Monday, June 18, 2012

Mengadakan kenduri arwah.


Kenduri arwah  biasanya diselenggarakan selepas jenazah dikebumikan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayat), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ke 7. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayat, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.

Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki dalil melainkan satu dalil yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah. Tetapi banyak yang lupa bahawa baiknya amalan itu bukan hanya bersandarkan kepada baiknya niat sahaja. Niat yang baik mesti di iringi dengan amalan yang baik, amalan baik ( amalan sholeh ) adalah amalan yang mencontohi Nabi  Muhammad s.a.w.

Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata'ala berfirman yang bermaksud :

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)

Juga Rasulullah saw bersabda yang bermaksud :                                                                                           
“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)

Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak perlu  ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.

Suatu ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: 

“Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)

Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata'ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Nabi s.a.w.

Allah SWT berfirman yang bermaksud :
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)

Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlas dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.

Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu buruk atau shaum (puasa) itu buruk, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.

Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata  seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Semaklah firman Allah subhanahu wata'ala yang brmaksud : “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)

Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu 'anha, Rasulullah 
shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ

“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil  yang memerintahkannya.”
 
Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap buruk melainkan bila Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya menganggapnya buruk. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’i:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.

Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata'ala (artinya):

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).

Kenduri arwah termasuk bahagian dari pada meratap kematian, berdasarkan kepada hadis Jarir ibn Abdillah al-Bajali r.a  yang bermaksud :
Adalah kamu menganggap bahawa berhimpun kepada keluarga si mati dan membuat makanan selepas dikebumikan termasuk didalam meratapi kematian. HR Ahmad, Ibnu Majah.

Diantara  pendapat para ulama tentang kenduri arwah adalah :

-   Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Umm’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit ) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)

Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Umm, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Lalu apakah pantas acara tahlilan atau kenduri arwah  tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?

-  Imam al-Imam Abu Zakaria muhyiddin bin Syaraf An-nawawi yang dikenali sebagai Imam Nawawi didalam mazhab As-Syafi'i  berkata :
"..adapun menyediakan makanan oleh keluarga si mati dan menghimpunkan manusia kepadanya ( makanan )  adalah tidak dinaqalkan daripada Nabi s.a.w sedikitpun dan ia adalah bid 'ah yang tidak disukai". ( Sila lihat Al-Mu'jamu'syarh Al-Muhazab, ms 320 jild 5 ctk. Darul fikr-Beirut )

-  Al-Imam Syahabuddin Abu Abbas Ahmad bin naqib Al-Misry As-Syafi'i yang dikenali sebagai Inu Naqib seorang tokoh mazhab As-Syafi'i menyatakan : "…dan apa yang dilakukan oleh keluarga si mati dengan menyediakan makanan dan menghimpunkan manusia kepadanya ( makanan ) adalah bid 'ah". ( Lihat Anwaru Al_Masaliki syarh 'umdatu As-Salik wa 'uddatu An-Nasik, ms 182 ctk. Dar Al-Tabbaa-Damascus )

-  Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziah menyatakan :
" Dan adalah daripada petunjuk nabi bahawa keluarga si mati tidak menyediakan makanan kepada  orang ramai bahkan yang diminta agar orang ramai membuat makanan dan menghantarnya kepada mereka ( keluarga si mati )". ( lihat Zadu Al-Ma'ad fi hadyi khairu Al-'Ibad, ms 528 jild I, ctk Muasasah Al-risalah-Beirut )
Sebaik–baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah s.a.w dan berpegang kepada sunnah para sahabat Rasulullah s.a.w.

No comments:

Post a Comment