa’id bin Kullab al-Qaththan ( 240 H ).

Pemahaman inilah yang menjadi tonggak ajaran dan pokok pemahaman madzhab Asyaa’irah, pemahaman ini dituangkan oleh beliau dalam kitab al-Luma’ fir Radd ‘ala Ahliz Zaighi wal Bida.’Pemahaman yang tersebar dan diikuti ramai pada hari ini adalah pemahaman pada fase yang kedua Imam Abu Hasan Asy’ari, yaitu suatu pemahaman yang berasaskan kepada paham Kullabiyah, dengan mentakwilkan sifat-sifat Allah.

Adapun ulama yang membantah paham ini bukan dimulakan oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah. Bahkan sebelum datangnya Ibnu Taimiyyah, telah banyak ulama yang memulakan pembantahan, dan itu tertuang dalam tulisan mereka seperti Imam Abu Bakr Bin Abu Syaibah ( wafat 235 H ) yang telah menyususun kita al-Iman, Imam Ahmad Bin Hanbal ( wafat tahun 241 H ) menulis kitab Ushulus Sunnah dan ar-Raddu ‘alal Jahmiyah wal Zanadiqah, Imam Bukhari (wafat tahun 256 H ) menyusun kitab Khalqu Af’alil Ibaad, Imam Ahmad Bin Muhammad Bin Abu Hashim ( wafat tahun 287 H ) dengan kitab as-Sunnah, Imam Abu Bakar Ahmad Bin Muhammad al- Khallal ( wafat 311 H ) menyusun kitab as-Sunnah, Imam Muhammad Bin Ishaq Bin Khuzaimah ( wafat 311 H )menyusun kitab Tauhi wa Itsbaati Shifaati Rabbi ‘Azza wa Jalla, Imam Abu Ja’far Ahmad Bin Muhamad at-Thahawi (wafat 321H ) dengan kitabnya yang terkenal al-Aqidah ath-Thahawiyah.

PERNYATAAN HAMBA ALLAH :

Kejadian atau serangan mu'tazilah dan filsafat-filsafat yang berlawanan dengan al-Islam itu begitu kuat, banyak orang akhirnya berpindah ke paham mu'tazilah. Dan salah satu penentang yang begitu kuat dan rela disiksa babak belur adalah Imam Ahmad Rah. Dan ini kejadiannya Imam Ahmad Rah sekitar 200H.
Memang akhirnya banyak kembali ke pandangan salaf, terutama berkaitan pernyataan "Al-quran adalah kalamullah". BUKAN "Al-quran adalah makhluq". Tetapi bisa anda bayangkan selama kurang lebih 200 tahun (400H - 200H), kekuatan mu'tazilah itu begitu kuat.

Imam Al-asyari Rah merupakan tokoh mu'tazilah, orang yang pandai diskusi. Dan tidak ada yang bisa mengalahkan cara-cara diskusi dia, dan bahkan di jaman itu kekuatan mu'tazilah begitu kuat dan boleh dikatakan lebih kuat dibandingkan dengan di jaman Imam Ahmad Rah.

Terjadi perubahan mendasar terhadap Imam al-asyari Rah ini, tetapi beliau menggunakan kemampuan analisa dan sintesa untuk mengalahkan pandangan mu'tazilah yang begitu kuat dengan menggunakan landasan salaf (baca: bukan dimaksud dengan pemahaman salafi)

Sekarang ini saya percaya bahwa orang-orang sudah tidak mengerti lagi apa pengertian paham asyariyyah dan paham salaf, dan kaum muslimin tidak mengerti siapa itu imam abu hasan al-asyari rah itu atau imam maturidi Rah. Hanya kalangan tertentu saja yang mengenal itu, dan itu adanya di madrasah-madrasah ataupun universitas Islam.

KOMENTAR DAN JAWABAN SAIDAN :

Anda menyampaikan tentang sejarah Abu Hasan Asy’ari. Baiklah di bawah ini saya paparkan sejarah Imam Abu Hasan Asy’ari yang banyak di salah pahami masyarakat hari ini.

MENGENAL SYAIKH ABU HASAN AL- ASY 'ARI

Nama dan nasabnya

Beliau bernama al-Imam Abul Hasan `Ali bin Isma`il bin Abi Bisyr Ishaq bin Salim bin Isma`il bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Al Asy`ary Abdullah bin Qais bin Hadhar salah seorang sahabat Rasulullah saw yang masyhur. Beliau lebih dikenal dengan Abu Al Hasan Al Asy`ary.

Kelahirannya

Beliau dilahirkan pada tahun 260 Hijriyah atau 875 Masehi, di Basrah, Irak. Tepatnya pada akhir masa daulah Abbasiyah yang waktu itu berkembang pesat berbagai aliran ilmu kalam, seperti : al Jahmiyah, al Qadariyah, al Khawarij, al Karamiyah, ar Rafidhah, al Mu'tazilah, al Qaramithah dan lain sebagainya.

Sifat-sifatnya

Sejak kecil Abul Hasan telah yatim. Kemudian ibunya menikah dengan seorang tokoh Mu`tazilah bernama Abu `Ali Al Jubba`i. Beliau (Abul Hasan) seorang yang cerdas, hafal Al Qur`an pada usia belasan tahun dan banyak pula belajar hadits. Beliau juga dikenal dengan ketajaman pemahamannya, qana’ah, dan kezuhudannya.

Pada akhirnya beliau berjumpa dengan ulama salaf bernama al Barbahari (wafat 329 H). inilah yang akhirnya merubah jalan hidupnya sampai beliau wafat pada tahun 324 H atau 939 M dalam usia 64 tahun.

Guru-gurunya

Beliau mengambil ilmu kalam dari ayah tirinya, Abu Ali al-Jubba’i, seorang imam kelompok mu’tazilah.

Ketika beliau keluar dari pemikiran Mu’tazilah, beliau memasuki kota Baghdad dan mengambil hadis dari muhaddits Baghdad Zakariya bin Yahya as-Saji. Demikian juga, beliau belajar kepada Abu Khalifah al-Jumahi, Sahl bin Nuh, Muhammad bin Ya’qub al-Muqri, Abdurrahman bin Khalaf al-Bashri, dan para ulama’ thabaqah mereka.
Abu al Hasan al Asy`ary dan Mu`tazilah

Pada mulanya, selama hampir 40 tahun, beliau menjadi penganut Mu`tazilah yang setia mengikuti gurunya seorang tokoh Mu`tazilah yang juga ayah tirinya. Namun dengan hidayah Allah setelah beliau banyak merenungkan ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah, beliau mulai meragukan terhadap ajaran Mu`tazilah. Apalagi setelah dialog yang terkenal dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh Abu `Ali al Jubba`i dan setelah mimpi beliau bertemu dengan Rasulullah, beliau secara tegas keluar dari Mu`tazilah.

Inti ajaran faham Mu`tazilah adalah dasar keyakinan harus bersumber kepada suatu yang qath`i dan sesuatu yang qath`i harus sesuatu yang masuk akal (rasional). Itulah sebabnya maka kaum Mu`tazilah menolak ajaran al Qur`an apalagi as Sunnah yang tidak sesuai dengan akal (yang tidak rasional). Sebagaimana penolakan mereka terhadap mu`jizat para nabi, adanya malaikat, jin dan tidak percaya adanya takdir. Mereka berpendapat bahwa sunnatullah tidak mungkin dapat berubah, sesuai dengan firman Allah (yang artinya):

Tidak akan ada perubahan dalam sunnatullah (Al Ahzab:62; lihat juga Fathir:43 dan Al Fath:23).

Itulah sebabnya mereka tidak percaya adanya mu`jizat, yang dianggapnya tidak rasional. Menurut mereka bila benar ada mu`jizat berarti Allah telah melangar sunnah-Nya sendiri.

Sudah barang tentu pendapat seperti ini bertentangan dengan apa yang dikajinya dari al Qur`an dan as Sunnah. Bukankah Allah menyatakan bahwa dirinya (yang artinya):

(Allah) melakukan segala apa yang Dia kehendaki (Hud : 107)

untuk kehidupan manusia Allah telah memberikan hukum yang dinamakan sunnatullah dan bersifat tetap. Tetapi bagi Allah berlaku hukum pengecualian, karena sifat-Nya sebagai Pencipta yang Maha Kuasa. Allah adalah Penguasa mutlak. Hukum yang berlaku bagi manusia jelas berbeda dengan hukum yang berlaku bagi Allah. Bukankah Allah dalam mencipta segala sesuatu tidak melalui hukum sunnatullah yang berlaku bagi kehidupan manusia ? Allah telah menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada, menciptakan dari suatu benda mati menjadi benda hidup. Adakah yang dilakukan Allah dapat dinilai secara rasional ?

Itulah diantara hal-hal yang dibahas oleh Abu Al-Hasan Al Asy`ary dalam segi aqidah dalam rangka koreksi terhadap faham mu`tazilah, disamping masalah takdir, malaikat dan hal-hal yang termasuk ghaibiyat.

Salah satu dialog beliau dengan Abu Ali Al Jubba`i yang terkenal adalan mengenai, apakah perbuatan Allah dapat diketahui hikmahnya atau di ta`lilkan atau tidak. Faham Mu`tazilah berpendapat bahwa perbuatan Allah dapat dita`lilkan dan diuraikan hikmahnya. Sedangkan menurut pendapat Ahlus Sunnah tidak. Berikut ini dialog antara Abu Al Hasan dengan Abu Ali al Jubba`i:

Al Asy`ary (A) : Bagaimana kedudukan orang mukmin dan orang kafir menurut tuan?
Al Jubba`i (B) : Orang mukmin mendapat tingkat tinggi di dalam surga karena imannya dan orang kafir masuk ke dalam neraka.
A : Bagaimana dengan anak kecil?
B : Anak kecil tidak akan masuk neraka
A : dapatkah anak kecil mendapatkan tingkat yang tinggi seperti orang mukmin?
B : tidak, karena tidak pernah berbuat baik
A : kalau demikian anak kecil itu akan memprotes Allah kenapa ia tidak diberi umur panjang untuk berbuat kebaikan
B : Allah akan menjawab, kalau Aku biarkan engkau hidup, engkau akan berbuat kejahatan atau kekafiran sehingga engkau tidak akan selamat.
A : kalau demikian, orang kafir pun akan protes ketika masuk neraka, mengapa Allah tidak mematikannya sewaktu kecil agar selamat dari neraka.

Abu Ali Al Jubba`i tidak dapat menjawab lagi, ternyata akal tidak dapat diandalkan.
Abu al Hasan Al Asy`ary dalam meninjau masalah ini selalu berdasar kepada sunnah Rasulullah. Itulah sebabnya maka madzhab yang dicetuskannya lebih dikenal dengan Ahlus Sunnah wal Jama`ah.

Abu al Hasan al Asy`ary Pencetus Faham Asy`ariyah

Namun karena pengaruh yang cukup dalam dari faham Mu`tazilah, pada mulanya cetusan pendapat Abu al Hasan sedikit banyak dipengaruhi oleh Ilmu Kalam. Keadaan seperti ini sangat dimaklumi karena tantangan yang beliau hadapi adalah kelompok yang selalu berhujjah kepada rasio, maka usaha beliau untuk koreksi terhadap Mu`tazilah juga berusaha dengan memberikan jawaban yang rasional. Setidak-tidaknya beliau berusaha menjelaskan dalil-dalil dari Al Qur`an atau As Sunnah secara rasional. Hal ini dapat dilihat ketika beliau membahas tentang sifat Allah dalam beberapa hal beliau masih menta`wilkan sebagiannya. Beliau menyampaikan pendapatnya tentang adanya sifat Allah yang wajib menurut akal.

Pada mulanya manhaj Abul Hasan Al Asy`ary dalam bidang aqidah menurut pengakuan secara teoritis pertama berdasarkan naqli atau wahyu yang terdiri dari Al Qur`an dan Al Hadits Al Mutawatir, dan kedua berdasarkan akal. Namun dalam prakteknya lebih mendahulukan akal daripada naql. Hal ini terbukti masih menggunakan penta`wilan terhadap ayat-ayat Al Qur`an tentang sifat-sifat Allah, misalnya:yadullah diartikan kekuatan Allah, istiwa-u- llah dikatakan penguasaan dan sebagainya.

Contoh lain misalnya dalam menetapkan dua puluh sifat wajib bagi Allah, diawali dengan menetapkan hanya tiga sifat wajib, kemudian berkembang dalam menyimpulkan menjadi lima sifat, tujuh sifat, dua belas sifat atau dan akhirnya dua puluh sifat atau yang lebih dikenal dengan Dua puluh Sifat Allah. Dari dua puluh sifat itu tujuh diantaranya dikatakan sebagai sifat hakiki sedang tigabelas yang lain sifat majazi. Penetapan sifat hakiki dan majazi adalah berdasarkan rasio.

Dikatakannya, penetapan tujuh sifat hakiki tersebut karena bila Allah tidak memilikinya berarti meniadakan Allah. Ketujuh sifat hakiki tersebut adalah hayyun bihayatin, alimun bi ilmin, qadirun bi qudratin, sami`un bi sam`in, basyirun bi basharin, mutakallimun bi kalamin dan muridun bi iradatin. Sedangkan mengenai tiga belas sifat majazi bila dikatakan sebagai sifat hakiki berarti tasybih atau menyamakan Allah dengan makhluk.

Ketika ditanyakan :Bagaimana menetapkan sifat hakiki tersebut, sedangkan sifat itu secara lafziah sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk? Jawabannya: Sifat-sifat tersebut dari segi lafaz sama dengan makhluk, namun bagi Allah SWT mempunyai arti `maha` sesuai dengan kedudukan Allah yang Maha Kuasa. Kalau demikian seharusnya tidak perlu kawatir dalam menerapkan tiga belas sifat yang lain dengan mengatakannya sebagai sifat hakiki bukan ditetapkan sebagai majazi, dengan pengertian sebagaimana dalam menetapkan tujuh sifat hakiki tersebut diatas, yakni walaupun sifat-sifat Allah dari segi lafaz sama seperti sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia, namun sifat itu bila dinisbahkan kepada Allah akan mempunyai arti Maha.

Abu Al Hasan Al Asy`ary kembali ke Salaf ( pemahaman para sahabat )

Pada akhirnya setelah banyak berdialog dengan seorang bernama Al Barbahari (wafat 329 H), Abul Hasan Al Asy`ary menyadari kekeliruannya dalam pemahaman aqidah terutama dalam menetapkan sifat-sifat Allah dan hal lain tentang ghaibiyat. Empat tahun sebelum beliau wafat beliau mulai menulis buku Al Ibanah fi Ushul Al-Diyanah merupakan buku terakhir beliau sebagai pernyataan kembali kepada faham Islam sesuai dengan tuntunan salaf. Namun buku ini tidak sempat terbahas secara luas di kalangan umat Islam yang telah terpengaruh oleh pemikiran beliau sebelumnya.

Untuk mengenal lebih jauh tentang kaidah pemikiran beliau di bidang aqidah sesudah beliau kembali ke metode pemikiran salaf yang kemudian lebih dikenal dengan Salafu Ahli As Sunnah wa Al Jama`ah, beliau merumuskannya dalam tiga kaidah sebagai berikut:

1. Memberikan kebebasan mutlak kepada akal sama sekali tidak dapat memberikan pembelaan terhadap agama. Mendudukkan akal seperti ini sama saja dengan merubah aqidah. Bagaimana mungkin aqidah mengenai Allah dapat tegak jika akal bertentangan dengan wahyu.

2. Manusia harus beriman bahwa dalam urusan agama ada hukum yang bersifat taufiqi, artinya akal harus menerima ketentuan wahyu. Tanpa adanya hukum yang bersifat taufiqi maka tidak ada nilai keimanan.

3. Jika terjadi pertentangan antara wahyu dan akal maka wahyu wajib didahulukan dan akal berjalan dibelakang wahyu. Dan sama sekali tidak boleh mensejajarkan akal dengan wahyu apalagi mendahulukan akal atas wahyu.

Adapun manhaj Abul Hasan dalam memahami ayat (tafsir) adalah sebagai berikut:

1. Menafsirkan ayat dengan ayat.
2. Menafsirkan ayat dengan hadits
3. Menafsirkan ayat dengan ijma`.
4. Menafsirkan ayat dengan makna zahir tanpa menta`wilkan kacuali ada dalil.
5. Menjelaskan bahwa Allah menurunkan Al Quran dalam bahasa Arab, untuk itu
dalam memahami Al Quran harus berpegang pada kaidah-kaidah bahasa Arab.
6. Menafsirkan ayat dengan berpedoman kepada asbabun-nuzul dari ayat tersebut
7. Menjelaskan bahwa isi ayat Al Quran ada yang umum dan ada yang khusus,

kedua-duanya harus ditempatkan pada kedudukannya masing-masing.
Banyak sekali buku-buku karya Abul Hasan Al Asy`ary. Yang ditulis beliau sebelum tahun 320 (sebelum kembali kepada manhaj salaf) lebih dari 60 buku. Sedangkan yang ditulis sesudah tahun 320 hampir mencapai 30 buah buku, diantara yang terakhir ini adalah Al Ibanah fi Ushul Ad Diyanah. Wallahu A`lam.

Diantara perkataan para ulama’ tentang beliau

Abu Bakar bin Faurak berkata, “ Abul Hasan al-Asy’ari keluar dari pemikiran Mu’tazilah dan kembali kepada mazhab Ahlu Sunnah pada tahun 300 H.”
Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Khalikan berkata dalam kitabnya, Wifayatul A’yan (2/446), “Abul Hasan al-Asy’ari pada awalnya mengikuti pemikiran Mu’tazilah, kemudian bertaubat.

Al-Hafiz Ibnu Katsir berkata dalam kitabnya al-Bidayah wan Nihayah (11/187). “Sesungguhnya Abul Hasan al-Asy’ari awalnya seorang Mu’tazilah, kemudian bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah di Bashrah diatas mimbar, kemudian beliau tampakkan kebobrokan pemikiran Mu’tazilah.”

Al-Hafidz adz-Dzahabi berkata dalam kitabnya, al Uluw lil Aliyyil Ghaffar, “ Abul Hasan al-Asy’ari awalnya seorang mu’tazilah, mengambil ilmu dari Abu Ali al-Jubba’i, kemudian beliau melepaskan pemikiran Mu’tazilah dan jadilah beliau mengikuti sunnah dan para imam ahli hadits.

Fase-fase kehidupan beliau

“Asy’ariyah” yang juga dikenal dengan “Asya’irah” adalah penisbatan sebuah pemahaman dalam akidah kepada Imam Abul Hasan al-Asy’ari, hanya mereka berpegang kepada pemahaman Abul Hasan al-Asy’ari pada fase kedua kehidupannya, yang dikenal pada saat beliau menganut pemahaman Kullabiyah.
Alangkah baiknya bagi mereka menapak jejak Abul Hasan al-Asy’ari yang terakhir dalam hidupnya, yaitu beliau kembali kepada ajaran salaf ( para sahabat Nabi saw ), karena sebagai diketahui bahwa kehidupan beliau melalui 3 fase :

Pertama, fase dengan membawa pemahamanMu’tazilah, karena kebetulan gurunya dalam pemahaman ini adalah bapak tirinya yang bernama Abu Ali al-Jubba’i, hal ini berlangsung hingga beliau berusia 40 tahun ( Tabyin Kadzibil muftari, hal 40 ).

Kedua, fase dengan membawa pemahaman Kullabiyah, yang diambil dari nama pendirinya, Abdullah bin Sa’id bin kullab al-Qaththan ( 240 H ). Pemahaman inilah yang menjadi tonggak ajaran dan pokok pemahaman mereka dalam madzhab, pemahaman ini dituangkan oleh beliau dalam kitab al-Luma’ firr Radd ‘ala Ahliz Zaighi wal Bida’. Pada fase kedua inilah Abul Hasan al-Asy’ari menetapkan sifat 7 bagi Allah ; yaitu sifat hidup, mengetahui, berkuasa, berbicara, berkehendak, mendengar, dan melihat. Kemudian ditambahi oleh paham Maturidiyah ( penyandaran kepada Abu Manshur al-Maturidi, menjadi sifat 20 yang di kenal itu.
Paham Asy’ariyah yang sampai sekarang berkembang merujuk kepada fase pemikiran yang kedua, bukan yang ketiga. Dengan kembalinya beliau kepada Ahli Sunnah Wal Jama’ah, berarti penisbatan nama Asy’ariyah kepada beliau tidaklah benar.
Abdullah bin Sa’id bin Kullab adalah tokoh ahli kalam di Bashrah, Iraq. Dia banyak menulis kita yang membantah Mu’tazilah, namun kadang – kadang mencocoki mereka, beliau adalah ahli kalam yang paling dekat dengan Ahli Sunnah ( Lihat Siyar A’lamin Nubala’, adzahabi, 11/174 ). Untuk melihat pemikirannya , lihat Maqalatul Islamiyyin.

Ketiga, fase dengan membawa pemahaman salaf ( para sahabat Nabi saw ) yaitu paham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, pemahaman yang mana beliau wafat dengannya, beliau tuangkan dalam karangannya yaitu al-Ibanah, Risalah ila Ahli Tsaghar dan Maqalat islamiyyin.

Murid-muridnya

Di antara murid-muridnya adalah Abul Hasan al-Bahili, Abul Hasan al-Karmani, Abu Zaid al-Marwazi, Abu Abdillah bin Mujahid al-Bashri, Bindar bin Husain asy-Syairazi, Abu Muhammad al-Iraqi, Zahir bin Ahmad as-Sarakhsyi, Abu Sahl Ash-Shu’luki, Abu Nashr al-Kawwaz As-Syairazi dll.
Wafatnya
Al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari wafat di Baghdad pada tahun 324 H. Semoga Allah meridhainya dan menempatkannya dalam keluasan jannahNya.

Rujukan

Siyar A’lamin Nubala’oleh adz-Dzahabi 15/85-90, dan Tarjamah Abul Hasan al-Asy’ari oleh Syaikh Hammad bin Muhammad al-Anshari cetakan ketiga 1390 H, al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah dam Maqalatul Islamiyyin wa Ikthtilafil Mushallin, Ibnu Taimiyah dalam fatawa, Tabyiin Kadzb Muftari.

PERNYATAAN HAMBA ALLAH :

Silahkan anda jelaskan kembali pengertian faham Ahyaairah dan takwil secara lengkap.

KOMENTAR DAN JAWABAN SAIDAN :

“Asy’ariyah” yang juga di kenal “Asya’irah” adalah penisbatan sebuah pemahaman dalam aqidah kepada imam Abu Hasan al-Asy’ari, dimana mereka sebetulnya berpegang pada pemahaman Abu Hasan al-Asy’ari pada fase kedua kehidupannya, yang dikenal pada saat itu beliau menganut paham Kullabiyah.

Alangkah baiknya jika setiap orang yang menisbatkan diri kepadanya dalam aqidah untuk betul-betul mengetahui fase-fase kehidupannya, terutama fase beliau ketiga dimana Imam Abu Hasan al-Asy’ari kembali kepada paham salaf.

Kehidupan Imam Abu Hasan al-Asy’ari melalui tiga fase, yaitu :

1.Fase dengan membawa pemahaman Mu’tazilah, gurunya dalam pemahaman ini adalah bapak tirinya yang bernama Abu Ali Al-Jubba’i,hal ini berlangsung hingga beliau berusia 40 tahun. ( Tabyin Kadzibil Muftari, hal.40 )

2.Fase dengan membawa pemahaman Kullabiyah, suatu pemahaman yang diambil dari tokoh pendirinya Abdullah bin Said bin Kullab al-Qaththan ( 240 H ). Pemahaman inilah yang menjadi tonggak ajaran dan pokok pemahaman mereka dalam madzhab, pemahaman ini dituangkan oleh beliau dalam kitab al-Luma’ fir Radd ‘ala Ahliz Zaighi wal Bida.’Pemahaman yang tersebar dan diikuti ramai pada hari ini adalah pemahaman pada fase yang kedua ini, yaitu suatu pemahaman yang berasaskan kepada paham Kullabiyah, dengan mentakwilkan sifat-sifat Allah.

3.Fase dengan membawa pemahaman salaf ( Ahlu sunnah wal jama’ah ), pemahaman yang mana beliau wafat dengannya, beliau tuangkan dalam karangannya yaitu al-Ibanah, Risalah ila Ahli Tsaghar dan Maqalat Islamiyyin.

Adapun makna TAKWIL :

Takwil bisa berarti tafsir. Bila dikatakan ‘takwil Al-Qur an’ berarti tafsir Al-Qur an. Sisi-sisi baik takwil maksudnya sisi-sisi baik tafsir. Takwil juga bisa berarti perkara ( pembenaran ) yang nantinya kembali kepadanya. Ini seperti halnya firman Allah SWT pada QS. Al-A’raf: 53 yang artinya :

Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali ( terlaksananya kebenaran ) Al-Qur an. Pada hari datangnya ( kebenaran pemberitaan ) Al-Qur an itu. Berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu, ‘sesungguhnya telah datang rasul-rasul Rabb kami membawa yang al-Haq........’

Allah mengabarkan kepada kita tentang hari kiamat, serta memberitahukan kepada kita tentang surga dan neraka. Jadi, takwilnya adalah terjadinya apa yang telah diberitahukan sebelumnya oleh Allah SWT. Inilah makna takwil yang kedua, yaitu perkara ( pembenaran )yang nantinya kembali kepadanya.

Adapun takwil secara istilah yang dipakai oleh para salaf adalah pengalihan suatu lafadz dari lahiriyahnya ke makna yang lain ( yaitu marjuh, lemah ). Namun takwil seperti ini di tolak oleh para salaf. Karena, lahiriyah Al-Qur an dan sunnah wajib di ikuti dan dipakai sebagai rujukan. Karena kalau kita membuka pintu takwil seperti itu, maka agama ini akan hancur. Setiap manusia niscaya akan mengatakan, “ lahiriyah ayat ini bukanlah yang dimaksud”,” lahiriyah hadis ini bukanlah yang dimaksud”, tetapi yang di inginkan oleh Allah adalah demikian, dan yang diinginkan oleh rasulullah saw adalah demikian.” Ini seperti halnya yang dilakukan oleh sekte Khawarij dan ahli bid’ah lainnya. Jadi takwil ini telah membawa keburukan. ( Rujuk kepada kitab As-Salafiyah Qawa’id Wa Ushul Ta’qibat ‘ala Kitab As-Salafiyah Laisat Madzhaban, oleh Dr Ahmad Farid dan Dr Shalih Al-Fauzan )

PERNYATAAN HAMBA ALLAH :

Secara kenyataannya mazhab aqidah Asy`ariyah ini memang mazhab yang paling banyak dipeluk umat Islam secara tradisional dan turun temurun.
sejarah mencatat bahwa hampir semua imam besar dan fuqoha dalam Islam adalah pemeluk mazhab aqidah al-As-`ari. Antara lain Al-Baqillani, Imam Haramain Al-Juwaini, Al-Ghazali, Al-Fakhrurrazi, Al-Baidhawi, Al-Amidi,
Asy-Syahrastani, Al-Baghdadi, Ibnu Abdissalam, Ibnud Daqiq Al-`Id, Ibu Sayyidinnas, Al-Balqini, al-`Iraqi, An-Nawawi, Ar-Rafi`I, Ibnu Hajar Al-`Asqallani, As-Suyuti.

Sedangkan dari wilayah barat khilafat Islamiyah ada Ath-Tharthusi, Al-Maziri, Al-Baji, Ibnu Rusyd (aljad), Ibnul Arabi, Al-Qadhi `Iyyadh, Al-Qurthubi dan Asy-Syatibi.

Jangan lupa juga bahwa universitas Islam terkemuka di dunia dan legendaris menganut paham Al-Asy`ariah dan Maturidiyah seperti Al-Azhar di Mesir, Az-Zaitun di Tunis, Al-Qayruwan di Marokko, Deoban di India. Dan masih banyak lagi universitas dan madrasah yang menganutnya.
Para ulama pengikut mazhab Al-Hanafiyah adalah secara teologis umumnya adalah penganut paham Al-Maturidiyah. Sedangkan mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi`iyyah secara teoligs umumnya adalah penganut paham Al-Asy`ariyah.

KOMENTAR DAN JAWABAN SAIDAN :

Pertama : Saya ingin menyampaikan kepada saudara bahwa tolak ukur kebenaran bagi kita dalam menghadapi perbedaan adalah tetap berpegang kepada sunnah Nabi saw dan sunnah para sahabatnya. Sebagaimana tertera pada hadis Irbadh bin sariyah, Rasulullah saw bersabda yang artinya :

“ Sesungguhnya, orang yang hidup di antara kalian selepasku akan melihat banyak perselisihan yang timbul ; maka tetaplah kalian dengan sunnahku dan sunnah Khulafa al-Mahdiyyin al-Rashidiin, berpeganglah dengannya, dan gigitlah ia dengan geraham …“. [HR Abu Daud : 4607, al-Tirmidzi : no.2676]

Jika mentakwil sifat Allah itu, seperti makna ‘istawa’ ditakwilkan kepada makna “istawa” dalam surah Thaha ayat 5 adalah cara yang benar dalam memahami ayat-ayat berkenaan sifat Allah tentulah itu dicontohkan oleh Nabi saw dan para sahabatnya. Karena ini perkara yang sangat penting, yaitu masalah akidah dan keimanan.
Tetapi faktanya, bahwa Nabi saw tidak mencontohkannya dan tidak juga dalam paham dan amalan para sahabatnya. Adapun banyaknya pengikut untuk suatu ijtihad dalam satu mazhab, banyaknya ulama yang mengikuti ijtihad tersebut, serta banyaknya universitas dan madrasah yang mengajarkan paham asyaairah , tetap bukanlah tolak ukur kebenaran sehinggalah dibuktikan bahwa ianya di contohkan Nabi saw dan para sahabatnya.

Sebaliknya Nabi saw tidak pernah mencontohkan untuk mentakwilkan setiap ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat Allah, bahkan Nabi saw menetapkan sebagaimana apa yang di firmankan Allah tentang sifat-sifat Allah, begitu juga para sahabatnya, begitu juga generasi setelahnya.

PERNYATAAN HAMBA ALLAH :

Bila Asy`ariah dianggap sesat, tentu saja kita perlu mengeluarkan para ulama salaf itu dari garis Islam, begitu juga universitas Islam dan para imam mazhab. Dan mayoritas terbesar umat Islam sepanjang masa pun harus dianggap sesat pula dan keluar dari garis Islam.

KOMENTAR DAN JAWABAN SAIDAN :

Imam Abu Hasan Asy’ari dengan pendapat takwilnya pada fase yang kedua adalah ijtihad yang salah. Untuk beliau sebagai ulama yang telah berijtihad dengan paham takwilnya yang salah tidaklah berdosa. Bahkan dia mendapat satu pahala atas hasil ijtihadnya. Terlebih lagi dia telah bertaubat dan kebali kepada paham salaf ( menolak takwil ) dengan kembali kepada paham Ahmad bin Hambal pada fasenya yang kedua.

Pada akhirnya setelah banyak berdialog dengan seorang bernama Al Barbahari (wafat 329 H), Abul Hasan Al Asy`ary menyadari kekeliruannya dalam pemahaman aqidah terutama dalam menetapkan sifat-sifat Allah dan hal lain tentang ghaibiyat. Empat tahun sebelum beliau wafat beliau mulai menulis buku Al Ibanah fi Ushul Al-Diyanah merupakan buku terakhir beliau sebagai pernyataan kembali kepada faham Islam sesuai dengan tuntunan salaf. Namun buku ini tidak sempat terbahas secara luas di kalangan umat Islam yang telah terpengaruh oleh pemikiran beliau sebelumnya.
Yang salah bukan Imam Abu Hasan Asy’ari, tetapi yang salah adalah para pengikutnya yang tetap berpegang kepada paham asyaairah padahal telah sampai kebenaran kepadanya untuk meninggalkan paham asyaairah.....Adapun orang-orang awam yang tidak tahu menahu dalam perkara ini, dan hanya ikut-ikutan saja, maka dia tetap Ahlu Sunnah Wal Jamaah, yang berpegang kepada kebenaran secara fitrahnya.
Siapa yang sesat?...Yang sesat adalah orang yang telah sampai kebenaran kepadanya untuk kembali kepada paham salaf sebagaimana Imam Abu Hasan Asy’ari telah meninggalkan paham takwilnya, tetapi dia tetap berpegang pada paham asyaairah.
Patutkah kita mengeluarkan para ulama yang berpaham asyaairah dari garis Islam? Tentu tidak patut, dan ini bukan kaedah Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Kaedah Ulama Ahlu sunnah adalah menghukum amalan dan menghukum secara umum, bukan menghukum orangnya secara khusus, sehinggalah memang terbukti secara terbuka pengingkarannya kepada hukum Islam. Sebagai contoh :

Imam Az-Zahabi, salah seorang ulama besar bermazhab Syafie berkata :
“Sesiapa mengingkari bahawa Allah ‘Azza wa-Jalla di langit, maka dia seorang yang kafir”. (Lihat: مختصرالعلو للعلي الغفار oleh al-Hafiz Syamsuddin az-Zahabi. Hlm. 137).

Lihat pernyataan Imam Zahabi diatas, dia tidak menyebut nama seorang ulama, tetapi dia mengkafirkan seseorang secara umum.

Maka otak kita jangan kita paksa dengan kaedah yang salah untuk mengeluarkan para ulama Asyaairah dari garis Islam. Karena kita tidak tahu adakah ia menolak karena sampai disitu pemahaman dan ijtihadnya, dan dia ikhlas atau dia memang menolak padahal telah sampai kebenaran kepadanya. Kita ambil contoh seperti Ibnu Hajar, dia berpaham Asyaairah tetapi para ulama hadis sangat menghormatinya, karena beliau dinilai tidak fanatik dan tidak mengutuk paham salaf walaupun beliau berpaham asyaairah.

PERNYATAAN HAMBA ALLAH :

Yang benar adalah bahwa Al-Asy`ariyah itu adalah bagian dari aqidah Ahlussunnah wal Jamaah. Umat Islam telah ridha kepadanya karena menjadikan Al-quran dan sunnah sebagai sumbernya.

KOMENTAR DAN JAWABAN SAIDAN :

Anda mengatakan bahwa paham Asyaairah adalah bagian dari aqidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah, tahukah anda apa makna Ahlu sunnah wal Jamaah?
Makna Ahlu sunnah wal jama’ah secara singkat adalah mereka yang berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah saw dan mengikuti jama’ah sahabat Rasulullah saw dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

As’ariyah sepakat dalam definisi Ahlu sunnah wal jama’ah diatas, sebagai didalam kitab mereka Jauharah at-Tauhid dikatakan : “ Seluruh kebaikan dengan mengikuti salaf ( yang terdahulu ), dan semua keburukan pada bid’ah orang khalaf ( yang datang kemudian ).” Akan tetapi, benarkah pemahaman mereka adalah pemahaman para sahabat Nabi saw dan aqidah mereka adalah aqidah imam yang empat ?

Aqidah Asy’ariyah bukan aqidah ahlu sunnah wal jama’ah.

Aqidah ahlu sunnah wal jama’ah adalah meyakini ayat-ayat dan hadis tentang sifat Allah dengan menetapkan ( itsbath) lafaz dan makna secara hakiki tanpa ta’wil (adalah merubah makna dari maknanya yang Haq) dan tanpa ta’thil (adalah menghilangkan makna atau sifat Allah ), tanpa takyif (adalah mempersoalkan hakikat asma’ dan sifat Allah dengan bertanya “bagaimana”.), tanpa tasybih, atau tajsim dan tamtsil (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), dan tanpa tafwidh ( Penyerahan makna dan keadaan secara bersama ).

Beriman kepada sifat-sifat Allah harus sebagaimana adanya, dengan memahami makna setiap sifat Allah dengan menetapkan ( Itsbath ) sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya ttg sifat Allah SWT tanpa ta’wil (adalah merubah makna dari maknanya yang Haq)dan tanpa ta’thil (adalah menghilangkan makna atau sifat Allah ), tanpa takyif(adalah mempersoalkan hakikat asma’ dan sifat Allah dengan bertanya “bagaimana”.), tanpa tamtsil (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya),dan tanpa tafwidh ( Penyerahan makna dan keadaan secara bersama ).

Misalnya tentang sifat al-Istiwa' ( bersemayam diatas ), an-nuzul( turun ), al yad ( tangan ) al-maji' ( kedatangan )dan sifat-sifat lainnya,kita menerangkan semua sifat-sifat itu sesuai dengan keterangan ulama salaf. Al-Istiwa' misalnya, menurut keterangan para thabi'in sebagaimana yang ada didalam Shahih Bukhari berarti al- 'Uluw wal irtifa' ( tinggi dan berada di atas )sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah. Allah berfirman .Berdasarkan firman Allah s.w.t.:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير
Tiada sesuatupun yang serupa dengan (ZatNya, sifat-sifatNya, dan pentadbiranNya) dan Dia lah yang Maha Mendengar, lagi Maha Melihat. (asy-Syura 42: 11).

Maksud beriman kepada sifat-sifat Allah sebagaimana adanya dengan menetapkan (itsbath) sebagaimana apa yang telah ditetapkan Allah dan rasulNya adalah tanpa hal-hal berikut dibawah ini :
1.Tahrif adalah memalingkan zhahir ayat dan hadis shahih pada makna lain yang batil dan salah. Seperti istawa (tinggi dan berada di atas langit) diartikan istaula (menguasai).

2.Ta’til ialah mengingkari sifat-sifat Allah dan menafikannya. Seperti Allah berada di atas langit, sebagian kelompok yang sesat mengatakan bahwa Allah berada di setiap tempat.

3.Takyif ialah menvisualisasikan sifat-sifat Allah, misalnya dengan menggambarkan bahwa bersemayamnya Allah di atas langit itu begini dan begitu. Padahal bersemayamnya Allah diatas ‘Arsy itu tidak serupa dengan bersemayamnya para makhluk, dan tiak seorangpun yang mengetahui gambarannya kecuali Allah semata.

4.Tamtsil ialah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhlukNya. Karena itu tidak boleh mengatakan, “Allah turun ke langit sebagaimana kita turun.” Hadis tentang nuzul Allah (turunnya Allah ) itu ada dalam riwayat imam Muslim. Sebagian orang yang tidak berilmu menisbatkan tasybih ( penyerupaan ) nuzul ini kepada syaikh Islam Ibnu Taimiyyah. Ini adalah bohong dan fitnah besar. Kami menemukan keterangan tersebut dalam kitab beliau , justru sebaliknya, yang kami temukan adalah pendapat beliau yang menafikan tamtsil dan tasybih.

5.Tafwidh ( penyerahan ) : Menurut ulama salaf, tafwidh hanya pada al-kaif ( hal dan keadaan ), tidak pada maknanya. Al Istiwa’ misalnya berarti al’uluw ( ketinggian ), yang tak seorangpun mengetahui bagaimana dan seberapa ketingian tersebut kecuali Allah. Adapun orang yang menganut paham tafwidh ( penyerahan ), maka menurut mufawwidhah ( orang yang menganut paham tafwidh ) adalah penyerahan dalam masalah keadaan dan makna secara bersamaan. Pendapat ini bertentangan dengan apa yang di terangkan oleh ulama salaf seperti Ummu Salamah ra, Rabi’ah guru besar Imam Malik dan Imam Malik sendiri. Mereka semua berpendapat bahwa “Istiwa’ ( bersemayam di atas ) itu jelas pengertiannya,bagaimana cara / keadaan itu tidak diketahui, iman kepadanya wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.

Adapun diantara contoh tauhid asma’ wa sifat beserta pembahasannya adalah :

a-Allah di atas langit, sebagaimana firmanNya :
ءأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاء
Patutkah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit. (al-Mulk 67: 16)
Untuk memahami ayat diatas, bahwa Allah di langit, kita merujuk kepada hadis shahih dibawah ini:
sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Tidakkah kalian percaya padaku sedangkan aku adalah kepercayaan Yang berada di atas langit. Datang kepadaku wahyu dari langit di waktu pagi dan petang.” (HR. Bukhori-Muslim).
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Rahman, sayangilah siapa saja yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh Yang berada di atas langit.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Imam Al-Albani).

قَالَ مُعَاوِيَةُ بْنُ حَكَمُ السُّلَمِي : وَكَانَتْ لِيْ جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ اُحُدٍ وَالْجُوَانِيَةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ فَاِذَا بَالذِّئْبِ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا وَاَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ آدَمَ اَسَفَ كَمَا يَاْسِفُوْنَ . لَكِنَّيْ صَكَكْتُهَا صَكَّةً فَاَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ . قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ اَفَلاَ اَعْتِقُهَا ؟ قَالَ : اِئْتِنِيْ بِهَا . فَقَالَ لَهَا : اَيْنَ اللهُ ؟ قَالَتْ : فِى السَّمَاءِ . قَالَ : مَنْ اَنَا ؟ قَالَتْ : اَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ . قَالَ : اَعْتِقُهَا فِاِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ.

"Berkata Muawiyah bin Hakam as-Sulami: Aku memiliki seorang hamba wanita yang mengembalakan kambing di sekitar pergunungan Uhud dan Juwainiyah. Pada suatu hari aku melihat seekor serigala menerkam dan membawa lari seekor kambing gembalaannya. Sedang aku termasuk seorang anak Adam kebanyakan. Maka aku mengeluh sebagaimana mereka. Kerananya wanita itu aku pukul dan aku marahi. Kemudian aku menghadap Rasulullah, maka baginda mempersalahkan aku. Aku berkata: Wahai Rasulullah, adakah aku harus memerdekakannya!" Jawab Rasullullah: Bawalah wanita itu ke sini. Maka Rasulullah bertanya kepada wanita itu. “Di mana Allah? Dijawabnya: Di langit. Rasullullah bertanya lagi: Siapa aku? Dijawabnya: Engkau Rasullullah. Maka baginda bersabda: Merdekakanlah wanita ini kerana dia adalah seorang mukminah". (H/R Muslim dan Abi Daud)

Begitu pula dengan hadits pertanyaan Rosululloh kepada budak perempuan yang telah disebutkan di atas. Imam Adz-Dzahabi berkata setelah membawakan hadits budak perempuan di atas, “Demikianlah pendapat kami bahwa setiap orang yang ditanyakan di manakah Allah, dia segera menjawab dengan fitrahnya, ‘Allah di atas langit!’ Dan di dalam hadits ini ada dua perkara yang penting; Pertama disyariatkannya pertanyaan, ‘Dimana Allah?’ Kedua, disyariatkannya jawaban yang ditanya, ‘Di atas langit’. Maka siapa yang mengingkari kedua perkara ini maka sesungguhnya dia mengingkari Al-Musthofa shollallohu ‘alaihi wa sallam“. (Mukhtashor Al-’Uluw)

Nabi saw bersabda :
أن النبي صلى الله عليه وسلم لما عن الآية (ثم دنى فتدلى فكان قاب قوسين أو أدنى) قال صلى الله عليه وسلم هو جبريل لأن الله موجود بلا مكان فلا يوصف بصفات الأجسام ولا بالمسافة بالمرة

Artinya :
"Sesungguhnya Nabi Shollallahu 'alaihi wa Sallam ketika di tanya tentang ayat (Tsumma dana fa tadalla fa kana qoba qowsaini aw adna) Bersabdalah Nabi, IA ADALAH JIBRIL KARENA SESUNGGUHNYA ALLAH DZAT YG WUJUD TANPA TEMPAT, MAKA TIDAK BOLEH DI SHIFATI DGN BEBERAPA SHIFATNYA JISIM DAN TIDAK DI SHIFATI DG JARAK JANGKAUAN.” HR Imam Bukhori dn Muslim dan Bayhaqi dalam kitab Asma wa al shifat /260.

Perhatikan hadis diatas,....Nabi saw mengatakan Allah adalah Dzat yang wujud tanpa tempat. Inilah yang dijadikan pegangan imam syafii dan golongan salaf untuk megatakan bahwa Allah adalah Dzat tanpa tempat.
Adakah ia ( perkataan Allah tidak bertempat ) bertentangan dengan sabda Nabi pada Hadis Mu’awiyah bin Hakam as-Sulami dimana Beliau mengatakan bahwa Allah dilangit?

Jawabannya tentu tidak, karena dua – duanya adalah sifat Allah yang harus kita pahami maknanya dan kita tetapkan ( Itsbath ) sebagaimana apa yang telah di tetapkan Allah dan rasulNya ttg sifat Allah serta beriman kepadanya tanpa mentakwilkannya dan mempertanyakannya “bagaimana," seperti golongan yang di dalam hatinya ada kecenderungan sesat dan membuat fitnah, dan mereka berusaha juga untuk mentakwilkannya. Sebagaimana firman Allah SWT :

Artinya :
Dia lah Yang menurunkan kepadamu (Wahai Muhammad) Kitab suci Al-Quran. sebahagian besar dari Al-Quran itu ialah ayat-ayat "Muhkamaat" (yang tetap, tegas dan nyata maknanya serta jelas maksudnya); ayat-ayat Muhkamaat itu ialah ibu (atau pokok) isi Al-Quran. Dan Yang lain lagi ialah ayat-ayat "Mutasyaabihaat" (yang samar-samar, tidak terang maksudnya). Oleh sebab itu (timbulah faham Yang berlainan menurut kandungan hati masing-masing) - Adapun orang-orang Yang ada Dalam hatinya kecenderungan ke arah kesesatan, maka mereka selalu menurut apa Yang samar-samar dari Al-Quran untuk mencari fitnah dan mencari-cari Takwilnya (memutarkan maksudnya menurut Yang disukainya). padahal tidak ada Yang mengetahui Takwilnya (tafsir maksudnya Yang sebenar) melainkan Allah. dan orang-orang Yang tetap teguh serta mendalam pengetahuannya Dalam ilmu-ilmu ugama, berkata:" Kami beriman kepadaNya, semuanya itu datangnya dari sisi Tuhan kami" dan tiadalah Yang mengambil pelajaran dan peringatan melainkan orang-orang Yang berfikiran. QS. Ali Imran : 7

Ini kaedah yang Allah dan RasulNya ajarkan kepada kita, ini yang di pahami golongan salaf, ini yang di pahami oleh para 4 imam mazhab. Dua sifat diatas akan nampak bertentangan jika kita mengkajinya dengan akal kita saja, tanpa merujuk pemahaman Nabi saw dan para sahabatnya. Seperti golongan asyaairah yang akhirnya terpaksa harus mentakwilkan Istawaa kepada Istaula, karena dilihat ketidakcocokan menurut akal mereka.

Imam asy-Syafi'i juga menulis Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar, beliau juga diantara ulama yang mengimani Bahwa Allah tidak bertempat yang merupakan sifat Allah tanpa takwil dan tanpa mempertanyakan “bagaimana”. Imam asy-Syafi’i berkata:

واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه الأكبر، ص13)


Artinya :
“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Para sahabat Nabi saw juga berpendirian sebagaimana apa yang di firmankan Allah dan apa yang disabdakan RasulNya di atas, seperti :

-Abdullah bin Abbas , pakar tafsir dari kalangan sahabat Nabi saw, Mujahid-murid beliau, Abul ‘Aliyah, dan Ishaq bin Rahawaih menafsirkan “Istawaa” pada surah al’Araf, ayat 54 : Allah berada di atas arsy dan tinggi. ( Bukari, kitab tauhid ). Inilah pendapat yang dipilih ulama tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya.

-Umar al-Khathab menyatakan bahawa:
“Bahawasanya segala urusan itu (datang) dari sana (sambil mengisyarat-kan tangannya ke langit).” (al-Imam az-Zhahabi di dalam kitab-nya menyatakan bahawa riwayat ini sahih.)

“Daripada Ibnu Abbas (ia berkata) bahawa Rasulullah s.a.w. berkhutbah kepada manusia pada hari Nahr (tanggal 10 Zulhijjah) kemudian Ibnu abbas menyebutkan khutbah Nabi s.a.w. kemudian beliau mengangkat (mendongakkan) kepalanya ke arah langit sambil mengucapkan: “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan! Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan!” (Riwayat Imam Bukhari, juz.2 halaman 191)

-Zainab binti jahsyi, berbangga terhadap para isteri Rasulullah saw lainnya dengan mengatakan , “ kalian dinikahkan dengan Rasulullah saw oleh keluarga kalian sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari atas langit yang ketujuh". HR Bukhari.

Dibawah ini dapat kita perhatikan beberapa pandangan para ulama :
"Sesiapa mengingkari sesungguhnya Allah berada di atas langit, maka sesungguhnya dia telah kafir. Adapun terhadap orang yang tawaqquf (diam) dengan mengatakan: Aku tidak tahu apakah Tuhanku di langit atau di bumi? Berkata al-Imam Abu Hanifah: Sesungguhnya dia telah kafir kerana Allah telah berfirman: Ar-Rahman di atas ‘Arasy al Istiwa" (Lihat: Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 137. Imam Az-Zahabi. Tahqiq al Albani)

"Allah berada di atas langit sedangkan ilmu-Nya di tiap-tiap tempat (di mana-mana), tidak tersembunyi sesuatupun daripada-Nya" (Lihat: Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 137. Imam Az-Zahabi. Tahqiq al Albani, Hlm. 140)
"Benar, Allah di atas Arasy-Nya dan tidak sesiapapun yang tersembunyi daripada pengetahuan-Nya" (Lihat: Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 137. Imam Az-Zahabi. Tahqiq al Albani, Hln. 188)

"Barangsiapa TIDAK menetapkan Allah Ta'ala di atas ‘Arasy-Nya dan Allah istiwa di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Tuhannya". (Lihat: Ma'rifah Ulum al-Hadis. Hlm. 84. Riwayat yang sahih, dikeluarkan oleh al-Hakim)
Berkata lagi Imam Ibnu Khuzaimah (dari kalangan ulama as-Syafieyah):
"Kami beriman dengan khabar dari Allah Jalla wa-'Ala sesungguhnya Pencipta kami Ia beristiwa (bersemayam) di atas ‘Arasy-Nya. Kami Tidak mengganti/mengubah kalam (firman) Allah dan kami tidak akan mengucapkan perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada kami sebagaimana (perbuatan kaum) yang menghilangkan sifat-sifat Allah seperti golongan Jahmiyah yang pernah berkata: Sesungguhnya Dia istawla (menguasai) ‘ArasyNya bukan istiwa (bersemayam). Maka mereka telah mengganti perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada mereka, ini menyerupai perbuatan Yahudi tatkala diperintah mengucapkan: Hithtatun (Ampunkanlah dosa-dosa kami), tetapi mereka mengucapkan (mengubah): Hinthah (makanlah gandum)! Mereka (kaum Yahudi) telah menyalahi perintah Allah Yang Maha Agung dan Maha Tinggi maka seperti itulah (perbuatan kaum) Jahmiyah". (Lihat: Kitabut Tauhid Fi Ithbatis Sifat. Hlm. 101. Oleh Ibnu Khuzaimah)

Beliau menjelaskan:
"Tidak boleh mensifatkan Allah bahawa Ia berada di tiap-tiap tempat. Bahkan (wajib) mengatakan: Sesungguhnya Allah di atas langit (yakni) di atas ‘Arasy sebagaimana Ia telah berfirman: Ar-Rahman di atas ‘Arasy, Ia beristiwa.(Surah Taha, 20:5) Dan wajiblah memutlakkan sifat istiwa tanpa takwil, sesungguhnya Allah istiwa dengan Zat-Nya di atas ‘Arasy. Keadaan-Nya di atas ‘Arasy disebut pada tiap-tiap kitab yang Ia turunkan kepada tiap-tiap Nabi yang Ia utus tanpa bertanya (para nabi yang diutus tidak bertanya): Bagaimana caranya (Allah istiwa di atas ‘ArasyNya)?" (Lihat: Fatawa Hamwiyah Kubra. Hlm. 84)

Imam Az-Zahabi, salah seorang ulama besar bermazhab Syafie:
“Sesiapa mengingkari bahawa Allah ‘Azza wa-Jalla di langit, maka dia seorang yang kafir”. (Lihat: مختصرالعلو للعلي الغفار oleh al-Hafiz Syamsuddin az-Zahabi. Hlm. 137).

Telah berkata Imam Malik Bin Annas:
“Allah berada di langit sedangkan ilmu-Nya di tiap-tiap tempat dan tidak tersembunyi sesuatupun dari-Nya.”
Telah berkata imam as-syafi’e:
“Dan Allah di atas ‘arsy-Nya di atas langit-Nya.”
Telah berkata Imam Ahmad:
“Benar! Allah di atas ‘arsy-Nya dan tidak sesuatupun yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya.”

Telah berkata imam at-Tirmidzi:
“Telah berkata ahli ilmu: Dan Ia (Allah) di atas ‘arsy sebagaimana Ia telah menetapkan diri-Nya.”
(Rujukan daripada Kitab al-‘Uluw, oleh Imam az-Zhahabi)

Telah berkata imam Ibnu Khuzaimah:
“Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah di atas ‘arsy-Nya Ia istiwa’ di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Tuhan-Nya (setelah hujah ditegakkan)... (Sahih, dikeluarkan oleh al-Hakim di dalam kitabnya Ma’rifah ‘ulumil-Hadits, halaman 84)

Telah berkata Sheikhul Islam imam Abdul Kadir Jailani:
“Tidak boleh mensifatkan-Nya bahawa Ia (Allah) berada di tiap-tiap tempat (Allah di mana-mana). Bahkan wajib mengatakan, “Sesungguhnya Ia di atas langit (iaitu) di atas ‘arsy-Nya sebagaimana Ia telah berfirman: “ar-Rahman di atas ‘arsy, Ia istawa’”, di dalam surah Thoha, ayat ke 5.” (Fatwa Hamawiyyah Kubra, halaman 87)

Berikut pula saya membawakan kata-kata ibnu Katheer di dalam tafseernya, yang mana mentafsirkan ayat “summas tawa ‘alal ‘arsy (ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ)” sebagai di bawah (petikan di bawah).

Berikut kita lihat kata-kata Al-Hafidz Ibnu Katsir Rahimahullah:
“Adapun firman-Nya:
“Kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy. (al-a’raaf: 54)
Orang-orang mempunyai berbagai pendapat dalam permasalahan ini dan sekarang bukanlah tempatnya untuk membahasnya secara luas, namun dalam perkara ini, kita menempuh mazhab para salafus-Soleh seperti imam Malik, al-Auza’i, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’ad, as-Syafi’e, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih dan lain-lain dari kalangan para imam kaum muslimin, baik yang dahulu mahupun yang sekarang, iaitu membiarkan sebagaimana datangnya tanpa takyif, tasybih dan ta’thil. Apa yang terbersit (tergambar) di dalam benak fikiran orang-orang Musyabbih (yang menyamakan sifat Allah dengan makhluk-Nya) tidak terdapat pada Dzat allah s.w.t., sebab Allah sedikitpun tidak sama dengan makhluk-Nya. Allah berfirman (maksudnya):

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dialah yang maha mendengar lagi Maha melihat.” (as-Syuura: 11)

Bahkan perkara ini sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang imam yang bernama Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru kepada imam al-Bukhari: “Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka dia telah kafir. Barangsiapa yang mengingkari apa yang telah disifatkan Allah terhadap Dzat-Nya, maka ia telah kafir. Apa yang Allah sebutkan tentang sifat-sifat-Nya dan yang Rasulullah s.a.w. sebutkan tentang sifat-sifat Allah tidak merupakan tasybih (penyerupaan Allah dengan Makhluk). Barangsiapa yang menetapkan untuk allah apa yang dengan jelas telah tercantum dalam ayat dan hadith-hadith sahih yang sesuai dengan kemulian Allah serta menafikan dari Dzat Allah semua sifat kekurangan, bererti ia telah menempuh jalan petunjuk.” (Tafseer al-‘Azim, Ibnu Kather)
Jelaslah bahawa, hakikat-nya para imam itu sendiri seperti ibnu Katheer, as-Syafi’e, imam Ahmad bin Hanbal, imam Malik, dan lain-lain adalah bersama para salaf dalam menyatakan bahawa Allah itu bersemayam di ‘arsy selaras dengan keagungan-Nya tanpa ta’wil dan ta’til.

Allah berfirman :
هَؤُلاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً لَوْلا يَأْتُونَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا

“maka tidak ada Yang lebih zalim dari orang-orang yang berdusta terhadap Allah.” (al-Kahfi: 15)

Imam Ibnul ‘Arabi , seorang ulama pakar bahasa arab ketika diminta oleh tokoh mu’tazilah, Ahmad bin abu duwad untuk mencari makna istawa yang artinya istaula ( menguasai ) dalam bahasa arab, maka beliau menjawab, “ demi Allah itu tidak ada, aku tidak menemukannya” ( dikeluarkan oleh khatib al-Baghdadi dalam tarikh baghdad, 5/283).

Pakar bahasa lainnya Imam khalil bin Ahmad ketika ditanya juga berkata,”makna Istaula tidak dikenal oleh orang arab dan tidak ada dalam bahasa mereka ( Majmu’ Fatawa 5/146 ), Ibnul Jauzi berkata ,”makna itu dalam bahasa arab adalah mungkar ( Zadul Masiir,3/213 ), Ibnu Abdil Barr berkata, “ Ucapan mereka yang mentakwil Istawa menjadi Istaula tidak sesuai, karena tidak didapati dalam bahasa arab ( At- Tamhid, 7/131 )

PERNYATAAN HAMBA ALLAH :

Al-Imaam Abul-Qaasim Al-Laalikaa’iy rahimahullah membawakan riwayat dengan sanadnya sampai pada Al-Imaam Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah sebagai berikut :

“Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Husain bin Ahmad bin Ibraahiim Ath-Thabariy, ia berkata : Aku mendengar Ahmad bin Yuusuf Asy-Syaalanjiy berkata : Aku mendengar Abu ‘Abdillah Al-Husain bin ‘Aliy Al-Qaththaan berkata : Aku mendengar ‘Aliy bin Al-Husain bin Al-Junaid berkata : Aku mendengar Ar-Rabii’ berkata : Aku mendengar Asy-Syaafi’iy berkata : ‘Barangsiapa yang berkata lafadhku dengan Al-Qur’an atau Al-Qur’an dengan lafadhku adalah makhluk, maka ia seorang Jahmiy (penganut paham Jahmiyyah)’.

Perkataan ini juga diriwayatkan dari Abu Zur’ah dan ‘Aliy bin Khasyram” [Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh Al-Laalika’iy, hal. 354 no. 599, tahqiq : Ahmad bin Mas’uud Al-Hamdaan; desertasi S3 Univ. Ummul-Qurraa].
‘Aliy bin Ahmad bin Yuusuf Al-Hakkaariy rahimahullah juga membawakan perkataan Al-Imaam Asy-Syafi’iy di atas dengan sanad Al-Laalika’iy sebagai berikut :

“Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Nashr Ahmad bin Al-Khidlr Al-Faariqiy dan Abul-Hasan ‘Aliy bin Al-Husain Al-‘Ukbariy, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Qaasim Hubatullah bin Al-Hasan bin Manshuur Al-Faqiih Ath-Thabariy Asy-Syaafi’iy rahimahullah : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Husain bin Ahmad Ath-Thabariy, ia berkata : Aku mendengar Ahmad bin Yuusuf Asy-Syaalanjiy berkata : Aku mendengar ‘Aliy bin Al-Husain bin Al-Junaid berkata : Aku mendengar Ar-Rabii’ bin Sulaimaan berkata : Aku mendengar Asy-Syaafi’iy radliyallaahu ‘anhu berkata : ‘Barangsiapa yang berkata lafadhku dengan Al-Qur’an atau Al-Qur’an dengan lafadhku adalah makhluk, maka ia seorang Jahmiy (penganut paham Jahmiyyah)” [I’tiqaad Asy-Syaafi’iy oleh Al-Hakkaariy, hal. 23, tahqiq : Al-Barraak].
Inilah ‘aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Selanjutnya, saya akan mengajak Pembaca budiman untuk membandingkan dengan perkataan Al-Baijuriy – seorang pembesar madzhab Asy’ariyyah – dalam kitab Hasyiyyah Al-Baijuriy ‘alaa Jauharit-Tauhiid dalam permasalahan yang sama. Ia berkata :


“Madzhab Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah menyatakan bahwa Al-Qur’an dengan makna al-kalaamun-nafsiy (yaitu : yang berasal dari diri Allah ta’ala) bukanlah makhluk. Adapun Al-Qur’aan dengan makna lafadh yang kita baca, maka ia adalah makhluk. Akan tetapi terlarang untuk dikatakan : Al-Qur’an adalah makhluk - yang dimaksudkan dengannya adalah lafadh yang kita baca, kecuali dalam konteks pengajaran. Karena, perkataan tersebut bisa disalahartikan bahwa Al-Qur’an dengan makna kalam-Nya ta’ala (al-kalaamun-nafsiy – Abul-Jauzaa’) adalah makhluk. Dengan alasan itulah para imam melarang terhadap perkataan Al-Qur’an adalah makhluk” [hal. 160].

“Kesimpulan (dari pembicaraan ini), bahwa setiap nash yang nampak dari Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan huduutsul-Qur’aan (maksudnya : kemakhlukan Al-Qur’an – Abul-Jauzaa’) dibawa pada pengertian lafadh yang terbaca, bukan pada al-kalaamun-nafsiy. Akan tetapi tetap terlarang untuk dikatakan : Al-Qur’an adalah makhluk, kecuali dalam konteks pengajaran sebagaimana yang telah lalu (penyebutannya)” [hal. 162].
Jika demikian, bukankah perkataan Al-Baijuriy di atas – yang ini banyak diikuti oleh kaum Asy’ariy dahulu maupun sekarang – dapat diklasifikasikan sebagai perkataan Jahmiyyah ?. Tentu saja dengan catatan bahwa kita menganggap ‘aqidah Al-Imaam Asy-Syaafi’iy merupakan representasi dari ‘aqidah Ahlus-Sunnah.
Kembali saya bawakan i’tiqaad Al-Imaam Asy-Syaafi’iy sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Imaam Al-Baihaqiy rahimahumallah :

وقد ذكر الشافعي رحمه الله ما دل على أن ما نتلوه في القرآن بألسنتنا ونسمعه بآذاننا ونكتبه في مصاحفنا يسمى كلام الله عز وجل وأن الله عز وجل كلم به عباده بأن أرسل به رسوله صلى الله عليه وسلم

“Dan telah disebutkan oleh Asy-Syafi’iy rahimahullah keterangan yang menunjukkannya bahwa apa yang kita baca di dalam Al-Qur’an dengan lisan-lisan kita, kita dengar melalui telinga-telinga kita, dan kita tulis di dalam mushhaf-mushhaf kita; semua itu dinamakan Kalamullah ‘azza wa jalla (bukan makhluk – Abul-Jauzaa’). Dan bahwa Allah ‘azza wa jalla telah berbicara dengannya kepada hamba-hamba-Nya melalui pengutusan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Al-I’tiqaad wal-Hidaayah ilaa Sabiilir-Rasyaad oleh Al-Baihaqiy, hal. 108, tahqiq : Ahmad bin ‘Ishaam Al-Kaatib, Daarul-Aafaaq, Cet. Thn. 1401, Beirut].
Semoga tulisan singkat ini dapat memberikan tambahan pengetahuan kita tentang apa dan bagaimana ‘aqidah Asy’ariyyah itu…..
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

KOMENTAR DAN JAWABAN SAIDAN :

Pertama : Al-Baijuriy – seorang pembesar madzhab Asy’ariyyah – dalam kitab Hasyiyyah Al-Baijuriy ‘alaa Jauharit-Tauhiid berkata :

“Madzhab Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah menyatakan bahwa Al-Qur’an dengan makna al-kalaamun-nafsiy (yaitu : yang berasal dari diri Allah ta’ala) bukanlah makhluk. Adapun Al-Qur’aan dengan makna lafadh yang kita baca, maka ia adalah makhluk. Akan tetapi terlarang untuk dikatakan : Al-Qur’an adalah makhluk - yang dimaksudkan dengannya adalah lafadh yang kita baca, kecuali dalam konteks pengajaran. Karena, perkataan tersebut bisa disalahartikan bahwa Al-Qur’an dengan makna kalam-Nya ta’ala (al-kalaamun-nafsiy – Abul-Jauzaa’) adalah makhluk. Dengan alasan itulah para imam melarang terhadap perkataan Al-Qur’an adalah makhluk” [hal. 160].

Pernyataan Al-Baijuriy diatas sangat bertentangan dengan pemahaman Ahlu sunnah wal jamaah, sebagai pengikut paham Nabi saw dan para sahabatnya. Jelas, Tidak ada contoh dari Nabi saw tentang pembahagian Qur an kepada makna lafdzi dan nafsi. Nabi saw tidak pernah mencontohkan bahwa Qur an dikatakan kalam Allah secara makna nafsi, adapun Qur an yang kita baca dengan lafadz kita adalah makhluk, kecuali jika tidak dalam konteks pengajaran maka disebut kalamullah juga. Para sahabat nabi saw juga tidak pernah mengucapkan istilah ini, tidak juga untuk 4 imam mazhab termasuk imam syafii sendiri.

Dari ungkapan Al-Baijuri di atas, jelas sekali bahwa pemahamannya sama dengan Jahmiyah jika didalam konteks pengajaran. Adakah kita harus mengatakan bahwa paham asyaairah sama dengan paham Jahmiyah jika dalam konteks pengajaran dan tidak sama jika tidak dalam konteks pengajaran?

Pemahaman asyaairah tidak bisa disamakan dengan paham Imam syafii. Jika itu dalam konteks menolak paham Jahmiyah, maka mungkin bisa kita katakan bahwa paham Asyaairah tidak sama dengan Jahmiyah jika tidak dalam konteks pengajaran. Jika didalam konteks pengajaran, maka tetap kita sebut pemahaman Asyaairah dan Jahmiyah adalah sama. Sebagaimana ungkapan As-Syafii :

Asy-Syaafi’iy radliyallaahu ‘anhu berkata : ‘Barangsiapa yang berkata lafadhku dengan Al-Qur’an atau Al-Qur’an dengan lafadhku adalah makhluk, maka ia seorang Jahmiy (penganut paham Jahmiyyah)” [I’tiqaad Asy-Syaafi’iy oleh Al-Hakkaariy, hal. 23, tahqiq : Al-Barraak].

Sebaliknya paham Imam Syafii adalah sebagaimana paham salaf, menetapkan sebagaimana yang telah ditetapkan Allah dan apa yagn disabdakan oleh NabiNya serta di pahami oleh para sahabatnya tanpa takwil,tasybih, tajsim,ta’til, tafwidh. Dibawah ini kami paparkan contoh ungkapan para Imam termasuk beliau :

Telah berkata Imam Malik Bin Annas:
“Allah berada di langit sedangkan ilmu-Nya di tiap-tiap tempat dan tidak tersembunyi sesuatupun dari-Nya.”

Telah berkata imam as-syafi’e:
“Dan Allah di atas ‘arsy-Nya di atas langit-Nya.”

Telah berkata Imam Ahmad:
“Benar! Allah di atas ‘arsy-Nya dan tidak sesuatupun yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya.”
Telah berkata imam at-Tirmidzi:
“Telah berkata ahli ilmu: Dan Ia (Allah) di atas ‘arsy sebagaimana Ia telah menetapkan diri-Nya.”

(Rujukan daripada Kitab al-‘Uluw, oleh Imam az-Zhahabi)

PERNYATAAN HAMBA ALLAH :

Waspadai Aqidah Sesat Wahabi

KOMENTAR DAN JAWABAN SAIDAN :

Aqidah dikatakan sesat jika ianya bertentangan dengan pegangan Nabi saw dan para sahabatnya. Sedangkan aqidah salafi ( yang selalu di sebut sebagai wahabi ) adalah tidak bertentangan dengan Sunnah Nabi saw dan para sahabatnya.

PERNYATAAN HAMBA ALLAH :

Adalah sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang memegang teguh akidah Asy’ariyyah bahwa mereka berada di dalam kebenaran.
Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ (المائدة: 54)

“Wahai sekalian orang beriman barang siapa di antara kalian murtad dari agamanya, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah, mereka adalah orang-orang yang lemah lembut kepada sesama orang mukmin dan sangat kuat -ditakuti- oleh orang-orang kafir. Mereka kaum yang berjihad dijalan Allah, dan mereka tidak takut terhadap cacian orang yang mencaci-maki”. QS. al-Ma’idah: 54

Dalam sebuah hadits Shahih diriwayatkan bahwa ketika turun ayat ini, Rasulullah memberitahukan sambil menepuk pundak sahabat Abu Musa al-Asy’ari, seraya bersabda: “Mereka (kaum tersebut) adalah kaum orang ini!”.
Dari hadits ini para ulama menyimpulkan bahwa kaum yang dipuji Allah dalam ayat di atas tidak lain adalah kaum Asy’ariyyah. Karena sahabat Abu Musa al-Asy’ari adalah moyang dari al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari.

KOMENTAR DAN JAWABAN SAIDAN :

Untuk mengomentari hadis yang disebutkan di atas, maka saya ingin memaparkan hadist tersebut secara lengkap, seperti dibawah ini:

حدثنا محمد بن المثنى قال ، حدثنا محمد بن جعفر قال ، حدثنا شعبة ، عن سماك بن حرب ، عن عياض الأشعري قال : لما نزلت هذه الآية ، " يا أيها الذين آمنوا من يرتد منكم عن دينه فسوف يأتي الله بقوم يحبهم ويحبونه " قال : أومأ رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى أبي موسى بشيء كان معه ، فقال : هم قوم هذا

Artinya :
"kami telah diberi hadist oleh muhammad bin al_mutsanna,ia berkata kami telah diberi hadist oleh muhammad bin ja'far, ia berkata kami telah d beri hadist oleh syu'bah dari simak bin harb dari 'iyadhz al_asy'ari ia berkata :
manakala turun ayat ini :"Hai orang2 yg beriman, barangsiapa di antara kamu yg murtad dr agama'a, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yg Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya".'iyadhz berkata : Rasulullah menunjuki kpd abi musa al_asy'ari dgn sesuatu yg ada besertanya,Rasulullah pun berkata : mereka adalah kaum org ini (abu musa al_asy'ari Radhi Allahu 'anhu)".

Ulasan :

1. Bedakan antara siapa itu Abu Musa Al-Asy’ari dan Abu Hasan Al-Asy’ari?

2. Abu Musa Al-Asy ari adalah seorang sahabat adapun Abu Hasan Al-Asy’ari adalah bukan sahabat Nabi saw , dia seorang ulama yang hidup pada abad 4 H. Memang betul bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari adalah keturunan dari sahabat Nabi saw Abu Musa Al-Asy’ari. Tetapi keturunan saja, itu bukan tolak ukur kebenarannya. Kalau keturunan dijadikan kebenaran, berarti menjadikan keturunan keluarga Nabi saw sebagai pegangan adalah lebih mulia dari pada keturunan siapa-siapa. Tetapi hari ini faktanya berapa banyak keturunan keluarga Rasulullah yang telah jauh dari ajaran Nabi saw. Kesimpulannya bahwa keturunan bukan hujah. Hujah adalah apa yang dibawa nabi saw dan para sahabatnya".

3. Didalam hadis di atas, Nabi saw menunjuk kemuliaan kepada Abu Musa Al-Asy’ari dan apa yang besertanya. Besertanya disini, maknanya apa yang dipahaminya dan apa yang diamalkannya (oleh abu musa al asy’ari ).

4. Adapun pemahaman asyaairah hari ini, tidak termasuk apa yang berserta Abu Musa Al-Asy’ari pada zamannya. Maknanya kemuliaan yang dimaksudkan nabi ada dua. Satu keturunan Abu Musa Al-Asy’ari, dan kedua apa apa yang dimilikinya dari suatu pemahaman dan amalan. Bukan hanya keturunan saja. Dari segi keturunan, itu ada pada Abu Hasan Asy’ari. Tetapi dari segi apa yang ada pada dia ( pemahaman dan amalan ), itu tidak ada. Sehinggalah saat ia kembali kepada paham salaf dengan kembali kepada paham Imam Ahmad bin Hambal, yaitu menolak takwil dan mengitsbathkan setiap ayat yang berkenaan dengan sifat Allah.

5. logika mudahnya adalah jika apa yang di pahami Asyaairah hari ini adalah benar, tentu ianya telah di contohkan Nabi saw dan para sahabatnya, termasuk Abu Musa Al-Asy’ari ra. Tetapi perkara itu tidak ada contoh sama sekali.

PERNYATAAN HAMBA ALLAH :

Bagaimana memahami Allah dilangit

KOMENTAR DAN JAWABAN SAIDAN :

DIMANAKAH ALLAH SWT ....?

Pembahasan ayat yang berkenaan dengan sifat Allah adalah pembahasan tentang tauhid. Didalam pembahasan ini kita wajib bersandar kepada :

Pertama, Niat yang ikhlas dalam pembahasan, maknanya kita benar-benar ingin mencari kebenaran bukan kemenangan dalam berdialog.

Kedua, Pemahaman tersebut wajib merujuk kepada Al-Quran dan Hadis mengikut pemahaman Rasulullah saw dan para sahabatNya. Sebagaimana firman Allah SWT :

Artinya : Dan sesiapa Yang menentang (ajaran) Rasulullah sesudah terang nyata kepadanya kebenaran pertunjuk (yang dibawanya), dan ia pula mengikut jalan Yang lain dari jalan orang-orang Yang beriman, Kami akan memberikannya Kuasa untuk melakukan (kesesatan) Yang dipilihnya, dan (pada hari akhirat kelak) Kami akan memasukkannya ke Dalam neraka jahanam; dan neraka jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.An-Nisa : 115

Firman Allah diatas di perkuat juga oleh sabda Rasulullah saw ;

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ )

Maksudnya : “ Sesungguhnya, orang yang hidup di antara kalian selepasku akan melihat banyak perselisihan yang timbul ; maka tetaplah kalian dengan sunnahku dan sunnah Khulafa al-Mahdiyyin al-Rashidiin, berpeganglah dengannya, dan gigitlah ia dengan geraham …“. [HR Abu Daud : 4607, al-Tirmidzi : no.2676]
Keharusan kita untuk berpegang kepada pemahaman Nabi saw dan para sahabatnya adalah perintah Allah dan RasulNya. Kaedah ini bukan rumusan ulama, ianya satu pegangan untuk hambaNya dan umat Nabi saw dalam memahami Qur an, untuk mengelakkan diri dari menggunakan akalfikiran sepenuhnya, fanatik kepada teori ulama yang berunsurkan falsafah.

BAGAIMANA MEMAHAMI BAHAWA ALLAH SWT DI LANGIT?

Diantara ucapan sunnah adalah mengatakan bahwa Allah dilangit( bukan Allah duduk dilangit, sebagaimana selalu disebutkan oleh golongan asyaairah sebagai tuduhan kepada pengikut salaf ), sebagaimana bertanya “dimanakah Allah” adalah sunnah juga. Perkara ini mungkin masih asing di setengah kalangan masyarakat. Jika seseorang ditanya “dimanakah Allah”, kecenderungan secara umum terkadang orang akan menjawab bahwa Allah didalam hati atau Allah berada dimana-mana.Terkadang ada juga yang marah jika ditanya dengan soal "dimanakah Allah."

Bagaimana kita memahami bahwa Allah memang dilangit atau bersemayam di atas arsyNya?

Didalam memahami sifat Allah ( Istawaa ) pada surah Thaha ayat diatas, kita akan dapati beberapa golongan yang berlainan pendapat, misalnya :

1. Golongan yang menta’tilkan sifat Allah SWT. Golongan ini adalah golongan yang bathil, karena mereka menafikan sifat Allah, paham seperti ini lebih cenderung kepada mengutamakan akal daripada nash, golongan ini di pegang oleh Mu’azilah. Pemahaman Mu’tazilah adalah batil karena paham mereka tidak merujuk kepada sunnah Nabi saw dan para sahabatnya.

2. Golongan Musyabbihah/ Mujassimah. Golongan ini adalah golongan yang batil, karena mereka menyerupakan sifat Allah dengan makhlukNya. Pemahaman Musyabbihah/ Mujassimah ini adalah batil karena paham mereka tidak merujuk kepada sunnah Nabi saw dan para sahabatnya.

3. Golongan yang menta’wilkan sifat Allah. Golongan ini adalah batil, karena mereka mencari-cari ta’wil sifat Allah. Sehingga mereka menta’wilkan sifat Allah “Istawaa” pada surah Thaha ayat diatas dengan “Istaula”. Paham ini dikenal dengan paham Asyaa’irah Kullabiyah, yang sangat bertentangan dengan paham Ahlu sunnah wal jama’ah dan generasi salaf ( 3 generasi dari kalangan para sahabat Nabi saw, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga hari kiamat ). Golongan ini adalah diantara golongan yang digambarkan oleh Allah didalam surah ali imran ayat 7, yaitu golongan dimana didalam hati mereka ada cenderung kesesatan untuk mencari-cari takwil ayat mutasyabihat serta menimbulkan fitnah dengannya, golongan ini adalah golongan yang tidak menyadari bahwa tidak ada sisiapa yang mampu mentakwilkan sifat Allah kecuali Allah sendiri.

4.Tafwidh ( penyerahan ) : Menurut ulama salaf, tafwidh hanya pada al-kaif ( hal dan keadaan ), tidak pada maknanya. Al Istiwa’ misalnya berarti al’uluw ( ketinggian ), yang tak seorangpun mengetahui bagaimana dan seberapa ketingian tersebut kecuali Allah. Adapun orang yang menganut paham tafwidh ( penyerahan ), maka menurut mufawwidhah ( orang yang menganut paham tafwidh ) adalah penyerahan dalam masalah keadaan dan makna secara bersamaan. Pendapat ini bertentangan dengan apa yang di terangkan oleh ulama salaf seperti Ummu Salamah ra, Rabi’ah guru besar Imam Malik dan Imam Malik sendiri. Mereka semua berpendapat bahwa “Istiwa’ ( bersemayam di atas ) itu jelas pengertiannya,bagaimana cara / keadaan itu tidak diketahui, iman kepadanya wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.

5. Golongan yang mengitsbatkan ( menetapkan ) sifat-sifat Allah. Golongan ini memahami setiap ayat yang berkenaan sifat Allah, seperti makna “Istawaa”. Golongan ini adalah golongan yang benar, mereka memahami setiap makna sifat Allah dan beriman serta berserah kepada Allah tentang bagaimana dan keadaan sifatNya.

Mereka beriman kepada nama-nama Allah s.w.t. dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang diterangkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya s.a.w., menurut apa yang layak bagi Allah s.w.t., tanpa ta’wil (adalah merubah makna dari maknanya yang Haq)dan ta’thil (adalah menghilangkan makna atau sifat Allah ), tanpa takyif(adalah mempersoalkan hakikat asma’ dan sifat Allah dengan bertanya “bagaimana”.), dan tamtsil/ tasybih/ tajsim (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), berdasarkan firman Allah s.w.t.:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tiada sesuatupun yang serupa dengan (ZatNya, sifat-sifatNya, dan pentadbiranNya) dan Dia lah yang Maha Mendengar, lagi Maha Melihat. (asy-Syura 42: 11).

Pemahaman yang mengitsbatkan sifat Allah adalah pemahaman yang merujuk kepada Qur an dan sunnah RasulNya, serta para sahabatnya, yang diikuti oleh generasi selanjutnya termasuklah 4 imam mazhab.

Golongan yang mengitsbatkan sifat-sifat Allah adalah golongan yang benar dalam memahami sifat–sifat Allah dengan merujuk kepada pemahaman generasi salaf. Walaupun golongan ahli bid’ah senantiasa melemparkan tuduhan dengan berbagai tuduhan, seperti ada yang menuduh mereka berpaham Hasyawiyah, Musyabbihah dan Mujassimah dll. Tiada maksud dari berbagai tuduhan tersebut kecuali mereka ( ahli id’ah ) ingin menjauhkan manusia dari pemahaman yang haq.

Diantara contoh gelar yang melemparkan kepada pengikut hadis dan atsar adalah Fakhruddin ar-Razi, dimana beliau melemparkan gelar terhadap ahli hadis bahwa mereka adalah “Hasyawiyah”, maka tidak samar lagi bahwa ini adalah termasuk gelar-gelar buruk yang biasanya dilontarkan oleh para ahli bid’ah dengan tujuan untuk melarikan manusia dari jalan yang benar.

Ucapan ar-Razi diatas dibantah dengan ucapan Imam Abu Hatim ar-Razi : Tanda-tanda ahli bid’ah adalah mencela ahli atsar (hadis). Dan tanda – tand ahli kaum Zindiq adalah menggelari ahli atsar dengan “Hasyawiyah”, dengan bertujuan untuk menggugurkan atsar ( Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, al-Lalika’i,1/204)
Dibantah juga oleh Imam ash-Shabuni yang berkata,” Tanda-tanda ahli bid’ah itu sangat nampak. Tanda-tanda mereka yang paling menyolok adalah permusuhan mereka yang sangat terhadap para pengemban hadis Nabi saw , pelecehan mereka dan gelar mereka terhadap ahli hadis dengan Hasyawiyah, jahalah, Zhahiriyah, dan Musyabbihah. (Aqidah salaf ashabul hadis, hal. 116 ).

Dibawah ini saya paparkan satu persatu pembahasan dan pendapat, beserta dalil-dalil tentang benarnya pemahaman golongan yang mengitsbatkan sifat-sifat Allah. Satu golongan yang benar dalam memahami sifat–sifat Allah dengan merujuk kepada pemahaman generasi salaf. Semoga dapat dipahami oleh orang-orang yang senantiasa menuduh bahwa pengikut salaf adalah Mujassimah dan Musyabbihah dan berbagai tuduhan tanpa mengetahui perkara sebenarnya. Dan semoga dapat diterima oleh orang-orang pencari kebenaran yang ikhlas semata-mata ingin memahamai Islam dan ta’at kepada Allah mengikut pemahaman RasulNya dan para sahabatnya.

1. Allah SWT berfirman :

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“Iaitu (Allah) Ar-Rahman, Yang bersemayam di atas Arasy.” (Thohaa: 5)

Kata “Istawaa” didalam surahThaha, ayat 5 diatas adalah sifat Allah. Ayat ini di katagorikan sebagai ayat mutasyabihat. Berkenaan dengan ayat mutasyabihat ini, maka kami mengajak saudara untuk menyemak tafsir surah ali imran ayat 7 yang diambil dari tafsir al azhar, Buya Hamka dibawah ini :
Allah berfirman yang artinya :

"Dia yang telah menurunkan kepada engkau sebuah Kitab, sebahagian daripadanya adalah ayat-ayat yang muhkam, yaitulah Ibu dari Kitab, dan yang lain adalah (ayat-ayat) yang mutasyabih. " (pangkal ayat 7).

Di sini dijelaskan bahwasanya ayat-ayat dalam al-Qur'an itu ada dua macam, pertama muhkam; kedua mutasyabih. Misalnya ayat-ayat yang mengenai hukum, memerintahkan sembahyang, membayar zakat, mengerjakan puasa dan naik haji dan sebagainya.

Demikian juga tentang pembahagian waris harta pusaka, muhkam sebab jelas diterangkan, misalnya laki-laki rnendapat dua kali sebanyak yang diterima oleh perempuan. Ayat-ayat yang muhkam disebut sebagai Ibu dari Kitab. Ibu Kitab artinya menjadi sumber hukum, yang tidak bisa diartikan lain lagi.
Tetapi ada lagi ayat yang mutasyabih. Arti yang asli dari kata mutasyabih ialah serupa-serupa, macam-macam, tidak tepat kepada suatu arti. Panjang lebar perbincangan ulama tentang maksud mutasyabih itu.

Kita ambil suatu misal, yaitu ayat-ayat yang mengenai penyendirian hubungan bercampur-gaul di antara suami dengan isteri. Tidak berjumpa satu ayatpun dalam al-Qur'an yang menerangkan hal bersetubuh dengan terang-terang. Yang ada hanyalah perkataan seumpama awlamastumun nisa' yang berarti: atau menyentuh kamu akan perempuan. Atau ma lam tamas suhunna yang berarti: selama belum kamu sentuh mereka. Atau rafatsu ila nisa-ikum yang asal arti kata rafats itu ialah bercakap "main-main" antara suami-isteri seketika akan seketiduran. Atau libasun artinya yang asli ialah pakaian.

Kata-kata yang demikian mengandung dua arti yaitu arti yang tersurat dan arti yang tersirat. Sebab itu tidak heran kalau ada ulama fiqh yang berfaham bahwa wudhu' baru batal kalau bersetubuh dan setengah ulama fiqh lagi berfaham wudhu telah batal karena bersentuhan saja.

Dimasukkan orang juga dalam ayat-ayat mutasyabih, huruf-huruf yang ada di pangkal surat seperti Alim-Lam-Mim, Alif-Lam-Ra , Ha- Mim , dan sebagainya itu. Karena dia mungkin hanya semata-mata huruf untuk permulaan surat, dan mungkin dia mengandung arti sendiri di belakang yang tertulis.

Tetapi yang lebih masyhur dimasukkan ke dalam ayat yang mutasyabih ialah membicarakan beberapa hal berkenaan dengan ketuhanan. seumpama ayat yang menerangkan bahwa Tuhan mempunyai tangan, atau Tuhan mempunyai banyak tangan, atau mempunyai dua tangan, atau Tuhan mempunyai banyak mata, atau Tuhan duduk bersemayam di atas 'Arsy.

Satu keterangan dari Imam as-Syaukani di dalam tafsir Fathul-Qadir tentang muhkam dan mutasyabih ini, yakni setelah beliau memperbincangkan pendapat ulama tentang ini, adalah menarik hati kita buat melengkapkan tafsir ini. Kata beliau, (kita simpulkan): Kalau kita renungkan, dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa seluruh ayat di dalam al-Qur'an itu adalah muhkam yaitu apabila kita meniliknya dari segi ayat-ayat yang lain. Di ayat lain Tuhan bersabda:

كِتابٌ أُحْكِمَتْ آياتُهُ

"Kitab yang telah dijelaskan ayat-ayatnya.' (Hud:1)
Dan sabda Tuhan lagi:

تِلْكَ آياتُ الْكِتابِ الْحَكيمِ

"Itulah ayat-ayat dari kitab yang Hakim " (Yunus: 1)
Yang dimaksud adalah kitab yang penuh dengan kebijaksanaan Kata Imam as-Syaukani selanjutnya: "Maksud muhkam di sini ialah benar ucapannya itu, jitu maknanya, penuh dengan balaghah fashahah, melebihi segala perkataan."

Dan ada pula ayat yang menerangkan bahwa seluruh ayat ayat al-Qur'an itu mutasyabih. Ada sabda Tuhan di ayat lain:

كِتاباً مُتَشابِهاً

"Kitab yang berserupa-serupaan !' (az-zumar 23)
Maksud mutasyabih dengan rnakna ini ialah bahwa ayat yang satu menyerupai ayat yang lain dalam kebenarannya, dalam kefasihannya, dalam keindahan dan dalam balaghahnya. Demikian kesan as-Syaukani.

Setengah ahli ilmu berkata bahwa terdapatnya ayat-ayat yang mutasyabih dalam al-Qur'an banyak pula faedahnya. Diantaranya ialah bahwa untuk mencapai arti dan maksudnya dan kebenaran yang terkandung di dalamnya, lebih sukar daripada ayat yang muhkam.

Dengan sebab yang demikian niscaya lebih besarlah pahala bagi orang-orang yang mujtahid, yang bersungguh-sungguh mengkajinya.
Mufassir az-Zamakhsyari dan ar-Razi setelah menguraikan beberapa pendapat tentang muhkam dan mutasyabih ini, akhirnya sampai kepada kesimpulan yang seperti ini. Yang maksudnya, adanya ayat yang mutasyabih bukanlah menutup pintu buat berfikir, tetapi menambah pahala bagi kesungguhan

فَأَمَّا الَّذينَ في‏ قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ ما تَشابَهَ مِنْهُ ابْتِغاءَ الْفِتْنَةِ وَ ابْتِغاءَ تَأْويلِهِ

"Adapun orang-orang yang didalam hatinya ada kesesatan, maka mereka cari-carilah yang mutasyabih daripadanya itu, karena hendak membuat fitnah dan karena hendak rnenta'wil."

Ayat ini menjelaskan bahwa ayat yang mutasyabih itu dapat dipergunakan oleh orang yang di dalam hatinya sudah ada bibit kesesatan untuk membuat fitnah. Atau untuk mencari penafsiran sendiri.
Ta'wil artinya ialah tafsir. Misalnya bertemu ayat bahwa Tuhan bersemayam di 'Arsy . lalu dibuatnya arti sendiri sehingga terbayanglah seakan-akan Allah itu seorang raja yang sedang duduk enak-enak di atas kursi singgasana mahligai. Atau Tuhan bertangan, dibuatnya ta'wil menurut seenaknya sendiri. sehingga melanggar hak Tuhan.

Maksudnya salah satu dari dua pertama karena membuat fitnah, membuat onar, sehingga i'tikad orang jadi rusak. Kedua hendak menunjukkan bahwa maksud itu timbul dari hati yang sesat dan jahat.

وَ ما يَعْلَمُ تَأْويلَهُ إِلاَّ اللهُ

"Padahal tidaklah mengetahui akan ta 'wilnya itu, melainkan Allah."
Oleh sebab itu maka ta'wil yang sah dari ayat Allah hanyalah ta'wil yang datang dari Allah sendiri. Adapun segala ta'wil yang timbul dari hati yang sesat, pasti tidak benar. Dengan ini bukanlah berarti bahwa semua orang dilarang menta'wilkan ayat yang mutasyabih. Dia boleh dita'wilkan asal menurut tuntunan Tuhan. Itulah sebabnya maka lanjutan ayat berbunyi:

وَ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنا

"Dan orang-orang yang telah mendalam padanya ilmu, berkata mereka. Kami percaya kepadanya, semuanya itu adalah dari sisi Tuhan kami."
Artinya bahwa ayat-ayat yang mutasyabih itu diterimanya dalam keseluruhan, dan tidak dia mencari ta'wil yang timbul dari hati tersesat; melainkan dengan hati tunduk kepada Allah. Dan selalu ia memohon kepada Tuhan agar Tuhan menambah lagi ilmunya.

" Ya Tuhanku! Tambahkan untukku ilmu."

Ar-Rasikhuna fil-ilmi , orang yang telah rasikh ilmunya, artinya telah dalarn, telah berurat, telah dianugerahi Tuhan segala kunci-kunci ilmu. Maka menurut kebiasaannya, apabila orang yang telah amat mendalam ilmunya mengakuilah dia akan kekurangannya.

Sebagaimana Imam Syafi'i yang termasuk barisan orang rasikh, pernah berkata:

" Tiap-tiap Tuhan menambah ilmuku, bertambahlah aku faham akan kejahilanku."

Oleh sebab itu maka pada pokoknya Tuhan Allah sendiri yang tahu akan ta'wil ayat-ayatNya , Tuhan pun bisa memberikan ilmu ta'wil itu kepada barang siapa yang Dia kehendaki dari hambaNya. Nabi kita saw pernah memohonkan kepada Tuhan Allah, agar Ibnu Abbas diberi ilmu:

" Ya Tuhan! Berilah dia faham tentang agama dan ajarlah kiranya dia menta'wilkan."
Itu pula sebabnya maka ulama-ulama dan penganut Madzhab Salaf tidak mau mencari ta'wil atau tafsir dari ayat-ayat yang mengenai sifat Tuhan tadi. Misalnya tentang Allah bertangan, Allah mempunyai banyak mata, Allah bersemayam di `Arsy. Ketika Imam Malik ditanyai orang tentang tafsir ayat Tuhan bersemayam di `Arsy itu,

beliau berkata:
"Arti `Arsy kita tahu , arti bersemayam kita faham, tetapi bagaimana caranya Tuhan bersemayam itu tidaklah dapat kita ketahui. Sedang menanyakan hal yang demikian adalah haram."

2. Pemahaman tentang adanya Allah dilangit dalam surah Thaha ayat 5 diperkuat oleh keterangan Rasulullah saw didalam hadis Mu’awiyah Ibn hakam as-Sulamy saat dia bertanya kepada budak perempuan dengan soalan dimanakan Allah SWT ?Lantas budak tersebut menjawab bahwa Allah di langit. Rasulullah mendiamkan jawaban itu, diamnya nabi saw berarti bersetuju dengan jawaban itu. Pemahaman ini juga yang dipegang oleh Nabi saw dan para sahabat ya , dimana mereka adalah orang arab yang sangat memahami bahasa arab, tidak ada dalam sejarah mereka memahami kata ‘istawa’ dengan makna ‘istaula’, sehingga mengatakan bahawa Allah berada dimana-mana, sebagaimana pemahaman sebahagian masyarakat hari ini.

Adapun hadis tersebut adalah :

sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Tidakkah kalian percaya padaku sedangkan aku adalah kepercayaan Yang berada di atas langit. Datang kepadaku wahyu dari langit di waktu pagi dan petang.” (HR.Bukhori-Muslim).

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Rahman, sayangilah siapa saja yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh Yang berada di atas langit.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Imam Al-Albani).

قَالَ مُعَاوِيَةُ بْنُ حَكَمُ السُّلَمِي : وَكَانَتْ لِيْ جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ اُحُدٍ وَالْجُوَانِيَةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ فَاِذَا بَالذِّئْبِ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا وَاَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ آدَمَ اَسَفَ كَمَا يَاْسِفُوْنَ . لَكِنَّيْ صَكَكْتُهَا صَكَّةً فَاَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ . قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ اَفَلاَ اَعْتِقُهَا ؟ قَالَ : اِئْتِنِيْ بِهَا . فَقَالَ لَهَا : اَيْنَ اللهُ ؟ قَالَتْ : فِى السَّمَاءِ . قَالَ : مَنْ اَنَا ؟ قَالَتْ : اَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ . قَالَ : اَعْتِقُهَا فِاِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ.

"Berkata Muawiyah bin Hakam as-Sulami: Aku memiliki seorang hamba wanita yang mengembalakan kambing di sekitar pergunungan Uhud dan Juwainiyah. Pada suatu hari aku melihat seekor serigala menerkam dan membawa lari seekor kambing gembalaannya. Sedang aku termasuk seorang anak Adam kebanyakan. Maka aku mengeluh sebagaimana mereka. Kerananya wanita itu aku pukul dan aku marahi. Kemudian aku menghadap Rasulullah, maka baginda mempersalahkan aku. Aku berkata: Wahai Rasulullah, adakah aku harus memerdekakannya!" Jawab Rasullullah: Bawalah wanita itu ke sini. Maka Rasulullah bertanya kepada wanita itu. “Di mana Allah? Dijawabnya: Di langit. Rasullullah bertanya lagi: Siapa aku? Dijawabnya: Engkau Rasullullah. Maka baginda bersabda: Merdekakanlah wanita ini kerana dia adalah seorang mukminah". (H/R Muslim dan Abi Daud)

-sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Tidakkah kalian percaya padaku sedangkan aku adalah kepercayaan Yang berada di atas langit. Datang kepadaku wahyu dari langit di waktu pagi dan petang.” (HR. Bukhori-Muslim).

-Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Rahman, sayangilah siapa saja yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh Yang berada di atas langit.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Imam Al-Albani).

Para sahabat Nabi saw juga berpendirian sebagaimana apa yang di firmankan Allah dan apa yang disabdakan RasulNya di atas, seperti :

-Abdullah bin Abbas , pakar tafsir dari kalangan sahabat Nabi saw, Mujahid-murid beliau, Abul ‘Aliyah, dan Ishaq bin Rahawaih menafsirkan “Istawaa” pada surah al’Araf, ayat 54 : Allah berada di atas arsy dan tinggi. ( Bukari, kitab tauhid ). Inilah pendapat yang dipilih ulama tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya.

-Umar al-Khathab menyatakan bahawa:

“Bahawasanya segala urusan itu (datang) dari sana (sambil mengisyarat-kan tangannya ke langit).” (al-Imam az-Zhahabi di dalam kitab-nya menyatakan bahawa riwayat ini sahih.)

-“Daripada Ibnu Abbas (ia berkata) bahawa Rasulullah s.a.w. berkhutbah kepada manusia pada hari Nahr (tanggal 10 Zulhijjah) kemudian Ibnu abbas menyebutkan khutbah Nabi s.a.w. kemudian beliau mengangkat (mendongakkan) kepalanya ke arah langit sambil mengucapkan: “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan! Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan!” (Riwayat Imam Bukhari, juz.2 halaman 191)

-Zainab binti jahsyi, berbangga terhadap para isteri Rasulullah saw lainnya dengan mengatakan , “ kalian dinikahkan dengan Rasulullah saw oleh keluarga kalian sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari atas langit yang ketujuh". HR Bukhari.

Begitu banyak dalil-dalil al-Qur’an yang lain yang mana begitu jelas yang menunjukkan bahawa Allah itu bersemayam di ‘arsy di langit. Tidak harus wujud penamaan sifat yang lain dengan nama yang lain bagi menggantikan kalimah ‘istawa,’ yang mana telah ditetapkan oleh Allah s.w.t. sendiri kepada diriNya. Siapa kita yang mahu menukarkan makna kalimah ‘istawa’ (bersemayam) kepada istawla’ (berkuasa)? Sehingga mengatakan bahawa Allah SWT berada dimana-mana. Adakah kita orang yang layak, sedangkan kita tidak langsung mengetahui. Adakah akal kita telah benar-benar bijak sehingga mampu menukar ketetapan yang telah ditetapkan oleh Allah s.w.t. sendiri ke atas diri-Nya?

Allah berfirman :

هَؤُلاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً لَوْلا يَأْتُونَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا

“Maka tidak ada Yang lebih zalim dari orang-orang Yang berdusta terhadap Allah.” (al-Kahfi: 15)

Terdapat banyak ayat, di mana Allah menyatakan dan menetapkan yang Dirinya itu bersemayam di ‘arsy dengan menggunakan kalimah istawa’ ‘alal ‘arsy (ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ). Dan andainya Allah mahu menamakannya dengan nisbahan yang lain, tentu Allah sudah menunjukkannya dengan jelas. Adalah kesilapan yang disengajakan yang paling besar andainya ada di antara mereka (manusia) menukar-nukar kalimah al-Qur’an yang telah sedia ditetapkan oleh Allah dengan kalimah-kalimah yang lain menurut akal, prasangka, dan hawa nafsu. Maha Suci Allah dari semua itu.

Berikut kami sampaikan perkataan Sheikh Soleh Abdullah Fauzan di dalam Kitab Tahid-nya (maksudnya) dalam menafsirkan ayat yang berkenaan dengan istawa’ ‘alal ‘arsy (ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ) :

Bahawa wajib - Menetapkan nama-nama (asma’) untuk Allah s.w.t. seperti mana Allah menetapkannya, dan maka siapa yang menafikannya bererti ia telah menafikan apa yang telah ditetapkan Allah dan juga bererti dia telah menentang Allah s.w.t.

Bahawasanya Allah s.w.t. mengancam orang-orang yang ilhad (menyelewengkan) dalam asma’-Nya dan Dia akan membalas perbuatan mereka yang buruk itu.

Berkata Sheikh Soleh Abdullah Fauzan seterusnya; dalam tujuh ayat di dalam Qur’an ini (7:54, 12:3, 13:2, 20:5, 25:59, 32:4, 57:4) lafaz istawa’ datang dalam bentuk dan lafaz yang sama. Maka hal ini menyatakan bahawa yang dimaksudkan adalah maknanya yang hakiki yang tidak menerima ta’wil, iaitu ketinggian dan keluhuran-Nya di atas ‘arsy.

‘Arsy menurut bahasa Arab adalah singgahsana untuk raja. Sedangkan yang dimaksudkan dengan ‘Arsy di sini adalah singgahsana yang mempunyai beberapa kaki yang dipikul oleh malaikat, ia merupakan atap bagi semua makhluk (rujuk al-Mu’min ayat 7 dan al-Haqqah ayat 17). Sedangkan bersemayamnya Allah di atasnya (‘arsy) adalah yang sesuai dengan keagungan-Nya. Kita tidak mengetahui kaifiyah (cara-nya), sebagaimana kaifiyah sifat-sifat-Nya yang lain. Akan tetapi kita hanya menetapkannya sesuai dengan apa yang kita fahami dari maknanya dalam bahasa Arab, sebagaimana sifat-sifat lainnya, kerana memang al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab.

Saat membincangkan adakah Allah bertempat, karena kita mengatakan bahwa Allah dilangit? Jawabannya tentu Allah adalah Dzat tanpa tempat.Sebagaimana meujuk kepada sabda Nabi saw :

أن النبي صلى الله عليه وسلم لما عن الآية (ثم دنى فتدلى فكان قاب قوسين أو أدنى) قال صلى الله عليه وسلم هو جبريل لأن الله موجود بلا مكان فلا يوصف بصفات الأجسام ولا بالمسافة بالمرة

Diriwayatkan Imam Bukhori dan Muslim dn Bayhaqi dalam kitab Asma wa al shifat 260

Artinya : "Sesungguhnya Nabi Shollallahu 'alaihi wa Sallam ketika di tanya tentang ayat (Tsumma dana fa tadalla fa kana qoba qowsaini aw adna) Bersabdalah Nabi, IA ADALAH JIBRIL KARENA SESUNGGUHNYA ALLAH DZAT YG WUJUD TANPA TEMPAT, MAKA TIDAK BOLEH DI SHIFATI DG BEBERAPA SHIFATNYA JISIM DAN TIDAK DI SHIFATI DG JARAK JANGKAUAN"

Perhatikan hadis diatas,....Nabi saw mengatakan Allah adalah Dzat yang wujud tanpa tempat. Inilah yang dijadikan pegangan imam syafii dan golongan salaf untuk mengatakan bahwa Allah adalah Dzat tanpa tempat.

Adakah ia ( perkataan Allah tidak bertempat ) bertentangan dengan sabda Nabi pada Hadis yang lain dimana Beliau mengatakan bahwa Allah dilangit?

Jawannya tidak, karena dua – duanya adalah sifat Allah yang harus kita pahami maknanya dan beriman kepadaNya daripada mentakwilkannya. Ini kaedah yang Allah dan RasulNya ajarkan kepada kita, ini yang di pahami golongan salaf, ini yang di pahami oleh para 4 imam mazhab ( yang sebagian pengikutnya mengikut paham asyaairah ).

Dua sifat diatas akan nampak bertentangan jika kita mengkajinya dengan akal kita saja, tanpa merujuk metode Nabi saw dan para sahabatnya, seperti golongan asyaairah yang akhirnya terpaksa harus mentakwilkan Istawaa kepada Istaula, karena dilihat ketidakcocokan menurut akal mereka.

Manakala yang berikut pula adalah dalil-dalil dari Al-Quran yang mengukuhkan lagi kenyataan yang Allah itu di langit :

1. Pusat Pemerintahan Allah juga di Langit (Mentadbir Dari Langit)

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ

“Patutkah kamu merasa aman (tidak takut) kepada Tuhan yang pusat pemerintahan-Nya di langit itu: menunggang-balikkan bumi menimbus kamu, lalu bergegarlah bumi itu Dengan serta-merta (melenyapkan kamu di bawahnya)?” (al-Mulk: 16)

Allah berfirman :

يُدَبِّرُ الأمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الأرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ

“Allah mentadbirkan segala urusan dari langit ke bumi; Kemudian urusan itu naik kepada-Nya...” (as-Sajdah: 5)

2. Manakala berikut, menunjukkan naik-nya amalan

Amalan-amalan yang baik itu akan naik kepada Allah. Apabila istilah naik digunakan, bermakna kedudukannya mestilah menghala ke atas. Ke atas adalah dimaksudkan menuju ke tempat yang tinggi, iaitu langit.

Allah berfirman :

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ وَالَّذِينَ يَمْكُرُونَ السَّيِّئَاتِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَكْرُ أُولَئِكَ هُوَ يَبُورُ

“Kepada Allah-lah naiknya Segala perkataan Yang baik (yang menegaskan iman dan Tauhid, untuk dimasukkan ke Dalam kira-kira balasan), dan amal Yang soleh pula di angkatnya naik (sebagai amal Yang makbul - Yang memberi kemuliaan kepada Yang melakukannya).” (al-Fatheer: 10)

3. Manakala berikut, dalil menunjukkan bahawa Jibril itu naik menghadap Tuhanya-Nya

تَعْرُجُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Rabb.” (al-Ma’arij: 4)


4. Begitu juga dalil yang berikut ini, iaitu di mana Fir’aun memperolok-olokkan kenyataan nabi Musa a.s.:
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الأسْبَابَ, أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لأظُنُّهُ كَاذِبًا وَكَذَلِكَ زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَصُدَّ عَنِ السَّبِيلِ وَمَا كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلا فِي تَبَابٍ

“Dan Firaun pula berkata: "Hai Haman! binalah untukku sebuah bangunan Yang tinggi, semoga Aku sampai ke jalan-jalan (yang Aku hendak menujunya) "(Iaitu) ke pintu-pintu langit, supaya Aku dapat melihat Tuhan Musa; dan Sesungguhnya Aku percaya Musa itu seorang pendusta!" Demikianlah diperhiaskan (oleh Syaitan) kepada Firaun akan perbuatannya Yang buruk itu untuk dipandang baik, serta ia dihalangi dari jalan Yang benar; dan tipu daya Firaun itu tidak membawanya melainkan ke Dalam kerugian dan kebinasaan. (al-Mu’min: 36-37)

Maka, barangsiapa mengatakan Allah itu tidak di langit atau memepermainkan (mendustakan) pernyataan yang menunjukkan Allah itu di langit, maka dia menyerupai Fir’aun yang mempermainkan kata-kata Musa a.s..

5. Allah Mengangkat (Menunjukkan Naik Ke Atas) Isa Ke Sisi-Nya

إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَجَاعِلُ الَّذِينَ اتَّبَعُوكَ فَوْقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأَحْكُمُ بَيْنَكُمْ فِيمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

(ingatlah) ketika Allah berfirman: "Wahai Isa! Sesungguhnya Aku akan mengambilmu dengan sempurna, dan akan mengangkatmu ke sisiKu…” (Ali Imran: 55)

Allah berfirman :

بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

“Bahkan Allah telah mengangkat Nabi Isa kepadanya; dan adalah Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana.” (an-Nisa’: 158)

6. Kedudukan Allah Yang Di Atas

يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka). (an-Nahl: 50)

7. Perihal Penurunan al-Qur’an (Dari Langit)
وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ (١٩٢)نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ (١٩٣)عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ (١٩٤)بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ)

“Dan Sesungguhnya Al-Quran (yang di antara isinya kisah-kisah Yang tersebut) adalah diturunkan oleh Allah Tuhan sekalian alam. ia dibawa turun oleh malaikat Jibril Yang amanah. ke Dalam hatimu, supaya Engkau (Wahai Muhammad) menjadi seorang dari pemberi-pemberi ajaran dan amaran (kepada umat manusia). (ia diturunkan) Dengan bahasa Arab Yang fasih serta terang nyata. (as-Syu’ara: 192-195)

Allah berfirman :

تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ

“Turunnya Kitab Al-Quran ini dari Allah, Yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana.” (az-Zumar: 1)

8. Berita-Berita Langit
وَأَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيدًا وَشُهُبًا (٨)وَأَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ فَمَنْ يَسْتَمِعِ الآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَصَدًا

“Dan Bahawa Sesungguhnya Kami telah berusaha mencari berita langit, lalu Kami dapati langit itu penuh Dengan pengawal-pengawal Yang sangat kuat kawalannya, dan (dengan rejaman-rejaman) api Yang menyala. Padahal Sesungguhnya Kami dahulu biasa menduduki tempat-tempat (perhentian) di langit untuk mendengar (percakapan penduduknya – para malaikat); maka sekarang sesiapa Yang cuba Mendengar, akan mendapati api Yang menyala Yang menunggu merejamnya.” (al-Jin: 8-9)

Dan sekian banyak lagi dalil-dalil al-Qur’an yang jelas menunjukkan Allah itu di langit di ‘arsy-Nya. Begitu juga dengan perihal kisah nabi isra’ dan mikraj, di mana nabi menuju ke langit.

Adapun Dalil daripada atsar (sahabat Rasulullah s.a.w.) adalah :

1. Umar al-Khathab menyatakan bahawa:

“Bahawasanya segala urusan itu (datang) dari sana (sambil mengisyarat-kan tangannya ke langit).” (al-Imam az-Zhahabi di dalam kitab-nya menyatakan bahawa riwayat ini sahih)

2. Riwayat daripada Ibnu abbas pula (maksudnya);

“Daripada Ibnu Abbas (ia berkata) bahawa Rasulullah s.a.w. berkhutbah kepada manusia pada hari Nahr (tanggal 10 Zulhijjah) kemudian Ibnu abbas menyebutkan khutbah Nabi s.a.w. kemudian beliau mengangkat (mendongakkan) kepalanya ke arah langit sambil mengucapkan: “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan! Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan!” (Riwayat Imam Bukhari, juz.2 halaman 191)

Diantara keterangan para ulamak tentang ‘Allah SWT dilangit’ adalah :

1.Hujah Para imam Ahlus Sunnah wa-al-Jama’ah (dan para Tabi’ Tabi’ien):

Telah berkata Imam abu Hanifah:

“Barangsiapa yang mengingkari sesungguhnya Allah berada di atas langit, maka sesungguhnya dia telah kafir.”

2. Telah berkata Imam Malik Bin Annas:

“Allah berada di langit sedangkan ilmu-Nya di tiap-tiap tempat dan tidak tersembunyi sesuatupun dari-Nya.”

3. Telah berkata imam as-syafi’e:

“Dan Allah di atas ‘arsy-Nya di atas langit-Nya.”

4. Telah berkata Imam Ahmad:

“Benar! Allah di atas ‘arsy-Nya dan tidak sesuatupun yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya.”

5. Telah berkata imam at-Tirmidzi:

“Telah berkata ahli ilmu: Dan Ia (Allah) di atas ‘arsy sebagaimana Ia telah menetapkan diri-Nya.”

(Rujukan daripada Kitab al-‘Uluw, oleh Imam az-Zhahabi)

6. Telah berkata imam Ibnu Khuzaimah:

“Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah di atas ‘arsy-Nya Ia istiwa’ di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Tuhan-Nya (setelah hujah ditegakkan)... (Sahih, dikeluarkan oleh al-Hakim di dalam kitabnya Ma’rifah ‘ulumil-Hadits, halaman 84)

7. Telah berkata Sheikhul Islam imam Abdul Kadir Jailani:

“Tidak boleh mensifatkan-Nya bahawa Ia (Allah) berada di tiap-tiap tempat (Allah di mana-mana). Bahkan wajib mengatakan, “Sesungguhnya Ia di atas langit (iaitu) di atas ‘arsy-Nya sebagaimana Ia telah berfirman: “ar-Rahman di atas ‘arsy, Ia istawa’”, di dalam surah Thoha, ayat ke 5.” (Fatwa Hamawiyyah Kubra, halaman 87)

8. Berikut pula saya membawakan kata-kata ibnu Katheer di dalam tafseernya, yang mana mentafsirkan ayat “summas tawa ‘alal ‘arsy (ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ)” sebagai di bawah (petikan di bawah).

"Sesiapa mengingkari sesungguhnya Allah berada di atas langit, maka sesungguhnya dia telah kafir. Adapun terhadap orang yang tawaqquf (diam) dengan mengatakan: Aku tidak tahu apakah Tuhanku di langit atau di bumi? Berkata al-Imam Abu Hanifah: Sesungguhnya dia telah kafir kerana Allah telah berfirman: Ar-Rahman di atas ‘Arasy al Istiwa" (Lihat: Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 137. Imam Az-Zahabi. Tahqiq al Albani)

"Allah berada di atas langit sedangkan ilmu-Nya di tiap-tiap tempat (di mana-mana), tidak tersembunyi sesuatupun daripada-Nya" (Lihat: Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 137. Imam Az-Zahabi. Tahqiq al Albani, Hlm. 140)

"Benar, Allah di atas Arasy-Nya dan tidak sesiapapun yang tersembunyi daripada pengetahuan-Nya" (Lihat: Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 137. Imam Az-Zahabi. Tahqiq al Albani, Hln. 188)

"Barangsiapa TIDAK menetapkan Allah Ta'ala di atas ‘Arasy-Nya dan Allah istiwa di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Tuhannya". (Lihat: Ma'rifah Ulum al-Hadis. Hlm. 84. Riwayat yang sahih, dikeluarkan oleh al-Hakim)

Berkata lagi Imam Ibnu Khuzaimah (dari kalangan ulama as-Syafieyah):

"Kami beriman dengan khabar dari Allah Jalla wa-'Ala sesungguhnya Pencipta kami Ia beristiwa (bersemayam) di atas ‘Arasy-Nya. Kami Tidak mengganti/mengubah kalam (firman) Allah dan kami tidak akan mengucapkan perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada kami sebagaimana (perbuatan kaum) yang menghilangkan sifat-sifat Allah seperti golongan Jahmiyah yang pernah berkata: Sesungguhnya Dia istawla (menguasai) ‘ArasyNya bukan istiwa (bersemayam). Maka mereka telah mengganti perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada mereka, ini menyerupai perbuatan Yahudi tatkala diperintah mengucapkan: Hithtatun (Ampunkanlah dosa-dosa kami), tetapi mereka mengucapkan (mengubah): Hinthah (makanlah gandum)! Mereka (kaum Yahudi) telah menyalahi perintah Allah Yang Maha Agung dan Maha Tinggi maka seperti itulah (perbuatan kaum) Jahmiyah". (Lihat: Kitabut Tauhid Fi Ithbatis Sifat. Hlm. 101. Oleh Ibnu Khuzaimah)

Beliau menjelaskan:

"Tidak boleh mensifatkan Allah bahawa Ia berada di tiap-tiap tempat. Bahkan (wajib) mengatakan: Sesungguhnya Allah di atas langit (yakni) di atas ‘Arasy sebagaimana Ia telah berfirman: Ar-Rahman di atas ‘Arasy, Ia beristiwa.(Surah Taha, 20:5) Dan wajiblah memutlakkan sifat istiwa tanpa takwil, sesungguhnya Allah istiwa dengan Zat-Nya di atas ‘Arasy. Keadaan-Nya di atas ‘Arasy disebut pada tiap-tiap kitab yang Ia turunkan kepada tiap-tiap Nabi yang Ia utus tanpa bertanya (para nabi yang diutus tidak bertanya): Bagaimana caranya (Allah istiwa di atas ‘ArasyNya)?" (Lihat: Fatawa Hamwiyah Kubra. Hlm. 84)

Imam Az-Zahabi, salah seorang ulama besar bermazhab Syafie:

“Sesiapa mengingkari bahawa Allah ‘Azza wa-Jalla di langit, maka dia seorang yang kafir”. (Lihat: مختصرالعلو للعلي الغفار oleh al-Hafiz Syamsuddin az-Zahabi. Hlm. 137).

Adapun fatwa kafir, yang ditujukan oleh para ulama diatas adalah bukan untuk semua pengikut asyaairah secara keseluruhan. Fatwa kafir diatas ditujukan kepada sesiapa dari golongan asyaairah ( sebagai contoh ) yang mengetahui kebenaran ( pendapat wajibnya untuk mengitsbatkan sifat-sifat Allah ), tetapi mereka mengingkarinya. Adapun untuk pengikut-pengikut asyaairah yang awam, yang tidak tahu apa-apa dalam pembahasan ini, maka mereka tidak kafir. Mereka tetap ahlu sunnah wal jamaah dengan akidah fitrahnya, akidah ahlu sunnah wal jama’ah. Perkara ini penting saya sampaikan karena banyak pendakwah dan pelajar yang salah paham dalam hal ini. Diantara orang yang tidak mengetahui terkadang menuduh pengikut salaf mengkafirkan para ulama tertentu, bahkan dengan beraninya mereka menuduh bahwa pengikut salaf mengkafirkan 4 imam mamazhab, padahal 4 imam mazhab tidak berakidah asyaairah sebagaimana apa yang mereka pegang dan yakini. Siapakah mereka yang kafir tersebut? Hanya Allah yang tahu, para ulama ahlu sunnah wal jama'ah memfatwakan secara umum berdasarkan pada pendapat dan amalan seseorang, tetapi tidak mengkafirkan orang, sehinggalah memang terbukti menentang hukum Allah secara terang-terangan baik pada ucapan maupun perbuatan.

-Berikut kita lihat kata-kata Al-Hafidz Ibnu Katsir Rahimahullah:

“Adapun firman-Nya:

“Kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy. (al-a’raaf: 54)

Orang-orang mempunyai berbagai pendapat dalam permasalahan ini dan sekarang bukanlah tempatnya untuk membahasnya secara luas, namun dalam perkara ini, kita menempuh mazhab para salafus-Soleh seperti imam Malik, al-Auza’i, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’ad, as-Syafi’e, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih dan lain-lain dari kalangan para imam kaum muslimin, baik yang dahulu mahupun yang sekarang, iaitu membiarkan sebagaimana datangnya tanpa takyif, tasybih dan ta’thil. Apa yang terbersit (tergambar) di dalam benak fikiran orang-orang Musyabbih (yang menyamakan sifat Allah dengan makhluk-Nya) tidak terdapat pada Dzat allah s.w.t., sebab Allah sedikitpun tidak sama dengan makhluk-Nya. Allah berfirman (maksudnya):

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dialah yang maha mendengar lagi Maha melihat.” (as-Syuura: 11)

Bahkan perkara ini sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang imam yang bernama Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru kepada imam al-Bukhari: “Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka dia telah kafir. Barangsiapa yang mengingkari apa yang telah disifatkan Allah terhadap Dzat-Nya, maka ia telah kafir. Apa yang Allah sebutkan tentang sifat-sifat-Nya dan yang Rasulullah s.a.w. sebutkan tentang sifat-sifat Allah tidak merupakan tasybih (penyerupaan Allah dengan Makhluk). Barangsiapa yang menetapkan untuk allah apa yang dengan jelas telah tercantum dalam ayat dan hadith-hadith sahih yang sesuai dengan kemulian Allah serta menafikan dari Dzat Allah semua sifat kekurangan, bererti ia telah menempuh jalan petunjuk.” (Tafseer al-‘Azim, Ibnu Kather)

-Imam Ibnul ‘Arabi , ulama pakar bahasa arab ketika diminta oleh tokoh mu’tazilah, Ahmad bin abu duwad untuk mencari makna istawa yang artinya istaula ( menguasai ) dalam bahasa arab, maka beliau menjawab, “ demi Allah itu tidak ada, aku tidak menemukannya” ( dikeluarkan oleh khatib al-Baghdadi dalam tarikh baghdad, 5/283). Pakar bahasa lainnya Imam khalil bin Ahmad ketika ditanya juga berkata,”makna Istaula tidak dikenal oleh orang arab dan tidak ada dalam bahasa mereka ( Majmu’ Fatawa 5/146 ), Ibnul Jauzi berkata ,”makna itu dalam bahasa arab adalah mungkar ( Zadul Masiir,3/213 ), Ibnu Abdil Barr berkata, “ Ucapan mereka yang mentakwil Istawa menjadi Istaula tidak sesuai, karena tidak didapati dalam bahasa arab ( At- Tamhid, 7/131 )

Jelaslah bahawa, hakikat-nya para imam itu sendiri seperti ibnu Katheer, as-Syafi’e, imam Ahmad bin Hanbal, imam Malik, dan lain-lain adalah bersama para salaf dalam menyatakan bahawa Allah itu bersemayam di ‘arsy selaras dengan keagungan-Nya tanpa ta’wil dan ta’til.

DALIL AKAL BAHWA ALLAH DI LANGIT

Syaikh Muhammad Al Utsaimin berkata: “Akal seorang muslim yang jernih akan mengakui bahwa Allah memiliki sifat sempurna dan maha suci dari segala kekurangan. Dan ‘Uluw (Maha Tinggi) adalah sifat sempurna dari Suflun (rendah). Maka jelaslah bahwa Allah pasti memiliki sifat sempurna tersebut yaitu sifat ‘Uluw (Maha Tinggi)”. (Qowaaidul Mutslaa, Bab Syubuhaat Wa Jawaabu ‘anha)

DALIL FITRAH BAHWA ALLAH DI LANGIT

Perhatikanlah orang yang berdoa, atau orang yang berada dalam ketakutan, kemana ia akan menengadahkan tangannya untuk berdoa dan memohon pertolongan? Bahkan seseorang yang tidak belajar agama pun, karena fitrohnya, akan menengadahkan tangan dan pandangan ke atas langit untuk memohon kepada Allah Ta’ala, bukan ke kiri, ke kanan, ke bawah atau yang lain.

Namun perlu digaris bawahi bahwa pemahaman yang benar adalah meyakini bahwa Allah bersemayam di atas Arsy tanpa mendeskripsikan cara Allah bersemayam. Tidak boleh kita membayangkan Allah bersemayam di atas Arsy dengan duduk bersila atau dengan bersandar atau semacamnya. Karena Allah tidak serupa dengan makhluknya.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah” (QS. Asy Syura: 11)

Maka kewajiban kita adalah meyakini bahwa Allah berada di atas Arsy yang berada di atas langit sesuai yang dijelaskan Qur’an dan Sunnah tanpa mendeskripsikan atau mempertanyakan kaifiyah (tata cara) –nya.

Imam Malik pernah ditanya dalam majelisnya tentang bagaimana caranya Allah bersemayam? Maka beliau menjawab: “Bagaimana caranya itu tidak pernah disebutkan (dalam Qur’an dan Sunnah), sedangkan istawa (bersemayam) itu sudah jelas maknanya, menanyakan tentang bagaimananya adalah bid’ah, dan saya memandang kamu (penanya) sebagai orang yang menyimpang, kemudian memerintahkan si penanya keluar dari majelis”. (Dinukil dari terjemah Aqidah Salaf Ashabil Hadits)

BAGAIMANA MEMAHAMI BAHWA ALLAH BERSAMA MAKHLUKNYA

Allah Ta’ala berada di atas Arsy, namun Allah Ta’ala juga dekat dan bersama makhluk-Nya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Allah bersamamu di mana pun kau berada” (QS. Al Hadid: 4)

Ayat ini tidak menunjukkan bahwa dzat Allah Ta’ala berada di segala tempat. Karena jika demikian tentu konsekuensinya Allah juga berada di tempat-tempat kotor dan najis, selain itu jika Allah berada di segala tempat artinya Allah berbilang-bilang jumlahnya. Subhanallah, Maha Suci Allah dari semua itu. Maka yang benar, Allah Ta’ala Yang Maha Esa berada di atas Arsy namun dekat bersama hambanya. Jika kita mau memahami, sesungguhnya tidak ada yang bertentangan antara dua pernyataan tersebut.

Karena kata ma’a (bersama) dalam ayat tersebut, bukanlah kebersamaan sebagaimana dekatnya makhluk dengan makhluk, karena Allah tidak serupa dengan makhluk. Dengan kata lain, jika dikatakan Allah bersama makhluk-Nya bukan berarti Allah menempel atau berada di sebelah makhluk-Nya apalagi bersatu dengan makhluk-Nya.
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin menjelaskan hal ini: “Allah bersama makhluk-Nya dalam arti mengetahui, berkuasa, mendengar, melihat, mengatur, menguasai dan makna-makna lain yang menyatakan ke-rububiyah-an Allah sambil bersemayam di atas Arsy di atas makhluk-Nya” (Qowaaidul Mutslaa, Bab Syubuhaat Wa Jawaabu ‘anha) .

Ketika berada di dalam gua bersama Rasulullah karena dikejar kaum musyrikin, Abu Bakar radhiallahu’anhu merasa sedih sehingga Rasulullah membacakan ayat Qur’an, yang artinya:
“Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita” (QS. Taubah: 40)
Dalam Tafsir As Sa’di dijelaskan maksud ayat ini: “ ’Allah bersama kita’ yaitu dengan pertolongan-Nya, dengan bantuan-Nya dan kekuatan dari-Nya”. Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya:
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku qoriib (dekat). Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepadaKu” (QS. Al Baqarah: 186)

Dalam ayat ini pun kata qoriib (dekat) tidak bisa kita bayangkan sebagaimana dekatnya makhluk dengan makhluk. Dalam Tafsir As Sa’di dijelaskan maksud ayat ini: “Sesungguhnya Allah Maha Menjaga dan Maha Mengetahui. Mengetahui yang samar dan tersembunyi. Mengetahui mata yang berkhianat dan hati yang ketakutan. Dan Allah juga dekat dengan hamba-Nya yang berdoa, sehingga Allah berfirman ‘Aku mengabulkan doa orang yang berdoa jika berdoa kepada-Ku’ ”. Kemudian dijelaskan pula: “Doa ada 2 macam, doa ibadah dan doa masalah. Dan kedekatan Allah ada 2 macam, dekatnya Allah dengan ilmu-Nya terhadap seluruh makhluk-Nya, dan dekatnya Allah kepada hambaNya yang berdoa untuk mengabulkan doanya” (Tafsir As Sa’di).

Jadi, dekat di sini bukan berarti menempel atau bersebelahan dengan makhluk-Nya. Hal ini sebenarnya bisa dipahami dengan mudah. Dalam bahasa Indonesia pun, tatkala kita berkata ‘Budi dan Tono sangat dekat’, bukan berarti mereka berdua selalu bersama kemanapun perginya, dan bukan berarti rumah mereka bersebelahan.
Kaum muslimin, akhirnya telah jelas bagi kita bahwa Allah Yang Maha Tinggi berada dekat dan selalu bersama hamba-Nya. Allah Maha Mengetahui isi-isi hati kita. Allah tahu segala sesuatu yang samar dan tersembunyi. Allah tahu niat-niat buruk dan keburukan maksiat yang terbesit di hati. Allah bersama kita, maka masih beranikah kita berbuat bermaksiat kepada Allah dan meninggakan segala perintah-Nya?
Allah tahu hamba-hambanya yang butuh pertolongan dan pertolongan apa yang paling baik. Allah pun tahu jeritan hati kita yang yang faqir akan rahmat-Nya. Allah dekat dengan hamba-Nya yang berdoa dan mengabulkan doa-doa mereka. Maka, masih ragukah kita untuk hanya meminta pertolongan kepada Allah? Padahal Allah telah berjanji untuk mengabulkan doa hamba-Nya. Kemudian, masih ragukah kita bahwa Allah Ta’ala sangat dekat dan mengabulkan doa-doa kita tanpa butuh perantara? Sehingga sebagian kita masih ada yang mencari perantara dari dukun, paranormal, para wali dan sesembahan lain selain Allah.

Rujukan:

1 - Kitab al-Ibaanah al-usul ad-Diyanah, Imam Abu Hasan al-Asy’ary.

2 - Kitab ‘Aqidah Shahih Penyebab Selamatnya Seorang Muslim, al-Hafizd Abu Bakar al-Humaidi,
Pustaka Imam as-Syafi’e, Indonesia.

2 - al-‘Aqidah at-Thahawiyyah, imam Abu Jaafar at-Thahawi.

3 - al-‘Uluw, al-imam az-Zhahabi.

4 - Fatwa Hamawiyyah Kubra, Sheikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

5 – Tafseer Ibnu Katheer, e-Book Terbitan Darussalam (english version).

6 – at-Tauhid Lish-Shafil Awwal al-'Ally, Sheikh Dr. Soleh Fauzan Bin Fauzan Bin Abdullah al-
Fauzan.

1 comment: