Di Indonesia, mencium tangan merupakan kebiasaan (‘urf) yang ma’ruf
beredar di tengah masyarakat, terutama ditujukan kepada orang tua atau
sebagian guru yang mempunyai keutamaan. Ada sebagian ikhwan yang
mengingkari perbuatan ini dan menganggapnya sebagai tindakan ghulluw (berlebih-lebihan) dan bid’ah, tidak ada contohnya dari kalangan salaf.
Jika kita dudukkan permasalahan secara lebih arif, segala macam ‘urf itu diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan syari’at.[1] Tidak terkecuali permasalahan yang tertera dalam judul artikel.
Ada nash yang menunjukkan kebolehan mencium tangan orang lain sebagai satu tanda penghormatan. Di antaranya :
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ عَبْدِ الْجَبَّارِ الصُّوفِيُّ بِبَغْدَادَ
قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو نَصْرٍ التَّمَّارُ قَالَ: حَدَّثَنَا عَطَّافُ
بْنُ خَالِدٍ الْمَخْزُومِيُّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ رَزِينٍ،
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ، قَالَ: " بَايَعْتُ بِيَدِي هَذِهِ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلْنَاهَا، فَلَمْ
يُنْكِرْ ذَلِكَ "
Telah
menceritakan Ahmad bin Al-Hasan bin ‘Abdil-Jabbaar Ash-Shuufiy di
baghdaad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Nashr
At-Tammaar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aththaaf bin
Khaalid Al-Makhzuumiy, dari ‘Abdurrahmaan bin Raziin, dari Salamah bin
Al-Akwaa’, ia berkata : “Aku berbaiat kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan tanganku ini, lalu kami menciumnya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari hal itu” [Diriwayatkan oleh Abu Bakr bin Al-Muqri’ dalam Ar-Rukhshah fii Taqbiilil-Yadd no. 12; hasan].
حَدَّثَنَا
ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَطَّافُ بْنُ خَالِدٍ، قَالَ:
حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ رَزِينٍ، قَالَ: " مَرَرْنَا
بِالرَّبَذَةِ، فَقِيلَ لَنَا: هَا هُنَا سَلَمَةُ بْنُ الأَكْوَعِ،
فَأَتَيْنَاهُ فَسَلَّمْنَا عَلَيْهِ، فَأَخْرَجَ يَدَيْهِ، فَقَالَ:
بَايَعْتُ بِهَاتَيْنِ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ
فَأَخْرَجَ كَفًّا لَهُ ضَخْمَةً كَأَنَّهَا كَفُّ بَعِيرٍ، فَقُمْنَا
إِلَيْهَا فَقَبَّلْنَاهَا "
Telah
menceritakan kepada kami Ibnu Abi Maryam, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami ‘Aththaaf bin Khaalid, ia berkata : Telah
menceritakan kepadaku ‘Abdurrahmaan bin Raziin, ia berkata : “Kami
pernah melewati daerah Rabadzah. Lalu dikatakan kepada kami : “Itu dia
Salamah bin Al-Akwa’”. Maka kami mendatanginya dan mengucapkan salam
kepadanya. Lalu ia mengeluarkan kedua tangannya dan berkata : “Aku
berbaiat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan
kedua tanganku ini”. Ia mengeluarkan kedua telapak tangannya yang besar
yang seperti tapak onta. Kami pun berdiri, lalu menciumnya (tangan
Salamah)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 973; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Al-Adabul-Mufrad hal. 372].
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ، نَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ النَّيْسَابُورِيُّ، نَا الْحَسَنُ
بْنُ عِيسَى، عَنِ ابْنِ الْمُبَارَكِ، عَنْ دَاوُدَ، عَنِ الشَّعْبِيِّ،
قَالَ: " رَكِبَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، فَأَخَذَ ابْنَ عَبَّاسٍ
بِرِكَابِهِ، فَقَالَ لَهُ: لا تَفْعَلْ يَا ابْنَ عَمِّ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَكَذَا أُمِرْنَا أَنْ نَفْعَلَ
بِعُلَمَائِنَا، فَقَالَ زَيْدٌ: أَرِنِي يَدَكَ، فَأَخْرَجَ يَدَهُ،
فَقَبَّلَهَا زَيْدٌ، وَقَالَ: هَكَذَا أُمِرْنَا أَنْ نَفْعَلَ بِأَهْلِ
بَيْتِ نَبِيِّنَا صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ
Telah
menceritakan kepada kami Ahmad : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad
bin Muhammad An-Naisaabuuriy : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Hasan
bin ‘Iisaa, dari Ibnul-Mubaarak, dari Daawud, dari Asy-Sya’biy, ia
berkata : Zaid bin Tsaabit pernah mengendarai hewan tunggangannya, lalu
Ibnu ‘Abbaas mengambil tali kekangnya dan menuntunnya. Zaid berkata :
“Jangan engkau lakukan wahai anak paman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.
Ibnu ‘Abbaas berkata : “Beginilah kami diperintahkan untuk
memperlakukan (menghormati) ulama kami”. Zaid berkata : “Kemarikanlah
tanganmu”. Lalu Ibnu ‘Abbaas mengeluarkan tangannya, kemudian Zaid
menciumnya dan berkata : “Beginilah kami diperintahkan untuk
memperlakukan (menghormati) ahli bait Nabi kami shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Abu Bakr Ad-Diinawariy dalam Al-Mujaalasah wa Jawaahirul-‘Ilm 4/146-147 no. 1314; dihasankan oleh Masyhuur Hasan Salmaan dalam takhrij-nya atas kitab tersebut].
Perkataan Ibnu ‘Abbaas dan Zaid : “beginilah kami diperintahkan…..”, menunjukkan hukum marfu’ atas riwayat ini.[2]
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ زِيَادِ
بْنِ فَيَّاضٍ، عَنْ تَمِيمِ بْنِ سَلَمَةَ، أَنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ
قَبَّلَ يَدَ عُمَرَ ، قَالَ تَمِيمٌ: وَالْقُبْلَةُ سُنَّةٌ
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : telah menceritakan
kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari Ziyaad bin Fayyaadl, dari Tamiim
bin Salamah : Bahwasannya Abu ‘Ubaidah (bin Al-Jarraah) pernah mencium
tangan ‘Umar”. Tamiim berkata : “Ciuman (tangan) adalah sunnah”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 26611 dan dalam Al-Adab no. 4; dla’iif[3], namun perkataan Tamiim bahwa ciuman tangan adalah sunnah, shahih].
Tamiim adalah seorang tsiqah dari kalangan ulama tabi’iin pertengahan.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ الصَّائِغُ، ثنا سَعِيدٌ، ثنا سُفْيَانُ، عَنْ
مَالِكِ بْنِ مِغْوَلٍ، عَنْ طَلْحَةَ، " أَنَّهُ قَبَّلَ يَدَ خَيْثَمَةَ
".قَالَ مَالِكٌ: وَقَبَّلَ طَلْحَةُ يَدِي
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Aliy Ash-Shaaigh : Telah
menceritakan kepada kami Sa’iid (bin Manshuur) : Telah menceritakan
kepada kami Sufyaan (bin ‘Uyainah), dari Maalik bin Mighwal, dari
Thalhah : Bahwasannya ia mencium tangan Khaitsamah. Maalik berkata :
“Dan Thalhah mencium tanganku” [Diriwayatkan oleh Ibnul-‘Arabiy dalam Al-Qubal no. 6; shahih].
Maalik bin Mighwal adalah seorang tsiqah dari kalangan kibaaru atbaa’it-taabi’iin. Thalhah bin Musharrif adalah seorang yag tsiqah, qari’, lagi mempunyai keutamaan dari kalangan ulama shighaarut-taabi’iin.
عَنْ
عَلِيِّ بْنِ ثَابِتٍ، قَالَ: سَمِعْتُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيَّ، يَقُولُ:
" لا بَأْسَ بِهَا لِلْإِمَامِ الْعَادِلِ، وَأَكْرَهُهَا عَلَى دُنْيَا "
Dari
‘Aliy bin Tsaabit, ia berkata : Aku mendengar Sufyaan Ats-Tsauriy
berkata : “Tidak mengapa dengannya (yaitu mencium tangan) terhadap imam
yang adil, namun aku membencinya jika dilandasi alasan dunia” [Al-Wara’, no. 479; shahih].
Al-Marwaziy rahimahullah berkata :
سألت أبا عبد الله عن قبلة اليد فلم ير به بأسا على طريق التدين ،وكرهها على طريق الدنيا
“Aku
pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) tentang mencium
tangan, maka ia memandang hal itu tidak mengapa jika dilakukan karena
alasan agama, dan ia memakruhkan jika dilakukan karena alasan
keduniaan” [Al-Wara’, no. 476].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
تَقْبِيل
يَد الرَّجُل لِزُهْدِهِ وَصَلَاحه أَوْ عِلْمه أَوْ شَرَفه أَوْ
صِيَانَته أَوْ نَحْو ذَلِكَ مِنْ الْأُمُور الدِّينِيَّة لَا يُكْرَه
بَلْ يُسْتَحَبّ ، فَإِنْ كَانَ لِغِنَاهُ أَوْ شَوْكَته أَوْ جَاهه عِنْد
أَهْل الدُّنْيَا فَمَكْرُوه شَدِيد الْكَرَاهَة وَقَالَ أَبُو سَعِيد
الْمُتَوَلِّي : لَا يَجُوز
“Mencium
tangan seorang laki-laki dikarenakan kezuhudan, keshalihan, ilmu yang
dimiliki, kemuliaannya, penjagaannya, atau yang lainnya dari
perkara-perkara agama tidaklah dibenci, bahkan disukai. Namun apabila
hal itu dilakukan karena faktor kekayaan, kekuasaan, atau kedudukannya
di mata orang-orang, maka hal itu sangat dibenci. Dan berkata Abu
Sa’iid Al-Mutawalliy : ‘Tidak diperbolehkan” [Fathul-Baariy, 11/57].
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah berkata :
وأما
تقبيل اليد ففي الباب أحاديث وآثار كثيرة، يدل مجموعها على ثبوت ذلك عن
رسول الله صلى الله عليه وسلم، فنرى جواز تقبيل يد العالم إذا توفرت
الشروط الآتية:-
1 - ألا يتخذ عادة بحيث يتطبع العالم على مد يده إلى تلامذته ويتطبع على التبرك بذلك، فإن النبي صلى الله عليه وسلم وإن قبلت يده فإنما كان على الندرة، وما كان كذلك فلا يجوز أن يجعل سنة مستمرة كما هو معلوم من القواعد الفقهية.
2 - ألا يدعو ذلك إلى تكبر العالم على غيره، ورؤيته لنفسه كما هو الواقع مع بعض المشايخ اليوم
3 - ألا يؤدي ذلك إلى تعطيل سنة معلومة، كسنة المصافحة، فإنها مشروعة بفعله صلى الله عليه وسلم وقوله، وهي سبب تساقط ذنوب المتصافحين كما روي في غير ما حديث واحد، فلا يجوز إلغاؤها من أجل أمر أحسن أحواله أنه جائز.
1 - ألا يتخذ عادة بحيث يتطبع العالم على مد يده إلى تلامذته ويتطبع على التبرك بذلك، فإن النبي صلى الله عليه وسلم وإن قبلت يده فإنما كان على الندرة، وما كان كذلك فلا يجوز أن يجعل سنة مستمرة كما هو معلوم من القواعد الفقهية.
2 - ألا يدعو ذلك إلى تكبر العالم على غيره، ورؤيته لنفسه كما هو الواقع مع بعض المشايخ اليوم
3 - ألا يؤدي ذلك إلى تعطيل سنة معلومة، كسنة المصافحة، فإنها مشروعة بفعله صلى الله عليه وسلم وقوله، وهي سبب تساقط ذنوب المتصافحين كما روي في غير ما حديث واحد، فلا يجوز إلغاؤها من أجل أمر أحسن أحواله أنه جائز.
“Dan
adapun mencium tangan, maka dalam bab ini terdapat hadits-hadits dan
atsar-atsar yang sangat banyak yang menunjukkan dengan berkumpulnya
tentang tetapnya hal itu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka kami berpandangan tentang bolehnya mencium tangan seorang ‘aalim apabila memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
1. Agar tidak menjadikannya kebiasaan yang menjadikan seorang ‘aalim bertabiat
mengulurkan tangannya kepada murid-muridnya, yang kemudian menjadi
tabi’at (si murid) untuk bertabarruk dengannya. Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam meskipun
tangan beliau dicium para shahabat, maka kejadian itu sangatlah jarang.
Jika demikian, maka tidak diperbolehkan menjadikan hal itu sebagai
sunnah yang dilakukan secara terus-menerus sebagaimana diketahui dalam
kaidah fiqhiyyah.
2. Agar tidak membiarkan hal menjadi kesombongan seorang ‘aalim kepada yang lainnya dan pandangannya terhadap dirinya sendiri sebagaimana hal itu terjadi pada sebagian masyaikh saat ini.
3. Agar
tidak menjadi sebab peniadaan sunnah yang telah diketahui, seperti
sunnah berjabat tangan, karena itu disyari’atkan berdasarkan perbuatan
dan perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dimana jabat
tangan tersebut menjadi sebab gugurnya dosa-dosa dua orang yang
melakukannya, sebagaimana diriwayatkan lebih dari satu hadits. Maka
tidak diperbolehkan membatalkannya (sunnah jabat tangan) dengan sebab
mengerjakan amalan yang keadaan terbaiknya dihukumi boleh” [Silsilah Ash-Shahiihah, 1/252-253].
Asy-Syaikh Ibnul-Jibriin rahimahullah berkata :
نرى
جواز ذلك إذا كان على وجه الاحترام والتوقير للوالدين والعلماء وذوي الفضل
وكبار الأسنان من الأقارب ونحوهم، وقد ألف في ذلك ابن الأعرابي رسالة في
أحكام تقبيل اليد ونحوها، فليرجع إليها، ومتى كان هذا التقبيل للأقارب
المُسنين وذوي الفضل فإنه يكون احترامًا ولا يكون تذللا ولا يكون تعظيمًا،
وقد رأينا بعض مشائخنا يُنكرون ذلك ويمنعونه، وذلك منهم من باب التواضع لا
لتحريمه فيما يظهر. والله أعلم
“Kami
berpendapat bolehnya hal itu, apabila tujuannya untuk menghormati dan
menghargai kedua orang tua, ulama, orang terhormat dan yang berusia
lanjut dari karib kerabat dan yang lain. Ibnul-‘Arabiy telah menulis
tentang hal itu tentang hukum mencium tangan dan semisalnya. Maka
dipersilakan merujuk kepadanya. Apabila mencium tangan ini ditujukan
kepada karib kerabat yang berusia lanjut dan orang yang mempunyai
keutamaan (ulama) maka hal itu untuk menghormati, bukan merupakan
perendahan diri dan pengagungan kepadanya. Kami telah melihat sebagian
guru kami mengingkari hal itu dan melarangnya. Hal itu karena sifat tawadlu' dari mereka, bukan karena mengharamkannya. Wallahu a'lam [lihat : http://ibn-jebreen.com/ftawa.php?view=vmasal&subid=12410&parent=3212].
Walhasil,
mencium tangan seseorang sebagai satu tanda penghormatan kita
terhadapnya (misal : orang tua, suami, guru, ulama, dan yang
semisalnya) adalah diperbolehkan dengan rambu-rambu syar’iy yang telah dijelaskan para ulama di atas.
Inilah sedikit yang bisa saya tuliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abu al-jauzaa’ – sardonoharjo, ngaglik, sleman, yogyakarta, Indonesia].
Catatan kecil :
Riwayat tersebut menunjukkan bahwa ciuman tangan yang dilakukan Zaid kepada Ibnu ‘Abbaas bukan dalam rangka tabarruk,
akan tetapi dalam rangka penghormatan terhadap Ahlul-Bait. Hal itu
dikarenakan apa yang dilakukan Zaid merupakan balasan atas penghormatan
Ibnu ‘Abbaas yang telah menuntun kendaraannya.
No comments:
Post a Comment