Artikel Fatwa :
Tata Cara Melakukan Ibadah Haji
Tanya :
Kami sangat berharap jika Syaikh yang mulia menjelaskan bagaimana tata cara melakukan ibadah haji?
Jawab :
Kita akan menjelaskan sekilas dan secara singkat tata cara melakukan ibadah haji, yaitu: apabila seseorang hendak melakukan ibadah haji ataupun umrah, maka hendaknya ia berangkat ke Mekkah pada bulan-bulan haji, dan afdhalnya adalah berihram di miqat untuk umrah agar haji yang dilakukannya adalah haji tamattu’. Ia memulai ihram umrahnya dari miqat, dan sesaat sebelum berihram hendaknya mandi terlebih dahulu seperti mandi dari janabat, rambut kepala dan jenggot dioles dengan minyak wangi (farfum), lalu berpakaian ihram. Sebaiknya memulai ihramnya setelah usai melakukan shalat fardhu, jika memang waktunya telah masuk, atau sesudah melakukan shalat sunnah wudhu; sebab tidak ada shalat sunnat khusus untuk ihram dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam. Kemudian bertalbiyah dengan mengucapkan:
لَبَّيْكَ اَللَّهُمَّ عُمْرةً، لَبَّيْكَ اَللَّهُمَّ لَبَّيْكََ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شرِيْكَ لَكَ.
“Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk berumrah, Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah aku penuhi; aku penuhi panggilan-Mu tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu; Sesungguhnya segala puji dan kenikmatan adalah milik-Mu dan begitu pula kerajaan, tiada sektu bagi-Mu.”
Talbiyah tersebut terus dilakukan hingga tiba di Mekkah.
Talbiyah dihentikan apabila akan memulai thawaf; thawaf dimulai dengan mengusap dan mengecup Hajar Aswad jika hal itu memungkinkan, namun jika tidak, maka cukup dengan berisyarat saja kepadanya sambil mengucapkan:
بِسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللَّهُمَّ إِيْمَانًا بِكَ، وَتَصْدِيْقًا بِكِتَابِكَ، وَوَفَاءً بِعَهْدِكَ، وَاتِّبَاعًا لِسُنَّةِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Dengan menyebut nama Allah, dan Allah Mahabesar; Ya Allah, karena iman kepada-Mu, percaya kepada kitab suci-Mu, dan karena memenuhi janji-Mu serta mengikuti sunnah nabi-Mu Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam.”
Posisi Ka’bah harus berada pada posisi sebelah kiri dan berputar mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali putaran, dimulai dan diakhiri pada Hajar Aswad. Bagi laki-laki disunnatkan berlari-lari kecil pada putaran ketiga pertama dengan cara mempercepat jalan dan memperpendek langkah serta melakukan idhthiba’ selama thawaf, yaitu membiarkan pundak kanan terbuka sedangkan pundak kiri tertutup oleh kain ihram (diselendangkan). Dan setiap kali berada pada posisi sejajar dengan Hajar Aswad bertakbir (mengucapkan: Allahu Akbar), dan di saat berada di antara sudut Rukun Yamani dan Hajar Aswad berdoa dengan membaca:
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
“Wahai Tuhanku, anugerahkanlah kepada kami kebaikan di dunia ini dan kebaikan di akhirat kelak, dan hindarkanlah kami dari adzab api Neraka.”
Untuk selebihnya boleh berdzikir dan berdoa dengan dzikir atau doa apa saja yang kita kehendaki.
Dalam thawaf tidak ada doa tertentu pada setiap putarannya, maka dari itu hendaknya kita waspada terhadap berbagai buku kecil yang ada di tangan para jama’ah haji, yang di dalam buku itu ditulis doa khusus untuk setiap putaran thawaf; itu semua adalah bid’ah tidak pernah dilakukan atau diajarkan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, sementara beliau sudah menegaskan: “Setiap bid’ah itu adalah kesesatan”.
Ada satu perkara yang wajib diperhatikan oleh orang yang melakukan thawaf, yaitu kesalahan yang dilakukan oleh sebahagian jama’ah pada waktu ramai (berdesak-desakan); mereka thawaf masuk lewat pintu Hijir Isma’il dan keluar dari pintu yang lain. Mereka tidak menyertakan Hijir Isma’il itu sebagai bagian Ka’bah yang wajib di thawafi. Ini adalah suatu kesalahan, sebab Hijir Isma’il itu sebagian besarnya termasuk bagian Ka’bah, maka barangsiapa yang thawaf dengan menerobos lewat pintu Hijir itu, maka berarti tidak memutari (thawaf) Ka’bah dan thawafnya tidak shah.
Seusai melakukan thawaf hendaklah shalat dua raka’at di belakang Maqam Ibrahim, jika hal itu memungkinkan; namun jika tidak memungkinkan, maka hendaklah shalat di mana saja di dalam Masjidil Haram itu. Setelah itu pergi menuju Shafa dan apabila telah mendekatinya membaca:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ ...
tanpa mengulanginya kembali sesudah itu. Kemudian naik ke atas Shafa, menghadap ke Qiblat (Ka’bah) lalu mengangkat kedua tangan dan bertakbir serta bertahmid, lalu mengucapkan:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ.
Kemudian berdoa, lalu mengulang dzikir tersebut, lalu berdoa lagi, berdzikir yang ketiga kalinya.
Setelah itu turun menuju Marwa dengan berjalan kaki biasa hingga sampai pada tanda hijau (tiang hijau), dari tanda hijau itu berjalan cepat (lari-lari kecil) jika hal uitu memungkinkan dan tidak mengganggu orang lain, hingga sampai pada tanda hijau berikutnya, lalu berjalan seperti biasa hingga sampai di Marwa. Apabila telah sampai di Marwa, naik ke atasnya dan menghadap ke Qiblat sambil mengangkat kedua tangan dan membaca bacaan seperti yang dibaca di Shafa. Maka dengan demikian selesailah satu putaran.
Kemudian, dari Marwa kembali berjalan menuju Shafa, ini adalah putaran yang kedua. Bacaan yang dibaca sama dan yang dikerjakan pun sama dengan yang dikerjakan pada putaran pertama tadi. Apabila telah sempurna melakukan tujuh putaran, (dari Shafa ke Marwa dihitung satu putaran dan dari Marwa ke Shafa satu putaran) yang berakhir di Marwa, maka hendaklah menggunting seluruh bagian rambut kepala (memendekkannya) hingga benar-benar tampak pendek. Sedangkan kaum wanita cukup memotong ujung rambutnya sepanjang ujung jari kemudian bertahallul dari ihramnya secara sempurna, melakukan apa saja yang dihalalkan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala seperti mencampuri istri, berwangi-wangian dan berpakaian biasa serta lain-lainnya.
Pada tanggal 8 Dzulhijjah berihram kembali untuk ibadah haji. Dimulai dengan mandi, memakai wangi-wangian dan mengenakan pakaian ihram. Setelah itu pergi menuju Mina dan melakukan shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Shubuh di sana (shalat lima waktu). Shalat Zhuhur, ‘Ashar dan Isya dilaksanakan secara qashar (dipersingkat menjadi dua raka’at) masing-masing pada waktunya dengan tidak men-jama’nya. Jadi hanya mengqashar saja selama berada di Mina.
Pada keesokan harinya (tanggal 9, hari ‘Arafah) setelah matahari terbit, berangkat lagi menuju padang Arafah, dan jika memungkinkan tinggal di (masjid) Namirah. Tetapi jika tidak memungkinkan maka langsung menuju kawasan Arafah kemudian singgah di sana, lalu apabila matahari sudah condong ke arah barat, lakukanlah shalat Zhuhur dan ‘Ashar dengan cara qashar dan taqdim, setelah itu habiskanlah sisa waktu untuk dzikir mengingat Allah, berdoa kepada-Nya, membaca Al-Qur’an dan amalan-amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala. Dan hendaklah saat-saat akhir hari itu digunakan untuk berdoa kepada Allah secara serius, karena saat-saat itu merupakan saat-saat mustajab.
Apabila matahari telah terbenam, berangkatlah menuju Muzdalifah, setibanya di sana lakukanlah shalat Maghrib dan ‘Isya’ secara jama’ qashar ta’khir, dan hendaknya tetap berada di Muzdalifah hingga shalat Subuh. Setelah itu berdoa kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala hingga cahaya tampak terang sekali, kemudian berangkat melanjutkan perjalanan menuju Mina. Bagi orang-orang yang tidak mampu menghadapi desakan para jama’ah (di waktu melontar Jumrah) boleh berangkat dari Muzdalifah sebelum fajar Subuh terbit, karena Nabi Shalallaahu alaihi wasalam telah memberikan keringanan (rukhshah) untuk hal yang demikian.
Apabila telah sampai di Mina bergegaslah melontar Jumrah ‘Aqabah dengan tujuh lontaran (lemparan) dengan menggunakan tujuh biji batu kerikil kecil, pada setiap lontaran dibarengi dengan takbir (membaca: Allahu akbar), setelah itu menyembelih hewan hady yang telah disiapkan sebelumnya, lalu mencukur habis rambut kepala. Mencukur habis rambut kepala itu lebih baik dan lebih utama daripada memendekkannya saja, tetapi jika hanya dipendekkan saja, maka tidak mengapa. Bagi wanita cukup memotong ujung rambutnya saja kira-kira seujung jari. Dengan demikian selesailah melakukan tahallul pertama, maka boleh baginya melakukan semua larangan ihram kecuali jima’ (bersetubuh).
Setelah itu pergi ke tempat peristirahatan (kemah) untuk berbersih diri (mandi dll), berwangi-wangian dan memakai pakaian biasa, setelah itu berangkat menuju Mekkah untuk melakukan thawaf ifadhah sebanyak tujuh putaran dan sa’i di Shafa dan Marwa sebanyak tujuh putaran juga. Thawaf dan sa’i tersebut adalah untuk thawaf dan sa’i haji, sebagaimana thawaf dan sa’i yang dilakukan di waktu pertama datang ke Mekkah sebagai thawaf dan sa’i umrah. Maka dengan (melakukan thawaf ifadhah dan sa’i tersebut) boleh melakukan apa saja, termasuk bersetubuh dengan istri.
Mari kita perhatikan apa yang harus dilakukan oleh jama’ah haji pada hari ‘Idul Adha (10 Dzulhijjah)? Jama’ah haji pada hari ‘Idul Adha melakukan: melontar jumrah ‘Aqabah, lalu menyembelih hady (hewan kurban), lalu mencukur atau memendekkan rambut kepala, lalu thawaf, dan kemudian sa’i. Itulah lima manasik haji yang dikerjakan secara berurutan, namun jika dilakukan tidak secara berurutan maka tidaklah mengapa, karena pada suatu ketika Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam ditanya tentang mendahulukan yang satu dan menunda yang lain, maka setiap pertanyaan tentang mendahulukan dan mengakhirkan salah satu dari lima macam manasik tersebut beliau jawab, “Lakukanlah dan tidak mengapa”.
Karena itu, jika dari Muzdalifah langsung menuju Mekkah, lalu di sana melakukan thawaf dan sa’i kemudian ke Mina dan melontar, maka tidak mengapa; seandainya melontar lalu mencukur rambut sebelum menyembelih hady juga tidak mengapa; jika melontar lalu pergi ke Mekkah dan mengerjakan thawaf dan sa’i, juga tidak mengapa; dan jikalau setelah melontar, menyembelih dan mencukur rambut lalu pergi ke Mekkah dan melakukan sa’i sebelum melakukan thawaf, juga tidak mengapa. Yang penting adalah bahwa mendahulukan salah satu di antara lima macam manasik tersebut terhadap yang lainnya boleh-boleh saja, karena setiap pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tentang hal tersebut beliau jawab, “Lakukan dan tidak mengapa”. Itu terhadapsemua merupakan bagian dari kemudahan dan belas kasih dari Allah hamba-hamba-Nya.
Amalan-amalan ibadah haji yang masih tersisa sesudah itu adalah mabit (bermalam) di Mina pada malam tanggal 11, 12 dan 13 bagi yang pulang lebih akhir, karena Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman,
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa baginya, bagi orang yang bertaqwa.” (Al-Baqarah: 203).
Maka hendaklah bermalam (mabit) di Mina pada malam ke 11 dan 12; bermalam pada dua malam itu boleh dengan cara berdiam di sana dalam ukuran malam yang lebih banyak.
Apabila matahari telah tergelincir pada hari ke 11 (tanggal 11) maka melontar tiga Jumrah, dimulai dari Jumrah Shughra, yaitu Jumrah yang pertama yang terletak paling timur dibanding jumrah yang lain. Melontar dilakukan sebanyak 7 kali dengan 7 kerikil secara berurutan, pada setiap lontaran (lemparan) dibarengi dengan takbir (membaca: Allhu akbar), setelah itu beralih sedikit dari keramaian dan menghadap Kiblat dengan mengangkat kedua tangan seraya berdoa (memohon) kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala secukupnya. Kemudian maju menuju Jumrah Wustha lalu melontarnya sebanyak 7 kali secara berurutan, pada setiap lontaran dibarengi dengan takbir, kemudian maju sedikit keluar dari keramaian manusia dan berdoa secukupnya sambil mengangkat kedua tangan dengan menghadap Kiblat; sesudah itu menuju Jumrah Aqabah dan melontarnya dengan 7 kerikil secara berurutan dan setiap lontaran dibarengi dengan takbir. Di sini tidak perlu berdoa karena mencontoh Rasulullah .
Pada hari ke-12 (tanggal 12) melontar tiga Jumrah sebagaimana hari sebelumnya, demikian pula pada hari ke-13 jika menangguhkan keberangkatannya hingga hari ke-13.
Tidak boleh bagi siapa saja melontar pada hari ke-11, 12 dan 13 sebelum zawal (sebelum matahari tergelincir), sebab Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tidak pernah melontar kecuali sesudah zawal, dan beliau bersabda, “Mencontohlah kamu kepadaku dalam cara melaksanakan manasik haji”.
Para shahabat Nabi pun selalu menunggu waktu zawal untuk melontar, maka apabila waktu zawal tiba mereka pun melontar. Kalau sekiranya melontar sebelum zawal itu boleh, niscaya Nabi n telah menjelaskannya kepada umatnya, baik itu melalui praktek beliau sendiri, ucapannya ataupun melalui iqrar-nya, dan niscaya Nabi Shalallaahu alaihi wasalam tidak memilih waktu siang hari, yaitu waktu terik panas matahari untuk melontar; apalagi di pagi hari itu lebih memudahkan jama’ah.
Dengan demikian jelaslah bahwa melontar di pagi hari itu tidak boleh, sebab sekiranya melontar di pagi hari itu termasuk ajaran Allah Ta'ala, niscaya Dia ajarkan kepada hamba-hamba-Nya, karena waktu pagi itu lebih mudah, di mana kita ketahui bahwasanya Allah Subhannahu wa Ta'ala biasanya menetapkan hukum yang termudah bagi hamba-hamba-Nya.
Namun demikian, boleh bagi seseorang yang tidak mampu menahan desakan orang banyak atau berangkat menuju Jamarat (pelontaran) pada siang hari untuk menunda waktu melontarnya hingga di malam hari, karena malam hari masih termasuk waktu melontar; dan tidak ada dalil yang menegaskan bahwa melontar pada malam hari itu tidak sah. Dalil yang ada adalah bahwasanya Nabi Shalallaahu alaihi wasalam telah menetapkan kapan waktu melontar boleh dimulai dan beliau tidak menetapkan batas waktu melontar berakhir, sedang hukum yang menjadi pegangan adalah bahwa perkara yang mempunyai makna mutlaq harus diberlakukan kemutlakannya, kecuali apabila ada dalil lain yang membatasinya dengan suatu sebab atau waktu.
Hendaknya setiap jama’ah haji selalu bersikap hati-hati dan tidak menganggap remeh masalah melontar Jamarat; karena banyak jama’ah yang meremehkannya sampai rela mewakilkannya kepada orang lain untuk melontarkan bagi dirinya, padahal dia masih mampu melontar sendiri! Yang demikian itu tidak boleh dan tidak sah, karena Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman di dalam Kitab Suci-Nya:
“Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah”. (Al-Baqarah: 196).
Melontar Jumrah itu termasuk amalan haji, maka tidak boleh diabaikan; dan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pun tidak pernah mengizinkan keluarganya yang lemah untuk mewakilkan kewajiban melontar mereka kepada orang lain, beliau hanya mengizinkan kepada mereka berangkat dari Muzdalifah pada dini hari supaya mereka dapat melontar sendiri sebelum keramaian manusia. Dan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam pun tidak mengizinkan para pengembala unta (yang beribadah haji) yang harus meninggalkan Mina karena ternak mereka untuk mewakilkan lontaran mereka kepada orang lain. Nabi Shalallaahu alaihi wasalam hanya mengizinkan mereka agar sehari melontar dan sehari tidak, lalu mereka melontar pada hari ketiga. Semua itu menunjukkan betapa pentingnya seorang jama’ah haji melontar sendiri dan tidak mewakilkannya kepada siapa pun. Ya, kacuali jika dalam keadaan terpaksa, maka boleh diwakilkan kepada orang lain, seperti karena sakit atau sudah lanjut usia, tidak mampu datang ke tempat pelontaran, atau karena hamil (bagi wanita) yang khawatir akan keselamatan diri dan bayi dalam kandungannya, maka dalam kondisi seperti itu melontar boleh diwakilkan.
Kalau sekiranya tidak karena ada riwayat dari sebahagian shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam yang menyatakan bahwa mereka melontarkan untuk anak-anak mereka, niscaya kami katakan, “Sesungguhnya orang yang lemah, gugur kewajiban melontarnya, karena melontar adalah kewajiban yang ia tidak mampu melakukannya, oleh karena itu, kewajiban itu gugur karena ketidakmampuannya”, akan tetapi karena ada riwayat jenis perwakilan melontar bagi anak-anak, maka tidak mengapa kalau orang yang tidak mampu melontar sendiri disamakan dengan anak-anak kecil.
Yang penting adalah, kita wajib mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, tidak meremehkannya, dan berusaha semaksimal mungkin melakukannya dengan diri kita sendiri, karena hal tersebut adalah ibadah, sebagaimana Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، وَرَمْيُ الْجَمَرَاتِ لإِقَامَةِ ذِكْرِ اللهِ.
“Sesungguhnya thawaf di Baitullah dan di antara Shafa dan Marwa serta melontar Jumarat itu diperintahkan untuk menegakkan dzikir kepada Allah.” (Dikeluarkan oleh Abu Daud (no. 1888) dalam kitab Al-Manasik, At-Tirmidzi (no. 902) dalam kitab Al-Hajj, Ia mengatakan hasan shahih.)
Apabila haji telah selesai dilakukan, maka seseorang tidak boleh meninggalkan kota Mekkah menuju negerinya sebelum melakukan thawaf wada’ (thawaf perpisahan). Ibnu Abbar Radhiallaahu anhu berkata, “Pada suatu saat orang-orang pada pulang dari segala arah, maka Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, “Jangan ada seorang pun yang pulang sebelum akhir urusannya adalah di Baitullah (thawaf).”( kitab Al-Hajj )
Kecuali kalau wanita haid atau nifas dan telah melakukan thawaf ifadhah, maka thawaf wada’ menjadi gugur darinya. Di dalam hadits Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu ia menuturkan, “Para jama’ah haji diperintahkan agar akhir urusan mereka adalah di Baitullah (thawaf), hanya saja thawaf tersebut digugurkan bagi wanita haid”( Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 1755) dalam kitab Al-Hajj, Muslim (no. 380) dalam kitab Al-Hajj.).
Dan juga, karena Nabi Shalallaahu alaihi wasalam tatkala dikatakan kepadanya, bahwa Shafiyah (istri beliau) telah melakukan thawaf ifadhah, beliau bersabda, “Jika begitu hendaklah ia berangkat.”( Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 1757, 1758, 1759) dalam kitab Al-Hajj, Muslim (no. 382-387) dalam kitab Al-Hajj.) Pada saat itu Shafiyah dalam keadaan haid.
Thawaf wada’ tersebut harus (wajib) menjadi sesuatu yang paling akhir (dari keberadaan kita di Mekkah). Dan dengannya kita dapat mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh sebagian jama’ah di saat mereka turun ke Mekkah, di sana mereka melakukan thawaf wada’, lalu kembali ke Mina, dan di Mina mereka melontar lalu berangkat menuju negeri mereka dari Mina adalah salah besar, thawaf wada’ yang mereka lakukan tidak mencukupinya, karena mereka tidak menjadikan thawaf sebagai amalan terakhir yang mereka lakukan, melainkan melontar jumrah yang mereka jadikan sebagai amalan akhir haji mereka.
http://www.alsofwah.or.id/
No comments:
Post a Comment