Bismillah,
Berikut ini adalah dalil-dalil yang dibawakan oleh ahlul
bid'ah/quburiyyun dalam amalan-amalan mereka seputar bertawassul kepada
orang yang sudah mati , dan akan kami jawab dengan banthan ilmiyah
sebagai berikut :
1. Dalil Pertama.
إِذَا تَحَيَّرْتُمْ فِيْ اْلأُمُوْرِ
فَاسْتَعِيْنُوْا مِنْ أَهْلِ الْقُبُوْرِ . كَذَا فِي الْبَهْجَةِ
السُّنِّيَّةِ للشَّيْخِ مُحمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْجَانِي ص
Hadits pertama itu artinya:
“Jika kamu bingung di dalam perkara-perkara, maka mintalah tolong dari
para penghuni kubur!” Demikian disebutkan di dalam kitab Al-Bahjah
As-Sunniyyah karya Syeikh Muhammad bin Abdullah Al-Jani, hal:41.
Bantahan :
Ketahuilah bahwa ini adalah hadits palsu! Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata tentang hadits ini: “Ini palsu dengan kesepakatan
ahli ilmu, tidak ada seorangpun dari ulama ahli hadits yang
meriwayatkannya.” [Al-Istighatsah Ar-Raddu ‘Alal Bakri, II/483, tahqiq
Abdullah bin Dujain As-Sahli, Darul Wathan, Cet:I, Th:1997 M/1417 H]
Abdullah bin Dujain As-Sahli berkata mengomentari perkataan Syeikhul
Islam di atas: "Ini adalah hadits palsu, disebutkan oleh Al-‘Ajluni di
dalam Kasyful Khafa’ I/85, dan dia menyandarkan kepada Ibnu Kamal
Basya; Ibnul Qayyim menjelaskan kelemahannya di dalam Ighatsatul Lahfan
I/333, demikian pula Muhammad Nashib Ar-Rifa’I di dalam At-Tawashul Ila
Haqiqati At-Tawasul Al-Masyru’ wal Mamnu’ , hal:252, Cet:III, 1399 H,
dan lainnya."
Di sini kami perlu mengingatkan dengan sebuah hadits mutawatir tentang
bahaya menyampaikan hadits-hadits palsu dan menisbatkan kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu:
وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
"Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja maka siapkanlah tempat duduknya di neraka". [Hadits Mutawatir].
2. Adapun hadits kedua
مَنْ زَارَ قَبْرِي وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي (رواه الطبْرانِي و غيره من حديث عمر
"Barangsiapa menziarahi kuburku, dia wajib mendapatkan syafa’atku" [HR.
Thabarani dan lainnya, dari hadits Umar Radhiyallahu 'anhu])
Bantahan :
Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi menyatakan tentang hadits ini yang ringkasnya
sebagai berikut: "Hadits ini tidak shahih, bahkan hadits ini mungkar
menurut para imam hadits, tidak dapat dipakai sebagai hujjah. Para imam
hadits telah menjelaskan kelemahan dan kemungkarannya, dan tidaklah
berpegang dengan hadits semacam ini kecuali orang-orang yang lemah
dalam bidang hadits.
Seandainya hadits ini shahih, maka di dalamnya tidak ada dalil (tentang
masalah tawassul), apalagi hadits ini mungkar, dha’if sanadnya, dan
tidak dapat dijadikan hujjah. Tidak ada seorangpun dari para hafizh
termasyhur yang menshahihkannya, dan tidak ada seorangpun di antara
para imam peneliti yang berpegang dengannya. Tetapi yang
meriwayatkannya hanyalah semisal (imam) Daruquthni, yang mengumpulkan
di dalam kitabnya, yaitu Gharaibus Sunan. Dia mengumpulkan banyak
riwayat hadits-hadits dha’if, munkar, bahkan maudhu’ (palsu), dan dia
menjelaskan cacat hadits, sebab kelemahannya, dan sebab pengingkarannya
pada sebagian tempat. Atau yang meriwayatkan itu semisal Abu Ja’far
Al-‘Uqaili dan Abu Ahmad Ibnu ‘Adi di dalam kitab keduanya tentang para
perawi yang dha’if (lemah), dan keduanya juga menjelaskan kelemahan
hadits dan kemungkarannya. Atau semisal Al-Baihaqi, yang juga
menjelaskan kemungkarannya." [Lihat Ash-Sharimul Munki, hal: 21-22]
Di dalam pertanyaan di atas (yang penanya menukil dari kitab An-Nurul
Burhani, hal:17, penerbit: Toha Putra, Semarang) disebutkan hadits itu
riwayat Thabarani dan lainnya, dari hadits Umar Radhiyallahu 'anhu .
Tetapi di dalam bantahan Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi tentang hadits itu
disebutkan bahwa bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh:
a). Al-Baihaqi dari Ibnu Umar, di dalam kitab Syu’abul Iman, dan beliau menyatakannya sebagai hadits munkar.
b). Al-Hafizh Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr Al-‘Uqaili dari Ibnu
Umar, di dalam kitab Adh-Dhu’afa’ (kitab tentang para perawi dha’if),
dan beliau menyatakannya sebagai hadits gharib (yaitu hanya
diriwayatkan dengan satu jalan) dan tidak shahih.
c). Al-Hafizh Abu Ahmad Abdullah bin ‘Adi di dalam kitab
Al-Kamil fii Ma’rifati Dhu’afa’il Muhadits-tsin wa ‘Ilalil Ahadits
(kitab tentang para perawi dha’if dan cacat-cacat hadits)
d). Seorang hafizh besar -tetapi belum diketahi namanya- dari Ibnu Umar, dan beliau menyatakannya sebagai hadits gharib.
e). Al-Bazzar dari Ibnu Umar.
Ad-Daruquthni dari Ibnu Umar. Imam Nawawi berkata mengomentari hadits
di atas: “Adapun hadits Ibnu Umar, maka diriwayatkan oleh Al-Bazzar,
Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi dengan dua sanad yang sangat dha’if".
Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi tidak menyebutkan adanya riwayat Thabarani
dari hadits Umar. Demikian juga Syeikh Al-Albani ketika menjelaskan
kelemahan hadits itu di dalam takhrij beliau terhadap hadits itu di
dalam kitab Irwa’ul Ghalil no: 1128, tidak menyebutkan adanya riwayat
Thabarani dari hadits Umar. [Lihat Ash-Sharimul Munki, hal: 43; Irwa’ul
Ghalil no: 1128]
Maka inilah ringkasan di antara perkataan para ulama setelah
meriwayatkan hadits "Barangsiapa menziarahi kuburku, dia wajib
mendapatkan syafa’atku" : Al-Baihaqi menyatakan: "Hadits mungkar".
Al-Hafizh Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr Al-‘Uqaili berkata: “Riwayat dalam masalah ini ada kelemahan”.
Al-Hafizh Abul Hasan Al-Qath-than berkata: "Hadits yang diriwayatkan oleh Musa bin Hilal adalah hadits yang tidak shahih."
Kelemahan hadits di atas karena ada para perawi lemah, yang bernama:
Musa bin Hilal Al-‘Abdi, seorang perawi majhul (tidak dikenal), lalu
dia meriwayatkan sendirian. Juga perawi lain bernama Abdullah bin Umar
Al-‘Umari, terkenal buruk hafalan dan sangat lalai. [Lihat Ash-Sharimul
Munki; Dha’if Al-Jami’ush Shaghir no:5607; Silsilah Al-Ahadits
Adh-Dha’ifah I/64; dan Irwa’ul Ghalil no:1127, 1128].
Kemudian di sini kami nukilkan perkataan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah tentang hadits- hadits ziarah qubur Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, beliau berkata: “Dan hadits- hadits tentang ziarah
ke qubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam semuanya dha’if, sedikitpun
darinya tidak dijadikan sandaran di dalam agama. Oleh karena inilah
hadits- hadits itu tidak diriwayatkan oleh para penyusun kitab-kitab
Shahih dan Sunan, tetapi hanyalah diriwayatkan oleh para ulama’ yang
meriwayatkan hadits- hadits dha’if, seperti Ad-Daruquthni, Al-Bazzar,
dan lainnya”. [Al-Qaidah Al-Jalilah, hal:57; dinukil dari Silsilah
Al-Ahadits Adh-Dha’ifah I/123, penjelasan dari hadits no:47]
3. Adapun hadits ketiga.
مَنْ جَاءَنِي زَائِرًا لاَ يَعْمَلُ
إِلاَّ زِيَارَتِي كَانَ حَقًّا عَلَيَّ أَنْ أَكُوْنَ لَهُ شَفِيْعُا
يَوْمَ الْقِيَامَةِ. صححه ابن السكن واطل ثُمَّ قال: وَ أَوَّلُ مَنْ
تَشَفَّعَ بِهِ آدَم لَمَّا خَرَجَ مِنَ الْجَنَّةِ وَ قَالَ لَهُ جَلَّ
جَلاَلُهُ : لَوْ تَشَفَّعْتَ إِلَيْنَا بِمُحَمَّدٍ فِي أَهْلِ
السَّمَاوَاتِ وَِ الأَرْضِ لَشَفَعْنَاكَ. قَالَ القَاضِي عِيَاض:
وَحَدِيْثُ الشَّفَاعَةِ بَلَغَ التَّوَاتُرَ
"Barangsiapa datang menziarahi-ku, dia tidak melakukan suatu kebutuhan
kecuali menziarahi-ku, maka wajib atasku menjadi syafi’ (orang yang
memintakan syafa’at/kebaikan untuk orang lain) pada hari kiamat."
Dishahihkan oleh Ibnu as-Sakan, dia membicarakan panjang lebar, lalu
berkata: "Dan orang yang pertama kali meminta syafa’at dengan beliau
(Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) adalah Adam Alaihissallam
ketika keluar dari sorga, dan Allah berfirman kepadanya: "Seandainya
engkau minta syafa’at kepada Kami dengan Muhammad untuk penduduk
langit-langit dan bumi, niscaya Kami terima syafa’atnya untukmu".
Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Hadits syafa’at mencapai (derajat) mutawatir”.
Bantahan :
a). Hadits ini diriwayatkan oleh Thabarani dari Ibnu Umar, dan matannya (isinya) tidak ada hubungannya dengan tawassul!
b). Demikian juga hadits ini “sanadnya lemah, matannya mungkar”.
Di dalam sanadnya ada perawi bernama Maslamah bin Salim Al-Juhani, dia
perawi majhul (tidak dikenal), meriwayatkan hadits munkar dan palsu,
dia juga meriwayatkan hadits ini sendirian. (Lihat Ash-Sharimul Munki,
hal:49-50) Dengan demikian, maka penshahihan hadits ini oleh Ibnus
Sakan tidak dapat diterima, jika memang benar berita bahwa beliau
menshahihkan hadits ini.
c). Adapun perkataan Ibnu as-Sakan: “Dan orang yang pertama kali
meminta syafa’at dengan beliau (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam) adalah Adam Alaihissallam ketika keluar dari sorga...”, maka
perkataannya itu tidak dapat diterima, karena hadits yang menyatakan
tawasulnya Nabi Adam dengan Nabi Muhammad tersebut adalah hadits palsu,
sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh Syeikh Al-Albani di dalam
kitab beliau Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah no: 25.
Karena hadits ini begitu terkenal pada sebagian kaum muslimin, maka
kami akan menyebutkan artinya dan penjelasan para ulama tentang hadits
ini. Hadits itu berbunyi: “Ketika Adam berbuat kesalahan, dia berkata:
“Wahai Rabbi! Aku mohon kepadaMu –dengan hak Muhammad- agar Engkau
mengampuniku”. Allah berfirman: “Bagaimana Engkau mengetahui Muhammad,
padahal Aku belum menciptakannya.” Adam menjawab: “Wahai Rabbi! ketika
Engkau telah menciptakanku dengan tanganMu, dan Engkau telah meniupkan
ruh (ciptaan) Mu kepadaku, aku mengangkat kepalaku, lalu aku melihat
tulisan di kaki-kaki ‘Arsy: Laa ilaaha illa Allah Muhammad Rasulullah.
Maka aku mengetahui bahwa Engkau tidak merangkaikan kepada namaMu
kecuali makhluk yang paling Engkau cintai. Maka Allah berfirman:
“Engkau benar wahai Adam, sesungguhnya dia adalah makhluk yang paling
Aku cintai. Berdoalah kepadaKu dengan haknya, sesungguhnya Aku telah
mengampunimu. Dan seandainya bukan karena Muhammad niscaya Aku tidak
menciptakanmu. ' [Hadits Palsu, riwayat Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak
II/615; Ibnu ‘Asakir dari Al-Hakim II/323/2; Al-Baihaqi di dalam
Dalailun NubuwwahV/488, dari jalan Abul Harits Abdullah bin Muslim
Al-Fihri, dari Isma’il Ibnu Maslamah, dari Abdurahman bin Zaid bin
Aslam, dari bapaknya, dari kakeknya, dari Umar bin Khaththab dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam]
Al-Hakim berkata: “Isnadnya shahih...”, tetapi perkataannya dibantah
oleh Adz-Dzahabi: “Tidak shahih, bahkan palsu. Abdurahman adalah perawi
lemah, Abdullah bin Muslim Al-Fihri, aku tidak tahu siapakah dia
sesungguhnya.”
Tetapi di dalam kitab Mizanul I’tidal, Adz-Dzahabi berkata tentang
hadits ini yang terdapat Abdullah bin Muslim Al-Fihri : “Khabar
(hadits) batil, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di dalam Dalailun
Nubuwwah”.
Al-Baihaqi berkata: “Abdurahman bin Zaid bin Aslam sendirian meriwayatkan hadits ini, padahal dia seorang yang dha’if.”
Ibnu Katsir menyetujuinya di dalam Tarikhnya II/323.
Demikian juga Ibnu Hajar menyetujui pernyatan Adz-Dzahabi bahwa hadits itu batil.
Hadits itu juga diriwayatkan oleh Thabarani, tetapi juga lewat perawi
Abdurahman bin Zaid bin Aslam. Dalam sanad Thabarani juga terdapat
perawi majhul, sebagaimana dikatakan oleh Al-Haitsami di dalam Majma’uz
Zawaid VIII/253.
d). Adapun perkataan Al-Qadhi ‘Iyadh: “Hadits syafa’at mencapai
(derajat) mutawatir”, ini perlu diperiksa lagi, hadits syafa’at yang
mana yang beliau kehendaki. Jika yang dimaksud adalah hadits syafa’at
bagi kaum mukminin yang masuk neraka sehingga mereka masuk sorga, maka
itu benar. Atau yang dimaksud adalah hadits syafa’at al-uzhma yang
dimiliki oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka itu memang
hadits shahih. Tetapi jika yang dimaksud adalah hadits syafa’at Nabi
Adam dengan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka kita
semua telah tahu kelemahannya!
4. Adapun hadits pertama, itu bukanlah do’a Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sholat hajat, tetapi doa yang
diajarkan Rasulullah kepada seorang buta yang mendatangi beliau. Lafazh
riwayatnya sebagaimana di bawah ini:
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ أَنَّ
رَجُلاً ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ فَقَالَ ادْعُ الهَت أَنْ
يُعَافِيَنِي قَالَ إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ
خَيْرٌ لَكَ قَالَ فَادْعُهُ قَالَ فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ
فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ إِنِّي
أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ
الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ
لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ
"Dari Utsman bin Hunaif, bahwa seorang lelaki buta mendatangi Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu berkata: “Berdoalah kepada Allah
agar Dia menyembuhkanku”. Beliau bersabda: “Jika engkau mau aku akan
berdoa, tetapi jika engkau mau bersabar, itu lebih baik bagimu.” Lelaki
tadi berkata: “Doakanlah kepadaNya”. Maka beliau memerintahkannya untuk
berwudhu’ dengan membaguskan wudhu’nya, (pada riwayat lain: lalu shalat
dua raka’at), lalu berdoa dengan doa ini: “Wahai Allah, sesungguhnya
aku memohon kepadaMu, dan aku menghadapMu dengan NabiMu, Muhammad, Nabi
pembawa rahmat. Sesungguhnya aku menghadap Rabbku denganmu (Nabi
Muhammad) di dalam kebutuhanku ini, agar dipenuhi untukku. Wahai Allah,
oleh karena itu terimalah permintaan beliau (Nabi Muhammad) untukku.
(pada riwayat lain: maka lelaki tadi lalu melaksanakan, kemudian dia
sembuh)."
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi no:3578, Nasa-i di dalam
‘Amalul Yaum wal Lailah no:659, Ibnu Majah, Thabarani di dalam
Al-Kabir, Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak. Dishahihkan oleh Al-Albani di
dalam At-Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu, hal: 75-76.
Atau dalam riwayat lain :
حدثنا طاهر بن
عيسى بن قيرس المصري التميمي حدثنا أصبغ بن الفرج حدثنا عبد الله بن وهب
عن شبيب بن سعيد المكي عن روح بن القاسم عن أبي جعفر الخطمي المدني عن أبي
أمامة بن سهل بن حنيف عن عمه عثمان بن حنيف أن رجلا كان يختلف إلى عثمان
بن عفان رضي الله عنه في حاجة له فكان عثمان لا يلتفت إليه ولا ينظر في
حاجته فلقي عثمان بن حنيف فشكا ذلك إليه فقال له عثمان بن حنيف ائت
الميضأة فتوضأ ثم ائت المسجد فصلي فيه ركعتين ثم قل اللهم إني أسألك
وأتوجه إليك بنبينا محمد صلى الله عليه و سلم نبي الرحمة يا محمد إني
أتوجه بك إلى ربك ربي جل وعز فيقضي لي حاجتي وتذكر حاجتك ورح إلي حتى أروح
معك فانطلق الرجل فصنع ما قال له عثمان ثم أتى باب عثمان فجاء البواب حتى
أخذ بيده فأدخله عثمان بن عفان فأجلسه معه على الطنفسة وقال حاجتك فذكر
حاجته فقضاها له ثم قال له ما ذكرت حاجتك حتى كانت هذه الساعة وقال ما
كانت لك من حاجة فأتنا ثم ان الرجل خرج من عنده فلقي عثمان بن حنيف فقال
له جزاك الله خيرا ما كان ينظر في حاجتي ولا يلتفت إلي حتى كلمته في فقال
عثمان بن حنيف والله ما كلمته ولكن شهدت رسول الله صلى الله عليه و سلم
وأتاه ضرير فشكا عليه ذهاب بصره فقال له النبي صلى الله عليه وآله وسلم
أفتصبر فقال يا رسول الله إنه ليس لي قائد وقد شق علي فقال له النبي صلى
الله عليه و سلم إئت الميضأة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم ادع بهذه الدعوات قال
عثمان فوالله ما تفرقنا وطال بنا الحديث حتى دخل علينا الرجل كأنه لم يكن
به ضرر قط
Telah menceritakan kepada kami Thahir bin Isa bin Qibarsi Al Mishri At
Tamimi yang berkata menceritakan kepada kami Asbagh bin Faraj yang
berkata menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Wahb dari Syabib bin
Sa’id Al Makkiy dari Rawh bin Qasim dari Abu Ja’far Al Khatami Al
Madini dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif dari pamannya Utsman bin
Hunaif bahwa seorang laki-laki berkali-kali datang kepada Utsman bin
‘Affan radiallahu ‘anhu untuk suatu keperluan [hajat] tetapi Utsman
tidak menanggapinya dan tidak memperhatikan keperluannya.
Kemudian orang tersebut menemui Utsman bin Hunaif dan mengeluhkan hal
itu. Maka Utsman bin Hunaif berkata “pergilah ke tempat berwudhu’ dan
berwudhu’lah kemudian masuklah ke dalam masjid kerjakan shalat dua
raka’at kemudian berdoalah “Ya Allah aku memohon kepadamu dan menghadap
kepadamu dengan Nabi kami, Nabi pembawa rahmat. Ya Muhammad aku
menghadap denganmu kepada TuhanMu Tuhanku agar memenuhi keperluanku”
kemudian sebutkanlah hajat atau keperluanmu, berangkatlah dan aku dapat
pergi bersamamu. Maka orang tersebut melakukannya kemudian datang
menghadap Utsman, ketika sampai di pintu Utsman penjaga pintu Utsman
memegang tangannya dan membawanya masuk kepada Utsman bin ‘Affan maka
ia dipersilakan duduk disamping Utsman. Utsman berkata “apa
keperluanmu” maka ia menyebutkan keperluannya dan Utsman segera
memenuhinya. Utsman berkata “aku tidak ingat engkau menyebutkan
keperluanmu sampai saat ini” kemudian Utsman berkata “kapan saja engkau
memiliki keperluan maka segeralah sampaikan”. Kemudian orang tersebut
pergi meninggalkan tempat itu dan menemui Utsman bin Hunaif, ia berkata
“Semoga Allah ta'ala membalas kebaikanmu, ia awalnya tidak
memperhatikan keperluanku dan tidak mempedulikan kedatanganku sampai
engkau berbicara kepadanya tentangku”. Utsman bin Hunaif berkata “Demi
Allah, aku tidak berbicara kepadanya, hanya saja aku pernah menyaksikan
seorang buta menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengeluhkan kehilangan penglihatannya, Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam berkata “bersabarlah”. Ia berkata “wahai Rasulullah, aku tidak
memiliki penuntun yang dapat membantuku dan itu sungguh sangat
menyulitkanku”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “pergilah ke
tempat wudhu’, berwudhu’lah kemudian shalatlah dua rakaat kemudian
berdoalah” yaitu doa ini. Utsman bin Hunaif berkata “demi Allah kami
tidaklah berpisah dan berbicara lama sampai ia datang kepada kami dalam
keadaan seolah-olah ia tidak pernah kehilangan penglihatan sebelumnya”
[Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ath Thabrani dalam Al Mu’jam As
Shaghir (1/306 no 508, Al Maktab Al Islamiy, cetakan pertama tahun 1405
H, tahqiq Muhammad Syakur Mahmud Al Haaj Amir; 1/183-184, Dar Al Kutub
Al Imiyyah Beirut, cetakan tahun 1403 H) dan Al Mu’jam Al Kabir (9/30
no 8311, Maktabah Al Ulum wal Hikam Mousil, cetakan kedua tahun 1404 H,
tahqiq Hamdiy bin Abdil Majid) dengan jalan dari Thahir bin Isa bin
Qayras Al Mishri At Tamimi dari Asbagh bin Al Faraj dari Abdullah bin
Wahb bin Muslim dari Syabib bin Sa’id Al Makki dari Rawh bin Al Qasim
dari Abu Ja’far Al Khathmi Al Madini dari Abu Umamah bin Sahl bin
Hunaif.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam Dala’il An
Nubuwah (6/167-168, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah Beirut dan Dar Ihya At
Turats, tahqiq Dr. Abdul Mu’thi Qal’aji, cetakan pertama tahun 1408 H;
6/354 no hadis 2417, Maktabah Syamilah) bab “ma fi ta’limihi adh dharir
ma kana fihi syifauhu hina lam yashbir wama zhoharo fi dzalika min
atsari an nubuwwah” dengan jalan Ismail bin Syabib dari ayahnya Syabib
bin Sa’id Al Makki dari Rawh bin Al Qasim dari Abu Ja’far Al Khathmi Al
Madini dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif. Kemudian diriwayatkan oleh
Al Baihaqi dalam kitab yang sama dan Abdul Ghani Al Maqdisi dalam At
Targhib fi Du’a no 61 dengan jalan dari Ahmad bin Syabib bin Sa’id dari
ayahnya Syabib bin Sa’id Al Makki dari Rawh bin Qasim dari Abu Ja’far
Al Khathmi dari Abu Umamah bin Sahl dari Utsman bin Hunaif.]
Perkataan di dalam doa lelaki buta tersebut: “aku menghadap-Mu dengan NabiMu”, bisa memiliki beberapa kemungkinan makna:
a). Aku menghadapMu dengan –dzat/jasad- NabiMu
b). Aku menghadapMu dengan –jah (kedudukan)- NabiMu
c). Aku menghadapMu dengan –doa- NabiMu
Oleh karena itu harus ditentukan makna yang dimaksudkan perkataan tersebut berdasarkan dalil-dalil yang ada.
Orang-orang Sufi berdalil dengan hadits ini tentang bolehnya tawassul
dengan dzat dan jah (kedudukan) Nabi, mereka tidak menyebutkan dalil
kecuali kisah Utsman bin Hunaif, tambahan pada sebagian riwayat pada
hadits di atas. Tetapi tambahan kisah ini dha’if sebagaimana dijelaskan
oleh Syeikh Al-Albani di dalam At-Tawassul, hal: 92-96.
Sedangkan Salafus Shalih menjadikan hadits ini sebagai dalil tawassul
dengan doa orang shalih yang masih hidup, dengan dalil-dalil sebagai
berikut:
a). Bahwa orang buta itu mendatangi Nabi, agar beliau
mendoakannya, dengan dalil perkataannya di dalam hadits di atas:
“Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku”.
b). Bahwa Nabi menjanjikan doa untuknya, namun beliau juga
menasehatkan untuk bersabar, yang itu lebih utama. Yaitu sabda beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Jika engkau mau aku akan berdoa,
tetapi jika engkau mau bersabar, itu lebih baik bagimu.”
c). Orang buta itu tetap meminta Nabi untuk mendoakannya, yaitu
dengan perkataannya: “Doakanlah kepadaNya”. Sedangkan beliau pasti
memenuhi janjinya, beliau telah menjanjikan untuk mendoakannya.
d). Bahwa para ulama menyebutkan hadits ini sebagai mu’jizat beliau dan doa beliau yang mustajab.
e). Bahwa tawassul dengan doa Nabi adalah tawassul yang
disyari’atkan, sesuai dengan nash-nash Al-Kitab dan As-Sunah serta
perbuatan para sahabat. Maka seandainya tawassul dengan dzat atau jah
Nabi disyari’atkan, tentulah para sahabat tidak akan meninggalkannya.
Dan lain-lain. Lihat Al-Istighatsah Ar-Raddu ‘Alal Bakri, hal:391-392,
tahqiq: Abdullah bin Dajin As-Sahli; At-Tawassul karya Al-Albani, hal:
76-83.
5. Hadits kedua , artinya adalah: “Aku mendengar shalawat yang
dilakukan oleh orang-orang yang mencintaiku, dan aku mengenal mereka.
Sedangkan shalawat selain mereka diperlihatkan kepadaku.” Itu adalah
jawaban beliau n , ketika ditanya: “Bagaimana pendapat anda terhadap
shalawat yang dilakukan oleh orang-orang yang bershalawat yang tidak
ada di hadapanmu, dan orang-orang yang akan datang setelah anda.
Bagaimana keadaan keduanya di sisi anda?”
Bantahan
a). Hadits itu tidak disebutkan siapa yang meriwayatkannya dan
bagaimana derajatnya, sehingga tidak dapat diterima sebagai hujjah!
b). Seandainya hadits itu shahih, maka di dalamnya tidak ada hujjah yang membolehkan tawassul dengan dzat atau jah Nabi n .
6. Kisah Bilal disebutkan dishahihkan oleh Imam Malik, bahwa
Bilal bin Harits Radhiyallahu 'anhu ziarah ke kuburan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, di situ beliau berdo’a:
يَا رَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ لأُمَّتِكَ فإِنّهُمْ هَلَكُوْا
"Wahai Rasulullah, mohonlah hujan untuk umatmu, karena sesungguhnya mereka binasa".
Kemudian Bilal tidur dan bermimpi didatangi oleh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam yang berkata: “Hai Bilal, Insya Allah umatku akan
diberikan hujan” ketika Bilal terjaga, hujan sudah turun.
Bantahan :
Kisah di atas perlu dicek kebenarannya, benarkah Imam Malik menshahihkan nya?
Kisah seperti itu disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari II/495-496 sebagai berikut:
"Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari riwayat
Abi Shalih As-Saman dari Malik Ad-Dar –dia adalah penjaga (baitul mal)
Umar- , dia berkata: “Orang-orang tertimpa paceklik di zaman Umar,
kemudian datanglan seorang laki-laki ke kubur Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, mohonkanlah hujan untuk
umatmu, karena sesungguhnya mereka telah binasa (terkena paceklik)”.
Maka lelaki tadi bermimpi, didatangi seseorang dan dikatakan kepadanya:
“Datanglah kepada Umar...”Al-Hadits. Dan Saif telah meriwayatkan di
dalam Al-Futuh, bahwa orang yang bermimpi tersebut adalah Bilal bin
Al-Harits Al-Muzni, salah seorang sahabat”.
Tetapi kisah ini dibantah oleh Syeikh Al-Albani di dalam At-Tawassul, hal : 131-134, secara ringkas sebagai berikut:
a). Tidak dapat diterima keshahihan riwayat ini, karena Malik
Ad-Dar adalah perawi yang tidak dikenal (sifat) ‘adalah dan
kecermatannya, sehingga riwayat ini dha’if. Sedangkan perkataan
Al-Hafizh Ibnu Hajar di atas: “Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan
sanad yang shahih dari riwayat Abi Shalih”, tidak berarti riwayat itu
shahih seluruh sanadnya, tetapi artinya sanadnya shahih sampai Abi
Shalih.
b). Hal itu bertentangan dengan apa yang telah pasti di dalam
agama, yaitu bahwa disukainya shalat istisqa’ untuk mohon hujan dari
langit, yang ini disebutkan d idalam banyak hadits dan dipegangi oleh
banyak ulama.
c). Seandainya riwayatnya shahih, juga tidak dapat diterima,
karena orang yang meminta itu tidak diketahui namanya. Adapun
disebutnya nama Bilal pada riwayat Saif (Ibnu Umar At-Tamimi) tidak
berharga sedikitpun, karena Saif ini disepakati dha’ifnya oleh para
ahli hadits.
d). Riwayat ini tidaklah ada di dalamnya tawassul dengan dzat
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi hanyalah permintaan doa dari
beliau agar Allah menurunkan hujan kepada umatnya. Tawassul dengan ini
berbeda, walaupun minta dari Nabi setelah wafatnya juga tidak boleh.”
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menyatakan: “Riwayat ini
-seandainya shahih sebagaimana dikatakan oleh pensyarah (Al-Hafizh Ibnu
Hajar)- bukanlah hujjah atas bolehnya minta hujan (kepada Allah) lewat
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah wafat beliau. Karena orang
yang meminta itu majhul (tidak dikenal), dan karena perbuatan para
sahabat menyelisihinya, sedangkan mereka adalah orang-orang yang paling
mengetahui terhadap agama.
Tidak ada seorangpun dari mereka mendatangi kubur nabi –atau kubur
lainnya- untuk minta hujan. Bahkan ketika terjadi kekeringan, Umar
tidak meminta lewat Nabi (setelah wafat beliau), tetapi memohon hujan
kepada Allah lewat perantaraan Abbas, dan tidak ada seorangpun dari
para sahabat yang mengingkari Umar, maka hal itu menunjukkan bahwa itu
adalah haq. Sedangkan yang dilakukan oleh orang tak dikenal itu
merupakan kemungkaran, dan sarana menuju kemusyrikan, bahkan sebagian
ulama menghukuminya termasuk jenis-jenis kemusyrikan.
Adapun di dalam riwayat Saif yang menyatakan bahwa nama orang yang
meminta itu adalah Bilal bin Al-Harits, maka tentang keshahihannya
perlu dikoreksi, dan pensyarah (Al-Hafizh Ibnu Hajar) tidak menyebutkan
sanad Saif tersebut. Dan seandainya shahih-pun tidak dapat menjadi
hujjah, karena perbuatan para pembesar sahabat menyelisihinya,
sedangkan mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui terhadap
Rasulullah n dan agama beliau daripada selain mereka. Wallahu A’lam”.
(Fote note Fathul Bari II/495)
Adapun hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ بِي. رواه أبو هريرة
"Barangsiapa melihatku di dalam mimpi, maka sesungguhnya dia telah melihatku, karena setan tidak dapat menyerupaiku".
Ini memang hadits shahih, tetapi tidak berarti bahwa setiap orang yang
mengaku bermimpi bertemu dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
berarti dia benar-benar bertemu dengan beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Bisa jadi dia berdusta, atau bisa jadi setan mendatanginya,
bukan sebagaimana wujud Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu setan
mengaku bahwa dia adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan
orang yang bermimpi itu tidak pernah berjumpa dengan Nabi, juga tidak
pernah mempelajari Sunnahnya, bagaimana dia dapat mengetahui beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam ?!
7. Adapun kisah pembuatan jendela di atas kubur Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Ad-Darimi tersebut, bantahan
kami adalah sebagai berikut (Istighatsah, hal:402-404):
a). Riwayat ini dha’if, karena beberapa perkara:
- Di dalam sanadnya ada perawi dha’if bernama Sa’id bin Zaid Al-Azdi.
- Juga ada perawi dha’if lainnya bernama Amr bin Malik An-Nukri.
- Ada perawi bernama Abu Nu’man, dia berubah hafalannya karena tua, dan
tidak diketahui apakah Ad-Darimi mendengar darinya sebelum berubah
hafalan atau sesudahnya, sehingga riwayat ini tertolak.
- Kisah itu hanyalah dari ‘Aisyah, tidak dari Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam, seandainya shahih bukan merupakan hujjah, karena bisa jadi
hanyalah ijtihad (pendapat) beliau semata.
b). Syeikhul Islam rahimahullah berkata: “Adapun apa yang
diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'anha , yaitu pembuatan lobang
(pada atap rumah) dari kubur Nabi ke langit agar supaya hujan turun,
maka itu tidak shahih, sanadnya tidak sah. Termasuk yang menjelaskan
kedustaannya adalah bahwa di zaman kehidupan Aisyah Radhiyallahu 'anha,
rumah itu tidaklah ada lobangnya, bahkan tetap sebagaimana di zaman
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagian beratap, sebagiannya
terbuka, dan sinar matahari turun padanya”.
c). Di dalam tarikh (sejarah) Islam tidak dikenal tahun yang disebut dengan ‘amul fatqi (tahun fatqi).
d). Seandainya riwayat ini shahih, maka di dalamnya tidak ada
dalil bolehnya tawassul dengan orang yang telah mati! Tetapi yang
terjadi hanyalah membukakan atap untuk kubur, agar rahmat Allah turun
padanya.
8. Riwayat seorang Arab yang mendatangi kubur Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, yang berdoa sambil berdiri, arti doanya adalah:
“Wahai Allah, sesungguhnya Engkau telah memerintahkan untuk
memerdekakan budak, maka inilah habibMu (kecintaanMu/Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam), dan saya budakMu (hambaMu), maka
merdekakanlah (selamatkanlah) aku dari neraka di atas kubur habibMu.
Maka ada seseorang yang berseru tanpa kelihatan orangnya: “Wahai
engkau, engkau minta kemerdekaan (keselamatan) -dari neraka- hanya
untukmu sendiri, kenapa engkau tidak minta kemerdekaan (keselamatan)
-dari neraka- untuk seluruh kaum muslimin. Pergilah! Sesungguhnya Aku
telah memerdekakanmu.”
Bantahan :
a). Riwayat itu bukan ayat Al-Qur’an, bukan hadits Nabi yang
shahih, dan bukan ijma’ , maka tidak dapat diterima sebagai hujjah.
Karena Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak berhujjah dengan hikayat-hikayat!
Apalagi yang tidak jelas kebenarannya!
b). Kisah itu belum tentu shahih, bagaimana kita berhujjah dengannya?!
c). Seandainya kisah itu shahih, maka orang yang berseru –yang
tanpa kelihatan orangnya- itu tidak diketahui siapa dia, mungkin sekali
dia adalah setan yang berusaha menjerumuskan manusia ke dalam
kesesatan. Kalau bukan setan, siapa dia? Apa dalilnya? Hal ini adalah
masalah ghaib, yang kita tidak dapat berhujjah kecuali dengan Al-Kitab
dab As-Sunnah.
d). Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Hikayat-hikayat ini yang terjadi pada orang-orang yang minta tolong
kepada sebagian manusia yang telah mati atau orang-orang yang tidak ada
di hadapannya, dan memang mereka mendapatkan kebiasaan-kebiasaan itu
dilakukan oleh sebagian orang yang memiliki sebagian ilmu agama,
melakukan ibadah dan zuhd, tetapi mereka tidak memiliki hadits yang
diriwayatkan, dan tidak memiliki nukilan dari sahabat, tabi’i, dan
tidak juga perkataan imam yang diridhai (ulama yang terpercaya-Red).
Oleh karena inilah ketika orang-orang yang memiliki keutamaan di antara
mereka diingatkan, merekapun sadar dan mereka mengetahui bahwa yang
mereka lakukan itu bukanlah dari agama Islam, bahkan itu adalah
menyerupai para penyembah berhala”. (Al-Istighatsah, hal:375)
9. a) Riwayat Imam Syafi’i sering sekali mendatangi kubur Imam
Abi Hanifah, lalu memberi salam lalu berdo’a kepada Allah dengan
bertawassulkan Abi Hanifah dalam usaha terkabulnya do’a.
b) Demikian juga Imam Ahmad bin Hambal berdo’a bertawassulkan
Imam Syafi’i, sampai-sampai anaknya yang bernama Abdullah bin Ahmad bin
Hambal menjadi heran, dan Imam berkata kepadanya: “Hai Abdullah, Imam
Syafi’i bagi manusia seperti matahari, bagi badan seperti azimat yang
bisa menjadi sebab keselamatan, dan seperti obat yang menjadi sebab
kesembuhan”.
c) Dan Imam Syafi’i ketika diberitahu bahwa penduduk Magrib
apabila mempunyai hajat, mereka berdo’a kepada Allah dengan
bertawassulkan Imam Malik, beliau tidak mengingkari bahkan membenarkan”.
Bantahan :
a). Benarkah kisah-kisah tersebut dari para imam itu? Tidak
cukup kisah itu tertulis di kitab-kitab, lalu diambil dan dipercayai!
Walaupun seandainya kitab-kitab yang memuat kisah-kisah tersebut
ditulis oleh orang yang terpercaya, namun dari siapa dia mengambil
riwayat itu? Kebenaran kisah-kisah itu harus dibuktikan dengan dua hal,
pertama: adanya sanad, dan kedua: sanadnyapun harus shahih!
b). Seandainya kisah-kisah itu benar, maka juga tidak dapat
diterima hujjah dalam masalah agama. Karena hujjah dalam agama adalah
Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma’.
10. Arti hadits Abu Hurairah itu adalah: “Abu Razin berkata:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya jalanku melewati (kubur) orang-orang
yang telah mati. Adakah perkataan bagiku, yang akan aku katakan jika
aku melewati mereka? Beliau menjawab: “Katakanlah: Semoga keselamatan
atas kamu wahai penduduk kubur, dari kalangan kaum muslimin dan
mukminin. Kamu bagi kami adalah orang-orang yang telah terdahulu
(meninggal), sedangkan kami bagi kamu adalah orang-orang yang mengikuti
(akan meninggal), dan insya Allah, kami akan menyusul kamu”. Abu Razin
bertanya: “Apakah mereka mendengar?” Beliau menjawab: “Mereka
mendengar, tetapi tidak mampu menjawab –yaitu jawaban yang dapat
didengar oleh orang yang hidup-. Wahai Abu Razin, tidakkah engkau suka
para malaikat sejumlah mereka menjawab (salam)mu?
Bantahan :
a). Hadits ini munkar, sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Al-Albani di dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah no: 5225
b). Seandainya shahihpun, di dalamnya tidak ada dalil tentang
tawassul dengan orang yang telah mati, paling tinggi hanyalah sebagai
dalil bahwa orang yang mati itu mendengar, tetapi bukan berarti boleh
dijadikan sarana tawassul atau tempat meminta!
11. Hadits ‘Aisyah itu diriwayatkan imam Muslim, sebagai berikut:
قُلْتُ كَيْفَ أَقُولُ لَهُمْ يَا
رَسُولَ اللهِ قَالَ قُولِي السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ
مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ
لَلاَحِقُونَ
"Aku (‘Aisyah) berkata: “Apa yang akan aku katakan kepada mereka wahai
Rasulullah? Beliau menjawab: “Katakanlah: Semoga keselamatan atas kamu
wahai penduduk kubur, dari kalangan kaum muslimin dan mukminin. Dan
mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang telah terdahulu
(meninggal) dari kami dan orang-orang yang akhir (belum meninggal), dan
insya Allah, kami akan menyusul kamu"
Bantahan :
a). Hadits ini shahih, tetapi di dalamnya tidak ada dalil
tentang tawassul dengan orang yang telah mati, paling tinggi hanyalah
sebagai dalil bahwa orang yang mati itu mendengar, sebagaimana di atas.
b). Tentang masalah orang yang mati itu mendengar atau tidak
adalah perkara yang diperselisihkan para ulama, tetapi yang rajih
(lebih kuat) adalah bahwa pada asalnya orang mati tidak mendengar.
[Lihat Majalah As-Sunnah Edisi 10/Th.IV/1421-2000, hal:30-38,
rubrik:Aqidah]
c). Kalau ada yang mengatakan: “Ketika berziarah apa gunanya
memberi salam kepada orang-orang yang telah mati, jika mereka tidak
mendengar?”. Maka jawabnya adalah: Bahwa hal itu merupakan doa untuk
mereka, dan merupakan perkara ta’abbudiyyah, yaitu perkara ibadah yang
kita harus taat, walaupun tidak memahami hikmahnya. Sebagaimana jika
kita shalat menjadi makmum, maka di akhir shalat kita mengucapkan salam
dengan pelan dan salam itu kita niatkan untuk para malaikat pencatat
amalan, untuk imam, dan untuk seluruh makmum, walaupun mereka tidak
mendengar. Dan hal itu umum di dalam bahasa Arab, tidak tersembunyi
bagi orang-orang yang tahu. [Lihat Ayatul Bayinat fii Adami Sama’il
Amwat, hal:95, karya Al-Alusi, tahqiq Syeikh Al-Albani]
d). Seandainya hadits itu menunjukkan orang mati dapat
mendengar, tetapi di dalamnya juga tidak ada dalil bolehnya tawassul
dengan mereka. Wallahu A’lam.
Demikianlah jawaban yang kami sampaikan mudah-mudahan dapat
menghilangkan syubhat-syubhat yang ada pada penanya khususnya, dan kaum
muslimin pada umumnya.
KESIMPULAN :
Di sini kami ringkaskan jawaban kami di atas, yaitu:
1. Tawassul, yaitu berdoa kepada Allah dengan perantara, ada yang disyari’atkan dan ada yang terlarang.
2. Tawassul yang disyari’atkan, yaitu: bertawassul dengan: a)
Nama-nama Allah dan sifat-sufatNya. b) iman dan amal shalih orang yang
berdoa. c) Doa orang shalih yang masih hidup. Adapun yang terlarang
adalah yang tidak ada dalilnya, seperti: tawassul dengan orang yang
telah mati, dengan dzat atau kehormatan Nabi, orang shalih, dan lainnya.
3. Seluruh dalil yang dipakai oleh orang-orang yang membolehkan tawassul dengan orang yang telah mati, ada dua kemungkinan:
a) Dalil itu lemah.
b) Dalil itu shahih, tetapi difahami dengan keliru.
Wallahu A’lam bish Shawab.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun V/1422H/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta]
Sumber : http://almanhaj.or.id/content/2758/slash/0
No comments:
Post a Comment