PRINSIP AHLUS SUNNAH TENTANG DIEN DAN IMAN
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Termasuk prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa dien dan iman adalah ucapan dan pengamalan, perkataan hati dan lisan, amal hati, lisan dan anggota tubuh. Iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena perbuatan dosa dan maksiat.
Prinsip Ahlus Sunnah tentang iman adalah sebagai berikut:[1]
1. Iman adalah meyakini dengan hati, mengucapkannya dengan lisan dan mengamalkannya dengan anggota badan.
2. Amal perbuatan -dengan keseluruhan jenis-jenisnya yang meliputi amalan hati dan amalan anggota badan- adalah termasuk hakekat iman. Ahlus Sunnah tidak mengeluarkan amalan sekecil apa pun dari hakekat iman ini, apalagi amalan-amalan besar dan agung.
3. Bukan termasuk pemahaman Ahlus Sunnah bahwa iman adalah pembenaran dengan hati saja! Atau pembenaran dengan pengucapan lisan saja! Tanpa amalan anggota badan! Dan barangsiapa berpendapat demikian, maka ia telah sesat dan menyesatkan. Sesungguhnya pemahaman seperti ini berasal dari kejelekan faham kaum Murji’ah.
4. Iman memiliki cabang-cabang serta tingkatan-tingkatan. Sebagian di antaranya jika ditinggalkan, maka menjadikan kufur, sebagian yang lain jika ditinggalkan adalah dosa -kecil atau besar-, dan sebagian yang lain jika ditinggalkan akan menyebabkan hilangnya kesempatan memperoleh pahala dan menyia-nyiakan ganjaran.
5. Iman dapat bertambah dengan ketaatan hingga mencapai kesempurnaan, dan dapat berkurang karena kemaksiatan hingga sirna dan tidak tersisa sedikit pun.
6. Kebenaran dalam masalah iman dan amal ini, serta hubungan timbal balik antara keduanya dari segi keterkaitannya -kurang atau lebihnya, tetap atau sirnanya- terdapat dalam kandungan pembicaraan Syaikhul Islam, yakni: “Asal iman dari dalam hati, yakni ucapan dan amalan hati, berupa pengakuan, pembenaran, cinta dan kepatuhan. Apa yang berada dalam hati maka sebagai konsekuensi yang dituntutnya (harus) terwujud dalam amalan anggota badan. Apabila ia tidak mengamalkan konsekuensi dan tuntutan iman tersebut (maka hal itu menunjukkan tidak adanya atau kurangnya iman). Karena itu pengamalan lahiriyah merupakan konsekuensi dan tuntutan keimanan hati. Amalan lahiriyah itu adalah salah satu cabang dari keseluruhan iman muthlaq, dan merupakan bagian darinya. Namun apa yang berada dalam hati adalah asal (pokok) dari amalan lahiriyah anggota badan.” [2]
Sirnanya iman muthlaq -yakni kesempurnaannya- tidak otomatis menghapus muthlaqul iman (pokok iman). Hal ini dibenarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam beberapa tulisan beliau.
7. Penggunaan istilah ‘Syarat Kesempurnaan’ (Syarthul Kamal) -yang sekarang banyak dibicarakan oleh berbagai kalangan- adalah istilah baru yang tidak ada di dalam Al-Qur-an, As-Sunnah, maupun ucapan Salafush Shalih dari tiga generasi pertama yang terbaik (Sahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in).
8. Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan Ahlul Qiblat (kaum Muslimin) secara mutlak dengan sebab perbuatan maksiat dan dosa besar yang mereka lakukan, sebagaimana yang dilakukan oleh Khawarij, bahkan persaudaraan iman mereka tetap terpelihara, meskipun berbuat maksiat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.” [Al-Hujuraat: 9][3]
9. Ahlus Sunnah tidak mencabut nama iman secara keseluruhan dari orang Islam yang fasiq dalam agama ini dan tidak menghukuminya kekal dalam Neraka, sebagaimana yang dikatakan oleh Khawarij dan Mu’tazilah. Orang Islam yang berbuat dosa besar dan maksiat dikatakan tidak sempurna imannya.
Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
لاَ يَزْنِى الزَّانِي حِيْنَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَسْرِقُ السَّارِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِيْنَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ فِيْهَا أَبْصَارَهُمْ حِيْنَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ.
“Tidaklah berzina seorang pezina, ketika berzina ia dalam keadaan beriman, tidaklah seorang pencuri, ketika ia mencuri dalam keadaan beriman, tidaklah seorang peminum khamr, ketika ia meminumnya ia dalam keadaan beriman, tidaklah seorang yang menjarah suatu jarahan yang berharga yang disaksikan oleh manusia, ketika menjarahnya ia dalam keadaan beriman.” [4]
Mereka (Ahlus Sunnah) mengatakan: “Orang yang berbuat fasiq itu berkurang imannya, atau beriman dengan imannya, dan fasiq dengan dosa besarnya. Tidak diberi nama iman secara mut-lak dan tidak dicabut juga secara mutlak.”
Dalil-dalil dari ayat Al-Qur-an al-Karim tentang bertambahnya iman terdapat dalam surat Ali ‘Imran: 173, al-Anfaal: 2, at-Taubah: 124, al-Ahzaab: 22, al-Fat-h: 4 dan al-Muddatstsir: 31.
Para ulama Ahlus Sunnah berdalil dengan ayat-ayat di atas tentang bertambah dan berkurangnya iman. Imam Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah pernah ditanya: “Apakah iman bertambah dan berkurang?” Beliau menjawab: “Tidakkah kalian membaca ayat Al-Qur-an?”
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“(Yaitu orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,’ maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah-lah sebaik-baik pelindung.’” [Ali ‘Imran: 173]
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
نَّحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” [Al-Kahfi: 13]
Kemudian ditanya lagi: “Apa dalilnya berkurangnya iman?” Jawab beliau: “Tidak ada sesuatu yang bertambah melainkan ia juga berkurang.” [5] Hal ini juga sesuai dengan apa yang dilakukan Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahiihnya yang memuat bab “Ziyaadatul Iimaan wa Nuqshanuhu (Bertambah dan Berkurangnya Iman).”[6]
Di antara dalil tentang bertambah dan berkurangnya iman adalah firman Allah Ta’ala:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” [Faathir: 32]
Syaikh as-Sa’di menjelaskan bahwa Allah Azza wa Jalla membagi kaum Mukminin menjadi tiga tingkatan, yaitu:
Pertama: Tingkatan yang lebih dahulu mengerjakan kebaikan (سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ). Mereka adalah orang-orang yang melaksanakan yang wajib-wajib dan yang sunnah-sunnah serta meninggalkan yang haram dan yang makruh, serta mereka adalah muqarrabun (orang-orang yang didekatkan) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kedua: Tingkatan orang-orang yang pertengahan (مُقْتَصِِدٌ). Mereka adalah orang-orang yang hanya melaksanakan hal-hal yang diwajibkan atas mereka dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan atas mereka.
Ketiga: Tingkatan orang-orang yang berbuat zhalim atas dirinya (ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ). Mereka adalah orang-orang yang lancang mengerjakan sebagian perkara yang diharamkan atas mereka dan melalaikan sebagian perkara yang diwajibkan atas mereka, dengan pokok iman tetap ada pada mereka.[7]
Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ.
“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang atau enam puluh cabang, cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Laa ilaaha illallaah,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.” [8]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Lihat at-Tanbiihat al-Lathiifah (hal. 84-89), Mujmal Masaa-il Iimaan wal Kufri al-‘Ilmiyyah fii Ushuulil ‘Aqiidah as-Salafiyyah (hal. 21-27, cet. II, 1424 H) dan Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah (hal. 18-19).
[2]. Lihat Majmuu’ Fataawaa (VII/644) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[3]. Allah menyebutkan kata ‘saudara’ (sesama Mukmin), meskipun ia khilaf telah membunuh seorang Mukmin, padahal ini merupakan dosa besar. Lihat QS. Al-Baqarah: 178.
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 2475, 5578), Muslim (no. 57), Abu Dawud (no. 4689), dan at-Tirmidzi (no. 2625), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim menjelaskan: “Hadits ini termasuk yang diikhtilafkan maknanya dan perkataan yang paling shahih yang dikatakan oleh para peneliti bahwa maknanya yaitu, tidaklah melakukan perbuatan dosa dan maksiat ketika seseorang dalam keadaan sempurna imannya. Dan ini termasuk lafazh-lafazh yang menafikan sesuatu, akan tetapi yang dimaksud di sini adalah dinafikan tentang kesempurnaan imannya. Dan kami menafsirkan seperti yang disebut di atas dengan dasar hadits dari Abu Darda’ yang shahih, di mana Rasulullah j bersabda: “Barangsiapa yang mengucapkan ‘La ilaaha Illallah’, ia akan masuk Surga, meskipun ia berzina dan mencuri.” (Syarah Muslim: II/41).
Dalam hadits ini, dinafikannya iman tidak berarti dinafikannya Islam. Karena iman itu lebih khusus dari Islam, sebagaimana firman-Nya: “Orang-orang Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka): ‘Kamu belum beriman,’ tetapi katakanlah: ‘Kami telah tunduk (patuh), karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.” (QS. Hujuraat: 14). (Syarah Khalil Hirras: hal. 236).
Maka, kesimpulannya adalah bahwa setiap Mukmin itu adalah Muslim, akan tetapi tidak setiap Muslim itu adalah Mukmin. (Syarah Shahih Muslim: I/145).
[5]. Lihat asy-Syarii’ah lil Imaam al-Ajurri (II/604-605, no. 239-240) dan al-Ibaanah lil Imam Ibnu Baththah al-Ukbari (no. 1142).
[6]. Lihat Fat-hul Baari (I/103).
[7]. Lihat at-Tanbiihatul Lathiifah (hal. 86) dan Taisiir Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan (hal. 738), cet. I-Maktabah al-Ma’arif, th. 1420 H.
[8]. HR. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 598), Muslim (no. 35), Abu Dawud (no. 4676), an-Nasa-i (VIII/110) dan Ibnu Majah (no. 57), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Shahiihul Jaami’ ash-Shaghiir (no. 2800).
No comments:
Post a Comment