Jawaban Terhadap Prof. KH. Said Agil Siraj, M.A. (Ketua Umum PBNU)
Al-Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray hafidzhahullah
“Salafi, Antara Tuduhan dan Kenyataan”
Sangat disayangkan, seorang profesor doktor yang bernama KH. Said Agil Siraj ikut-ikutan pula memberi kata pengantar dan menganjurkan untuk membaca buku yang sangat tidak ilmiah dan penuh dengan kedustaan serta pemutarbalikan fakta ini. Bahkan profesor memujinya sebagai karya ilmiah. Buku ini juga penuh dengan prasangka buruk terhadap negeri yang dibangun oleh Al-Imam Muhammad bin Su’ud dan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah yaitu Kerajaan Saudi Arabia (KSA).
Saya tidak tahu, apakah sang profesor lupa dengan jasa-jasa pemerintah Saudi Arabia terhadapnya, di mana profesor belajar dari tingkat S1 sampai meraih gelar doktor di universitas yang ada di Kerajaan Saudi Arabia yang dibiayai oleh pemerintah, bagaikan kacang yang lupa akan kulitnya.
Berikut ini beberapa catatan terhadap kata pengantar sang Profesor.
1. Tuduhan Profesor bahwa sahabat yang mulia Amr bin Ash radhiallahu ‘anhu melakukan tipuan.
Profesor berkata dalam kata pengantarnya, “Ketika Amr bin Ash melakukan tipuan dengan mengangkat Mushaf Al-Qur’an sebagai tanda perdamaian, Ali r.a. dan komandan pasukannya Malik Ibnu Asytar, tidak mempercayainya.” (Sejarah Berdarah…, hal. 13)
Jawaban:
Profesor yang terhormat, tidakkah Anda memiliki adab terhadap sahabat yang mulia Amr bin Ash radhiallahu ‘anhu dengan menuduhnya telah melakukan tipuan?
Apakah anda lupa bagaimana jasa sahabat dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada generasi selanjutnya hingga hari ini kita bisa mengamalkan Islam?
Sulitkah bagi Anda untuk mendoakan Amr bin Ash radhiallahu ‘anhu sebagaimana engkau lakukan untuk Ali radhiallahu ‘anhu?[1]
Adapun aqidah kami, aqidah yang Anda sebut Wahabi, tidak seperti kaum Syi’ah[2] yang mengkultuskan Ali radhiallahu ‘anhu dan membenci para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya. Aqidah kami penuh cinta dan penghormatan kepada seluruh sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Aqidah Al-Washitiyyah,
“DAN DI ANTARA PRINSIP AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH ADALAH SELAMATNYA HATI DAN LISAN MEREKA TERHADAP PARA SAHABAT RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam syarahnya mengatakan,“SELAMATNYA HATI YAITU TIDAK MEMBENCI, TIDAK HASAD, TIDAK DENGKI DAN TIDAK SUKA TERHADAP SAHABAT. ADAPUN SELAMATNYA LISAN, YAITU TIDAK MENGUCAPKAN SESUATU YANG TIDAK LAYAK BAGI SAHABAT. MAKA AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH BERSIH DARI PERBUATAN TERCELA ITU, HATI MEREKA PENUH DENGAN CINTA, PENGHORMATAN DAN PEMULIAAN TERHADAP PARA SAHABAT RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM.”[3]
Demikianlah yang harus dilakukan generasi umat Islam setelah sahabat, yaitu mendoakan generasi pendahulu mereka dan tidak membenci mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Yaa Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Yaa Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr [59]: 10)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata dalam kitabnya Risalah Ila Ahlil Qosim,“Aku mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam aku hanya menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka, mendoakan keridhoan untuk mereka, memohon ampun untuk mereka, aku tidak berbicara tentang kejelekan-kejelekan mereka dan perselisihan yang terjadi di antara mereka dan aku meyakini keutamaan mereka, sebagai pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Yaa Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Yaa Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr [59]: 10) (Syarhu Risalah Ila Ahlil Qosim, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzhahullah, hal. 129-130)
Adapun tentang pertikaian dan perselisihan yang terjadi antara para sahabat radhiallahu ‘anhu, seperti Ali dan Mu’awiyah yang melibatkan Amr bin Ash radhiallahu ‘anhum, berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al-Aqidah Al-Wasitiyyah,“Ahlus Sunnah wal Jama’ah menahan diri dari pertikaian yang terjadi antara para sahabat. Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa riwayat-riwayat tentang kejelekan para sahabat di antaranya ada yang dusta, ada yang ditambah, dikurangi dan dirubah-rubah sehingga tidak seperti kisah yang sebenarnya.
Dan yang benar (pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah) dalam masalah pertikaian para sahabat, bahwa mereka diberikan pemaafan, sebab para sahabat adalah mujtahid yang benar mendapat dua pahala dan yang salah mendapat satu pahala.”[4]
Apakah Profesor tidak mengindahkan himbauan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tidak mecela sahabatnya?
Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan:
لَا تَسُبُّو أَصْحَابِي لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَ لَا نَصِيفَهُ
“Janganlah kalian mencerca sahabatku, janganlah kalian mencerca sahabatku, demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya, andaikan seorang dari kalian bersedekah emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai segenggam emas yang disedekahkan oleh sahabatku, tidak pula separuhnya.” (HR. Al-Imam Muslim)[5]
Kenyataan ini adalah bukti penyimpangan aqidah dan kecondongan kepada Syi’ah yang ada dalam buku ini, karena memang kolompok Syi’ah yang ajarannya penuh dengan kesyirikan dan bid’ah, yang paling banyak dirugikan dengan munculnya dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Tidak terkecuali penulis buku Sejarah Berdarah ini yang cenderung mengakui Karbala sebagai “tanah suci” versi Syi’ah, walaupun kelihatannya saudara Idahram belum berani secara tegas membela Syi’ah dalam buku ini, sehingga Idahram tidak terang-terangan mengatakan bahwa Syi’ah-lah yang menjadikan Karbala sebagai kota suci.
Saudara Idahram berkata, “Ada sebagian umat muslim yang menjadikannya sebagai salah satu kota suci.” (Sejarah Berdarah…, hal. 70)
Pembaca yang budiman, sebetulnya, ucapan Profesor, “Ali r.a. dan komandan pasukannya Malik Ibnu Asytar, tidak mempercayainya. Tapi karena didesak oleh sekelompok orang, akhirnya Ali r.a. pun menerima perdamaian itu,” juga mengandung celaan kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, karena mengandung tiga tuduhan:
Pertama, Ali radhiallahu ‘anhu tidak mempercayai seorang muslim yang jujur, Profesor pun tidak mampu mendatangkan bukti ilmiah atas tuduhan ini.
Kedua, Ali radhiallahu ‘anhu orang yang lemah, yang mudah didesak.
Ketiga, Ali radhiallahu ‘anhu seakan tidak mau melakukan perdamaian, padahal dengan itu pertumpahan darah antara kaum muslimin dapat dihentikan. Apakah engkau mengira Ali radhiallahu ‘anhu mau terus membunuh kaum muslimin?!
2. Tuduhan Profesor bahwa Imam Muhammad bin Su’ud dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memisahkan diri dari Khilafah Utsmani (Sekaligus jawaban terhadap tuduhan Syaikh Idahram bahwa Wahabi bekerjasama dengan Inggris)
Profesor berkata –dengan tanpa bukti sedikitpun-, “Tapi awal abad ke-18, Gubernur Najd, Muhammad Ibnu Su’ud, yang didukung seorang ulama bernama Muhammad bin Abdul Wahhab memisahkan diri dari khalifah Utsmani.” (Sejarah Berdarah…, hal. 15)
Jawaban:
Sangat disayangkan seorang profesor berbicara tanpa sedikit pun memberikan bukti, bahkan bukti-bukti sejarah menuturkan bahwa Najd memang tidak termasuk dalam wilayah kekuasaan Khilafah Utsmani sebagaimana akan kami paparkan insya Allah.
Tidak jauh beda dengan tuduhan dusta saudara Idahram, “Bekerjasama dengan Inggris Merongrong Kekhalifahan Turki Utsmani”. (Sejarah Berdarah…, hal. 120)
Ternyata (pada hal. 121), yang dijadikan bukti oleh Idahram adalah arsip sejarah milik orang-orang kafir Inggris.
Padahal dalam sejarah Islam, jangankan kepada orang-orang kafir, berita orang-orang muslim yang fasik saja tidak boleh kita percayai begitu saja.[6] Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)
Al-Imam Muslim rahimahullah berkata tentang makna ayat di atas dakam Muqaddimah Shahihnya,“KABAR YANG BERASAL DARI ORANG FASIK ITU JATUH, TIDAK BOLEH DITERIMA. DAN PERSAKSIAN SEORANG YANG TIDAK ADIL (YAITU TIDAK BERIMAN DAN BERTAKWA) TERTOLAK.”[7]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah memperingatkan,
كَفَى بِلْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukupklah seorang dianggap pendusta, jika dia menceritakan setiap yang dia dengarkan.” (HR. Al-Imam Muslim)[8]
Pembaca yang budiman, menjawab tuduhan dusta ini kami nukilkan dulu bagaimana pandangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah terhadap usaha memisahkan diri atau merongrong kepemimpinan kaum muslimin. Beliau rahimahullah berkata dalam Risalah Ila Ahlil Qosim,“Aku memandang wajibnya mendengar dan taat kepada para pemimpin kaum muslimin, apakah itu pemimpin yang baik maupun jahat, selama mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan.”[9]
Dan siapa yang memimpin khilafah dan manusia bersatu dalam kepemimpinannya, mereka ridho kepadanya, meskipun dia mengalahkan mereka dengan pedang sampai menjadi khilafah, maka wajib taat kepadanya dan haram memisahkan diri (memberontak) kepadanya.”[10]
Beliau rahimahullah juga berkata dalam kitabnya Sittatu Ushulin ‘Azhimah Mufidah,
“Di antara kesempurnaan persatuan kaum muslimin adalah mendengar dan taat kepada pemimpin meskipun yang memimpin kita adalah seorang budak habasyi (Etiopia).”[11]
Beliau rahimahullah juga berkata tentang perangai Jahiliyah dalam kitabnya Masail Jahiliyyah,“Anggapan kaum jahiliyyah bahwa menyelisihi pemimpin, tidak mendengar dan taat kepadanya adalah sebuah keutamaan, sedangkan mendengar dan taat kepadanya adalah kehinaan dan kerendahan, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi mereka, beliau memerintahkan untuk mendengar, taat dan menasehati pemimpin.”[12]
Inilah sesungguhnya pandangan beliau terhadap pemberontakan terhadap penguasa muslim, bahwa hal itu diharamkan dalam Islam. Adapun tentang bekerjasama dengan orang-orang kafir dalam memerangi kaum muslimin, beliau rahimahullah berkata dalam risalah Nawaqidul Islam,“Pembatal keislaman yang kedelapan, bekerjasama dengan kaum musyrikin dan tolong-menolong dengan mereka dalam memerangi kaum muslimin.”[13]
Bagi orang yang adil dan obyektif, penukilan langsung dari kitab-kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di atas sebenarnya sudah cukup sebagai bantahan terhadap mereka yang menuduh beliau memberontak kepada khalifah Turki Utsmani dengan bantuan orang-orang kafir Inggris. Namun untuk lebih dapat membungkam kedustaan mereka, berikut ini kami nukilkan fakta sejarah bahwa wilayah Najd tidak termasuk wilayah kekuasaan Turki Utsmani ketika itu.
Prof. Dr. Shalih Al-‘Abud –semoga Allah menjaganya- memaparkan hasil penelitian beliau,“Najd bukanlah termasuk dalam wilayah kekuasaan daulah Utsmaniyah, penguasa Utsmani tidak pernah melakukan perluasan sampai ke Najd, tidak pula para penguasa Utsmani pernah datang ke Najd. Pasukan Turki tidak pernah menembus Najd sebelum munculnya dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Bukti atas kenyataan sejarah ini adalah sebuah studi menyeluruh terhadap pembagian admisnistrasi wilayah daulah Utsmaniyyah, dari sebuah dokumen Turki yang berjudul, “Undang-undang Utsmani yang mencakup daftar perbendaharaan negeri”, ditulis oleh Yamin Ali Afandi, petugas dan penjaga daftar Al-Khaqoni pada tahun 1018 H yang bertepatan dengan 1608 M. Dari dokumen ini jelas bahwa sejak awal abad ke-11 Hijriah, daulah Utsmaniyah terbagi 32 distrik, di antaranya 14 distrik wilayah Arab dan negeri Najd tidaklah termasuk wilayahnya kecuali Ahsaa, jika kita menganggapnya sebagai Najd.”[14]
Pada akhirnya Ahsaa pun lepas karena pemberontakan Bani Khalid yang menganut Syi’ah pada tahun 1080 H, yang pada akhirnya juga Bani Khalid berusaha memerangi Dir’iyyah dan berhasil dikalahkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan pasukannya. Dalam ensiklopedi sejarah Muqotil min Ash-Shoro’, tercatat 7 kali penyerangan Bani Khalid dari Ahsaa ke Dir’iyyah, Qosim dan daerah-daerah yang telah mengikuti dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Tujuh penyerangan ini terjadi pada tahun 1172 H, 1178 H, 1188 H, 1192 H, 1193 H, 1195 H, dan 1197 H. Pada tahun 1198 H Dir’iyyah baru melakukan serangan pembalasan atas kejahatan mereka.
Pada tahun 1207 H, Dir’iyyah bisa menguasai Ahsaa dan menerima permohonan damai mereka, sehingga dibuatlah perjanjian damai. Adapun sebagian pemimpin Bani Khalid ini lari ke Kuwait dan berhasil membangun kekuatan di sana, maka pada tahun 1208 H Dir’iyyah pun mengejar Bani Khalid sampai ke Kuwait.
Menurut Ensiklopedi Sejarah Al-Muqotil min Ash-Shohro’, yang ditulis oleh 10 pakar sejarah, sebagaimana dalam website resminya, bahwa penyerangan Dir’iyyah pertama terhadap Bani Khalid di Kuwait itu terjadi pada tahun 1208 H, berbeda dengan klaim saudara Idahram, pada tahun 1205 H (pada hal. 95)
Dan pada tahun 1208 H, Ahsaa juga mengkhianati perjanjian damai dengan membunuh para pemimpin, pengurus baitul maal dan penasihat yang ditugaskan Dir’iyyah di Ahsaa. Maka Dir’iyyah pun kembali menyerang Ahsaa untuk membalas (qishash) para pembunuh.
Pada tahun 1210 H, Ahsaa kembali memberontak, namun berhasil dipadamkan oleh Dir’iyyah. Inilah rangkaian kejadian penyerangan Ahsaa dan Kuwait yang sebenarnya, tidak sekedar penggalan-penggalan sejarah yang dibuat saudara Idahram (pada hal. 91-93) dan penyerangan Kuwait (pada hal. 95-96).
Jadi jelaslah kalau ternyata buku yang diberi kata pengantar oleh sang profesor ini tidak lebih dari sebuah karya yang sangat tidak ilmiyah dan penuh dengan kedustaan serta pemutarbalikan fakta.
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58)
3. Profesor menyesalkan pembongkaran terhadap situs-situs sejarah dan meratakan kuburan
Profesor berkata, “Begitu masuk Mekkah, mereka langsung meratakan semua kuburan, termasuk kuburannya Siti Khadijah, Abdullah bin Zubaer, Asma binti Abu Bakar, kuburan para sahabat, dan semua kuburan ulama.” (Sejarah Berdarah…, hal. 15)
Lalu dengan sangat berlebihan profesor mengatakan –yang lagi-lagi Profesor berbicara tanpa bukti-,“Situs-situ sejarah perkembangan Islam juga dibongkar: rumah paman Nabi Saw…” (Sejarah Berdarah…, hal. 16)
Saudara Idahram pun tak ketinggalan, Idahram berkata,“Kemudian, mereka menghancurkan kubah di Pekuburan Baqi, seperti kubah Ahlul Bait (isteri-isteri Nabi, anak dan keturunannya) serta perkuburan kaum muslimin.” (Sejarah Berdarah…, hal. 86)
Idahram juga berkata,
“Sebelum kehadiran mereka, penginggalan bersejarah itu terjaga dengan rapi…” (Sejarah Berdarah…” hal. 105)
Jawaban:
Profesor yang terhormat, menjaga tauhid jauh lebih penting dari sekedar menjaga situs-situs sejarah Islam, sehingga Islam tidak melarang sedikit pun penghancuran tempat-tempat bersejarah demi untuk menjaga tauhid. Tentunya selama itu bukan tempat yang dilarang untuk dihancurkan. Buktinya pemerintah Saudi tidak pernah menhancurkan ka’bah, hajar aswad maupun maqam Ibrahim ‘alaihissalam.
Jangankan rumah atau kubah kuburan yang hanya sebuah benda mati, bahkan sebuah pohon yang merupakan makhluk hidup dan saksi sejarah perjuangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada peristiwa Bai’atur Ridhwan (bahkan pohon ini disebut dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits), ditebang oleh Khilafah Ar-Rasyid Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, ketika beliau mendengar adanya sebagian orang yang mulai melakukan napak tilas sejarah ke pohon tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang pohon ini dalam Al-Qur’an:
لَّقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. Al-Fath: 18)
Juga disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits,
لَا يَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ مِمَّنْ بَايَعَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
“Tidak akan masuk neraka seorang pun yang berbai’at di bawah pohon itu.” (HR. Al-Imam At-Tirmidzi)[15]
Namun ternyata, pohon yang sangat bersejarah itu ditebang oleh Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu.
Apa sebab beliau menebangnya?
Apakah karena di situ terjadi kesyirikan?
Jawabannya, belum terjadi kesyirikan di situ. Beliau menebangnya hanya karena khawatir jangan sampai pohon tersebut kelak dijadikan tempat kesyirikan. Padahal, orang-orang yang datang ke sana tidak melakukan kejahatan, yang mereka lakukan hanyalah sholat di bawah pohon itu.
Al-Imam Ibnu Wadhdhah rahimahullah menuturkan,
سَمِعْتُ عِيْسَى بْنَ يُيْنُسَ يَقُيْلُ; أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الخطابِ رَضي اللە عَنْەُ بقطعِ الشَّجَرَةِ التي بوْيعَ تَحْتَهَا النَّبيُّ صلى اللە عليە و سلم٬ فقطعَهَا٬ لَأَنَّ النّاس كانوْا يذْهَبُوْنَ فيصلوْنَ تَحْتهَا٬ فخافَ عَليْهِمُ الفِتْنة
“Aku mendengar Isa bin Yunus berkata, Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu memerintahkan untuk memotong pohon yang di bawahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibai’at, maka dipotonglah. Hal itu dilakukan karena orang-orang pergi ke pohon itu untuk sholat di bawahnya, maka beliau khawatir mereka akan ditimpa fitnah (syirik).”[16]
Adapun menghancurkan kubah-kubah di kuburan dan meratakannya, inilah salah satu isu mereka untuk memberi kesan jelek terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Dalam hal ini, mereka memanfaatkan keawaman sebagian besar kaum muslimin yang tidak mengetahui hakikat permasalahan ini.
Padahal, meratakan kuburan yang ditinggikan memang perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah diamalkan dengan baik oleh sahabat dan tabi’in. Al-Imam Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisabur rahimahullah meriwayatkan:
عَنْ أَبِى الهَيَّاجِ الأَسَدِىِّ قَال قَال لِى عَلىُّ بْنُ أَبِى طَالِبِ أَلَّا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِى عَلَيْەِ رَسُلُ اللە صلى اللە عليە و سلم أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَشْتَهُ وَ لَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
“Dari Abul Hayyaj Al-Asadi rahimahullah, beliau berkata, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata kepadaku, akan aku utus engkau sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutusku; janganlah engkau biarkan sebuah patung (dalam riwayat lain: gambar bernyawa) kecuali engkau hancurkan dan tidak pula kuburan yang ditinggikan, kecuali engkau ratakan.” (HR. Al-Imam Muslim)[17]
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang kaum muslimin membangun kuburan, seperti dalam hadits,
نهى رسول الله صلى اللە عليە و سلم أن يجصص القبر و أن يقعد عليه و أن يبنى عليه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari mengapur kuburan, duduk di atasnya dan dibangun di atasnya.” (HR. Al-Imam Muslim)[18]
Pembesar ulama Syafi’iyyah, Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
“ADAPUN MEMBANGUN DI ATAS KUBURAN, APABILA TANAH PEKUBURAN MILIK ORANG YANG MEMBANGUNNYA MAKA HAL ITU MAKRUH[19] DAN JIKA DI PEKUBURAN UMUM MAKA HARAM,HAL SEPERTI INI DINASHKAN OLEH ASY-SYAFI’I DAN ULAMA SYAFI’IYYAH.
Berkata Al-Imam Syafi’I dalam Al-Umm,DAN AKU MELIHAT PARA IMAM DI MAKKAH MEMERINTAHKAN UNTUK MENGHANCURKAN KUBURAN YANG DIBANGUN. ADAPUN DALIL YANG MENDUKUNG PENGHANCURAN KUBURAN ADALAH SABDA NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM (KEPADA ALI BIN ABI THALIB RADHIALLAHU ‘ANHU):
لَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
“Dan tidaklah ada kuburan yang ditinggikan kecuali engkau ratakan”.”[20]
Pembaca yang budiman, ternyata menghancurkan dan meratakan kuburan memang perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diamalkan oleh sahabat dan tabi’in, juga dianjurkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam An-Nawawi serta diperintahkan oleh para imam Makkah yang hidup di zaman Al-Imam Asy-Syafi’i.[21]
Walhamdulillah, ketika para pelaku syirik dan bid’ah membangun kembali kuburan-kuburan di Makkah, Madinah dan sekitarnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan pasukannya mengancurkan bangunan-bangunan itu kembali setelah sekian lama diagungkan dan disembah oleh sebagian orang. Jadi pantas kalau banyak ulama menggelari beliau sebagai Mujaddid (pembaharu).
Asy-Syaikh Muhammad bin Utsman Asy-Syawi rahimahullah menceritakan kisah yang terjadi pada tahun 1343 H, yaitu penghancuran kuburan di kota Makkah yang telah dijadikan arena kesyirikan oleh sebagian orang, beliau berkata,“Ketika kami selesai melakukan umroh, kami segera menghancurkan kubah-kubah (kuburan), dan kami dapati sesuatu yang sangat berat untuk diceritakan, berada pada kubah yang dibangun di atas kuburan Ummul Mukminin Khadijah radhiallahu ‘anha. Di antaranya kami dapati sebuah surat permohonan (doa) yang berbunyi,‘WAHAI KHADIJAH, WAHAI UMMUL MUKMININ, KAMI DATANG BERZIARAH KEPADAMU, KAMI BERDIRI DI PINTUMU, MAKA JANGANLAH ENGKAU MENOLAK KAMI SEHINGGA KAMI MERUGI, BERILAH SYAFAA’AT KEPADA KAMI, AGAR SAMPAI KEPADA MUHAMMAD, AGAR SAMPAI KEPADA JIBRIL, AGAR SAMPAI KEPADA ALLAH’.
KAMI JUGA MENDAPATI KUBURAN TERSEBUT KAMBING SESAJEN UNTUK MENDEKATKAN DIRI (TAQARRUB) KEPADA KHADIJAH RADHIALLAHU ‘ANHA.”[22]
Tidak diragukan lagi, berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyembelih untuk selainNya adalah perbuatan syirik, sebab do’a dan menyembelih adalah ibadah, maka mempersembahkan doa dan sembelihan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala berarti beribadah kepada selainNya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدُّعَاءُ هُوَ العِبَادَةُ ثُمَّ قَرَأَ: وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Doa itu adalah ibadah. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan Rabbmu telah berfirman, berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan, sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah (doa) kepadaku, mereka akan masuk neraka dalam keadaan hina.” (HR. Al-Imam Abu Daud dan Al-Imam At-Tirmidzi)[23]
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعَنَ الله مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ
“
Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknat orang yang menyembelih untuk selainNya.” (HR. Al-Imam Muslim)[24]
Inilah sesungguhnya salah satu sebab pertikaian yang terjadi antara Ahlus Sunnah dan Ahlul Bid’ah, ketika Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menguasai suatu negeri maka misi utama beliau dalam penguasaan negeri itu untuk melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya menhancurkan kuburan-kuburan yang diringgikan, dan sebabnya pun jelas, bahwa pengagungan terhadap kuburan telah mengantarkan sebagian orang kepada penyembahan terhadap kuburan tersebut, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap tegas dalam permasalahan ini.
فَاعْتَبِرُوا يَٰأُوْلِى البْصَٰرِ
“Maka ambilah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. Al-Hasyr: 2)
Footnote:
[1] Penulisan shalawat dan doa radhiallahu ‘anhu dengan disingkat menjadi “saw” dan “ra” itu juga bukan cara yang baik. Profesor dan penulis buku ini sudah terbiasa menyingkat shalawat dan doa. Bagaimana pandangan ulama dalam masalah ini?
Al-Imam As-Sakhawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Fathul Mughits Syarhu Alfiyatil Hadits lil ‘Iraqi, “Dan dan jauhilah wahai penulis, menuliskan shalawat dengan singkatan, yaitu menjadikannya dua huruf dan semisalnya, sehingga bentuknya kurang. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Al-Kattani dan orang-orang jahil dari kalangan ‘ajam (non Arab) secara umum dan penuntut ilmu yang awam.”
Al-Imam As-Suyuthi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata dalam kitabnya Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi, “Dibenci menyingkat tulisan shalawat, sebagaimana dijelaskan dalam Syarah Muslim dan kitab lainnya.” (Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Bin Baz rahimahullah (2/339))
[2] Seorang penulis, memang sempat mencurigai Profesor sebagai penganut Syi’ah yang tidak terang-terangan.
Dalam buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia (hal. 119) terdapat sebuah bab khusus membahas paham sesat profesor yang mirip Syi’ah, yaitu “Tak Mengaku Syi’ah Sambil Mengkafirkan Sahabat.” Penulisnya berkata, “Model menyakiti hati bahkan mengkafirkan para sahabat ternyata bukan hanya dilakukan oleh orang yang terang-terangan mengaku Syi’ah. Bahkan di Indonesia, orang yang mengaku Sunni padahal rumahnya dipasangi gambar Khomeini besar (konon kini dicopot, menurut sumber Media Dakwah) pun menulis makalah yang sangat lancang mengkafirkan para sahabat. Dialah Dr. Said Agil Siraj.”
Penulis yang sama, dalam buku Ada Pemurtadan di IAIN juga memasukkan Sang Profesor dalam daftar “Sosok-sosok Nyeleneh, Banyak yang di UIN dan IAIN.” Penulisnya berkata (pada hal. 98), “Said Aqil Siraj dosen pasca sarjana UIN Jakarta dan tokoh NU – Nahdatul Ulama – yang pernah bersuara sangat aneh dan menyakiti para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang Arab sepeninggal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka murtad kecuali hanya orang-orang Arab Quraisy, itupun tidak keluarnya dari Islam bukan karena agama tetapi karena suku/kabilah. Dengan tulisannya di makalah yang sangat menyakiti para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu maka Aqil Siraj dikafirkan oleh belasan ulama dan ada gagasan untuk diusulkan ke almamaternya, Universitas Ummul Quro Makkah, agar gelar dotornya dicabut; namun malah Aqil Siraj menantang silakan dicabut, sekalian gelar hajinya yang telah ia jalani belasan kali silakan dicabut. Lancangnya Said Agil Siradj melontarkan tuduhan…”
[3] Syarhul Aqidah Al-Washitiyyah, 2/247-248
[4] Syarhul Aqidah Al-Washitiyyah, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin, 2/285-287
[5] HR. Al-Imam Muslim no. 6651 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
[6] Mereka yang menjadikan berita-berita orang kafir untuk menghantam kaum muslimin tak ubahnya seperti yang dikatakan penyair:
“Siapa yang menjadikan burung gagak sebagai dalil baginya. Maka burung itu akan membawanya melewati bangkai-bangkai anjing.”
[7] Shahih Muslim, 1/6
[8]HR. Al-Imam Muslim no. 7 dari Hafsh bin ‘Ashim radhiallahu ‘anhu.
[9] Maksud beliau rahimahullah, jika perintah itu merupakan maksiat kepada Allah maka tidak boleh ditaati, namun tetap wajib taat pada perintah lain yang bukan kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
[10] Lihat Syarhu Risalah Ila Ahlil Qosim, Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 47
[11] Silsilah Syarhil Rosaail, hal. 34.
[12] Lihat Syarhu Masaail Jahiliyyah, Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 47
[13] Lihat Silsilah Syarhil Rosaail, hal. 231.
[14] Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wa Atsaruha fil ‘Alam Al-Islamy, 1/27, sebagaimana dalam Da’awa Al-Munawi’in, Dr. Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali Al-Abdul Lathif, hal. 303-304.
[15] HR. At-Tirmidzi dan beliau berkata, hadits ini Hasan Shahih dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 7680.
[16] Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah dalam Al-Bida’ wan Nahyu ‘Anha, sebagaimana dalam Fathul Majid Syarah Kitab At-Tauhid Syaikh Abdur Rahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dengan ta’liq Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah, hal. 255.
[17] HR. Al-Imam Muslim no. 2287 dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
[18] HR. Al-Imam Muslim no. 2289 dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma.
[19] Yang lebih tepat –wallahu A’lam-, hukumnya juga haram, karena keumuman dalil dan tidak ada dalil yang memperkecualikan kuburan yang dibangun oleh pemilik tanah pekuburan.
[20] Syarah Muslim, 7/27
[21] Apakah kalian akan menuduh Imam Syafi’i dan Imam Nawawi sebagai Wahabi?! Bukankah Wahabi yang lebih layak berbangga –andaikan boleh saling membanggakan diri- dengan madzhab Syafi’i?!
[22] Al-Qoulul Asad, Qof (3), sebagaimana dalam Da’awa Al-Munawiin, hal. 421.
[23] HR. Abu Daud no. 1481 dan At-Tirmidzi no. 3247 dari An-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud, no. 1329.
[24] HR. Al-Imam Muslim no. 5239, 5240, 5241 dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
Ditulis oleh Al-Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray hafidzhahullah dalam buku “Salafi, Antara Tuduhan dan Kenyataan” penerbit TooBagus cet. pertama.
Bantahan terhadap buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” karya Syaikh Idahram hadahullah.
No comments:
Post a Comment