Menghadiahkan pahala amalan itu tidak sampai ke pada si mati
kecuali apa yang telah di terangkan oleh dalil secara khusus seperti shadaqah,
haji atau umrah, dan puasa nazar. Adapun selain itu seperti menghadiahkan
pahala bacaan al-Quran kepada si mati itu tidak sampai, dan itu tidak di
syariatkan. Ini adalah
pendapat masyhur dari Imam Malik dan Imam Syafi’i. (Al-Majmu’
Syarhul-Muhadzdzab oleh An-Nawawi 15/521 dan Syarh Al-‘Aqidah
Ath-Thahawiyyah oleh Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafy (tahqiq At-Turky dan takhrij
Al-Arna’uth) hal. 664.)
Untuk itu patut di ketahui bahawa menghadiahkan Al-Fatihah atau selainnya dari
Al-Qur’an kepada mayit, hal itu tidak ada dalilnya (landasan hukumnya dari
Al-Qur’an atau Hadits). Maka yang wajib dilakukan adalah meninggalkan hal
tersebut. Karena tidak pernah dinukilkan dari Nabi saw atau para sahabatnya,
sesuatu yang menunjukkan bolehnya hal tersebut. Hal ini berdasarkan firman
Allah :
Bermaksud
: Dan Bahawa Sesungguhnya tidak ada (balasan) bagi seseorang melainkan
(balasan) apa Yang diusahakannya;( an-Najm : 39 )
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri juga pernah
bersabda,
إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ
: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو
لَهُ
“Jika manusia itu mati, amalannya akan
terputus kecuali melalui tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang dimanfaatkan, atau [3] anak sholeh yang
mendo’akan dirinya. ”HR Muslim
Berkaitan dengan perkara menghadiahkan pahala
bacaan Qur an, maka di dapati pernyataan para ulama, diantaranya :
1. An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim
mengatakan :
وأما قراءة
القرآن فالمشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت........ ودليل الشافعي
وموافقيه قول اللهِ تعالى : وَأَن لّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاّ مَا سَعَى. وقول النبي
صلى الله عليه وسلم : إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم
ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
”Adapun bacaan Al-Qur’an (yang pahalanya
dikirmkan kepada si mayit), maka yang masyhur dalam madzhab Syafi’i adalah
bahwa perbuatan tersebut tidak akan sampai pahalanya kepada mayit yang
dikirimi...... Adapun dalil Imam Syafi’i dan para pengikutnya adalah firman
Allah (yang artinya) : ”Dan tidaklah seseorang itu memperoleh balasan
kecuali dari yang ia usahakan” (QS. An-Najm : 39); dan juga sabda Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam (yang artinya) : ”Apabila anak Adam telah
meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali atas tiga hal : shadaqah
jaariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendoakannya”
[Lihat Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi 1/90].
2. Al-Haitsami
dalam Al-Fatawaa Al-Kubra Al-Fiqhiyyah telah berkata :
الميت لا يقرأ
عليه مبني على ما أطلقه المقدمون من أن القراءة لا تصله أي الميت لأن ثوابها للقارء.
والثواب المرتب على عمل لا ينقل عن عامل ذلك العمل. قال اللهِ تعالى : وَأَن لّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاّ مَا سَعَى.
“Mayit, tidak boleh dibacakan apapun
berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama’ mutaqaddimiin
(terdahulu); bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak
sampai kepadanya. Sebab pahala bacaan itu adalah untuk pembacanya saja. Sedang
pahala hasil amalan tidak bisa dipindahkan dari ’aamil (orang yang mengamalkan)
perbuatan tersebut, berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya) : ”Dan
tidaklah seseorang itu memperoleh balasan kecuali dari yang ia usahakan” (QS.
An-Najm : 39) [Lihat Al-Fatawaa Al-Kubraa Al-Fiqhiyyah oleh Al-Haitsami
2/9].
3. Ibnu
Katsiir dalam Tafsir-nya ketika menafsirkan Surat An-Najm ayat 39
berkata :
أي كما لا يحمل
عليه وزر غيره, كذلك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هو لنفسه, ومن هذه الاَية الكريمة استنبط الشافعي رحمه الله ومن اتبعه, أن القراءة
لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى, لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم ولهذا لم يندب إليه
رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماء,
ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة رضي الله عنهم, ولو كان خيراً لسبقونا إليه, وباب
القربات يقتصر فيه على النصوص ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والاَراء
”Yakni sebagaimana dosa seseorang tidak dapat
menimpa kepada orang lain. Demikian juga manusia tidak memperoleh pahala
melainkan dari hasil amalnya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini (ayat 39 QS.
An-Najm), Imam Asy-Syafi’i dan ulama-ulama lain yang mengikutinya mengambil kesimpulan
bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit adalah tidak dapat sampai,
karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkannya
(pengiriman pahala bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan, baik dengan
nash maupun dengan isyarat. Dan tidak ada seorang shahabat pun yang pernah
mengamalkan perbuatan tersebut. Kalaupun amalan semacam itu memang baik, tentu
mereka lebih dahulu mengerjakannya, padahal amalan pendekatan diri kepada Allah
tersebut hanya terbatas pada nash-nash (yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah)
dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat” [Lihat Tafsir
Al-Qur’aanil-’Adhiim li-Bni Katsiir].
4. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rah pernah di
tanya tentang mengirimkan pahala bacaan al-Qur an :
“Bolehkah bagi saya untuk mengkhatamkan Al-Qur’an dan saya
hadiahkan untuk ayah ibu saya, untuk diketahui bahwa keduanya ummi (tidak bisa
baca tulis). Dan bolehkah saya khatamkan Al-Qur’an untuk saya hadiahkan kepada
orang yang bisa baca tulis tapi saya (memang) bermaksud menghadiahkannya
kepadanya? Juga apakah boleh bagi saya untuk mengkhatamkan Al-Qur’an untuk saya
hadiahkan kepada lebih dari satu orang?”
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rah menjawab:
Tidak terdapat dalam Al-Qur’an yang mulia ataupun dalam
hadits yang suci dari Nabi n, tidak pula dari para sahabatnya yang mulia,
sesuatu yang menunjukkan disyariatkannya menghadiahkan bacaan Al-Qur’an
Al-Karim untuk kedua orangtua atau untuk yang lain. Allah SWT mensyariatkan
membaca Al-Qur’an untuk diambil manfaat darinya, diambil faedah darinya serta
untuk dipahami maknanya lalu diamalkan. Allah SWT berfirman:
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh
dengan berkah supaya mereka memerhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang berakal.” (Shad: 29)
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada
(jalan) yang lebih lurus.” (Al-Isra’: 9)
Katakanlah: “Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi
orang-orang mukmin.” (Fushshilat: 44)
Nabi n bersabda:
اقْرَءُوا
الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ شَفِيْعًا لِأَصْحَابِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Bacalah Al-Qur’an karena sesungguhnya (amalan baca)
Al-Qur’an itu nanti akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi
para pembacanya.” (Shahih, HR. Muslim no. 804)
Beliau Nabi saw juga
bersabda (maknanya): “Bahwa nanti akan didatangkan (amalan baca) Al-Qur’an pada
hari kiamat dan para ahli Al-Qur’an yang mengamalkannya, akan datang kepadanya
surat Al-Baqarah, Ali Imran, keduanya akan membela para pembacanya.” (Shahih,
HR. Muslim no. 804 dengan makna itu)
Jadi tujuan diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk diamalkan,
dipahami, dan dipakai untuk ibadah dengan membacanya, serta memperbanyak
membacanya. Bukan untuk menghadiahkannya kepada orang-orang yang telah wafat
atau yang lain. Aku tidak mengetahui ada dasar yang bisa dijadikan sandaran
dalam hal menghadiahkan bacaan Al-Qur’an untuk kedua orangtua atau yang selain mereka.
Padahal Nabi n bersabda:
مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan atas
dasar ajaran kami maka itu tertolak.” (Shahih, HR. Muslim)
Sebagian ulama membolehkan hal itu dan mengatakan: “Tidak
mengapa menghadiahkan pahala Al-Qur’an dan amalan shalih yang lain.”
Mereka mengkiaskan (menganalogikan) nya dengan shadaqah dan
doa untuk mayit. Akan tetapi yang benar adalah pendapat yang pertama (tidak
boleh), berdasarkan hadits yang telah disebutkan dan yang semakna dengannya.
Seandainya menghadiahkan bacaan itu sesuatu yang disyariatkan, tentu akan
dilakukan oleh as-salafush shalih (pendahulu kita yang baik). Juga, dalam hal
ibadah tidak boleh digunakan qiyas (kias/analogi), karena ibadah itu berhenti
pada tuntunan Nabi saw. Tidak boleh ditetapkan kecuali dengan nash dari
kalamullah atau hadits Nabi saw, berdasarkan hadits yang lalu dan yang semakna
dengannya.
Adapun menyedekahkan untuk orang yang sudah mati dan yang
lain, demikian pula mendoakan mereka, menghajikan orang lain oleh yang sudah
haji untuk dirinya sendiri, juga mengumrahkan oleh yang sudah umrah untuk
dirinya sendiri, juga membayarkan utang puasa bagi yang telah wafat dan punya
utang, maka semua ibadah ini (boleh), telah shahih hadits-hadits dari
Rasulullah saw… Allah lah yang
memberikan taufiq. (Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Al-Mutanawwi’ah)
Menghadiahkan pahala amalan itu tidak sampai
Ada yang berpendapat bahawa menghadiahkan pahala bacaan Qur
an kepada si mati itu sampai. Ini adalah pendapat masyhur dari Imam Abu
Hanifah, Imam Ahmad dan sebahagian sahabat Imam Syafii, ada yang menyebutkan
bahawa ini pendapat jumhur. (Al-Majmu’
Syarhul-Muhadzdzab oleh An-Nawawi 15/522 dan Syarh Al-‘Aqidah
Ath-Thahawiyyah oleh Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafy (tahqiq At-Turky dan takhrij
Al-Arna’uth) hal. 664.)
Mereka berhujah kepada dalil dibawah ini :
1. Telah shahih bahwa seseorang berkata:
يَا
رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَلَمْ ْتُوْصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ
تَكَلَّمَتْ لَتَصَدَّقَتْ، أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ:
نَعَمْ.
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya
ibuku meninggal dan belum sempat berwasiat, dan aku kira kalau dia sempat
bicara ia akan bersedekah, apakah dia dapat pahala jika aku bersedekah atas
namanya?” Beliau menjawab: “Ya.” (Muttafaqun ‘alaih)
2. Dalil dari pendapat ini adalah
hadits ‘Aisyah,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki
kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya. ” (HR.
Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147)Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah
ahli waris. (Lihat Tawdhihul Ahkam, 3/525)
3. Dan lain-lain.
Dalil-dalil di atas dan yang semisal diqiyaskan
secara mutlak terhadap amal-amal lain yang dengan itu dapat bermanfaat bagi si
mayit. Contoh dalam hal ini adalah kirim pahala amalan dzikir dan bacaan
Al-Qur’an.
Pendapat yang benar adalah pendapat yang mengatakan bahawa
menghadiahkan pahala bacaan Qur an ke pada si mati itu tidak sampai, berdasarkan
berdasarkan firman Allah :
Bermaksud
: Dan Bahawa Sesungguhnya tidak ada (balasan) bagi seseorang melainkan
(balasan) apa Yang diusahakannya;( an-Najm : 39 )
Dan berdasarkan sabda Nabi saw,
إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ
: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو
لَهُ
“Jika manusia itu mati, amalannya akan terputus
kecuali melalui tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang dimanfaatkan, atau [3] anak sholeh yang
mendo’akan dirinya. ”HR Muslim
Seandainya menghadiahkan bacaan itu sesuatu yang
disyariatkan, tentu akan dilakukan oleh as-salafush shalih (pendahulu kita yang baik dari para sahabat Nabi saw).
Juga, dalam hal ibadah tidak boleh digunakan qiyas
(kias/analogi), karena ibadah itu berhenti pada tuntunan Nabi saw. Tidak boleh
ditetapkan kecuali dengan nash dari kalamullah atau hadits Nabi saw,
berdasarkan hadits yang lalu dan yang semakna dengannya.
No comments:
Post a Comment