Nasikh dan Mansukh
Oleh Ustadz Muslim Al-Atsari
Naskh secara bahasa artinya: menghilangkan, menghapuskan, memindahkan, menulis. Adapun secara istilah, maka ada dua macam: Pertama. Naskh menurut istilah para ulama ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki ta’rif yang berbeda-beda.
Al-Baidhowi rahimahullah (wafat 685 H) mendefinisikan dengan, “Naskh adalah penjelasan berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang setelahnya.”
Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan menyatakan, “Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu, dengan perkataan yang datang setelahnya.”
Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, yaitu, “Menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah.”
Kedua, Naskh menurut istilah Salafush Shalih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang ada pada mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin.
Hudzaifah ra berkata, “Yang memberi fatwa kepada manusia hanyalah tiga orang; Orang yang mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an, atau amir (pemimpin) yang harus (berfatwa), atau orang dungu yang memaksakan diri.”
Imam Ibnul Qayyim berkata mengomentari perkataan di atas: “Yang dimaksudkan oleh beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh kebanyakan Salaf dengan (istilah) nasikh dan mansukh terkadang adalah menghapuskan hukum sekaligus. Dan ini merupakan istilah mutaakhirin, dan terkadang adalah menghapus penunjukkan dalil ‘am, muthlaq, zhahir, dan lainnya. Kemungkinan dengan takhshish (pengkhususan), taqyid (penentuan), atau membawa yang muthlaq kepada muqayyad (yang ditentukan), dan tafsir (penjelasan) serta tanbih (mengingatkan).
Nasikh artinya yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau As-Sunnah yang menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya. Pada hakikatnya nasikh (yang menghapuskan) adalah Allah Azza wa Jalla.
Mansukh artinya yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syar’i atau lafazhnya yang dihapuskan.
Penunjukkan Adanya Naskh dalam Syari’atPerlu diketahui bahwa adanya naskh dalam syari’at atau adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh (dihapus hukumnya/lafazhnya) oleh ayat lain ditunjukkan oleh dalil naql (ayat/hadits), dalil akal, dan ijma’.
Dalil NaqlFirman Allah SWT: "Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)..." (QS Al Baqarah: 106).
Makna kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an, sebagaimana penafsiran Salafush Shalih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodhi, Adh-Dhahhak, ‘Atho’, As-Suddi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Katsir.
Adapun manafsirkan kata “ayat” pada firman Allah di atas dengan “mukjizat”, sebagaimana dalam Tafsir Qur’an Al-Furqan, karya A Hassan, maka kami khawatir itu merupakan tafsir bid’ah. Walaupun secara bahasa dibenarkan, namun bertentangan dengan ijma’ ahli tafsir sebagaimana di atas.
Firman Allah: "Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain." (QS An Nahl: 101).
Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Allah jadikan pengganti adalah nasikh, ayat yang digantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas, sebagaimana kita lihat. Adapun sebagian dari contoh-contoh ayat mansukh akan kami sampaikan di bawah insya Allah. Lebih luas dapat dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqih.
Dalil Aql
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata, “Naskh boleh terjadi menurut akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut akal, karena segala perkara di tangan Allah, segala hukum (keputusan) milik-Nya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa) Al-Malik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi hamba-hamba-Nya apa yang dituntut oleh hikmah-Nya dan rahmat-Nya. Apakah akal menolak jika Sang Pemilik memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki?"
Dalil Ijma’
Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-Baji berkata, “Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh syari’at menurut akal dan syara’.”
Al-Kamal Ibnul Humam berkata, “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas bolehnya (naskh, secara akal) dan terjadinya (secara syari’at).”
Macam-Macam Naskh
Pertama, macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada tiga bagian:
1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap
Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap.
Hikmah naskh jenis ini adalah tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan mengingatkan umat tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang diringankan dan dimudahkan.
Contohnya firman Allah: "Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti." (QS Al Anfal: 65).
Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200 orang-orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1.000 orang-orang kafir.
Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya: "Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS Al Anfal: 66).
Abdullah bin Abbas berkata, "Ketika turun (firman Allah): “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.” (QS Al-Anfal: 65), hal itu berat atas umat Islam, yaitu ketika diwajibkan atas mereka, bahwa satu orang tidak boleh lari menghadapi 10 (musuh). Kemudian datanglah keringanan, Allah berfirman: “Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang.” (QS Al-Anfal: 66). Ketika Allah telah meringankan dari mereka jumlah (musuh yang wajib dihadapi), kesabaran pun berkurang seukuran apa yang Allah telah meringankan dari mereka.” (HR Bukhari).
Inilah contoh hukum yang mansukh di dalam Al-Qur’an. Penjelasan mansukhnya hukum dalam ayat 65 surat Al-Anfal di atas, selain dari Ibnu Abbas, juga diriwayatkan dari Mujahid, Atho’, ‘Ikrimah, Hasan Al-Bashri, Zaid bin Aslam, ‘Atho Al-Khurosani, Adh-Dhohhak, dan lainnya. Orang yang menolak adanya mansukh dalam Al-Qur’an telah menyelisihi penafsiran mereka.
2. Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya TetapAl-Aamidi menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari kalangan Muktazilah.
Hikmah naskh jenis ini adalah agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi nampak, yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi Ibrahim AS bersegera akan melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya, Nabi Ismail, dengan sumber mimpi. Sedangkan mimpi adalah tingkatan terendah jalan wahyu kepada para nabi.
Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Ia berkata, “Hikmah naskh lafazh tanpa (naskh) hukumnya adalah untuk menguji umat terhadap amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-Qur’an, dan mewujudkan keimanan mereka dengan apa yang Allah turunkan. Berbeda dengan orang-orang Yahudi yang berusaha menutupi nash rajam di dalam Taurat.”
Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajam. Umar bin Al-Khathab berkata, "Sesungguhnya aku khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia sehingga seseorang akan berkata: “Kita tidak mendapati rajm di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Ingatlah, sesungguhnya rajam adalah haq atas orang yang berzina dan dia telah menikah, jika bukti telah tegak, atau ada kehamilan, atau ada pengakuan.” Sufyan berkata, “Demikianlah yang aku ingat. Ingatlah, Rasulullah SAW telah melakukan rajam, dan kita telah melakukan rajam setelah beliau.” (HR Bukhari)
Adapun lafazh ayat rajam, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi; "Laki-laki yang tua (maksudnya yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya yang sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana."
3. Nash Yang Mansukh Hukumnya dan LafazhnyaContoh, ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata, "Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan,” kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan “Lima kali penyusuan yang diketahui.” Kemudian Rasulullah SAW wafat dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an." (HR Muslim).
Makna perkataan ‘Aisyah “dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an” adalah:
• Yaitu: Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak.
• Atau: Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih tetap membacanya.
Kedua, macam-macam naskh dilihat dari nash yang nasikh (menghapus)–secara ringkas—ada empat bagian:
1. Al-Qur’an Dimansukh dengan Al-Qur’anJenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama, ada pun orang yang beranggapan tidak ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya tidak dianggap. Contohnya adalah ayat 65, yang mansukh oleh ayat 66 dari surat Al-Anfal.
Contoh lain firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Mujadilah: 12)
Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-bisik dengan Rasulullah. Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang menghapuskan kewajiban tersebut. "Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul. Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS Al-Mujadilah: 13)
2. Al-Qur’an Dimansukh dengan As-Sunnah.
Pada jenis ini ada dua bagian:
a). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir
Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau menyatakan, “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an yang datang setelahnya…” Namun Syaekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata, “(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali penyusuan dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan Al-Hafd dengan Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya.”
b). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad
Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih dan terjadi contohnya firman Allah: "Katakanlah: 'Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi—karena sesungguhnya semua itu kotor –atau binatang disembelih atas nama selain Allah." (QS Al An’am: 145)
Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan—pada saat ayat ini diturunkan—hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, pada saat itu, daging keledai jinak boleh dimakan, berdasarkan ayat ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan hukumnya oleh hadits-hadits shahih yang datang kemudian yang mengharamkan daging keledai jinak. Karena ayat di atas termasuk surat Al-An’am, yang merupakan surat Makiyyah, yang turun sebelum hijrah, dengan kesepakatan ulama. Adapun pengharaman daging keledai jinak dengan Sunnah terjadi setelah itu di Khaibar.
3. As-Sunnah Dimansukh dengan Al-Qur’an
Contoh jenis ini adalah syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini berdasarkan Sunnah, dihapuskan dengan firman Allah SWT: "Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya." (QS Al-Baqarah: 144)
4. As-Sunnah Dimansukh dengan As-Sunnah
Contoh, sabda Nabi SAW, "Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah (kubur)." (HR Muslim)
Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh (ayat yang menghapus hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat yang dihapus) hukumnya atau lafazhnya. Wallahua'lam. Demikian, semoga bermanfaat.
Naskh secara bahasa artinya: menghilangkan, menghapuskan, memindahkan, menulis. Adapun secara istilah, maka ada dua macam: Pertama. Naskh menurut istilah para ulama ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki ta’rif yang berbeda-beda.
Al-Baidhowi rahimahullah (wafat 685 H) mendefinisikan dengan, “Naskh adalah penjelasan berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang setelahnya.”
Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan menyatakan, “Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu, dengan perkataan yang datang setelahnya.”
Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, yaitu, “Menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah.”
Kedua, Naskh menurut istilah Salafush Shalih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang ada pada mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin.
Hudzaifah ra berkata, “Yang memberi fatwa kepada manusia hanyalah tiga orang; Orang yang mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an, atau amir (pemimpin) yang harus (berfatwa), atau orang dungu yang memaksakan diri.”
Imam Ibnul Qayyim berkata mengomentari perkataan di atas: “Yang dimaksudkan oleh beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh kebanyakan Salaf dengan (istilah) nasikh dan mansukh terkadang adalah menghapuskan hukum sekaligus. Dan ini merupakan istilah mutaakhirin, dan terkadang adalah menghapus penunjukkan dalil ‘am, muthlaq, zhahir, dan lainnya. Kemungkinan dengan takhshish (pengkhususan), taqyid (penentuan), atau membawa yang muthlaq kepada muqayyad (yang ditentukan), dan tafsir (penjelasan) serta tanbih (mengingatkan).
Nasikh artinya yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau As-Sunnah yang menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya. Pada hakikatnya nasikh (yang menghapuskan) adalah Allah Azza wa Jalla.
Mansukh artinya yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syar’i atau lafazhnya yang dihapuskan.
Penunjukkan Adanya Naskh dalam Syari’atPerlu diketahui bahwa adanya naskh dalam syari’at atau adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh (dihapus hukumnya/lafazhnya) oleh ayat lain ditunjukkan oleh dalil naql (ayat/hadits), dalil akal, dan ijma’.
Dalil NaqlFirman Allah SWT: "Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)..." (QS Al Baqarah: 106).
Makna kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an, sebagaimana penafsiran Salafush Shalih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodhi, Adh-Dhahhak, ‘Atho’, As-Suddi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Katsir.
Adapun manafsirkan kata “ayat” pada firman Allah di atas dengan “mukjizat”, sebagaimana dalam Tafsir Qur’an Al-Furqan, karya A Hassan, maka kami khawatir itu merupakan tafsir bid’ah. Walaupun secara bahasa dibenarkan, namun bertentangan dengan ijma’ ahli tafsir sebagaimana di atas.
Firman Allah: "Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain." (QS An Nahl: 101).
Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Allah jadikan pengganti adalah nasikh, ayat yang digantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas, sebagaimana kita lihat. Adapun sebagian dari contoh-contoh ayat mansukh akan kami sampaikan di bawah insya Allah. Lebih luas dapat dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqih.
Dalil Aql
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata, “Naskh boleh terjadi menurut akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut akal, karena segala perkara di tangan Allah, segala hukum (keputusan) milik-Nya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa) Al-Malik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi hamba-hamba-Nya apa yang dituntut oleh hikmah-Nya dan rahmat-Nya. Apakah akal menolak jika Sang Pemilik memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki?"
Dalil Ijma’
Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-Baji berkata, “Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh syari’at menurut akal dan syara’.”
Al-Kamal Ibnul Humam berkata, “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas bolehnya (naskh, secara akal) dan terjadinya (secara syari’at).”
Macam-Macam Naskh
Pertama, macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada tiga bagian:
1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap
Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap.
Hikmah naskh jenis ini adalah tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan mengingatkan umat tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang diringankan dan dimudahkan.
Contohnya firman Allah: "Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti." (QS Al Anfal: 65).
Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200 orang-orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1.000 orang-orang kafir.
Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya: "Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS Al Anfal: 66).
Abdullah bin Abbas berkata, "Ketika turun (firman Allah): “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.” (QS Al-Anfal: 65), hal itu berat atas umat Islam, yaitu ketika diwajibkan atas mereka, bahwa satu orang tidak boleh lari menghadapi 10 (musuh). Kemudian datanglah keringanan, Allah berfirman: “Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang.” (QS Al-Anfal: 66). Ketika Allah telah meringankan dari mereka jumlah (musuh yang wajib dihadapi), kesabaran pun berkurang seukuran apa yang Allah telah meringankan dari mereka.” (HR Bukhari).
Inilah contoh hukum yang mansukh di dalam Al-Qur’an. Penjelasan mansukhnya hukum dalam ayat 65 surat Al-Anfal di atas, selain dari Ibnu Abbas, juga diriwayatkan dari Mujahid, Atho’, ‘Ikrimah, Hasan Al-Bashri, Zaid bin Aslam, ‘Atho Al-Khurosani, Adh-Dhohhak, dan lainnya. Orang yang menolak adanya mansukh dalam Al-Qur’an telah menyelisihi penafsiran mereka.
2. Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya TetapAl-Aamidi menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari kalangan Muktazilah.
Hikmah naskh jenis ini adalah agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi nampak, yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi Ibrahim AS bersegera akan melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya, Nabi Ismail, dengan sumber mimpi. Sedangkan mimpi adalah tingkatan terendah jalan wahyu kepada para nabi.
Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Ia berkata, “Hikmah naskh lafazh tanpa (naskh) hukumnya adalah untuk menguji umat terhadap amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-Qur’an, dan mewujudkan keimanan mereka dengan apa yang Allah turunkan. Berbeda dengan orang-orang Yahudi yang berusaha menutupi nash rajam di dalam Taurat.”
Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajam. Umar bin Al-Khathab berkata, "Sesungguhnya aku khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia sehingga seseorang akan berkata: “Kita tidak mendapati rajm di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Ingatlah, sesungguhnya rajam adalah haq atas orang yang berzina dan dia telah menikah, jika bukti telah tegak, atau ada kehamilan, atau ada pengakuan.” Sufyan berkata, “Demikianlah yang aku ingat. Ingatlah, Rasulullah SAW telah melakukan rajam, dan kita telah melakukan rajam setelah beliau.” (HR Bukhari)
Adapun lafazh ayat rajam, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi; "Laki-laki yang tua (maksudnya yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya yang sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana."
3. Nash Yang Mansukh Hukumnya dan LafazhnyaContoh, ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata, "Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan,” kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan “Lima kali penyusuan yang diketahui.” Kemudian Rasulullah SAW wafat dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an." (HR Muslim).
Makna perkataan ‘Aisyah “dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an” adalah:
• Yaitu: Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak.
• Atau: Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih tetap membacanya.
Kedua, macam-macam naskh dilihat dari nash yang nasikh (menghapus)–secara ringkas—ada empat bagian:
1. Al-Qur’an Dimansukh dengan Al-Qur’anJenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama, ada pun orang yang beranggapan tidak ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya tidak dianggap. Contohnya adalah ayat 65, yang mansukh oleh ayat 66 dari surat Al-Anfal.
Contoh lain firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Mujadilah: 12)
Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-bisik dengan Rasulullah. Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang menghapuskan kewajiban tersebut. "Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul. Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS Al-Mujadilah: 13)
2. Al-Qur’an Dimansukh dengan As-Sunnah.
Pada jenis ini ada dua bagian:
a). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir
Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau menyatakan, “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an yang datang setelahnya…” Namun Syaekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata, “(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali penyusuan dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan Al-Hafd dengan Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya.”
b). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad
Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih dan terjadi contohnya firman Allah: "Katakanlah: 'Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi—karena sesungguhnya semua itu kotor –atau binatang disembelih atas nama selain Allah." (QS Al An’am: 145)
Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan—pada saat ayat ini diturunkan—hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, pada saat itu, daging keledai jinak boleh dimakan, berdasarkan ayat ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan hukumnya oleh hadits-hadits shahih yang datang kemudian yang mengharamkan daging keledai jinak. Karena ayat di atas termasuk surat Al-An’am, yang merupakan surat Makiyyah, yang turun sebelum hijrah, dengan kesepakatan ulama. Adapun pengharaman daging keledai jinak dengan Sunnah terjadi setelah itu di Khaibar.
3. As-Sunnah Dimansukh dengan Al-Qur’an
Contoh jenis ini adalah syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini berdasarkan Sunnah, dihapuskan dengan firman Allah SWT: "Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya." (QS Al-Baqarah: 144)
4. As-Sunnah Dimansukh dengan As-Sunnah
Contoh, sabda Nabi SAW, "Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah (kubur)." (HR Muslim)
Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh (ayat yang menghapus hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat yang dihapus) hukumnya atau lafazhnya. Wallahua'lam. Demikian, semoga bermanfaat.
Sumber: Disarikan dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VIII/1425 H.
No comments:
Post a Comment