Thursday, March 15, 2012

Adab Membaca Al-Qur`an Dan Yang Berkaitan Dengan Al-Qur`an

Adab Membaca Al-Qur`an Dan Yang Berkaitan Dengan Al-Qur`an


Allah ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan adz-Dzikr dan sesungguhnya Kami yang akan menjaganya “ (Al-Hijr : 9)

“Apakah mereka tidak memikirkan Al-Qur`an. Sekiranya Al-Qur`an datangnya dari selainAllah, niscaya mereka akanmendapatkan perselisihan yang sangat banyak “ ( An-Nisaa` : 82 )

“Mengapakah mereka tidak memikirkan Al-Qur`an ataukah hati-hati mereka telah terkunci rapat “ (Muhammad :24)

“Ataukah tambahkanlah dari waktu itu – pengerjaan shalat malam – dan lantunkanlah Al-Qur`an dengan bacaan yang tartil “ ( Al-Muzammil : 4 )

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “… Dan tidaklah sebuah kaum berkumpul disalah satu rumah dari rumah-rumah Allah, mereka membaca Kitabullah, dan mempelajari Sunnah Nabi mereka, kecuali akan diturunkan kepada mereka ketenangan, dan mereka akan diliputi dengan rahmat Allah, para malaikat akan mengelilingi mereka, dan Allah akan menyebut-menyebut mereka kepada malaikat yang berada disisi-Nya “ (Diriwayatkan oleh Muslim ( 2699 )

Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dan sebaik-baik diantara kalian adalah yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya “ (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari ( 5027 )

Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang yang fasih dalam membaca Al-Qur`an akan bersama dengan para malaikat yang mulia dan berbakti dan yang membaca Al-Qur`an dengan terbata-bata, dan dia kesulitan dalam membacanya, maka baginya dua pahala “ ( Diriwayatkan oleh Al-Bukhari ( 4937 ) dan Muslim ( 798 ) dan lafazh diatas lafazh pada riwayat Muslim.)


Adab-adab membaca Al-Qur`an


1. Memperhatikan niat ikhlas disaat mempelajari Al-Qur`an dan ketika membacanya.

Dikarenakan membaca Al-Qur`an adalah ibadah yang dengan ibadah tersebut bertujuan untuk bertemu dengan wajah Allah. . Setiap amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa disertai dua syarat diterimanya amal – yaitu ikhlas dan sesuai tuntunan syariat – maka amalan tersebut akan tertolak.
An-Nawawi mengatakan: Yang pertama kali diperintahkan bagi seorang Qari’ Al-Qur`an adalah keikhlasan dalam membaca Al-Qur`an, dan hanya menghendaki perjumpaan dengan wajah Allah subhanahu wata’ala dari bacaan Al-Qur`an tersebut, dan tidak menghendaki pencapaian sesuatu selain itu”
(Al-Adzkaar hal. 160 Daar Al-Huda, cet. Ketiga 1410 H.)

Yang dikatakan oleh An-Nawawi ini adalah suatu yang benar, karena diantara para Qari’ ada yang membaca Al-Qur`an dengan tujuan agar perhatian kaum manusia tertuju kepadanya, dan agar mereka mendatangi majlis-nya, menyanjungnya dan menghormatinya – Kami memohon kepada Allah keselamatan dan ‘afiah -. Dan cukuplah sebagai peringatan bagi Qari’ tersebut, agar dia mengetahui siksa bagi seseorang yang mempelajari Al-Qur`an agar dikatakan sebagai seorang Qari’ Al-Qur`an. Imam Muslim telah meriwayatkan sebuah hadits didalam kitab Shahih beliau, dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Sesungguhnya orang yang paling pertama kali dijatuhkan putusannya pada hari kiamat, adalah seseorang yang mati syahid. Lalu diapun didatangkan dan dikabarkan nikmat-nikmat baginya lalu diapun mengetahuinya. Allah berfirman kepadanya: “Apakah yang telah engkau kerjakan bagi segala nikmat tersebut? “. Dia menjawab: Saya berperang karena Engkau hingga saya mendapatkan mati syahid.

Allah berfirman: ”Engkau telah berdusta, akan tetapi engkau berperang agar engkau dikatakan sebagai seorang yang gagah berani, dan itu telah dikatakan bagimu”. Kemudian diapun dilerintahkan untuk diseret kehadapan wajahnya lalu dia dicampakkan kedalam api neraka. Dan seseorang yang mempelajari ilmu lalu mengajarkannya dan membaca Al-Qur`an. Kemudian dia dihadapkan, dan dikabarkan nikmat-nikmat baginya lalu diapun mengetahuinya.
Allah berfirman: “Apakah yang telah engkau kerjakan bagi segala nikmat tersebut? “ Dia berkata: Saya mempelajari ilmu dan mengajarannya dan membaca Al-Qur`an karena Engkau. Allah berfirman: “Engkau telah berdusta, akan tetapi engkau mempelajari ilmu agar engkau dikatakan sebagai seorang yang alim, dan engkau membaca Al-Qur`an agar engkau dikatakan sebagai seorang Qari’, dan itu telah dikatakan bagimu. Kemudian diapun diperintahkan untuk diseret kehadapan wajahnya lalu dia dicampakkan kedalam api neraka. “ (al-hadist Hadits no. 1905)


1. Mengamalkan kandungan Al-Qur`an

Yaitu menghalalkan segala yang dihalalkan didalam Al-Qur`an, mengharamkan segala yang diharamkannya, berhenti pada setiap yang dilarangnya, mengerjakan setiap perintahnya dan mengamalkan setiap ayat-ayatnya yang muhkam dan beriman dengan ayat-ayat yang mutasyabih. Menegakkan setiap hukum-hukumnya dan huruf-hurufnya. Telah ada larangan yang sangat keras bagi seseorang yang Allah berikan kepadanya Al-Qur`an lantas dia tidak mengamalkannya Didalam Shahih Al-Bukhari dari penggalan hadits mimpin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam – darisebuah hadits yang panjang – , disebutkan: “Keduanya mengatakan: Pergilah. Maka kamipun beranjak pergi hingga kami menjumpai seseorang yang berbaring terlentang diatas tengkuknya, dan seseorang yang berdiri diatas kepalanya dengan sebuah pemukul atau sebuah batu besar lalu orang itu memecahkan kepala orang yang berbaring tersebut. Dan sewaktu dia memukulkan batu itu kekepalanya, batu tersebut terguling, kemudian dia pergi mengambil batu tersebut, dan tidaklah dia kembali kepada orang ini hingga kepalanya telah sembuh dan kembali seperti sedia kala, lalu diapun kembali memukulkan batu tersebut kekepalanya. Saya berkata : Siapakah ini ? . Keduanya mengatakan : “ Pergilah “ ( Kemudian hal itu ditefsirkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau berkata ) : Dan orang yang engkau lihat kepalanya dipukulkan dengan batu besar, adalah seseorang yang Allah telah ajarkan kepadanya Al-Qur`an, namun dimalam hari dia tidur tidak membacanya dan tidak mengamalkan Al-Qur`an disiang ahrinya, akan diperbuat hal demikian pada dirinya pada hari kiamat “ ( No. ( 1386 )



1. Anjuran untuk selalu mengingat Al-Qur`an dan memperbarui bacaan Al-Qur`an.

Mengingat-ingat Al-Qur`an maksudnya adalah dengan membiasakan diri membaca Al-Qur`an dan selalu berupaya mengingatnya. Adapun memperbaruinya adalah dengan memperbaharui untuk konsisten mempelajarinya dan membacanya. (Lihat didalam Fathul Baari ( 8 / 697 – 699 ) , cet. Daar Ar-Rayyan lit-Turats)

Seseorang yang telah memfokuskan dirinya ntuk menghafal Kitab Allah, dan yang telah menghafalkannya, apabila dia tidak menjaganya dengan mempelajari dan mengingat-ingatnya kembali, maka hafalannya dia akan mudah terlupakan. Al-Qur`an sangatlah mudah lepas dari dalam dada, oleh karena itu mesti memperbanyak perhatian dan lebih sering mempelajarinya dan membacanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan sebuah pemisalan bagi kita akan hal seorang penyandang Al-Qur`an yang

memperhatikan Al-Qur`an dan seseorang yang melalaikannya. Ibnu Umar – radhiallahu ‘anhuma telah meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Sesungguhnya pemisalan seorang penyandang Al-Qur`an bagaikan pemilik onta yang lagi terikat. Apabila dia memperhatikannya baik-abik tentu dia akan memegangnya dengan erat namun apabila dia melepaskannya maka onta tersebut akan lari darinya “ (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari ( 5031 dan Muslim ( 789 )

Dan dari hadits Abu Musa –radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Jagalah Al-Qur`an, Demi Dzat yang mana jiwaku berada didalam genggaman-Nya, sesungguhnya Al-Qur`an sangat mudah lepas daripada seekor onta yang ebrada dalam ikatannya “ ( Diriwayatkan oleh Al-Bukhari ( 5033 )

Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan – dalam menerangkan perumpamaan yang disampaikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam – : “ Beliau menyerupakan sirnanya Al-Qur`an dengan berangsur-angsur dan kontinyuitas dalam membaca Al-Qur`an seumpama ikatan pada seekor unta yangdikhawatirkan lepas pergi. Kapan penjagaan Al-Qur`an ini ada, maka hafalan Al-Qur`an pun jug tetap ada, sebagaimana halnya seekor unta, kapan unta tersebut diikat erat dengan tali maka unta tersebut akan tetap terjaga. Dan pengkhususan penyebutan unta pada hadits diatas, dikarenakan unta adalah hewan peliharaan manusia yang paling mudah lepas, dan sangatlah sulit untuk menemukan hewan tersebut apabila hewan ini telah lepas. (Fathul Baari 8 / 697, 698 )


1. Janganlah anda mengatakan : Saya telah lupa – ayat atau surah Al-Qur`an – akan tetapi katakanlah : Saya telah terlupakan, terjatuh hafalanku atau dilupakan.

Dalil akan hal itu, ada pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah –radhiallahu ‘anha -, beliau berkata : Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendengar seseorang yang membaca sebuah surah didalam Al-Qur`an pada waktu malam, lalu beliau bersabda : “ Semoga Allah merahmatinya, sungguh dia telah mengingatkan aku akan ayat ini dan ayat ini, yang sebelumnya saya telah terlupakan bahwa ayat tersebut berada pada surah ini dan surah ini “. Pada riwayat Muslim lainnya : “… Sungguh dia telah mengingatkan aku sebuah ayat yang saya telah jatuhkan penyebutannya dari surah ini dan surah ini “ (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari ( 5038 ) dan Muslim ( 788 ))


Dan pada hadits Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Alangkah buruknya seseorang diantara mereka yang mengatakan : Saya telah lupa ayat ini dan ayat ini, tetapi sesungguhnya dia telah terlupakan“ (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari ( 5039 ) danMuslim ( 790 ).

An-Nawawi mengatakan: “Pada hadits tersebut, menunjukkan tercelanya perkataan : lupa akan ayat ini, dan celaan ini sifatnya suatu yang makruh, dan perkataan : saya terlupakan bukan suatu yang tercela. Adapun larangan mengatakan : saya lupa ayat ini , dikarenakan mengandung sikap memudah-mudahkan dan melailaikan ayat-ayat tersebut. Allah ta’ala berfirman:

“Dan ayat-ayat Kami telah datang kepada-mu lalu kamu melupakannya “

Al-Qadhli ‘Iyadh mengatakan: “Penafsiran yang paling tepat terhadap hadits tersebut bahwa maknanya adalah celaan yang ditujukan pada keadaan sipengucap, bukan pada ucapannya, yakni saya lupa keadaan tersebut, keadaan dalam mengahafal Al-Qur`an lalu diapun lalai hingga melupakannya “ (Syarh Muslim ( jilid ketiga – 6 / 63 ), cet. Daar Al-Fikr )

Masalah : Apakah hukum seseorang yang menghafal satu bagian dari Al-Qur`an lantas dia melupakannya ?

Jawab : Al-Lajnah Ad-Daimah mengatakan : … Tidaklah pantas bagi seseorang yang menghafal Al-Qur`an lalu dia lalai membacanya dan tidak pantas pula dia melalaikan penjagaan Al-Qur`an. Melainkan sepatutnya dia menyediakan suatu waktu bagi dirinya untuk membaca bacaan tertentu setiap harinya yang akan membantu dia menguatkan hafalannya dan menghalanginya dari kelupaan dengan mengharapkan phala serta faedah dari hukum-hukum yang terdapat didalam Al-Qur`an baik dalam permasalahan aqidah atau muamalah. Akan tetapi siapa saja yang telah menghafal salah satu bagian dari Al-Qur`an lantas dia melupakannya akibat kesibukan atau kelalaiannya, dia tidaklah berdosa. Adapun hadits-hadits yang menyebutkan tentang ancaman bagi yang lupa akan hafalan Al-Qur`an yang telah dihafalnya tidaklah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Wabillahu taufiq
[ Fatawa Al-Lajnah Ad-Daa`imah lil-Buhuts al-‘Ilmiyah waal-Ifta’ ( 4/ 64 ), cet. Ar-Riasah Al-‘Ammah li-Idaraat Al-Buhuts Al-‘Ilmiyah wa Al-Ifta’ wa Ad-Da’wah wa Al-Irsyad.].


1. Wajib menghayati kandungan Al-Qur`an

Sekian banyak nash-nash syara’ yang mengharuskan penghayatan kandungan ayat-ayat Al-Qur`an Al-‘Aziz. Beberapa diantaranya telah dikemukakan sebelumnya. Dan juga pada firman Allah ta’ala :

“ Apakah mereka tidak memikirkan Al-Qur`an. Sekiranya Al-Qur`an datangnya dari selainAllah, niscaya mereka akanmendapatkan perselisihan yang sangat banyak “ (An-Nisaa` : 82 )

Ibnu Sa’diy mengatakan : “ Allah ta’ala memerintahkan untuk menghayati Kitab-Nya yaitu dengan menelaah makna-makna yang terkandung didalamnya, memikirkannya lebih mendalam, tentang hal-hal yang prinsipil serta perkara-perkara yang mengikutinya dan hal-hal yang berkaitan erat dengan hal itu. Dikarenakan penghayatan akan Kitabullah merupakan kunci pembuka bagi setiap ilmu dan pengetahuan, dan akan menghasilkan setiap kebaikan dan setiap ilmu akan dapat disadur dari Kitab-Nya. Dan dengan penghayatan ini akan menambah keamanan didalam hati, dan akan mengokohkan pohon keamanan tersebut. Dan dengan itu, akan diketahui Siapakah Ar-Rabb Al-Ma’buud – yang disembah dengan haq – , beserta sifat-sifat-Nya yang sempurna dan sifat-sifat yang kurang mesti dijauhkan dari-Nya. Dan dengan itu juga, akan dikenali jalan yang akan mengantarkan kepada-Nya, sifat kaum yang meniti jalan tersebut, dan balasan pahala bagi mereka setelah tiba dihadapan-Nya. Dan juga akan dikenali musuh Al-Qur`an, musuh Al-Qur`an yang sebenarnya, dan jalan yang akan mengantarkan kepada siksa, dan sifat kaum yang berada diatas jalan tersebut, serta apa saja yang ditimpakan bagi mereka disaat sebab-sebab datangnya adzab ada pada mereka. Dan setiap kali seorang hamba semakin menelaah kandungan Al-Qur`an, maka akan bertambah ilmu, amal dan keyakinannya. Oleh karena itulah Allah ta’ala memeritahkan hal itu, menganjurkanya dan Allah ta’ala telah mengabarkan, bahwa inilah maksud dengan diturunkannya Al-Qur`an, sebagaimana firman Allah ta’ala :

“ Inilah Kitab yang Kami telah turunkan kepada engkau , kitab yang penuh berkah, agar supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan agar supaya orang-orang yang berpikir merenunginya “ ( Shad : 29 )
(Taisir Al-Karim Ar-Rahman fii Tafsir Kalam Al-Mannan ( 2 / 112 ) cet. Ar-Riasah Al-‘Ammah li-Idaraat Al-Buhuts Al-‘Ilmiyah wa Al-Ifta’. )

Ulama As-Salaf dari generasi sahabat –radhiallahu ‘anhum – dan generasi setelahnya telah mempraktikkan hal itu dalam amal perbuatan mereka. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abu Abdirrahman, beliau berkata : Telah menceritakan kepada kami salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membacakan Al-Qur`an kepada kami , bahwa mereka – para sahabat – mengambil bacaan Al-Qur`an dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak sepuluh ayat, dan mereka tidaklah mengambil sepuluh ayat berikutnya sebelum mereka mengetahui kandungan ilmu dari ayat-ayat ini kemudian mengamalkannya. Mereka berkata : Maka kami mempelajari ilmu Al-Qur`an dan mengamalkannya.(Al-Musnad ( 22971 ))

Dan pengecualian dari itu juga, dengan hadits yang diriwyatkan oleh Malik didalam Al-Muwaththa’ beliau dari jalan Yahya bin Sa’id, bahwa beliau berkata : Saya dan Muhammad bin Yahya bin Hibban pernah duduk , lalu Muhammad memanggil seseorang, dan mengatakan : Kabarkanlah kepadaku apa yang telah engkau dengan dari bapakmu. Orang itu berkata : Bapaku telah mengabarkan kepadaku bahwa dia telah mendatangi Zaid bin Tsabit, lalu berkata kepadanya : Bagaiman pendapatmu mengenai seseorang yang membaca Al-Qur`an dalam tujuh hari. Zaid berkata : Suatu yang baik, namun saya membacanya dalam setengah buan atau dalam waktu sepuluh hai lebih saya sukai daripadanya, dan tanyakan kepadaku mengapa demikian ? . Dia berkata : Saya bertanya kepada engkau ? Zaid mengatakan : Agar saya dapat menghayatinya dan memahaminya. ( Al-Muwaththa’ Malik ( 320 ) ( 1 / 136 ) cet. Daar Al-Kitab Al-‘Arabi)



1. Bolehnya membaca Al-Qur`an sambil berdiri, berjalan, berbaring dan diatas kendaraan.

Dalil akan hal itu adalah firman Allah ta’ala :

“ Mereka yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri dan duduk, Dan dalam keadaan berbaring “
(Ali Imran : 191 )

Dan firman Allah ta’ala :

“ Supaya kamu duduk diata punggungmu kemudian kalian ingat nikmat Rabb kalian, apabila kalian telah duduk diatasnya. Dan suapaya kalian mengucapkan :Maha suci Dia yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya “ (Az-Zukhruf : 13 – 14 )

Dan As-Sunnah juga telah menerangkan hal ini seluruhnya. Dari hadits Abdullah bin Mughaffal –radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Saya telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam paha hari penaklukan Makkah, dimana beliau sedang membaca surah al-Fath diatas tunggangan beliau “ (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari ( 5034 ) dan Muslim ( 794 ))

Dan dari hadits Aisyah Ummul mukminin –radhiallahu ‘anha – beliau berkata : Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersandar di kamarku dan saya dalam keadaan haidh, lalu beliau membaca Al-Qur`an “ (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari ( 297 ) dan Muslim ( 301 ))

Adapun bagi seorang yang sedang berjalan, dapat dianalogikan kepada seseorang yang sedang berada diatas kendaraan dan keduanya tidak ada perbedaan.

Faedah : Pada hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, menunjukkan bolehnya membaca Al-Qur`an di kamar seorang wanita yangtengah haidh atau nifas. Dan yang dimaksud dengan bersandar disini adalah meletakkan kepala dikamar. Ibnu Hajar mengatakan : Pada hadits ini menunjukkan bolehnya membaca Al-Qur`an didekat tempat yang najis, sebagaimana dikatakan oleh an-Nawawi. (Fathul Baari ( 1 / 479 ))



1. Tidak menyentuh Al-Qur`an kecuali dalam keadaan suci

Dalil akan hal tersebut adalah firman Allah ta’ala :

“ Tidaklah ada yang menyentuhnya selain kaum yang suci “ ( Al-Waqi’ah : 79 )

Dan larangan menyentuh Al-Qur`an kecuali bagi seseorang yang telah bersuci dengan tegas disebutkan pada sebuah kitab yang ditulis oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Amru bin Hazm, dan paa kitab tersebut tercantum : “ Dan janganlah seseorang menyentuh Al-Qur`an kecuali dia dalam keadaan bersih/suci “
(Diriwayatkan oleh Malik didalam Al-Muwaththa’ eliau ( 468 ). Kitab ini adalah kitab yang dituliskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Amru bin Hazm bagi penduduk Yaman tentang sunnah-sunnah, permasalahan warisan, dan pembayaran diyat. Ibnu Abdil Barr berkatan tentang kitab ini : Kitab ini adalah kitab yang populer dikalangan ulama dan ketenaran kitab ini telah mencukupkan dari sanad periwayatannya ( At-Tamhid 17 / 396 ) cet. Daar Ath-Thayyibah. Al-Albani telah menshahihkan hadits ini didalam Al-Irwa’ ( 122 ), dan beliau menyebutkan bahwa Imam Ahmad telah menjadikannya sebagai hujjah dan Ishaq bin Rahawaih juga menshahihkannya ( 1 / 158 ) cet. Al-Maktab Al-Islami.)

Masalah : Apakah boleh membawa mushaf Al-Qur`an jika menggunakan pembungkus (kantung)[1] atau diantara kain bagi seorang yang berhadats?

Jawab : Iya, diperbolehkan membawa Al-Qur`an dengan menggunakan pembungkus/kantung, karena yang seperti itu tidak termasuk menyentuh.[2] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : “Dan barang siapa yang membawa mushaf , maka sebaiknya dia membawanya diantara kainnya, yang terletak pada pelananya maupun barang bawaannya. Dan tidak dibedakan apakah kain tersebut teruntuk bagi kaum laki-laki , wanita ataukah anak kecil dan walau kain tersebut berada diatasnya atau dibawahnya, wallahu a’lam.”[3]

Faedah : Bolehnya membawa mushaf dengan meletakkannya pada saku, dan tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk masuk wc dengan membawa mushaf. Akan tetapi dia harus meletakkan mushaf pada tempat yang sesuai dengannya dalam rangka mengagungkan kitabullah dan menghormatinya. Akan tetapi jika terpaksa masuk ke wc dan takut mushhaf tersebut akan dicuri jika ditinggal di luar, boleh baginya masuk wc dengan membawa mushaf dengan alasan darurat.[4]

[1] ‘Ilaqah, dengan dikasrah, seperti ungkapan ‘ilaqah as-saif – pedang- dan as-sauth – cambuk -. Yang dimaksud dengan ‘ilaqah as-sauth adalah sesuatu yang dipergunakan untuk menaruh cambuk didalam perjalanan. Demikian pula dengan ‘ilaqah al-qadh – bejana – , mushhaf dan al-qauus – cerek – dan lain sebagainya. A’laqa as-sauth, al-mushhaf, as-saif wa al-qadh maknanya adalah membuat gantungan bagi barang-barang tersebut.

[2] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah no.557 (4/76)

[3] Fatwa An-Nisa` halaman 21 terbitan Daar Al-Qalam

[4] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah no.2245 (4/40)

————————————————————————————————————



8. Boleh membaca Al-Qur`an dari hafalannya bagi orang yang berhadats kecil.

Adapun orang-orang yang junub, maka tidak diperkenankan baginya membaca Al-Qur`an dalam keadaan bagaimanapun. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ali radhiallahu ‘anhu yang mengatakan :
“ Dahulu Rasulullah biasa membacakan kepada kami ayat-ayat Al-Qur`an selama beliau tidak dalam keadaan junub.”
( HR. Ahmad (627), dan pentahqiqnya mengatakan :”Sanadnya hasan”, dan meyebutkan perkataan Al-Hafidz :”Yang benar, dia itu pada tingkatan hasan yang dapat dipakai sebagai hujjah.” Lihat Al-Musnad Imam Ahmad cetakan Muasasah Ar-Risalah halaman 61, 62. HR. At-Tirmidzi (131) dan beliau mengatakan :”Hadits hasan shahih.”)

Jika hadatsnya hanya sekedar hadats kecil, maka boleh membaca Al-Qur`an melalui hafalannya, hal ini sesuai dengan hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma ketika beliau menginap dibibi beliau Maimunah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkta, “Hingga ketika sampai pada pertengahan malam kurang atau lebih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terjaga lalu beliau duduk dan mengusap wajahnya dengan kedua tangan beliau, kemudian beliau membaca sepuluh ayat terakhir dari surat Ali Imran, lantas beliau bangun dan menuju ketempat air yang tergantung lalu berwudhu` darinya dan membaguskan wudhu`nya”.
(HR. Al-Bukhari (183) dan Muslim (673))

Bacaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , setelah beliau terbangun dari tidur dan belum berwudhu` adalah dalil diperbolehkannya membaca Al-Qur`an bagi orang yang berhadats kecil seperti kencing, buang air besar, atau tidur. Sedangkan yang lebih utama dan sempurna adalah membaca Al-Qur`an dalam keadaan suci dari hadats.

Tidak ada celaan maupun pengingkaan bagi seseorang yang membaca Al-Qur`an dalam keadaan seperti ini. Bahkan celaan tertuju bagi orang yang mengingkari masalah ini dan kepada orang-orang yang menolak sunnah yang shahih yang menerangkan perkara ini.

Diriwayatkan didalam Al-Muwaththa` karya Imam Malik bahwa Umar bin Khaththab sedang berada pada suatu kaum dan mereka sedang membaca Al-Qur`an. Kemudian beliau buang hajat dan kembali lalu membaca Al-Qur`an. Maka berkatalah salah seorang diantara mereka : “ Wahai Amirul Mu`minin, apakah engkau membaca Al-Qur`an sedangkan engkau tidak berwudhu`?”, maka Umar mengatakan :”Siapakah yang memberimu fatwa seperti itu? Apakah Musailamah?” (Al-Muwaththa` (469).)

Masalah : Apakah boleh bagi orang yang berhadats kecil membaca Al-Qur`an dari mushaf?

Jawab : Al-Lajnah Ad-Daimah dalam salah satu jawabannya mengatakan :”Tidak diperbolehkan bagi orang yang sedang junub membaca Al-Qur`an sampai dia mandi. Baik membaca dengan mushaf maupun dari hafalannya. Juga tidak boleh baginya membaca Al-Qur`an memakai mushaf kecuali setelah suci secara sempurna dari hadats besar maupun kecil.
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daa`imah (5/328), fatwa no. 8859.)

Masalah : Manakah yang lebih utama, membaca Al-Qur`an dari hafalan atau dengan mushaf?

Jawab : Terdapat perbedaan pendapat diantara ulama tentang hal ini. Sebagian mereka mengutamakan membaca Al-Qur`an dari hafalan dari pada membaca melalui mushaf. Ulama lainnya menolak pendapat ini, mereka mengatakan :”Sesungguhnya membaca melalui mushaf lebih utama, karena dengan begitu berarti mencermati Al-Qur`an. Akan tetapi pendapat ini didukung oleh atsar-atsar yang tidak shahih. Ulama lainnya lagi merinci permasalahan ini.

Ibnu Katsir mengatakan : ”Sebagian ulama mengatakan, inti perkara ini adalah masalah kekhusyu’an. Jika membaca Al-Qur`an melalui hafalan lebih khusyu’, maka ini yang utama. Sedangkan jika membaca dengan mushaf lebih khusyu’, maka inilah yang utama. Jika membaca dengan hafalan sama khusyu’nya dengan membaca menggunakan mushaf, maka membaca melalui mushaf lebih utama. Karena akan lebih cermat dan mendapatkan kelebihan dengan melihat mushaf.

Abu Zakariya An-Nawawi rahimahullah dalam kitab At-Tibyan mengatakan : ”Zhahir perkataan dan amalan ulama Salaf dapat dipahami dengan perincian ini. (Fadhail Al-Qur`an hal. 212. Pentahqiq : Abu Ishaq Al-Huwaini, cetakan Maktabah ibnu Taimiyah.)

Ibnul Jauzi mengatakan : ”Sudah sepantasnya bagi orang-orang yang memiliki mushaf untuk membaca setiap hari ayat-ayat yang mudah agar tidak menjadikan Al-Qur`an terabaikan. (Al-Adab Asy-Syar’iyah Ibnu Muflih (2/285) cetakan Muasasah Ar-Risalah.)

9. Bolehnya Membaca Al-Qur`an bagi perempuan yang sedang haidh maupun nifas.

Hal ini dikarenakan tidak dijumpai dalil yang menunjukkan secara langsung tentang pelarangannya, akan tetapi harus membaca dengan tanpa menyentuh mushaf. Al-Lajnah Ad-Daimah menyatakan :”Adapun bagi perempuan haidh maupun nifas, tidak mengapa membaca Al-Qur`an dengan tanpa menyentuh mushaf. Ini menurut pendapat yang paling shahih dari para ulama, dikarenakan tidak tsabitnya dalil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang perempuan haid maupun nifas untuk membaca Al-Qur`an.” (FatawaAl- Lajnah Ad-Daa`imah no. 3713 (74/4)


10. Disunnahkan membersihkan mulut sebelum membaca Al-Qur`an dengan siwak.

Yaitu dalam rangka beradab dengan Kalamullah. Maka sesungguhnya seorang qari’ ketika menghendaki untuk membaca Kalamulah, sangat baik baginya jika membarsihkan dan membuat harum mulutnya dengan siwak atau dengan apa saja yang bisa dipakai untuk membersihkan mulut.

Tidak ada keraguan bahwa hal ini merupakan perilaku penuh adab terhadap kalamullah. Rasulullah mencontohkan hal ini sebagaimana dalam hadits Hudzaifah yang menyatakan : ”Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun untuk shalat tahajjud pada malam hari, beliau membersihkan mulut beliau dengan siwak.”
(HR. Al-Bukhari (1136), Muslim (255), Ahmad (22802), An-Nasa’I (2), Abu Dawud (55), Ibnu Majah (286), dan Ad-Darimiy (685). Lihat Al-Adzkar Imam An-Nawawi hal. 160.)



11. Merupakan sunnah, membaca isti’adzah dan basmalah ketika memulai membaca Al-Qur`an.

Termasuk sunnah, membaca isti’adzah (ta’awwudz) sebelum membaca Al-Qur`an sebagaimana firman Allah :

” Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (An-Nahl : 98).

Juga dari hadits yang diriwayatkan Abu Said al Khudri yang mengatakan: ” Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk shalat malam, beliau bertakbir kemudian membaca :

(Maha Suci Engkau, ya Allah, segala puji bagimu, maha suci namaMu, maha tinggi keagunganMu, dan tiada ilah selainMu). Kemudian membaca : (Tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau) sebanyak tiga kali, kemudian membaca : (Allah Maha Besar) tiga kali, kemudian membaca: (Aku berlindung kepada Allah yang maha mendengar lagi maha mengetahui dari syetan yang terkutuk, dari godaannya, dari kesombongannya, dan pengaruhnya)[A] kemudian baru membaca surah (Al-Qur`an)[B].

keterangan:

[A] Hamzihi : hamaza asy-syaithan al-insaana hamazan, maknanya: meniupkan didalam hatinya perasaan was-was. Hamzaah asy-syaithan : Adalah segala was-was yang terbersit didalam hati seorang manusia. ( Lihat Lisan Al-‘Arab 5 / 426 ), bahasan: همز.

Nafkhihi: an-nafkhu maknanya adalah keangkuhan. Pada sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Saya berlindung dari hamzihi, wa nafkhihi wa naftsihi , … dikarenakan seorang yang angkuh merasa tinggi hati dan menyatukan hawa nafsu dan kehendaknya yang dia sombongkan. ( Lisan Al-‘Arab 3 / 64 ), bahasan: نفخ

Naftsihi: Sedangkan an-naftsu, penafsiran kalimat ini didalam hadits diatas adalah sya’ir. Abu ‘Ubaid mengatakan: Dan an-naftsu ditafsirkan sebagai sya’ir dikarenakan seumpama sesuatu yang dilontarkan yang ada padanya seperti juga halnya dengan ruqyah. ( Al-Lisan 2 / 196 ) bahasan: نفث

[B] HR. Abu Daud ( 775 ), Al-Albani mengatakan: Shahih. Ibnu Katsir mengatakan: Hadit sini telah diriwayatkan oleh para penulis As-Sunan yang empat. At-Tirmidzi mengatakan: Hadist ini yang paling populer dalam pembahasan ini . ( Tafsir Al-Qur`an Al-‘Adzhim 1 / 13 ). Cet. Maktabah Al-Harmiy



Dari ayat dan hadits diatas dapatlah kita ketahui dua sighat al-isti’adzah, yaitu:

1. A’udzu billahi min asy-syaithan ar-rajiim
2. A’udzu billah as-samii’ al-‘aliim min asy-syaithan ar-rajiim min hamzihi wa nafkhihi wa naftsihi.
3. A’udzu bis-samii’ al-‘aliim min asy-syaithan ar-rajiim (Telah dijelaskan oleh Abu Daud tentang bentuk kalimat ta’aawudz pada no.785 dan Imam Al-Albaniy belum menshahihkan riwayat ini, dan Syeikh Utsaimin memberikan syahid (penguat terhadapnya) dalam Syarh Al-Mumti’ ‘ala matni Zaad Al-Mustaqani’ yang menujukkan atas shahihtnya riwayat ini menurut beliau. Lihat Asy-Syarh (3/71) terbitan Mu`asasah Aasaam.)

Dan disunahkan bagi orang yang membaca al-Qur`an untuk mengamal sighat isti’adzah yang pertama dan juga yang berikutnya.

Faedah Isti’adzah: Untuk menjauhkan syaithan dari hati-hati manusia, disaat seseorang membaca kitabullan hingga seseorang mencapai tadabbur Al-Qur`an dan dapat memahami maknanya, dan mengambil manfaat dari Al-Qur`an tersebut. Karena akan ada perbedaan jikalau anda membaca Al-Qur`an dengan hati khusyu’ dan disaat anda membaca Al-Qur`an sementara hati anda yang lalai. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Utsaimin rahimahullah.
(Asy-Syarh Al Mumti’ (3/71))

Adapun membaca basmalah ketika memulai membaca Al-Qur`an merupakan amalan yang sunnah saja.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas radhiallahu ‘anhu dia berkata: “ Pada suatu hari setelah shalat dzhuhur, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada disisi kami dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah mengantuk lalu beliau mengangkat kepala beliau dan tersenyum.
Lalu kami bertanya kepada beliau, “Apa yang menyebabkan anda tertawa, wahai Rasulullah?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Baru saja diturunkan kepadaku sebuah surat yang mulia”, kemudian beliau membaca

“ Sesunguhnya Kami telah memberikan kepadamu al-kautsar – telaga disurga. Maka shalatlah kepada Rabb-mu dan berkurbanlah. Sesungguhnya yang membencimu adalah orang yang terputus “ (Al-Kautsar).
(HR.Muslim (400))

Pertanyaan : Telah menjadi kebiasaan kaum muslimin ketika selesai membaca Al-Qur`an mereka mengucapkan “Shadaqallahul ‘Adziim” apakah ini ada dalilnya yang shahih?

Jawab : Tidak ada dalil untuk mengucapkan “Shaqallahul ‘Adziim” ketika selesai membaca Al-Qur`an. Walaupun ini amalan sebagian besar kaum muslimin, akan tetapi amalan mayoritas bukanlah dalil bahwa amalan tersebut benar. Allah ta’ala berfirman :

“ Dan tidaklah sebagian besar kaum manusia , walaupun engkau berupaya , akan beriman “ (Yusuf: 103 )

Demikian pula ada pendapat yang sangat mengesankan dari Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah:

“ Janganlah engkau merasa kesepian dengan jalan-jalan petunjuk hanya karena sedikitnya yang mengikuti jalan tersebut. Dan janganlah engkau terpedaya dengan banyaknya orang-orang yang meniti jalan kebinasaan “.

Akan tetapi sesungguhnya dalil menguatkan pendapat yang menolak penutupan bacan Al-Qur`an dengan ucapan ini. Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim dan selain mereka dari hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu beliau berkata: “Rasululla Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bacakanlah –Al-Qur`an- untukku”
Ibnu Mas’ud berkata: “ Saya bertanya: Akankah saya membacakan Al-Qur`an untukmu sedangkan kepadamu Al-Qur`an itu diturunkan?”
Nabi bersabda: “Sesungguhnya aku suka untuk mendengarkan Al-Qur`an dari orang lain”.
Ibnu Mas’ud berkata: “ Maka saya pun membacakan surat An-Nisaa` hingga saya sampai pada ayat:

“ Dan Bagaimanakah jikalau Kami mendatangkan bagi masing-masing umat seorang saksi, dan kami datangkan engkau sebagai saksi atas mereka semua “ (An-Nisaa` : 41 )
Beliau berkata kepadaku: “Cukup atau tahan bacaanmu”, dan aku melihat kedua mata beliau meneteskan air”.

( HR. Al-Bukhari no.5055 dan lafazh ini lafazh riwayat beliau, Muslim no.800)

Dan demi ayah dan ibuku yang menjadi jaminannya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh Ibnu Mas’ud untuk mengucapkan “Shadaqallahul’adzim” dan beliau tidak menetapkan hal itu dan tidak pula dilakukan oleh orang-orang generasi pertama dari umat ini semoga Allah meridhai mereka bahwa mereka tidak pernah mengucapkan hal itu ketika mereka selesai membaca Al-Qur`an. Begitu juga tidak pernah diketahui bahwa Salaf Ash-Shalih yakni orang-orang yang hidup setelah generasi sahabat bahwa mereka telah mengamalkannya. Tidak ada yang dapat dikatakan selain kita bahwa amalan tersebut adalah amalan yang muhdats – diada-adakan – dan tidak ada sunnah yang membolehkan dzikir ini.

Al-Lajnah Ad-Daimah berfatwa: “ Seseorang mengatakan “shadaqallahul’adzim “ ucapan ini pada dasarnya adalah ucapan benar. Akan tetapi apabila ia mengucapkannya setelah selesai membaca Al-Qur`an dengan terus menerus, maka ini termasuk perbuatan bid’ah. Dikarenakan bacaan itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafa` Ar-Rasyidin sebatas yang kami ketahui, sementara mereka seringkali membaca Al-Qur`an. Dan telah shahih driwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Barang siapa yang beramal dengan sebuah amalan yang tidak ada baginya perintah dari kami, maka amalan itu tertolak”. Dan pada riwayat lain: “Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama yang hal tersebut bukan merupakan urusan dari kami, maka tertolak”. (Fatwa no.4310 (4/118) dan kami telah meringkas masalah ini dan menyebarkannya kepada orang-orang yang melakukannya dengan penjelasan yang sejelas-jelasnya. Wallahulmusta’an.)

Faedah :An-Nawawi menyebutkan dalam kitab beliau Al-Adzkar, bahwa beliau berkata: “ Disunnahkan bagi orang yang membaca Al-Qur`an jika ia memulainya dari pertengahan surat hendaklah ia memulainya dari awal kalimat-kalimat saling berkaitan sebagian dengan sebagian lainnya. Demikian pula hendaklah ia berhenti pada tempat berhenti pada kalimat yang berkaitan, atau pada akhir kalimat. Dan janganlah dia bergantung dalam masing-masing tempat berhenti , ketika memulai, atau ketika berhenti pada setiap juz, atau setiab hizb bacaan, atau pada setiap ‘usyr juz. Karena sebagian besar tempat-tempat tersebut berada pada pertengahan kalimat … Kemudian beliau berkata, “ Dan semakna dengan pernyataan ini sesuai dengan perkataan ulama: “ Membaca Al-Qur`an dengan menyempurnakan setiap surat itu lebih utama dari pada sebagian surah pada surah-surah yang panjang. Dikarenakan penyesuaian bacaan ayat telah tersamarkan bagi mayoritas kaum muslimin atau bahkan paling banyaknya diantara mereka dia pada beberapa keadaan dan tempat”. (Al-Adzkar hal.163)



12. Disunnahkan membaca Al-Quran dengan tartil dan makruh membaca al quran secara cepat.

Allah memerintahkan kepada kita untuk membaca Al-Qur`an secara tartil, sebagaimana firman-Nya :

“ Dan bacalah Al-Qur`an dengan tartil “ (Al-Muzammil : 4 ).

Adapun yang dimaksud dengan tartil dalam membaca adalah membaca dengan teratur dan pelan-pelan serta dengan suara yang jelas tanpa salah. Ibnu Abbas ketika menjelaskan tafsiran surah ini

“ Dan bacalah Al-Qur`an dengan tartil “ (Al-Muzammil : 4 ).

Beliau mengatakan, “Membaca Al-Qur`an itu dengan sejelas-jelasnya.” Abu Ishaq mengatakan, “Bacaan yang jelas tidak mungkin terwujud dengan tergesa-gesa ketika membaca, adapun untuk mewujudkannya adalah dengan cara mencermati setiap huruf yang dibaca dan memenuhi hak-haknya (ketentuan-ketentuan hukum qira’ah).” (Liasn Al ‘Arab Karangan Ibnu Mandzur (11/265) cetakan Daar Ash-Shaadir.)

Sedangkan faedah yang bisa diambil dari membaca Al-Qur`an dengan cara tartil adalah mengajak kita untuk memahami makna dari ayat-ayat Al-Qur`an tersebut.

Mayoritas para salaf dari kalangan para sahabat maupun yang sesudah mereka, sangat membenci orang yang membaca Al-Qur`an dengan cara terburu-buru. Penyebab ketidak senangan mereka adalah karena kemaun para qari’ untuk membaca dalam jumlah banyak dan dalam waktu singkat adalah merupakan kelalaian, dikarenakan ingin mendapat pahala besar tapi hilang mashlahat yang lebih besar yaitu tadabbur atau mepelajari serta memahami makna dari ayat-ayat Al-Qur`an, mengambil faedah darinya, dan pengaruh bacaan Al-Qur`an yang nampak jelas pada diri qari’ itu sendiri. Tidak diragukan lagi bahwa seseorang yang membaca Al-Qur`an sedangkan dia memikirkan ayat-ayatnya dan menghadirkan atau berusaha memahami makna-maknanya, hal ini jelas lebih baik dari pada orang yang membacanya dengan tergesa-gesa karena ingin cepat menyelesaikan bacaannya atau selesai dan banyak jumlah yang dibaca.

Ibnu Mas’ud memiliki perkataan yang berisikan kritikan beliau terhadap orang yang membaca Al-Qur`an dengan tergesa-gesa, diriwayatkan dari Abi Wail beliau berkata: “ Seorang laki-laki datang menjumpai beliau yang dikenal dengan nama Nuhaik bin Sinan, lalu orang tersebut berkata: “ Wahai Abu Abdurrahman Bagaimanakah anda membaca huruf ini, apakah dengan huruf aliif atau dengan huruf yaa` , yaitu pada firman Allah ta’ala:ﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ataukah dengan: ﮎ ﮏ ﮐ ياسِنٍ ?

Dia berkata: “ Berkata Abdullah: “ Semua ayat-ayat Al-Qur`a telah anda hitung selain ayat ini? “

Dia berkata: “ Sesungguhnya aku membaca surah al-mufashshal pada satu raka’at. “

Maka Abdullah berkata: “Ini adalah pemenggalan sebagaimana pemenggalan sebuah sya’ir ? Sesungguhnya ada sekelompok kaum yang mereka membaca Al-Qur`an, akan tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka. Akan tetapi apabila mereka meresapinya dalam hati dan merasakan manfaatnya serta mengambil faedah padanya, barulah mereka berlalu …” (HR. Al-Bukhari no.775 dan Muslim no722 dan lafazh ini adalah lafazh pada riwayat beliau..)

Diriwayatkan dari Abu Jamrah  mengatakan: “Aku berkata kepada Ibnu Abbas, Sesungguhnya aku sangat cepat membaca Al-Qur`an dan aku dapat menyelesaikannya dalam tiga hari.” Maka Ibnu Abbas mengatakan, “ Sesungguhnya aku membaca Al-Baqarah dalam semalam dengan mentadaburinya dan mentartilnya, dan aku lebih menyukainya dari pada aku membaca sebagaimana yang engkau katakan “.
Dalam riwayat lainnya Ibnu Abbas berkata: “Jika kamu memang mesti melakukannya dengan demikan (cepat), maka hendaklah kamu membacanya dengan bacaan yang dapat didengar oleh telingamu dan dipahami hatimu.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab Fadhaail Al Qur’an hal.236. Muhaqqiq berkata, “Isnadnya Shahih. Dan Al-Baihaqy menambahkan dalam Asy-Sya’bi dari hadits Syu’bah. Dan berkata Muhaqqiq Al-Fadhaail, sanadnya shahih. Lihat al-Hasyiah hal.237.)

Ibnu Muflih mengatakan: “ Ahmad berkata: Saya menyukai bacaan Al-Qur`an yang mudah dan saya membenci bacan Al-Qur`an dengan cepat. “

Harb berkata: “ Saya bertanya kepada Ahmad tentang bacaan Al-Qur`an dengan cepat, dan beliau tidak menyukainya, kecuali apabila lisan orang tersebut seperti itu. Ataukah dia tidak dapat membacanya perlahan. Lalu ada yang bertanya: Apakah seperti itu berdosa?

Beliau menjawab: Adapun tentang dosanya, saya tidak berani untuk mengomentarinya “ (Al-AdabAsy-Syar’iyah ( 2 / 297)

Masalah: Manakah yang lebih utaman bagi seseorang yang membaca Al-Qur`an, membacanya dengan tenang dan tadabbur ataukah membacanya dengan cepat, namun tanpa mengabaikan sedikitpun huruf-huruf dan harat-harakatnya ?

Jawab:Apabila bacaan yang cepat tersebut tidak sampai mengabaikan aturan qira’ah, sebagian ulama telah mengutamakan bacaan dengan cepat seperti itu

dengan harapan banyaknya pahala yang akan diperolehnyadenganbanyaknya bacaan Al-Qur`an. Sementara sebagian ulama lainnya lebih mengutamakan bacaan yan tartiil dan tenang.

Ibnu Hajar mengatakan: “ Pendapat yang tepat, bahwa masing-masin baik itu bacaan yang cepat dan juga bacaan yang tartil memiliki keutamaan tersendiri. Dengan syarat bahwa bacaan yang cepat tersebut tidak sampai mengabaikan hak huruf-huruf bacaan beserta harakat-harakatnya, sukun serta hal-hal wajib lainnya. Jadi tidak ada halangan dalam mengutamakan slaah satu diantara keduanya atau menyatakan keduanya sama dalam hal keutamaan. Karena seseorang yang membaca Al-Qur`an dengan tartil dan menelaah ayat demi ayat, layaknya seseorang yang mendermakan sebuah permata yang sangat bernilai. Dan yang membaca dengan cepat layaknya seseorang yang mendermakan beberapa permata dengan harga yang senilai. Terkadang nilai permata yang satu melebihi nilai permata yang banyak dan terkadang malah sebaliknya “ (Fathul Baari ( 8 / 707 ))



13.Disunnahkan memanjangkan bacaan Al-Qur`an.

Hal ini shahih keterangannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas radhiallahu ‘anhu ditanya tentang bacaan Al-Qur`an Rasulullah, maka Anas menjawab : ”Beliau memanjangkannya, kemudian membaca basmallah, maka beliau memanjangkan bismillah, memanjangkan ar-rahman, dan memanjangkan ar-rahim.” (HR. Al-Bukhari no.5145)


14. Disunnahkan membaguskan suara ketika membaca Al-Qur`an dan larangan membaca menyerupai orang bernyanyi.
(Yang dimaksud menyerupai orang bernyanyi yaitu yang mirip dengan nyanyian, dan pada zaman kita sekarang ini, sebagian imam masjid kebanyakan seperti ini, sedang mereka ada yang mengetahui dan ada yang tidak, dan kamu akan terbuai oleh khayalan ketika mendengar bacaan mereka.)

Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bara’ radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata : ”Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca “Wattini waz Zaitun,” pada shalat ‘isya’. Tidaklah saya mendengar seorang pun lebih bagus suaranya atau bacaannya dari beliau.” ( HR. Al-Bukhari no.769)

Adapun tentang disunnahkannya membaguskan suara ketika membaca, beberapa hadits-hadits shahih telah menerangkannya, diantaranya, sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ”TidaklahAllah mendengarkan sesuatu sebagaimana Allah mendengarkan Nabi-Nya melagukan Al-Qur`an “ ( HR. Al-Bukhari no.5023 dan Muslim (7920)

Ibnu Katsir mengatakan :”Maknanya adalah bahwa Allah tidak mendengar sebagaimana Allah mendengar bacaan Nabi yang mana beliau mengeraskan bacaannya dan membaguskannya. Hal ini disebabkan pada bacaan para Nabi terkumpul suara yang bagus karena kesempurnaan ciptaan mereka serta rasa khusyu’ yang sempurna. Inilah tujuan dari hal itu semua. Allah mendengar suara selurh hamba-Nya, yang taat maupun yang ingkar. Imam Ahmad mengatakan : ”Seorang qari’ sepatutnya membaguskan suara bacaan Al-Qur`annya, membacanya dengan penuh penghayatan, dan mentadaburinya, dan inilah makna sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ”TidaklahAllah mendengarkan sesuatu sebagaimana Allah mendengarkan Nabi-Nya melagukan Al-Qur`an “ (Fadhaail Al-Qur`an hal.179,180)

Dalil yang lain adalah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ”Bukan golongan kami orang yang tidak melagukan Al-Qur`an.” (HR. Abu Daud (1469) Al-Albani berkata “shahih”)

Juga dari hadits Al-Barra’ bin ‘Azib yang berkata: ”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Perbaguslah suara kalian dengan bacaan Al-Qur`an!” (HR. Abu Daud (1468) Al-Albani berkata “shahih”)

Yang dimaksud membaguskan suara disini yaitu memperindah, menghayati, dan khusyu’ ketika membacanya. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Katsir mengatakan. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar bacaan Abu Musa Al Asy’ary, beliau mengatakan kepadanya: ” Seandainya engkau menyaksikanku disaat saya mendengar bacaanmu semalam ! Sungguh engkau telah diberi keindahan suara sebgaiman keindahan suara Daud”. (HR.Muslim (793) dan Al-Bukhari (5048) syarat yang kedua darinya saja.)

Pada salah satu riwayat yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la terdapat tambahan dari eprkataan Abu Musa: “ Sekiranya saya mengetahui keberadaan anda, niscaya saya memperbagusnya untuk anda “. Perkataan Abu Musa menunjukkan bolehnya berusaha membaguskan suara ketika membaca Al-Qur`an, akan tetapi perkataan ini berarti mengeluarkan bacaan Al-Qur`an dari ketentuannya yang disyariatkan, seperti berlebihan memanjangkan bacaan, menyambung ayat tanpa jeda, dan berlebih-lebihan sampai terjadi lahn dalam bacaannya. Yang demikian ini sama sekali tidak disyariatkan. Imam Ahmad membenci membaca Al Qur’an dengan bacaan yang lahn, bahkan beliau mengatakan :”Yang seperti itu bid’ah.” (Al-Adab Asy-Syar’iyah (2/301))

Asy-Syaikh Taqiyuddin mengatakan :”Membaca al Qur’an dengan cara melagukannya/lahn seperti nyanyian adalah makruh yang bid’ah sebagaimana disinyalir dalam perkataan Imam Malik, Asy-Syafi’I, Ahmad bin Hambal, dan para imam selain mereka. (Al-Adab ( 2 / 302 ))



15. Menangis ketika membaca al Qur’an atau ketika mendengarnya.

Kedua hal ini telah disebutkan didalam As-Sunnah. Yang pertama sesuai dengan hadits riwayat Abdullah bin Syuhair radhiallahu ‘anhu, bahwasannya beliau berkata: ”Saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau sedang shalat, dan dari dalam tenggorokan beliau terdengar suara

mendesis seperti berdesisnya periuk. Ternyata beliau sedang menangis.” [1] Abdullah bin Syadat mengatakan :”Aku mendengar Umar radhiallahu ‘anhu tersedu-sedu, sedangkan aku berada di shaf terakhir, beliau (Umar radhiallahu ‘anhu) membaca :
“ Sesungguhnya saya mengadukan kegundahan dan kesedihanku kepada Allah “ (Yusuf : 86 ).
(Syarh As-Sunnah oleh Al-Baghawiy (729) Muhaqqiq berkata, “Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Asy-Syamaail, dan Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa’I dan sanadnya kuat” (3/245) terbitan Al-Maktab Al-Islami)

Yang kedua (menangis ketika mendengar) adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, dia mengatakan : ”Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku :“Bacakanlah Al-Quran untukku!” Lalu aku berkata :”Ya Rasulullah, aku membaca al Qur’an untukmu sedangkan Al-Qur`an diturunkan kepadamu?” Beliau berkata :”Ya.” Maka aku membacasuratan Nisa’, dan ketika aku sampai pada ayat :

“ Dan bagaimanakan apabila Kami mendatangkan kepada masing-masing umat seorang saksi dan Kami datangkan engkau sebagai saksi atas mereka “ (An-Nisaa` : 41 ), beliau berkata: ”Cukup!”. Kemudian beliau berpaling dan kedua mata beliau bercucuran air mata.”
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari didalam Shahih beliau secara mu’allaq, dan menempatkannya pada judul bab. Idzaa Bakaa Al-Imam fii Ash-Shalat. Ibnu Hajar : “ Atsar ini diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dari Ibnu ‘Uyainah dari Isma’il bin Muhammad bin Sa’ad, beliau telah mendengar Abdullah bin Syaddad hadits ini dan menambahkannya: Pada shalat shubuh “ ( Fathul Baari 2 / 241, 242 ))

Adapun yang sebagian orang lakukan pada hari ini berupa teriakan, ratapan, dan menangis keras-keras, maka ini telah keluar dari jalan yang lurus. Akan tetapi jangan sampai setiap orang menyangka bahwa kami menempatkan hukum ini secara umum, sekali-kali tidak ! Bahkan kami katakan, diantara mereka ada yang benar, tapi ada juga yang tidak seperti itu. Yang sangat mengherankan pada diri orang-orang yang berlebih-lebihan tersebut, bahwa mereka mencurahkan ibarat demi ibarat ketika mendengarkan doa imam ketika membaca doa qunut, akan tetapi air mata boleh dikatakan tidak keluar sama sekali dari lekuk mata mereka ketika mendengarkan Kalamullah dan ayat-ayat-Nya ! Kami katakan kepada mereka yang berlebih-lebihan ini: Hendaknya kalian memperhatikan,bahwa sesungguhnya manusia yang paling sempurna keadaannya adalah mereka yang Allah sifatkan dalam firmannya :

“ Dialah Allah yang telah menurunkan perkataan yang paling baik, yakni sebuah Kitab yang serupa ayat-ayatnya lagi berulang-ulang. Kulit orang-orang yang takut kepada Rabb mereka akan gemetar karenanya dan menjadi tenang dan hati mereka akan kembali mengingat Allah “(Az-Zumar : 23 ).

Dan orang yang paling sempurna adalah orang yang keadaannya seperti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu yang tangisannya mendesis seperti berdesisnya periuk.

Akan tetapi jika ada yang berdalih/beralasan bahwasannya sebagian orang terdahulu mereka pingsan bahkan meninggal ketika dibacakan kepada mereka Al-Qur`an atau mereka mendengarkan bacaannya. Dan jawaban atas alasan ini adalah bahwa sesungguhnya kami tidak mengingkari cerita itu dari sebagian generasi terdahulu seperti tabi’in dan generasi setelah mereka, akan tetapi tidak diketahui apakah para sahabat semoga Allah meridhainya melakukannya. Dan sebab dari itu, karena yang menyentuh – hati mereka – adalah sesuatu yang kuat , dan menghantam tempat yang sangat lemah yakni hati mereka, sehingga tidak mampu menahannya, maka terjadilah apa yang terjadi. Mereka adalah orang-orang yang benar dari apa yang mereka hayati, dan mereka juga diberi udzur.

Ibnu Muflih berkata: “Keadaan ini seringkali terjadi pada Imam baik dari sisi ilmu maupun amal – yaitu syaikh Imam Ahmad – yakni Yahya bin Al-Qahthan. Imam Ahmad berkata, “Apabila seseorang mampu menahannya maka niscaya Yahya akan sanggup menahannya. Dan hal itu juga telah terjadi pada selain mereka. Di antara mereka ada yang benar pada keadaan mereka da ada juga yang selain itu. Dan saya bersumpah, bahwa yang bberlaku jujur diantara mereka sungguh dia mendapatkan kedudukan yang adung. Karena jika bukan disebabkan hati yang hidup dan mengetahui makna yang dibacanya serta kedudukannya, serta menghadirkan makna yang dibacanya tersebut lalu diresapi, hal itu tidak akan tercapai. Akan tetapi keadaan generasi awal jauh lebih sempurna. Dimana seseorang akan mencapai segala yang mereka capai, bahkan lebih agung lagi, bersamaan dengan keteguhan hati mereka serta kekuatan sanbari mereka. Semoga Allah meridhai mereka semua. (Al-Adab Asy-Syar’yah ( 2 / 305 ))

Faedah : Dsunnahkan meminta untuk dibacakan Al-Qur`an dari Qari’ yang baik bacaannya (tajwidnya) lagi bagus suaranya. Hal ini akan semakin jelas dengan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Mas’ud untuk membacakan Al-Qur`an. Ibnu Mas’ud mengatakan :”Nabi berkata kepadaku :”Bacakanlah (Al-Qur`an) untukku!” Aku berkata : ”Aku membaca Al-Qur`an untukmu sedangkan Al-Qur`an diturunkan kepadamu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabsa : ”Aku senang jika aku mendengarnya dari selainku.” (HR. Al-Bukhari no.5056)

Adapun Ibnu Mas’ud adalah sahabat yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang diri beliau : ”Barang siapa yang hendak membacakan Al-Qur`an dengan jelas lagi merdu sebagaimana ketika Al-Qur`an diturunkan, maka hendaklah dia membacanya sebagaimana Ibnu Ummi ‘Abdin membacanya.”

Ibnu Mas’ud termasuk salah satu dari empat sahabat yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan untuk mengambil Al-Qur`an dari mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :”Mintalah bacaan Al-Qur`an dari empat orang, Abdullah Ibnu Mas’ud, Salim maula Hudzaifah, Ubay bin Ka’ab, dan Mu’adz bin Jabbal!”
(HR. Ahmad dalam Musnadnya (35) muhaqqiq berkata, “sanadnya hasan (1/211) terbitan Muasasah Ar-Risalah.)



16. Disunnahkan untuk mengeraskan bacaan Al-Quran jika tidak mendatangkan mafsadah.

An-Nawawi mengatakan dalam kitab Al-Adzkar : ”Sejumlah atsar tentang keutamaan menjahrkan (mengeraskan suara) dan mensirrkan (membaca dengan suara yang sangat pelan) ketika membaca Al-Qur`an. Para ulama mengatakan : Untuk menyelaraskan kedua hadits tersebut, bahwasannya membaca dengan sirr akan menjauhkan seseorang dari sifat riya’. Dan ini lebih utama ketika seseorang khawatir akan terjatuh kepada hal itu. Apabila tidak ditakutkan akan terkena sifat riya’, maka mengeraskan suara itu lebih utama, dengan syarat, tidak mengganggu orang lain yang mungkin sedang shalat, tidur, atau selainnya.” Mengeraskan bacaan Al-Qur`an ini merupakan amalan yang sangat besar karena akan memberikan manfaat kepada orang yang mendengarnya dan akan memantapkan hati orang yang membacanya serta akan dapat menyatukan segala keinginannya untuk memikirkan Al-Qur`an dan pendengarannya tertuju kepada bacaan Al-Qur`an. Dan bacaan itu dapat mengusir kantuk serta akan menambahkan sifat rajin dan giat. Apabila salah satu dari sekian niat ini menyertai bacaan Al-Qur`an dengan keras, maka membaca dengan jahr lebih utama. (Al-Adzkar halaman 162.)

Akan tetapi ada baiknya bagi kami untuk mengisyaratkan kepada suatu perkara yang penting, yaitu bahwa seseorang yang menjaharkan bacaan Al-Qur`an sepatutnya memperhatikan orang-orang yang ada di sekitarnya seperti orang yang sedang shalat, atau orang yang sedang membaca Al-Qur`an dan atau orang yang sedang tiduragar jangan sampai mengganggu mereka dengan bacan yang diekraskan tersebut..

Telah diriwayatkan oleh Abu Said radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang I’tikaf di masjid. Lalu beliau mendengar orang orang membaca Al-Qur`an dengan suara yang keras. Lalu beliau menyikap tabir dan mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya masing-masing kalian itu sedang bermunajat kepada Rabb-nya, maka janganlah kalian sebagian diantara kalian mengganggu sebagian lainnya, dan janganlah sebagian dari kalian mengeraskan bacaannya hingga mengganggu bacaan sebagian yang lain “. Atau dengan tambahan beliau bersabda : ”Ketika sedang shalat.” (HR. Abu Dawud no.1332, Al-Albani mengatakan :”Hadits ini shahih.”)

Catatan penting : Tidak boleh bagi seorang perempuan membaca Al-Qur`an dengan jahar, sementara ada laki-laki lain (bukan muhrim) didekatnya. Karena dikhawatirkan akan mendatangkan fitnah kepada wanita tersebut. Syariat Islam telah mengutamakan sadd adz-dzaraa’I– yakni menutup segala wacana – yang akan mengantarkan kepada suatu yang haram. (Fatwa Al-Lajnah ad-Daa`imah no.5413. (4/127))

Faedah: Seharusnyalah seseorang mengucapkan dan melnatunkan bacaan Al-Qur`an agar memperoleh pahala. Adapun sebagian kecil kaum muslimin yang membaca Al-Qur`an tanpa menggerakkan kedua bibirnya (yakni membaca dalam hati. pent) tidak akan mendapatkan keutamaan membaca Al-Qur`an.

Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah dalam salah satu fatwa beliau, mengatakan: “Tidak mengapa seseorang memandang Al-Qur`an tanpa membacanya dengan tujuan tadabbur, menelaah dan memahami maknanya. Akan tetapi dia tidak tergolong sedang membaca Al-Qur`an dan tidak mendapatkan pahala keutamaan membaca Al-Qur`an kecuali apabila dia melafazhkan bacaan Al-Qur`an walau dia tidak memperdengarkan orang-orang yang berada disekitarnya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Bacalah oleh kalian Al-Qur`an, sesugguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai syafa’at bagi para pembacanya.”

Diriwayatkan oleh Imam Muslim . Yang dimaksud oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ para pembacanya “, adalah mereka mengamalkannya sebagaimana yang terdapat pada dalam hadits lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa membaca satu huruf dari Al-Qur`an maka baginya satu kebaikan. Dan satu kebaikan sama dengan sepuluh kebaikan.” Diriwayatkan oleh Tirmidzi, dan Ad-Darimi dengan sanad shahih. Seseorang itu tidak termasuk membaca Al-Qur`an jika tanpa melafazhkannya. Sebagaimana hal ini dinyatakan oleh ulama. Wallahu waliyyut-taufik. (Majalah Al Buhuts Al-Islamiyah no.51. Tahun 1418H hal.140)

17. Batasan yang disukai dalam mengkhatamkan Al-Qur`an.

Kebiasaan ulama salaf telah berbeda didalam memberi batasan penghitungan waktu mengkhatamkan Al-Qur`an. Diantara mereka ada yang menghatamkan Al-Qur`an selama dua bulan, sebulan, sepuluh malam, seminngu, dan inilah yang paling banyak dilakukan.

Imam Nawawi mengatakan dalam Al-Adzkar (Lihat pada kitab Al-Adzkar hal. 153.), “Dan diantara mereka ada yang menghatamkan Al-Qur`an kurang dari tiga hari. Dan diantara mereka juga ada yang menghatamkan Al-Qur`an pada setiap malam jum’at. Dalam hal ini telah ada kisah yang sangat masyhur dari Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata:” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepadaku, “Bacalah Al-Qur`an itu pada satu bulan.” Aku berkata :”Sesungguhnyaa saya mampu kurang dari itu (sebulan).” sehingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda:”Maka bacalah Al-Qur`an itu dalam satu minggu, dan janganlah kurang dari seminggu itu.”
(HR. Al-Bukhari no.5054)

Maka sebagian dari mereka menjadikan satu minggu itu sebagai batasan yang paling minimal untuk menghatamkan Al-Qur`an.

Dan sebagian dari (para ulama) menjadikan tiga hari sebagai batasan tercepat dalam menghatamkan Al-Qur`an berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Abu Daud dan selainnya dari Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma, bahwasannya beliau berkata : ”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku :”Bacalah Al-Qur`an itu pada satu bulan”. Kemudian Abdullah bin Amr berkata: ”Sesungguhnya aku bisa lebih kuat dari itu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Bacalah olehmu pada tiga hari.”
(HR. Abu Dawud no.1391. Al-Albani berkata : Hadits ini hasan shahih.”)

Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwasanya mengkhatam Al-Qur`an tidak mempunyai batasan tertentu, akan tetapi disesuaikan dengan kerajinan dan kekuatan. Dikarenakan telah diriwatkan dari Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Bahwa beliau menghatamkan Al-Qur`an hanya dalam semalam. Dan telah diriwayatkan juga hal itu dari beberapa ulama salaf.

Ibnu Muflih (Al-Adab Asy- Syar’Iyah (2/282)) berkata :”Pendapat yang terpilih menurut kami – Mazhab Hanabilah – sebagaimana pendapat yang terpilih oleh An-Nawawi : Bahwa batasan mengkhatam Al-Qur`an berbeda menuruti orang yang membacanya. Maka barangsiapa yang memiliki bakat kemampuan untuk menganalisa detail hakikat dnakandungan makna, hendaknya dia membatasinya sesuai dengan ukuran pencapaian pemahaman atas apa yang dibacanya. Begitu juga dengan orang yang sibuk menyebarkan ilmu, atau menyelesaiakan pertikaian ditengah-tengah kaum muslimin atau kesibukan-kesibukan lainnya yang berkenaan dengan urusan agama dan kemaslahatan umum kaum muslimin. Seharusnya dia membatasi sesuai dengan ukuran yang mana tidak menyebabkan pengabaian tujuan sebenarnya yang hendak dia capai dan tidak juga meninggalkan kesempurnaannya. Adapun selain dari mereka yang disebutkan diatas,maka hendaknya dia memperbanyak bacaan yang memungkinkan baginya tanpa menyebabkan kebosanan atau membacanya dengan terburu-buru. (Al-Adzkar hal.154)

Peringatan :Tidak satupun riwayat tentang adanya do’a khusus yang dipakai ketika menghatamkan Al-Qur`an. Adapun do’a-do’a yang tersebar dikalangan manusia saat ini, maka hal itu tidak mempunyai dalil atas pensyariatannya, dan tidak ada pula ada nash secara marfu’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat dijadikan argumen bagi orang senantiasa berdo’a dengan doa tertentu ketika mengkhatamkan Al-Qur`an Al-‘Adzhim. Dan do’a yang masyhur yang telah tersebar dikalangan manusia saat ini adalah doa mengkhatamkan Al-Qur`an yang disandarkan kepada Syaikh Al-Islam Ibnu Taymiyah rahimahullah yang sama sekali tidak benar penyandaranya kepada beliau. Sedangkan Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah mewasiatkan agar tidak memasukkan do’a ini kedalam fatwa beliau, kaena keraguan beliau terhadap penisbatan doa ini kepada Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah. (Lihat Al-Ajzaa`u Al-Haditsiyah oleh Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid hafidzahullah hal.239)

Masih dalam penjelasan kami berkaitan dengan doa khatam Al-Qur`an , kami akan tambahkan sebuah faedah yaitu kesimpulan yang telah dicapai oleh Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid hafizhahullah dalam risalah beliau yang diberi nama ( Marwiyatu Du’aa’I Khatamil Qur’ani ). Beliau berkata: “Kesimpulannya: Bahwa sesungguhnya hasih yang sarat dengan hikmah pada dua tempat dan terbagi pada dua perkara:

1. Sesungguhnya berdo’a bagi orang yang menghatamkan Al-Qur`an itu diluar shalat, dan pengucapan do’a ketika itu, amalan yang didapati sejumlah atsar dari perbuatan As-Salaf Ash-Shaleh pada generasi awal umat ini. Sebagaimana yang telah dikemukakan didepan dari amalan Anas radhiallahu ‘anhu serta diikuti oleh beberapa tabi’in, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, Harb, Abul Harits dan Yusuf bin Musa rahimahumulahu ajma’in. Dikarenakan do’a khatam Al-Qur`an itu termasuk bagian dari do’a yang disyariatkan. Telah pula dikemukakan pendapat Ibnu Al-Qayyim rahimahullah tentang perkara ini: “ Tempat ini adalah tempat pengucapan doa yang paling tepat dan tempat dikabulkannya”.

Bahwa do’a khatam Al-Qur`an itu ketika dalam shalat, baik ketika bersama imam maupun ketika shalat sendirian yang dilakukan sebelum ruku’ atau setelahnya. Dalam shalat tarawih atau selainnya. Akan tetapi tidak diketahui satupun hadits yang musnad tentang perkara ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu pula dari para sahabat beliau radhiallahu ‘anhu . (Al-Ajzaau Al-Haditsiah (Marwiyatu Du’aa’I Khatam Al-Qur’an) hal.290)



18. Disunnahkan untuk menghentikan membaca Al-Qur`an ketika diserang rasa kantuk.

Dalil permasalahan ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu: “Apabila seseorang dari kalian bangun pada malam hari maka Ista’jamal Qur’an (lisannya tidak akan fasih ketika membaca ayat Al-Qur`an) dan ucapannyapun tidak akan baik serta pikirannya masih lemah”. ( HR. Muslim no.787)

Makna dari ista’jamal Qur’an adalah kelu lidahnya sehingga tidak akan keluar dari lidahnya itu ungkapan yang baik/fasih. An-Nawawi berkata tentang ini, “ Sebab perintah untuk menghentikan bacaan Al-Qur`an ketika diserang rasa kantuk ini telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits Aisyah Ummul Mukminin radiallahu ‘anha dimana beliau bersabda: “Apabila seseorang dari kalian mengantuk ketika shalat, hendaklah ia pergi untuk tidur, dan jika salah seorang dari kalian mengantuk sedangkan dia sedang shalat, bisa jadi dia berkehendak untuk beristighfar (memohon ampun kepada Allah) namun malah memaki dirinya”. (HR.Muslim no.786)

Dan ini adalah merupakan pengarahan yang sangat lembut dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena seseorang jika ia dalam keadaan mengantuk, biasanya perkataannya akan tidak beraturan. Sehingga seseorang yang membaca Al-Qur`an atau sedang shalat diperintahkan untuk menahan shalat dan bacaanya, agar supaya dia tidak mendoakan keburukan kepada dirinya sedangkan dia tidak menyadarinya. Dan agar Al-Qur`an terjaga dari perkataan yang keliru dan ucapan yang asing.

Faedah : Sepatutnya bagi orang yang membaca Al-Qur`an untuk berhenti ketika dia sudah mulai menguap mengantuk. Karena apabila dia meneruskan bacaanya dikhawatirkan akan keluar kata-kata atau suara yang mengganggu dan menggelikan. Untuk itu hendaklah ia menjaga dan mensucikan Al-Qur`an dari hal itu.



19. Disunahkan untuk menyambung bacaan Al-Qur`an dan tidak sepotong-sepotong.

Ini adalah adab yang disunahkan bagi orang yang membaca Al-Qur`an untuk mengamalkan adab ini. Disaat dia telah memulai membaca Al-Qur`an agar tidak memotongnya kecuali pada perkara-perkara yang mendesak, sebagai bentuk adab kepada Kalamullah, untuk tidak memotong bacaan Al-Qur`an karena perkara duniawiyah. Oleh karena itu dilarang memotong bacaan Al-Qur`an hanya karena urusan dunia. Sungguh merupakan perkara yang mengherankan dari sebagian orang yang menunggu shalat di Masjid dengan membaca Al-Qur`an, akan tetapi dengan mudah mereka memotong/menghentikan bacaan mereka berulang kali, hanya karena urusan duniawiyah. Sungguh syaithan tidak pernah menginginkan kebaikan kepada kaum Muslimin selama-lamanya.

Dan saya akan menyertakan pemaparan kami diatas dengan atsar yang diriwayatkan oleh tabi’in yang mulia yaitu Nafi’, beliau berkata: “Apabila Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma sedang membaca Al-Qur`an, maka ia tidak akan berbicara sampai ia menyelesaikan bacaannya. Dan beliau membaca surah Al-Baqarah pada suatu hari hingga berhenti pada satu tempat dan berkata, “Tahukah kamu kepada siapa ayat ini diturunkan?”. Aku berkata, “Tidak”. Kemudian beliau menjelaskan, “Ini diturunkan pada ini dan ini kemudian beliau meneruskan bacaanya”. (HR.Al-Bukhari no.4526)

Itulah kebiasaan Ibnu Umar ra beliau tidak memotong

bacaan Al-Qur`annya kecuali dengan tujuan dan bermaksud untuk menyampaikan ilmu, dimana hal itu merupakan sebuah ibadah pula.



20. Disunnahkan untuk mengucapkan tasbih (subhanallah) ketika membaca ayat-ayat tasbih, atau berta’awwuz (A’udzubillahi minas syaithanir rajiim) ketika membaca ayat-ayat tentang azab dan memanjatkan doa ketika membaca ayat-ayat rahmat.

Dijelaskan didalam hadits Hudzaifah disaat beliau mengerjakan shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Hudzaifah berkata: “ … – setelah beliau memulai shalat dengan takbir dan membaca iftitah kemudian membaca al-fatihah -, lalu beliau membaca surah Ali Imran dan membacanya dengan tartil. Ketika beliau membaca ayat-ayat tasbih maka beliaupun bertasbih, jika membaca ayat-ayat do’a maka beliaupun berdo’a dan jika beliau membaca ayat-ayat ta’awwudz beliaupun berta’awwudz … al-hadits”. ( HR. Muslim no. 727)

An-Nawawi berkata: “ Bacaan-bacaan tersebut merupakan sunnah yang dianjurkan bagi orang yang membaca Al-Qur`an baik dalam shalat maupun diluar shalat. (Syarah Muslim Jilid 2 (2/52))



21. Disunnahkan untuk sujud ketika membaca ayat-ayat as-sajadah.

Dalam Al-Qur`an al-Karim terdapat sekitar lima belas ayat-ayat as-sajadah, disunnahkan bagi seseorang yang membaca Al-Qur`an, apabila dia melewati ayat-ayat as-sajadah untuk sujud dan berdzikir sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu. Dan hendaklah dia membaca, “Ya Allah buanglah dariku dosa-dosa, dan tetapkanlah untukku pahala dan jadikalah pahala itu sebagai tabungan disisi-Mu”. At-Tirmidzi menambahkan , “Dan terimalah sujudku ini disisi-Mu sebagaimana Kau menerimanya dari Daud disisi-Mu”.
( HR. At-Tirmidzi no. 3424, Ibnu Majah no. 1053 dan lafazh ini adalah lafazh riwayat beliau, Al-Albany berkata hadits ini hasan pada no.872/1062.)

Atau hendaklah ia mengucapkan: “ Yaa Allah, telah sujud wajahku kepada yang menciptakannya dan yang menempatkan pendengaran dan penglihatannya dengan segala daya dan kekuatannya “

Atau mengucapkan: “Ya Allah hanya kepada-Mu aku bersujud dan hanya kepada-Mu aku beriman serta hanya kepada-Mu aku memohon keselamatan, serta sujud kepada Allah yang telah menciptakan bentuknya, memberikan pendengran serta penglihatan, Tabarakallahu ahsanul Khaaliqin”.
(HR. Abu Daud no.1414 dan lafazh ini milik beliau dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albany no.1255, dan diriwayatkan juga oleh Ahmad no.23502, An-Nasaa`i no.1129, dan At-Tirmidzi no.3425.)

Akan tetapi hal ini bukan merupakan perkara yang wajib, namun sekedar sunnah saja. Jadi apabila dilakukan maka akan mendapat pahala dan tidak mengapa jika meninggalkannya. Tetapi tidak sepantasnya bagi orang yang beriman untuk meninggalkan dan lalai amalan-amalan ini. Adapun dalil yang menunjukan bahwa hal itu hanyalah sunnah saja tidak sampai kederajat wajib adalah bacaan Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu dihadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak sujud ketika membaca ayat-ayat as-sajadah. Diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Yasar dari Zaid bin Tsabit ia berkata: “Saya membacakan suratAn-Najm dihadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku tidak sujud ketika melalui ayat-ayat sajadah”.
(HR. Al-Bukhari no.1037 dan Muslim no.577, Ahmad no.21081, At-Tirmidzi no.576 dan An-Nasaa`i no.960 Abu Daud no.1404.)

Dan begitu pula yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu ketika beliau sedang berkhuthbah diatas mimbar pada hari Jum’at dan beliau membacasuratan-Nahl kemudian beliau sujud ketika membaca ayat sajadah. Pda jum’at berikutnya, dan ketika beliau membaca An-Nahl, dan sewaktu berada pada ayat as-sajadah, beliau berkata: “Wahai sekalian manusia sesungguhnya kita telah melewati ayat-ayat sajadah ketika membaca Al-Qur`an, barang siapa yang melakukan sujud tilawah maka akan mendapat pahala dan bagi yang tidak melakukanya tidak ada dosa baginya”.

Dan Nafi’ dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu menambahkan, “Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan kepada kita untuk sujud at-tilawah ketika kita membaca ayat-ayat sajadah kecuali jika kita menginginkannya”. (HR. Al-Bukhari no.1077)

Masalah: Apakah sujud at-tilawah ketika membaca Al-Qur`an itu diharuskan padanya syarat-syarat sebagaimana sujud ketika shalat yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam serta harus dengan bersuci dan menghadap kiblat dan selainya?

Jawab :Sujud tilawah ketika membaca Al-Qur`an tidak ada diharuskan adanya suatu permulaan dan penutup. Ini adalah Sunnah yang telah makruf dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan diamalkan oleh seluruh ulama As-Salaf. Dan telah menjadi pernyataan resmi pada imam yang populer. Dengan demikian amalan ini bukanlah sebuah shalat, sehingga tidaklah disyaratkan pada amalan ini syarat-syarat shalat. Bahkan diperbolehkan dikerjakan walau tanpa thaharah/bersuci, sebagaimana halnya Ibnu Umar yang melakukan sujud tanpa mesti bersuci, akan tetapi dengan melakukan syarat-syarat shalat jauh lebih utama. Dan sepatutnya hal itu tidak terabaikan kecuali karena adanya udzur. Inilah pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah. (Al-Fatawa no 23/165 )

Faedah Pertama : Disunnahkan untuk sujud tilawah bagi orang yang mendengarkan bacaan Al-Qur`an dengan baik dan tidak bagi orang yang mendengarnya sambil lewat. Karena ada perbedaan antara keduanya. Bahwa orang yang mendengarkan Al-Qur`an dengan seksama adalah orang yang diam pada sesuatu untuk mendengarkannya, sedangkan yang satunya adalah seseorang yang mendengar bacaan sambil berlalu. Walaupun diantara kedua orang ini sama-sama mendengarkan bacaan Al-Qur`an. Akan tetapi yang kedua ini yakni orang yang medengar sambil berlalu hanya melewati tempat dimana ada orang yang sedang membaca Al-Qur`an atau yang lainnya. Kemudian orang yang membaca Al-Qur`an itu sujud sewaktu membaca ayat as-sajadah, dan pada keadaan ini, disunnahkan seseorang yang menyimak bacaan Al-Qur`an untuk turut sujud namun tidak bagi yang mendengarnya sambil lalu..

Dikarenakan orang yang mendengarkan dengan seksama dihukumi seperti membaca Al-Qur`an sedangkan orang yang berlalu tidak. Hal ini lebih jelas lagi dalam firman Allah ta’ala kepada Musa dan Harun alaihimassalam

“ Dan doa kalian berdua telah dikabulkan maka berlaku luruslah “ (Yunus : 89)

Sedangkan yang berdoa hanyalah Musa, hanya saja ketika Harun mengaminkan doa Musa, maka beliaupun menempati hukum seorang yang berdoa dan tercakup dalam ayat diatas. (Lihat Asy-Syarah Al-Mumti’ Oleh Asy-Syaikh Utsaimin 4/131-133.)Faedah: Tidak sepantasnya hanya mencukupkan dengan dzikir yang disunnahkan dibaca pada sujud tilawah, bahkan diwajibkan utnuk membaca dzikir sebagaimana bacaan sujud dalam sahalat. (Subhana Rabbi A’la) Dan inilah yang utama. Kemudian bagi orang yang sujud hendaklah dia membaca dzikir sesuai yang dikehendakinya. Bahkan sebagian ulama mengkategorikan pembatasan itu termasuk perkara al-muhdats ( bid’ah ). (Lihat Tashhih Ad-Du’a oleh Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid, hal.293 certakan Daar Al-‘Ashimah, Maktabah Al-‘Arabiyah As-Su’udiyah. Cetakan pertama tahun 1419H.)



22. Makruh mencium mushaf dan menempelkannya di antara dua mata.

Sungguh orang yang tidak memiliki pengetahuan akan mengatakan, “Mengapa dibenci mencium mushaf dan menempelkannya diantara dua mata, padahal hal itu dalam rangka mengagungkan dan mensucikan Kalamullah?”

Maka kita jawab : Bahwasannya mencium mushaf dan meletakkannya di anta dua mata atau dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan cara mendekatkan diri kepada Allah terhenti pada shahihnya suatu dalil yang tidak ada dalil lain yang bertentangan dengannya. Dan kami menolak amalan mencium mushhaf sebagai bentuk pengagungan kepada Allah dan Kalamullah dan juga sebagai manifestasi pengagungan kami terhadap Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan telah kita ketahui dari periwayatan yang tidak diragukan lagi bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Barang siapa yang membuat perkara baru dalam agama yang tidak ada contohnya, maka dia tertolak.” Maksudnya perbuatan tersebut dikembalikan kepada pelakunya.

Dari Imam Ahmad ketika ditanya sejumlah riwayat yang menerangkan masalah ini, beliau mendiamkannya Al Qadhi berkata didalam kitab Jami’ Al-Kabir mengenai riwayat ini: Bahwa sesunguhnya diamnya Imam Ahmad terhadap masalah itu, walau terkandung pengkultusan dan pemuliaan, karna semua cara mendekatkan diri kepada Allah tidak diperbolehkan beranalogi didalamnya dan tidak disenangi perbuatan tersebut walaupun terkandung pengagungan kecuali dengan mberhenti pada dalil. Tdakkah anda memperhatikan bahwa Umar ketika melihat Hajar Aswad beliau berkata : Tidaklah engkau mendatangkan mudharat dan tidak juga manfaat, seandainya bukan karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menciummu niscaya saya tidak akan menciummu. Demikian pula yang dilakukan Muawiyah ketika thawaf, beliau mencium semua rukunya. Hal ini lalu diingkari oleh Ibnu Abbas, beliau berkata: ”Tidak ada sesuatupun pada rumah ini yang harus dihormati.” Beliau mengatakan :”Sesungguhnya ini – kembali kepada – Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Maka beliau mengingkari tambahan atas perbuatan yang telah dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. (Al-Adab Asy-Syar’iyah oleh Ibnu Muflih.)

Ketika Ibnu Musayyab melihat sesorang memanjangkan ruku`nya dan sujud setelah shalat fajar, maka beliau melarangnya, lalu orang tersebut mengatakan :”Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan mengadzabku karena mengerjakan shalat?” Dia menjawab :”Tidak, akan tetapi adzab itu karena menyelisihi sunnah.”
(At-Tamhid oleh Ibnu Abdil Barr. (20/104) Cetakan Daar Ath-Thayyibah.)

Al-Lajnah Ad-Daimah berfatwa : “Kami tidak mengetahui adanya dalil yang mensyariatkan utnuk mencium Al-Quran, adapun Al-Quran itu diturunkan untuk dibaca, dipelajari, dan beramal dengannya.” (Al-Fatawa no. 8852 juz 3 hal 122. )



23. Makruh menggantungkan ayat-ayat di dinding dan selainnya.

Telah tersebar dibanyak rumah-rumah sebagian orang menggantung atau menggambar surat-surat atau ayat-ayat Al-Quran, baik di dinding maupun di ruangan serta di lorong-lorong rumah. Diantara mereka ada yang menggantungnya dalam rangka mencari berkah, dan ada yang hanya sekedar menjadikannya sebagi hiasan. Dan sebagian mereka memperindah tempat perdagangan mereka dengan ayat-ayat yang bersesuaian dengan perdagangan. Diantara mereka juga ada yang menggantungkan ayat-ayat Al-Qur`an itu pada kendaraan mereka baik dalam rangka untuk digunakan sebagai penangkal ataupun dalam rangka mencari berkah dan sebagian mereka juga menggantungkan ayat-ayat Al-Qur`an pada kendaraannya dalam rangka untuk mengingat dan menghafal.

Al-Lajnah Ad-Daa`imah telah menyatakan sebuah fatwa yang sangat panjang tentang perkara ini, intinya mereka menyatakan terlarang untuk menggantungkan ayat-ayat Al-Qur`an pada dinding atau tembok atau pada tempat-tempat perdagangan dan lain-lainnya. Kesimpulan yang dapat diambil dari fatwa yang panjang itu adalah sebagi berikut :

1. Bahwasannya menggantungkan ayat-ayat Al-Qur`an pada dinding atau selainnya merupakan bentuk penyimpangan dari fungsi diturunkannya Al-Qur`an sebagai petunjuk, nasihat yang baik, serta menjaga dengan membacanya.
2. Bahwasannya hal itu merupakan penyelisihan terhadap Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah Khulafa Ar-Rasyidin.
3. Dan larangan ini dalam rangka mencegah pelakunya dari perbuatan syirik dan menjadikan sebagai wasilah kesyirikan berupa penangkal dan jimat walaupun hal itu diambil dari al Quran.
4. Bahwasannya al Quran diturunkan untuk dibaca dan bukan untuk di ambil sebagai pencari keuntungan dalam perdagangan.
5. Sesungguhnya dalam perbuatan ini akan menempatkan ayat-ayat Allah sebagai penguji dan merusaknya disaat memindahkanny dari satu tempat ketempat lainnya dan lain sebagainya..

Kemudian Al-Lajnah Ad-Daa`imah berfatwa :”Secara umum, hendaklah kita menutup pintu-pintu keburukan dan mengikuti para Imam yang telah diberi petunjuk dari generasi pertama yang mana mereka menyaksikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kebaikan dan menyelamatkan aqidah kaum muslimin, dan menyelamatkan seluruh hukum agama mereka dari perbuatan bid’ah yang tidak diketahui akhir keburukanya .
(Al-Fatawa no.2078 (4/30-33). Dan kami menasehatkan untuk membaca fatwa ini karena didalamnya terdapat banyak faedah.)



(Diambil dari Adab Al-Qur’an.doc Al-atstsariyyah.com)

No comments:

Post a Comment