Alhamdulillah,
segala puji bagi Allah yang telah memilihkan untuk kita agama terbaik,
Rasul paling mulia, kitab yang menghapus dan menyempurnakan kitab-kitab
sebelumnya, dan syariat yang paling sempurna, mudah, dan penuh hikmah.
Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada hamba dan utusan Allah,
Muhammad bin Abdillah, keluarga dan para sahabatnya.
Sering
kita dengar istilah tauqifiyah. Salah satunya dalam masalah ibadah.
Bahwa ibadah bersifat tauqifiyah. Lalu apa makna dan maksud istilah
tauqifiyyah tersebut?
Makna
perkataan para ulama yang menjelaskan “Ibadah adalah tauqifiyah” atau
“Ibadah dibangun di atas tauqif” adalah tidak boleh beribadah kepada
Allah dengan satu ibadah kecuali apabila ibadah ini telah benar-benar
terdapat ketetapannya dalam nash-nash syar’i (Al-Qur’an dan sunnah)
bahwa itu ibadah yang telah Allah Ta’ala Syariatkan. Karena ibadah
tidak disyariatkan (tidak diperintahkan) kecuali dengan adanya dalil
syar’i yang menunjukkan atas perintah tersebut.
Allah 'Azza wa Jalla berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.”
(QS. Al-Maidah: 3) Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama ini untuk
kita, maka apa yang tidak Allah Ta’ala syariatkan sesudah turunnya ayat
ini maka bukan bagian dari agama kita.
Dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ ، ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ ، إِلا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
“Tidak ada sesuatu yang mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah diterangkan kepada kalian.” (HR. Thabrani dalam al-Kabir no. 1647 dan dishahihkan dalam al-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani rahimahullaah)
مَا
تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا أَمَرَكُمُ اللهُ بِهِ إِلاَّ وَقَدْ
أَمَرْتُكُمْ بِهِ ، وَلاَ تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا نَهَاكُمْ عَنْهُ
إِلاَّ وَقَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
“Tidaklah
aku tinggalkan sesuatu yang Allah perintahkan kepada kalian kecuali
telah aku perintahkan kalian melaksanakannya. Dan tidak juga aku
meninggalkan suatu larangan yang telah Allah larang kalian darinya
kecuali telah aku larang kalian darinya.” (HR. al-Syafi’i dalam Musnadnya dan dihassankan Al-Albani dalam al-Shahihah)
Maka apa yang tidak pernah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
jelaskan kepada kita, maka ia bukan bagian dari agama ini dan bukan
pula amalan yang bisa mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari
neraka.
"Ibadah adalah tauqifiyah” adalah tidak boleh beribadah kepada Allah dengan satu ibadah kecuali apabila ibadah ini telah benar-benar terdapat ketetapannya dalam nash-nash syar’i (Al-Qur’an dan sunnah) bahwa itu ibadah yang telah Allah Ta’ala syariatkan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah berkata,
“Berdasarkan pengkajian terhadap ushul syariah, kita mengetahui bahwa
ibadah-ibadah yang telah Allah wajibkan atau yang Dia cintai tidak
ditetapkan perintahnya kecuali dengan syariat. Sedangkan adat (tradisi)
adalah apa yang biasa dikerjakan manusia dalam kehidupan dunianya untuk
mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Maka hukum asal dalam masalah ini
adalah tidak ada larangan. Tidak boleh dilarang kecuali apa yang telah
dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal itu, karena perintah dan
larangan adalah syariat (ajaran) Allah Ta’ala. Sedangkan ibadah harus
ada perintahnya. Maka yang tidak ada ketetapan bahwa itu diperintahkan,
bagaimana bisa disebut ibadah? Dan adat kebiasaan apa saja yang tidak
ditetapkan bahwa itu dilarang, bagaimana bisa dihukumi dilarang?
Oleh
karena inilah, Imam Ahmad dan ulama hadits lainnya berkata:
Sesungguhnya hukum asal dalam ibadah adalah tauqif, tidak disyariatkan
kecuali apa yang telah Allah Ta’ala syariatkan. Jika tidak demikian
maka kita telah masuk dalam makna firman Allah Ta’ala,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنْ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?”
Sedangkan
adat (tradisi) hukum asalnya dimaafkan, tidak boleh dilarang. Kecuali
apa yang telah Allah haramkan. Jika tidak demikian, maka kita telah
masuk dalam makna firman Allah,
قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا
“Katakanlah:
"Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu,
lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal".” (QS. Yunus: 59)
Oleh
karenanya, Allah mencela kaum musyrikin yang mereka membuat syariat
dalam agama mereka yang tidak diizinkan oleh Allah dan mengharamkan
sesuatu yang tidak Dia haramkan.” (Majmu’ al-Fatawa: 29/16-17)
Maka hukum asal dalam masalah adat (tradisi) adalah tidak ada larangan. Tidak boleh dilarang kecuali apa yang telah dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal itu, karena perintah dan larangan adalah syariat (ajaran) Allah Ta’ala.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullaah berkata,
“Ibadah adalah tauqifiyah, maka apa saja yang telah disyariatkan oleh
Allah dan Rasul-Nya secara mutlak, seperti itulah disyariatkannya.
Sedangkan yang disyariatkan dengan terikat waktu atau tempat maka kita
batasi dan kita ikat dengan tempat dan waktu tersebut.” (Fatawa wa
Rasail Muhammad bin Ibrahim: 6/75)
Ulama
Lajnah Daimah berkata, “Ibadah dibangun di atas tauqif. Karenanya tidak
boleh dikatakan bahwa ini ibadah yang disyariatkan ditinjau dari sisi
asal perintahnya, jumlahnya, bentuknya, atau tempatnya kecuali dengan
dalil syar’i yang menunjukan perintah itu.” (Fatawa al-Lajnah
al-Daimah: 3/73)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullaah
berkata, “Hukum asal ibadah adalah larangan. Karenanya bagi seseorang
tidak boleh beribadah untuk Allah kecuali dengan sesuatu yang tidak
pernah Allah syariatkan; baik dalam kitab-Nya atau dalam sunnah
Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam. Dan kapan saja
seseorang ragu terhadap salah satu amal, apakah ia ibadah atau tidak,
maka pada asalnya ia bukan ibadah sehingga ada dalil yang menunjukkan
bahwa hal itu merupakan ibadah.” (Fatawa Nuur ‘Ala al-Darb: 1/169)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah
berkata, “Ibadah adalah tauqifiyah, tidak boleh mengamalkan suatu
ibadah di satu tempat, waktu, corak ibadah tertentu kecuali dengan
tauqif dan perintah dari Syaari’ (pembuat syariat/Allah Ta’ala). Adapun
orang yang membuat-buat hal baru yang tidak pernah diperintahkan oleh
Syaari’ dari urusan ibadah, tempatnya, waktunya, atau bentuknya maka ia
adalah bid’ah.” (al-Muntaqa’ min Fatawa al-Fauzan: 13/16)
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullaah berkata, “Ibadah adalah tauqifiyah, maka tidak disyariatkan kecuali apa yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
seperti shalat lima waktu, zakat, puasa Ramadlan, haji dan
ibadah-ibadah lainnya yang telah Allah syariatkan berupa shalat-shalat
sunnah, shadaqah, shaum, haji, jihad dan yang selain itu yang telah
ditetapkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bukti
disyariatkannya, baik berupa sabda atau amal beliau, seperti shalat
Dzuha, shalat istikharah, tahiyatul masjid dan amal-amal ibadah lainnya
yang telah ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’i.” (Dinukil dari www.binbaz.org.sa)
Karenanya tidak boleh dikatakan bahwa ini ibadah yang disyariatkan ditinjau dari sisi asal perintahnya, jumlahnya, bentuknya, atau tempatnya kecuali dengan dalil syar’i yang menunjukan perintah itu.(Lajnah Daimah)
Ringkasnya,
bahwa hukum asal ibadah adalah haram dan tidak boleh ditegakkan kecuali
adanya dalil syar’i yang memerintahkannya; baik berupa perintah dasar
adanya, waktu, tempat, atau tata caranya. Karenanya bagi yang ingin
beribadah kepada Allah harus mengetahui dan memastikan bahwa amal
ibadah yang akan dikerjakannya memang benar-benar ada perintahnya dari
Al-Qur’an dan sunnah. Dia juga harus memperhatikan tentang waktu,
tempat, dan tata caranya karena semua itu menjadi bagian makna
tauqifiyah. Wallahu a’lam bil shawab.
[PurWD/voa-islam.com]
No comments:
Post a Comment