Oleh : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
PENJELASAN PARA ULAMA TENTANG MASALAH RAJAB
[1]. Imam Ibnul Jauzy menerangkan bahwa hadits-hadits tentang Rajab, Raghaa'ib adalah palsu dan rawi-rawi majhul. [Lihat al-Maudhu’at (II/123-126)]
[2]. Kata Imam an-Nawawy:
“Shalat Raghaa-ib ini adalah satu bid’ah yang tercela, munkar dan jelek.” [Lihat as-Sunan wal Mubtada’at (hal. 140)]
PENJELASAN PARA ULAMA TENTANG MASALAH RAJAB
[1]. Imam Ibnul Jauzy menerangkan bahwa hadits-hadits tentang Rajab, Raghaa'ib adalah palsu dan rawi-rawi majhul. [Lihat al-Maudhu’at (II/123-126)]
[2]. Kata Imam an-Nawawy:
“Shalat Raghaa-ib ini adalah satu bid’ah yang tercela, munkar dan jelek.” [Lihat as-Sunan wal Mubtada’at (hal. 140)]
Kemudian Syaikh Muhammad Abdus Salam
Khilidhir, penulis kitab as-Sunan wal Mubtada’at berkata: “Ketahuilah
setiap hadits yang menerangkan shalat di awal Rajab, pertengahan atau
di akhir Rajab, semuanya tidak bisa diterima dan tidak boleh
diamalkan.” [ Lihat as-Sunan wal Mubtada’at (hal. 141)]
[3]. Kata Syaikh Muhammad
Darwiisy al-Huut: “Tidak satupun hadits yang sah tentang bulan Rajab
sebagaimana kata Imam Ibnu Rajab.” [Lihat Asnal Mathaalib (hal. 157)]
[4]. Kata Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah (wafat th. 728 H): “Adapun shalat Raghaa'ib, tidak ada
asalnya (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), bahkan termasuk
bid’ah.... Atsar yang menyatakan (tentang shalat itu) dusta dan palsu
menurut kesepakatan para ulama dan tidak pernah sama sekali disebutkan
(dikerjakan) oleh seorang ulama Salaf dan para Imam...”
Selanjutnya beliau berkata
lagi: “Shalat Raghaa'ib adalah BID’AH menurut kesepakatan para Imam,
tidak pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyu-ruh
melaksanakan shalat itu, tidak pula disunnahkan oleh para khalifah
sesudah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula seorang
Imam pun yang menyunnahkan shalat ini, seperti Imam Malik, Imam
Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, Imam ats-Tsaury, Imam al-Auzaiy,
Imam Laits dan selain mereka.
Hadits-hadits yang diriwayatkan
tentang itu adalah dusta menurut Ijma’ para Ahli Hadits. Demikian juga
shalat malam pertama bulan Rajab, malam Isra’, Alfiah nishfu Sya’ban,
shalat Ahad, Senin dan shalat hari-hari tertentu dalam satu pekan,
meskipun disebutkan oleh sebagian penulis, tapi tidak diragukan lagi
oleh orang yang mengerti hadits-hadits tentang hal tersebut, semuanya
adalah hadits palsu dan tidak ada seorang Imam pun (yang terkemuka)
menyunnahkan shalat ini... Wallahu a’lam.” [Lihat Majmu’ Fataawa
(XXIII/132, 134)]
[5]. Kata Ibnu Qayyim al-Jauziyyah:
“Semua
hadits tentang shalat Raghaa'ib pada malam Jum’at pertama di bulan
Rajab adalah dusta yang diada-adakan atas nama Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dan semua hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan
shalat pada beberapa malamnya semuanya adalah dusta (palsu) yang
diada-adakan.” [Lihat al-Manaarul Muniif fish Shahiih wadh Dha’iif
(hal. 95-97, no. 167-172) oleh Ibnul Qayyim, tahqiq: ‘Abdul Fattah Abu
Ghaddah]
[6]. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan dalam kitabnya, Tabyiinul ‘Ajab bima Warada fii Fadhli Rajab:
“Tidak
ada riwayat yang sah yang menerangkan tentang keutamaan bulan Rajab dan
tidak pula tentang puasa khusus di bulan Rajab, serta tidak ada pula
hadits yang shahih yang dapat dipegang sebagai hujjah tentang shalat
malam khusus di bulan Rajab.”
[7]. Imam al-‘Iraqy yang
mengoreksi hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Ihya’ ‘Uluumuddin,
menerangkan bahwa hadits tentang puasa dan shalat Raghaa'ib adalah
hadits maudhu’ (palsu). [Lihat Ihya’ ‘Uluumuddin (I/202)]
[8]. Imam asy-Syaukani menukil
perkataan ‘Ali bin Ibra-him al-‘Aththaar, ia berkata dalam risalahnya:
“Sesungguhnya riwayat tentang keutamaan puasa Rajab, semuanya adalah
palsu dan lemah, tidak ada asalnya (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam).” [Lihat al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaaditsil Maudhu’ah (hal.
381)]
[9]. Syaikh Abdus Salam,
penulis kitab as-Sunan wal Mubtada’at menyatakan: “Bahwa membaca kisah
tentang Isra’ dan Mi’raj dan merayakannya pada malam tang-gal dua puluh
tujuh Rajab adalah BID’AH. Berdzikir dan mengadakan peribadahan
tertentu untuk merayakan Isra’ dan Mi’raj adalah BID’AH, do’a-do’a yang
khusus dibaca pada bulan Rajab dan Sya’ban semuanya tidak ada sumber
(asal pengambilannya) dan BID’AH, sekiranya yang demikian itu perbuatan
baik, niscaya para Salafush Shalih sudah melaksanakannya.” [Lihat
as-Sunan wal Mubtada’at (hal. 143)]
[10]. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin
‘Abdullah bin Baaz, ketua Dewan Buhuts ‘Ilmiyyah, Fatwa, Da’wah dan
Irsyad, Saudi Arabia, beliau berkata dalam kitabnya, at-Tahdzir minal
Bida’ (hal. 8): “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
Shahabatnya tidak pernah mengadakan upacara Isra’ dan Mi’raj dan tidak
pula mengkhususkan suatu ibadah apapun pada malam tersebut. Jika
peringatan malam tersebut disyar’iatkan, pasti Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada ummat, baik melalui ucapan
maupun perbuatan. Jika pernah dilakukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, pasti diketahui dan masyhur, dan ten-tunya akan disampaikan
oleh para Shahabat kepada kita...
Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling banyak memberi nasihat
kepada manusia, beliau telah menyampaikan risalah kerasulannya
sebaik-baik penyampaian dan telah menjalankan amanah Allah dengan
sempurna.
Oleh karena itu, jika upacara
peringatan malam Isra’ dan Mi’raj dan merayakan itu dari agama Allah,
ten-tunya tidak akan dilupakan dan disembunyikan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi karena hal itu tidak ada, maka
jelaslah bahwa upacara tersebut bukan dari ajaran Islam sama sekali.
Allah telah menyempurnakan agama-Nya bagi ummat ini, mencukupkan
nikmat-Nya dan Allah mengingkari siapa saja yang berani mengada-adakan
sesuatu yang baru dalam agama, karena cara tersebut tidak dibenarkan
oleh Allah:
“Artinya : Pada hari ini telah
Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku,
dan telah Kuridhai Islam jadi agama bagimu.” [Al-Maa-idah: 3]
KHATIMAH
Orang
yang mempunyai bashirah dan mau mendengarkan nasehat yang baik, dia
akan berusaha meninggalkan segala bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah
adalah sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
“Artinya : Tiap-tiap bid’ah itu sesat dan tiap-tiap kesesatan di Neraka.”
[HSR.
An-Nasa'i (III/189) dari Jabir radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Sunan
an-Nasa'i (I/346 no. 1487) dan Misykatul Mashaabih (I/51)]
Para ulama, ustadz, kyai yang masih membawakan hadits-hadits yang lemah dan palsu, maka mereka digo-longkan sebagai pendusta.
Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Dari Samurah bin Jundub dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Barang-siapa yang menceritakan satu hadits dariku,
padahal dia tahu bahwa hadits itu dusta, maka dia termasuk salah
seorang dari dua pendusta.” [HSR. Ahmad (V/20), Muslim (I/7) dan Ibnu
Majah (no. 39)]
_______
MARAJI’
[1]. Shahih al-Bukhari.
[2]. Shahih Muslim.
[3]. Sunan an-Nasaa-i.
[4]. Sunan Ibni Majah.
[5]. Musnad Imam Ahmad.
[6]. Shahih Ibni Hibban.
[7]. Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, cet. Mu-assasah ar-Risalah, th. 1412 H.
[8]. Maudhu’atush Shaghani.
[9]. Al-Manaarul Muniif fish Shahih wadh Dha’if, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
[10]. Al-Maudhu’at, oleh Imam Ibnul Jauzy, cet. Daarul Fikr, th. 1403 H.
[11]. Mizaanul I’tidal, oleh Imam adz-Dzahaby, tahqiq: ‘Ali Muhammad al-Bajaawy, cet. Daarul Fikr.
[12]. Al-Mashnu’ fii Ma’rifatil Haditsil Maudhu’, oleh Syaikh Ali al-Qary al-Makky.
[13]. Al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaadits Maudhu’at oleh asy-Syaukany, tahqiq: Syaikh ‘Abdurrahman al-Ma’allimy, cet. Al-Maktab al-Islamy, th. 1407 H.
[14]. Tanziihus Syari’ah al-Marfu’ah ‘anil Akhbaaris Syanii’ah al-Maudhu’at, oleh Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Araaq al-Kinani.
[15]. Taqriibut Tahdziib, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqa-lany, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah.
[16]. Adh-Dhu’afa wa Matrukin, oleh Imam an-Nasa-i.
[17]. At-Taghib wat Tarhib, oleh Imam al-Mundziri.
[18]. Silsilah Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
[19]. Al-Laali al-Mashnu’ah, oleh al-Hafizh as-Suyuthy.
[20]. Adh-Dhu’afa wal Matrukin, oleh Imam an-Nasa-i.
[21]. Al-Jarhu wat Ta’dil, oleh Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razy.
[22]. As-Sunan wal Mubtada’at, oleh Muhammad Abdus Salam Khilidhir.
[23]. Asnal Mathaalib fii Ahaadits Mukhtalifatil Maraatib, oleh Muhammad Darwisy al-Huut.
[24]. Majmu’ Fataawa, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[25]. Al-Manaarul Muniif fis Shahih wadh Dha’if, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
[26]. Tabyiinul ‘Ajab bimaa Warada fiii Fadhli Rajab, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany.
[27]. Ihya’ ‘Uluumuddin, oleh Imam al-Ghazzaly.
[28]. At-Tahdziir minal Bida’, oleh Imam ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz.
[29]. Misykaatul Mashaabih, oleh Imam at-Tibrizy, takhrij: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
[2]. Shahih Muslim.
[3]. Sunan an-Nasaa-i.
[4]. Sunan Ibni Majah.
[5]. Musnad Imam Ahmad.
[6]. Shahih Ibni Hibban.
[7]. Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, cet. Mu-assasah ar-Risalah, th. 1412 H.
[8]. Maudhu’atush Shaghani.
[9]. Al-Manaarul Muniif fish Shahih wadh Dha’if, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
[10]. Al-Maudhu’at, oleh Imam Ibnul Jauzy, cet. Daarul Fikr, th. 1403 H.
[11]. Mizaanul I’tidal, oleh Imam adz-Dzahaby, tahqiq: ‘Ali Muhammad al-Bajaawy, cet. Daarul Fikr.
[12]. Al-Mashnu’ fii Ma’rifatil Haditsil Maudhu’, oleh Syaikh Ali al-Qary al-Makky.
[13]. Al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaadits Maudhu’at oleh asy-Syaukany, tahqiq: Syaikh ‘Abdurrahman al-Ma’allimy, cet. Al-Maktab al-Islamy, th. 1407 H.
[14]. Tanziihus Syari’ah al-Marfu’ah ‘anil Akhbaaris Syanii’ah al-Maudhu’at, oleh Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Araaq al-Kinani.
[15]. Taqriibut Tahdziib, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqa-lany, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah.
[16]. Adh-Dhu’afa wa Matrukin, oleh Imam an-Nasa-i.
[17]. At-Taghib wat Tarhib, oleh Imam al-Mundziri.
[18]. Silsilah Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
[19]. Al-Laali al-Mashnu’ah, oleh al-Hafizh as-Suyuthy.
[20]. Adh-Dhu’afa wal Matrukin, oleh Imam an-Nasa-i.
[21]. Al-Jarhu wat Ta’dil, oleh Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razy.
[22]. As-Sunan wal Mubtada’at, oleh Muhammad Abdus Salam Khilidhir.
[23]. Asnal Mathaalib fii Ahaadits Mukhtalifatil Maraatib, oleh Muhammad Darwisy al-Huut.
[24]. Majmu’ Fataawa, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[25]. Al-Manaarul Muniif fis Shahih wadh Dha’if, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
[26]. Tabyiinul ‘Ajab bimaa Warada fiii Fadhli Rajab, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany.
[27]. Ihya’ ‘Uluumuddin, oleh Imam al-Ghazzaly.
[28]. At-Tahdziir minal Bida’, oleh Imam ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz.
[29]. Misykaatul Mashaabih, oleh Imam at-Tibrizy, takhrij: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
[Disalin dari kitab Ar-Rasaail
Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka
Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
No comments:
Post a Comment