Saturday, August 20, 2011

Mencermati Doktrin dan Ciri-ciri Fahaman Pluralisme Agama

Mencermati Doktrin dan Ciri-ciri Fahaman Pluralisme Agama[1]


Barangkali tidak banyak yang menyedari, apalagi mempertanyakan!, bahawa indoktrinasi sebuah doktrin “agama baru” yang bernama Pluralisme Agama ini telah dan sedang berlangsung secara intense, well-planned, dan sistematik di seluruh segmen masyarakat dunia yang nyaris tanpa sempadan ini. Hal ini dapat disaksikan melalui berbagai mass media, electronik dan cetak, yang disampaikan lewat mimbar-mimbar politik resmi, seminar, konferensi, dan bangku perkuliyahan.

Meskipun masalah ini sudah banyak ditulis dan didiskusikan, pro-kontra itu terus saja berlangsung. Dalam mencermati hiruk-pikuk wacana “Pluralisme” pada umumnya, dan “Pluralisme Agama” khususnya, yang tengah marak di rantau kita pada dasawarsa pertama abad ke-21 ini; pun juga dalam berbagai kesempatan mengisi berbagai workshop, seminar dan konferensi, khusus mengenai isu dan wacana tersebut, saya merasa gamang, ada sesuatu yang sangat mengusik nalar kesadaran.

Bagaimana tidak? Wacana ini sudah sedemikian melebar dan meluas, serta merambah ke berbagai ranah, dan disahami oleh berbagai kalangan – mulai dari politisi, budayawan, agamawan sampai akademik, tapi topik utama yang diwacanakan ini nyaris tidak pernah benar-benar diupayakan pendefinisiannya secara teknis atau sesuai dengan yang dimaksudkan oleh para ahlinya. Padahal inilah langkah metodologis awal yang mesti dilakukan oleh siapa pun yang interest dan berkepentingan dengan isu ini. Lebih dari itu, sebetulnya masalah ini adalah masalah tuntutan logis belaka yang nescaya, yang jika diabaikan maka secara tak terhindarkan akan menciptakan tidak saja kerancuan atau kebingungan (confusion), tapi juga pada akhirnya mengaburkan dan bahkan menyesatkan (misleading).

Para ulama kita terdahulu dari berbagai bidang dan disiplin ilmu ternyata sangat peka dan menyedari betapa krusialnya problem definisi ini sebelum mereka mengupas bahasan-bahasan di bidang masing-masing secara detail. Para fuqaha’, misalnya, begitu sistematis dalam mengupas masalah-masalah fiqh, dimulai dengan definisi-definisi yang gamblang secara lughawy maupun teknisnya: apa itu taharah, wudhu, tayammum, mandi, dsb. Tapi sayang sekali, dewasa ini model dan tradisi semacam ini tampak banyak ditinggalkan oleh kalangan kita, khususnya dalam hal berwacana Pluralisme Agama.

Entah kerana sebab oversight atau apa, yang jelas pada hakekatnya tidak banyak di kalangan kita yang mencuba mengerti atau memahami, apalagi mempersoalkan problem definisi ini dengan betul dan bijak. Seakan-akan istilah Pluralisme Agama ini sudah cukup jelas dan, oleh kerananya, boleh taken for granted. Padahal, istilah “pluralisme” itu jelas-jelas istilah (baca: ideologi/ajaran) pendatang yang merangsek ke alam sadar dan di-bawah-sadar kita bersama-sama dengan istilah-istilah dan ideologi-ideologi asing yang lain, seperti democracy, humanism, liberalism, dsb. yang tentu saja tidak bisa kita maknai seenak kita atau menurut “selera” dan asumsi kita.

Secara umum dapat dikatakan bahawa kebanyakan orang yang ditokohkan di kalangan kita beranggapan secara simplistis bahawa “pluralisme = toleransi”, dan “pluralisme agama = toleransi agama”. Fakta ini dapat dilihat daripada ingar-bingarnya reaksi dan respons yang cenderung “emosional” terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan pada tahun 2005 tentang hukum haramnya Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (atau yang dikenal dengan SIPILIS), dan juga terhadap resolusi Muzakarah Ulama Se-Malaysia, 2006, di Negeri Perak, Malaysia, yang dibacakan oleh Mufti Perak, Datuk Dr. Harussani, yang menegaskan hukum yang sama dengan fatwa MUI.

Yang menyedihkan, anggapan atau asumsi simplistik ini tidak hanya terbatas pada kalangan “awam” (yang memang tidak terdidik secara akademis dalam bidang ini), tapi hatta kalangan para tokoh atau yang ditokohkan yang memang spesialisasi akademiknya berkait erat dengan bidang ini pun tampak begitu over-confident dengan pemahamannya yang simplistik tadi.

Salah satu contoh yang paling konkrit adalah sebuah disertasi Doktor di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, yang kemudian diterbitkan pada awal tahun 2009 yang lalu dengan judul Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an. Dalam buku ini tak nampak ada upaya yang serius dari pengarangnya untuk mendiskusikan definisi teori atau faham Pluralisme Agama yang menjadi topik utama bahasannya, malah terjebak pada pengertian yang keliru dan mengelirukan di atas tadi. Pembaca yang cermat tidak perlu bersusah-payah melongok ke dalamnya, dari judul saja sudah cukup untuk mengetahui apa gerangan yang dimaksudkan oleh pengarangnya tentang faham Pluralisme Agama ini, yang tiada lain adalah “toleransi agama”. Fatal!

Tapi meskipun demikian, anehnya buku ini mendapat sambutan yang luar biasa oleh media massa kita, dan juga sanjungan dan pujian yang sangat berlebihan dari sederet nama orang-orang yang ditokohkan di masyakarat Indonesia dengan latar-belakang yang beragam yang jumlahnya lebih dari selusin. Hal ini semakin membuktikan betapa kacaunya dunia pemikiran dan akademik di kalangan kita.

Hakekat Doktrin Pluralisme Agama

Apa sebenarnya doktrin Pluralisme Agama ini? John Hick, seorang tokoh pengasas – atau bahkan “nabi” – yang mengajarkan doktrin ini, mentakrifkan bahawa Pluralisme Agama adalah:

[T]he view that the great world faiths embody different perceptions and conceptions of, and correspondingly different responses to, the Real or the Ultimate from within the major variant cultural ways of being human; and that within each of them the transformation of human existence from self-centredness to Reality centredness is manifestly taking place – and taking place, so far as human observation can tell, to much the same extent.[2]

Definisi yang mirip seperti ini pun dapat ditemukan dalam salah satu makalahnya, ‘Religious Pluralism,’ yang diterbitkan dalam The Encyclopedia of Religion, sebagaimana berikut:

…the term refers to a particular theory of the relation between these traditions, with their different and competing claims. This is the theory that the great world religions constitute variant conceptions and perceptions of, and responses to, the one ultimate, mysterious divine reality…the view that the great world faiths embody different perceptions and conceptions of, and correspondingly different responses to, the Real or the Ultimate, and that within each of them independently the transformation of human existence from self-centeredness to reality-centeredness is taking place.[3]

Dari takrif yang sangat detail ini dapat dielaborasikan bahawa doktrin ini ingin mengajarkan bahawa agama-agama besar dunia (Yudaisme, Kristianiti, Islam, Hinduisme, Buddhisme, Taoisme, Konfusianisme, Sikhisme, dll.) adalah penampilan-penampilan atau penampakan-penampakan yang berbagai dan beragam dari satu Hakekat Ultima yang Tunggal. Dengan kata lain, dan lebih spesifik lagi, doktrin ini mengajarkan bahawa satu Hakekat Ultima yang Tunggal ini direspon/dipersepsikan/diyakini dalam Yudaisme sebagi El, Elohim, Adonai; dalam Kristianiti sebagai Holy Trinity; dalam Islam sebagai Allah; dalam Hinduisme sebagai Trimurti, Brahman; dalam Buddhisme sebagai Nirvana, Amitabha Buddha; dalamTaoisme sebagai Tao; dalam Sikhisme sebagai Sat Nam, dsb. Singkatnya, nama boleh beragam dan banyak, tapi hakekat tetap satu dan sama. Oleh kerananya, menurut doktrin ini betapa pun berbedanya agama-agama tersebut, pada hakekatnya adalah media atau cara-cara/jalan-jalan yang sama abash/valid dan otentiknya untuk menuju tujuan yang satu dan sama atau untuk mendapatkan keselamatan (salvation). Hick menyimpulkannya sebagai berikut: “the great religious traditions are to be regarded as alternative soteriological “spaces” within which, or “ways” along which, men and women can find salvation/liberation/fulfillment.”[4]

Jadi semua tradisi atau agama yang ada di dunia ini adalah sama validnya, kerana pada hakekatnya semuanya itu tidak lain hanyalah merupakan bentuk-bentuk respons yang berbeda yang dilakukan manusia yang hidup dalam dalam tradisi keagamaan tertentu terhadap sebuah realiti transenden yang satu dan sama,[5] dan dengan demikian, semuanya merupakan “authentic manifestations of the Real.”[6] Ringkasnya, semua agama secara relatif adalah sama, dan tidak ada satu pun agama yang berhak mengklem diri “uniqueness of truth and salvation” (sebagai satu-satunya kebenaran atau satu-satunya jalan menuju keselamatan).

Dengan demikian, masing-masing dari pemeluk agama-agama tersebut tidak boleh membuat klem bahawa agamanya sendiri yang benar secara absolut atau mutlak. Sebab pada prinsipnya, masing-masing berkongsi sebahagian kebenaran (partial truth) sahaja, dan bukan kebenaran yang utuh dan sempurna (whole truth). Berdasarkan perspektif ini, maka kebenaran agama-agama tersebut di atas adalah “relative” atau “nisbi”, sedangkan kebenaran “absolut” atau “mutlak” hanya ada pada Hakekat Ultima (the Ultimate Reality).

Tentu saja untuk membuat doktrin ini tidak sahaja acceptable, tapi malah juga attractive dan tampak indah, tokoh/“nabi” pluralis ini mencoba mencari-cari dan merangkai-rangkai justifikasi teologis secara hermeneutis dan eklektik (pilih-pilih) dari berbagai teks-teks kitab-kitab suci agama-agama besar dan/atau pemikiran-pemikiran atau pendapat-pendapat aliran keagamaan yang marginal dan bukan mainstream.[7]

Maka dari itu, kaum pluralis mengajak dan menyeru kepada semua pemeluk agama agar melakukan transformasi jati-diri dari pada keterkungkungan oleh pemusatan agama/keyakinan diri sendiri yang “relative” menuju kepada pemusatan satu Hakekat Ultima yang Tunggal yang “Absolut”. John Hick mengistilahkan proses transformasi spiritual ini dengan: “the transformation of human existence from self-centredness to Reality centredness”. Sedangkan Paul F. Knitter, seorang pakar teologi Kristian Pluralis yang lain, dalam bukunya yang berjudul No Other Name?: A Critical Survey of Christian Attitudes Toward the World Religions, mengungkapkan hal ini (dengan menggunakan idiom-idiom Kristian) sebagai transformasi daripada ecclesio-centredness (pemusatan gereja – Katolik) atau Christo-centredness (pemusatan Kristian–Protestan) menuju Theo-centredness (pemusatan Tuhan –Pluralis).[8]

Implikasi Doktrin Pluralisme Agama

Doktrin Pluralisme Agama seperti dibentangkan di atas nampak sangat indah, cantik, menjanjikan kedamaian, perdamaian di antara pemeluk agama dan keyakinan yang beragam, dan nampak sangat ramah terhadap keberagaman, keberlainan dan keberbedaan. Akan tetapi jika dicermati dengan seksama, doktrin ini sesungguhnya telah melakukan pembodohan yang luar biasa dahsyat, penodaan harkat dan martabat manusia, penjungkir-balikan logika normal dan, pada akhirnya, pengingkaran eksistensi agama-agama itu sendiri.

Kesemua itu disebabkan adanya sejumlah kelemahan-kelemahan yang sangat mendasar sekali dalam bernalar. Sebahagiannya sangat berkait-erat dengan metodologi pendekatan (methodological approach), sebahagian yang lain dengan epistemologi, dan sebahagian yang lain lagi dengan axiologi. Dalam esei yang singkat ini, kerana halaman yang terhad, kelemahan-kelemahan ini hanya akan disinggung secara umum dan singkat sahaja.[9] Dari segi metodologi pendekatan, pokok masalahnya adalah terletak pada kegagalan kaum pluralis melihat dan memahami agama sebagai agama sepertimana yang diyakini oleh umumnya penganut agama. Kaum pluralis cenderung memahami agama “secara reduksionistik”, yakni mereduksi entiti agama menjadi hanya sekadar “human response” (respon manusia), atau apa yang lazim dikenal dewasa ini di kalangan para pakar perbandingan agama (religionswissenschaft), filsafat agama, sosiologi, anthropologi, dan psikologi, sebagai “religious experience” (pengalaman keagamaan),[10] dengan menafikan in toto kemungkinan datangnya agama dari Tuhan atau Zat yang Maha Agung. Dalam konteks ini, Proudfoot dalam sebuah bukunya, Religious Experience, mencatat hal yang senada. Ia berkata:

The turn to religious experience was motivated in large measure by an interest in freeing religious doctrine and practice from dependence on metaphysical beliefs and ecclesiastical institutions and grounding it in human experience.[11]

Maka, dengan demikian, tidaklah terlalu mengherankan jika kemudian pendekatan ini, di satu pihak, menggiring pada sebuah kesimpulan akan persamaan semua agama secara penuh tanpa ada yang lebih superior dan benar daripada yang lain. Dan di pihak lain, pendekatan ini juga menggiring pada pereduksian agama yang demikian dahsyat, sehingga memasung agama hanya boleh beroperasi di wilayah spiritual manusia yang sangat sempit dan private – hubungan manusia dengan tuhannya atau the ultimate. Namun sebuah pertanyaan krusial yang segera menyusul adalah apakah hubungan pribadi dengan sesuatu yang sakral dan metafisikal ini mempengaruhi dan membentuk perilaku manusia, sama ada dalam kehidupan individual maupun sosialnya, atau tidak? Pertanyaan yang tentu sahaja tak mungkin dapat dijawab mereka kecuali mengiyakan atau mengukuhkannya. Disamping itu semua, pendekatan ini terang-terangan bermakna mendorong para pemeluk agama untuk melakukan “sekularisasi” agama masing-masing secara besar-besaran.

Kemudian yang berkaitan dengan problem epistemological, para pengasas doktrim Pluralisme Agama ini mengklem lebih tahu dan pengetahuan/ilmunya tentang semua agama lebih hebat daripada para pemeluk agama yang berkenaan. Hal ini tercermin dari keberanian para “nabi” pluralis untuk “merelativisasikan” agama-agama dan “mengabsolutkan” keyakinan mereka sendiri tentang “the Ultimate Reality” atau “the Real as It Is in Itself” (Tuhan pluralis). Pertanyaan epistemological yang segera mencuat ke permukaan alam sadar kita adalah: “realtif” dan “absolut” ini dasar atau ukurannya apa, dan bagaimana untuk dapat mengetahuinya? Apakah kerana para pemeluk agama salah atau gagal memahami agamanya masing-masing atas sebab pemahaman mereka yang dianggap “bias” (i.e., melalui “lensa” agama tertentu) seperti yang selama ini dituduhkan? Jika itu alasannya, maka sejatinya kaum Pluralis telah melakukan kebodohan yang sangat menjijikkan terhadap diri mereka sendiri.

Sebetulnya, di sinilah tampak jelas titik doktrin Pluralime Agama yang paling lemah. Doktrin ini mengandungi inkonsistensi logis yang sangat parah, sebab jika realitas Tuhan yang diyakini umat Islam, dan tuhan-tuhan yang diyakini para pengikut agama lain adalah sama relatifnya, maka penilaian atau proposisi ini parameternya apa? Jika parameternya adalah akal, maka akalnya siapa? Dan tidak boleh jika parameternya (dalam hal ini, akal) adalah akalnya John Hick sendiri (dan orang-orang yang sefaham dengannya), kerana ia sendiri, pada gilirannya, juga amat sangat mustahil bisa lepas dari bias “lensa subyektifnya” (pluralistic-secular lense).[12] Namun jika Hick bersikeras bahawa hanya pandangannya sendiri yang benar secara absolut dan yang lain salah atau relatif, maka runtuhlah teori relativisme ini dari akar-akarnya, dan runtuh pula bersamanya doktrin Pluralisme Agama Hick.

(أتجادلونني في أسماء سميتموها أنتم وآباؤكم ما نزل الله بها من سلطان)

(إن هي إلا أسماء سميتموها أنتم وآباؤكم ما أنزل الله بها من سلطان)

(إن هي إلا أسماء سميتموها أنتم وآباؤكم ما أنزل الله بها من سلطان. إن يتبعون إلا الظن وما تهوى الأنفس)

Apakah “pluralisme agama = toleransi agama”?

Wacana Pluralisme Agama, disamping telah menciptakan inkonsistensi dan self-kontradiksi dalam dirinya sendiri, juga telah mengembang-biakkan kontroversi dan bahkan kerancuan di antara para penganut dan pemujanya. Di antaranya adalah anggapan yang berkembang secara meluas di masyarakat yang tidak kritis bahawa:Pluralisme Agama adalah sama dan sebangun dengan “toleransi agama”. Sebagaimana yang terlihat jelas dalam pembentangan di atas, para tokoh dan pengasas doktrin Pluralisme Agama sebenarnya tidak sedang menjajakan ide atau prinsip toleransi agama. Apalagi merekomendasikannya! Sama sekali tidak.

Dengan demikian anggapan bahawa Pluralisme Agama adalah sama dan sebangun dengan “toleransi agama”adalah anggapan subyektif yang sangat sembrono dan over-simplifikatif yang menunjukkan kegagalan si empunya dalam memahami sosok doktrin/ajaran agama baru ini. Lebih lanjut, anggapan ini jelas-jelas ditolak oleh para pakar dan penganjur pluralisme sendiri. Diana L. Eck, direktur The Pluralism Project di Universiti Harvard, Amerika Syarikat, misalnya, dalam penjelasan resminya yang berjudul “What is Pluralism?” dan diulangi dalam “From Diversity to Pluralism”,[13] menyuguhkan empat karakteristik utama untuk mengidentifikasisosok fahaman/ajaran ini secara detail. Dia menyatakan:

Here are four points to begin our thinking:

* First, pluralism is not diversity alone, but the energetic engagement with diversity. Diversity can and has meant the creation of religious ghettoes with little traffic between or among them. Today, religious diversity is a given, but pluralism is not a given; it is an achievement. Mere diversity without real encounter and relationship will yield increasing tensions in our societies.
* Second, pluralism is not just tolerance, but the active seeking of understanding across lines of difference. Tolerance is a necessary public virtue, but it does not require Christians and Muslims, Hindus, Jews, and ardent secularists to know anything about one another. Tolerance is too thin a foundation for a world of religious difference and proximity. It does nothing to remove our ignorance of one another, and leaves in place the stereotype, the half-truth, the fears that underlie old patterns of division and violence. In the world in which we live today, our ignorance of one another will be increasingly costly.
* Third, pluralism is not relativism, but the encounter of commitments. The new paradigm of pluralism does not require us to leave our identities and our commitments behind, for pluralism is the encounter of commitments. It means holding our deepest differences, even our religious differences, not in isolation, but in relationship to one another.
* Fourth, pluralism is based on dialogue. The language of pluralism is that of dialogue and encounter, give and take, criticism and self-criticism. Dialogue means both speaking and listening, and that process reveals both common understandings and real differences. Dialogue does not mean everyone at the “table” will agree with one another. Pluralism involves the commitment to being at the table — with one’s commitments.

Keempat-empat karakteristik yang diberikan oleh Diana L. Eck ini sudah sangat jelas atau self-explanatory. Tapi dalam esei pendek ini, rasanya perlu sedikit mengulas poin kedua dan ketiga.

Eck menyatakan dalam poin kedua bahawa: “pluralism is not just tolerance,” yang bermakna “pluralisme bukanlah sekedar toleransi.” Pernyataan yang lebih kurang sama juga dia sampaikan dalam keynote addressnya yang berjudul “A New Religious America: Managing Religious Diversity in a Democracy: Challenges and Prospects for the 21st Century” pada MAAS International Conference on Religious Pluralism in Democratic Societies, di Kuala Lumpur, Malaysia, Agustus 20-21, 2002. Lebih lanjut ia berkata dalam keynote addressnya:

I would propose that pluralism goes beyond mere tolerance to the active attempt to understand the other … . Although tolerance is no doubt a step forward from intolerance, it does not require new neighbors to know anything about one another. Tolerance comes from a position of strength. I can tolerate many minorities if I am in power, but if I myself am a member of a small minority, what does tolerance mean? … a truly pluralist society will need to move beyond tolerance toward constructive understanding… Tolerance can create a climate of restraint, but not a climate of understanding. Tolerance is far too fragile a foundation for a religiously complex society, and in the world in which we live today, our ignorance of one another will be increasingly costly. (penegasan dari penulis)

Jadi sangat jelas sekali apa yang dimaksudkan dengan pluralisme oleh kaum pluralis sejati. Mereka tidak mengingkari pentingnya toleransi, “There is no question that tolerance is important,” kata Eck dalam makalahnya yang lain (“From Diversity to Pluralism”), tapi segera setelah itu ia tambahkan: “but tolerance by itself may be a deceptive virtue” (tetapi toleransi itu sendiri boleh jadi menjadi suatu budi-pekerti/kebaikan yang menipu). Pandangan miring terhadap toleransi ini sebetulnya sudah mulai dilantunkan kalangan pemikir pluralis semenjak tahun 60-an pada abad ke-20 yang lalu.

Sebut saja, misalnya, Albert Dondeyne yang dalam bukunya, Faith and the World, yang terbit di Dublin oleh Gill and Son pada tahun 1963, menulis: “Let us note that was what then called tolerance would be considered today as the expression of systematic intolerance. In other words, tolerance was then almost synonymous with moderate intolerance.” (Mari kita catat bahawa apa yang dahulu dinamakan toleransi, kini telah dianggap sebagai sebuah ekspresi ketidaktoleranan yang sistematis. Dalam istilah lain, toleransi dengan begitu hampir sinonim dengan intoleransi yang moderat).[14]

Bahkan sebelumnya Arnold Toynbee, seorang sejarawan Inggeris terkemuka, dalam bukunya, An Historian’s Approach to Religion, yang terbit di London oleh Oxford University Press, tahun 1956, sudah mewanti-wanti bahawa “toleransi tidak akan memiliki arti yang positif,” bahkan “tidak sempurna dan hakiki, kecuali apabila manifestasinya berubah menjadi kecintaan.”[15]

Yang perlu digaris-bawahi di sini adalah bahawa bagi kalangan pluralis sejati, Pluralisme pada umumnya dan Pluralisme Agama pada khususnya bukanlah sekadar toleransi belaka, sebagaimana yang jamak di(salah)fahami oleh kalangan pentaklid pluralis. Penekanan Pluralisme lebih pada “kesamaan” atau “kesetaraan” (equality) dalam segala hal, termasuk “beragama”. Setiap pemeluk agama harus memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Oleh kerananya, sejatinya pandangan ini pada akhirnya akan menggerus konsep keyakinan “iman-kufur”, “tawhid-syirik”, yang sangat sentral dalam agama Islam secara khusus. Dan secara umum, doktrin ini akan menggusur dan mengubur keyakinan kebenaran absolut dan eksklusif yang sedia ada pada agama-agama besar dunia. Dengan kata lain, seperti yang ditegaskan para peneliti/pakar agama dari latar belakang agama yang berbagai-bagai, bahaya doktrin Pluralisme Agama ini tidak hanya mengancam agama tertentu, Kristen atau Islam, sahaja tapi mencakup seluruh agama.[16]

Sedangkan poin ketiga, “pluralism is not relativism, but the encounter of commitments,” penulis terus terang merasa gagal untuk dapat memahaminya dengan baik. Poin ini sebetulnya juga sudah lebih dahulu dinyatakan secara argumentative oleh John Hick, salah seorang “nabi” pluralism, dalam bukunya The Rainbow of Faiths, untuk merespon tuduhan relativisme ajaran pluralism agamanya yang dibangkitkan oleh para pengkritiknya. Tapi sayang sekali respons ini terasa hambar.[17] Begitu juga pernyataan Diana Eck, meskipun ia kemudian berusaha memberikan penjelasan bahawa: “The new paradigm of pluralism does not require us to leave our identities and our commitments behind, for pluralism is the encounter of commitments,” namun poin ini justeru semakin kabur atau bahkan bercanggah dan bertembung dengan poin pertama. Sebab,bagi seorang beragama (apa pun agamanya), identiti dan komitmennya adalah terletak pada “keimanan akan kebenaran tunggal dan absolute agamanya”. Dalam berinteraksi atau berdepan (encounter), atau membangun hubungan, dengan pemeluk agama lain, ianya akan selalu committed pada prinsip keyakinannya tadi dan tak akan pernah kompromi atau merelativisasikannya. Tetapi pertanyaan yang berbangkit kemudian adalah, pada level keyakinan, apakah mungkin seseorang yang committed memegang teguh keyakinannya yang absolute, akan dapat mengakui/menerima kebenaran agama lain? Atau dengan kata lain, apakah mungkin seseorang yang committed memegang teguh keyakinannya yang absolute akan dapat mengakui/menerima bahawa “semua agama adalah valid dan otentik”, sebagaimana yang diajarkan oleh, misalnya, John Hick?[18]

Berdasarkan penalaran seperti ini, saya berpendapat (yang ternyata banyak juga para peneliti/penulis berpendapat seperti saya) bahawa “pluralisme = relativisme”, sebab kesimpulan bahawa “semua agama adalah sama, valid dan otentik” tidak mungkin atau mustahil dapat tercapai tanpa didahului proses relitivisasi dan reduksionisasi agama-agama.[19]

Memang sejak awal konsep/fahaman/ajaran Pluralisme Agama ini sudah tampak jelas berbenturan dengan akal dan logika sehat, maka argumen apa pun yang dikembangkan untuk menyokongnya akan semakin menambah dan memperjelas kerancuannya.

Dari paparan ringkas ini dapat disarikan bahawa pluralisme agama sebetulnya adalah “ajaran demokrasi dalam beragama” yang lebih menitik-beratkan pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Sebab secara nasab, pluralism agama ini adalah “anak sah” yang terlahir dari “rahim” demokrasi. Oleh kerananya, secara geneologis pluralisme agama ini secara otomatis dan tak-terhindarkan mewarisi watak dan karakter demokrasi; di antaranya yang paling kentara dan menonjol adalah:

1. Kesetaraan atau persamaan (equality). Ajaran pluralisme agama mengajarkan semua agama sama dan setara, tak ada yang paling baik dan tak ada yang paling buruk.

2. Liberalisme atau kebebasan. Ajaran pluralisme agama mengajarkan hak kebebasan beragama, dalam arti keluar-masuk agama. Hari ini seseorang boleh menjadi Muslim, esok menjadi Kristen, esok lusa menjadi Hindu, dan seterusnya.

3. Relativisme. Sebetulnya ini adalah implikasi dari kedua watak yang sebelumnya. Ajaran pluralisme agama mengajarkan kebenaran agama relative.

4. Reduksionisme. Untuk sampai kepada kesetaraan atau persamaan, ajaran pluralisme agama telah meredusir jati-diri atau identiti agama-agama menjadi entiti yang lebih sempit dan kecil, yakni sebagi urusan peribadi (private affairs). Dengan kata lain pluralism agama itu berwatak sekular.

5. Eksklusivisme. Ramai orang yang gagal mengidentifikasi dan memahami watak atau ciri yang satu ini. Hal ini disebabkan selama ini ajaran pluralisme agama ini diwar-warkan sebagai anti-eksklusivisme. Ia sering menyuguhkan dirinya sebagai ajaran yang “tampak” ramah dan sangat menghormati ke-berbedaan (the otherness) dan menjunjung tinggi kebebasan. Tapi pada hakekatnya, dia sebetulnya telah merampas kebebasan pihak lain dan menginjak-injak serta memberangus ke-berbedaan, apabila dia mendeklarasikan-diri dan mengkleim sebagai pemberi tafsir/teori/ajaran tentang kemajmukan/keberagaman/keberbagaian agama-agama yang absolute benar, i.e., “bahawa semua agama sama.” Jadi sesungguhnya ia telah merampas dan menelanjangi agama-agama dari kleim kebenaran absolute-nya masing-masing untuk kemudian dimiliki dan dimonopoli oleh dirinya sendiri secara eksklusif.

Barangkali inilah ciri-ciri utama yang menonjol yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi atau mengenal-pasti sosok ajaran pluralism agama, sehingga kita tidak keliru memahaminya dan tidak terjebak dalam ketersesatan akibat ke-tidak-tahuan yang kita ciptakan sendiri.

Teologi Pelangi vs. Teologi Abu-abu

Kerana itu, memang umat Islam harus sangat berhati-hati dalam mengadopsi satu istilah atau fahaman asing yang jika tidak berhati-hati akan dapat merusak keimanannya sendiri. Islam – sejak awal kelahirannya – sudah memiliki konsep yang jelas bagaimana memandang agama lain dan bagaimana berhubungan dengan pemeluk agama lain. Seharusnya konsep inilah yang digali dan dikembangkan, bukan justeru mengadopsi konsep yang lahir dari masyarakat yang selama ratusan tahun tidak mengakui, bahkan menindas keberagaman (pluralitas).

Jika yang ingin dicapai adalah kedamaian, perdamaian, harmoni, dan toleransi antara agama dalam masyarakat majmuk, maka sejatinya seseorang atau suatu kelompok atau suatu kaum tak perlu berkompromi dengan merelativisasikan agama/keyakinannya (baca: jati-dirinya). Biarkanlah yang merah tetap merah, hijau tetap hijau, kuning tetap kuning, dan biru tetap biru. Kerana adanya perbedaan warna itulah pelangi adalah pelangi, dan kerananya pulalah pelangi menjadi indah dan sedap dipandang. Apa jadinya kalau warna-warna itu direlativisasikan? Semua jadi tak jelas. Yang tampak hanyalah “abu-abu”.[20] Dengan demikian, yang sangat diperlukan dalam hidup bermasyakat yang majmuk bukanlah “teologi abu-abu”, akan tetapi “teologi pelangi”. Lewat mimbar ini saya mengajak secara khusus saudara-saudara seiman dan seagama untuk tetap iman dan Islam, menjaga jati-diri sebagai mu’min dan Muslim yang sesungguhnya. Wallahu al-Musta’an.


Oleh Dr. Anis Malik Thoha


[1] Makalah ini disampaikan dalam symposium Wacana Pemikiran dan Pembinaan Ummah 2 – Peringkat Kebangsaan, dengan tema “Membanteras Gerakan Pluralisme Agama dan Pemurtadan Ummah,” anjuran bersama Pertubuhan Muafakat Sejahtera Masyarakat Malaysia (MUAFAKAT), Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM), Jabatan Agama Islam Selangor (JAIS), Allied Coordinating Committee of Islamic NGOs dan Permuafakatan Badan Amal Islam Wilayah Persekutuan pada hari Selasa 14 Disember 2010, bertempat di Masjid Wilayah Persekutuan, Jalan Duta, Kuala Lumpur.

[2]John Hick, Problems of Religious Pluralism (Houndmills, Basingstoke: The Macmillan Press, 1985), p. 36.

[3]John Hick, ‘Religious Pluralism,’ dalam Mircea Eliade(ed.), The Encyclopedia of Religion (New York: Macmillan Publishing Company, 1987), Vol. 12, p. 331.

[4] ———, Problems of Religious Pluralism, pp. 36-7; and ———, ‘Religious Pluralism,’ p. 331.

[5] ———, The Fifth Dimension (Oxford: Oneworld, 1999), pp. 10, 77-79.

[6] ———, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (London: Macmillan, [1989] reprinted 1991), p. 247.

[7] Lebih lanjut, lihat: Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama:Tinjauan Kritis (Jakarta: Perspektif GIP, 2005).

[8]Untuk detailnya, rujuk Paul F. Knitter, No Other Name?: A Critical Survey of Christian Attitudes Toward the World Religions (New York: Orbis Book, 1985).

[9]Dalam esei yang singkat ini, tidak dimungkinkan untuk mengupas kelemahan-kelemahan tersebut secara detail. Untuk detailnya dapat dirujuk Anis Malik Thoha,op. cit. khususnya Fasal 3.

[10]Menganggap agama sebagai religious experience adalah hal yang jamak di Barat. Istilah ini banyak dipakai dalam tulisan-tulisan dan karya-karya para pakar dari berbagai disiplin ilmu semenjak permulaan abad ke-20, dan juga digunakan sebagai judul buku-buku mereka, sebagai contoh: William James, The Varieties of Religious Experience: A Study of Human Nature (Harmondsworth: Penguin Books, [1961] 1982); Joachim Wach, Types of Religious Experience: Christian and Non-Christian (Chicago: The University of Chicago Press, [1951] Third Impression 1965); Sidney Hook (ed.), Religious Experience and Truth: A Symposium (New York: New York University Press, 1961); Ninian Smart, Religious Experience of Mankind (New York: Charles Scribner’s Sons, [1969] Twelfth Impression 1982); Wayne Proudfoot, Religious Experience (Berkley, Los Angeles and London: University of California Press, 1985).

[11]Wayne Proudfoot, op. cit., p. xiii

[12] Cf. Siddiqi, Muzammil H., ‘A Muslim Response to John Hick: Trinity and Incarnation in the Light of Religious Pluralism,’ dalam Hick, John, (ed.), Three Faiths – One God, hal. 211-2.

[13] Masing-masing dapat diakses dan dibaca pada link berikut: http://pluralism.org/pluralism/what_is_pluralism.php; dan http://pluralism.org/pluralism/essays/from_diversity_to_pluralism.php

[14]Albert Dondeyne, Faith and the World(Dublin: Gill and Son, 1963),hal. 231.

[15]Arnold Toynbee, An Historian’s Approach to Religion(London: Oxford University Press, 1956),hal. 251.

[16] Lihat: Daniel B. Clendenin, Many Gods, Many Lords (Michigan: Baker Books, 1995), p. 92; Stevri Lumintang, Theologia Abu-abu: Pluralisme Agama-Tantangan & Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini (Malang: Penerbit Gandum Mas, 2004).

[17] John Hick, The Rainbow of Faiths (London: SCM Press, 1995), hal. 50ff.

[18] Lihat John Hick, The Fifth Dimension(Oxford: One World, 2004), hal. 10, 77-79; dan bukunya, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (London: Macmillan, [1989] reprinted 1991), hal. 247.

[19]Lihat analisis lebih lanjut dalam Anis Malik Thoha, op. cit.

[20]Saya rasa sudah tepat sekali jika Dr. Stevri Lumintang, seorang paderi dan teologis Indonesia, menjuluki Pluralisme Agama sebagai “Theologia Abu-Abu”. Lihat Stevri Lumintang, op. cit.

No comments:

Post a Comment