Sunday, June 24, 2012

Adakah Disyari’atkan Solat Qabliyah Jumaat?


Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, sebagian mengatakan bahwa sholat sunnah qabliyah Jum’at adalah amalan yang disunnahkan, sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa sholat qabliyah jum’at tidak ada dan tidak disunnahkan sama sekali.
Pendapat yang kedua ini lebih kuat dan lebih benar. Hal itu dikarenakan beberapa hal, diantaranya adalah :
Pertama : Sholat Jum’at hukumnya berbeda dengan Sholat Dhuhur, sehingga tidak boleh disamakan. Pelaksanaan solat qobliyah jumaat tidak boleh di qiyaskan dengan adanya solat qobliyah dhuhur, kerana qiyas dalam ibadah itu batil.
Terkadang mereka berhujah dengan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Di antara dua azan, ada shalat sunah.”
Alasan ini telah dijawab Ibnul Qayyim sebagai berikut, “… Setelah Bilal selesai berazan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung berkhotbah, dan tidak ada satu pun sahabat yang melakukan shalat dua rakaat, dan azan hanya sekali. Ini menunjukkan bahwasanya shalat Jumat itu sebagaimana shalat ‘id, tidak ada shalat sunah sebelumnya. Ini adalah pendapat yang paling kuat di antara dua pendapat ulama (dalam masalah ini), dan demikianlah yang ditunjukkan oleh sunah, karena setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah, beliau naik mimbar dan Bilal langsung mengumandangkan azan shalat Jumat.
Setelah selesai azan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung berkhotbah, tanpa ada jarak waktu. Ini diketahui oleh semua orang. Kalau begitu, bagaimana mungkin sahabat bisa (punya waktu) shalat sunah (sebelum shalat Jumat)? Oleh karena itu, siapa saja yang meyangka bahwa setelah Bilal berazan, para sahabat melakukan shalat sunah, maka ini pendapat yang sangat keliru. Yang telah kami sebutkan di atas, bahwasanya tidak ada shalat sunah khusus sebelum shalat Jumat adalah pendapat Imam Malik, Imam Ahmad, dan pendapat paling mayoritas di antara ulama Syafi’iyah.” (Zadul Ma’ad, 1:411)
Ibnu Al-Hajj mengatakan dalam Al-Madkhal, 2:239, “Sesungguhnya, para sahabat adalah orang yang paling tahu dengan keadaan dan paling paham dengan hadis ini (yaitu antara dua azan ada shalat sunah), maka tidak ada yang bisa menenangkan diri kita selain dengan mengikuti amalan yang mereka lakukan.” (Ahadist Al-Jumu’ah, hlm. 317)
Ada juga yang berhujah bahwa mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sunah tersebut di rumahnya, setelah matahari tergelincir, baru kemudian keluar rumah dan berkhotbah.
Pernyataan ini telah dijawab oleh Abu Syamah, dalam Al-Ba’its, “Andaikan itu terjadi, tentu akan disampaikan oleh para istri beliau, sebagaimana mereka menceritakan tentang shalat sunah yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik siang maupun malam, dan tata caranya …. Dengan demikian, jika tidak ada nukilan riwayat dari mereka maka pada asalnya shalat tersebut tidak ada dan menunjukkan bahwa hal itu tidak pernah terjadi, juga shalat tersebut tidak disyariatkan.” (Al-Ba’its ‘ala Inkar Al-Bida’ wa Al-Hawadits, hlm. 97)
Syaikh Masyhur Hasan Salman berkata, ”Seandainya itu terjadi, niscaya para istri beliau akan menceritakannya, sebagaimana mereka menceritakan semua shalat beliau di rumahnya. Baik shalat siang maupun malam, bagaimana shalat tahajudnya dan bangun pada malam hari. Tentang hal itu (qabliyah Jum’at, red.) tidak benar sedikitpun. Dan pada asalnya adalah ketidakadaanya. (Ini) menunjukkan, bahwa hal tersebut tidak terjadi dan tidak disyari’atkan.
Adapun sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Al Hasan Abdurrahman bin Muhammad bin Yasir dalam (hadits Abu Qasim Ali bin Ya’kub, 108) dari Ishaq bin Idris, telah menceritakan kepada kami Aban, telah bercerita kepada kami, Ashim Al Ahwal dari Nafi’ dari ‘Aisyah secara marfu’ dengan lafazh,
كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الْجُمْعَةِ رَكْعَتَيْنِ فِي أَهْلِهِ

Maksudnya : Rasulullah biasa shalat dua raka’at sebelum Jum’at di rumahnya.
Maka hadits ini batil lagi palsu. Ishaq telah merusaknya. Dia adalah al aswari al bashari. Ibnu Mu’ayyan berkata tentang Ishaq,” Dia seorang pendusta, pemalsu hadits.” (Lihat Al Ajwibah An Nafi’ah, hlm. 28). Pendusta ini, hanya seorang diri dalam meriwayatkan hadits ini.
Kemudian apabila ada yang berkata “Sesungguhnya, Jum’at merupakan shalat dzuhur yang diringkas. Maka seperti Dzuhur, Jum’at pun memiliki sunnah qabliyah.”

Menanggapi pendapat seperti ini, Syaikh Masyur Hasan Salman berkata: Perkataan ini keluar dari kebenaran dari berbagai sisi.
1. Tidak boleh menggunakan qiyas dalam pensyari’atan shalat. [Lihat Bidayah Mujtahid 1/172) dan Al Baits ’Ala Inkaril Bida’ Wal Hawadits, hlm. 92].
2. Sesungguhnya, sunnah adalah apa yang berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berupa ucapan ataupun perbuatan, atau sunnah khalifah beliau yang mendapat petunjuk. Dan dalam permasalahan kita ini, tidak termasuk hal tersebut. Tidak boleh menetapkan sunnah-sunnah seperti dalam hal ini dengan qias. Karena penetapan qias adalah termasuk hal-hal yang sebab perbuatannya diakui pada zaman Nabi, sehingga bila Rasulullah tidak melakukan dan tidak mensyari’atkannya, maka meninggalkan perbuatan tersebut merupakan sunnah.
3. Jum’at merupakan shalat yang berdiri sendiri yang berbeda dengan shalat Dzuhur dalam hal jahr (mengeraskan bacaan), bilangan raka’at, khutbah dan syarat-syaratnya namun waktu pelaksanaannya sama dengan zhuhur. Dan bukanlah menyamakan sesuatu karena ada unsur kesamaan lebih baik dari pada membedakan, bahkan dalam hal ini membedakan antara zhuhur dan jum’at lebih baik karena segi perbedaannya lebih banyak. [Zaadul Ma’ad 1/432].
4. Dalam Shahih-nya, Bukhari mengeluarkan riwayat dari Ibnu Umar. Ibnu Umar berkata,

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الْجُمُعَةِ
Aku shalat bersama Nabi dua raka’at sebelum Dzuhur, dua raka’at setelah Dzuhur, dua raka’at sesudah Maghrib dan dua raka’at setelah Isya’ serta dua raka’at setelah Jum’at.

Riwayat tersebut menunjukkan, bahwa Jum’at -menurut mereka- bukanlah Dzuhur. Seandainya Jum’at masuk dalam nama Dzuhur, niscaya jum’at tidak perlu disebut. Kemudian dalam riwayat tersebut tidak disebutkan adanya sunnah sebelum Jum’at, melainkan sesudahnya saja. Ini menunjukkan bahwa tidak ada sholat sunnat sebelum Jum’at. [Al Baits ‘Ala Inkaril Bida’ Wal Hawadits, 94].
5. Anggaplah bahwa Jum’at merupakan Dzuhur yang qashar (diringkas). Akan tetapi Nabi saw  tidak pernah melakukan shalat sunnah Dzuhur yang diringkas dalam safarnya, baik sebelum maupun setelahnya. Beliau hanya mengerjakan sunnat-sunnat Dzuhur ketika mengerjakan dhuhur secara sempurna. Maka, jika keberadaan sunnah dalam Dzuhur yang diringkas berbeda dengan Dzuhur yang genap, maka apa yang disebutkan oleh mereka menjadi bantahan bagi mereka, bukan membela mereka.

Oleh sebab itulah, mayoritas (jumhur) imam sepakat, bahwa tidak ada sunnah qabliyah Jum’at yang ditentukan dengan waktu dan bilangan tertentu. Karena sunnah itu hanya boleh ditetapkan dengan ucapan ataupun perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan shalat tersebut, baik dengan perkataan maupun perbuatannya. Demikian ini merupakan madzhab Imam Malik dan Imam Syafi’i serta kebanyakan pengikutnya. Ini pula yang populer di kalangan madzhab Imam Ahmad. [Fatawa Ibnu Taimiyyah, 1/136 dan Majmunah Ar Rasail Al Kubra, 2/167-168]
Kedua : Hadits-hadist yang menunjukan adanya sholat qabliyah jum’at adalah hadist-hadist dho’if yang tidak bisa dijadikan sandaran.
Al-Albani rahimahullah mengatakan:
“Semua hadits yang diriwayatkan berkenaan dengan shalat sunnah Qabliyah Jum’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak ada yang shahih sama sekali, yang sebagian lebih dha’if dari sebagian yang lain” [Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 232)]
Diantara hadist-hadist dhoif tersebut adalah :
Hadis yang telah diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dan al-Thabraniy rahimahullah iaitu:

كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ اَلْجُمُعَة أَرْبَعًا وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا لاَ يُفْصَلُ فِي شَيْءٍ مِنْهُنَّ.

Maksudnya:   
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu solat sebelum (Qabliyah) Jumaat empat rakaat dan sesudah (Ba’diyah) sebanyak empat rakaat, baginda tidak memisahkan di antara empat rakaat itu (dengan salam). - Hadis riwayat Imam Ibnu Majah dalam Sunannya, Kitab Iqamah al-Shalah wa al-Sunnah Fiha, no: 1119 dan Imam al-Thabraniy dalam kitab al-Mu’jam Kabir, no: 12674.

Namun begitu perawi-perawi dalam sanad hadis ini telah dikritik hebat oleh ulamak hadis seperti Imam Ahmad, Imam al-Bushiriy, Imam al-Zayla’iy, Imam Ibnu Qayyim, Imam al-Nawawi, al-Hafidz Ibnu Hajar dan Imam al-Albani rahimahullah sehingga taraf hadis ini adalah berstatus dha’if jiddan (sangat lemah). Ulamak hadis telah bersepakat bahawa hadis dha’if Jiddan tidak boleh dijadikan sandaran untuk menetapkan hukum.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah iaitu seorang tokoh ulamak hadis bermazhab Syafi’i juga telah berkata:

Ada juga hadis yang menyebutkan disunnahkan melaksanakan solat sunat sebelum (Qabliyah) Jumaat, tetapi sanad hadis ini dha’if (lemah). Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah oleh al-Bazzar:

كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ اَلْجُمُعَة رَكْعَتَيْنِ وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا.
Maksudnya:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan solat sunat dua rakaat sebelum (Qabliyah) solat Jumaat, dan empat rakaat setelah solat Jumaat.”

Hadis serupa daripada ‘Ali yang diriwayatkan oleh Atsram dan Thabraniy dalam kitab al-Ausath:

كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ اَلْجُمُعَة أَرْبَعًا وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا.

Maksudnya:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan solat sunat sebelum (Qabliyah) solat Jumaat empat rakaat dan setelahnya empat rakaat.”

Akan tetapi dalam silsilah sanad riwayat ini terdapat Muhammad bin Abdurrahman al-Sahmi, dan dia adalah orang yang dha’if (lemah) menurut Imam al-Bukhari dan lainnya. Atsram mengatakan bahawa hadis ini adalah hadis yang lemah. Daripada Ibnu ‘Abbas juga disebutkan hadis yang serupa, akan tetapi dengan tambahan لاَ يُفْصَلُ فِي شَيْءٍ مِنْهُنَّ  “Baginda tidak memisahkan empat rakaat itu (dengan salam)”. Ibnu Majah meriwayatkan hadis ini dengan sanad yang lemah. Imam al-Nawawi mengatakan dalam kitab al-Khulashah, bahawa hadis ini adalah hadis yang batil. Hadis ini juga disebutkan daripada Ibnu Mas’ud dan silsilah sanadnya lemah dan terputus. – Rujuk Al-Hafidz Ibnu Hajar al-’Asqalani, Fathul Baari, Jilid  5, ms. 210-211 ketika mengsyarah no: 937.
Di sana ada hadist yang dijadikan dalil bagi yang mengatakan adanya sunnah qabliyah jum'at, hadist tersebut menyebutkan bahwa :
“Ibnu ‘Umar biasa memanjangkan shalat sebelum shalat Jum’at dan mengerjakan shalat dua rakaat setelahnya di rumahnya. Dan dia menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan hal tersebut.” ( HR Abu Daud dan Ibnu Hibban )
Hadist di atas tidaklah menunjukkan adanya sunnah qabliyah jum’at, karena maksud dari kalimat : “Ibnu ‘Umar biasa memanjangkan shalat sebelum shalat Jum’at” adalah sholat sunnah mutlaq atau sholat tahiyatul masjid.
Jadi, disunnahkan pada hari jum’at, ketika masuk masjid untuk mengerjakan sholat sunnah tahiyatul masjid, berdasarkan  sabda Nabi saw :
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
Jika seorang dari kalian masuk masjid, maka shalatlah dua raka’at sebelum ia duduk.” (Bukhåriy-Muslim)
Jika kita masuk masjid ketika imam sedang berkhutbah, maka hendaklah meringankan solatnya,  berdasarkan sabda Nabi saw :
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاْلإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيْهِمَا.
Jika seorang dari kalian datang (untuk) pada hari Jum’at sementara imam sedang berkhuthbah, maka shalatlah dua raka’at, dan ringankanlah shalatnya tersebut.(Bukhåriy-Muslim)

Sholat Sunnah ( sunah muthlaq ) ketika Menunggu Imam atau Khatib

Jika ada waktu longgar ( waktu yang lapang ) disunnahkan juga untuk sholat sunnah mutlak, sampai imam naik mimbar. Sholat sunnah tersebut bukanlah sholat sunnah qabliyah jum’at, walaupun dikerjakan sebelum adzan Jum’at. Berdasarkan hadis dibawah ini :
Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu menuturkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِرَ لَهُ ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَخْلُوَ مِنْ خُطْبَتِهِ ثُمَّ يُصَلِّي مَعَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى وَفَضْلُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ.
“Barang siapa mandi kemudian datang untuk sholat Jumat, lalu ia sholat semampunya dan dia diam mendengarkan khotbah hingga selesai, kemudian sholat bersama imam maka akan diampuni dosanya mulai jum’at ini sampai jum’at berikutnya ditambah tiga hari.” (HR. Muslim)
Imam al-Syafi’i rahimahullah telah memperjelaskan tentang kewujudan solat sunat Mutlak ini di dalam kitabnya al-Umm. Beliau telah menyatakan:

Dikhabarkan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad, yang mengatakan dikhabarkan kepada saya oleh Ishak bin Abdullah, daripada Sa’id al-Maqburi, daripada Abu Hurairah, bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang solat pada tengahari, sehinggalah gelincir matahari, selain Jumaat. – Rujuk kitab al-Umm (Kitab Induk) karya Imam al-Syafi’i, jilid 2, ms. 21.

Dikhabarkan kepada kami oleh Malik daripada Ibnu Syihab, daripada Tsa’labah bin Abi Malik, bahawa dia mengkhabarkan kepadanya, bahawa mereka itu berada pada zaman ‘Umar bin al-Khatthab radhiallahu’ anh pada hari Jumaat mengerjakan solat (sunat Mutlak) sehingga datanglah ‘Umar bin al-Khatthab. Tatkala ‘Umar telah datang dan duduk atas mimbar dan juru azan melakukan azan, mereka duduk berbincang-bincang. Sehingga apabila juru azan sudah diam, nescaya mereka itu diam. Dan tiada seorangpun yang berbicara. Disampaikan hadis kepada saya oleh Ibnu Abi Fudaik, daripada Ibnu Abi Dzi’b, daripada Ibnu Syihab, yang mengatakan, disampaikan hadis kepada saya oleh Tsa’labah bin Abi Malik, bahawa duduk imam itu memutuskan bertasbih. Dan perkataan imam itu memutuskan perkataan orang-orang yang hadir. Mereka itu berbincang-bincang pada hari Jumaat dan ‘Umar duduk atas mimbar. Apabila juruazan sudah diam, nescaya ‘Umar berdiri, lalu tiada seorangpun yang berkata-kata sehingga diselesaikan oleh ‘Umar akan khutbah itu seluruhnya. Apabila dibacakan iqamah untuk solat dan ‘Umar turun, lalu mereka itu berkata-kata.

Apabila manusia pergi menghadiri solat Jumaat, nescaya mereka itu bersolat, sehingga jadilah imam di atas mimbar. Apabila imam telah berada di atas mimbar, nescaya dicegah dari mereka itu orang yang telah mengerjakan solat dua rakaat (Tahiyyatul Masjid ) atau lebih dari berkata-kata. Sehingga imam itu sudah mulai berkhutbah. Apabila dia telah mula berkhutbah, nescaya diam dengan memperhatikan. – Rujuk kitab al-Umm (Kitab Induk) karya Imam al-Syafi’i, jilid 2, ms. 22.

Berkenaan dengan solat sunat mutlak ini, Syaikh al-Albani rahimahullah berkata:

Dianjurkan bagi orang yang masuk masjid pada hari Jumaat (bila sahaja) untuk mengerjakan solat sunat Mutlak sebelum duduk tanpa terikat dengan bilangan (rakaat ), juga tidak ditentukan waktunya, hingga imam keluar. Atau duduk ketika masuk masjid setelah solat Tahiyyatul Masjid atau sebelumnya. – Rujuk Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Al-Awjiba an-Naafi’ah ‘an As’ilati Lajnah Masjid al-Jaami’ah, (edisi terjemahan dengan tajuk Solat Jum’at Bersama Rasulullah : Hukum Dan Bid’ah Solat Jumaat, Najla Press, Jakarta, 2002) ms. 60.

 Ibnu Qayyim rahimahullah pula telah berkata:

Apa yang perlu dicatat, tidak terdapat solat sunat Qabliyah Jumaat. Ini disebabkan, apabila Bilal selesai melaungkan azan, maka Nabi s.a.w. terus menyampaikan khutbah tanpa ada selang waktu. Inilah yang terjadi. Maka bagaimana mungkin ada anggapan bahawa setelah Bilal azan mereka bangkit untuk mendirikan solat sunat dua rakaat. – Rujuk Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Mukhtashar Zaadul Ma’ad, ms. 47.


No comments:

Post a Comment