Kenduri
arwah biasanya diselenggarakan selepas
jenazah dikebumikan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayat), kemudian
terus berlangsung setiap hari sampai hari ke 7. Lalu diselenggarakan kembali
pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap
tahun dari hari kematian si mayat, walaupun terkadang berbeda antara satu
tempat dengan tempat lainnya.
Pada
dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki dalil
melainkan satu dalil yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan
dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau
hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan
menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan
niatan shadaqah. Tetapi banyak yang lupa bahawa baiknya amalan itu bukan hanya
bersandarkan kepada baiknya niat sahaja. Niat yang baik mesti di iringi dengan
amalan yang baik, amalan baik ( amalan sholeh ) adalah amalan yang mencontohi
Nabi Muhammad s.a.w.
Kesempurnaan
agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah
dinyatakan oleh Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu
wata'ala berfirman yang bermaksud :
“Pada
hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku
sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.”
(Al Maidah: 3)
Juga
Rasulullah saw bersabda yang bermaksud :
“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)
“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)
Ayat dan
hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah
sempurna, tidak perlu ditambah dan
dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan
melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi
wasallam.
Suatu
ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam mendengar berita tentang
pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan
tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan
tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata:
“Apa
urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun
berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang
siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)
Para
pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu
wata'ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti
petunjuk Nabi s.a.w.
Allah
SWT berfirman yang bermaksud :
“Dialah
Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian
yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)
Para
ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang
paling ikhlas dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi
wasallam.
Tidak
ada seorang pun yang menyatakan shalat itu buruk atau shaum (puasa) itu buruk,
bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.
Atas
dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata seperti peristiwa tiga orang didalam hadits
tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, maka
amalan tersebut tertolak. Semaklah firman Allah subhanahu wata'ala yang
brmaksud : “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang
paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya
dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah
berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)
Lebih
ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu 'anha, Rasulullah
shalallahu
'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang
siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.”
(Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas
dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
فَالأَصْلُ
فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ
“Hukum
asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil yang memerintahkannya.”
Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama.
Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu
wata'ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu
teranggap buruk melainkan bila Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya
menganggapnya buruk. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’i:
مَنِ
اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barang
siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at)
sendiri”.
Kalau
kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan
Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang
menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit.
Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata'ala (artinya):
“Dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah
diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).
Kenduri
arwah termasuk bahagian dari pada meratap kematian, berdasarkan kepada hadis
Jarir ibn Abdillah al-Bajali r.a yang
bermaksud :
Adalah
kamu menganggap bahawa berhimpun kepada keluarga si mati dan membuat makanan
selepas dikebumikan termasuk didalam meratapi kematian. HR Ahmad, Ibnu Majah.
Diantara pendapat para ulama tentang kenduri arwah
adalah :
- Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata
dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Umm’ (1/248): “Aku membenci
acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit ) meskipun tidak disertai
dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan
mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)
Al Imam
An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan
perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279
berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Umm, dan inilah yang diikuti
oleh murid-murid beliau. Lalu apakah pantas acara tahlilan atau kenduri
arwah tersebut dinisbahkan kepada
madzhab Al Imam Asy Syafi’i?
- Imam al-Imam Abu Zakaria muhyiddin bin Syaraf
An-nawawi yang dikenali sebagai Imam Nawawi didalam mazhab As-Syafi'i berkata :
"..adapun
menyediakan makanan oleh keluarga si mati dan menghimpunkan manusia kepadanya (
makanan ) adalah tidak dinaqalkan
daripada Nabi s.a.w sedikitpun dan ia adalah bid 'ah yang tidak disukai".
( Sila lihat Al-Mu'jamu'syarh Al-Muhazab, ms 320 jild 5 ctk. Darul fikr-Beirut
)
- Al-Imam Syahabuddin Abu Abbas Ahmad bin naqib
Al-Misry As-Syafi'i yang dikenali sebagai Inu Naqib seorang tokoh mazhab
As-Syafi'i menyatakan : "…dan apa yang dilakukan oleh keluarga si mati
dengan menyediakan makanan dan menghimpunkan manusia kepadanya ( makanan )
adalah bid 'ah". ( Lihat Anwaru Al_Masaliki syarh 'umdatu As-Salik wa
'uddatu An-Nasik, ms 182 ctk. Dar Al-Tabbaa-Damascus )
- Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziah menyatakan :
"
Dan adalah daripada petunjuk nabi bahawa keluarga si mati tidak menyediakan
makanan kepada orang ramai bahkan yang
diminta agar orang ramai membuat makanan dan menghantarnya kepada mereka (
keluarga si mati )". ( lihat Zadu Al-Ma'ad fi hadyi khairu Al-'Ibad, ms
528 jild I, ctk Muasasah Al-risalah-Beirut )
Sebaik–baik
petunjuk adalah petunjuk Rasulullah s.a.w dan berpegang kepada sunnah para
sahabat Rasulullah s.a.w.
No comments:
Post a Comment