(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husain Al-Atsariyyah)
Sesosok jenazah terbujur di hadapan kita menanti uluran tangan insan yang hidup untuk memandikan, mengafani, menshalatkan dan menguburkannya. Yang demikian ini merupakan kewajiban orang yang masih hidup, namun bila telah ada sebagian orang yang menunaikannya, maka gugurlah kewajiban yang lain. (Al-Hawil Kabir, Al-Mawardi, 3/6. Al-Muhalla 4/343)
Berikut ini kami akan merinci penyelenggaraan jenazah seorang muslim, dimulai dari memandikannya.
Memandikan Jenazah
Hukum dimandikannya jenazah diperselisihkan ulama. Adapun penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) dalam masalah ini yang disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi t dalam Al-Majmu’ (5/112) tidaklah tepat. Karena kata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t, perselisihan pendapat dalam masalah ini masyhur di kalangan madzhab Malikiyyah. Sampai-sampai Al-Imam Al-Qurthubi t menguatkan pendapat yang menyatakan hukumnya sunnah. Akan tetapi jumhur ulama berpendapat wajib, dan Ibnul ‘Arabi t telah membantah orang yang berpendapat dengan selain pendapat jumhur ini. (Fathul Bari 3/156)
Hadits Ibnu ‘Abbas c merupakan satu di antara beberapa dalil yang menunjukkan jenazah itu wajib dimandikan. Ibnu ‘Abbas c berkata: “Ketika seseorang sedang wuquf di Arafah, tiba-tiba ia jatuh dari hewan tunggangannya yang seketika itu menginjaknya hingga meninggal. Maka Nabi n memerintahkan para shahabatnya:
“Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara….”1
Yang Harus Diperhatikan sebelum Memandikan Jenazah
Sebelum memandikan jenazah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Pertama: Jenazah laki-laki harus dimandikan oleh laki-laki dan jenazah wanita dimandikan oleh wanita pula, kecuali suami istri. Diperbolehkan suami memandikan jenazah istrinya dan sebaliknya istri boleh memandikan jenazah suaminya menurut pendapat jumhur ulama (Syarhus Sunnah, Al-Baghawi, 5/309, Al-Muhalla 3/405, Nailul Authar 4/37, Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’ 2/489).
Dengan dalil hadits ‘Aisyah x:
“Nabi n kembali kepadaku setelah mengantarkan jenazah ke Baqi’. Ketika itu aku merasakan sakit pada kepalaku, maka aku katakan: “Aduh, kepalaku sakit.” Beliau n pun berkata: “Aduh, aku juga sakit kepalaku. Tidak bermudharat bagimu, seandainya engkau meninggal mendahuluiku, aku akan memandikan jenazahmu, mengafanimu, menshalatimu kemudian menguburkanmu.”2
Aisyah x berkata:
“Seandainya perkara yang telah lewat ini dapat kutemui pada waktu mendatang, niscaya tidak ada yang memandikan Nabi n kecuali istri-istri beliau.”3
Ibnu Hazm t menyatakan, suami boleh memandikan jenazah istrinya, istri pun boleh memandikan jenazah suaminya. (Al-Muhalla 3/405)
Kedua: Yang memandikan jenazah hendaklah orang yang memiliki pengetahuan tentang tata caranya, terlebih lagi bila orang tersebut dari kalangan keluarganya (Ahkamul Jana`iz, Asy-Syaikh Al-Albani t hal. 68). Dan diutamakan seorang yang shalih, karena ia dapat menahan dirinya untuk menceritakan aib (cacat/ cela) yang dilihatnya dari si mayit bahkan menutupinya. Rasulullah n bersabda:
“Siapa yang menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat.”4
Sebagaimana pula beliau n bersabda:
“Siapa yang memandikan (jenazah) seorang muslim lalu ia menyembunyikan (apa yang dilihatnya dari aib si mayit) maka Allah akan mengampuninya 40 kali.”5
Ketiga: Jenazah yang akan dimandikan jangan diletakkan di atas tanah karena akan mempercepat kerusakan jasadnya, tapi diletakkan di atas tempat tidur atau papan yang lurus. Papan tersebut pada bagian kaki mayit agak dimiringkan sehingga air basuhan dapat mengalir ke bawah kaki, tidak mengalir ke kepala mayat atau menggenang di bawah tubuhnya. (Al-Mughni 2/164, Al-Majmu’ 5/131, Asy-Syarhul Mumti’ 2/479)
Tata Cara Memandikan Jenazah
Hadits ‘Aisyah x berikut ini mengawali pembicaraan kita tentang tata cara memandikan jenazah. Aisyah x berkata: “Ketika hendak memandikan Nabi n, mereka berkata: ‘Demi Allah, kami tidak tahu, apakah kami harus melepaskan pakaian Rasulullah n sebagaimana yang biasa kami lakukan terhadap orang yang meninggal di kalangan kami, atau kami harus memandikan beliau dalam keadaan beliau tetap mengenakan pakaiannya?’ Maka ketika mereka berbeda pendapat dalam masalah ini, Allah I memberikan rasa kantuk pada mereka hingga mereka pun tertidur. Sampai-sampai tidak ada seorang pun dari mereka kecuali dagunya menempel pada dadanya. Kemudian ada seseorang yang tidak mereka ketahui mengajak bicara mereka dari sisi rumah. Orang itu berkata: “Mandikanlah Nabi n dalam keadaan tetap mengenakan pakaiannya”. Setelahnya mereka pun bangkit menuju Rasulullah n untuk memandikannya sementara gamis beliau tetap menempel pada tubuh beliau. Mereka menuangkan air di atas gamis beliau dan menggosok tubuh beliau dengan gamis tersebut, tidak langsung dengan tangan-tangan mereka.”6
Kemudian, hadits Ummu ‘Athiyyah Al-Anshariyyah x yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim t dalam Shahih keduanya, kita bawakan di bawah ini karena hadits ini termasuk pokok dalam masalah memandikan jenazah dan tata caranya. Sehingga sekelompok shahabat dan ulama dari kalangan tabi’in di Bashrah mengambil cara memandikan jenazah dari Ummu ‘Athiyyah (Al-Isti’ab 4/1947, Al-Ishabah 8/261). Ibnul Mundzir t berkata: “Tidak ada hadits yang berbicara tentang memandikan jenazah yang lebih tinggi daripada hadits Ummu ‘Athiyyah x.” (Fathul Bari 3/159)
Shahabiyah yang biasa memandikan jenazah ini berkata, mengisahkan saat ia memandikan jenazah Zainab putri Rasulullah n:
“Nabi n masuk menemui kami ketika kami akan memandikan jenazah putri beliau Zainab. Beliau berkata: ‘Mandikanlah dia tiga kali, lima kali atau lebih bila kalian pandang perlu, dengan air dan daun sidr. Jadikanlah akhir basuhannya bercampur dengan kapur barus atau sedikit dari kapur barus. Bila kalian telah selesai memandikannya, panggillah aku.” Maka ketika kami telah selesai, kami pun memanggil beliau. Beliau memberikan sarungnya pada kami seraya berkata: “Selimutilah tubuhnya7 dengan kain ini.”8
Ummu ‘Athiyyah juga mengabarkan:
Mereka menjadikan rambut putri Rasulullah n tiga pintalan, (sebelumnya) mereka menguraikannya (melepas ikatannya) kemudian mencucinya, lalu menjadikannya tiga pintalan.”9
Masih berita dari Ummu ‘Athiyyah x:
“Rasulullah n bersabda ketika putri beliau sedang dimandikan:
“Mulailah dari bagian kanannya dan tempat-tempat (anggota-anggota, ed) wudhunya.”10
Dari hadits-hadits di atas dapat disimpulkan bahwa cara memandikan jenazah adalah sebagai berikut:
1. Ketika hendak dimandikan, pakaian yang masih menutupi tubuh mayat dilepas seluruhnya, sebagaimana hal ini biasa dilakukan di masa Nabi n yang ditunjukkan dalam hadits Aisyah x di atas. Dan bagian auratnya ditutup (Asy-Syarhul Mumti’ 2/492), karena Rasulullah n bersabda:
“Seorang lelaki tidak boleh melihat aurat laki-laki yang lain dan seorang wanita tidak boleh melihat aurat wanita lain.”11
Ibnu Qudamah t berkata: “Disenangi melepas pakaian si mayat ketika hendak dimandikan dan auratnya ditutup dengan kain.” (Al-Mughni 2/163)
Mayat dimandikan di tempat yang tertutup dari pandangan mata, yang hanya dihadiri oleh orang yang memandikannya beserta orang yang membantunya bila memang diperlukan. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata: “Sepantasnya mayat dimandikan di tempat yang tidak terlihat manusia, bisa di kamar atau di kemah dan semisalnya. Karena menutup mayat dari pandangan mata lebih utama dari menyingkapnya. Hal ini disebabkan karena mayat itu terkadang berada dalam keadaan yang tidak disenangi (untuk dipandang) sehingga menampakkannya di hadapan manusia merupakan satu bentuk penghinaan terhadapnya. Dan juga terkadang mayat itu menakutkan bagi orang yang melihatnya, terlebih lagi bagi sebagian manusia yang mereka ini sangat ketakutan bila melihat mayat. Dengan demikian, menutup mayat dari pandangan manusia lebih utama dan lebih menjaga.” (Asy-Syarhul Mumti’ 2/493)
2. Mayat mulai dicuci anggota-anggota wudhunya.
Ibnu Qudamah t mengatakan: “Setelah dihilangkan najis dari si mayat (dan dibersihkan, pen.), ia diwudhukan oleh orang yang memandikannya seperti wudhu untuk shalat. Dicuci kedua telapak tangannya. Lalu diambil kain yang kasar, dibasahi dan diletakkan pada jari orang yang memandikan si mayat. Kemudian dengan jari yang dibalut kain tersebut gigi geligi mayat diusap. Demikian pula bagian dalam hidungnya hingga bersih. Hal ini dilakukan dengan lemah lembut. Kemudian wajah mayat dicuci dan disempurnakan wudhunya.” (Al-Mughni 2/165)
Setelah mayat diwudhukan, rambutnya digerai dengan perlahan dan dicuci bersih. (Al-Hawil Kabir 3/10, Al Majmu’ 5/132). Bila mayat itu seorang wanita, rambutnya disisir dan dikepang tiga, dua kepangan pada dua sisi kepala dan satunya lagi di bagian rambut depan/ jambul, sebagaimana dinyatakan Sufyan Ats-Tsauri t12. Kemudian, sebagaimana kata Ummu ‘Athiyyah x:
“Kami menjalin rambutnya menjadi tiga pintalan dan meletakkannya di belakangnya.”13
3. Setelahnya dimulai membasuh bagian kanan tubuh mayat.
Mayat dimandikan dengan tiga kali siraman atau lebih bila dipandang perlu oleh yang memandikan, namun tetap dalam hitungan ganjil. Pada sebagian siraman, mayat dibasuh dengan air yang dicampur dengan daun sidr (bidara) yang dihaluskan. Namun bila tidak didapatkan, bisa digantikan dengan pembersih lainnya seperti sabun atau yang lainnya (Ahkamul Jana`iz, hal. 64) karena Allah I berfirman:
“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.”
“Allah tidak membebani satu jiwa kecuali sekadar kemampuannya.”
Pada akhir basuhan, air dicampur dengan wewangian, lebih utama lagi dicampur dengan kapur barus yang dihaluskan. (Ahkamul Jana`iz, hal. 65, Asy Syarhul Mumti’ 2/497)
Air yang digunakan untuk memandikan mayat sebaiknya air dingin, namun bila ada kebutuhan dan melihat kemanfaatan bagi kebersihan tubuh si mayat, bisa digunakan air hangat (Al-Hawil Kabir 3/9, Asy Syarhul Mumti’ 2/497).
4. Ketika dimandikan, bagian-bagian tubuh mayat digosok perlahan dengan kain perca/ washlap atau semisalnya. Caranya, orang yang memandikan membungkus tangannya dengan kain tersebut atau menggunakan kaos tangan. Kemudian tubuh mayat digosok perlahan dari bawah kain penutup tubuhnya. Hal ini dilakukan agar orang yang memandikan tidak menyentuh aurat si mayit. Sebaiknya disiapkan lebih dari satu kain perca/ kaos tangan, sehingga setelah kain/ kaos tangan yang satu dipakai untuk menggosok bagian pembuangan si mayat, kain/ kaos tangan tersebut diganti dengan yang lain. (Al-Umm 1/302, Al-Hawil Kabir 3/9, Al-Majmu’ 5/130, Asy Syarhul Mumti’, 2/494)
Setiap kali basuhan, tangan orang yang memandikan tidak lepas dari mengurut-urut perut mayat agar sisa kotoran yang mungkin tertinggal dapat keluar. (Asy Syarhul Mumti’, 2/496)
Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata: “Kemudian mayat dimandikan (mulai) dari sisi kanan lehernya, belahan (kanan) dadanya, rusuknya, paha dan betis (kanan)nya. Kemudian kembali ke bagian kiri tubuhnya dan diperbuat semisal bagian kanan tubuhnya. Setelahnya mayat dimiringkan ke rusuk kirinya, lalu dicuci punggungnya, tengkuk, paha dan betis kanannya. Kemudian dimiringkan ke rusuk kanannya dan dilakukan hal yang sama dengan sebelumnya. Setelah itu dicuci bagian bawah kedua telapak kakinya, antara dua pahanya dan belahan pantatnya dengan kain perca.” (Al-Hawil Kabir 3/10, Al Majmu’ 5/133)
Selesai dari semua itu, seluruh tubuh mayat disiram dengan air yang dicampur dengan kapur barus.
Usai basuhan terakhir, kedua tangan mayat dirapatkan pada rusuknya dan kedua kakinya dirapatkan hingga kedua mata kakinya saling menempel, kedua pahanya pun saling dirapatkan. Bila keluar sesuatu dari tubuh mayat setelah selesai dimandikan maka dibersihkan dan tubuhnya dibasuh sekali lagi. Terakhir, tubuh mayat dikeringkan dengan kain. Setelah kering, diletakkan di atas kafan yang telah disiapkan. (Al-Umm 1/303, Al-Hawil Kabir 5/12)
Mengusap Perut Mayat agar Kotoran yang Ada di Dalamnya Keluar
Ketika mayat telah dibaringkan di tempat yang disiapkan untuk memandikannya, mayat didudukkan sedikit (hampir mendekati posisi duduk) dengan mengangkat kepalanya. Lalu orang yang memandikan menjalankan tangannya di atas perut mayat berulang kali (diusap dengan tekanan/ diurut) dengan lembut agar keluar kotoran yang mungkin masih ada dalam perutnya14, kemudian dibersihkan/ dicebok dengan cara orang yang memandikan membalutkan tangannya dengan kain atau dengan memakai kaos tangan, kemudian ia membersihkan kemaluan si mayat dari kotoran yang keluar. Hal ini dilakukan untuk mencegah jangan sampai kotoran itu keluar setelah mayat selesai dimandikan sehingga mengotori kafannya. (Al-Umm 3/404, Al-Majmu’ 5/130, Asy-Syarhul Mumti’ 2/493-494)
Disenangi bila di dekat tempat tersebut diletakkan wangi-wangian seperti bukhur (dupa yang dibakar sehingga asapnya menyebarkan aroma yang wangi) agar bau tidak sedap yang mungkin tercium dari kotoran si mayat bisa tersamarkan. (Al- Majmu’ 5/135, Al-Mughni 2/165).
Apa yang Dilakukan setelah Selesai Memandikan Jenazah?
Selesai memandikan jenazah, disunnahkan bagi yang memandikannya untuk mandi menurut pendapat jumhur ulama15 (Al-Majmu’ 5/144), dengan dalil sabda Nabi n:
“Siapa yang memandikan jenazah, maka hendaklah ia mandi. Dan siapa yang memikul jenazah, hendaklah ia berwudhu.”16
Perintah Rasulullah n dalam hadits di atas tidaklah bermakna wajib karena ada hadits lain yang mauquf17 namun hukumnya marfu’, kata Asy-Syaikh Al-Albani t. Salah satunya dari Ibnu ‘Umar c, ia menyatakan:
“Kami dulunya memandikan mayit, maka di antara kami ada yang mandi dan ada yang tidak mandi.”18
Bolehkah Wanita yang Sedang Haid atau Nifas Memandikan Jenazah?
Dalam masalah ini ahlul ilmi berbeda pendapat, antara yang membolehkan dengan yang menganggap makruh. ‘Alqamah berpendapat boleh, sedangkan Al-Hasan Al-Bashri dan Ibnu Sirin berpendapat makruh sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (2/254). Pendapat yang kami pandang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang membolehkan karena tidak adanya larangan dari Nabi n dalam hal ini. Pendapat ini dipilih Al-Imam An-Nawawi t dalam Al-Majmu’ (5/145).
Ditanyakan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta`19 tentang permasalahan ini, maka keluarlah fatwa dari lajnah ini bernomor 6193 dengan pernyataan: boleh bagi wanita yang sedang haid untuk memandikan dan mengafani jenazah wanita, atau jenazah suaminya secara khusus, karena haid tidak teranggap sebagai penghalang untuk memandikan jenazah. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah 8/369)
Mayat Meninggal dalam Keadaan Haid atau Junub
Apabila mayat meninggal dalam keadaan haid atau junub maka cukup dimandikan dengan sekali mandi karena tidak ada larangan dalam hal ini, demikian pendapat sejumlah ulama. (Al-Majmu’ 5/123). Pendapat inilah yang kuat, Insya Allah, walaupun dalam hal ini ada ulama lain yang memakruhkan bila si mayat hanya dimandikan sekali. Al-Hasan berpendapat mayat yang junub dimandikan dengan mandi janabah dulu, yang haid juga dimandikan mandi haid dulu, kemudian baru dimandikan dengan mandi jenazah, sehingga mayat dimandikan dua kali mandi. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah 2/254)
Apakah Janin yang Gugur Harus Dimandikan?
Bila janin tadi belum genap empat bulan maka tidak dimandikan, tidak pula dishalati. Dia dibalut dalam kain dan dikuburkan, kata Ibnu Qudamah t, karena sebelum berusia empat bulan janin itu belum ditiupkan ruh sehingga belum menjadi manusia. Adapun bila janin telah genap empat bulan maka harus dimandikan. (Al-Mughni 2/200, Asy-Syarhul Mumti’2/507)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Bersambung insya Allah)
1 HR. Al-Bukhari no. 1265 dalam Shahih-nya, Kitab Al-Jana`iz, bab Al-Kafan fi Tsaubaini dan Muslim no. 1206, kitab Al-Hajj, bab Ma Yuf’alu bil Muhrim idza Maata.
2 HR. Ahmad 6/228 dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ahkamul Jana`iz, hal. 67.
3 HR. Ahmad 6/267, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil t dalam Al-Jami’ush Shahih 2/248
4 HR. Al-Bukhari no. 2442, kitab Al-Mazhalim, bab La Yazhlimul Muslim Al-Muslima wa Yuslimuhu dan Muslim no. 2580, kitab Al-Birru wash Shilah wal Adab, bab Tahrimuzh Zhulm
5 HR. Al-Hakim 1/354, 362. Ia berkata tentang hadits ini: “Shahih di atas syarat Muslim”. Adz-Dzahabi menyepakatinya. Asy-Syaikh Al-Albani t berkata dalam Ahkamul Jana`iz hal. 69: “Hadits ini memang shahih di atas syarat Muslim sebagaimana yang dikatakan keduanya.”
6 HR. Abu Dawud no. 3141, Kitab Al-Jana`iz, bab Fi Satril Mayyit ‘inda Ghaslihi, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud
7 Al-Imam Al-Baghawi t menyatakan: “Rasulullah n menyuruh mereka untuk menjadikan kain beliau sebagai syi’ar bagi putrinya. Makna syi’ar adalah pakaian/ kain yang langsung bersentuhan dengan tubuh, tanpa ada penghalang. Sedangkan ditsar adalah pakaian/ kain yang diletakkan di atas syi’ar.” (Syarhus Sunnah 5/306)
8 HR. Al-Bukhari no. 1253, Kitab Al-Jana`iz bab Ghuslil Mayyit wa Wudhu‘ihi bil Ma‘i was Sidr dan Muslim no. 939 Kitab Al-Jana`iz bab Fi Ghuslil Mayyit
9 HR. Al-Bukhari no. 1260, Kitab Al-Jana`iz, bab Naqdhu Sya’ril Mar`ah dan Muslim no. 939
Ummu Athiyyah x berkata:
“Kami menyisirnya menjadi tiga jalinan.” (HR. Al-Bukhari no. 1254 bab Ma Yustahabbu An Yughsala Witran dan Muslim no. 939)
10 HR. Al-Bukhari no. 1255 bab Yubda`u bi Mayaminil Mayyit dan Muslim no. 939
11 HR. Muslim no. 338 kitab Al-Haidh, bab Tahrimun Nazhar ilal ‘Aurat
12 HR. Al-Bukhari no. 1262, bab Yuj’al Sya’rul Mar`ati Tsalatsata Qurun
13 HR. Al-Bukhari no. 1263, bab Yulqa Sya’rul Mar`ah Khalfaha
14 Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata: “Mayat itu mengendor/ lunak seluruh urat syarafnya, sehingga bila kepalanya diangkat pada posisi demikian dan perutnya diurut dengan lembut maka bisa jadi akan keluar kotoran yang ada dalam perutnya yang memang telah siap untuk keluar.” (Asy-Syarhul Mumti’ 2/493)
15 Karena memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini.
16 HR. Abu Dawud no. 3161 dan At-Tirmidzi no. 993 dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abu Dawud dan Shahih At-Tirmidzi
17 Ucapan, perbuatan ataupun taqrir dari shahabat, bukan dari Rasulullah n.
18 HR. Ad-Daraquthni no. 191 dan Al-Khathib dalam Tarikh-nya 5/424 dengan sanad shahih sebagaimana dinyatakan Al-Hafizh, kata Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ahkamul Jana`iz hal. 72
19 Yang saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dan wakil ketua Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi
No comments:
Post a Comment