Pendapat yang kedua ini lebih kuat dan lebih benar. Hal itu
dikarenakan beberapa hal, diantaranya adalah :
Pertama : Sholat Jum’at hukumnya berbeda dengan Sholat
Dhuhur, sehingga tidak boleh disamakan. Pelaksanaan solat qobliyah jumaat tidak
boleh di qiyaskan dengan adanya solat qobliyah dhuhur, kerana qiyas dalam
ibadah itu batil.
Terkadang mereka berhujah dengan keumuman sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Di antara dua azan, ada shalat sunah.”
Alasan ini telah dijawab Ibnul Qayyim sebagai berikut, “…
Setelah Bilal selesai berazan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
langsung berkhotbah, dan tidak ada satu pun sahabat yang melakukan shalat dua
rakaat, dan azan hanya sekali. Ini menunjukkan bahwasanya shalat Jumat itu
sebagaimana shalat ‘id, tidak ada shalat sunah sebelumnya. Ini adalah pendapat
yang paling kuat di antara dua pendapat ulama (dalam masalah ini), dan
demikianlah yang ditunjukkan oleh sunah, karena setelah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam keluar rumah, beliau naik mimbar dan Bilal langsung
mengumandangkan azan shalat Jumat.
Setelah selesai azan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
langsung berkhotbah, tanpa ada jarak waktu. Ini diketahui oleh semua orang.
Kalau begitu, bagaimana mungkin sahabat bisa (punya waktu) shalat sunah
(sebelum shalat Jumat)? Oleh karena itu, siapa saja yang meyangka bahwa setelah
Bilal berazan, para sahabat melakukan shalat sunah, maka ini pendapat yang
sangat keliru. Yang telah kami sebutkan di atas, bahwasanya tidak ada shalat
sunah khusus sebelum shalat Jumat adalah pendapat Imam Malik, Imam Ahmad, dan
pendapat paling mayoritas di antara ulama Syafi’iyah.” (Zadul Ma’ad,
1:411)
Ibnu Al-Hajj mengatakan dalam Al-Madkhal, 2:239,
“Sesungguhnya, para sahabat adalah orang yang paling tahu dengan keadaan dan
paling paham dengan hadis ini (yaitu antara dua azan ada shalat sunah), maka
tidak ada yang bisa menenangkan diri kita selain dengan mengikuti amalan yang
mereka lakukan.” (Ahadist Al-Jumu’ah, hlm. 317)
Ada juga yang berhujah bahwa mungkin Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melakukan shalat sunah tersebut di rumahnya, setelah
matahari tergelincir, baru kemudian keluar rumah dan berkhotbah.
Pernyataan ini telah dijawab oleh Abu Syamah, dalam Al-Ba’its,
“Andaikan itu terjadi, tentu akan disampaikan oleh para istri beliau,
sebagaimana mereka menceritakan tentang shalat sunah yang dikerjakan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik siang maupun malam, dan tata caranya ….
Dengan demikian, jika tidak ada nukilan riwayat dari mereka maka pada asalnya
shalat tersebut tidak ada dan menunjukkan bahwa hal itu tidak pernah terjadi,
juga shalat tersebut tidak disyariatkan.” (Al-Ba’its ‘ala Inkar Al-Bida’ wa
Al-Hawadits, hlm. 97)
Syaikh Masyhur Hasan Salman berkata, ”Seandainya itu
terjadi, niscaya para istri beliau akan menceritakannya, sebagaimana mereka
menceritakan semua shalat beliau di rumahnya. Baik shalat siang maupun malam,
bagaimana shalat tahajudnya dan bangun pada malam hari. Tentang hal itu
(qabliyah Jum’at, red.) tidak benar sedikitpun. Dan pada asalnya adalah
ketidakadaanya. (Ini) menunjukkan, bahwa hal tersebut tidak terjadi dan tidak
disyari’atkan.
Adapun sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Al Hasan
Abdurrahman bin Muhammad bin Yasir dalam (hadits Abu Qasim Ali bin Ya’kub, 108)
dari Ishaq bin Idris, telah menceritakan kepada kami Aban, telah bercerita
kepada kami, Ashim Al Ahwal dari Nafi’ dari ‘Aisyah secara marfu’ dengan
lafazh,
كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الْجُمْعَةِ
رَكْعَتَيْنِ فِي أَهْلِهِ
Maksudnya : Rasulullah biasa shalat dua raka’at sebelum Jum’at di rumahnya.
Maksudnya : Rasulullah biasa shalat dua raka’at sebelum Jum’at di rumahnya.
Maka hadits ini batil lagi palsu. Ishaq telah merusaknya.
Dia adalah al aswari al bashari. Ibnu Mu’ayyan berkata tentang Ishaq,” Dia
seorang pendusta, pemalsu hadits.” (Lihat Al Ajwibah An Nafi’ah, hlm. 28).
Pendusta ini, hanya seorang diri dalam meriwayatkan hadits ini.
Kemudian apabila ada yang berkata “Sesungguhnya, Jum’at
merupakan shalat dzuhur yang diringkas. Maka seperti Dzuhur, Jum’at pun
memiliki sunnah qabliyah.”
Menanggapi pendapat seperti ini, Syaikh Masyur Hasan Salman berkata: Perkataan ini keluar dari kebenaran dari berbagai sisi.
Menanggapi pendapat seperti ini, Syaikh Masyur Hasan Salman berkata: Perkataan ini keluar dari kebenaran dari berbagai sisi.
1. Tidak boleh menggunakan qiyas dalam pensyari’atan shalat.
[Lihat Bidayah Mujtahid 1/172) dan Al Baits ’Ala Inkaril Bida’ Wal Hawadits,
hlm. 92].
2. Sesungguhnya, sunnah adalah apa yang berasal dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berupa ucapan ataupun perbuatan, atau sunnah
khalifah beliau yang mendapat petunjuk. Dan dalam permasalahan kita ini, tidak
termasuk hal tersebut. Tidak boleh menetapkan sunnah-sunnah seperti dalam hal
ini dengan qias. Karena penetapan qias adalah termasuk hal-hal yang sebab
perbuatannya diakui pada zaman Nabi, sehingga bila Rasulullah tidak melakukan
dan tidak mensyari’atkannya, maka meninggalkan perbuatan tersebut merupakan
sunnah.
3. Jum’at merupakan shalat yang berdiri sendiri yang berbeda
dengan shalat Dzuhur dalam hal jahr (mengeraskan bacaan), bilangan raka’at,
khutbah dan syarat-syaratnya namun waktu pelaksanaannya sama dengan zhuhur. Dan
bukanlah menyamakan sesuatu karena ada unsur kesamaan lebih baik dari pada
membedakan, bahkan dalam hal ini membedakan antara zhuhur dan jum’at lebih baik
karena segi perbedaannya lebih banyak. [Zaadul Ma’ad 1/432].
4. Dalam Shahih-nya, Bukhari mengeluarkan riwayat dari Ibnu
Umar. Ibnu Umar berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الْجُمُعَةِ
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الْجُمُعَةِ
Aku shalat bersama Nabi dua raka’at sebelum Dzuhur, dua
raka’at setelah Dzuhur, dua raka’at sesudah Maghrib dan dua raka’at setelah
Isya’ serta dua raka’at setelah Jum’at.
Riwayat tersebut menunjukkan, bahwa Jum’at -menurut mereka- bukanlah Dzuhur. Seandainya Jum’at masuk dalam nama Dzuhur, niscaya jum’at tidak perlu disebut. Kemudian dalam riwayat tersebut tidak disebutkan adanya sunnah sebelum Jum’at, melainkan sesudahnya saja. Ini menunjukkan bahwa tidak ada sholat sunnat sebelum Jum’at. [Al Baits ‘Ala Inkaril Bida’ Wal Hawadits, 94].
Riwayat tersebut menunjukkan, bahwa Jum’at -menurut mereka- bukanlah Dzuhur. Seandainya Jum’at masuk dalam nama Dzuhur, niscaya jum’at tidak perlu disebut. Kemudian dalam riwayat tersebut tidak disebutkan adanya sunnah sebelum Jum’at, melainkan sesudahnya saja. Ini menunjukkan bahwa tidak ada sholat sunnat sebelum Jum’at. [Al Baits ‘Ala Inkaril Bida’ Wal Hawadits, 94].
5. Anggaplah bahwa Jum’at merupakan Dzuhur yang qashar
(diringkas). Akan tetapi Nabi saw tidak
pernah melakukan shalat sunnah Dzuhur yang diringkas dalam safarnya, baik
sebelum maupun setelahnya. Beliau hanya mengerjakan sunnat-sunnat Dzuhur ketika
mengerjakan dhuhur secara sempurna. Maka, jika keberadaan sunnah dalam Dzuhur
yang diringkas berbeda dengan Dzuhur yang genap, maka apa yang disebutkan oleh
mereka menjadi bantahan bagi mereka, bukan membela mereka.
Oleh sebab itulah, mayoritas (jumhur) imam sepakat, bahwa tidak ada sunnah qabliyah Jum’at yang ditentukan dengan waktu dan bilangan tertentu. Karena sunnah itu hanya boleh ditetapkan dengan ucapan ataupun perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan shalat tersebut, baik dengan perkataan maupun perbuatannya. Demikian ini merupakan madzhab Imam Malik dan Imam Syafi’i serta kebanyakan pengikutnya. Ini pula yang populer di kalangan madzhab Imam Ahmad. [Fatawa Ibnu Taimiyyah, 1/136 dan Majmunah Ar Rasail Al Kubra, 2/167-168]
Oleh sebab itulah, mayoritas (jumhur) imam sepakat, bahwa tidak ada sunnah qabliyah Jum’at yang ditentukan dengan waktu dan bilangan tertentu. Karena sunnah itu hanya boleh ditetapkan dengan ucapan ataupun perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan shalat tersebut, baik dengan perkataan maupun perbuatannya. Demikian ini merupakan madzhab Imam Malik dan Imam Syafi’i serta kebanyakan pengikutnya. Ini pula yang populer di kalangan madzhab Imam Ahmad. [Fatawa Ibnu Taimiyyah, 1/136 dan Majmunah Ar Rasail Al Kubra, 2/167-168]
Kedua :
Hadits-hadist yang menunjukan adanya sholat qabliyah jum’at adalah
hadist-hadist dho’if yang tidak bisa dijadikan sandaran.
Al-Albani
rahimahullah mengatakan:
“Semua hadits yang
diriwayatkan berkenaan dengan shalat sunnah Qabliyah Jum’at Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak ada yang shahih sama sekali, yang
sebagian lebih dha’if dari sebagian yang lain” [Silsilah al-Ahaadiits
ash-Shahiihah (no. 232)]
Diantara hadist-hadist dhoif tersebut adalah :
Hadis yang telah
diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dan al-Thabraniy rahimahullah iaitu:
كَانَ
يُصَلِّي قَبْلَ اَلْجُمُعَة أَرْبَعًا وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا لاَ يُفْصَلُ فِي
شَيْءٍ مِنْهُنَّ.
Maksudnya:
Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam selalu solat sebelum (Qabliyah) Jumaat empat rakaat dan sesudah
(Ba’diyah) sebanyak empat rakaat, baginda tidak memisahkan di antara empat
rakaat itu (dengan salam). - Hadis riwayat Imam Ibnu
Majah dalam Sunannya, Kitab Iqamah al-Shalah wa al-Sunnah Fiha,
no: 1119 dan Imam al-Thabraniy dalam kitab al-Mu’jam Kabir, no: 12674.
Namun begitu perawi-perawi
dalam sanad hadis ini telah dikritik hebat oleh ulamak hadis seperti Imam
Ahmad, Imam al-Bushiriy, Imam al-Zayla’iy, Imam Ibnu Qayyim, Imam al-Nawawi,
al-Hafidz Ibnu Hajar dan Imam al-Albani rahimahullah sehingga taraf
hadis ini adalah berstatus dha’if jiddan (sangat lemah). Ulamak hadis telah bersepakat bahawa hadis dha’if Jiddan
tidak boleh dijadikan sandaran untuk menetapkan hukum.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah iaitu
seorang tokoh ulamak hadis bermazhab Syafi’i juga telah berkata:
Ada juga hadis yang menyebutkan disunnahkan
melaksanakan solat sunat sebelum (Qabliyah) Jumaat, tetapi sanad hadis
ini dha’if (lemah). Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah oleh al-Bazzar:
كَانَ
يُصَلِّي قَبْلَ اَلْجُمُعَة رَكْعَتَيْنِ وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا.
Maksudnya:
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam melaksanakan solat sunat dua rakaat sebelum (Qabliyah) solat
Jumaat, dan empat rakaat setelah solat Jumaat.”
Hadis serupa daripada ‘Ali yang diriwayatkan oleh
Atsram dan Thabraniy dalam kitab al-Ausath:
كَانَ
يُصَلِّي قَبْلَ اَلْجُمُعَة أَرْبَعًا وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا.
Maksudnya:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
melaksanakan solat sunat sebelum (Qabliyah) solat Jumaat empat rakaat dan
setelahnya empat rakaat.”
Akan tetapi dalam silsilah sanad riwayat ini
terdapat Muhammad bin Abdurrahman al-Sahmi, dan dia adalah orang yang dha’if
(lemah) menurut Imam al-Bukhari dan lainnya. Atsram mengatakan bahawa hadis ini
adalah hadis yang lemah. Daripada Ibnu ‘Abbas juga disebutkan hadis yang
serupa, akan tetapi dengan tambahan لاَ يُفْصَلُ فِي
شَيْءٍ مِنْهُنَّ “Baginda
tidak memisahkan empat rakaat itu (dengan salam)”. Ibnu Majah meriwayatkan
hadis ini dengan sanad yang lemah. Imam al-Nawawi mengatakan dalam kitab al-Khulashah,
bahawa hadis ini adalah hadis yang batil. Hadis ini juga disebutkan daripada
Ibnu Mas’ud dan silsilah sanadnya lemah dan terputus. – Rujuk Al-Hafidz Ibnu
Hajar al-’Asqalani, Fathul Baari, Jilid 5, ms. 210-211 ketika
mengsyarah no: 937.
Di sana ada hadist yang dijadikan dalil bagi yang mengatakan
adanya sunnah qabliyah jum'at, hadist tersebut menyebutkan bahwa :
“Ibnu ‘Umar biasa memanjangkan shalat sebelum shalat Jum’at
dan mengerjakan shalat dua rakaat setelahnya di rumahnya. Dan dia menyampaikan
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan hal tersebut.” (
HR Abu Daud dan Ibnu Hibban )
Hadist di atas tidaklah menunjukkan adanya sunnah qabliyah
jum’at, karena maksud dari kalimat : “Ibnu ‘Umar biasa memanjangkan shalat
sebelum shalat Jum’at” adalah sholat sunnah mutlaq atau sholat tahiyatul
masjid.
Jadi, disunnahkan pada hari jum’at, ketika masuk masjid
untuk mengerjakan sholat sunnah tahiyatul masjid, berdasarkan sabda Nabi saw :
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ
فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
“Jika
seorang dari kalian masuk masjid, maka shalatlah
dua raka’at sebelum ia duduk.” (Bukhåriy-Muslim)
Jika
kita masuk masjid ketika imam sedang berkhutbah, maka hendaklah meringankan
solatnya, berdasarkan sabda Nabi saw :
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
وَاْلإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيْهِمَا.
“Jika
seorang dari kalian datang (untuk) pada hari Jum’at
sementara imam sedang berkhuthbah, maka shalatlah dua raka’at, dan ringankanlah
shalatnya tersebut.”(Bukhåriy-Muslim)
Sholat Sunnah ( sunah muthlaq ) ketika Menunggu Imam atau Khatib
Jika ada waktu longgar ( waktu yang lapang ) disunnahkan
juga untuk sholat sunnah mutlak, sampai imam naik mimbar. Sholat sunnah
tersebut bukanlah sholat sunnah qabliyah jum’at, walaupun dikerjakan sebelum
adzan Jum’at. Berdasarkan hadis dibawah ini :
Abu Huroiroh radhiallahu
‘anhu menuturkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنِ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِرَ لَهُ ثُمَّ
أَنْصَتَ حَتَّى يَخْلُوَ مِنْ خُطْبَتِهِ ثُمَّ يُصَلِّي مَعَهُ غُفِرَ لَهُ مَا
بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى وَفَضْلُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ.
“Barang siapa
mandi kemudian datang untuk sholat Jumat, lalu ia sholat semampunya
dan dia diam mendengarkan khotbah hingga selesai, kemudian sholat
bersama imam maka akan diampuni dosanya mulai jum’at ini sampai jum’at
berikutnya ditambah tiga hari.”
(HR. Muslim)
Imam
al-Syafi’i rahimahullah telah memperjelaskan tentang kewujudan solat
sunat Mutlak ini di dalam kitabnya al-Umm. Beliau telah menyatakan:
Dikhabarkan kepada kami oleh Ibrahim bin
Muhammad, yang mengatakan dikhabarkan kepada saya oleh Ishak bin Abdullah,
daripada Sa’id al-Maqburi, daripada Abu Hurairah, bahawa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam melarang solat pada tengahari, sehinggalah gelincir
matahari, selain Jumaat. – Rujuk kitab al-Umm (Kitab Induk) karya Imam
al-Syafi’i, jilid 2, ms. 21.
Dikhabarkan kepada kami oleh Malik daripada
Ibnu Syihab, daripada Tsa’labah bin Abi Malik, bahawa dia mengkhabarkan
kepadanya, bahawa mereka itu berada pada zaman ‘Umar bin al-Khatthab radhiallahu’
anh pada hari Jumaat mengerjakan solat (sunat Mutlak) sehingga datanglah
‘Umar bin al-Khatthab. Tatkala ‘Umar telah datang dan duduk atas mimbar dan
juru azan melakukan azan, mereka duduk berbincang-bincang. Sehingga apabila
juru azan sudah diam, nescaya mereka itu diam. Dan tiada seorangpun yang
berbicara. Disampaikan hadis kepada saya oleh Ibnu Abi Fudaik, daripada Ibnu
Abi Dzi’b, daripada Ibnu Syihab, yang mengatakan, disampaikan hadis kepada saya
oleh Tsa’labah bin Abi Malik, bahawa duduk imam itu memutuskan bertasbih. Dan
perkataan imam itu memutuskan perkataan orang-orang yang hadir. Mereka itu
berbincang-bincang pada hari Jumaat dan ‘Umar duduk atas mimbar. Apabila
juruazan sudah diam, nescaya ‘Umar berdiri, lalu tiada seorangpun yang
berkata-kata sehingga diselesaikan oleh ‘Umar akan khutbah itu seluruhnya.
Apabila dibacakan iqamah untuk solat dan ‘Umar turun, lalu mereka itu
berkata-kata.
Apabila manusia pergi menghadiri solat Jumaat,
nescaya mereka itu bersolat, sehingga jadilah imam di atas mimbar. Apabila imam
telah berada di atas mimbar, nescaya dicegah dari mereka itu orang yang telah
mengerjakan solat dua rakaat (Tahiyyatul Masjid ) atau lebih dari
berkata-kata. Sehingga imam itu sudah mulai berkhutbah. Apabila dia telah mula
berkhutbah, nescaya diam dengan memperhatikan. – Rujuk kitab al-Umm (Kitab Induk)
karya Imam al-Syafi’i, jilid 2, ms. 22.
Berkenaan dengan solat sunat mutlak ini,
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata:
Dianjurkan
bagi orang yang masuk masjid pada hari Jumaat (bila sahaja) untuk mengerjakan
solat sunat Mutlak sebelum duduk tanpa terikat dengan bilangan (rakaat ), juga
tidak ditentukan waktunya, hingga imam keluar. Atau duduk ketika masuk masjid
setelah solat Tahiyyatul Masjid atau sebelumnya. – Rujuk Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani, Al-Awjiba an-Naafi’ah ‘an As’ilati Lajnah Masjid
al-Jaami’ah, (edisi terjemahan dengan tajuk Solat Jum’at Bersama
Rasulullah : Hukum Dan Bid’ah Solat Jumaat, Najla Press, Jakarta, 2002) ms.
60.
Apa yang perlu
dicatat, tidak terdapat solat sunat Qabliyah Jumaat. Ini disebabkan,
apabila Bilal selesai melaungkan azan, maka Nabi s.a.w. terus menyampaikan
khutbah tanpa ada selang waktu. Inilah yang terjadi. Maka bagaimana mungkin ada
anggapan bahawa setelah Bilal azan mereka bangkit untuk mendirikan solat sunat
dua rakaat. – Rujuk Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Mukhtashar Zaadul Ma’ad, ms.
47.
No comments:
Post a Comment