Pada kesempatan kali ini kami ingin membahas tentang masalah ini, yakni dari sisi adakah hijab ketika sholat berjama’ah pada zaman Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam?
Tentang bleh tidaknya memasang hijab ketika sholat berjama’ah ini terdapat khilaf di antara para ‘ulama, di antara mereka ada yang membolehkan dan di antara mereka ada yang melarang, bahkan membid’ahkan sebagaimana pendapat asy-Syaikh al-Albani[1]. Namun kami belum mengetahui hujjah yang kuat dari para ‘ulama yang membolehkan memasang hijab yang tertutup rapat. Kemungkinan ‘illah yang mereka jadikan alasan untuk memasang hijab -sebagaimana dikatakan oleh asy-Syaikh al-Albani ketika membantah pendapat dipasangnya hijab ini- adalah berbedanya wanita zaman sekarang dengan wanita di zaman Rosululloh dahulu, dimana para wanita sekarang banyak yang mereka masuk masjid dengan memakai pakaian ketat, celana, berhias, dll yang intinya dapat menyebabkan fitnah bagi laki-laki yang melihat mereka[2]. Oleh karena itu, pembahasan di sini kami batasi untuk kondisi jika para wanita yang ikut sholat berjama’ah mengenakan pakaian yang menutup aurot dengan benar[3].
Alloh azza wa jalla berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.“ [QS. An-Nisa' : 59]
Berikut ini beberapa dalil yang
menunjukkan tidak adanya hijab ketika sholat jama’ah di zaman
Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam:
(1) Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu anhuma berkata :
كانت امرأة تصلي خلف رسول الله
صلى الله عليه وسلم حسناء من أحسن الناس [قال ابن عباس : لا والله ما رأيت
مثلها قط] فكان بعض القوم يتقدم حتى يكون في الصف الأول لئلا يراها
ويستأخر بعضهم حتى يكون في الصف المؤخر فإذا ركع نظر من تحت إبطيه [وجافى
يديه] فأنزل الله تعالى : ولقد علمنا المستقدمين منكم ولقد علمنا
المستأخرين.
“Adalah seorang wanita
menunaikan sholat di belakang Rosullullah (maksudnya di shof kaum
wanita bukan tepat di belakang nabi, pent). Dia adalah seorang wanita
yang sangat cantik dan termasuk secantik-cantiknya manusia. (Ibnu Abbas
sampai mengatakan : Demi Allah aku belum pernah sama sekali melihat
seorang wanita yang secantik itu). Sebagian dari jama’ah sholat ada
yang memilih maju ke depan sehingga menempati shof pertama agar tidak
dapat melihat si wanita cantik itu. Dan sebagian lainnya memperlambat
datangnya sehingga mereka menempati shof yang terakhir. Ketika rukuk ia
melihat si wanita cantik itu melalui celah bawah ketiaknya (dan ia
merenggangkan kedua tangannya). Maka kemudian Allah menurunkan ayat :
“Dan sesungguhnya Kami telah mengetahui orang-orang yang terdahulu
daripada-mu dan sesungguhnya Kami mengetahui pula orang-orang yang
terkemudian (daripadamu).“(Al-Hijr:24, pent).”
[HR. Abu Dawud ath-Thoyalisi
dalam Musnad-nya (2712), al-Baihaqi dalam Sunan-nya (3/98), Ahmad
(1/305), at-Tirmidzi (2/191), Nasaa'i (1/139), Ibnu Majah (1046), Ibnu
Khuzaimah dalam Shohih-nya (No. 1696 - 1697), Ibnu Hibban (1749),
ath-Thobari dalam tafsirnya (13/18), al-Hakim (2/353), dan juga
al-Baihaqi dari jalan lain dari Nuh bin Qois. Hadits ini dihohihkan
al-hakim dan disepakati adz-Dzahabi, dishohihkan pula oleh Syaikh
al-Albani (dalam ash-Shohihah no. 2472) dan Syaikh Ahmad Syakir
(4/278). Lafadz ini dinukil dari ash-Shohihah no. 2472]
Kami katakan : Hadits ini jelas
sekali menunjukkan tidak adanya hijab ketika sholat jama’ah di zaman
Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam. Andaikata ada hijab, tentu
sebagian orang yang disebutkan dalam hadits ini tidak akan dapat
melihat wanita cantik itu ketika mereka rukuk.
Dan dari hadits ini dapat
diambil faidah bahwa ketika zaman Rosululloh pun fitnah wanita sudah
ada, bahkan di masjid Nabawi ketika itu! Akan tetapi Rosululloh
shollallohu alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk memasang hijab
yang menutup pandangan jama’ah laki-laki kepada wanita dan sebaliknya,
bahkan yang ditegur dalam ayat tadi adalah kaum laki-lakinya.
Jika dikatakan : bukankah hadits ini diperselisihkan keshohihannya?
Kami katakan : Na’am, memang
ada di antara para ‘ulama yang mendho’ifkan hadits ini seperti al-Imam
Ibnu Katsir rohimahulloh, Syu’aib al-Arnauth, dll. Sebagiannya telah
dibantah oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shohihah no. 2472.
Seandainya kita anggap hadits ini dho’if, maka masih ada hadits-hadits
lain yang menunjukkan tidak adanya hijab di zaman Rosululloh
shollallohu alaihi wa sallam, sebagiannya akan kami sebutkan.
(2) Al-Imam Muslim rohimahulloh menyebutkan dalam kitab shohih-nya :
بَاب أَمْرِ النِّسَاءِ
الْمُصَلِّيَاتِ وَرَاءَ الرِّجَالِ أَنْ لَا يَرْفَعْنَ رُءُوسَهُنَّ
مِنْ السُّجُودِ حَتَّى يَرْفَعَ الرِّجَالُ
“Bab wanita yang sholat di
belakang laki-laki diperintahkan untuk tidak mengangkat kepala mereka
dari sujud sampai laki-laki bangkit dari sujud.”
Kemudian beliau membawakan hadits Sahl bin Sa’ad rodhiyallohu anhu, ia berkata :
لَقَدْ رَأَيْتُ الرِّجَالَ
عَاقِدِي أُزُرهِمْ فِي أَعْنَاقِهِمْ مِثْلَ الصِّبْيَانِ مِنْ ضيقِ
الْأُزُرِ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
قَائِلٌ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ لَا تَرْفَعْنَ رُءُوسَكُنَّ حَتَّى
يَرْفَعَ الرِّجَالُ
“Sungguh aku telah melihat para
laki-laki mengikat kain-kain mereka di leher-leher mereka, seperti anak
kecil, karena terbatasnya kain mereka, di belakang nabi. Maka berkata
seseorang : “Wahai para wanita! Janganlah kalian mengangkat kepala
kalian sampai para laki-laki bangkit (dari sujud, pent).” [HR. Muslim
no. 441]
Kami katakan : seandainya
ketika itu ada hijab yang menutup pandangan jama’ah wanita kepada
jama’ah laki-laki, tentunya tidak akan ada yang melarang para wanita
untuk mengangkat kepalanya sebelum laki-laki bangkit dari sujud.
(3) Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu anhu, Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf pria adalah
shaf yang pertama dan sejelek-jelek shaf pria adalah yang paling akhir.
Sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling akhir dan sejelek-jeleknya
yang paling depan.” [HR. Muslim no. 440, an-Nasa'i no. 820, Abu Daud
no. 678, Ibnu Majah no. 1000, at-Tirmidzi no. 224]
Berkata Al-Imam An-Nawawi rohimahulloh:
والمراد بشر الصفوف في الرجال
والنساء أقلها ثوابا وفضلا وأبعدها من مطلوب الشرع وخيرها بعكسه وإنما فضل
آخر صفوف النساء الحاضرات مع الرجال لبعدهن من مخالطة الرجال ورؤيتهم
وتعلق القلب بهم عند رؤية حركاتهم وسماع كلامهم ونحو ذلك وذم أول صفوفهن
لعكس ذلك والله أعلم
“Dan yang dimaksud dengan
sejelek-jelek shof pada laki-laki dan wanita adalah yang paling sedikit
ganjaran dan keutamaannya serta yang paling jauh dari keinginan
syari’at, sedangkan yang dimaksud dengan sebaik-baik shof adalah yang
sebaliknya. Dan keutamaan shof terakhir bagi wanita yang hadir
berjama’ah bersama laki-laki adalah untuk menjauhkan mereka dari
ikhtilath dengan laki-laki, pandangan laki-laki dan terpesonanya para
wanita ketika melihat gerakan laki-laki dan mendengar perkataan mereka,
dan yang semisal itu. Dan tercelanya shof wanita yang paling depan
adalah sebaliknya, Wallahu a’lam.”[4]
Berkata Al-Imam Ash-Shon’ani rohimahulloh:
وفي حديث الباب دلالة على جواز
اصطفاف النساء صفوفاً وظاهره سواء كانت صلاتهن مع الرجال أو مع النساء وقد
علل خيرية آخر صفوفهن بأنهن عند ذلك يبعدن عن الرجال وعن رؤيتهم وسماع
كلامهم إلا أنها علة لا تتم إلا إذا كانت صلاتهن مع الرجال وإما إذا صلين
وإمامتهن امرأة فصفوفهن كصفوف الرجال أفضلها أولها
“Dan dalam hadits tersebut ada
penunjukan bolehnya wanita membuat beberapa baris shof, dan dhohirnya
baik sholat mereka berjama’ah bersama laki-laki maupun bersama
perempuan. Dan ‘Illah (sebab) kebaikan shof yang terakhir bagi wanita
karena dengan itu mereka menjadi jauh dari laki-laki, dan pandangan
serta pendengaran laki-laki terhadap perkataan mereka. ‘Illah (sebab)
ini terjadi jika mereka sholat bersama laki-laki, adapun jika mereka
sholat dan imam mereka adalah wanita maka shof-shof mereka seperti shof
laki-laki yaitu yang paling afdhol.”[5]
Kami katakan : perkataan ‘ulama
di atas (dan masih ada perkataan ‘ulama lainnya yang serupa maknanya
dengan perkataan di atas) menjelaskan tentang ‘illah dari dijauhkannya
shof laki-laki dengan shof wanita, di antaranya perkataan mereka :
“…pandangan laki-laki…”, hal ini menunjukkan bahwa para ‘ulama tersebut
memahami bahwa di zaman Rosululloh ketika itu tidak ada hijab yang
menghalangi pandangan jama’ah wanita ke jama’ah laki-laki. Dan dalam
hadits ini juga menunjukkan bahwa pemisah antara jama’ah laki-laki dan
jama’ah wanita ketika itu adalah jarak.
(4) Dari Ummu Salamah rodhiyallohu anha, ia berkata :
كُنَّ إِذَا سَلَّمْنَ مِنْ
الْمَكْتُوبَةِ قُمْنَ وَثَبَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَمَنْ صَلَّى مِنْ الرِّجَالِ مَا شَاءَ اللَّهُ فَإِذَا قَامَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ الرِّجَالُ
“kami jika selesai salam dari
sholat wajib, kami berdiri (pergi, pent) sedangkan Rosululloh
shollallohu alaihi wa sallam tetap pada tempatnya untuk sementara waktu
dan begitu pula para laki-laki yang ikut sholat. Jika Rosululloh
shollallohu alaihi wa sallam bangkit, maka para laki-laki pun bangkit.”
[HR. al-Bukhori no. 828, an-Nasa'i no. 1333, Ibnu Hibban no. 2233, Ibnu
Khuzaimah no. 1718, dll]
Dalam riwayat lainnya dari Ummu Salamah rodhiyallohu anha, ia berkata :
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا سلم يمكث في مكانه يسيرا
“Nabi shollallohu alaihi wa
sallam jika salam (selesai sholat, pent), beliau duduk sebentar di
tempatnya.” [HR. al-Bukhori no. 812]
Al-Imam Ibnu Syihab az-Zuhri rohimahulloh berkata menerangkan maksud hadits ini:
فَنُرَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ لِكَيْ يَنْفُذَ مَنْ يَنْصَرِفُ مِنْ النِّسَاءِ
“Kami berpendapat -Wallohu A’lam- agar para wanita bisa segera pergi.” [HR. al-Bukhori no. 812]
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani rohimahulloh dalam Fathul Baari (2/336) berkata :
وَفِي الْحَدِيث مُرَاعَاة
الْإِمَام أَحْوَالَ الْمَأْمُومِينَ ، وَالِاحْتِيَاط فِي اِجْتِنَاب مَا
قَدْ يُفْضِي إِلَى الْمَحْذُور. وَفِيهِ اِجْتِنَاب مَوَاضِع التُّهَم ،
وَكَرَاهَة مُخَالَطَة الرِّجَال لِلنِّسَاءِ فِي الطُّرُقَات فَضْلًا
عَنْ الْبُيُوت. وَمُقْتَضَى التَّعْلِيل الْمَذْكُور أَنَّ
الْمَأْمُومِينَ إِذَا كَانُوا رِجَالًا فَقَطْ أَنْ لَا يُسْتَحَبّ هَذَا
الْمُكْث، وَعَلَيْهِ حَمَلَ اِبْن قُدَامَةَ حَدِيث عَائِشَة ” أَنَّهُ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَلَّمَ لَمْ يَقْعُد
إِلَّا مِقْدَار مَا يَقُول : اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَام وَمِنْك
السَّلَام تَبَارَكْت يَا ذَا الْجَلَال وَالْإِكْرَام ” أَخْرَجَهُ
مُسْلِم : وَفِيهِ أَنَّ النِّسَاء كُنَّ يَحْضُرْنَ الْجَمَاعَة فِي
الْمَسْجِد.
“Dalam hadits ini terdapat
dalil agar imam memperhatikan keadaan para makmum, dan berhati-hati
dalam menjauhi hal-hal yang bisa menghantarkan kepada perbuatan yang
terlarang. Dan pada hadits ini juga terdapat dalil tentang menjauhkan
tempat-tempat yang rusak, dan dibencinya ikhthilath antara laki-laki
dengan wanita di jalan-jalan apalagi di rumah-rumah. Dan konsekuensi
dari ta’lil yang telah disebutkan, bahwa jika makmumnya hanya laki-laki
saja maka diam (beberapa saat, pent) tersebut tidak disunnahkan. Dan
kepada makna inilah Ibnu Qudamah membawa makna hadits ‘Aisyah : “Bahwa
beliau shollallohu alaihi wa sallam jika selesai salam (dari sholat,
pent), tidak duduk kecuali sekedar mengucapkan : “Allohumma
Antas-Salaam wa minkas-Salaam tabarokta yaa Dzal Jalaali wal Ikrom“.
Dikeluarkan oleh Muslim, dan pada hadits ini terdapat dalil bahwa para
wanita dahulu menghadiri sholat jama’ah di masjid.”-selesai nukilan-
Kami katakan : perkataan para
‘ulama di atas menunjukkan bahwa Rosululloh shollallohu alaihi wa
sallam berdiam sebentar dan tidak langsung memalingkan badannya ke arah
makmum (sebagaimana dalam hadits-hadits lainnya) untuk memberikan
kesempatan kepada para wanita untuk segera meninggalkan masjid.
Seandainya ada hijab menghalangi pandangan ke arah jama’ah wanita,
tentu tidak perlu menunggu perginya para wanita.
(5) Ummul Mu’minin ‘Aisyah rodhiyallohu anha berkata :
لَوْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ
لَمَنَعَهُنَّ الْمَسْجِدَ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ
قَالَ فَقُلْتُ لِعَمْرَةَ أَنِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مُنِعْنَ
الْمَسْجِدَ قَالَتْ نَعَمْ
“Seandainya Rosullullah
mengetahui apa yang diperbuat oleh kaum wanita, sungguh beliau akan
melarang mereka ke masjid-masjid sebagaimana beliau telah melarang
wanita-wanita Bani Isroil darinya.” [HR. Muslim no. 144, Abu Dawud no.
569, Ahmad no. 26024, al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubro no. 5155,
Ishaq bin Rohawaih dalam Musnadnya no. 639 & 1751]
Al-Imam an-Nawawi rohimahulloh berkata dalam Syarh Muslim (4/164) :
يعنى من الزينة والطيب وحسن الثياب والله أعلم
“Yakni dari (memakai) perhiasan, wewangian dan pakaian yang bagus. Wallohu A’lam.”
Kami katakan : Dalam atsar
Aisyah ini maknanya adalah bahwa jika Rosululloh mengetahui apa yang
dilakukan para wanita dari perbuatan tabarruj (berhias), dll maka
beliau akan melarang para wanita untuk pergi ke masjid, dan Aisyah
tidak mengatakan: ” Seandainya Rosullullah mengetahui apa yang
diperbuat oleh kaum wanita, sungguh beliau akan memasang hijab di
masjid.”
Terlebih lagi jika kondisinya seperti yang sedang kita bahas, yakni jika jama’ah wanita memakai jilbab yang syar’i[6].
Dan keberadaan hijab yang
menghalangi pandangan jama’ah wanita untuk melihat gerakan imam atau
jama’ah laki-laki terkadang dapat membuat kerancuan-kerancuan bahkan
merusak sholat mereka sampai ke tingkat batalnya sholat mereka
tersebut. Kami berikan beberapa contoh:
(1) Ketika Imam Sujud Tilawah
Ini yang paling sering membuat
rancu. Jika pandangan jama’ah wanita terhalangi dengan hijab yang
rapat, mereka tidak akan bisa membedakan ketika imam membaca ayat
sajadah lalu ia bertakbir, apakah takbirnya itu untuk sujud tilawah
ataukah rukuk? Terutama jika ayat sajadah yang dibaca imam terletak di
akhir surat seperti pada surat al-’Alaq, atau jika para jama’ah wanita
tidak mengetahui letak-letak ayat sajadah ketika dibaca imam. Hal ini
seringkali menyebabkan jama’ah wanita rukuk ketika imam bertakbir untuk
sujud tilawah, lalu ketika imam kembali bangkit dari sujud tilawah dan
meneruskan bacaan atau rukuk, jadilah para wanita itu bingung.
Hal ini terkadang membuat imam
sholat tidak melakukan sunnah sujud tilawah ketika membaca ayat sajadah
dikarenakan khawatir akan membuat jama’ah wanita kebingungan, sehingga
menjadi semakin asinglah sunnah sujud tilawah ini.
(2) Ketika Imam melakukan kesalahan/lupa
Jika pandangan jama’ah wanita
terhalangi dengan hijab yang rapat, mereka tidak akan bisa membedakan
ketika imam salah/lupa dalam jumlah roka’at atau kurang tasyahud awal
atau sujudnya kurang, dll, sehingga pergerakan sholat jama’ah wanita
menjadi berbeda dengan imam.
Misalnya : imam lupa untuk
tasyahud awal, lalu langsung bertakbir “Allohu Akbar” untuk berdiri.
Jika tidak ada jama’ah laki-laki yang menegur imam, para jama’ah wanita
yang pandangannya tertutup dengan hijab akan mengira imam duduk
tasyahud awal, sehingga posisi imam ketika itu berdiri sedangkan posisi
jama’ah wanita duduk tasyahud.
Dan pada kondisi ini juga bisa
membatalkan sunnahnya jama’ah wanita menepuk tangan untuk menegur imam
jika salah/lupa, dikarenakan mereka tidak mengetahui kesalahan/kelupaan
imam yang tidak terlihat tersebut.
(3) Ketika Imam melakukan sujud sahwi
Begitu pula jika imam melakukan
sujud sahwi, baik sebelum salam maupun sesudah salam, jama’ah wanita
yang tidak paham tentang hukum ini akan kebingungan. Terutama jika
sujud sahwi dilakukan sebelum salam, jama’ah wanita akan sulit
membedakan apakah imam takbir untuk sujud sahwi? Ataukah menambah
jumlah roka’at (yakni jika imam lupa lagi)?
(3) Ketika Imam melakukan duduk istirahat ketika bangkit dari sujud
Jika pandangan jama’ah wanita
terhalangi dengan hijab yang rapat, jama’ah wanita yang tidak melakukan
sunnah duduk istirahat terkadang dapat bergerak mendahului atau
berbarengan dengan gerakan imam yang melakukan sunnah duduk istirahat.
Padahal Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي
إِمَامُكُمْ فَلَا تَسْبِقُونِي بِالرُّكُوعِ وَلَا بِالسُّجُودِ وَلَا
بِالْقِيَامِ وَلَا بِالِانْصِرَافِ…
“Wahai manusia! Sesungguhnya
aku adalah imam kalian, maka janganlah kalian mendahuluiku dalam rukuk,
sujud, berdiri dan berpaling….” [HR. Muslim no. 426, Ibnu Khuzaimah no.
1602, Abu Ya'la no. 3952, Ibnu Abi Syaibah no. 7156, dll]
(4) Membuat jama’ah wanita berselisih tentang pengaturan shof-nya
Ketika ada hijab yang
menghalangi/membatasi antara jama’ah wanita dengan jama’ah laki-laki
terkadang membuat rancu sebagian jama’ah wanita, apakah shof dimulai
dari depan atau dari belakang?
Dalam masalah ini terdapat
khilaf di antara para ‘ulama, di antara mereka (seperti asy-Syaikh
Sholeh Fauzan hafidzohulloh) ada yang berpendapat jika kondisinya
demikian maka shof yang paling utama adalah yang paling depan,
sementara sebagian yang lain (seperti asy-Syaikh al-Albani
rohimahulloh) berpendapat shof-nya tetap dimulai dari belakang sesuai
dengan hadits Abu Huroiroh tentang keutamaan shof yang paling belakang
bagi wanita (lihat hadits no. 3 di atas). Sehingga terkadang jama’ah
wanita menjadi berselisih, sebagian dari mereka ada yang memulai shof
dari depan dan yang sebagian lagi dari belakang.
Asy-Syaikh al-Albani dalam
Silsilatul Huda wan Nur menjelaskan bahwa kerusakan yang terjadi pada
masyarakat tidak bisa merubah suatu hukum syar’i, dan hijab pemisah
(yang menurut beliau adalah bid’ah) tidak bisa merubah hukum
sebaik-baik shof wanita adalah yang paling belakang, dan di dalam
rekaman tersebut beliau juga membantah pendapat yang mengatakan bahwa
masalah hijab ini adalah maslahat mursalah. Barangsiapa yang ingin tahu
lebih lanjut silahkan merujuk ke kaset no. 484 pertanyaan ke-14 dalam
Silsilatul Huda wan Nur.
Pendapat asy-Syaikh al-Albani
ini juga dikuatkan dengan sebagian ‘illah yang disebutkan oleh para
‘ulama, yaitu shof wanita dijauhkan untuk menjauhkan pendengaran
laki-laki dan yang semisalnya. Jika dalam keadaan ada hijab, lalu shof
wanita dimulai dari depan, maka perkataan mereka lebih mungkin
terdengar laki-laki walaupun mereka tidak dapat terlihat.
(5) Jika ada seorang wanita masbuq
Jika ada seorang atau beberapa
wanita yang ingin mengikuti sholat jama’ah dalam keadaan masbuq dan
tidak ada jama’ah wanita lainnya yang ikut sholat sejak awal, maka
dalam kondisi pandangan terhalang oleh hijab ini, mereka sulit untuk
mengetahui posisi gerakan imam (apakah sedang berdiri atau sujud atau
tasyahud, dll) karena yang diketahui hanya melalui suara imam saja yang
kebanyakan adalah takbir “Allohu Akbar“. Sehingga hal ini bisa
membatalkan ketetapan dalam sunnah bahwa makmum yang masbuq langsung
mengikuti posisi imam. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ الصَّلَاةَ وَالْإِمَامُ عَلَى حَالٍ فَلْيَصْنَعْ كَمَا يَصْنَعُ الْإِمَامُ
“Jika salah seorang di antara
kalian mendatangi sholat (jama’ah) pada saat imam sedang pada suatu
keadaan, maka hendaklah ia melakukan (gerakan) sebagaimana yang
dilakukan imam.” [HR. at-Tirmidzi no. 591, ath-Thobroni dalam al-Mu'jam
al-Kabir no. 267. Dishohihkan al-Albani dalam Shohihul Jami' no. 261]
Kecuali jika jama’ah wanita mau “ngintip” dulu sebelum memulai sholatnya.
(6) Jika suara imam tidak terdengar
Jika pandangan jama’ah wanita
terhalangi dengan hijab yang rapat, mereka tidak akan bisa mengetahui
gerakan imam jika suara imam tersebut tidak terdengar, baik karena
imamnya adalah seorang yang sudah tua sehingga suaranya kecil atau
memang suara imam tersebut kecil dan tidak menggunakan pengeras suara;
atau memakai pengeras suara tapi imam lupa mengeraskan takbirnya; atau
pengeras suaranya rusak di tengah-tengah sholat; atau… atau…
Kecuali jika ada di antara
jama’ah laki-laki yang bertugas sebagai muballigh yang
menyampaikan/mengeraskan suara takbir imam yang suaranya kecil kepada
jama’ah yang di belakang, namun sunnah yang satu ini sudah sangat
jarang ditemukan.
(7) Jika imam sholat sambil duduk
Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ
لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا
وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا
“Sesungguhnya imam itu diangkat
untuk diikuti. Jika ia rukuk maka rukuklah. Jika ia bangkit, maka
bangkitlah. Dan jika ia sholat sambil duduk, maka sholatlah kalian
sambil duduk.“ [HR. al-Bukhori no. 656 & 5534, Muslim no. 412, dll]
Berdasarkan hadits ini, jika
imam sholat sambil duduk maka makmum juga sholat sambil duduk. Jama’ah
wanita yang terhalang hijab tidak akan mengetahui apakah imam sholat
sambil duduk atau berdiri, kecuali jika imam/jama’ah laki-laki dapat
terlihat atau imam memberitahukan terlebih dahulu bahwa ia tidak mampu
sholat sambil berdiri.
Dan kasus-kasus yang lainnya yang dapat membuat kerancuan bagi jama’ah wanita itu sendiri.
Jika dikatakan: bukankah
contoh-contoh kasus di atas jarang terjadi? Sedangkan jika hijab
dibuka, kemungkinan timbulnya fitnah lebih besar?
Jawabnya: iya, tetapi
kasus-kasus tersebut bisa terjadi sewaktu-waktu dan tidak terduga, yang
apabila terjadi hal tersebut dapat merusak sholatnya jama’ah wanita
bahkan sampai ke derajat batal, tentu ini adalah madhorot dan bukan
maslahat.
Adapun dari sisi timbulnya
fitnah wanita, sejak zaman Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam pun
sudah ada fitnah wanita, hal ini ditunjukkan dalam hadits Ibnu Abbas di
atas (hadits no. 1), hadits wanita khots’amiyyah, dll. Dalam
hadits-hadits tersebut yang ditegur adalah para laki-laki, yakni agar
mereka memalingkan pandangannya.
Dan juga pada asalnya, hijab
ketika sholat berjama’ah tidak ada di zaman Rosululloh shollallohu
alaihi wa sallam, sedangkan saat itu ada kemampuan untuk memasang
hijab, namun beliau tidak memasangnya. Akan tetapi yang beliau lakukan
adalah dengan menetapkan adab-adab bagi wanita yang ingin sholat di
masjid:
(1) Beliau shollallohu
alaihi wa sallam tidak mewajibkan sholat jama’ah bagi wanita, bahkan
meliau mengatakan bahwa sholatnya wanita di rumahnya lebih baik
daripada di masjid. Beliau bersabda:
لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian melarang
istri-istri kalian dari masjid-masjid, dan rumah mereka adalah lebih
baik bagi mereka.” [HR. Ahmad no. 5471, Abu Dawud no. 567]
Beliau juga bersabda:
صَلَاةُ الْمَرْأَةِ فِي
بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا فِي حُجْرَتِهَا وَصَلَاتُهَا فِي
مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا فِي بَيْتِهَا
“Sholatnya seorang wanita di
rumahnya lebih baik dari sholatnya di halaman rumahnya, dan sholatnya
di makhda’-nya lebih baik daripada sholatnya di rumahnya.” [HR. Abu
Dawud no. 570, Ahmad no. 5471, Ibnu Khuzaimah no. 1684, al-Baihaqi
dalam as-Sunan al-Kubro no. 5142, dan al-Hakim dalam al-Mustadrok no.
757, al-Hakim berkata : "sesuai syarat asy-Syaikhoin", dan disetujui
adz-Dzahabi. Dishohihkan pula oleh al-Albani dalam Shohih Abi Dawud no.
530]
Yang dimaksud dengan (بيتها)
pada hadits ini adalah di dalam rumahnya agar sempurna dalam
menutupinya; (حجرتها) maksudnya adalah ‘halaman rumah’ (صحن الدار),
Ibnul Malak berkata: “yang dimaksud dengan (الحجرة) adalah yang
terdapat pintu-pintu rumah dan kondisinya lebih rendah daripada
(البيت).” Dan yang dimaksud dengan ‘makhda’-nya’ (مخدعها) adalah rumah
kecil yang terdapat di dalam rumah besar yang disimpan di dalamnya
barang-barang pribadi seperti kamar yaitu tempat menyembunyikan sesuatu
yaitu di dalam lemarinya, lebih baik daripada sholatnya di rumahnya
karena adanya perintah pada wanita untuk menutupi dirinya.[7]
Abu Ayaz June 7 at 11:00pm
bag 5
(2) Beliau shollallohu
alaihi wa sallam mengatakan sebaik-baik shof wanita adalah yang paling
belakang dan yang seburuk-buruknya adalah yang paling depan (haditsnya
sudah disebutkan di atas).
(3) Beliau shollallohu
alaihi wa sallam membuat pintu khusus untuk wanita, sebagaimana dalam
hadits Ibnu Umar, Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda :
لَوْ تَرَكْنَا هَذَا الْبَابَ لِلنِّسَاءِ
“Alangkah baiknya jika kita tinggalkan pintu ini untuk para wanita.”
قَالَ نَافِعٌ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ ابْنُ عُمَرَ حَتَّى مَاتَ
Nafi’ berkata : “Maka Ibnu Umar tidak masuk dari pintu tersebut sampai ia meninggal.”
[HR. Abu Dawud no. 462 &
571, ath-Thobroni dalam al-Mu'jam al-Ausath no. 1018, dll. dishohihkan
oleh al-Albani dalam Shohih Sunan Abi Dawud no.439 & 534]
(4) Beliau shollallohu alaihi wa sallam melarang para wanita datang ke masjid dengan memakai wewangian.
Dari Abu Hurairoh, Rasulullah bersabda:
إِذَا خَرَجَتْ الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْتَغْتَسِلْ مِنْ الطِّيبِ كَمَا تَغْتَسِلُ مِنْ الْجَنَابَةِ
“Jika seorang wanita keluar ke
masjid, hendaklah ia mandi dari wewangian (yakni untuk menghilangkan
bau wanginya, pent) sebagaimana ia mandi dari junub.” [HR. an-Nasa'i
no. 5127, dishohihkan al-Albani dalam ash-Shohihah no. 1031]
(5) Beliau shollallohu
alaihi wa sallam mengatakan bahwa jika wanita ingin menegur kesalahan
imam maka adalah dengan menepuk tangan. Beliau bersabda:
التَّسْبِيحُ لِلرِّجَالِ وَالتَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ
“Bertasbih bagi laki-laki dan menepuk tangan bagi wanita.” [HR. al-Bukhori no. 1145, Muslim no. 422, dll]
Dan adab-adab lainnya seperti
yang dilakukan para shohabiyyah dalam hadits Ummu Salamah yang mereka
langsung pulang setelah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam selesai
salam. Wallohu A’lam.
Dan kami melihat di sebagian
masjid yang di sana orang-orang yang sholat adalah ikhwan dan akhwat
yang sudah ngaji, yang para akhwatnya kebanyakan atau bahkan semuanya
telah menutup aurot dengan memakai hijab syar’i dan kebanyakan mereka
(ikhwan & akhwat) sudah paham tentang adab-adab di masjid, sehingga
‘illah-’illah yang dijadikan alasan untuk memasang hijab ketika sholat
jama’ah (seperti wanita berpakaian ketat, terbukanya aurot, dll)
hampir-hampir sudah tidak ada lagi, sebagaimana di zaman Rosululloh
dahulu ‘illah-’illah tersebut tidak ada. Jika dengan kondisi ini pada
zaman Rosululloh tidak dipasang hijab ketika sholat, lalu kenapa
sekarang dengan kondisi yang sama dipasang hijab ketika sholat
berjama’ah??
Wallohu A’lam.
وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shollallohu alaihi wa sallam.”
Maroji’:
#
Kitab-kitab hadits & fiqih dalam al-Maktabah asy-Syamilah v.1 &
v.2, dengan penomoran dari al-Maktabah asy-Syamilah v.1 (karena lebih
cocok dengan kitab aslinya).
# Silsilatul Huda wan Nur, rekaman durus & fatawa al-Imam Abu Abdirrohman al-Albani.
——————
Catatan kaki:
[1] Penjelasan beliau dapat
didengarkan dalam Silsilatul Huda wan Nur kaset no. 24 pertanyaan ke-6,
kaset no. 321 pertanyaan ke-8, kaset no. 351 pertanyaan ke-8, dan kaset
no. 484 pertanyaan ke-14.
[2]
Ustadzuna Abu Abdirrohman mengatakan bahwa jika kondisinya demikian
maka hijab yang dipasang sebaiknya yang menerawang/agak transparan
sehingga kondisi jama’ah wanita tidak terlalu terlihat jelas bagi
jama’ah laki-laki, dan jama’ah wanita tetap dapat mengetahui gerakan
jama’ah laki-laki yang di depannya sehingga kerancuan-kerancuan dalam
gerakan sholat bisa dihindari. Wallohu A’lam.
[3]
Yakni dengan jilbab syar’i bukan dengan pakaian ketat yang hanya
membungkus aurot saja yang pada hakikatnya wanita seperti ini belum
menutup aurotnya, sebagaimana diisyaratkan dalam hadits “kasiyaat
‘aariyat” (wanita yang berpakaian tapi telanjang).
[4] Syarah Shohih Muslim (4/403).
[5] Subulus Salam (1/46).
[6] Tentang syarat-syarat jilbab yang syar’i dapat dibaca pada kitab Jilbab Mar’ah Muslimah karya asy-Syaikh al-Albani.
[7] Aunul Ma’bud 2/194 oleh Syamsul Haq al-’Adzim al-Abadi.
Sumber : https://tholib.wordpress.com/2007/03/27/masalah-hijab-ketika-sholat-berjamaah/#comment-2105
No comments:
Post a Comment