AKAD BA’I TERPAKSA
Oleh
Ustadz Dr Erwandi Tirmidzi MA
Manusia tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhannya sendiri, banyak barang yang dibutuhkannya dimiliki orang lain, seperti seorang petani yang memiliki bahan pangan dia butuh pakaian, maka dia harus menukar sebagian hasil panennya dengan uang dan membeli pakaian dengan uang tersebut, begitu pula sebaliknya.
Dengan demikian dia mesti berinteraksi dengan orang lain untuk menutupi kebutuhannya.
Interaksi seseorang dengan pihak lainnya untuk bertukar barang/jasa diatur oleh Islam dalam fiqh muamalat (fiqh jual beli).
Islam menjelaskan syarat-syarat sahnya sebuah muamalat yang bila tidak terpenuhi maka perpindahan barang dan alat tukar (uang) menjadi haram
Diantara syarat sahnya jual beli yaitu harus dilakukan oleh kedua belah pihak dengan saling ridha (suka sama suka) tanpa ada unsur keterpaksaan.
Seorang yang terpaksa yaitu : Orang yang berada dibawah ancaman fisik pihak lain yang mampu melakukan ancaman tersebut, bila pihak yang dipaksa tidak mau melakukan jual beli. Seperti jual beli yang terjadi di sebagian tempat di beberapa kota di Indonesia, pada saat calon pembeli menawar harga sebuah barang maka dia dipaksa dengan berbagai cara untuk membeli, terkadang dengan ancaman dan gertakan bernada tinggi.
Hukum jual beli ini tidak sah dan perpindahan barang dan status uang dan barang adalah haram, berdasarkan firman Allah Ta’ala.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu” [An-Nisaa : 29]
HARAMKAH, MEMBELI BARANG DENGAN HARGA MURAH KARENA PENJUAL SEGAN TERHADAP PEMBELI?
Telah dijelaskan bahwa tidak sah jual beli terpaksa. Namun, apakah juga termasuk terpaksa bila penjual menurunkan harga karena rasa malu? Seperti seorang meminta diturunkan harga dengan cara merayu penjual di hadapan orang banyak sehingga yang diminta merasa malu, lalu menjualnya dengan harga yang diinginkan pembeli. Para ulama juga memasukkan jual beli ini dalam kategori terpaksa. [1]
Hal ini berbeda bila penjual menurunkan harga barang, atau pembeli membeli melebihi harga pasar atas dasar suka, iba atau hormat kepada pihak kedua tanpa ada unsur keterpaksaan, seperti ; menurunkan harga barang karena pembelinya masih ada hubungan kerabat, atau pembelinya orang miskin atau pembelinya adalah tokoh masyarakat. [2]
Maka hal ini dibolehkan dan jual belinya sah. Dengan dalil, bahwa bersedekah dengan keseluruhan harga barang dibolehkan oleh syari’at maka bersedekah dengan sebagian harga barang tentu dibolehkan.
Sebagaimana jual beli yang terjadi antara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Jabir, di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat melihat unta Jabir yang berjalan dengan lambat lalu menawarnya, maka Jabir berkata, “aku hadiahkan untukmu, wahai Rasulullah”, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarnya berulang kali, sehingga Jabir menjualnya dengan harga 1 uqiyah (+/- 119 gr emas 24 karat). Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membayarnya 1 uqiyah + 1 qirath (+/- 0,18 gr emas 24 karat). (HR Muslim).
Dalam hadits ini jelas bahwa Nabi melebihkan harga unta atas dasar iba kepada sahabatnya.
HARAMKAH, MEMBELI BARANG DENGAN HARGA MURAH KARENA SI PENJUAL TERDESAK BUTUH UANG?
Hidup ini tidak selalu berjalan seperti yang kita rencanakan, terkadang kita telah merencanakan dan mempersiapkan segala sesuatu untuk mengatasi kemungkinan yang akan terjadi, akan tetapi yang terjadi diluar kehendak kita, hal ini karena hidup yang kita jalani telah ditentukan Allah 50 ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi. [3]
Maka terkadang seseorang menghadapi keadaan sulit di mana dia terdesak butuh uang segera untuk keperluan yang mendesak. Dan dia tidak mendapatkan pinjaman uang yang bebas dari bunga riba. Maka dia harus menjual barangnya dengan harga murah dibawah harga pasar. Apakah boleh bagi seorang muslim membeli barang tersebut dengan harga murah?
Ulama dalam mazhab Hanafi dan sebagian ulama dalam mazhab Hanbali menyatakan tidak sah jual beli ini yang berarti perpindahan uang dan barang tidak halal. Yang menjadi argumen pendapat mereka adalah sebuah hadits :
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang penjualan orang yang terdesak”. [HR Abu Daud]
Imam Ahmad menjelaskan maksud hadits ini bahwa seseorang yang terdesak butuh biaya lalu datang kepada anda untuk menjual barang miliknya dengan harga 10 dinar, sedangkan harga pasar barang tersebut 20 dinar. [4]
Akan tetapi hadits yang menjadi dalil pendapat ini dhaif karena di dalam sanadnya ada seorang perawi yang tidak dikenal. [5]
Pendapat kedua yang merupakan pendapat mayoritas para ulama bahwa jual beli ini sah, karena pembeli sesungguhnya turut meringankan beban penjual, andai dia tidak membelinya dengan segera mungkin, maka kesusahan penjual semakin lama untuk mendapatkan biaya yang dia butuhkan.
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim : Bahwa tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusir Yahudi Bani Nadhir [6] dari Madinah, Beliau menganjurkan mereka untuk menjual barang-barang, agar tidak merepotkan dalam perjalanan.
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa boleh hukumnya menjual dan membeli barang dengan harga miring disebabkan penjual terdesak butuh uang, karena Yahudi Bani Nadhir terpaksa menjual barang-barang mereka dengan harga murah agar tidak merepotkan mereka dalam perjalanan keluar dari kota Madinah. Jika jual beli ini tidak dibolehkan tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan menyarankan mereka untuk melakukannya.[7]
JUAL BELI TERPAKSA YANG DIBOLEHKAN
Pada dasarnya jual beli terpaksa hukumnya tidak boleh dan tidak sah, namun dalam kondisi tertentu jual beli terpaksa dibolehkan syari’at.
Seperti, Qadhi (hakim) yang menjual terpaksa sisa harta orang yang jatuh pailit untuk menutupi utangnya atau ia menjual barang agunan untuk menutupi utang pemilik barang yang jatuh tempo. [8]
Termasuk juga dalam jual beli terpaksa yang dibolehkan orang yang dipaksa untuk menjual tanah dan rumahnya karena terkena proyek pembuatan jalan raya atau perluasan fasilitas umum, seperti ; masjid, rumah sakit, taman kota, stasiun, terminal bis dan lain sebagainya [9]. Maka jual beli yang terjadi hukumnya sah sekalipun mereka dipaksa untuk menjual rumah dan tanahnya, dengan syarat pihak pemerintah memberikan ganti rugi yang adil (layak sesuai dengan harga pasar).
Hal itu didasarkan atas kebijakan Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu yang menggusur rumah-rumah yang berada di sekitar Masjidil Haram dan memberikan ganti rugi kepada para pemilik rumah dan tanah yang terkena penggusuran, namun pada saat itu ada beberapa orang yang menolak penggusuran rumah mereka, maka Umar menggusur paksa serta meletakkan uang ganti rugi di dalam Ka’bah. [HR Baihaqi]
Kebijakan ini diikuti oleh Khalifah setelahnya Utsman bin Affan Radhiyallahu anhu. Sebagaimana diriwayatkan oleh Azraqy (wafat 223H), “…Di masa khalifah Utsman jumlah kaum muslimin berziarah ke Mekkah terus bertambah … maka beliau memperluas Masjidil Haram…. Beliau membeli rumah-rumah di sekitarnya. Sebagian orang enggan menjualnya. Lalu Utsman membongkar paksa rumah mereka. Namun para pemilik rumah menghalanginya. Maka Utsman memanggil mereka, seraya berkata ; “Kalian berani menghadang kebijakanku karena tahu akan kesantunanku. Padahal dulu Umar membongkar rumah disekitar Masjidil Haram dan tidak seorangpun yang menghadangnya”. Lalu Utsman memenjarakan mereka beberapa hari lamanya”. [10]
Kebijakan dua orang khalifah tersebut untuk menggusur paksa tidak ditentang oleh para shahabat, dengan demikian ini bisa dianggap sebagai ijma.
Jual beli paksa untuk kepentingan umum ini dibenarkan dan dikukuhkan oleh Himpunan Ulama Fiqh Sedunia Islam yang tergabung di bawah OKI dengan nomor keputusan (29) 4/4 Tahun 1988M, dengan menambahkan beberapa persyaratan yang wajib diperhatikan saat hal itu dilakukan. Bunyi keputusan tersebut adalah : “Setelah menelaah penelitian-penilitian yang diajukan oleh para pakar fiqh tentang hukum penggusuran secara paksa demi kepentingan umum yang membolehkan hal tersebut berdasarkan dalil dari hadits dan perbuatan para shahabat (khalifah Umar dan Utsman) serta kebijakan para pemimpin selanjutnya …. Maka diputuskan. :
Tidak boleh melakukan penggusuran paksa untuk kepentingan umum keculi dengan memperhatikan hal berikut :
• Pemilik tanah dan rumah yang digusur paksa harus mendapat ganti rugi yang adil, ditentukan oleh pihak ketiga yang berpengalaman, dan harganya tidak boleh di bawah harga pasar serta dibayar sesegera mungkin
• Pihak yang menggusur hanyalah pemerintah setempat atau instansi yang ditunjuk oleh pemerintah.
• Tujuan penggusuran untuk kepentingan umum yang sifatnya menyangkut kebutuhan mendesak untuk orang banyak, seperti masjid, jalan dan jembatan.
• Tujuan penggusuran bukan untuk investasi pemerintah atau pribadi.
Jika salah satu persyaratan di atas di langgar maka status penggusurannya termasuk kezaliman dan merampas hak rakyat yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. [11]
CATATAN
Tidak termasuk dalam akad ba’i terpaksa, transaksi yang dikenal dengan akan iz’an (contract of adhesion) dimana pihak yang kuat secara ekonomi memaksakan harga dan persyaratan-persyaratan yang menguntungkannya terhadap pihak yang lemah. Seperti transaksi pemasangan air bersih, telepon, listrik, angkutan umum dan lainnya.
Dalam akad ini, para pelanggan sama sekali tidak dapat mengubah harga serta persyaratan yang dibuat oleh pihak perusahaan pemberi layanan. Kalau tidak menyetujui, mereka tidak akan mendapatkan pelayanan yang mereka butuhkan.
Akad ini tidak mengandung unsur paksaan, karena pelanggan saat ingin mengajukan permohonan tidak seorangpun yang memaksa mereka. [12]
Oleh karena itu, akad ini dibenarkan oleh Islamic Fiqh Council (OKI) dengan keputusan no. 132 (6/4) tahun 2004M. selama harga yang ditentukan oleh pemberi jasa/barang layak dan tidak zalim. Wallahu a’lam bishshawab..
Riyadh, 24 Rajab 1432H
[Disalin dari Majalah Pengusaha Muslim, Edisi 19 Volume 2/Agustus 2011. Alamat Redaksi Gang Timor Timur D-9 Jalan Kaliurang Km 6.5 Yogyakarta, Telp Kantor 0274 8378008, Redaksi 0815 0448 6585. Penerbit Yayasan Bia Pengusaha Muslim Jakarta]
_______
Footnote
[1]. Ar-Ramli Nihayatul Muhtaj jilid 5 halaman 146 dan Ibnu Utsaimin Asy-Syarh Mumti jilid 8 halaman 108.
[2]. Walid Al-Muiidy, AlMuhabah fil uqudil maliyah, jilid 1 halaman 83
[3]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Nabi bersabda, “Allah telah menuliskan takdir seluruh makhluk-Nya lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. No hadits 2653
[4]. Walid Al-Mu’iidy, AlMuhabah fil uqudil maliya, jilid 1 halaman 180
[5]. AlBani Dhaif Sunan Abu Daud halaman 273
[6]. Dikarenakan pelanggaran mereka terhadap perjanjian yaitu mereka merencanakan pembunuhan Nabi ketika beliau berada di pintu benteng Yahudi untuk suatu keperluan dengan melemparkan batu besar ke arah Nabi. Rencana pembunuhan gagal karena saat itu Jibril memberitahukan kepada Nabi rencana busuk tersebut. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-4 Hijriyah.
[7]. Walid Al-Mu’iidy, AlMuhabah fil uqudil maliya, jilid 1 halaman 183
[8]. DR. Fahd Al Umary Naz’ul Milkiyyah Al Khasshah hal.215
[9]. DR. Fahd Al Umary Naz’ul Milkiyyah Al Khasshah hal.317
[10]. Az Raqy Akhbar Makkah, jilid II hal 69
[11]. Qararat wa Taushiyat Majma’ Fiqh Islami hal.29
[12]. DR Shaleh Al Ghulaiqah, Shiyagah al Uqud fil Fih Islami hal 99
No comments:
Post a Comment