Saturday, March 31, 2012

MEMBONGKAR KESESATAN SUFI (bahagian II, sorotan terhadap sufi )

SOROTAN TERHADAP TASAWWUF

Beberapa komentar tentang tasawwuf akan menjelaskan bahwa sebenarnya tasawwuf itu berasal dari luar Islam. Berikut ini komentar para ulama dan ilmuwan yang menyoroti tasawwuf.

Syaikh Ihsan Ilahi Dhahir rahimahullah menulis:

“Ketika kita memperhatikan dengan teliti tentang ajaran sufi yang pertama dan terakhir, serta pendapat-pendapat yang dikutip dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab sufi, baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara sufi dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Begitu juga kita tidak melihat adanya bibit-bibit sufi di dalam perjalanan hidup Nabi saw dan para sahabat beliau, yang mereka itu adalah (sebaik-baik) pilihan Allah dari kalangan makhluk-Nya. Tetapi kita bisa melihat bahwa sufi diambil dari percikan kependetaan Nasrani, Brahmana (Hindu), Yahudi, dan kezuhudan Agama Budha.” (Ihsan Ilahi Dhahir, At-Tashawwuf al-Mansya’ wal Mashadir hal 27, seperti dikutip Syaikh Dr Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Haqiqatut Tashawwuf / diterjemahkan menjadi Hakikat Tasawuf, Pustaka As-Salaf, Cet I, 1998/ 1419H, hal 19).

Komentar ilmuwan lainnya hampir sama.

“Jelas bahwa tasawwuf memiliki pengaruh dari kehidupan para pendeta Nasrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara. Dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika Islam membebaskan setiap negeri dengan tauhid.” (Dr Shobir Tho’imah, Ash-Shufiyyah Mu’taqadan wa Masla­kan, Riyadh, Cet I, 1985M/ 1405H, hal 25, ibid hal 19).

Lebih jelas lagi, komentar berikut ini: “Sesungguhnya tasaw­wuf itu adalah tipuan/ makar paling hina dan tercela. Syetan telah membuatnya untuk menipu para hamba Allah dan memerangi Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Sesungguhnya tasawwuf adalah topeng kaum Majusi agar ia terlihat sebagai orang yang Rabbani (taat pada Tuhan), bahkan juga topeng semua musuh agama ini (Islam). Bila diteliti ke dalam akan ditemui di dalamnya (ajaran kaum sufi, ed) ada Brahmaisme, Budhisme, Zaratuisme, Platoisme, Yahudisme, Nasranisme, dan Paganisme/ Berhalaisme.” (Syaikh Abdur Rahim Al-Wakil rahimahullah, Mashra’ut Tashawwuf, hal 19, ibid hal 19).

Syaikh Al-Fauzan menyimpulkan:

“Jelaslah bahwa sufi adalah ajaran (dari) luar yang menyusup ke dalam Islam. Hal itu tampak dari kebiasaan-kebiasaan yang dinisbatkan kepadanya. Sufi adalah suatu ajaran yang asing (aneh) di dalam Islam dan jauh dari petunjuk Allah ‘Azza wa Jalla.

Yang dimaksud dengan kalangan sufi yang belakangan adalah mereka yang sudah banyak berisi dengan kebohongan. Adapun sufi yang dahulu, mereka masih berada di dalam keadaan netral, seperti Al-Fudhail bin ‘Iyadh, Al-Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain-lain.” (Syaikh Dr Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, terjemah Hakikat Tasawwuf, hal 20).

Ucapan-ucapan Orang Shufi Sangat Tidak Layak

Ibnul Jauzi (w 597H) dalam Kitabnya, Talbis Iblis mencontohkan betapa ekstrimnya bualan orang sufi, hingga melewati batas dan menentang Allah SWT.
Karena orang-orang sufi jauh dari ilmu, ungkap Ibnul Jauzi, maka perhatian mereka tertuju kepada amal, lalu mereka sepakat menunjukkan kelemahlembutan yang menyerupai karamah, lalu mereka mengeluarkan berbagai macam bualan.

Diriwayatkan, Abu Yazid Al-Busthamy (tokoh sufi) berkata, “Aku ingin andaikata saja hari Kiamat sudah tiba, sehingga aku bisa memancangkan kemah di Neraka Jahannam.”

“Mengapa begitu wahai Abu Yazid?” tanya seseorang.

Dia menjawab, “Sebab aku tahu bahwa jika Jahannam melihatku, maka apinya akan padam, sehingga aku bisa menolong orang lain.”

Abu Musa As-Syibli berkata, saya mendengar Abu Yazid berkata: “Apabila telah ada hari Kiamat dan Dia memasukkan ahli surga ke surga dan ahli neraka ke neraka, maka mintakanlah padaNya untuk memasukkanku ke neraka. Lalu ditanyakan padanya (Abu Yazid), kenapa? Dia berkata: “Sehingga para makhluk tahu bahwa kebaikan­-Nya dan kelemahlembutanNya di dalam neraka menyertai para wali­-Nya.”

Komentar Ibnul Jauzi: “Benar-benar perkataan yang sangat menji­jikkan, karena dia telah menghinakan apa yang diagungkan Allah, yaitu perintah-Nya kepada Neraka. Padahal Allah juga telah pan­jang lebar menjelaskan masalah Neraka ini, seperti firman-Nya:

”Maka peliharalah diri kalian dari api neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu.” (Al-Baqarah: 24).

“Apabila Neraka itu melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya.” (QS Al-Furqan/25:12).

Dari Abu Hurairah ra, dia berkata,
“Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya neraka kalian ini, yang dinyalakan dengan Bani Adam, merupakan satu bagian dari tujuh puluh bagian dari panas Jahannam.”

Para sahabat berkata, “Demi Allah, itu benar-benar sudah cukup wahai Rasulullah.”

Beliau bersabda,
“Jahannam itu dilebihkan enam puluh tujuh bagian, yang semuanya seperti itu panasnya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).

Dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi saw, beliau bersabda:
Yu’taa bijahannama yaumaidzin lahaa sab’uuna alfa zimaamin ma’a kulli zimaamin sab’uuna alfa malakin yajurruunahaa.”

“Jahannam didatangkan pada hari itu ia memiliki tujuh puluh ribu belenggu, serta setiap belenggu dijaga 70.000 malaikat yang menyeretnya.” (HR Muslim). (Talbis Iblis, hal 341-342).

Dari Al-Junaid bin Muhammad, dia berkata, “Kemarin ada seseorang yang ingin bertemu denganku, yang berasal dari Bustham. Dia bercerita tentang Abu Yazid Al-Busthami yang pernah berkata, “Ya Allah, seandainya sudah ada dalam pengetahuan-Mu bahwa Engkau akan mengadzab seseorang dari hamba-Mu dengan api neraka, maka agungkanlah penciptaanku, agar dengan keberadaanku Engkau tidak mengadzab selainku.”

Komentar Ibnul Jauzi, “Dari semua pernyataannya ini bisa dilihat secara jelas bagaimana keburukan perangainya. Terutama bualannya yang terakhir, sangat nyata kesalahannya, yang bisa dilihat dari tiga segi:

1. Tentang perkataannya, “Seandainya sudah ada dalam pengetahuan-Mu”, kita sudah tahu bahwa Allah pasti akan mengadzab makhluk dengan api neraka, dan Allah telah menyebutkan sebagian nama-nama makhluk itu, seperti Fir’aun dan Abu Lahab. Maka bagaimana mungkin dikatakan “Seandainya”, jika sudah ada kepastian dan keputusan?

2. Tentang perkataannya, “Maka agungkanlah penciptaanku, agar dengan keberadaanku Engkau tidak mengadzab selainku”, berarti dia juga berbelas kasihan terhadap orang-orang kafir. Masih mendingan jika dia berkata, “Agar aku dapat membela orang-orang Mukmin.” Yang pasti, bualannya itu merupakan kelancangan terhadap rahmat Allah.

3. Dia tidak tahu ketetapan Allah terhadap api neraka atau terlalu merasa yakin terhadap kesabaran dirinya. Padahal kedua-duanya tidak ada dalam dirinya. (Talbis Iblis, hal 246, terjema­hannya –Perangkap Syetan– Pustaka Al-Kautsar Jakarta, cet I, hal 288).

Ibnul Jauzi mencontohkan bualan sufi lain lagi sebagai beri­kut:

Ibnu Aqil pernah menuturkan dari Asy-Syibli (tokoh sufi), bahwa dia berkata, sesungguhnya Allah telah berfirman:

“Dan kelak Rabbmu memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” (Ad-Dhuha: 5). Demi Allah, Muhammad saw tidak ridha karena di dalam neraka ada seorang dari ummatnya.”

Kemudian dia (Asy-Syibli) berkata, “Sesungguhnya Muhammad memintakan syafa’at bagi ummatnya, lalu aku memintakan syafa’at setelah beliau, bagi orang-orang yang ada di dalam neraka, se­hingga di sana tidak menyisa seorangpun.”

Ibnu Aqil berkata, “Anggapan Asy-Syibli yang pertama tentang Rasulullah saw (tidak ridha karena di dalam neraka
ada seorang dari ummatnya) adalah dusta, karena beliau ridha terhadap adzab yang dijatuhkan kepada orang-orang yang jahat. Dalam hubungannya dengan khamr (minuman keras) saja beliau sudah melaknat sepuluh orang. Maka bagaimana mungkin ada anggapan bahwa beliau tidak ridha terhadap adzab yang dijatuhkan kepada orang-orang dzalim? Tentu saja ini anggapan yang salah dan menunjukkan kebodohan (tokoh sufi tersebut) terhadap syari’at.

Bualannya (Asy-Syibli-tokoh sufi) bahwa dia bisa memintakan syafa’at bagi semua orang, yang berarti melampaui Rasulullah saw, jelas merupakan kekafiran. Sebab selagi orang memastikan dirinya termasuk penghuni surga, maka dia justru menjadi penghuni neraka.

Lalu bagaimana mungkin dia membual dan memberikan kesaksian atas dirinya, bahwa kedudukannya lebih tinggi daripada kedududukan Nabi dan bahkan melebihi kapasitas seorang Nabi yang memintakan syafa’at?

Ibnu Aqil berkata, yang mungkin aku punyai untuk melibas para ahli bid’ah adalah mulutku dan hatiku. Seandainya kemampuanku meluas ke dalam pedang pastilah aku aliri bumi dengan darah orang. (Talbis Iblis, hal 248, terjemahannya hal 290).

Diriwayatkan dari Abul Abbas bin Atha’, dia berkata, “Aku membaca Al-Quran, namun tidak kutemukan keterangan
di dalamnya bahwa Allah menyebutkan seorang hamba, memujinya dan menimpakan cobaan kepadanya. Maka aku memohon kepada Allah agar Dia menimpakan cobaan kepadaku. Tak seberapa lama setelah itu, aku kehilangan duapuluh orang anggota keluarga, semuanya meninggal dunia.”

Bahkan, menurut kisahnya, hartanya juga ludes, tak seorangpun keluarganya yang masih hidup dan dia menjadi gila. Ketika dia sudah sembuh, yang pertama kali dia ucapkan adalah: “Benar apa yang kukatakan. Rupanya Engkau (Allah) telah menimpakan cobaan kepadaku secara semena-mena. Aku harus menanggung kehendakMu. Namun sangat mencengangkan, karena aku masih bisa bersabar.”

Ibnul Jauzi berkomentar, “Karena kebodohanlah yang mendorong Abul Abbas (orang sufi) memohon cobaan atas dirinya. Berarti dia merasa hebat dan kuat. Yang seperti ini merupakan tindakan yang amat buruk. Apa yang dia katakan terhadap Allah sama sekali tidak layak.”

Abul Hasan Ali bin Ibrahim Al-Hushri (orang sufi) berkata: “Sejak lama aku tidak berlindung dari syetan jika aku hendak membaca Al-Quran. Karena siapakah syetan yang berani mendekati firman Allah?”

Komentar Ibnul Jauzi, “Tentu saja perkataannya ini bertentangan dengan firman Allah yang memerintahkan:

“Apabila kamu membaca Al-Quran, hendaklah kamu meminta perlindun­gan kepada Allah dari syetan yang terkutuk.” (An-Nahl: ayat 98).” (Talbis Iblis, hal 249, terjemahannya, hal 290).

Demikianlah sebagian dari bualan orang sufi yang diriwayatkan dan dikomentarai oleh Ibnul Jauzi, yang pada teks aslinya diri­wayatkan dengan nama-nama periwayatnya sebagaimana yang biasa diterapkan dalam periwayatan hadits yang disebut sanad.

Problema di masyarakat, nyleneh pun dianggap saleh

Kata-kata orang sufi itu secara sekilas menunjukkan kekhusyu­’an, keikhlasan, ketawadhu’an; namun hakekatnya justru merupakan bualan yang sangat jauh dari ajaran Islam, bahkan menentang ayat-ayat Allah SWT. Di sinilah salah satu bentuk kerancuan sufisme yang menjauhkan Islam dari pemahaman yang benar, namun sekaligus menjerat orang untuk tercebur dalam kesesatannya tanpa terasa, bahkan menganggap bahwa mereka telah masuk pada tahapan kesalehan. Celakanya, label kesalehan itupun disandangkan kepada orang sufi, sehingga orang sufi diidentikkan dengan orang saleh, lantas tahap lebih atasnya lagi adalah wali, yang kadang tingkahnya aneh-aneh, atau nyleneh, atau bahkan sangat melanggar syari’at pun tetap mereka anggap saleh. Karena wali telah mereka anggap di luar jangkauan orang awam, hingga keanehannya itu justru menandakan kewaliannya, menurut mereka.

Kesesatan telah mereka warisi dari generasi ke generasi, hingga kadang-kadang menyeret orang intelek, yang akibatnya akan lebih menyeret banyak orang lagi. Contoh nyata, seorang profesor bernama Dawam Rahardjo mengatakan bahwa Gus Dur (Abdurrahman Wahid) adalah wali dan sangat brilliant sekali. Ungkapan Profesor Dawam Rahardjo itu bukan hanya diucapkan di kalangan terbatas, namun disiarkan secara nasional, karena disiarkan oleh televisi swasta yang mewawancarainya, yakni ANteve, Selasa pagi 26 Oktober 1999M/ 16 Rajab 1420H. Dalam wawancara itu, Profesor Dawam Ra­hardjo selaku mantan atasan Gus Dur, menurut pewawancara ANteve, ditanya atau dimintai komentar-komentarnya dengan adanya Gus Dur terpilih sebagai presiden Indonesia yang ke-empat, pekan lalu (20/10 1999), yang kemudian siang itu (26/10 1999) akan ada pengumuman tentang susunan kabinet dari Presiden Gus Dur.

Kenapa ungkapan Prof Dawam Rahardjo –bahwa Gus Dur itu wali– di sini dipersoalkan?
Ini sekadar contoh soal, bahwa orang yang berbicara tentang Al-Quran dengan sangat ngawur seperti Gus Dur, ternyata dinyata­kan secara terang-terangan oleh seorang profesor, sebagai wali dan sangat brilliant sekali.

Apa alasan Profesor Dawam rahardjo menggelari Gus Dur sebagai wali?
Di antaranya Profesor Dawam Rahardjo beralasan, Gus Dur belajar Bahasa Inggeris cepat sekali, dan pidatonya dengan bahasa Inggeris bagus sekali.

Apa kaitannya antara bagusnya pidato bahasa Inggeris seseorang denga kewalian? Hanya profesor Dawamlah yang mungkin bisa menjawab. Mestinya, kewalian yang disandangkannya itu lebih pantas dikaitkan dengan bagaimana orang yang digelari wali itu dalam memahami dan mengamalkan Al-Quran. Coba kita simak, satu bukti nyata sebagai berikut:

Abdurrahman Wahid alias Gus Dur Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) menulis artikel berjudul Antara Asas Islam dan Asas Pancasila di koran Media Indonesia, Rabu 17 Maret 1999, halaman 6.

Di antaranya Abdurrahman Wahid menulis: “Bahkan, Allah memerintahkan manusia untuk beragam agama, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (lakum dienukum wa liya dien). Bahkan, dalam hal perbedaan agama, kita diperintahkan berbeda keyakinan, tetapi boleh bersama-sama dalam hal perbuatan. “Bagi kami amal perbuatan kami bagi kamu amal perbuatan kamu.” (Walanaa a’maalunaa walakum a’maalukum).”

Demikian petikan tulisan Abdurrahman Wahid/ Gus Dur. Tulisan itu mari kita cermati, apakah memang Gus Dur pantas digelari wali dari segi kealimannya tentang ayat-ayat Al-Quran.

Tentang lakum dienukum wa liya dien, (bagimu agamamu, dan bagiku agamaku); apakah benar itu suruhan Allah untuk beragam agama? Kalau cara memahaminya begitu, seperti pemahaman Gus Dur itu, maka berarti orang-orang kafir pun akan masuk surga, karena mengikuti perintah Allah untuk beragam agama.

Kemudian Gus Dur juga menyamarkan ayat 139 Surat Al-Baqarah, “Wa lanaa a’maalunaa wa lakum a’maalukum (bagi kami amal perbuatan kami, dan bagi kamu amal perbuatan kamu) dengan semaunya, dengan ungkapan: “Kita diperintahkan berbeda keyakinan, tetapi boleh bersama-sama dalam hal perbuatan.”

Benarkah surat Al-Baqarah ayat 139 itu merupakan perintah agar berbeda keyakinan, tetapi boleh bersama-sama dalam perbuatan?

Kita simak Tafsir Ibnu Katsir:

“Lanaa a’maalunaa wa lakum a’maalukum” (Bagi kami amalan kami dan bagi kamu amalan kamu” artinya kami berlepas diri dari kamu sekalian (barooun minkum) dan dari apa yang kalian sembah, sedang kalian lepas-diri dari kami. Sebagaimana Allah berfirman dalam ayat yang lain –QS Yunus/ 10:41– (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, halaman 235), sebagaimana firman Allah Ta’ala –QS Al-Kafirun/ 109: 1-6). Juga QS Al-Mumtahanah/ 60:4:

“Sesungguhnya kami berlepas-diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS Al-Mumtahanah/ 60:4) (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2, halaman 509).

Betapa jelasnya keterangan Ibnu Katsir, mufassir yang diakui Dunia Islam itu dalam masalah ini, dan betapa jauhnya penyamaran yang dilakukan Abdurrahman Wahid yang pernah jadi juri Festival Film Indonesia itu. (Lihat: Hartono Ahmad Jaiz, Bahaya Pemikiran Gus Dur, Pustaka Al-Kautsar Jakarta, cetakan kelima, Mei 1999, halaman 41-44).

Pantaskah seorang Profesor Dawam Rahardjo menjuluki Gus Dur yang telah menafsiri Al-Quran dengan ro’yu (pendapat) yang sangat melenceng –ditimbang dengan tafsir yang diakui Dunia Islam– itu sebagai wali yang brilliant (sangat cerdas) sekali?

Untuk mengatakan bahwa seseorang itu brilliant sekali atau cerdas sekali, bila yang mengatakan itu seorang profesor, sebenarnya sudah layak dipercaya. Tetapi, berhubung perkataan sang profesor yang menggelari Gus Dur sebagai wali itu terbukti hanya kata-kata tak bermakna, maka kini perlu dibuktikan pula, benarkah Gus Dur itu brilliant sekali seperti yang dikatakan Profesor Dawam Rahardjo?

Dalam kasus yang berkaitan dengan kondisi dan situasi saat sang profesor itu diwawancarai (26/10 1999), tersebar berita bahwa Gus Dur pada awal pemerintahannya, sebagai presiden Indone­sia, ia mengatakan akan membuka hubungan ekonomi dengan Israel. Sedang untuk hubungan diplomatik, belum dibuka hubungan.

Dalam kondisi ekonomi dan keamanan yang masih sangat belum mantap, istilahnya masih krisis, ditambah hubungan antar agama di Indonesia sendiri terjadi bunuh-bunuhan antara Muslimin dan orang Kristen ataupun Katolik seperti di Ambon dan Maluku Tenggara, bahkan di Jakarta seperti kasus Ketapang Jakarta Pusat, masih merupakan dengan Israel. Semua orang tahu, Israel itu musuh orang Islam sedunia, karena Israel masih mengangkangi Masjidil Aqsha, tempat suci ke-tiga bagi ummat Islam sedunia. Juga Israel adalah pembantai yang amat sadis terhadap ummat Islam, baik di dalam masjid sedang shalat maupun di luar, penjajah yang sangat licik, dan pencaplok wila­yah-wilayah Palestina. Dalam hal berdagang atau berhubungan dengan masyarakat Islam, Israel itu sangat curang sambil meme­rangi Islam.

Kita simak bukti dari pengamatan seorang yang cukup terpercaya dalam kasus ini sebagai berikut:

Dr Hidayat Noer Wahid pengamat Timur Tengah mencontohkan ting­kah Yahudi Israel. Dengan dibukanya kedutaan Israel di Mesir, ternyata Yahudi bisa menekan hingga mampu menghapus ayat-ayat Al-Quran yang mengecam Yahudi di pelajaran sekolah. Menghapus peta Palestina, hingga adanya hanya Israel. Yahudi mendukung penggala­kan turisme, namun turis Yahudi yang datang (ke Mesir) hanya gembel, hingga tak menambah pendapatan bagi Mesir. Malahan 52 orang Yahudi yang ketahuan masuk ke Mesir memakai paspor Belanda terbukti semuanya mengidap AIDS.

Dari segi pertanian, Israel menjual pupuk ke Mesir, namun tahu-tahu akibatnya tanah jadi tandus. Itu di samping sampo Israel yang bikin botak rambut, dan tanaman yang didatangkan dari Israel menyebarkan hama. (H Hartono Ahmad Jaiz, Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar Jakarta, 1994, halaman 99-100).

Untuk memberi gambaran latar belakang, bagaimana sikap ummat Islam Indonesia berhadapan dengan orang-orang tertentu yang pro Zionis Israel, kita simak kasus film propaganda Yahudi –Zionis Israel– berjudul Schindler’s List tahun 1994 yang ditolak keras oleh para tokoh Islam, namun ada orang-orang tertentu yang membe­la film Zionis Yahudi Israel itu, sebagai berikut:

Contoh kecil, dalam kasus pro kontra tentang film propaganda Yahudi, Schindler’s List, tercatat nama-nama pembela film Zionis itu. Setidaknya, yang telah menyuara setuju untuk diedarkan adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Umar Khayam (dua budayawan ini diwawancarai ANteve di rumah sakit, Abdurrahman Wahid dioper­asi matanya namun sempat menyuarakan persetujuan) dan Profesor Dawam Rahardjo yang dimuat Republika. Mereka itu dinilai oleh KH Hasan Basri (Ketua Umum MUI –Majelis Ulama Indonesia) sebagai orang-orang yang berpikiran bebas, sampai pendapat yang aneh-aneh sekalipun. (Ibid, 1994, hal 96-97).

Pembaca bisa menilai, seberapa brilliant-nya Gus Dur yang kini mempresideni penduduk Indonesia yang berjumlah 210 jutaan jiwa yang hampir 90% Muslim ini. Apakah pupuk Israel yang bikin tandus tanah, sampo Israel yang bikin botak kepala, dan tanaman-tanaman yang diekspor dari Israel dengan menyebarkan hama, serta turis-turis gembel dari Israel yang semuanya ternyata mengidap penyakit paling berbahaya dan tak bisa disembuhkan yakni AIDS itu merupakan barang-barang dagangan yang sangat diperlukan oleh 210 juta penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim ini? Belum lagi upaya menghapus ayat-ayat Al-Quran dari kurikulum sekolah yang Zionis tekankan. Brilliant sekalikah orang yang awal-awal kebija­kannya justru tidak punya pertimbangan pasar sama sekali itu?

Dari sisi lain, mari kita cermati sosok Gus Dur yang dia itu presiden, kiai, dan orang terkenal secara internasional. Dalam hal memandang Israel yang menjajah dan mencaplok tanah-tanah Palestina, Gus Dur selaku presiden mesti merujuk pada undang-undang dasar dan perundangan serta peraturan yang dipakai di Indonesia. Di antaranya ditegaskan dalam Mukaddimah Undang-undang Dasar 1945 bahwa “segala bentuk penjajahan harus dihapuskan.”

Orang yang faham betul tentang kepenjajahan Israel terhadap Palestina dan tentang sikap Indonesia seharusnya, di antaranya adalah Menteri Luar Negeri Ali Al-Atas yang lalu. Bisa kita simak sikapnya sebagai penanggung jawab politik luar negeri sampai menjelang kepemimpinan Gus Dur, sebagai berikut:

Dalam acara dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI, 5 Juli 1999, Menlu Ali Al-Atas menegaskan, Indonesia menolak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Alasannya, negara Israel merupakan negara kolonial, sehingga pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel merupakan pelanggaran terhadap konstitusi (UUD 1945). (Adian Husaini, Menimbang Hubungan Dagang RI-Israel, Harian Republika, Jakarta, Jum’at 29 Oktober 1999M/ 19 Rajab 1420H, halaman 6).

Lantas, bagaimana seharusnya sebagai figur kiai atau tokoh Islam. Kita simak ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits yang sangat banyak mengecam Yahudi Bani Israel karena tingkahnya yang jahat, curang, paling loba sedunia, sombong, berkhianat, berbuat makar dan sebagainya. Dan kita lihat sejarah Nabi Muhammad SAW, bagaimana Nabi SAW memperlakukan Yahudi Bani Israel. Nabi SAW mau berjanji damai dengan Yahudi, hingga ada ikatan janji antara Yahudi dan Muslimin. Namun kemudian orang-orang Yahudi berkhia­nat, bahkan tetap memusuhi Muslimin, maka Nabi SAW mengadakan pengusiran terhadap Yahudi Bani Qainuqa’ (setelah perang Badr 2 H), pengusiran Yahudi Bani Nadhir setelah perang Uhud 3 H.

Selanjutnya, pengkhianatan dan permusuhan yang paling parah dilakukan oleh Yahudi Bani Quraidhah, maka seluruh lelaki dewasa Yahudi Bani Quraidhah selain anak-anak dan perempuan dihukum bunuh semua/ potong leher, akibat ganasnya pengkhianatan terhadap Muslimin dan penyerangan terhadap Muslimin secara khianat. Keber­angkatan untuk menyerbu Bani Quraidah (th 5 H) itu sendiri langsung dibangkitkan dan dikomandoi oleh Malaikat Jibril dengan barisan malaikat, ketika Nabi SAW baru saja meletakkan senjata dari Madinah. Peristiwa itu setelah perang Khandaq.

Ada peristiwa terkenal dalam keberangkatan untuk menyerbu Bani Quraidhah yang kemudian Muslimin mengepungnya sampai 15 hari, hingga Yahudi khianat itu menyerah. Dalam perjalanan, Malaikat Jibril berjalan dalam sebuah prosesi para malaikat, sementara Rasulullah Saw membuntuti di belakangnya beserta orang-orang Muhajirin dan Anshar. Saat itu beliau bersabda kepada para saha­bat:

“Laa yusholliyanna ahadukumul ‘ashro illaa fii Banii Quraidhata”

“Janganlah sekali-kali seseorang di antara kalian shalat ashar kecuali di Bani Quraidhah.” (HR Al-Bukhari /946 dari Ibnu Umar, Muslim, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, shahih).

Seketika itu pula mereka memenuhi perintah beliau dan bangkit menuju Bani Quraidhah. Mereka masuk waktu ashar ketika masih di perjalanan. Sebagian ada yang berkata, “Kami tidak akan shalat ashar kecuali setelah tiba di Bani Quraidhah seperti yang diper­intahkan kepada kita.” Sehingga mereka mengerjakan shalat ashar itu setelah shalat isya’.

Sementara yang lain ada yang berkata, “Yang beliau maksudkan dari kita bukan itu tetapi agar kita segera keluar, karena itu mereka melakukan shalat ashar di tengah perjalanan, tetapi beliau tidak menegur satupun di antara dua golongan ini.

Para fuqaha’ saling berbeda pendapat antara dua golongan ini. Golongan pertama berkata, mereka yang mengakhirkannya adalah yang benar. Sekiranya kami bersama mereka, tentu kami akan mengakhir­kannya seperti yang mereka lakukan dan kami tidak akan mengerja­kan shalat ashar kecuali setelah tiba di Bani Quraidhah, karena patuh kepada perintah beliau dan meninggalkan ta’wil yang berten­tangan dengan dhahir.

Golongan lain berkata, “Mereka yang shalat ashar pada waktunya di tengah jalan dan yang lebih dahulu pergi adalah orang-orang yang mendapatkan fadhilah. Mereka bersegera melaksanakan perintah beliau dan segera mencari keridhaan Allah dengan shalat pada waktunya, kemudian mereka bersegera menghadapi musuh. Jadi, mereka mendapatkan fadhilah jihad, fadhilah shalat pada waktunya, dan memahami apa yang dimaksudkan dari perintah tersebut.” (Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, Zaadul Ma’aad, jilid III, halaman 118-120).

Setelah pengepungan terhadap benteng Bani Quraidhah berlang­sung 15 hari, dan Nabi SAW menawarkan 3 syarat namun tidak ada yang dimaui oleh Bani Quraidhah, kemudian kaum Yahudi Bani Qu­raidhah yang sangat jahat permusuhannya terhadap Islam ini meny­erah. Ekskusi pun dilakukan, diserahkan Rasulullah SAW kepada Sa’d bin Mu’adz, yaitu hukuman bunuh/ dipenggal lehernya bagi setiap laki-laki Bani Quraidhah, sedangkan anak-anak dan wanita dijadikan tawanan, dan harta benda mereka dibagi. Lalu nabi SAW bersabda kepada Sa’d, “Engkau telah memutuskan tentang diri mereka dengan hukum Allah dari atas langit yang tujuh.” (Zaadul Ma’aad, jilid III, halaman 122).

Sebelum eksekusi, ada beberapa orang di antara mereka yang masuk Islam, sedangkan Amr bin Sa’d, salah seorang pemimpin Bani Quraidhah melarikan diri dan tidak diketahui ke mana perginya. Sebelumnya ia tidak mau bergabung dengan mereka untuk melanggar perjanjian. Rasulullah SAW memerintahkan untuk membunuh setiap lelaki (dewasa) yang pisau cukur telah ditarik atas (kumis)nya, adapun yang belum tumbuh (kumis), maka dimasukkan ke golongan anak-anak (tidak dibunuh). Lalu digalilah parit-parit untuk mereka di pasar Madinah, dan dipenggallah leher-leher mereka, jumlahnya antara 700 sampai 900 orang. Tidak ada seorang perem­puan pun yang dibunuh kecuali satu wanita yang dipenggal leher­nya, karena dia pernah melemparkan batu penggilingan ke kepala Suwaid bin Ash-Shamit hingga meninggal dunia. Mereka digiring ke parit-parit serombongan-serombongan… (Zaadul Ma’aad, halaman 123).

Perang (pengusiran terhadap Yahudi) Bani Qainuqa’ terjadi setelah perang Badr, perang (pengusiran terhadap Yahudi) Bani Nadhir setelah perang Uhud, dan perang (pembunuhan seluruh lelaki dewasa Yahudi pengkhianat) Bani Quraidhah setelah perang Khandaq.

Permusuhan Yahudi terhadap ummat Islam dari awal sangat kerasnya, hingga Nabi SAW langsung dikomandoi oleh malaikat Jibril dalam keberangkatannya menuju ke Bani Quraidhah.

Hadits tentang perang terhadap orang-orang Yahudi Bani Quraid­hah dan penawanan para wanita serta anak-anak mereka, diriwayat­kan oleh Al-Bukhari dalam Kitab Al-Maghazi (Fathul Bari, 7/475 no. 4122) dan Muslim dalam bab Hukum orang yang memerangi dan mengingkari janji, dari Aisyah, (nomor 1154 Mukhtashar Al-Mundziri), dikeluarkan pula oleh Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah dalam Zaadul Ma’aad (3/ 129).

Dalam masa sekarang pun, menghadapi Israel yang menjajah, membantai, dan mencaplok tanah-tanah Palestina, dan menguasai Masjidil Aqsha tempat suci yang ketiga setelah Makkah dan Madinah bagi Muslimin sedunia itu telah difatwakan oleh para ulama secara internasional. Bahkan pemerintah Indonesia sendiri ikut pula memfatwakan masalah Israel dalam kaitannya dengan Palestina itu. Kita simak bukti berikut:

Profesor Ibrahim Hosen (kini Ketua Komisi Fatwa MUI –Majelis Ulama Indonesia) selaku wakil menteri agama Indonesia menandatan­gani Fatwa Ulama Internasional tentang haramnya mengakui dan berdamai dengan Yahudi Israel.

Tandatangan utusan Indonesia itu terpampang paling jelas dalam dokumen yang dibukukan dengan judul Fatwa ‘Ulama’ Al-Muslimin bitahriimit Tanaazuli ‘an ayyi juz’in min Falasthien yang diterbitkan oleh Jam’iyyah Al-Ishlah Al-Ijtima’iyyah, Kuwait 1410H/ 1990M.

Fatwa haramnya berdamai dengan Yahudi dan larangan mengakui Yahudi Israel itu disepakati oleh ulama pada Konferensi Negara-negara Islam di Pakistan 1968.

Alasan haramnya berdamai dengan Israel, menurut fatwa ini, karena Yahudi Israel itu merampas dan menyerang, maka berdamai dengan perampas itu dilarang syari’at Islam. Sebab berarti menga­kui bolehnya perampas itu merampas, dan mengakui hasil rampasan­nya itu milik perampas. Maka tidak boleh orang Muslim berdamai dengan Yahudi yang melanggar hak itu. Dan hal itu akan memungkin­kan tetapnya mereka menjadi negara di bumi Muslimin yang disucikan. Bahkan wajib atas Muslimin semuanya untuk berjuang memboikot kekuatan mereka demi membebaskan negeri-negeri Palestina dan Arab dan menyelamatkan Masjidil Aqsha serta tempat-temat suci Islam lainnya dari tangan perampas. Seluruh Muslimin wajib berjihad untuk mengembalikan negeri-negeri itu dari perampas.”(Fatwa Ulama’ Al-Muslimin…, hal 71, dan copian teks aslinya di halaman 73) (Lihat Harian Pelita, Jakarta, Selasa 21 Februari 1995/ 21 Ramadhan 1415H, halaman 5).

Fatwa-fatwa lainnya, di antaranya dikeluarkan oleh Muktamar Ulama Palestina yang pertama, Januari 1935, mengharamkan penjua­lan tanah Palestina kepada Israel, karena sama dengan memperlan­car pengusiran ummat Islam oleh Israel. Maka penjual tanah itu dihukumi tidak boleh dishalati dan dikubur di pekuburan Muslimin, dan selama hidupnya wajib diboikot. (Al-Quds, 20 Syawal 1353H/ 26 Desember 1935M, tertanda Muhammad Amin Al-Husaini, Mufti Al-Quds dan Ketua Majlis Tinggi Islam, disertai 7 mufti lainnya dan hampir seratusan hakim agama).

Fatwa-fatwa lainnya, di antaranya fatwa Ulama Najd, fatwa Syeikh Rasyid Ridha, fatwa Lajnah Fatwa al-Azhar 1956 tentang haramnya berdamai dengan Israel dan wajib berjihad. Dan Fatwa Syeikh Al-Azhar Hasan Ma’mun, intinya:

“Bertemanan dan saling mengadakan hubungan perjanjian yang diadakan orang-orang Muslimin dengan negara-negara lain yang non Islam itu boleh dari segi syari’ah apabila untuk kemaslahatan kaum Muslimin. Adapun kalau hal itu untuk mendukung negara yang memusuhi negeri Islam seperti Yahudi yang memusuhi Palestina, maka itu menguatkan bagi musuh, mengakibatkan berlanjutnya dalam permusuhan terhadapnya (negeri Islam), dan barangkali (melanjut­kan) dalam memperluas di dalam (wilayah)nya pula. Maka yang demikian itu tidak boleh secara syari’at (Islam).” (Hasan Ma’mun, Syeikh Universitas Al-Azhar, Mufti Diyar Mesir, Fatwa ‘Ulama’ Muslimin, hal 63-66).

Segi yang lain, Gus Dur sebagai tokoh yang hubungannya dengan internasional, tentunya perlu mempertimbangkan data dan fakta. Seperti yang ditulis Adian Husaini, ditegaskan: “Dengan Kasat mata, Israel memang masih menjadi negara penjajah, karena menca­plok wilayah Palestina dan masih belum memenuhi resolusi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) 242 dan 338 yang memerintahkan Israel keluar dari wilayah Pendudukan tahun 1967. Karena itulah, maka Indonesia tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. (Republika, 29/10 1999).

Semuanya itu sebenarnya sudah jelas, seharusnya bagaimana sikap yang harus diambil. Namun jauh-jauh hari sebelum jadi presiden, Gus Dur ketika diadakan dialog di TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) 24 Mei 1999, Gus Dur selaku deklarator PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan Ketua Tanfidziyah (eksekutif) Jami’iyah NU (Nahdlatul Ulama –satu organisasi Islam yang sering disebut tradisional) menegaskan, Indonesia perlu membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Alasannya, Indonesia mengakui Uni Soviet (Rusia) dan RRC sebagai negara. Padahal, kedua negara itu menganut atheisme. “Israel itu masih mengakui Tuhan, Anda tidak mau mengakui. Siapa yang bodoh,” kata Gus Dur bersemangat, ketika itu. (Adian Husaini, Menimbang Hubungan Dagang RI-Israel, Republika, 29/10 1999, hal 6).

Ungkapan Gus Dur yang –kalau tak salah– telah dua kali disi­arkan TPI (karena siarannya diulang lagi waktu itu) dan dikutip Adian ini ketika Gus Dur jabarkan sekarang dengan akan membuka hubungan ekonomi dengan Israel, dalam bahasa ndeso (desa)nya namanya ucapan gebyah uyah (menyama ratakan, semua garam itu asin). Bahasa kotanya mungkin menggeneralisir dan rancu, bahasa mantiq (logika)nya mungkin menarik natijah/ konklusi/kesimpulan dengan qodhiyah/ unsur yang kurang syarat, hingga sekilas seperti benar, padahal salah dan rancu. Bahasa ushul fiqhnya, ia akan menarik garis dengan cara qiyas aulawi (ini yang begini saja boleh apalagi itu yang begitu maka lebih boleh lagi) namun qiyas/ perbandingan (analogi)nya itu kurang syarat alias qiyas ma’al fariq alias qiyas batil.
Kenapa?
Karena, hubungan antar manusia atau antar negara itu bukan sekadar: apakah yang akan dihubungi itu mempercayai Tuhan atau tidak. Tetapi ada kaitan-kaitan lainnya. Yang jelas-jelas anti Tuhan pun, kalau itu tidak memusuhi Islam, maka ummat Islam boleh berhubungan secara manusiawi seperti berdagang dan sebagainya, dan perlu adil, namun dilarang mengangkat mereka sebagai teman akrab, apalagi pemimpin. Bahkan kalau mereka yang kafir itu tunduk dalam kekuasan Islam, isitilahnya kafir dzimmi, maka dilindungi. Sampai Nabi SAW bersabda:

Man aadzaa dzimmiyyan faqod aadzaani wa man aadzaanii faqod aadzallaah. (Rowahut Thobroni).

Barangsiapa mengganggu/menyakiti dzimmi (non Muslim yang tunduk pada kekuasaan Islam) maka sungguh ia mengganggu saya (Muhammad), dan siapa mengganggu saya maka sungguh ia mengganggu Allah.” (Diriwayatkan oleh at-Thabrani).

Sebaliknya, kalau orang yang kafir atau atheis itu memusuhi Islam, maka namanya kafir harbi, yaitu orang kafir dan musuh Islam. Itu hitungannya bukan karena sakadar kekafirannya terhadap Tuhan, namun karena memusuhi itu.

Perlu diketahui, orang muslim sendiri, bahkan sahabat Nabi SAW, yang pada dasarnya sebagai orang beriman dan memang ta’at, namun suatu ketika wajib diboikot oleh ummat Islam. Terkenal dalam ayat Al-Quran, al-hadits, dan sejarah Islam tentang kasus Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin Rabi’ yang diboikot oleh Nabi SAW beserta seluruh sahabat, termasuk keluar­ganya pun tak boleh melayaninya; gara-gara Ka’ab bin Malik dkk ini tidak ikut perang jihad (saat itu Perang Tabuk) padahal dalam keadaan segar bugar tanpa halangan. 50 hari mereka itu diboikot hingga menangis tiap hari, terasa bumi ini sesak, karena salamnya pun tidak boleh dijawab oleh ummat Islam. Setelah tobat dan penderitaannya memuncak dan berlangsung 50 hari, barulah Allah SWT membolehkan tegur sapa dan bergaul kepada Ka’ab dkk itu. (Lihat tafsir QS At-Taubah ayat 118.)

Jadi, persoalan pokok boleh tidaknya berhubungan antar manu­sia, antar bangsa, atau antar negara, itu bukan sekadar memperca­yai Tuhan atau tidaknya. Memang tentang kepercayaan atau keyaki­nannya itu menjadi salah satu unsur yang diperhitungkan, tetapi tidak langsung hantam kromo atau menggebyah uyah seperti yang dikatakan Gus Dur itu.

Setelah jelas bahwa logika Gus Dur itu jauh dari kebenaran, lalu dalam kenyataan, masih pula ia jauh lagi dalam hal perencanaan teknisnya. Yaitu, untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel, kini belum, tetapi untuk hubungan ekonomi, ya dibukalah.

Kilah yang keluar dari mulutnya, di antaranya, karena tidak semua Yahudi Israel itu jahat. Dicontohkan, dia sendiri mendirikan lembaga Shimon Peres, dan punya teman-teman orang Yahudi, yang dia anggap baik-baik.

Kilah Gus Dur itu sangat naif. Bisa diambil contoh, di dalam Islam, khamr (minuman keras) dan judi itu ada manfaatnya, tetapi mudharatnya/dosa besarnya lebih besar dibanding manfaatnya. (lihat QS Al-Baqarah: 219). Maka hukum finalnya, khamr dan judi itu haram, keji, dan termasuk perbuatan syetan, wajib dijauhi (lihat QS Al-Maa’idah/ 5:90-91). Bahkan Nabi SAW melaknat 10 orang yang berhubungan dengan khamr.

La’anan Nabiyyu SAW fil khomri ‘asyarotan: ‘Aashirohaa wa mu’tashirohaa wa syaaribahaa wa haamilahaa wal mahmuulata ilaihi wa saaqiyahaa wa baai’ahaa wa aakila tsamanihaa wal musytariya lahaa wal musytaroota lahaa.

“Rasulullah Saw melaknat tentang khamr, sepuluh golongan: 1 yang memerasnya, 2 yang minta diperaskannya, 3 yang meminumnya, 4 yang membawanya, 5 yangminta diantarinya, 6 yang menuangkannya, 7 yang menjualnya, 8 yangmakan harganya, 9 yang membelinya, dan 10 yang minta dibelikannya.” (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Bahkan lagi, orang yang menjual buah anggur kepada pihak yang sudah diketahui membuat khamr pun dilarang.

Man habasal ‘inaba ayyaamal qithoofi hattaa yabii’ahu min Yahuu­diyyin aw nashrooniyyin aw mimman yattakhidzuhu khomron faqod takhohhaman naaro ‘alaa bashiirotin.

“Barangsiapa menahan buah anggurnya pada musim-musim memetik­nya, kemudian dijual kepada seorang Yahudi atau Nasrani atau kepada tukang membuat arak, maka sungguh jelas dia akan masuk neraka.” (HR At-Thabarani dalam Al-Awsath).

(Itu Gus Dur bisa dipastikan telah faham). Lantas, bagaimana kalau Gus Dur membuka hubungan dagang antar Indonesia dengan Israel itu akan mengayakan Israel, yang dengan kekayaannya itu akan lebih gila lagi dalam menggencet Palestina khususnya, dan ummat Islam sedunia pada umumnya? Bukankah hal itu lebih buruk ketimbang sekadar menjual buah anggur kepada produser khamr? Bukankah itu berarti mempersenjatai musuh Islam untuk memerangi Islam?

Kita bandingkan dengan kehidupan sehari-hari saja, biar agak mudah persoalannya. Kita ambil misal, seorang “anak gaul” (perilakunya bebas) telah dilarang oleh orang tuanya, “jangan sampai kamu kawin dengan gadis “Pojokan” (rumahnya di pojokan, misalnya) itu. Karena dia itu anak perampas tanah-tanah orang Islam, pembu­nuh, penipu, perampas masjid ummat Islam, masih mengidap AIDS lagi. Dan dia itu terlibat dalam semua kasus itu.”

Lalu si “anak gaul” ini tetap bersikap cengengesan, dan tetap akan mengadakan hubungan dengan gadis “Pojokan” tersebut. Ketika orang tuanya marah-marah, maka si “anak gaul” ini bilang: “Kan saya hanya bertemanan, Pak. Kalau untuk kawin sih, belum. Ini hanya bertemanan, masa’ nggak boleh? Apakah kalau orang serumah itu menjadi perampok, tidak ada yang tidak merampok? Bayi-bayinya kan belum merampok? Jadi kita berhubungan dengan para perampok seisi rumah itu karena di sana masih ada bayi-bayi yang belum jadi perampok. Dan pula kita bergaul dengan perampok itu agar mereka tidak merampok kita, setelah kita nasehati.”

Sebagai orang tua yang baik, tentu wajib mengambil sikap terhadap anaknya yang sikapnya cengengesan dan ngotot untuk bergaul dengan perampok itu. Sebaliknya, kalau orang tua itu diam saja, atau bahkan mengiyakan, itu justru perlu dipertanyakan. Mungkin si orang tua ini sendiri memang tidak lurus, mungkin takut terhadap keganasan anaknya kalau mengamuk, atau mungkin punya utang (harta atau budi) dengan si perampok tersebut, dll.

Walhasil, dari berbagai segi, tokoh terutama Presiden Abdur­rahman wahid dan Menteri Luar Negeri Dr Alwi Shihab yang ingin menyelenggarakan hubungan ekonomi dengan Israel itu terbukti sangat dangkal cara berfikir ataupun menimbang suatu persoalan.

(Tentang dangkalnya pendapat Dr Alwi Shihab di samping ungkapan­ nya mengaburkan ajaran Islam dan menyakiti ummat Islam, bisa dibaca dalam buku Di Bawah Bayang-bayang Soekarno Soeharto, Tragedi Politik Islam Indonesia dari Orde Lama hingga Orde Baru, Darul Falah Jakarta, 1999, halaman 150-155).

Maka batallah julukan wali, brilliant sekali dsb.nya itu, kalau tidak mau menyebut sebagai sebaliknya. Hanya saja, karena bagaimanapun beliau itu adalah orang yang berpengaruh, apalagi telah menjadi presiden, maka seorang dari kelompok yang sangat keras sikapnya terhadap Israel yaitu Mas Mutammimul Ula SH, setelah jadi anggota DPR, Meskipun demikian, masih agak mendingan sedikit ketimbang Pak Zarkasih Noer dari PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang sama-sama diwawancarai pagi itu, yang memang siang harinya kemudian Zarkasih Noer termasuk yang diumumkan sebagai menteri (tentu pagi itu ia sudah tahu bahwa dirinya akan diumumkan jadi menteri), yakni menteri koperasi, dalam jajaran kabinet yang disebut “Kabinet Persatuan Nasional”. Zaman Presiden Habibi kabinet itu disebut “Kabinet Reformasi”, sedang zaman Soeharto disebut “Kabinet Pembangunan”, yang terakhir kabinet masa Soeharto itu hanya berumur 70 hari karena Soehartonya didemo para mahasiswa berhari-hari hingga turun dari jabatan kepresidenan yang ia istilahkan lengser keprabon, dan diserahkan kepada wakilnya, BJ Habibie.

Masalah kurang kerasnya Mas Tamim dalam menggenjot gagasan Gus Dur tentang mau mengadakan hubungan dagang/ ekonomi dengan Israel ini sangat beda dengan seniornya dalam pergaulan seperti H Ahmad Sumargono. Sekalipun juga jadi anggota DPR namun Bang Gogon (Sumargono) dari awal tampak masih agak lantang dalam kasus akan adanya hubungan ekonomi dengan Israel itu. (Maaf Mas Tamim, ini sekadar ngitik-itik/ mengkilik-kilik, tapi boleh juga dipikirkan). Dan kemudian alhamdulillah, setelah agak ramai penolakan dan protes terhadap kemauan keras Gus Dur itu, khabarnya Mas Tamim bangkit pula menentang ketidakbijakan Presiden Gus Dur dan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab tersebut.

Kembali kepada persoalan awal, ada profesor yang menggelari tokoh dengan gelar wali dan dipuji karena dianggap brilliant sekali, itu pantas sekali dipertanyakan dan diragukan ungkapannya itu.

Kalau profesornya saja seperti itu cara berfikirnya, dan orang yang digelari wali yang sangat brilliant saja seperti itu cara berfikir dan kebijaksanaannya, bisa kita bayangkan, bagaimana orang awamnya yang model mereka. Makanya tak mengherankan bila ajaran shufi yang sangat jauh dari Islam pun dengan mudah menyebar dan dipegangi oleh orang awam secara turun temurun, bahkan menjangkiti orang-orang yang disebut atau menyebut dirinya sebagai intelektual Muslim. Hal yang sangat dimaklumi adanya, sekaligus sebagai keadaan yang sangat perlu dihadapi dengan hikmah dan mau’idhah hasanah.

Barangkali ada yang langsung bergumam dengan mengatakan, tulisan ini sendiri tidak menempuh jalan dengan hikmah dan mau’idhah hasanah, buktinya langsung menunjuk nama Profesor Dawam Rahardjo dan Gus Dur.

Maaf, mereka berdua itu telah menyampaikan pendapat-pendapat tersebut di media massa umum, bahkan kemungkinan sekali jangkauannya lebih luas dari buku ini, yakni koran harian umum, dan televisi swasta yang menjangkau se Indonesia. Sehingga, kebatilan yang mereka umumkan lewat media massa secara luas itu perlu diumumkan pula kebatilannya, agar orang umum tahu bahwa itu batil. Dan sebaliknya, bila apa yang saya (penulis) kemukakan ini batil, maka saya pun akan menerima kebenaran, bila ada yang menjelaskannya dengan bukti-bukti/dalil bahwa pendapat saya ini batil, dan bahkan saya akan berterimakasih, karena kebatilan yang tersebar –akibat aneka kelemahan saya– bisa terhapus. Di samping itu, penyebutan nama-nama tersebut adalah untuk membuktikan secara ilmiah tentang adanya kasus itu, hingga tidak berkadar sebagai karangan fiksi/ khayalan belaka. Karena, masalah ini adalah masalah yang menyangkut agama Islam, satu ajaran yang harus dipertanggung jawabkan di dunia dan bahkan sampai di akherat kelak.

dikutip dari buku Tasawuf Belitan Iblis
karya H Hartono Ahmad Jaiz -

No comments:

Post a Comment