Monday, August 22, 2011

LIBERALISME?

Istilah ‘liberalisme’ berasal dari bahasa Latin, liber, yang artinya ‘bebas’ atau ‘merdeka’. Hingga penghujung abad ke 18 istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka, bisa merdeka sejak lahir ataupun merdeka setelah dibebaskan, yakni mantan budak (freedman). Dari sinilah muncul istilah ‘liberal arts’ yang berarti ilmu yang berguna bagi dan sepatutnya dimiliki oleh setiap manusia merdeka, yaitu aritmetika, geometri, astronomi, dan musik (quadrivium) serta gramatika, logika dan retorika (trivium).

Sejarawan Barat biasanya menunjuk moto Revolusi Prancis 1789 – liberte, egalite, fraternite sebagai magna chartaliberalisme modern. H. Gruber mengungkapkan bahwa prinsip yang paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas – apapun namanya – adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia – yakni otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya, dan ketetapannya ada di luar dirinya (it is contrary to the natural, innate, and inalieble right and liberty and dignity of man, to subject himself to an authority, the root, rule, measure, and sanction of which is not in himself).

Liberalisme telah dikembangkan oleh para pemikir dan cendekiawan di Inggris (Locke dan Hume), di Perancis (Rousseau dan Diderot) dan di Jerman (Lessing dan Kant). Gagasan ini banyak diminati oleh elit terpelajar dan bangsawan yang menyukai kebebasan berpikir tanpa batas.

Di zaman Pencerahan, kaum intelektual dan politisi Eropa menggunakan istilah liberal untuk membedakan diri mereka dari kelompok lain. Sebagai ajektif, kata ‘liberal’ dipakai untuk menunjuk sikap anti feodal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka (independent), berpikiran luas lagi terbuka dan, oleh karena itu, hebat (magnanimous).

Dalam urusan agama, liberalisme berarti kebebasan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa saja, sesuai kecenderungan, kehendak, dan selera masing-masing. Bahkan, konsep amar ma’ruf nahi munkar dianggap bertentangan dengan semangat liberalisme. Asal tidak merugikan orang lain orang yang berzina tidak boleh dihukum, apalagi jika dilakukan atas dasar suka sama suka, menurut prinsip ini.

Pada awalnya, liberalisme berkembang dikalangan Protestan saja. Namun belakangan wabah liberalisme menyebar di kalangan Katolik juga. Tokoh-tokoh kristen liberal menuntut reformasi terhadap doktrin-doktrin dan disiplin yang dibuat oleh pihak Gereja Katolik di Roma, agar ‘disesuaikan’ dengan semangat zaman yang sedang dan terus berubah, agar sejalan dengan sains yang meski anti-Tuhan namun dianggap benar.

Di dunia Islam, virus liberalisme juga berhasil masuk ke kalangan cendekiawan yang konon dianggap sebagai “pembaharu” (mujaddid). Mereka yang menjadi liberal antara lain; Rifa’ah at-Tahtawi 1801-1873, Qasim Amin 1863-1908, dan Ali Abdur Raziq 1888-1966 dari Mesir, dan Sayyid Ahmad Khan 1817-1898 dari India. Di abad ke 20 muncul pemikir-pemikir yang juga tidak kalah liberal seperti Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Shahrour dan pengikut-pengikutnya di Indonesia.

Pemikiran yang mereka jual kurang lebih sama saja. Ajaran Islam harus disesuaikan dengan perkembangan zaman, Al-Qur’an dan Hadis harus dikritisi dan ditafsirkan ulang menggunakan pendekatan historis, hermeneutis dan sebagainya, perlu dilakukan modernisasi dan sekularisasi dalam kehidupan beragama dan bernegara, tunduk pada aturan pergaulan internasional berlandaskan hak asasi manusia, pluralisme dan lain-lain. Dengan kata lain “Islam and liberalism appear to be in contradiction.”


*Disarikan dari “Orientalis & Diabolisme Pemikiran: Dr. Syamsuddin Arif, GIP, Jakatra, 2008”

No comments:

Post a Comment