Ustadz Rock N Rolls 1. pertanyaan ana TAUHID YG NGIKUT NABI ITU YG MANA
Jawaban saidan:
Dalam membahas tauhid, kita tidak bisa menutup mata dan menolak fakta bahwa
para ulama berbeda pendapat tentang tauhid dalam bab memahami sifat – sifat Allah. Diantara perbedaan yang masyhur sampai hari ini adalah perbedaan antara paham salaf yaitu itsbath dan paham asyaairah yaitu takwil.
Yang mengikut nabi saw yang mana? Paham yang mengikut nabi saw adalah paham salaf yaitu itsbath, karena di perkuat oleh bukti dan dalil dari qur an dan hadis serta paham para sahabat begitu juga para 4 imam mazhab terkenal. Adapun asyaairah adalah ijtihad dari Imam Abu hasan al Asy ari sebelum beliau mengikuti paham salaf di akhir kehidupannya, yang tidak mempunyai dalil secara naqli kecuali aqli saja, karena paham ini pada asalnya adalah paham kullabiyah yang berasaskan pada paham muktazilah.
Berikut contoh dalil paham salaf tentang itsbath yang kami maksudkan dalam pembahasan sifat Allah seperti istiwa’:
Allah di atas langit, sebagaimana firmanNya :
ءأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
Patutkah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit. (al-Mulk 67: 16)
Untuk memahami ayat diatas, bahwa Allah di langit, kita merujuk kepada hadis shahih dibawah ini:
sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Tidakkah kalian percaya padaku sedangkan aku adalah kepercayaan Yang berada di atas langit. Datang kepadaku wahyu dari langit di waktu pagi dan petang.” (HR. Bukhori-Muslim).
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Rahman, sayangilah siapa saja yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh Yang berada di atas langit.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Imam Al-Albani).
قَالَ مُعَاوِيَةُ بْنُ حَكَمُ السُّلَمِي : وَكَانَتْ لِيْ جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ اُحُدٍ وَالْجُوَانِيَةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ فَاِذَا بَالذِّئْبِ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا وَاَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ آدَمَ اَسَفَ كَمَا يَاْسِفُوْنَ . لَكِنَّيْ صَكَكْتُهَا صَكَّةً فَاَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ . قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ اَفَلاَ اَعْتِقُهَا ؟ قَالَ : اِئْتِنِيْ بِهَا . فَقَالَ لَهَا : اَيْنَ اللهُ ؟ قَالَتْ : فِى السَّمَاءِ . قَالَ : مَنْ اَنَا ؟ قَالَتْ : اَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ . قَالَ : اَعْتِقُهَا فِاِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ.
"Berkata Muawiyah bin Hakam as-Sulami: Aku memiliki seorang hamba wanita yang mengembalakan kambing di sekitar pergunungan Uhud dan Juwainiyah. Pada suatu hari aku melihat seekor serigala menerkam dan membawa lari seekor kambing gembalaannya. Sedang aku termasuk seorang anak Adam kebanyakan. Maka aku mengeluh sebagaimana mereka. Kerananya wanita itu aku pukul dan aku marahi. Kemudian aku menghadap Rasulullah, maka baginda mempersalahkan aku. Aku berkata: Wahai Rasulullah, adakah aku harus memerdekakannya!" Jawab Rasullullah: Bawalah wanita itu ke sini. Maka Rasulullah bertanya kepada wanita itu. “Di mana Allah? Dijawabnya: Di langit. Rasullullah bertanya lagi: Siapa aku? Dijawabnya: Engkau Rasullullah. Maka baginda bersabda: Merdekakanlah wanita ini kerana dia adalah seorang mukminah". (H/R Muslim dan Abi Daud)
Begitu pula dengan hadits pertanyaan Rosululloh kepada budak perempuan yang telah disebutkan di atas. Imam Adz-Dzahabi berkata setelah membawakan hadits budak perempuan di atas, “Demikianlah pendapat kami bahwa setiap orang yang ditanyakan di manakah Allah, dia segera menjawab dengan fitrahnya, ‘Allah di atas langit!’ Dan di dalam hadits ini ada dua perkara yang penting; Pertama disyariatkannya pertanyaan, ‘Dimana Allah?’ Kedua, disyariatkannya jawaban yang ditanya, ‘Di atas langit’. Maka siapa yang mengingkari kedua perkara ini maka sesungguhnya dia mengingkari Al-Musthofa shollallohu ‘alaihi wa sallam“. (Mukhtashor Al-’Uluw)
Para sahabat Nabi saw juga berpendirian sebagaimana apa yang di firmankan Allah dan apa yang disabdakan RasulNya di atas, seperti :
-Abdullah bin Abbas , pakar tafsir dari kalangan sahabat Nabi saw, Mujahid-murid beliau, Abul ‘Aliyah, dan Ishaq bin Rahawaih menafsirkan “Istawaa” pada surah al’Araf, ayat 54 : Allah berada di atas arsy dan tinggi. ( Bukari, kitab tauhid ). Inilah pendapat yang dipilih ulama tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya.
-Umar al-Khathab menyatakan bahawa:
“Bahawasanya segala urusan itu (datang) dari sana (sambil mengisyarat-kan tangannya ke langit).” (al-Imam az-Zhahabi di dalam kitab-nya menyatakan bahawa riwayat ini sahih.)
“Daripada Ibnu Abbas (ia berkata) bahawa Rasulullah s.a.w. berkhutbah kepada manusia pada hari Nahr (tanggal 10 Zulhijjah) kemudian Ibnu abbas menyebutkan khutbah Nabi s.a.w. kemudian beliau mengangkat (mendongakkan) kepalanya ke arah langit sambil mengucapkan: “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan! Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan!” (Riwayat Imam Bukhari, juz.2 halaman 191)
-Zainab binti jahsyi, berbangga terhadap para isteri Rasulullah saw lainnya dengan mengatakan , “ kalian dinikahkan dengan Rasulullah saw oleh keluarga kalian sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari atas langit yang ketujuh". HR Bukhari.
Dibawah ini dapat kita perhatikan beberapa pandangan para ulama :
"Sesiapa mengingkari sesungguhnya Allah berada di atas langit, maka sesungguhnya dia telah kafir. Adapun terhadap orang yang tawaqquf (diam) dengan mengatakan: Aku tidak tahu apakah Tuhanku di langit atau di bumi? Berkata al-Imam Abu Hanifah: Sesungguhnya dia telah kafir kerana Allah telah berfirman: Ar-Rahman di atas ‘Arasy al Istiwa" (Lihat: Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 137. Imam Az-Zahabi. Tahqiq al Albani)
"Allah berada di atas langit sedangkan ilmu-Nya di tiap-tiap tempat (di mana-mana), tidak tersembunyi sesuatupun daripada-Nya" (Lihat: Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 137. Imam Az-Zahabi. Tahqiq al Albani, Hlm. 140)
"Benar, Allah di atas Arasy-Nya dan tidak sesiapapun yang tersembunyi daripada pengetahuan-Nya" (Lihat: Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 137. Imam Az-Zahabi. Tahqiq al Albani, Hln. 188)
"Barangsiapa TIDAK menetapkan Allah Ta'ala di atas ‘Arasy-Nya dan Allah istiwa di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Tuhannya". (Lihat: Ma'rifah Ulum al-Hadis. Hlm. 84. Riwayat yang sahih, dikeluarkan oleh al-Hakim)
Berkata lagi Imam Ibnu Khuzaimah (dari kalangan ulama as-Syafieyah):
"Kami beriman dengan khabar dari Allah Jalla wa-'Ala sesungguhnya Pencipta kami Ia beristiwa (bersemayam) di atas ‘Arasy-Nya. Kami Tidak mengganti/mengubah kalam (firman) Allah dan kami tidak akan mengucapkan perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada kami sebagaimana (perbuatan kaum) yang menghilangkan sifat-sifat Allah seperti golongan Jahmiyah yang pernah berkata: Sesungguhnya Dia istawla (menguasai) ‘ArasyNya bukan istiwa (bersemayam). Maka mereka telah mengganti perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada mereka, ini menyerupai perbuatan Yahudi tatkala diperintah mengucapkan: Hithtatun (Ampunkanlah dosa-dosa kami), tetapi mereka mengucapkan (mengubah): Hinthah (makanlah gandum)! Mereka (kaum Yahudi) telah menyalahi perintah Allah Yang Maha Agung dan Maha Tinggi maka seperti itulah (perbuatan kaum) Jahmiyah". (Lihat: Kitabut Tauhid Fi Ithbatis Sifat. Hlm. 101. Oleh Ibnu Khuzaimah)
Beliau menjelaskan:
"Tidak boleh mensifatkan Allah bahawa Ia berada di tiap-tiap tempat. Bahkan (wajib) mengatakan: Sesungguhnya Allah di atas langit (yakni) di atas ‘Arasy sebagaimana Ia telah berfirman: Ar-Rahman di atas ‘Arasy, Ia beristiwa.(Surah Taha, 20:5) Dan wajiblah memutlakkan sifat istiwa tanpa takwil, sesungguhnya Allah istiwa dengan Zat-Nya di atas ‘Arasy. Keadaan-Nya di atas ‘Arasy disebut pada tiap-tiap kitab yang Ia turunkan kepada tiap-tiap Nabi yang Ia utus tanpa bertanya (para nabi yang diutus tidak bertanya): Bagaimana caranya (Allah istiwa di atas ‘ArasyNya)?" (Lihat: Fatawa Hamwiyah Kubra. Hlm. 84)
Imam Az-Zahabi, salah seorang ulama besar bermazhab Syafie:
“Sesiapa mengingkari bahawa Allah ‘Azza wa-Jalla di langit, maka dia seorang yang kafir”. (Lihat: مختصرالعلو للعلي الغفار oleh al-Hafiz Syamsuddin az-Zahabi. Hlm. 137).
Telah berkata Imam Malik Bin Annas:
“Allah berada di langit sedangkan ilmu-Nya di tiap-tiap tempat dan tidak tersembunyi sesuatupun dari-Nya.”
Telah berkata imam as-syafi’e:
“Dan Allah di atas ‘arsy-Nya di atas langit-Nya.”
Telah berkata Imam Ahmad:
“Benar! Allah di atas ‘arsy-Nya dan tidak sesuatupun yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya.”
Telah berkata imam at-Tirmidzi:
“Telah berkata ahli ilmu: Dan Ia (Allah) di atas ‘arsy sebagaimana Ia telah menetapkan diri-Nya.”
(Rujukan daripada Kitab al-‘Uluw, oleh Imam az-Zhahabi)
Telah berkata imam Ibnu Khuzaimah:
“Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah di atas ‘arsy-Nya Ia istiwa’ di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Tuhan-Nya (setelah hujah ditegakkan)... (Sahih, dikeluarkan oleh al-Hakim di dalam kitabnya Ma’rifah ‘ulumil-Hadits, halaman 84)
Telah berkata Sheikhul Islam imam Abdul Kadir Jailani:
“Tidak boleh mensifatkan-Nya bahawa Ia (Allah) berada di tiap-tiap tempat (Allah di mana-mana). Bahkan wajib mengatakan, “Sesungguhnya Ia di atas langit (iaitu) di atas ‘arsy-Nya sebagaimana Ia telah berfirman: “ar-Rahman di atas ‘arsy, Ia istawa’”, di dalam surah Thoha, ayat ke 5.” (Fatwa Hamawiyyah Kubra, halaman 87)
Berikut pula saya membawakan kata-kata ibnu Katheer di dalam tafseernya, yang mana mentafsirkan ayat “summas tawa ‘alal ‘arsy (ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ)” sebagai di bawah (petikan di bawah).
Berikut kita lihat kata-kata Al-Hafidz Ibnu Katsir Rahimahullah:
“Adapun firman-Nya:
“Kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy. (al-a’raaf: 54)
Orang-orang mempunyai berbagai pendapat dalam permasalahan ini dan sekarang bukanlah tempatnya untuk membahasnya secara luas, namun dalam perkara ini, kita menempuh mazhab para salafus-Soleh seperti imam Malik, al-Auza’i, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’ad, as-Syafi’e, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih dan lain-lain dari kalangan para imam kaum muslimin, baik yang dahulu mahupun yang sekarang, iaitu membiarkan sebagaimana datangnya tanpa takyif, tasybih dan ta’thil. Apa yang terbersit (tergambar) di dalam benak fikiran orang-orang Musyabbih (yang menyamakan sifat Allah dengan makhluk-Nya) tidak terdapat pada Dzat allah s.w.t., sebab Allah sedikitpun tidak sama dengan makhluk-Nya. Allah berfirman (maksudnya):
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dialah yang maha mendengar lagi Maha melihat.” (as-Syuura: 11)
Bahkan perkara ini sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang imam yang bernama Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru kepada imam al-Bukhari: “Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka dia telah kafir. Barangsiapa yang mengingkari apa yang telah disifatkan Allah terhadap Dzat-Nya, maka ia telah kafir. Apa yang Allah sebutkan tentang sifat-sifat-Nya dan yang Rasulullah s.a.w. sebutkan tentang sifat-sifat Allah tidak merupakan tasybih (penyerupaan Allah dengan Makhluk). Barangsiapa yang menetapkan untuk allah apa yang dengan jelas telah tercantum dalam ayat dan hadith-hadith sahih yang sesuai dengan kemulian Allah serta menafikan dari Dzat Allah semua sifat kekurangan, bererti ia telah menempuh jalan petunjuk.” (Tafseer al-‘Azim, Ibnu Kather)
Jelaslah bahawa, hakikat-nya para imam itu sendiri seperti ibnu Katheer, as-Syafi’e, imam Ahmad bin Hanbal, imam Malik, dan lain-lain adalah bersama para salaf dalam menyatakan bahawa Allah itu bersemayam di ‘arsy selaras dengan keagungan-Nya tanpa ta’wil dan ta’til.
Ustadz Rock N Rolls 2. PERTANYAAN ANA LALU PAK Saidan Effendi NGIKUT TAUHID YG MANA. .
Jawaban saidan :
Sebagai ahlu sunnah wal jamaah, maka sepatutnya kita termasuk saya mengikuti apa yang di amalkan nabi saw dan para sahabatnya yaitu memahami sifat-sifat Allah dengan istbath ( menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang telah ditetapkanNya begitu juga rasulNya dan amalan para sahabatnya tanpa takwil,tasbih, tajsim,tafwidh dan taktil )
Baginda bersabda ( إِنَّ خَيْرَ الحَدِيْثِ كَلَامُ اللهِ وَخَيْرَ الهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى للهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ) : Sesunnguhnya sebaik-baik ucapan adalah ucapan Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad SAW.
Dalam hadis lain baginda bersabda : Aku tinggalkan untuk kamu dua perkara, selama kamu berpegang teguh kepada kedua-duanya, maka kamu tidak mungkin sesat buat selama-lamanya, iaitu Al-Quran dan Sunnahku.
Allah berfirman : Katakan (wahai Muhammad) ! Sekiranya kamu benar-benar kasih kepada Allah, maka ikutilah aku, nescaya pasti Allah kasih kepadamu dan mengampuni dosa-dosa kamu. (Ali Imran : 31).
Ustadz Rock N Rolls pertanyaan ana ke 3. adakah NABI MEMBUAT KITAB TAUHID. KALAU ADA MANA. KALAU TDK LALU KENAPA KITA HARUS IKUT ULAMA
Jawaban saidan :
Apakah nabi saw membuat kitab tauhid, saya kira jawabannya sama dengan jawaban anda. Maka untuk membahas tauhid ini memang kita harus mengikuti ulama. Tetapi ulama yang mana yang harus kita ikuti? Sebagai jawaban adalah ulama yang pendapatnya tidak bertentangan dengan sunnah nabi saw dan sunnah para sahabatnya. Perbedaan pendapat di kalangan ulama itu lumrah terjadi, dan tidak perlu kita persoalkan kenapa mereka berbeda. Perkara yang harus kita persoalkan adalah bagaimana memilih pendapat ulama yang benar, yaitu suatu pendapat yang berasaskan kepada sunnah nabi saw dan sunnah para sahabatnya.
- Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
( فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ )
Maksudnya : “ Sesungguhnya, orang yang hidup di antara kalian selepasku akan melihat banyak perselisihan yang timbul ; maka tetaplah kalian dengan sunnahku dan sunnah Khulafa al-Mahdiyyin al-Rashidiin, berpeganglah dengannya, dan gigitlah ia dengan geraham …“. [HR Abu Daud : 4607, al-Tirmidzi : no.2676]
Ustadz Rock N Rolls pertanyaan ke 4. kapankah munculnya pemahaman TAUHID DI BAGI 3. para imam besar tdk ada mendefinisi TAUHID ADA 3. LALU APAKAH TAUHID 4 IMAM BESAR SESATTTTTTT
Jawaban saidan :
Tauhid adalah perkara yang sangat penting dalam hidup manusia, setiap orang Islam wajib untuk mempelajari ilmu tauhid. Dikarenakan pentingnya ilmu tauhid ini, maka para ulama mencuba membuat suatu methode atau rumusan untuk memudahkan dalam memahami ilmu tauhid. Terdapat dua pendekatan atau methode yang terkenal di masyarakat kita hari ini, yaitu :
Pertama Tauhid dengan pendekatan sifat 20, dimana pemahaman ini dinisbahkan kepada pemahaman Syaikh Abu Hasan al-Asy’ari. Dan kedua Tauhid dengan pendekatan 3 pembahagian ( Rububiyah, Uluhiyah, Asma wa sifat ), dimana pendekatan ini telah disampaikan oleh Ibnu Jarir At thobari, beliau telah membahagikan tauhid kepada 3 bahagian ( Rububiyah, Uluhiyah, Asma wa sifat ), sebagaimana yang terdapat dalam kitab tasirnya ( Tafsir At Thobari ), begitu juga dengan Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu Qoyyim Al jauziah.
Pada kesempatan ini kita memilih untuk memahami tauhid dengan pendekatan 3 pembahagian, dikarenakan pendekatan ini lebih mudah untuk dipahami, dan lebih mendekati kebenarannya merujuk kepada pemahaman nabi saw dan para sahabatnya berdasarkan dalil-dalil yang shahih. Yang menjadi penentu kebenaran sesuatu itu bukanlah pada nama dan istilahnya sebalik pada isi kandungannya.
Ada sebahagian masyarakat berkata bahawa Pemahaman Tauhid dengan pendekatan 3 pembahagian tidak wujud dizaman Rasulullah saw, dan beliau tidak pernah menggunakan doktrin ini. Mereka seolah-olah lupa bahawa tauhid dengan pendekatan Sifat 20 yang mereka pertahankan juga tiada di zaman Rasulullah SAW.
Persoalannya, antara isi kandungan Tauhid 3 pembahagian dan Sifat 20, manakah yang lebih sesuai dengan al-Quran dan al-Sunnah, manakah yang lebih mudah difahami untuk mempelajari akidah. Inilah yang patut dibahaskan, bukannya bergaduh dengan isu nama dan istilah Tauhid al-Uluhiyyah dan lain-lain.
Tauhid terbahagi menjadi 3 ( Tauhid rububiyyah, uluhiyyah, dan Asma’ wa sifat ) berdasarkan istiqra’ ( penelitian menyeluruh ) terhadap dalil-dalil yang ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah, sebagaimana ulama nahwu membahagikan kalimat di dalam bahasa arab menjadi 3 : Isim, fi’il, dan huruf, berdasarkan penelitian menyeluruh terhadap kalimat-kalimat yang ada di dalam bahasa arab. ( Lihat Kitab At-Tahdzir min Mukhtasharat Muhammad Ash-Shabuny fii At-Tafsir karangan Syeikh Bakr Abu Zaid hal: 30, cet. Darur Rayah- Riyadh )
Kami sebutkan disini di antara ulama-ulama yang menyebutkan pembahagian ( atau pemahaman tauhid dengan pendekatan 3 pembahagian ) ini baik secara jelas mahupun dengan isyarat :
1. Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi ( wafat th. 321 ) , di dalam muqaddimah kitab beliau Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah . Beliau berkata :
نقول في توحيد الله معتقدين بتوفيق الله إن الله واحد لا شريك له ، و لا شيء مثله ، و لا شيء يعجزه ، و لا إله غيره
Ertinya: Kami mengatakan di dalam pengesaan kepada Allah dengan meyakini : bahawa Allah satu tidak ada sekutu bagiNya, tidak ada yang serupa denganNya, tidak ada yang melemahkanNya, dan tidak ada tuhan yang berhak disembah selainNya.
Perkataan beliau ” tidak ada yang serupa denganNya ” : ini termasuk tauhid Asma’ dan Sifat . Perkataan beliau ” tidak ada yang melemahkanNya ” : ini termasuk tauhid Rububiyyah. Perkataan beliau ” dan tidak ada tuhan yang berhak disembah selainNya.” : ini termasuk tauhid Uluhiyyah.
2. Ibnu Abi Zaid Al-Qairawany Al-Maliki ( wafat th. 386 H ) , di dalam muqaddimah kitab beliau Ar-Risalah Al-Fiqhiyyah hal. 75 ( cet. Darul Gharb Al-Islamy ) . Beliau mengatakan :
من ذلك : الإيمان بالقلب و النطق باللسان بأن الله إله واحد لا إله غيره ، و لا شبيه له و لا نظير، … ، خالقا لكل شيء ، ألا هو رب العباد و رب أعمالهم والمقدر لحركاتهم و آجالهم .
Ertinya : Termasuk di antaranya adalah beriman dengan hati dan mengucapkan dengan lisan bahawasanya Allah adalah sesembahan yang satu, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, tidak ada yang serupa denganNya dan tidak ada tandinganNya…Pencipta segala sesuatu, ketahuilah bahawa Dia adalah pencipta hamba-hambaNya dan pencipta amalan-amalan mereka, dan yang mentakdirkan gerakan-gerakan mereka dan ajal-ajal mereka .
Perkataan beliau ” sesembahan yang satu, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia ” : ini termasuk tauhid Uluhiyyah .
Perkataan beliau ” tidak ada yang serupa denganNya dan tidak ada tandinganNya ” : ini termasuk tauhid Asma’ wa Sifat.
Perkataan beliau ” Pencipta segala sesuatu, ketahuilah bahawa Dia adalah pencipta hamba-hambaNya dan pencipta amalan-amalan mereka, dan yang mentakdirkan gerakan-gerakan mereka dan ajal-ajal mereka ” : ini termasuk tauhid Rubiyyah.
3. Ibnu Baththah Al-’Akbari ( wafat th. 387 H ), di dalam kitab beliau Al-Ibanah ‘an Syariatil Firqatin Najiyyah wa Mujanabatil Firaq Al-Madzmumah ( 5 / 475 )
وذلك أن أصل الإيمان بالله الذي يجب على الخلق اعتقاده في إثبات الإيمان به ثلاثة أشياء : أحدها : أن يعتقد العبد ربانيته ليكون بذلك مباينا لمذهب أهل التعطيل الذين لا يثبتون صانعا . الثاني : أن يعتقد وحدانيته ، ليكون مباينا بذلك مذاهب أهل الشرك الذين أقروا بالصانع وأشركوا معه في العبادة غيره . والثالث : أن يعتقده موصوفا بالصفات التي لا يجوز إلا أن يكون موصوفا بها من العلم والقدرة والحكمة وسائر ما وصف به نفسه في كتابه
Ertinya : Dan yang demikian itu bahawa asas keimanan kepada Allah yang wajib ke atas para makhluk untuk meyakininya di dalam menetapkan keimanan kepadaNya ada tiga perkara :
Pertama : Hendaklah seorang hamba meyakini rabbaniyyah Allah ( kekuasaan Allah ) supaya dia membezakan diri dari jalan orang-orang atheisme yang mana mereka tidak menolak adanya pencipta.
Kedua : Hendaklah meyakini wahdaniyyah Allah ( keesaan Allah dalam peribadatan ) supaya dia membezakan diri daripada jalan orang-orang musyrik yang mana mereka mengakui adanya pencipta alam kemudian mereka menyekutukanNya dengan selainNya.
Ketiga : Hendaklah meyakini bahawasanya Dia bersifat dengan sifat-sifat yang mesti Dia miliki, seperti ilmu, qudrah ( kekuasaan ), hikmah ( kebijaksanaan ) , dan sifat-sifat yang lain yang Dia tetapkan di dalam kitabNya.
4. Abu Bakr Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthusyi ( wafat th. 520 H ), di dalam muqaddimah kitab beliau Sirajul Muluk ( 1 / 1 ) , beliau berkata :
وأشهد له بالربوبية والوحدانية. وبما شهد به لنفسه من الأسماء الحسنى. والصفات العلى. والنعت الأوفى
Ertinya : Dan aku bersaksi atas rububiyyahNya dan uluhiyyahNya, dan atas apa-apa yang Dia bersaksi atasnya untuk dirinya berupa nama-nama yang paling baik dan sifat-sifat yang tinggi dan sempurna.
5. Al-Qurthubi ( wafat th. 671 H ) , di dalam tafsir beliau (1/ 102) , beliau berkata ketika menafsirkan lafaz jalalah ( الله) di dalam Al-Fatihah:
فالله اسم للموجود الحق الجامع لصفات الإلهية، المنعوت بنعوت الربوبية، المنفرد بالوجود الحقيقي، لا إله إلا هو سبحانه.
Ertinya : Maka ( الله ) adalah nama untuk sesuatu yang benar-benar ada, yang mengumpulkan sifat-sifat ilahiyyah ( sifat-sifat sesuatu yang berhak disembah ) , yang bersifat dengan sifat-sifat rububiyyah ( sifat-sifat sesuatu yang berkuasa ) , yang bersendiri dengan kewujudan yang hakiki, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selainNya.
Jika anda berpendapat bahwa 4 imam mazhab tidak mendefinisikan pembagian tauhid kepada 3, bukan berarti 4 imam mazhab mengikuti paham asyaairah yaitu paham takwil yang anda pegang hari ini. Mereka dengan tegas justru mengatakan bahwa pendirian mereka adalah Allah di langit sebagaimana telah saya jelaskan pada soalan anda sebelumnya. Mereka mengikuti paham salaf yaitu itsbath.
Saya berharap kepada para sahabat di jamaah tabligh untuk mengkritisi kembali paham asyaairah dan dapat berpegang kepada apa yang di pegang oleh nabi saw dan para sahabatnya yaitu paham salaf ( itsbath ). Saya tidak meminta anda keluar dari jamaah tabligh tetapi saya minta anda keluar dan meninggalkan paham asyaairah serta menyampaikan perkara ini kepada sahabat yang lain sebagai perbaikan. Ad Din itu nasihat.
No comments:
Post a Comment