Monday, April 2, 2012

SEKILAS TENTANG BID'AH

PENDAHULUAN

segala puji hanya bagi Allah SWT, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW, keluarga, shahabat, serta orang-orang yagn mengikuti jejak langkah beliau hingga akhir datangnya hari kiamat. Amma ba’du.



Tulisan yagn berada di tangan pembaca ini, berisi pembahasan ringkas tentang bid’ah baik dalam urusan din maupaun dunia. Di dalamnya dijelaskan permasalahan bid’ah secara singkat dan mendasar yang berdasarkan kaidah baku yang dengannya memungkinkan kita untuk bermuamalah dalam kehidupan nyata sesuai dengan manhaj yang benar, serta sikap kaum salaf dalam menyikapinya, sehingga kita mampu untuk beramal secara sungguh-sungguh dalam menghidupkan sunnah nabi Muhammad SAW, dan menyelamatkan umat dari bahaya bid’ah dan kesesatan. Kita berharap semoga Allah SWT, memberikan taufiq dan kebenaran dalam tulisan ini.



Mengetahui kaidah dasar dalam muamalah dengan Ahlul Iftiraq (pelaku perpecahan) sesuai dengan manhaj shahabat Rasulullah SAW, adalah suatu keharusan, bahkan menjadi suatu kewajiban, seiring dengan munculnya berbagai firqah (kelompok), memperhatikannya berlandaskan kaidah dan tuntunan syar’i merupakan sebuah al-haq dan kewajiban. Seseorang ditetapkan berdosa jika meninggalnya, karena akan menjadikan kesempitan hidup baginya dalam beragama.



Pembahasan ini saya tulis dengan uraian yang sederhana, yang di dalamnya membahas tentang Batasan Bid’ah, Kaidah-Kaidah yang berkaitan dengannya, , dan contoh, serta sikap kaum Salaf menyikapi hal tersebut (bid’ah). Sesuai dengan kemampuan penulis. Saya tidak menjelaskan secara detail dan panjang lebar dalam masalah ini ( bid’ah), dikarenakan ruang pandang yang tidak meluas. Tujuan dari pembahsan ini adalah untuk menetapkan kaidah baku seputar bid’ah, Sedangkan untuk penjelasan yang lebih rinci seputar masalah ini ( bid’ah), dibutuhkan seorang penulis yang mempunyai spesialis keilmuan dalam membahasnya.



Pembahasan Pertama



BID’AH, DEFINISI

DAN

KAIDAH-KAIDAHNYA



Mengetahui adanya dampak bid’ah terhadap umat harus dimulai terlebih dahulu dengan pembahasan terminologi bid,ah. Tujuan dalam kesempatan ini adalah untuk menjelaskan apakah terminologi bid’ah itu adalah suatu istilah syar’i yang mengandung hukum, atau tidak. Karena sudah menjadi ketetapan para ulama, bahwa tidak boleh menetapkan sebuah hukum yang tidak ditetapkan oleh Allah SWT, dan Rasul-Nya SAW.[1]



Penjelasan ini dilatar belakangi atas adanya perbedaan dalam menentukan batasan istilah bid’ah pada sebagian kaum muslimin, adanya pendapat ulama yang saling bertentangan dalam masalah bid’ah yang terkadang membuat ragu sebagian kaum muslimkin. Maka dengan latar belakang di atas, penulis berusaha untuk menulis sebuah kajian dalam rangka menghilangkan keraguan umat-insya Allah-. Dalam pembahasan ini, penulis ketengahkan terminologi bid’ah tentang definisi dan kaidah star’i yang berkaitan dengannya-insya Alllah.[2]



Definis Bid’ah

Tinjauan Bahasa

Dari tinjauan bahasa, kata bid’ah berasal dari kata bada’a- yabda’u –bid’an yang artinya memulai. Lebih lanjut disebutkan: Al-Bid’usy Syay’u Alladzi Yakuunu Awwalan; sesuatu itu bid’ah yakni yang terjadi kali pertama[3]. Sebagaimana firman Allah SWT.



ö@è% $tB àMZä. %Yæô‰Î/ z`ÏiB È@ß™”9$#

“kataknlah: ‘Aku bukanlah Rasul yang pertama di antaar Rasul-rasul.’ ( Q.S Al-Ahqaf:9)



Sedangkan kaliamt ) البدع ) dengan baris kasrah pada huruf Ba’ bermakna sesuatu yang baru kali pertama terjadi.[4] Adapun kalimat (بدع- أبدع الشّي) mengandung arti menciptakan sesuatu tanpa adanya contoh sebelumnya. Sebagaimana firman Allah SWT.[5]

ßìƒÏ‰t/ ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur

“Allah pencipta langit dan bumi” (Q.S Al-Baqarah: 117)



Semua definisi bid’ah dalam segi bahasa berkisar antara makna al-ihdats (sesuatu ciptaan yang baru) dan awwaliyah (permulan).

Tinjauan Istilah

Sedangkan definisi bid’ah dari tinjauan istilah, telah banyak didefinisikan oleh para ulama diantaranya:

1. Bid’ah adalah sesuatu yang menyelisihi As-Sunnah, dinamakan bid’ah karena pelakunya membuat sesuatu hal yang belum pernah dilakukan seorang Imam (panutan), bid’ah merupakan suatu hal baru yang tidak pernah dilakukan para shahabat dan tabi’in, serta tidak ada tuntunannya dari dalil syar,i.[6]



2. Imam As-Syatibi Rahimahullah mendefinisikan bid’ah dengan mengatakan, “Bid’ah adalah suatu jalan yang ditempuh dalam mengamalkan din, yang merupakan suatu hal baru yang menyerupai syari’at, serta diniatkan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT”[7]



3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah Rahimahullah berkata, “bid’ah dalam urusan din adalah suatu hal yang tidak pernah disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya SAW, yaitu sesuatu yang tidak diperintahkan, baik hukumnya wjib ataupun sunnah.”[8]



Para ulama mendefinisikan bid’ah berkisar pada makna di atas.



Kemudian akan kami jelaskan dalam pembahasan ini tentang batasan bid’ah secara mendalam -insya Allah-. Tujuan dalam pembahasan kali ini adalah mengidentifikasikan bid’ah antara makna bahasa dan istilah. Karena apabila tidak ada pembatasan definisi dari dua sisi tersebut di atas, bisa menjadi penyebab kaburnya definisi bid’ah pada sebagian orang, sehingga mereka memahami apa yang disampaikan sebagian ulama –Rahimahullah- sebagai suatu bentuk keridhaan mereka terhadap perkara bid’ah, padahal masalahnya tidak sebagaimana yang mereka pahami.



Abul Fajar Al-Baghdadi Rahimahullah berkata, “ Apa yang diucapkan oleh ulama salaf pada salah satu bentuk ijtihad mereka adalah suatu perbuatan bid’ah (hal yang baru), apabila ditinjau dari degi bahasa dan bukan dari segi istilah syar’I, sebagaimana perkataan Umar Bin Khattab Radhiaahu’anhu ketikia dia mengumpulkan kaum muslimin untuk mengerjakan Qiyam Ramadhan berjamaah, dengan seorang imam dalam sebuah mesjid, beliau mengatakan, “Hal baru ini menyenangkanku.”[9] Demikian pula yang diungkanpakan Al-Hafizh Ibnu Hajar, di mana beliau mengatakan bahwa imam Syafi’I berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi dua bagian, yaitu; mahmudah ( terpuji ) dan bid’ah madzmumah (tercela), bid’ah yang sesuai As-Sunnah adalah bid’ah terpuji, sedangkan yang menyelisi As-Sunnah adalah bid’ah terela.”[10] perlu ditegaskan di sini, bahwa pemakaian lafazh bid’ah menurut ulama salaf di atas secara jelas hanya terbatas pada pengertian tinjauan bahasa, adapun pemakaian lafazh bid’ah secara syar’i hampir-hampir semua dalil yang menerangkannya, baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, menyebutkan sebagai sesuatu yang tercela dan hina. Tidak boleh memakai perkataan ulama untuk menguatkan kebenaran suatu perbuatan bid’ah.[11]

KAIDAH-KAIDAH BID’AH



Penggunaan lafazh bid’ah menurut para ulama terdahulu, terkadang menjadikan sebagian orang bingung dan kacau dalam memahaminya, yakni dalam persoalan bagaimana mengategorekan setiap hal baru yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah SAW, adalah terpuji atau tercela? Sebagaimana lahirnya ilmu nahwu, ilmu hadits, dan ilmu tafsir yang belum ada pada masa beliau, apakah munculnya perkembangan ilmi-ilmu baru itu disebut dengan bid’ah? Dalam pembahasan selanjutnya akan dijelaskan bahwa bid’ah tercela memiliki hukum-hukum dan ketentuan dan ketentuan-ketentuan syar’i. hukum dan ketentuan itu membutuhkan penjelasan, guna menentukan akan batasasn-batasannya dengan penjelasan lugas yang akan memudahkan hidup bermu’amalah dengan ketentuan syar’i.[12]



Imam Asy-Syatibi Rahimahumullah telah membahas masalah ini secara luas dalam kitabnya yang berjudul “Tahdidul Ma’alim Wa Dhawabithul Bi’dah Al-Madzmumah”, hanya saja pembasannya tidak terkumpul dalam satu keutuhan pembahasan. Semoga dalam pembahasan ini Allah SWT, memudahkan kita untuk menjelaskannya.



Kaidah Pertama

Berlebihan Dalam Beribadah Adalah Bid’ah yang Tercela



Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, “sebagian ulama salaf mengatakan, ‘Tidaklah Allah SWT, memerintahkan suatu perintah itu akan dimanfaatkan oleh setan untuk mengatur tipu dayanya, yaitu melalui jalan tafrith (meremehkan) atau dengan jalan ghuluw (berlebih-lebihan), setan tidak menghiraukan dengan jalan mana dalam meraih keberhasilan untuk menjerumuskan manusia.[13] mereka memahami firman Allah SWT, yang bertbunyi:



$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbr߉ç7÷èu‹Ï9 ÇÎÏÈ

“Tidaklah Aku ciptakan dan manusia kecuali hanya untuk menyembah kepada-Ku”(Q.S. Adz-dzairyat:56)



Ayat ini adalah perintah untuk beribadah, sehingga setan enggan dan membuat perlawanan supaya keturunan Adam tidak mengamalkan perintah itu. Bentuk perlawanannya dengan menjerumuskan mereka pada kemaksiatan sehingga mereka menjadi orang yang lalai, atau akan menjerumuskan pada sikap ghuluw, yang pada hakikatnya kedua tipu daya setan itu akan menyengsarakan manusia. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala menjadikan ibadah hanya pada apa yang diperintahkan oleh-Nya.[14]



Perhatikanlah firman Allah berikut ini:



§ºp§‹ÏR$t6÷du‘ur $ydqããy‰tGö/$# $tB $yg»uZö;tGx. óOÎgøŠn=tæ žwÎ) uä!$tóÏGö/$# ÈbºuqôÊÍ‘ «!$# $yJsù $ydöqtãu‘ ¨,ym $ygÏFtƒ$tãÍ‘ ( $oY÷s?$t«sù tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä öNåk÷]ÏB óOèdtô_r& ( ׎ÏWx.ur öNåk÷]ÏiB tbqà)Å¡»sù ÇËÐÈ

”Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah[1460] Padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik” (Q.S. Al-Hadid:56)



.Ayat ini adalah bentuk pengingkaran Allah Ta’ala kepada orabg-orang Nasrani dalam mengada-ada suatu bid’ah yang Allah SWT, tidak mewajibkan kepada mereka, adapun pengecualian dalam ayat di atas pada kalimat “Tapi untuk mencari keridhoan Allah” adalah pengecualian yang terputus, dimaksudkan untuk menjelaskan tuhan orang Nasrani dalam mengada-ngadakn rahbaniyah yang mengatasnamakan Allah dalam mencari keridhoan-Nya.[15]



Ibnu Katsir Rahimahullah berkat, “ Lafazh kalimat pada ayat di atas, ‘Tapi’ untuk mencari keridhoan Allah” difahami oleh para ulama dengan dua makna. Pertama, mereka meniatkan perbuatan bid’ah itu dengan mencari ridho Allah, ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair dan Qatadah. Kedua, yang diwajibkan bagi mereka adalah mencarti ridho Allah bukan membuat bentuk ibadah baru (bid’ah).[16]



Dalam hal ini Imam As-Syatibi mengatakan, “Ghuluw adalah perbuatan yang berlebihan dalam beribadah kepada Allah Ta,ala.”[17]



Kemudian beliau menjelasakan batasan dalam perbuatan bid’ah dengan perbuatan ghuluw, beliau mengatakan, “Ghuluw adalah bentuk konkrit dari perbuatan bid’ah yang menjadi sebuah syari’at tersendiri.”[18] letak dicelanya perbuatn ini adalah bahwa mubtadi’ (pelaku bid’ah) telah melampaui batas dengan akal dan hawa nafsunya, dan mengabaikan batasana beribadah kepada Allah SWT, dia tidak menyangka bahwa hawa nafsunya telah menjadi sesembahan dalam menentukan bentuk ibadah.



Nash syar’i baik darti Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun pendapat ulama salaf telah menguatkan akan haramnya perbuatan itu. Dalil-dalilnya adalah serbagai berikut:



1. Firman Allah Ta,ala

ß÷Pr& óOßgs9 (#às¯»Ÿ2uŽà° (#qããuŽŸ° Oßgs9 z`ÏiB ÉúïÏe$!$# $tB öNs9 .bsŒù'tƒ ÏmÎ/ ª!$#

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah”. (As Syuura: 21)

Ibnu Jarir dalam menakwilakan ayat ini berkata, “Apakah mereka (orang-orang muryrik) mempunyai sesembahan selain Allah dalam kesyirikan dan kesetannya? Mereka mensyari’atkan agama yang tidak diidzinkan oleh Allah, dan mereka membuat suatu hal yang baru yang Allah tidak kehendaki.”[19] perkataan Ibnu Jarir di atas merupkan bukti yang jelas wajibnya mengingkari bid’ah yang mengatasnamakan agama.

2. Firman Allah Ta’ala:

Ÿ@÷dr'¯»tƒ É=»tGÅ6ø9$# Ÿw (#qè=øós? ’Îû öNà6ÏZƒÏŠ Ÿwur (#qä9qà)s? ’n?tã «!$# žwÎ) ¨,ysø9$# 4 $yJ¯RÎ) ßxŠÅ¡yJø9$# Ó|¤ŠÏã ßûøó$# zNtƒótB Ú^qÞ™u‘ «!$# ÿ¼çmçFyJÎ=Ÿ2ur !$yg9s)ø9r& 4’n<Î) zNtƒótB Óyrâ‘ur çm÷ZÏiB ( (#qãZÏB$t«sù «!$$Î/ ¾Ï&Î#ß™â‘ur ( Ÿwur (#qä9qà)s? îpsW»n=rO 4 (#qßgtFR$# #ZŽöyz öNà6©9 4 $yJ¯RÎ) ª!$# ×m»s9Î) Ó‰Ïmºur ( ÿ¼çmoY»ysö7ß™ br& šcqä3tƒ ¼ã&s! Ó$s!ur ¢ ¼ã&©! $tB ’Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur ’Îû ÇÚö‘F{$# 3 4’s"x.ur «!$$Î/ WxŠÅ2ur ÇÊÐÊÈ

“ Wahai ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nyayang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya]. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari Ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan yang Maha Esa, Maha suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. cukuplah Allah menjadi Pemelihara.” (An-Nisa: 171)

Imam Ibnu Abi Hatim Rahimahullah menyatakan dengan sanadnya dari Qatadah, ia berkata, “Firman Allah,”janganlah kamu membuat hal yang baru (dalam agama).” Kemudian beliau menyebutkan dalam kesempatan lain dengan sanadnya dari Abdurrahman bin Jaid bin Aslam, katanya, “ maksud firman Allah,’ Wahai Ahlul Kitab janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu,’ adalah berbuat Ghuluw yang menyelisihi al-hag.”[20]

Ayat ini merupakan sebuah pengingkaran terhadap orang Nasrani yang berbuat Ghuluw dalam agama mereka, mereka menetapakan bahwa kedudukan Isa ‘Alaihissalam bukan hanya sekedar seorang Nabi, melainkan Tuhan yang wajib disembah. Kelak mereka akan merugi dan binasa dengan sangkaan mereka itu. Ayat ini menegaskan tentang sikap Ghuluw mereka dalam beribadah kepada Allah, sekaligus sebagai bentuk pengingkaran dan penjelasan bahwa perbuatan mereka tersebut menyelisihi al-haq.

3. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Rahimahullah, ia berkata:

قال رسول الله صلّي الله عليه وسلّم غداة العقبة وهو على ناقته: القط لى حصى، فلقطت له سبع حصيات، هنّ حصى الخذ ف فجعل ينفضهنّ فى كفّه ويقول: أمثال هؤلاء فارموا،ثمّ قال: ياأيّهاالنّاس إيّاكم والغلوّ فى الدّين فإنه أهلك من كان قبلكم الغلوّ فى الدّين.

“Rasulullah SAW, berkata di pagi hari Aqabah sementara beliau sedang di atas untanya,’Pungutlah kerikil untukku.’ Kemudian saya memungut untuk beliau tujuh kerikil pelempar dari tanah. Beliau melempar apa yang ada di tangan beliau dan bersabda,’Perbuatan ini sama seperti perbuatan mereka, di mana mereka juga melempar kerikil-kerikil.’ Kemudia beliau bersabda kembali,’Wahai sekalian manusia, hindarilah sikap ghuluw dalam melaksanakan agama, karena sesungguhnya binasanya umat-umat sebelum kalian disebabkan sikap ghuluw mereka dalam agama. (Sunan Ibnu Majah, kitab: Manasik,bab: Jumlah kerikil dalam melempar Jumrah, hadits no. 3029 (II/1008), dan dinyatakan shahih oleh Al-Bani).

Hadits ini menunjukan akan larangan berbuat ghuluw dalam agama serta berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah SWT, dengan sesuatu yang tidak disyari’atkan dan diidzinkan oleh-Nya.

4. Hadits ummul Mukminin Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkat,”Rasulullah SAW, telah bersabda:

من أحد ث فى أمرنا هذا ماليس فيه فهو ردّ

“barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami yang tidak ada tuntunannya, maka ia akan tertolak.” (H.R Al-Bukhari (II/959), hadits no.2550)

5. Hadits Abu Dzar dimana Nabi SAW, bersabda kepadanya ketika terbenam matahari, seraya mengatakan:



ياأبا ذرّ هل تدري أين تذهب هذه؟ قال: قلت: الله ورسوله أعلم، قال: فإنّها تذهب تستأذن في السّجود فيؤذن لها وكأ نّها قد قيل لها ارجعي من حيث جئت فتطلع من مغربها ثمّ قرأ: والشمس تجري لمسقرّلها ذلك تقدير العزيز العليم



“Wahai Abu Dzar,’Tahukah kamu di mana ia terbenam? ‘Abu Dzar menjawab,’Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.’Lalu beliau bersabda,’ Sesunggunya ia terbenam sampai sujud di bawah Al-‘Arsy, kemudian meminta idzin dan akhirnya diidzinkan, kemudian ragu dan ingin sujud kembali. Namun tidak dikabulkan dan tidak diidzinkan, kemudian dikatakan kepadanya, ‘Kembalilah ke tempat asalmu.” Setelah itu matahari pun terbit dari timur, sebagaiman firman Allah,”….. dan matahari bejalan di tempat peredarannya. Demikian ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. (Q.S Yasin:38)

Dalil-dalil di atas memberikan keterangan yang sangat jelas bahwa jalan yang digunakan untuk beribadah kepada Allah SWT, harus ada idzin dan perintah-Nya. Bentuk idzin dan perintah-Nya adalah apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Siapa yang menginginkan agar amal ibadah diterima, tiada kata lain baginya untuk tidak mengikuti bimbingan Rasulullah SAW, sebagaimana firman Allah Ta’ala.

ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq™7Åsè? ©!$# ‘ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósムª!$# öÏÿøótƒur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRèŒ 3 ª!$#ur Ö‘qàÿxî ÒO‹Ïm§‘ ÇÌÊÈ

“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S Al-Imram:31)

Ibnu Katsir bekata,” Ayat mulia ini menegasakan bahwa siapa yang ingin mendapatkan kecintaan Allah SWT, sementara tidak beramal sesui dengan anjuran Rasulullah SAW, ia adalah seorang pendusta, hingga ia mengikuti apa yang disyari’atkan oleh Rasulullah SAW, baik perkataan dan perbuatan beliau. Sebagaimana yang tercantum dalam shahihaini bahwa Rasulullah SAW, bersabda,”Barangsiapa yang beramal tidak ada perintahnya dari kmai, maka amalnya tertolak,”(H.R Muslim, kitab, ‘Aqdiayyah, hadits no. 1718). Oleh sebab itu, Allah SWT, berfirman:

ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq™7Åsè? ©!$# ‘ÏRqãèÎ7¨?$$sù ÇÌÊÈ

“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku,”(Q.S Al-Imram:31)

Faidah dari kaidah ini dalam kaitannya dengan pengertian bid’ah adalah adanya pembedaan antara bid’ah secara definitif dengan sesuatu yang baru sepeninggal Rasulullah SAW, yang secara dzat tidak dimaksudkan dalam rangka ibadah. Imam Asy-Syatibi berkata,”dengan betasan ini bisa kita pahami, bahwa suatu bid’ah tidak masuk ke dalam suatu yang sudah menjadi kelazhiman.”[21] Separti sarana kedaraan dan transportasi dan setiap Sesuatu yang dimanfaatkan oleh manusia sebagai kenyamanan dan kemudahan yang telah Allah jadikan untuk kita, bahkan dengan batasan ini ditetapkan segala sesuatu yang secara dzat tidak dimaksudakan untuk ta’abbud (ibadah) sepeninggalan Rasulullah SAW, bukan termasuk dalam kategori bid’ah. Ini hanya sarana yang diperbolehkan demi tercapainya sebuah tujuan, sebagaiman disebutkan dalam sebuah kaidah,”Tidak sempurna suatu kewajiban kecuali harus dengan sesuatu hal. Maka pengadaan sesusatu itu adalah wajib hukumnya.”

Jika syari’at menentukan maksud dari sebuah pensyari’atan -seperti pelurusan shaf dalam shalat- tidak dilarang untuk mengadakan saran yang mubah dalam rangka tercapainya syari’at tersebut. Unsur kebolehanya karena sarana itu tidak dimaksudkan sebagai bentuk ibadah kepada Allah SAW, meskipun hal itu tidak terdapat di zaman Nabi SAW. Contoh dari sarana itu adalah membuat garis di lantai masjid, sarana ini tidak dikategorikan dalam amalan bid’ah karena kita tidak beribadah dengannya, meski sarana itu tidak dikenal pada masa Nabi SAW. Kita hanya beribadah kepada Allah SAW, dengan meluruskan shaf dan kita jadikan garis itu sebagai sarana untuk mencapainya, begitu pula bepergian ke mesjid dengan menaiki kendaraan, tidak dimaksudkan dalam rangka ibadah, tapi beribadah hanya kepada Allah SWT, dengan berusah berangkat ke mesjid. Adapun adalah sarana untuk mewujudkan demi tercapainya sebuah syari’at. Contoh lainnya adalah mempelajari Ilmu Nahwu, Ilmu ‘Irab, Ilmui Tajwid semua itu adalah sarana untuk menghafal Al-Qur’an, kita tidak meniatkan secara dzat sebagai bentuk peribadatan, kita hanya beribadah kepada Allah SWT, dengan mengadakan sarana untk mewujudkannya.

Kaidah ini sangat memberikan manfaat dalam membedakan antara bid’ah tercela dengan sesuatu hal baru yang tidak tercela, kaidah ini juga akan menghilangkan pangkal kebingungan yang banyak terjadi pada kebanyakan masyarakat. Mereka menyangka bahwa penyeru al-haq adalah mereka yang memerangi bid’ah dan menyerui untuk kembali pada masa lalu di mana masa itu belum semaju hari ini, yaitu masa kuda, unta, dan keledai.

Tidak diragukan lagi bahwa ketidaktahuan ini adalah sebuah kebohongan dan penyesatan. Penyeru al-haq di setiap waktu dan tempat –kita berharap semoga kita termasuk dari mereka- tiada tujuan bagi mereka selain untuk mengajak manusia mengikuti petunuk Nabi SAW, dan mereka memanfaatkan setiap sarana yang diperbolehkan oleh Allah SWT. Sesatnya ahlul kitab adalah ketika mereka melampaui batas dalam beribadah sehingga mereka membuat hal baru dalam agama dan berpaling dari tuntunan Rabb mereka sampai pada kondisi di mana mereka beribadah kepada makhluk yang menyelisihi petunjuk sesembahan manusia , Allah SWT,

Kaidah kedua:

Bid’ah Terjadi Pada Pokok Suatu Amal atau Pada Sifat dari Suatub Amal

kaidah ini menjelaskan tentang esensi bid’ah baik berupa perbuatan atau perkataan. Bid’ah terjadi ketika seseorang mengadakan hal baru yang secara muthlak tidak ada dasarnya dalam tinjauan syar’i, seperti prinsip trinitas yang dianut orang-orang Nasrani, atau terjadi dalam mengada-adakan suatu hal baru dari sebuah perintah yang rujukannya dalam agama, seperti thawafnya orang-orang musyrik Arab dalam keadaan telanjang, sebagaimana perkataan mereka, ”Kami thawaf tidak berpakaian sebagai bentuk kemaksiatan kami.”[22]

Thawaf mengelilingi baitul Haram adalah tuntunan dari ajaran Nabi Ibrahim Alaihi Salam, akan tetapi orang-orang Musyrik mengada-adakan cara baru dalam thawaf sesuai dengan akal dan hawa nafsu mereka. Kaidah ini penting untuk diketahui guna menentukan sebuah amal yang sesui dengan tuntunan syari’at, karena diterimanya suatu ibadah harus dilatarbelakangi oleh dua buah landasan;

Pertama: Memurnikan niat semata-mata hanya mencari keridhaan-Nya.

Kedua: Mengikuti tuntunan Rasulullah SAW,

Katika lepas dari salah satu di antara dua ayari’at di atas, lepaslah jaminan diterimanya sebuah amal –kita berlindung kepada Allah SWT, dari tidak diterimanya amal kita-.

Bid’ah adalah sebuah perbuatan baru yang tidak berlandaskan syar’i, namun bagi sebagian orang hal ini masih dianggap kacau dalam memahami suatu perbuatan bid’ah dengan sifat suatu ibadah yang memiliki tuntunan. Imam Asy-Syatibi menegaskan tentang sifat yang berlawanan dengan tuntunan syar’i, beliau menyebutkan di antaranya:

1. Membuat batasan-batasan dalam ibadah. Contohnya, seseorang bernadzar untuk berpuasa dalam keadaan berdiri, bernadzar unutk mengkonsumsi makanan dan minuman tertentu atau mewajibkan hanya berpakaian dengan pakaian tertentu.

2. Mewajibkan bentuk peribadahan dengan cara tertenbtu. Contohya, berdzikir secara berjamaah dengan satu suara secara bersama-sama dan berdzikir dengan menari dan bergoyang.

3. Mewajibkan suatu peribadahan pada waktu tertentu. Seperti mengkhususkan shiyam pada pertengahan bulan Sya’ban, dan qiyamul lail di malam harinya. Dalam amalan ini tidak terdapat dalil syar’i yang menerangkan dan menjelaskan akan keutamaannya.[23]

Bentuk ibadah-ibadah di atas adalah suatu ibadah yang sebenarnya disyari’atkan, namun tidak ada tuntunan dalam pelaksanaannya sebagaimana cara tersebut di atas. Inilah kaidah penting dalam membedakan keanekaragaman bentuk bid’ah. Kebanyakan masyarakat sering dibuat bingung dalam masalah ini, sebagai contoh; kita dapatkan banyak kaum musliminm ragu-ragu untuk mengingkari hari kelahiran Nabi SAW, sebagai hari raya, karena mereka mengamalkannya atas dasar cinta mereka kepada Nabi SAW, salah satu tuntunan agama, bahkan bagian dari keiman. Tetapi pelaksaan ibadah kepada Allah SWT, dengan kecintaan di atas harus sesui dengan tuntunan syari’at. Mengikari acara serimonial kelahiran Rasulullah SAW, bukan pertanda tidak cinta kepada beliau, yang kita ingkari hanya tatacara pelaksanaannya, karena tidak sesuai dengan yang dicontohkan syari’at. Adapun dalil syar’i yang menegaskan tidak disyari’atkannya bentuk ibadah di atas adalah sebagai berikut;

1. Firman Allah Ta’ala:

4 tPöqu‹ø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3ø‹n=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊu‘ur ãNä3s9 zN»n=ó™M}$# $YYƒÏŠ 4 ÇÌÈ

pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. (Q.S Al-Maidah:3)

Inilah agama yang telah sempurna syari’atnya, hukum-hukumnya, kewajiban-kewjiban dan sunnah-sunnahnya. Barngsiapa yang beramal dengan suatu hal baru yang disandarkan atas ajaran agama, ia berarti telah menjadikan cacatnya agama ini, ia juga telah menjadikan cacat persaksian Allah SWT, atas kesempurnaan agama ini –kita berlindug kepada Allah darinya- bahkan ia telah menuduh Nabi SAW, berkhianat dalam menyampaikan risalah yang hanif ini.

Ibnul Majisun berkata,” Saya mendengar Imam Malik berkata,’Siapa berbuat bid’ah dalam Islam yang ia yakini sebuah kebaikan, ia telah menuduh Nabi SAW, mengkhianati risalah Islam, karena Allah Ta’ala telah berfirman,’Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku- ridhai Isalam itu jadi agamamu’. Maka suatu perkara yang tidak ditentukan sebagai agama pada waktu itu,tidak diperbolehkan untuk dijafikan agama pada hari ini.”[24]

2. Firman Allah Ta’ala:

¨br&ur #x‹»yd ‘ÏÛºuŽÅÀ $VJŠÉ)tGó¡ãB çnqãèÎ7¨?$$sù ( Ÿwur (#qãèÎ7­Fs? Ÿ@ç6¡9$# s-§xÿtGsù öNä3Î/ `tã ¾Ï&Î#‹Î7y™ 4 öNä3Ï9ºsŒ Nä38¢¹ur ¾ÏmÎ/ öNà6¯=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÎÌÈ

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.”(Q.S Al-An’am:153)

Imam Asy-Syatibi Rahimahullah berkata,”Jalan yang lurus adalah jalan Allah yang diperintahkan untuk menapakinya, yaitu As-Sunnah sedangkan jalan-jalan selainnya adalah jalan yang ditempuh oleh para pengikut bid’ah yang menyelisihi jalan lurus,”[25]

Perhatikanlah apa yang menyebabkan jalan lurus dalam ayat ini disebutkan dengan kalimat tunggal (mufrad), sedangkan jalan-jalan selainnya yang menyerupai syari’at disebut dalam bentuk jamak? Jawabannya adalah, karena disebabkan beranekaragamnya keinginan hawa nafsu yang menyelisihi jalan al-haq.

Imam Asy-Syatibi menegaskan bahwa yang dimaksud jalan-jalan selainya pada ayat di atas bukanlah jalan-jalan dalam bentuk kemaksiatan.[26] Karena kemaksiatan tidak menyerupai bentuk syari’at, dalam artian bahwa tidak ada seorang pun yang melakuakn sebuah kemaksiatan yakni mengetahui bahwa itu benar-benar sebuah maksiat meyakini bahwa perbuatannya adalah termasuk bentuk ibadah kepada Allah SWT, atau jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Bahkan kadang kala seseorang melakukan sebuah perbuatan yang secara dzat adalah bentuk maksiat, namun orang yang melakukannya tidak memahami kalau hal tersebut merupakan bentuk kemaksiatn dalam beribadah kepada Allah SWT.

3. Dari Ibnu Abbas Radhiallahhu’anha ia berkata:



بيناالنبيّ صلّي الله عليه و سلّم يخطب إذا هو برجل قائم فسأل عنه فقالوا : أبو إسرائيل نذر أن يقوم ولا يقعد ولا يستظلّ ولايتكلّم ويصوم ، فقال النّبيّ صلّي الله عليه وسلّم : مره فليتكلّم وليستظلّ وليقعد وليتمّ صومه.



“ketika Nabi SAW, berkhutbah di tengah-tengah kami, ada seseorang yang berdiri. Lantas beliau menanyakan sebab perbuatn orang itu. para shahabat menjawab,’ Ia adalah Isra’il yang berndzar untuk selalau berdiri, tidak bicara dan senantiasa shiyam.’Kemudian Nabi SAW, bersabda,’Perintahkan kepadanya untuk berbicara, berteduh, duduk serta menyempurnakan shiyamnya’.(H.R Al-Bukhari, kitab: Al-Imam, bab: bernadzar, 604).

Hadits di atas menjelaskan kepada kita tentang seseorang yang telah menambah ketentuan baru yang tidak disyari’atkan dalam ibadah shiyam –dengan dorongan bahwa dia telah bernadzar untuknya-. Rasulullah SAW, membatalkan ketentuan ibadah itu, yaitu shiyam dengan berdiri di bawah terik matahari tanpa berbicara sepatah katapun, menentukan ketentuan baru pada suatu ibadah yang telah disyari’atkan adalah temasuk perbuatan bid’ah yang tercela, tidak diterima amalnya selama masih ada ketentuan itu. Kaidah ini berlaku untuk seluruh ibadah yang disyari’atkan, seperti shalat tahajjud’ ibadah yang satu ini muthlaq disunnahkan, namun tidak dibenarkan jika pelaksanannya ditentukan pada waktu dan tempat tertenu tanpa ada landasan syari’atnya, karena ketentuan itu adalah suatu tambahan dalam ibadah, yang telah dibatalakan oleh Rasulullah SAW. Karenanya bila ada seseorang yang meyakini bahwa shalat tahajjud setiap malam rabu mempunyai keutamaan yang lebih agung dari malam lainnya, berarti ia telah menambah ketentuan baru yang tidak pernah disyari’atkan dan amalannya pun tertolak, demikian pula terhadap amalan-amalan lainnya.

Inilah sebagian dalil yang menjelaskan kaidah seputar penjelasan di atas. Kaidah ini mungkin mejadi sesuatu yang sangat bermanfaat dalam membedakan seluruh bentuk bid’ah yang banyak membingungkan ummat. Karena pada dasarnya perbuatan bid’ah itu memiliki dasar syar’i namun bukan dengan tambahan-tambahan yang tercela dan bid’ah tersebut. Mungkin inilah yang dimaksud dengan berpegang teguh dalam beribadah tanpa berbuat ghuluw dan mengada-ngada padanya. Sebagaiman yang dinyatakan oleh Abdullah bin Ma’ud Radhiyallahu’anhu, “Sederhana tetapi dalam bingkaian As-Sunnah lebih baik dari pada besungguh-sungguh tetapi dalam bingkaian bid’ah,”[27]

Shahabat hudzaifah bin Yaman Radhiyallahu’anhu, tatkala melewati sebuah halaqah di masjid, beliau berkata,”Wahai para penbaca Al-Qur’an, bertaqwalah kalian kepada Allah, peganglah jalannya orang-orang sebelum kalian, demi Allah jika kalian benar-benar berpegang teguh padanya, niscaya kalian akan beruntung, namun jika kalian menunggalkannya dan memilih jalan selainnya ke kiri dan ke kanan, maka kalian berada dalam kesesatan yang nyata.”[28]

Keadaan yang disebutkan oleh shahabat Hudzaifah di atas menjelaskan tentang peringatan dan pengingkaran beliau atas ketentuan sifat suatu ibadah, bukan ibadahnya, karena pada asalnya membaca Al-Qur’an dan mempelajarinya adalah suatu ibadah, yang disyari’atkan. Karena itu, perhatikanlah dengan seksama.

Kaidah ketiga:

Bid’ah Terjadi Dalam Mengamalkan Sesuatu atau Meninggalkannya

Tujuan dari kaidah ini adalah menjelaskan bahwa perbuatan bid’ah bukan hanya mengamalkan sesuatu yang tidak disyari’atkan saja, tapi meninggalkan seseutu yang disyari’atkan juga masuk dalam kategori perbuatan bid’ah, meskipun diniatkan dalam rangka beridah kepada Allah SWT.

Imam Asy-Syatibi Rahimahullah menegaskan permasalahan ini pada pembahasan definisi bid’ah, beliau mengategorikannya sama sebagai perbuatan bid’ah. Beliau berkata,”Meninggalkan sesuatu termasuk dalam kategori bid’ah, baik mengharamkannya atau tidak.”[29]

Namun, dalam permasalahn ini diperlukan penjelasan yang utuh, karena tidak setiap sesuatu yang ditingalkan termasuk perkara bid’ah, perlu peninjauan apakah ada alasan syar’i yang melatarbelakanginya atau tidak, jika alasan syar’i seperti meninggalakan suatu makanan yang membahayakan bagi kesehatannya, maka hal ini tidak mengapa dalam rangaka menjaga diri, dan secara syar’i alasan ini dibenarkan. Atau meninggalkan suatu makanan karena takut terjebak dalam hal yang membahayakan, atau meninggalkan sesuatu yang syubhat (tidak jelas kehalalannya-pent), maka hal ini tidak mengapa dalam rangka menjaga agama, karena hal ini dibenarkan oleh syari’at. Jika meninggalkannya tanpa sebab yang jelas, ini termasuk sesuatu yang sia-sia, baik diniatkan dalam rangka ibadah ataupun tidak.

Contoh jenis pertama di atas tidak dikategorikan dalam bid’ah, namun perlu kehati-hatian dari pengharaman seseuatu yang dihalalkan, adapun contoh jenis kedua adalah perbuatn bid’ah dengan meninggalkan sesuatu yang dihalalakn oleh Allah SWT. Dan termasuk perbuatan bid’ah adalah beribadah dengan meninggalkan pakaian yang terbuat dari kapas, atau beribadah dengan memakan buah-buahan, letak kebid’ahannya berdasarkan dalil-dall berikut:

1. Firman Allah Ta’ala:

$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qãBÌhptéB ÏM»t6Íh‹sÛ !$tB ¨@ymr& ª!$# öNä3s9 Ÿwur (#ÿr߉tG÷ès? 4 žcÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä† tûïωtF÷èßJø9$# ÇÑÐÈ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”(Q.S Al-Maidah;87)



Dalam haditrs shahih dari Abdullah bin Mas’ud Rahimahullah, ia berkata:



كنّا نغزو مع رسول الله سلّي الله عليه وسلّم وليس ولنا شيئ فقلنا :ألا نستخصي؟ فنها نا عن ذلك، ثمّ رخّص لنا أن ننكح المرة بالثوب، ثمّ قرأ علينا: ( ياايهاالذّين ءامنوا لاتحرّموا طيّبات ماأحلّ الله لكم ولا تعتدوا إنّ الله لا يحبّ المعتدين)

“kami berperang bersama Nabi SAW, sementara kami tidak memiliki sesuatu apapaun, kami berkata,”Wahai Rasulullah, akankah kami mengebiri diri kami? Kemudian Rasulullah SAW, melarangnya dan memperbolehlan kami untuk nikah mut’ah (sebelum turun larangan, yang pada akhirnya ketentuen syar’i melarangnya-pent).

Lalau beliau membacakan ayat kepada kami,”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengharamkan apa yang dihalalkan Allah untuk kalian, dan janganlah kalian melampaui batas, seseungguhnya allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui bats.”(H.R Al-Bukhari, kitab: Nikah, bab:Makruhnya membujang (V/1953), hadits np. 505)

Hadits di atas menjelaskan larangan meninggalkan perkara mubah yang diniatkan dalam rangka ibadah kepada Allah SAW.

Imam Mufassir Ibnu Jarir Ath-Thabari Rahimahullah berkata ketika mengomentari ayat, ”Janganlah kalian mengharmkan apa yang dihalalkan untuk kalian”, yaitu larangan untuk mengharamkan segala bentuk keindahan dan keledzatan yang disenagi hati, seperti yang dilakukan oleh para pendeta dan pastur. Mereka mengharamkan pernikahan, makanan dan minuman yang ledzat, dan memenjarakan diri mereka dalam gereja dan tempat ibadah mereka. Allah Ta’ala melarang kaum muslin untuk mengerjakan seperti yang mereka kerjakan dan Allah SWT, melarang kaum muslimin melampaui batas yang telah ditentukan oleh-Nya baik dalam masalah halal maupun dalam masalah haram.”[30]

2. Firman Allah Ta’ala sebagai bentuk pengingkaran terhadap apa yang dilakukan orang-orang Musyrik. Allah SWT, berfirman:

(#qä9$s%ur ÿ¾ÍnÉ‹»yd ÒO»yè÷Rr& î^öymur ֍ôfÏm žw !$ygßJyèôÜtƒ žwÎ) `tB âä!$t±®S öNÎgÏJôãt“Î/ íO»yè÷Rr&ur ôMtBÌhãm $ydâ‘qßgàß ÒO»yè÷Rr&ur žw tbrãä.õ‹tƒ zOó™$# «!$# $ygøŠn=tæ ¹ä!#uŽÏIøù$# Ïmø‹n=tã 4 OÎgƒÌ“ôfu‹y™ $yJÎ/ (#qçR$Ÿ2 šcrçŽtIøÿtƒ ÇÊÌÑÈ

“Dan mereka mengatakan, "Inilah hewan ternak dan tanaman yang dilarang; tidak boleh memakannya, kecuali orang yang Kami kehendaki", menurut anggapan mereka, dan ada binatang ternak yang diharamkan menungganginya dan ada binatang ternak yang mereka tidak menyebut nama Allah waktu menyembelihnya, semata-mata membuat-buat kedustaan terhadap Allah. kelak Allah akan membalas mereka terhadap apa yang selalu mereka ada-adakan.” (Q.S Al-An’am: 138)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah dalam menafsirkan firman Allah SWT, (افتراء عليه) beliau berkata, “Mereka mendustakan Allah Swt, dengan perbuatn meraka, mereka sandarkan atas nama agama dan syri’at-Nya, sehingga Allah SWT, tidak meridhai mereka.[31]

Ayat-ayat yang menegaskan tentang pengingkaran terhadap orang-orang kafir dan musyrik seperti ayat di atas banyak sekali terdapat dalam Al-Qur’an, semuanya dalam bentuk pengingkaran atas perbuatan mereka, tidak ada suatu yang halal kecuali apa yang dihalalkan-Nya, dan tiada suatu yang haram kecuali apa yang telah diharamkan oleh-Nya. Maka barangsiapa yang meninggalkan sesuatu yang disandarkan atas nama agama atau tuntunan syar’i, berarti ia telah berdusta kepada Allah SWT, amal ibadahnya batal dan tidak tercatat sebagai amal shalih.

3. Hadits Anas bin Malik Radhiayahu’anhu, ia berkata:



جاء ثلاثة رهط إلى بيوت أزواج النّبيّ صلّي الله عليه وسلّم يسألون عن عبادة النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم فلمّا أخبروا كأ نّهم تقالّو ها فقالو : وأين نحن من النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم قد غفر له ماتقدم من ذنبه وما تأخّر؟ قال أحدهم : أمّا أنا فإّي أصلّي اللّيل أبدا، وقال آخر : أنا أصوم الدّهر ولاأفطر، وقال آخر: أنا أعتزل النّساء فلا أتزوّج أبدا، فجاء رسول الله صلّى الله عليه وسلّم إليهم فقال : أنتم اللّذين قلتم كذا وكذا ؟ أما والله إنّي لأخشاكم لله وأتقاكم له لكنّي أصوم وأفطر وأصلّي وأرقد وأتزوّج النّساء فمن رغب عن سنّتي فليس منّي.



“Ada tiga orang mendatangi istri-istri Nabi SAW, mereka bertanya tentang bentuk ibadah yang dilakukan beliau. Setelah para istri Nabi menjelaskannya, seketika itu mereka berkata kepada diri mereka, ‘Apa artinya kedudukannya kita dibanding dengan kedudukan Nabi SAW, di sisi Allah SWT, padahal dosa-dosa beliau yang lalu dan yang akan datang telah diampuni?’ Lantas salah seorang di antara mereka berkata,’Saya akan shalat malam selama-lamanya.’ Yang lain berkata,’ Saya akan shiyam terus-menerus tanpa berbuka.’ Dan yang lain berkata,’Saya akam membujang dan tidak akan menikah,’Kemudian Rasulullah SAW, datang dan bersabda,’Kaliankah yang mengatakan ini dan itu? Ketahuilah Demi Allah saya adalah manusia yang paling takut dan bertaqwa kepada Allah, tapi saya juga shiyam dan berbuka, bangun shalat dan tidur, selain itu saya juga menikah, maka barangsiapa yang membeci sunnahku, dia bukan dari golonganku.”(HR.Al-Bukhari, kitab :Nikah, bab: Himabauan Untuk Menikah, hadits no. 4776)



Nabi SAW, mencela bentuk ibadah yang akan mereka lakukan dengan mengatasnamakan takwa dan takut kepada Allah SWT. Beliau menjelaskan kepada seluruh umat, bahwa ibadah yang akan mereka lakukan adalah salah dan bathil, karena takut dan takwa adalah dengan beriltizam untuk melaksanakan perintah Allah SWT, sebagaimana Rasulullah menjadi orang yang paling takut dan takwa kepada Allah SWT. Namun dengan ketakutan dan ketakwaannya, beliau tidak meninggalkan sesuatu yang dibolehkan oleh Allah SWT. Oleh sebab itu, ciri konkrit dari takwa dan takut kepada Allah SWT, adalah mengikuti petunjuk Nabi SAW, Karena Nabi adalah suri teladan yang melaksanakan ketentuan Allah SWT, dan karena beliau tidak mengerjakan dan meninggalkan sesuatu yang Allah SWT, tidak tentukan.

Sebenarnya dalil dalam pembahasan ini banyak, namun kami cukupakan hanya dengan dilil-dalil di atas. Yang pada intinya bahwa bid’ah bukan hanya mengamalkan suatu hal baru dalam agama, namun meninggalkan sesuatu yang diperbolehkan Allah SWT, juga masuk dalam kategori bid’ah, meskipun diniatkan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Kaidah ini sangat penting untuk dipahami, karena dengannya seseorang akan terhindar dari jebakan bid’ah yang tidak ia sadari akan merusak dinnya, dan menyelisihi manhaj Nabi SAW.



Kaidah Keempat:



Bid’ah Adalah Sesuatu yang Jelas-Jelas Dilarang dan

Telah Ada Penolakkannya Pada Masa Kenabian



Imam As-Syatibi Rahimahullah dalam bukunya AL-Muwaafaqaat telah menuturkan tentang sesuatu yang berkaitan dengan diamnya syari’at terhadap suatu hukum, dan penjelasan disyari’atkannya suatu hukum sesui dengan kebutuhan. Beliau menjelaskan, bahwa diamnya syari’at terhadap suatu hukum terdapat dua macam ketentuan:



Pertama: karena hal tersebut belum terdapat pada masa kenabian, dan baru terjadi pada masa meninggalnya Rasuluullah SAW. Menentukan hukumnya adalah dengan jalan qiyas dan yang semisalnya.

Kedua: Tidak ditetapakan sebagai hukum tambahan terhadap hukum yang turun pada masa kenabian, ketentuan hukum ini seperti nash meski tidak sebagai suatu hukum yang disyari’atkan, namun jika ketentuan ini ditetapkan menjadi suatu hukum syar’i, maka dipastiakn ketentuan itu adalah bid’ah baru yang menyelisihi kehendak Allah.[32]



Inilah kalimat indah yang disampaikan oleh Imam Asy-Syathibi, namun membutuhkan sedikit penjelasan dan Allah adalah sebaik-baik penolong. Syari’at ini adalah syari’at sempurna yang mencakup seluruh aspek kebutuhan manusia hingga akhir zaman, perkara baru yang membutuhkan kepastian hukum tidak akan pernah berhenti, yaitu perkara baru yang muncul pada masa turunnya wahyu dan perkara baru yang terjadi setelahnya. Untuk menentukan hukum terhadap sesuatu yang baru setelah berhetinya wahyu (yakni setelah wafatnya Rasulullah SAW ), ditempuh dengan jalan mengqiyaskannya dengan hukum yang sudah ada, atau dengan mentakhrijnya. Dalilnya adalah nash syar’i yang telah sempurna bagi ummat manusia hingga hari kiamat. Ini adalah persoalan rumit, namun menjadi suatu kebutuhan agama untuk menjawabnya, sedangkan sesuatu yang muncul pada masa turunnya wahyu, syari’at telah menentukan hukumnya, baik secara jelas atau secara implisit. Pengertian hukum secara jelas adalah dengan menerangan hukum itu, seperti tawanan perang, sedangkan pengertian hukum secara implisit adalah dengan mendiamkan hukum itu.

Ada beberapa tingkatan dalam mendiamkan hukum yaitu sebagai berikut:

1. Mendiamkan ketentuan baru terhadap apa yang telah ditetapkan oleh syari’at.

Contohnya: disyari’atkannya mencintai Rasulullah SAW. Ketentuan syar’i untuk mencintai beliau sudah ada pada masa turunnya wahyu, dengan dalil-dalil syar’i yang menerangkannya.seperi lebih mnegutamakan beliau atas diri kita sendiri, bershalawat kepada beliau, tidak mengeraskan suara di hadapan beliau, dan tidak memanggil beliau dengan nama belaiu saja. Adapun yang didiamkan selain contoh di atas adalah, seperti memperingati hari kelahiran beliau, dan bersujud di hadapan belaiu, ini jelas tidak disyari’atkan (bahkan melaksanakan upacara seperti ini berarti mengada-adakan syari’at baru -bid’ah-pent). Karena jika perbuatan ini disyari’atkan, kenapa tidak ada dalil yang menegasaknnya? Sebagaimana tidak didiamkannya bershalawat, tidak mengeraskan suara di hadapan belaiu, serta yang semisalnya.

2. Mendiamkan sebuah perkara secara keumuman, meskipun ada pendorong rujukan hukum, dikarenakan ada penghalang yang menjadikannya tidak disyari’atkan.

Contohnya: membukukan mushaf Al-Qur’an, pendorong amal itu adalah agar seseorang bisa menghafalkannya dan perkara ini telah ada pada masa Rasulullah SAW, hanya saja dilarang karena ada penghalang yaitu masih berlangsung turunnya wahyu. Ketika wahyu telah sempurna dan berhenti turun bersamaan dengan wafatnya beliau, dengan demikian hilanglah penghalang itu. Sementara ummat manusia membutuhkan cara untuk bisa menghafalkannya dan menuliskannya. Maka membukukan mushaf salah satu dari bentuk mashlahah mursalah. Perkara tersebut tidak dalam kategori bid’ah, termasuk juga di dalamnya pembukuan dan administrasinya, begitu juga bentuk pemerintahannya sebuah Negara dan semislanya.

Namun sebagian orang ada yang bertannya tentang masalah ini, dalil apa yang melandasi ketentuan itu? Dalilnya adalah apa yang telah kita sebutkan sebelumnya, yaitu dalil yang menyatakan telah sempurnanya syari’at ini, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Imam Asy-Syatitibi Rahimahullah di atas.

Allah SWT, berfirman:

tPöqu‹ø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3ø‹n=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊu‘ur ãNä3s9 zN»n=ó™M}$# $YYƒÏŠ 4 ÇÌÈ

“ pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu” (QS. Al-Maidah:3)

Syari’at Islam telah sempurna dan telah menegaskan bahwa setiap hukum yang dibutuhkan manusia telah ditegaskan oleh syari’at baik secara tersurat ataupun tersirat, baik dengan menyebutkan kelemahan atau dengan mentapkan kaidah pokok yang menjadi dasar kelemahan itu.

Hal ini dipertegas lagi dengan sabda Rasulullah SAW,

ما بقي شيء يقرّب من الجنّة، ويباعد من النّار، إلاّ وقد بيّن لكم

“Tiada tersisa suatu apapun yang mendekatkan seseorang dalam jannah, dan menjauhkannya dari Naar, melainkan sesuatu itu telah dijelaskan untuk kalian” (HR.Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (II/155) hadits no. 164. Dinyatakan shahih oleh Al-Bani dalam Ash-Shahihah, no. 1803).

Imam Al-Mundziri menyebutkan dari shahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah SAW, bersabda:

ليس من عمل يقرّب الي الجنّة، إلاّ قد أمرتكم به، ولا عمل يقرّب الي النّار، إلاّ قد نهيتكم عنه.

“Tiada suatu amalan yang mendekatkan ke jannah melainkan amlan itu telah saya perintahkan kepada kalian, dan tiada suatu amalan yang akan menjerumuskan ke dalam Naar, melainkan saya telah melarang kalian untuk mengerjakannya.” (Al-Mundziri dalam At-Targhib wa Tarhib (II/339), Al-Hakim dalam Al-MUutadrak,kitab: Al-buyu’ (II/5)(, hadits no. 2136)

Hadits Rasulullah SAW di ataslah yang secara umum mejadi sebuah landasan hukum dalam permasalahan ini, kemudian dipertegas lagi oleh pekataan Imam As-Syatibi Rahimahullah, “adanya sesuatu yang tidak disyari’atkan menunjukkan maksud Allah atas tidak adanya tambahan ketentuan hukum yang telah ada sebelumnya, jiak ada orang yang menambah sebuah ketentuan, ia telah menyelisihi ketentuan Allah SWT, dan menjadi batal amalnya.”[33]

Jika kita perhatikan secara jeli tentangn motivasi pensyari’atan secara umum, kita akan mendapatkan di dalam hadits bahwa segala sesuatu baik yang mendekatkan seseorang ke Jannah maupun yang menjauhkannya dari Naar telah di jelaskan semuanya oleh Rasulullah SAW, beliau telah menjelaskan bahwa suatu hukum yang telah ditetapkan syari’at menunjukkan apa yang telah di butuhkan ummat manusia. Seseorang yang mengamalkan suatu amlan yang tidak ada tuntunannya , berarti ia telah melanggar ketetuan Allah SWT, dan barangsiapa yang mengamalkan perbuatn bid’ah yang diyakini sebagai sebuah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, berarti ia telah brdusta kepada Nabi SAW, berdasarkan sabda Rasulullah SAW, di atas, siapa yang menentang penjelasan ini, ia adalah orang yang sombong lagi kufur.

Inilah penjelasan empat kaidah yang menerangkan kepada kita tentang batasan bid’ah. Secara ringkas penjelasan empat kaidah di atas adalah sebagai brikut:

Bid’ah adalah bentuk peribadatan dengan sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at, baik amalannya ataupun sifatnya, baik mengamalkannya atau pun meninggalkannya.

Saya sedikit memperjanjang ulasan dalam masalah ini, karena persoalan ini pada dasarnya membutuhkan penjelasan yang konkrit.

Semua ini agar benar-benar tertanam di dalam benak ummat akan kejelakan bid’ah di tinjau dari syari’at dan akal sehat. Ada persoalan yang perlu kita perhatikan secara serius, ketika kita menjelaskan batasan bid’ah secara lugas, yaitu hendaknya para da,i penyeru As-Sunnah berlapang dada dalam meluruskan ahlul bid’ah, tidak boleh menghilangkan kasih sayang kepada mereka dan tidak boleh berprasangka buruk kepada mereka. Hendaknya seorang da’i ketika mengobati ahlul bid’ah bersikap seperti seorang dokter mengobati orang sakit yang enggan menelan obat, padahal ia membutuhkannya, tidak ada yang bisa mengobati diri dan badannya selain pertolongan Allah Ta’ala, maka mari kita renungkan hal ini dengan seksama.



CONTOH-CONTOH BID’AH



Ø BID,AH YANG BERKAITAN DENGAN AQIDAH

Tawassul yang dilakukan dengan sarana (wasilah) yang tidak disebutkan oleh syari’at

Tawassul ini adalah di antara tawassul yang di haramkan dan termasuk ke dalam jenis kesyirikan. Contohnya: Tawassul kepada Allah SWT, dengan kedudukkan seseorang yang memiliki keistimewaan di sisi Allah, seperti tawassul dengan kedudukkan Nabi SAW, yaitu dengan berkata, “Ya Allah, sesungguhnya saya memohon dengan kedudukkan Nabi-Mu agar demikian dan demikian.” Hal itu tidaklah boleh, karena itu artinya menetapkan suatu sebab yang tidak diakui oleh syari’at. Karena kedudukkan seseorang tidaklah memilki pengaruh sedikit pun dalam perkara terkabulnya doa, karena kedudukkan itu tidak berkaitan dengan Allah yang didoa dan tidak pula dengan orang yang berdoa, akan tetapi hanya sebagai urusan orang yang memiliki kedudukkan itu saja. Maka sedikit pun tidaklah berguna bagi Anda dalam memenuhi permintaan Anda atau menghilangkan kesulitan Anda, dan sarana sesuatu adalah hal yang menyampaikan kepada sesuatu tersebut, dan tawassul dengan sesuatu yang tidak mampu menyampaikan kepadanya adalah kesia-siaan, maka tidaklah patut untuk Anda jadikan sebagai saran (wasilah) antara diri Anda dengan Tuhan Anda.[34]

Bertawassul dengan kedudukkan Nabi SAW, atau dengan dzat-dzatnya tidaklah bermanfaat sama sekali dan tidak bekaitan dengan Anda, karena kedudukkan beliau itu, tidaklah berguna kecuali bagi Rasulullah SAW, saja, adapun dengan Anda, maka ia tidaklah bermanfaat bagi Anda hingga Anda bertawassul kepada Allah SWT, dengan apa yang disyari’atkan-Nya, sedang tawassul itu –sebagaimana yang telah disebutkan- adalah mengambil sarana yang baik yang membuahkan hasil, dan apa faidahnya bagi Anda (yang brtawassul) bahwa Rasululllah SAW, memiliki kedudukkan dan derajat di sisi Allah SWT.[35] Di antara yang menunjukan bahwa bertawassul dengan Nabi SAW, pada saat ini adalah tidak benar, yaitu bahwa para shahabat Radhiyallahu’anhum mengalami kekeringan pada masa Umar bin al-Khathtthab Radhiyallhu’anhu, lalu beliu keluar untuk melakukan istisqa, bersama mereka dengan berkata, “Ya Allah, sesungguhnya kami dulu bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, lalu Engkau menurunkan hujan untuk kami –para shahabat Radhiyallahu’anhum pernah bertawassul dengan Nabi SAW, (sat beliau masih hidup) dengan doa beliau SAW, dan kami sekarang bertawassul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan untuk kami.” Lalu al-Abbas bin Abdul Muththalib berdiri dan berdoa istisqa’ kepada Allah SWT, hingga Allah menurunkan hujan untuk mereka.[36]

Ini merupan dalil tentang maksud dari tawassul dengan Nabi SAW, yang diriwayatkan dari shahabat Radhiyallahu’anhum yaitu bahwa mereka bertawassul dengan doa Nabi SAW, dan bukan dengan dirinya.[37]

Bila Anda hendak bertawassul kepada Allah SWT, dengan cara yang benar, maka katakanlah, “Ya Allah, sesungguhnya saya memohon kepada-Mu dengan keimananku kepada Rasul-Mu atau dengan kecintaanku kepada Rasul-Mu,” atau dengan tawassul-tawassul semacamnya. Semua ini adalah di antara wasilah yang benar dan bermanfaat.[38]

Yang mulia Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah berkata, “Tawassul dengan kedudukkan, keberkahan, dan kehormatan diri seseorang bukanlah suatu yang dibolehkan menurut sebagian besar ulama, karena tawassul itu adalah perkara tauqifiyah (hak muthlak syari’at) di mana tidak ada sesuatu pun dari tawassul itu yang boleh dilakukan kecuali yang dibolehkan oleh syari’at, dan tidak sama sekali riwayat dari syari’at yang menunjukkan adanya tawassul-tawassul tersebut.

Maka janganlah seseorang itu berkata, “Ya Allah, ampunilah aku dengan diri fulan, atau dengan diri Muhammad SAW, atau dengan diri orang-orang shalih, atau dengan kehormatan para Nabi, atau dengan diri para Nabi, atau dengan kedudukkan para Nabi, atau dengan keberkahan orang-orang shalih, atau dengan keberkahan Ali atau dengan keberkahan Abu Bakar, atau dengan keberkahan Umar, atau dengan diri para shahabat, atau dengan diri Fulan.” Semua ini tidak boleh, karena hal-hal tersebut bertentangan dengan yang disyari’atkan dan termasuk bid’ah; tidak termasuk syirik akan tetapi bid’ah, tidak pernah diriwayatkan dari doa-doa para shahabat beliau SAW.[39]

Contoh lain dari tawassul dengan sarana yang tidak dibicarakan oleh syari’at; adalah seseorang bertawassul kepada Allah SAW, dengan doa seorang mayit, di mana ia meminta kepada mayit tersebut agar mendoakan kepada Allah untuknya, ini bukanlah wasilah yang benar dan disyariatkan, bahkan itu merupakan kebodohan dari orang tersebut dengan meminta kepada mayit agar berdoa kepada Allah untuknya, karena mayit apabila telah meninggal maka terputuslah amal perbuatannya, maka tidak mungkin ia mampu berdoa untuk orang lain, walaupun Nabi SAW, sekali pun beliau tidaklah mungkin mendoakan seseorang setelah beliau wafat. Karena itulah para shahabat Radhiyallahu’anhum tidak bertawassul kepada Allah dengan meminta doa dari Rasulullah SAW, setelah wafatnya, namun para shabat, ketika mengalami kekeringan pada masa Umar bin Al-Khaththab, Radhiyallahu’anhu berkata, “Ya Allah, sesungguhnya kami dahulu bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu lalu Engkau menurunkan hujan, dan sekarang kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah,” lalu berdirilah Abbas Radhiyallahu’anhu dan berdoa kepada Allah ‘Aza wajalla[40]

Sekiranya meminta doa dari mayit itu boleh dan merupakan sarana yang benar, niscaya Umar dan orang-orang yang bersamanya dari para shahabat Radhiyallhu,ahum meminta kepada Rasulullah SAW, karena terkabulnya doa dari beliau lebih dekat dari terkabulnya doa al-Abbas bin Abdu Muththalib Radihiyallhu’anhu.

Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah berjkata, “Saya sangat heran dengan suatu kaum yang pergi ke kuburan Fulan dan Fulan, dan mereka meminta kepadanya agar menghilangkan musibah dari kehidupan mereka, dan mendatangkan kebaiakan kepada mereka, padahal mereka mengetahui bahwa Fulan tersebut tidak mampu melakukan hal tersebut saat masih hidup, bagaimana setelah kematiannay? Setelah ia menjadi sebujur bangkai? Bahkan ia telah menjadi tulang yang dimakan oleh tanah? Namun mereka pergi dan berdoa kepadanya den meninggalkan berdoa kepada Allah ‘Aza wa Jalla sebagai Dzat Yang menghilangkan segala mudharat dan mendatangkan kebaikan. Padahal Allah SWT, telah memerintahkan hal tersebut kepada mereka dan menganjurkannya dalam firman-Nya,

tA$s%ur ãNà6š/u‘ þ’ÎTqãã÷Š$# ó=ÉftGó™r& ö/ä3s9 ÇÏÉÈ

“Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu” (al-Mu’min: 60)

Dan dalam firman-Nya yang lain,

#sŒÎ)ur y7s9r'y™ “ÏŠ$t6Ïã ÓÍh_tã ’ÎoTÎ*sù ë=ƒÌs% ( Ü=‹Å_é& nouqôãyŠ Æí#¤$!$# #sŒÎ) Èb$tãyŠ ÇÊÑÏÈ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku” (al-Baqarah: 186)

Dan Allah SWT, berfirman untuk mengingkari orang yang berdoa kepada selain-Nya,

`¨Br& Ü=‹Ågä† §sÜôÒßJø9$# #sŒÎ) çn%tæyŠ ß#ϱõ3tƒur uäþq¡9$# öNà6è=yèôftƒur uä!$xÿn=äz ÇÚö‘F{$# 3 ×m»s9Ïär& yì¨B «!$# 4 $¨B š ÇÏËÈ

“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi[1104]? Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)?” (An-Naml: 62[41]

Yang penting adalah bahwa tawassul kepada Allah SWT, dengan meminta doa kepada mayit adalah sebuh tawassul yang bathil, tidak halal dan tidak dibolehkan, dan ini berkaitan dengan aqidah.





Ø BID’AH YANG BERKAITAN DENGAN IBADAH

Di sini kami akan memberikan salah satu contoh bid’ah yang berkaitan dengan ibadah di antaranya:

Ø Perayaan maulid Nabi SAW,

Sebagian kaum mutaakhirin pada abad ke empat hijrayah melihat banyak orang yang melakukan berbagai kesia-siaan dan begadang pada waktu malam. Maka akhirnya mereka membuat bid’ah berupa menghidupakan malam tanggal dua belas Rabi’ul awwal yang mereka sebut dengan “Malam Maulid.” Jika datang malam tersebut, mereka semua berkumpul dan membaca sirah Nabi SAW, dan membaca shalawat unutk Nabi Muhammad SAW. Namun para ulama mengingkari hal itu, dan mereka mengatakan, “ini adalah bid’ah yang buruk yang tidak pernah dilakuakn oleh Rasulullah SAW, dan para shahabat Radhiyallahu’anhum”. Andaikan itu sunnah, niscaya Nabi SAW, telah memerintahkan itu kepada kita semua.”

Para pelaku bid’ah ini mengatakan, “kalian semua mengingkari kecintaan kepada Rasulullah SAW!” Padahal apa yang mereka lakukan ketika menghidupakan malam maulid pada setiap tahun itu sama sekali tidak menunjukkan kecintaan mereka kepada Rasulullah SAW ! Demikian juga telah terjadi banyak bid’ah di dalam maslah ibadah, kami akan sebutkan sebagian contohnya agar mendapat perhatian, nanum tidak kami berikan catatan (ta’liq) atasnya, mengingat banyaknya hal itu:41

Ø Perayaan Malam Isra’ Mi’raj

Mereka beranggapan itu bahwa terjadi di bulan Rajab, dan secara khusus mereka memuliakannya. Mereka juga mengatakan bahwa malam Isra’ Mi’raj itu adalah malam kedua puluh lima (atau dua puluh tujuh, pent) dari bulan Rajab.[42]



Ø KAPAN PEKERJAAN SESEORANG DIKATAN BID’AH

Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah mendefinisikan bid’ah adalah perkara baru yang diada-adakan di dalam agama Islam, yang ia tidak termasuk dari ajarannya. Maka barangsiapa yang melakukan suatu ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, padahal ia tidak ada dalam Islam dan tidak memeilki dalil dari al-Qur’an atau Sunnah maka ia adalah bid’ah, berdasarkan sabda beliau SAW,



من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو ردّ

“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada padanya perintah kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim, 1718/18), dan dalam riwayat yang laian,



من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو ردّ.

“Barangsiapa yang mengada-adakan hal yang baru di dalam perkara (agama) kami ini, yang bukan darinya, maka ia adalah tertolak.” ( HR. Al-Bukhari, 2679 dan Muslim, 1718).

Karena yang diwajibkan atas kaum Muslimin adalah cukup melaksanakan ibadah-ibadah yang telah disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya, tidak menambahnya dengan sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya SAW, Allah berfirman,

4’n?t/ ô`tB zNn=ó™r& ¼çmygô_ur ¬! uqèdur Ö`Å¡øtèC ÿ¼ã&s#sù ¼çnãô_r& y‰YÏã ¾ÏmÎn/u‘ Ÿwur ì$öqyz öNÎgøŠn=tæ Ÿwur öNèd tbqçRt“øts† ÇÊÊËÈ

“(tidak demikian) bahkan Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah: 112)

Maka “menyerahkan diri kepada Allah” yakni mentauhidkan-Nya dengan semurni-murninya, “sedang ia berbuat kebajikan” ,yakni mengikuti Rasulullah SAW, dan mengamalkan apa yang belaiu ajarkan serta tidak menambahnya. Adapun orang yang menambah ibadah dengan sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Rasulullah SAW, maka ia adalah mubtadi’ (orang yang berbuat bid’ah) bukan orang yang berbuat kebajikan, karena tafsir syahadat “Anna Muhammad Rasulullah” (bahwasannya Muhammad adalah utusan Allah), mempunyai makna mematuhi apa yang diperintahkannya, membenarkan apa yang dikabarkannya, meninggalkan apa yang dilarang dan dicegah olehnya, dan tidak beribadah kepada Allah melainkan dengan apa yang telah diajarkannya. Inilah konsekuensi syahadat “Anna Muhammad Rasulullah.”[43]

Allah berfirman.

4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqß™§9$# çnrä‹ã‚sù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4

“apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah” (Al-Hasr: 7), dan firman-Nya,

$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qãBÏd‰s)è? tû÷üt/ Ä“y‰tƒ «!$# ¾Ï&Î!qß™u‘ur ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# ìì‹Ïÿxœ ×LìÎ=tæ ÇÊÈ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al-Hujaraat:1)

Jadi mubtadi’ adalah orang yang mengada-adakan perkara baru di dalam agama Allah yang bukan bagian darinya, di mana dia membawa suatu ajaran yang tidak ada dalilnya dari al-Qur’an atau Sunnah. Mubtadi’ itu bukan setiap orang yang menyelisihi atau keliru dalam berjihad. Sebab, seorang mujtahid itu, apabila dia benar, maka dia mendapatkan dua pahala, dan jika keliru, maka dia mendapatkan suatu pahala atas ijtihadnya. Yang dimaksud dengan Mujtahidin adalah mereka yang memilki keahlian untuk berijtihad (komponen) dan syarat-sayarat ijtihad yang sudah terkenal itu benar-benar ada pada mereka. Demikian halnya seseorang yang salah karena ta’winya. Sebab, ta’wil itu syubhat yang melepaskan dirinya dari vonis sebagai seorang mubtadi’. Juga, Karena dia mengira bahwa ta’wilnya itu boleh, atau karena ia betaklid kepada orang yang ia anggap berada di atas kebenaran, maka orang seperti ini disebut keliru atau menyalahi, dan tidak disebut sebagai seorang mubtadi. Dalilnya adalah bahwa para shahabat Radhiyallahu’anhum, dahulu mereka berijtihad berbeda pendapat sesama mereka di dalam beberapa permasalahan. Mereka tidak saling membid’ah antara satu yang satu dengan yang lain, dan tidak saling melakuakan hajr (tidak tegur sapa) sesama mereka. Bahkan mereka tetap sebagai saudara yang saling mencintai lagi saling menolong, karena mereka adalah ummat yang satu, meskipun mereka berbeda pendapat di dalam beberapa dan ijtihad yang memang diperbolehkan oleh syari’at untuk berijtihad di dalamnya.[44]

Para ulam memilki kedudukkan dan kehormatan. Oleh karena itu, sesungguhnya fenomena memvonis seorang sebagai ahli bid’ah adalah datang dari mulut orang yang bodoh atau para penuntut ilmu yang masih pemula, karena mereka menganggap orang yang melakukan ta’wil dan orang yang taklid sebagai mubtadi’, bahkan mereka menampakkan perkataan ini, sehingga sebagian mereka melemparkan mencap sebagian orang sebagai ahli bid’ah. Akibatnya mereka saling bermusuhan, saling memutuskan hunungan dan saling berpaling. Perkaranya tidak cukup terjadi di antara mereka saja, bahkan merembet kepada para ulama terdahulu. Kita akan mendapatkan orang-orang bodoh itu mengatakan bahwa Ibnu Hajar seorang mubtadi’ dan imam-imam besar lainnya pun dicap sebagai mubtadi’, an-Nawai seorang mubtadi’, Abu Hanifah seorang mubtadi’, dan imam-imam besaar lainya pun di cap sebagai nubatadi’. Semuanya ini hanya karena kesalahan-kesalahan di dalam ijtihad yang seharusnya kita melemparkan vonis ahli bid’ah kepada mereka, karena kesalahan-kesalahan itu hanya bersifat farsial, padahal para ulam itu memiliki keutamaan (jasa) di dalam islam’ imamah (kepemimpinan di dalam agama), dan kedudukkan. Mereka telah banyak menyumbangkan untuk islam ini dan kaum Muslimin sesuatu yang bermanfaat. Kaum Muslimin banyak mendapat manfaat dari karangan-karangan dan kitab-kitab mereka di dalam memahami Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya SAW, dan seandainya diperkirakan bahwa ada sedikit kesalahan pada perkataan mereka, maka kalau dibandingkan dengan kedudukan, keutamaan, ilmu mereka di dalam Islam dan di dalam berkhidmab terhadap Sunnah Nabawiyah, maka ia mampu menutupi kesahan-kesalahn persial ini. Maka kita seharusnya mengetahui kedudukan para ulama kita –baik yang dahulu maupun yang sekarang-, menghormati mereka dan mendoakan kepada Allah untuk mereka, sebagaiman firman Allah SWT,

.



Ÿw ü“ÈqtGó¡o„ Ü=»ptõ¾r& Í‘$¨Z9$# Ü=»ptõ¾r&ur Ïp¨Yyfø9$# 4 Ü=»ysô¹r& Ïp¨Yyfø9$# ãNèd tbrâ“ͬ!$xÿø9$# ÇËÉÈ

“Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah; penghuni-penghuni jannah Itulah orang-orang yang beruntung.” ( Al-Hasr: 20)

Inilah sifat orang-orang yang beriman, karena mereka tidak mencari-cari aib dan kesalahan orang lain. Sedangkan selain mereka, selalu mencari-cari aib dan kesalahn orang lain dan menyebarkannya. Inilah yang bid’ah.

Bid’ah itu tidak berada pada satu level saja. Ada bid’ah mukaffirah (bid’ah yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama) dan ada pula bid’ah yang lebih rendah dari itu; karena mereka (para ulama) menagi bid’ah itu menjadi dua bagian: bid’ah mukaffarah, sepeti pemikiran-pemukiran sesat Jahmiyah, sekte-sekte yang ekstrim dan setiap pemikiran sesat yang dapat mengeluarkan dari Islam; dan kedua, bid’ah yang lebih ringan dari itu, yang pelakunya yang pelakunya masih termasuk dari kaumMuslimin, tetapi pada dirinya ada sedikit bid’ah, maka hendaknya kita tidak menutp mata terhadap hak orang lain,”Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil. (Al-An’am: 152)[45]





SIKAP SALAF TERHADAP PELAKU BID’AH



Pertanyaan: Kami memohon penjelasan Syaikh tentang tentang sikap Ulama salaf terhadap pelaku bid’ah, semoga Allah membalas kebaikan Syaikh!

Jawaban: kaum salaf tidak membid’ahkan sembarangan orang, dan mereka tidak gampang menggunakan kalimat bid’ah untuk menghukumi seseorang yang melakukan salah satu Penyimpangan. Mereka membid’ahkan orang yang melakukan amalan yang tidak ada dalinya dengan tujuan untuk bertaqarrub kepada Allah dengan ibadah yang tidak pernah disyri’atkan Rasulullah SAW, dengan landasan sabda Nabi SAW,



من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو ردّ.



“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan (dalam agama) yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan terdebut tertolak.” (HR. Muslim )

Dan di dalam riwayat yang lain disebutkan,



من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو ردّ.



“Barangsiapa yang mengada-adakan hal baru dalam urusan kami ini (agama) padahal bukan diri bagiannya maka ia tertolak” (HR. Muslim)

Bid’ah itu adalah mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama yang tidak ada dalilnya dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Inilah yang dimaksud bid’ah. Maka jika seseorang melakukan sesuatu bid’ah dalam Agama enggan untuk kembali kepada Sunnah maka manhaj salaf adalah bahwa mereka mngucilkannya dan menjauh darinya serta tidak bergaul atau duduk-duduk dengannya. Inilah manhaj (sikap dan cara) mereka, namun sebagaimana saya sebutkan’ hal itu dilakukan setelah orang tersebut terbukti benar-benar seorang pelaku bid’ah, dan setelah dia diberi nasehat. Lalu ia tetap tidak mau meninggalkan bid’ahnya. Maka ketika itu dia boleh dihajar (dikucilkan) dengan tujuan agar bahayanya tidak menyebar kepada orang lain yang bergaul dengannya dan orang yang berhubungan dengannya. Dan juga dengan tujuan agar kaum Muslimin selalau waspada terhadap para pelaku bid’ah dan terhadap berbuatan bid’ah. Adapun sikap berlebihan di dalam melemparkan tuduhan bid’ah kepada setiap orang yang dipandang menyelisihi pendapat orang lain, dengan mengucap, “orang ini mubtadi’; dan setiap orang menjuluki yang lainnya mubtadi’, padahal ia tidak pernah melakukan hal baru dalam agama Islam ini, kecuali hanya Anda berbeda pendapat dengannya dan dengan orang lain atau Anda berbeda pendapat dengannya dan dengan sekelompok tertentu, maka yang seperti itu tidak disebut mubtadi’ (ahli bid’ah). Siapa saja yang melakukan perbuatan haram atau maksiat maka ia disebut pelaku maksiat (‘ashi), dan tidak setiap orang yang bermaksiat adalah mubtadi’, tidak setiap orang yang berbuat salah adalah mubtadi ‘, karena mubtadi’ adalah orang yang mengadakan perkara baru dalam Agama yang merupakan bagiannya. Adapun berlebihan di dalam memvonis bid’ah dengan mengalamatkannya secara serampangan kepada setiap orang yang berbeda pendapat dengan orang tertentu, maka itu tidaklah benar. Karena boleh jadi kebenaran berada di pihak lawan. Maka yang demikian itu (berlebih-lebihab) bukan manhaj atau para Ulama Salaf.[46]





KESIMPULAN



Berpegang teguh pada As-Sunnah merupakan cara untuk menghindar dari permusuhan dan jalan untuk menghilangkan kesasatan. Karena As-Sunnah adalah tempat tempat yang aman untuk berlindung dan tidak akan membinasakan.

$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§9$# ’Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šãsù ’n<Î) «!$# ÉAqß™§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59)

Berhukum menurut ayat di atas adalah harus sesui dengan manhaj para shahabt Radhiyallahu’anhum, sebagaiamana yang telah disebutkan sberlunya pada firman Allah Ta’la:

`tBur È,Ï%$t±ç„ tAqß™§9$# .`ÏB ω÷èt/ $tB tû¨üt6s? ã&s! 3“y‰ßgø9$# ôìÎ6­Ftƒur uŽöxî È@‹Î6y™ tûüÏZÏB÷sßJø9$# ¾Ï&Îk!uqçR $tB 4’¯
“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu[348] dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)

Imam Ahmad berkata, “Pokok sunnah bagi kami adalah berpegang teguh dengan apa yang telah di tempuh oleh para shahabat,”[47]

Oleh sebab itu, jika Anda mendapatkan pelaku perpecahan dan pengikut hawa nafsu mengaku bahwa mereka telah beriltizam pada Al-Kitab dan As-Sunnah, Anda sekalai-kali tidak akan pernah mendapatkan mereka mengaku telah beriltizam dengan manhaj para shahabat sedikitpun, padahal cirri-ciri ahlul Firqah adalah meninggalkan manhaj para shahabat. perhatikanlah dengan seksama agar kita yakin bahwa tidak seorangpun dari mereka yagn berpegangan teguh pada manhaj para shahabat. Dengan memahaminya, kita akan tercegah dari terjerumus pada bid’ah mereka yang menylisihi al-haq, yakni ketika mereka mencampur adukkan ajaran agama dengan menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat atau ketika mereka memahami hadits tidak sesuai dengan al-haq, kita harus memerangi mereka dengan sunnah para shahabat Radhiyallahu’anhum, karena para shahabat adalah tulang punggung kebenaran Ummat, kesepakatan mereka adalah hujjah yang harus diikuti dan perbedaan mereka adalah suatu keluasan rahmat, sekal-kali seseorang tidak akan mendapatkan kebenaran di luar perkataan mereka sedikitpun.

Dari pemaparan di atas, kita bisa mengambil kesimpulan sebagai berikuit:

1. Bid;ah secara syar’i merupakan sebuah perkara yang pasti tercela. Perkara yang dianggap baik oleh para pelakunya ini, berkisar pada makan secara bahasa atau istilah secara khusus yang tidak menyalahi pokok yang telah kami paparkan dan tidak dipertentangnkan secara istilah.

2. Bid’ah memilki kaidah-kaidah yang harus diperhatikan, sehinggaa bagi para penuntut ilmu harus mengetahuinya, yakni harus mengetahui setiap perkara baru apa saja yang harus dimusnahkan dan perkara baru apa saja yang didiamkan yang tidak termasuk ke dalam kategori bid’ah, seperti maslahat murslah dan yang lainya.

3. Sejarah munculnya perpecahan dan perselisihan sudah terjadi pada ummat ini, sejak dahulu, yang pada intinya sebagian dari ummat ini ada yang mengambil langkah sebagian ummat terdahulu (sebelum bi’tsah) dalam menyelisihi manhaj para Nabi , kemudian sebagian Ummat inipun ada yang menyelisihi manhaj Nabi yang terpelihara kebenaranya, mereka perpedoman dengan pendapat dan nafsu mereka, yang pada akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.

4. Adanya perpecahan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahaih ditinjau dari ketentuan takdir alkauni (takdir yang nyata), maka tidak ada hujjah bagi seseorang untuk membatahnya, karena ia bersunber dari lisan Rasulullah SAW, sebagai bentukmukjijat yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala kepadanya. Adapun ditinjau dari kehendak segi syar’i sangat jelas bahwa syara, senantiasa mengajak pada persatuan dan meninggalkan perselisihan serta perpecahan.

5. Dampak negatife bid’ah bagi ummat adalah dapat menghilangkan ketentraman dalam bidang akidah dan kemasyarakatan, sesuai dengan kadar kehancuran yang akan ditimbulkannya. Sepatutnya bagi ummat Rasulullah SAW, agar bagnkit untuk mempertahankan sunnah Nabinya, sehingga lenyaplah bid’ah dan hidup suburlah sunnah serta beriltzam dengan manhaj Nabi SAW, sebagaimana Allah SWT, telah menjaganya bagi kita. Sebagaimana bentuk pelepasan diri kita dari pertanggungjawaban dan sebagai pembebasan perjanjian kita di Hadapan Allah Ta’ala kelak.

Dan pada akhirnya saya memohon kepada Allah SWT, agar menerima apa yangkani yakini sebagai kebenaran dan semoga memaafkan kesalahan dan penulisan ini, dan kita mohon semoga Allah SWT, menjadikan kita para penolong Sunnah Rasulullah SAW, dan para penolong dalam menghancurkan pedoman selainnya. Dia-lah sebaik-baik yang diminta dan yang paling mulai untuk diharap. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan shahabatnya.





















VI. MARAJI’

Ø Abu Luz, Abu Anas bin Husain, Tawassul Sunnah VS Tawassul Bid’ah, terjemahan, Muhammad Iqbal Amrullah, Jakarta, Darul Haq, 2007 M

Ø Al-Atsqalani, Ibnu Hajar, Fathul Baari, Baerut, Darul Fikr,

Ø Al-Bghdadi, Jami’ul Ulum wal Hikmah, Baerut, Mu’asasah Ar-Risalah, 1417 H

Ø Al-Fairuz, Al-Qamus Al-Muhit, Baerut, Mu’asasah Ar-Risalah, 1997 M

Ø Al-Jauziah, Ibnu Qayim, Ighatsatul Lahfan, Mesir, Darul Hadits, 2002 M

Ø Al-Jurjani, At-Ta’rifat, Baerut, Darul Kutub al-‘Arabi, 1405 H

Ø Al-Mathar, Hammud bin Abdillah, Ensiklopedi Bid’ah, terjemahan, Amir Hamzah Fahruddin, Jakarta, Pustaka Al-Sofwa, 2005 M

Ø Ar-Razi, Mukhtarus Shahah, Baerut, Maktabah Lubnan, 1415 H

Ø Asy-Syatibi, Imam, Al-‘Itisham, Baerut, Darul Fikr, 1997 M

Ø Asy-Syatibi, Imam, Al-Muwaafaqat, Baerut, Darul Fikr,

Ø At-Thabari, Imam, Tafsir At-Thabari, Baerut, Darul Fikr, 1405 H

Ø At-Thabrani, Al-Mu’jamul Kabir, Maktabah Al-Ulum wal Hikmah, 1404 H

Ø Basyiruddin bin Nurdin, Wasim Fatllah, Bid’ah Dampak Buruknya Bagi Ummat, Terjemahan, Arif Abdurrahman, Solo,At-Tibyan, 1428 H /2007 M

Ø Katsir, Ibnu, Tafsir Al-Qur’anil Azhim, Baerut, Darul Fikr, 1401 H

Ø Manzhur, Ibnu, Lisanul Arab, Baerut, Daar Shadir, Cet, Pertama

Ø Taimiyah, Ibnu, Majmu’ Fatawa, Baerut, Darul Jail,

[1] Wasim Fathul Basyarudin bin Nurdin, Bid’ah Dampak Buruknya Bagi Ummat, terjemah, Arif Bdurrahman, Solo: Pustaka At-Tibyan, Agustus 2007 M, cet, I, hal. 17

[2] Ibid

[3] Ibnu Manzhur, Lisanul Arab, Baerut, Daar Shadir, Jild, 8, Cet, I, hal.9

[4] Al-Fairuz Abadi, Al-Qamus Al-Muhit, Mu’asash Ar-Risalah, 1997 M, hal. 906

[5] Ar-Raaji, Mukhtarus Shahah, Baerut, Maktabah Lubnan, 1415 H, jild, I hal. 18

[6] Al-Jurjani, At-Ta’rifat, Baerut, Darul Kutub Al-A’rabi, 1405 H, Jild, I, Cet, I, hal. 62

[7] Imam Asy-Syatibi, Al-‘Itisham, Baerut, Darul ma’rifah,1997 M, jild, I Cet, I hal. 28

[8] Ibnu Taimyah, Majmu’ Fatwa, Baerut, Darul Jail, JIlid, IV, hal. 266

[9] Al-Baghdadi, Jami’ul ‘Ulum wal Hikmah, Baerut, Mu’asasaH Ar-Risalah, 1417 H, jild, I, Cet, I, hal. 266

[10] Ibnu Hajar, Fathul Baari, Baerut, Darul Fikr, Jild XIII, hal. 253

[11] Wasim Fathullah Basyiruddin bin Nurdin, Op.cit, hal. 21

[12] Ibid hal. 21-22

[13] Ibnu Qayim, Ighatsatul Lahfan, Mesir, Darul hadits, 2002 M, hal. 114

[14] Wasim Fathullah Basyirudin bin Nurdin, Op.Cit, hal.29

[15] Ibid hal. 30

[16] Ibid

[17] Asy-Syatibi, Al-‘Itisham, Op.cit, Jild, I, hal. 24

[18] Ibid (I/26)

[19] Liha Tafsir Ath-Thabari (XXV/21) (Diambil dari buku Wasim Fathullah Basyiruddin bin Nurdin, Bid’ah Dampak Buruknya Bagi Ummat, hal. 32)

[20] Lihat Tafsir Ibnu Abi Hatim (IV/1180) (Diambil dari yang sama di halaman, 33 )

[21] Imam Asy-Syatibi, Al-‘itsham, Op.cit, hal 27

[22] Imam Asy-Syatibi, Al-‘Itisham, Op.cit, hal. 26

[23] Ibid, hal. 25

[24] Ibid, hal. 33

[25] Ibid, hal. 41

[26] Ibid.

[27] At-Thabrani, Al-Mu’jamul Kabir, Maktabah Al-Ulum wal HIkmah, 1404 H, Jild, X, Cet, II, hal. 207

[28] Imam Asy-Syatibi, Al-‘Itisham, Op.cit, hal. 28

[29] Ibid

[30] Imam At-Thabani, Tafsir At-Thabari, Baerut, Darul Fikr, 1405 H, Jild, VII, hal. 8

[31] Tafsiar Ibnu Katsir, (II/181) Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil Azhim, Baerut, Darul FIkr, 1401 H, Jild, II, hal. 181

[32] Al-Muwafaqaat, karya Asy-Syathibi (II/287-288), dengan sedikt perubahan. (dikutif dari buku, “Washim Fathullah Basyiruddin bin Nurdin, Bid’ah Dampak Buruknya Bagi Ummat, terjemahan, Jakarta: Pustaka At-Tibyan,Agustus 2007, cet, hal. 53)

[33] Al-Muwafaqaat (II/291) ( Diambil buku yang sama seperti di atas)

[34] Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Syaikh Ibnu Utsaimin 2/34 ( dikutip dari buku: Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Tawassul Sunnah VS Tawassul bid’ah, terjemahan, Muhammad Iqbal Amrullah, L.c, Jakarta, Darul Haq, April 2007, Cet, I, hal. 36)

[35] Ibid

[36] Ibid

[37] Majmu’ Fatawa wa Ras’il Syaikh Ibnu Utsaimin 5/288 (diamkuti dari buku yang sama dan halaman yang sama)

[38] ibid

[39] Ibid

[40] Ibid



[41] Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Syaikh Ibnu Utsaimin 2/348, Fatwa no. 379 (Diambil dari buku Tawassul Sunnah VS Tawassul Bid’ah, Abu An-Nas Ali bin Husain Abu Luz, hal.39)

[42] Ibid

[43] Hammud bin Abdillah Al-Mathar, Ensiklopedi Bid’ah, terjemahn, Amir Hamzah Fachruin, Jakata, Pustaka Al-Sofwa, Januari 2005, Cet, I, hal. 42

[44] Ibid

[45] Ibid

[46] Hammud bin Abdillah Al-Mathar, Ensiklopedi bid’ah, Op. Cit, hal. 100

[47] Ushulus Sunnah, Karya Imam Ahmad bin Hambal (Diambil dari buku Washim Fathullah Basyruddin Bbin Nurdin, Bid’ah Dampak Buruknya Bag Ummat, Op.Cit, hal. 102)


http://khaiwar.multiply.com/

No comments:

Post a Comment