IMAM ZAID BIN ALI
“Mengenal lebih jauh tentang Mazhab Syi’ah Zaidiyah dan pendirinya”
Oleh: Rahmadin A
“Sesungguhnya aku mengajak kalian kepada kitab Allah dan sunnah Rasulullah SAW, dan menghidupkan sunah-sunah serta mematikan bid’ah-bid’ahnya, jika kalian mendengarkan maka akan menjadi kebaikan bagi kalian dan bagiku, tetapi jika kalian enggan maka aku bukan sekutu kalian”. (perkataan Zaid bin Ali kepada sahabat-sahabatnya ketika akan berangkat jihad).
I. Prolog
Sifat fanatik pada diri seseorang bisa timbul akibat rasa simpati yang berlebihan, terlalu membesar-besarkan sesuatau yang menurut orang lain biasa. Bahkan pada tingkat yang paling tinggi, sifat ini bisa menjadikan seseorang menuhankan orang lain. Padahal yang dituhankan itu jelas-jelas manusia biasa sama seperti dirinya. Hal inilah yang ditakutkan dari kefanatikan, yang bisa mengantarkan seseorang kepada kekafiran. Sifat fanatik ini pada dasarnya tidak kotor bila ditempatkan pada tempatnya yang pas. Bahkan dipandang mulia. Seperti kefanatikan kita kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Dari kefanatikan ini pula, kita umat islam terpecah menjadi beberapa sekte atau aliran keagamaan . Perbedaaan-perbedaan mencolok pada setiap golongan, dijadikan satu alasan bagi golongan lain untuk berbuat kesewenangan. Akhirnya sekte yang kuat memerangi sebagian sekte yang lemah. Perpecahan itu merupakan warisan dari orang-orang arab terdahulu, sebagai akibat dari kefanatikan yang berlebihan terhadap golongannya. Dan perpecahan itu masih kita rasakan sampai sekarang. diantara sekte-sekte tersebut adalah Ahlussunah, Syi’ah, Khowarij, Ibadliyah,dll. Dan dari setiap satu sekte itu terbagi lagi menjadi beberapa aliran yang berbeda-beda paham dan pandangan.
Pada makalah ini penulis akan mengambil satu pembahasan sekte dari sekian sekte atau golongan, yang ada dalam diri umat islam dahulu dan saat ini yaitu Zaidiyah. Golongan ini memang menarik sekali untuk dikaji dan dipelajari. Karena mazhab Zaidiyah berada ditengah-tengah antara Ahlussunah wal jama’ah dan syi’ah. Pada dasarnya Zaidiyah merupakan cabang dari aliran syi’ah`. Tapi Zaidiyah sendiri sangat bertentangan pemikiran dengan syi’ah, bahkan bisa dibilang lebih moderat. Mazhab Zaidiyah merupakan sekte beraliaran Syi’ah tapi pemikirannya tak jauh beda dengan Ahlussunah Wal Jama’ah. Hal itu tak lepas karena pendirinya yaitu Imam Zaid Bin Ali Zainal Abidin pernah berguru dengan Washil Bin Atha’ pendiri Muktazilah.
Akhir-akhir ini, agaknya kelompok Syi'ah sedang "naik daun" di mata kaum awam muslimin. Buktinya, kita lihat akhir-akhir ini banyak kaum Muslimin yg mengelu-elukan para tokoh-tokoh syi'ah. Mulai dari Khomeini, Hasan Nashrollah (pemimpin kelompok syi'ah di Lebanon yg katanya "berperang" dg Yahudi), sampai presiden negara syi'ah Iran nya yg sekarang yaitu Mahmud Ahmadinejad. Tapi banyak juga selentingan dari para ulama’ Ahlussunah yang mengatakan bahwa Syi’ah sesat, dengan banyaknya penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh penganut Syi’ah. Benarkah itu? Lalu bagaimana dengan Imam Zaid sebagai pendiri Syi’ah Zaidiyah? Menyimpangkah beliau dari ajaran Islam?
Untuk menjawab itu semua tentunya kita harus mengenal terlebih dahulu siapa dan bagaimanakah pemikiran Imam Zaid Bin Ali, siapa guru-guru beliau dan bagaimana keilmuannya, serta semua yang menyangkut dalam aspek kehidupannya. Sehingga kita tidak memandang seseorang hanya dengan sebelah mata.
II. Biografi Imam Zaid Bin Ali
1. Nasab Dan Kelahiran Imam Zaid
Dia adalah Zaid Bin Ali Zainal Abidin Bin Husain Bin Ali Bin Abi Thalib. Nasab beliau yang terakhir bertemu pada sayyidina Ali Bin Abi Thalib keturunan dari Bani Hasyim, itu berarti Imam Zaid mempunyai nasab yang mulia karena masih keturunan Rasulullah SAW, yang sering disebut dengan istilah Alul Bait.
Imam Zaid dilahirkan pada tahun 80 H/ 699 M, sama dengan tahun kelahiran Imam Abu Hanifah. Walau ada sebagian riwayat yang mengatakan bahwa Imam Zaid dilahirkan pada tahun 75 H , perbedaan ini disebabkan karena tidak ada dari ahli sejarah yang mencatat sejarah keliharan imam Zaid. Tapi riwayat ini ada ketidaksesuaian dengan akhir hayat Imam Zaid sendiri, karena beliau wafat pada usianya yang ke-42 tahun, yaitu pada tahun 122 H/ 741 M. Pendapat ini sudah disepakati oleh jumhurul ulama’ dan ahli sejarah.
Imam Zaid wafat di Kufah, Irak diujung pedang gubernur Irak Yusuf Bin Umar. Bermula dari doktrinnya yang keras dalam mencapai cita-cita perjuangannya, lebih suka menempuh jalan kekerasan, sehingga pemimpinnya banyak yang mengalami nasib sama dengan nasib Husain ibn 'Ali. Zaid bin ‘Ali Zainal Abidin adalah seorang yang melebihkan ‘Ali bin Abu Thalib atas seluruh shahabat Rasulullah, tapi tetap mengakui dan mencintai Abu Bakr dan ‘Umar , dan memandang bolehnya memberontak terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, timbullah kontrofersi hebat diantara keduanya, yang membuat Imam Zaid ditinggalkan oleh pengikutnya.
2. Ayah Imam Zaid
Ayahnya adalah Ali Zainal Abidin Bin Husain radliyallahu ‘anhuma. Dai adalah satu-satunya keturunan Sayyidina Ali yang masih hidup ketika terjadi pembantaian karbala. Itupun karena dia sedang sakit dan Allah menghendaki agar keturunan Sayyidina Ali masih bisa berjaya dan meneruskan perjaungannya. Dalam sejarahnya, Ali Bin Husain adalah orang yang paling sedih dan sering menangis. Perasaanya itu dia ungkapkan dalam satu riwayatnya:
“Sesungguhnya nabi Ya’kub Alaihissalam menangis sampai kedua matanya memutih hanya menangisi satu anaknya Yusuf, dan tidak tahu apakah dia sudah meninggal. Tapi sesungguhnya aku melihat sendiri tidak lebih dari sepuluh sanak saudaraku disembelih hanya dalam satu pagi. Apakah mereka menenangkan kesedihan mereka yang telah pergi dariku?.
Bermula dari kesedihan yang menimpanya itu, Ali Bin Husain telah menyusun rancangan hidupnya demi meneruskan perjuangan ayahnya. Dalam merealisasikannya, dia beri’tikad dengan dirinya sendiri untuk tidak berkecimpung kedalam dunia perpolitikan, karena melihat pengalaman sebelumnya yang telah menimpa keluarganya. Tapi dia akan memperdalam ilmu pengetahuanya, mencari guru dan alim ulama’ terkemuka dari golongan sahabat dan tabi’in yang pada waktu itu masih ada. Diriwayatkan bahwa dia pernah talaqi dengan seorang tabi’in bernama Said Bin Jabir dan mengambail sanad darinya. Selain itu dia juga beriktikad untuk selalu berbuat baik dan menyayangi sesama.
Dari kei’tikadannya itu, Ali Bin Husain berhasil mewujudkan cita-citanya dan menjadi seorang yang terkenal di Madinah. Dia disegani karena keilmuannya dan akhlak mulia yang ada dalam dirinya, bahkan bila dia lewat ditengah orang-orang yang sedang berkumpul, mereka akan minggir dan memberinya jalan. Disamping itu, ayah Zaid adalah seorang yang ahli dalam bidang hadits dan fiqih. Dia wafat di Madinah dan dikuburkan Al-Baiqa’ pada tahun94 H.
3. Perkembangan Dan Keilmuan Imam Zaid
“Ketika saya melihat Zaid Bin Ali, saya tidak pernah menemukan seorangpun dizamannya yang melebihi kefaqihan-nya, tidak pula pengetahuaanya, kelihaiannya dalam memberikan jawaban, dan kefasihannya dalam berbicara,…….”.
Imam Zaid Bin Ali tumbuh dan berkembang ditengah-tengan keluargan yang selalu memprioritaskan pendidikan. Dalam usianya yang masih muda, imam Zaid sudah memiliki keunggulan yang jarang dimiliki oleh orang lain sebayanya, seperti keilmuan dan kesopan-santunan yang luar biasa, akhlak yang sempurna, dll. Hal itu didukung oleh beberapa factor internal, diantaranya ialah:
• Karena Imam Zaid mempunyai nasab yang paling mulia dinegeri arab, dan didalam tubuhnya mengalir darah suci Rasulullah SAW.
• Karena beliau dan keluarganya telah lulus ujian yang diberikan Allah kepada mereka, sehingga Allah mengangkat derajat mereka.
• Karena keluarganya yang selalu mengarahkannya kepada ilmu pengetahuan, serta menganggap suatu ujian sebagi hiburan yang pada akhirnya akan berbuah pengetahuan.
Dari tiga factor internal inilah, Imam Zaid Bin Ali tumbuh dan berkembang selalu dalam pengawasan ayahnya hingga menjadi seorang ulama’ terkemuka di Kuffah, yang alim dan banyak menguasai ilmu pengetahuan tentang islam. Dia adalah seorang imam yang ahli dalam bidang Qira’aat, seperti ilmu Al-Qur’an beserta tafsirnya, ilmu Nasikh Wal Mansukh, dan dia juga seorang ulama’ aqidah yang banyak dijadikan rujukan. Disamping ilmu qira’at, Imam Zaid juga seorang yang mumpuni dalam bidang fiqih dan hadits, karena beliau mengambil hadits langsung dari ayahnya, ahlul bait, dan selainnya. Bahkan banyak syekh dari Kuffah yang belajar kepadanya. Berbagai pujian dan sanjungan datang kepada beliau dari orang yang pernah belajar kepadanya, diantaranya ialah Imam Abu Hanifah (yang ungkapannya penulis kutipkan diatas), Abdullah Bin Al-Hasan Bin Al-Hasan, Abu Muhammad , Ibrahim, dll.
Dalam satu pujiannya, Abdullah Bin Hasan mengungkapkan tentang keilmuan yang dimiliki oleh Imam Zaid dengan mengatakan bahwa dia belum pernah melihat seorangpun semasanya yang menandingi keahliannya, dan tidak pula dari ahlul bait-nya.
Ilmu tanpa dihisai dengan sulukiyah al-hasanah tidak akan bermanfaat. Maka, selain menguasai ilmu keislaman, Imam Zaid juga menguasai sulukiyah al-hasanah sebagai sarana bersosialisasi dan berinteraksi dengan masyarakat dalam menyebarkan pemikirannya. Seperti keikhlasan, karena keikhlasan itu bagaikan cahaya yang akan menerangi dirinya; pemberani, sabar, kesadaran berfikir, kefasihan dalam bertutur kata, insting yang kuat, haibah yang tinggi, dll.
Dalam pengembaraannya mencari ilmu, Imam Zaid tidak hanya berkutat di Madinah bersama Alul Bait, tapi dia sudah mengembara kepenjuru negeri arab hanya untuk memperdalam pengetahuannya. Seperti hijrahnya ke Iraq, disana ia mendapatkan ilmu baru yang tidak ia dapatkan sebelumnya di Madinah, seperti ilmu tentang filsafat, ilmu al-adyan, dan ‘ilmu al-firaq.
4. Guru Imam Zaid Bin Ali
Sebagaimana yang telah penulis kemukakan diatas, pada bab perkembangan dan keilmuan Imam Zaid bahwa yang berperan sebagai pembimbing sekaligus guru Imam Zaid adalah ayahnya sendiri Ali Bin Husain. Dengan kata lain, ayahnya adalah guru pertama yang mengajarkan Imam Zaid tentang pengetahuan agama Islam, dan mendidiknya dari kecil hingga ia tumbuh dewasa menjadi seorang ulama’ terkemuka. Peran ayahnya sangat menentukan masa depan Imam Zaid. Semua ilmu yang dimiliki ayahnya diwariskan kepadanya, terutama ilmu hadits dan ilmu fiqih. Itu karena ayahnya pernah bertemu dan belajar dengan sahabat serta tabi’in ketika di Madinah, dan dia meriwayatkan hadits dari ayahnya Husain, pamannya Hasan, ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Jabir, Shafiyah, Ummu Salamah, dll. yang mereka itu semuanya dari golongan sahabat . Kemudian anaknya –Al- Baqir dan Zaid- mengambil sanad langsung dari ayahnya. sedangkan ayahnya sendiri adalah seorang tabi’in.
Selain dari ayahnya, Imam Zaid juga banyak belajar dan mengambil riwayat dari para tabi’in seperti Fuqahaa’u As-Sab’ah, yang masyhur sebagai pembawa ilmu sahabat. Walaupun dia tidak sempat belajar banyak dari mereka tapi sedikit banyaknya Imam Zaid pernah melihat mereka semua, karena kemudian ia hijrah ke Iraq.
5. Hubungan Imam Zaid Dengan Syi’ah
Jika kita berbicara tentang biografi Imam Zaid Bin Ali dan semua yang bersangkutan dengannya, tentunya kita tidak bisa lepas dari membicarakan Syi’ah. Karena Imam Zaid adalah pendiri Zaidiyah yang merupakan pecahan dari Syi’ah. Sebelum kita berbicara lebih jauh tentang hubungan Imam Zaid dengan Syi’ah, alangkah baiknya bila kita mengetahui apa itu Syi’ah?
Syi’ah adalah sekte islam yang pertama kali berdiri, dan awal kemunculannya di Mesir yang kemudian pindah ketanah Iraq. Pindahnya Syi’ah Dari Mesir ke Iraq ada sebab-sebab tertentu, diantaranya adalah karena Iraq sebagai tempat dimana semua aliran keislaman berkumpun disana, juga merupakan bertemunya peradaban-peradaban kuno seperti peradaban Yunani kuno, pemikiran Hindu, dsb. Mereka-kaum Syi’ah- mulai muncul kepermukaan kaum muslimin dengan politiknya pada masa akhir kepemimpinan Utsman Bin Affan, tapi diproklamirkan dan berkembang pesat pada masa khilafah Ali Bin Abi Thalib.
Syi’ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu’ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji).
Adapun menurut terminologi syariat, Syi’ah bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm).
Syi’ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok ini terpecah menjadi lima sekte yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat, dan Isma’iliyyah. Dari kelimanya, lahir sekian banyak cabang-cabangnya. (Al-Milal Wan Nihal, hal. 147, karya Asy-Syihristani).
Adapun yang akan jadi pembahasan kita adalah Syi’ah Zaidiyah yang didirikan oleh Imam Zaid Bin Ali Zainal Abidin. Karena Zaidiyah merupakan pecahan dari Syi’ah dan yang paling menonjol perbedaannya diantara sekian banyak cabang Syi’ah, terutama dalam masalah penentuan imamiyah. Nampaknya agak sulit membedakan antara agama Islam dan Syi’ah. “Serupa tapi tak sama”. Barangkali ungkapan ini tepat untuk menggambarkan Islam dan kelompok Syi’ah. Secara fisik, memang sulit dibedakan antara penganut Islam dengan Syi’ah. Namun jika ditelusuri -terutama dari sisi aqidah- perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga, tidak mungkin disatukan.
Berbeda dengan Zaidiyah, walaupun dia beraliran Syi’ah-pada dzahirnya- tapi pemikirannya sangat bertentangan dengan Syi’ah sendiri, justru lebih cenderung kepada pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah. Inilah yang perlu dicatat, ditelusuri dan dipahami oleh kita semua sebagai penerus perjuangan mereka.
Sebagaimana yang telah penulis sebutkan diatas, perbedaan yang paling mencolok dari Syi’ah Zaidiyah ini adalah masalah imamiyah. Golongan ini rupanya lebih moderat. Mereka bisa menerima Imam Mafdul yakni imam yang dinominasikan, disamping adanya Imamal-Afdal atau imam yang lebih utama. Sekte ini memiliki persyaratan khusus dalam memilih seorang imam yaitu seorang yang 'Alim, Zahid (sangat berhati-hati denganmasalah dunia), pemberani, pemurah, dan mau berjihad dijalan Allah guna menegakkan keimaman, taat pada agama baik dia dari putera Hasan atau Husain. Oleh sebab itu, aliran ini tidak menyalahkan atau membenci khalifah-khalifah sebelum 'Ali ibn Abi Talib. Selain masalah imamah, seperti juga masalah tentang dasar-dasar aqidah dan fiqih, Zaidiyah lebih mendekati pada pemikiran Ahlussunah.
6. Fiqih Pada Masa Imam Zaid
Adapun fiqih pada masa Imam Zaid merupakan masa berproduksinya ijtihad al-fiqhi. Yaitu masa bermulanya tentang perbandingan fiqih, peng-qiyasan yang shahih dan yang ghairu shahih. Hal ini sebenarnya sudah terjadi pada masa sahabat-setelah meninggalnya Rasulullah SAW, ketika para sahabat menyebar keseluruh penjuru negeri arab untuk berdakwah yang tentunya mempunyai permasalahan yang kolektif. Karena mereka datang dari daerah dan suku yang berbeda-beda sehingga berbeda pula permasalahannya. Perbedaan itu terjadi pada sahabat ketika menentukan suatu hukum dari Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Sunah, dan hanya pada permasalahan dalil dzanni, bukan yang qath’i. Ditengah-tengah maraknya perbandingan fiqih, ada beberapa orang tabi’in yang terkenal sebagai pembawa ilmu sahabat, mereka ialah Ulama’ Sab’ah. Seperti:
1. Sa’id Bin Al Musayyab, beliau lahir pada masa pemerintahan Umar Bin Khatab dan wafat pada tahun 93 H, yaitu pada masa pemerintahan Walid Bin Abdul Malik.
2. Urwah Bin Zabir; dia lahir pada masa pemerintahan Usman Bin Affan dan wafat pada tahun 94 H (pada tahun wafatnya Ali Zainal Abidin).
3. Abu Bakar Bin Abdurrahman Bin Harits; wafat pada tahun 94 H.
4. Qasim Bin Muhammad Bin Abi Bakr; dia adalah anak saudaranya Ummul Mu’minin ‘Aisyah radliyallahu anha, wafat pada tahun 108 H.
5. ‘Ubaidullah Bin Ubaidillah Bin ‘Utbah Bin Mas’ud; wafat pada tahun 99 H, ada juga yang mengatakan pada tahun 98 H.
6. Sulaiman Bin Yasar; wafat pada tahun 100 H.
7. Kharijah Bin Zaid Bin Tsabit; wafat pada tahun 100 H .
Mereka semua adalah tabi’in yang ahli dalam bidang fiqih dan termasyhur dimasa itu, bukan berarti selain mereka ulama’ sab’ah tidak ada lagi ulama yang mumpuni, seperti di Madinah, karena madinah merupakan pusat ilmu Al-Qur’an dan Hadits. Tapi merekalah ulama’ termasyhur dari sekian banyak tabi’in.
Pada masa Imam Zaid, bukan hanya Fiqih Atsar saja yang berkembang tapi Fiqhu Ar-Ra’yi juga ikut berkembang. Pada awalnya fiqhurra’yi ini berkembang di tanah Iraq, namun lama-kelamaan merambat sampai ke Madinah, fiqih ra’yi ini sudah ada sejak zaman sahabat, tapi yang menjadi perbedaan sebatas mana mereka mengambil fiqih ini. Diantara sahabat ada yang hanya mengambil fatwa jika tidak terdapat nashnya, ada yang mengambil ra’yunya, dan ada juga yang tidak mengambilnya sama sekali karena jika dirinya akan mendustai Rasulullah SAW.
III. Pemikiran dan Fiqih Imam Zaid
A. Pemikiran Imam Zaid Tentang Ushuluddin
1. Pemikiran Imam Zaid Tentang Imamatu Al-Afdlal
Salah satu keshahihan pemikiran Imam Zaid ialah tentang Imamah setelah kepemimpinan Rasulullah SAW yang mengatakan sesungguhnya imamah itu bukan satu warisan mutlak, adapun pembaitan yang kerap terjadi dalam kelompok Syi’ah, merupakan akibat dari peng-afdlalan dan bukan hokum dasar.
Imam Zaid juga tidak mengingkari dengan adanya pendapat yang mengatakan bahwasanya imam Ali Bin Abi Thalib lebih utama dari sahabat-sahabatnya yang lain, yaitu Abu Bakar dan Umar radliyallahu ‘anhuma. Akan tetapi beliau juga mengakui sesungguhnya kepemimpinan mereka berdua adalah benar, dan mentaati keduanya merupakan kewajiban. Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Ubaidah bahwa ia mendengar Ali radhiallahu ‘anhu mengatakan:
“Putuskanlah sebagaimana kalian putus-kan, sesungguhnya aku membenci perselisihan hingga manusia berada dalam satu jama’ah atau lebih baik aku mati seperti para shahabat-shahabatku yang telah mati”.
2. Syarat Imamah Menurut Imam Zaid
Sebagaimana yang kita ketahui, pemikiran Imam Zaid sangat kontroversi dengan pemikiran Syi’ah pada umumnya, terutama dalam hal ke-imamahan. Dalam menentukan imamah, dia mempunyai cara yang sangat selektif dalam memilihnya. Kelompok ini (Zaidiyah) memiliki persyaratan khusus dalam memilih seorang imam yaitu seorang yang 'Alim, Zahid (sangat berhati-hati dengan masalah dunia), pemberani, pemurah, dan mau berjihad dijalan Allah guna menegakkan keimaman serta taat pada agama, baik dia dari putera Hasan atau Husain atau dari keturunan Ali dan Fathimah radliyallahu ‘anhuma. Hal ini bertolak belakang dengan kelompok Syi’ah Al-Kisaniyah yang mensyaratkan agar seorang imam itu hanya dari anaj-anaknya Ali. Berbeda lagi dengan Syi’ah Imamiyah yang mensyaratkan bahwa seorang imam itu harus dari anak-anaknya Husain.
3. Pendapat Imam Zaid Tentang Orang Yang Berbuat Dosa Besar
Dalam masalah ini kita ambil contoh dari beberapa kelompok tentang peristiwa Tahkim yang terjadi antara Ali Bin Abi Thalib dan Muawiyah.
1. Al-Khowarij (Al-Azariqah): berpendapat bahwa yang terlibat dalam peristiwa tahkim adalah kafir. Begitu pula bila seseorang telah berbuat dosa besar, maka dicap sebagai kafir bahkan sampai anak-anaknya juga ikut kafir.
2. Al-Ibadliyah: mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar berarti ia telah kufur nikmat bukan kufur iman.
3. Hasan Al-Bashri: Berpendapat bahwa semua yang terlibat dalam dosa besar adalah munafik, karena menurutnya manusia ada tiga macam, yaitu mukmin, munafik dam kafir. Dan jika seandainya seorang mukmin maka ia tak akan berbuat dosa besar.
4. Lalu bagaimana dengan pendapat Imam Zaid sendiri tentang ini? sebagaimana yang telah disebutkan diatas, bahwa imam Zaid pernah berguru kepada Washil Bin Atha’-pendiri Mu’tazilah- dan sedikit banyaknya berpengaruh terhadap pemikirannya. Ia berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar kedudukannya diantara iman dan kafir, manzilatu baina manzilataini. Ia adalah seorang muslim tapi fasiq.
4. Pendapat Imam Zaid Berkenaan Dengan Qadla dan Qadar
Pembahasan tentang qalda dan qadar tak kalah menariknya untuk dikaji dan dipelajari, karena ini berkenaan dengan amal perbuatan manusia dalam sehari-hari. Sebagai perbandingan, disini saya cantumkan juga beberapa pendapat dari aliran yang ada pada umat islam. Diantara:
1. Al-Jabariyah: Mereka berpendapat bahwa, sesungguhnya manusia itu tidak punya kemampuan dan ikhtiar untuk berbuat dengan dirinya, bahkan manusia dalam beramal tak ubahnya seperti terbangnya sepotong kapas yang diterpa oleh angin, kapas tersebut tidak bergerak sendiri melainkan digerakan oleh angin. Dengan kata lain, kelompok Jabariyah ini menerima qadar yang ditetapkan Allah kepada mereka, tapi dalam melaksanakan suatu amal perbuatan mereka tidak ada ikhtiar, karena semuanya sudah ditetapkan oleh Allah SWT.
2. Al-Qadariyah: kelompok ini merupakan lawan dari Jabariyah yang mengakui takdir tapi menafikan qadla. Sedangkan Al-Qadariyah berpendapat bahwa suatu amal perbuatan manusia itu tidak ada sangkut pautnya dengan qadar Allah, artinya apa yang dilakukan manusia itu merupakan kehendaknya sendiri tidak ada kaitannya dengan takdir. Dan yang berlaku pada mereka adalah ilmu Allah ketika manusia sedang berbuat.
3. Az-Zaidiyah: Lain Qadariyah lain pula dengan Imam Zaid, beliau berpendapat bahwa; (1). Manusia harus menggabungkan antara qadla dan qadar, keduanya tidak boleh dipisah. Dia menggambarkan bahwasanya manusia diberi kebebasan memilih dalam berbuat ketaatan dan maksiat, akan tetapi perbuatan maksiat itu bukan kehendak dan takdir Allah, karena manusia bisa memilah-milah suatu perbuatan. Dan sesungguhnya Allah SWT tidak ridha bila hambanya berbuat kekafiran. Imam Zaid berkata: “Barang siapa yang tidak beriman kepada Allah beserta qadla dan qadarnya, berarti dia telah kafir,……” (2). Sesungguhnya Allah telah menetapkan kepada manusia takdir dan ikhtiar dalam berbuat, maka mereka berbuat sesuai dengan apa yang Allah tetapkan. Hasan berkata: “sesungguhnya itu adalah takdir yang telah Allah takdirkan bagi manusai,…..”.
B. Fiqih Imam Zaid
Imam Zaid Bin Ali adalah seorang ahli fiqih pada zamannya, dia melandasi fiqihnya dengan hadits dan ra’yun-bila tidak ditemukan dalilnya dalam Al-Qur’an dan Sunah, yang ia ambil dari sahabat, tabi’in dan dari alul baitnya sendiri.
1. Ushul Mazhab Zaidiyah
Dalam fiqihnya, Imam Zaid tidak meletakkan dasar-dasar (ushul) ketika berijtihad menentukan suatu hukum. Yang perlu diketahui adalah, fiqih Zaidiyah itu lebih umum dan syumul dari fiqihnya Imam Zaid. Karena fiqih Zaidiyah tidak sepenuhnya berasal dari dia, didalamnya terkumpul fiqih-fiqih dari Alul Bait seperti Al-Hadi, An-Nasir, dll. Yang terutama adalah masalah ijtihad, maka dari itu kita tidak bisa mengatakan kalau ushul yang ditulis oleh Zaidiyah itu merupakan ushulnya Imam Zaid sendiri.
Ijtihad yang dilakukan Alul Bait adalah ijtihad mutlak, yaitu bukan hanya terbatas pada masalah furu’iyah tapi mencakup ke-ushuliyah juga. Dari sini kita tidak bisa menyimpulkan apakah ijtihad furu’iyah-nya Zaidiyah sama dengan ijtihadnya Imam Abu Hanifah?
Adapun dasar-dasar yang digunakan Zaidiyah dalam berijtihad atau menentukan suatu hukum adalah sebagai berikut:
1. Al-qur’an
2. As-Sunah
3. Ijma’
4. Qiyas
5. Istihsan
6. Istishab
7. Ijtihad
Tapi mazhab Zaidiyah ini mempunyai urutan khusus ketika akan menentukan suatu hokum yang berdasarkan nash-nash, baik dari Al-qur’an maupun dari As-Sunah, yaitu sebagai berikut:
1. Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah
2. Dzahirnya Al-Qur’an dan Sunah
3. Nash-nash khabar ahad
4. Dzahir khabar ahad
5. Pemahaman tentang Al-Qur’an
6. Pemahaman tentang Hadits
7. Perbuatan nabi Muhammad SAW dan ketetapannya
2. Murid- Murid Imam Zaid
Isa, Muhammad, Husain, Yahya (anak-anaknya Imam Zaid), Ibnu Abi Laily, Zaid Bin Rabi’, Abu Hanifah An-Nu’man Bin Tsabit, A’masy, Mansur Bin Muktamar, Al-A’jali, Nasr Bin Khazimah, Muamar Al-Hilaly dan Amru Bin Khalid.
Mazhab Zaidiyah ini menyebar kepenjuru dunia layaknya sama seperti mazhab-mazhab yang lain, terutama dibelahan negeri arab, Maroko (Maghriby), Irak, Mesir, dll.
IV. Epilog
Dengan sedikit kutipan ini, penulis tidak bisa banyak berharap karena masih banyaknya kesalahan, kerancuan, dan berbagai ketidakaturan lainnya yang ada dimakalah. Hanya saja semoga tulisan ini bisa dijadikan sebagai pengetahuan tambahan tentang Mazhab Zaidiyah, mungkin yang selama kita hanya bisa meraba dan menerka tanpa tahu yang sebenarnya.Beranjak dari itu semua, mudah-mudahan kita bisa memacu diri kita untuk selalu memperbaiki walaupun selangkah demi selangkah.
Tulisan hanya sebagai pengantar, agar kita bisa lebih memahami segala sesuatu yang ada disekeliling kita, “peka terhadap sosial adalah salah satu ciri mahasiswa aktif”. Ternyata masih banyak sekali yang belum kita ketahui!.
ALHAMDULILLAH
WALLAHU TA’ALA A’LA WA A’LAM
Bahan Bacaan:
1. Imam Muhammad Abu Zahrah, Al-Imam Zaid Hayatuhu wa Ashruhu-Arauhu wa Fiqhuhu, Kairo, Darul Fikr Al-Arabi, 2005.
2. Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq, Mausu’atu At-Tasyri’ Al-Islamy, Kairo, Wuzaratul Auqaf, 2006.
3. Abdul Karim Asy-Syahrustani, Al-Mila wa An-Nihal, Kairo, Maktabah At-Taufiqiyah.
4. Muhammad Abu Zahrah, Abu Hanifah Hayatuhu wa Ashruhu-Arauhu wa Fiqhuhu, Kairo, Darul Fikr Al-Arabi, 1997.
5. Dr, Amir An-Najar, Fi Mazahib Al-Islamiyin, Kairo, Al-Haiah Al-Mashriyah Al-A’mah, 2005
6. Dr. Ali Abdul Wahid Wafi, Baina Asy-Syi’ah wa Ahlu As-Sunah, Kairo, Nadlatu Al-Misr, 2007.
Prev: Misi Gelap Walt Disney-Tahukah Anda?
Next: "Tarbiyah Islamiyah di Indonesia"
Galilah info tentang Beliau lebih dalam lagi...dan publikasikan, semoga rahmat dan berkah ALLAAH SWT senantiasa dilimpahkan atasmu...aaamiin
ReplyDeletePerlu lebih diluaskan lgi hal2 yg seperti sampai masa sekarang demi kuatnya akidah dan meyakinkan pemahaman yg sangat benar karena dengan akhir2 zaman ini banyak pemahaman-pemahaman yg membenturkan dan tidak kalah pentingnya sudah masuk kewilayah akademik.
ReplyDelete