Pluralisme di Indonesia: Paham dan Amalan
Pada 29hb Julai 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menerbitkan keputusan fatwa (Nombor 7/MUNAS VII/MUI/II/2005) berkenaan pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Ditegaskan bahawa haram hukumnya bagi Umat Islam menganut atau mengikuti paham-paham keliru ini. Tanggapan pro dan kontra langsung bermunculan. Walaupun ramai yang akur dengan MUI, golongan yang merasa dirugikan (secara psikologis dan ekonomis) oleh fatwa tersebut segera memprotes. Sebagian mereka menyalahkan dan menyesalkan. Seorang di antaranya bahkan mengatakan MUI itu ‘tolol dan konyol’.[1] Makalah ini akan mengupas maksud pluralisme agama, dari mana asal-muasalnya, serta bagaimana ia dipahami, disiarkan dan diamalkan khususnya di negeri jiran Indonesia.
Maksud dan Asal-usulnya
Istilah ‘pluralisme agama’ terbilang baru. Seratus tahun yang lalu tidak ada seorang pun menyebut atau menulis tentangnya. Yang kita temukan adalah istilah convivencia (bahasa Spanyol untuk co-existence atau hidup bersama dengan rukun damai), toleration atau tolerance (dari bahasa Latin tolero, tolerare yang artinya membawa, memanggul, menanggung, menahan (to carry, bear, endure, sustain; to support, keep up, maintain).[2] Meski tidak jelas siapakah yang pertama kali menelurkan istilah pluralisme agama, paham ini dikembangkan oleh sejumlah pemikir Kristen mutakhir, yaitu Raimundo Panikkar[3] (seorang pastor Katholik kelahiran Sepanyol yang ayahnya beragama Hindu), Wilfred Cantwell Smith[4] (pengasas dan mantan pengarah Institute of Islamic Studies di McGill University Canada), Fritjhof Schuon[5] (mantan Kristen yang pergi mengembara keluar masuk pelbagai macam agama) dan John Hick[6] (profesor teologi di Claremont Graduate School California USA).
Pertama-tama mesti kita terangkan lagi perbedaan antara ‘pluralitas’ dan ‘pluralisme’ agama. Pluralitas agama adalah fakta wujudnya kepelbagaian dan perbedaan agama-agama di dunia ini. Sebagai fakta, pluralitas merupakan ketentuan Tuhan alias Sunnatullah, dan karenanya mustahil dihapuskan. Adapun pluralisme agama adalah pandangan, pikiran, sikap dan pendirian yang dipunyai seseorang terhadap realiti kepelbagaian dan fakta perbedaan tersebut. Ini pengertian umumnya. Secara khusus, pluralisme agama adalah pandangan, pikiran, keyakinan bahawa agama-agama yang bermacam-macam dan berbeda-beda itu mempunyai kesamaan dari segi ontologi, soteriologi, dan epistemologi. Seperti dikemukakan Peter Byrne, profesor di King’s College London UK, pluralisme agama merupakan persenyawaan tiga tesis. Pertama, semua tradisi agama-agama besar dunia adalah sama, semuanya merujuk dan menunjuk sebuah realitas tunggal yang transendent dan suci. Kedua, semuanya sama-sama menawarkan jalan keselamatan. Dan ketiga, semuanya tidak ada yang final. Artinya, setiap agama mesti senantiasa terbuka untuk dikritik dan ditinjau kembali.[7]
Sebagai paham baru, pluralisme agama ditawarkan menjadi alternatif kepada exclusivism dan inclusivism–dua pandangan yang konon tidak sesuai lagi untuk masyarakat modern sekarang ini. Adalah John Hick yang dengan gamblang menerangkan tiga macam paradigma (cara berpikir) dalam memandang dan menyikapi status agama lain.[8] Paradigma eksklusivisme mengajarkan bahawa keselamatan akhirat hanya akan diberikan kepada pengikut agama tertentu saja.[9]Bagi orang Nasrani, Jesus Kristus diyakini sebagai jalan paling absah, unik, normatif dan hakiki bagi keselamatan, atas dalil Yohanes 14:6: “Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Tak seorang pun dapat sampai kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Paradigma ini tampak pada sikap Gereja Katholik Roma yang selama berabad-abad menempatkan dirinya sebagai pusat keselamatan dengan semboyan masyhur: extra ecclesiam nulla salus. Walhasil, Gereja Katholik Roma bersikap tertutup dan berpandangan negative terhadap agama-agama lain.[10] Paradigma ini juga terdapat di kalangan Gereja Protestan. Karl Barth dalam bukunya Church Dogmatics menegaskan bahawa hanya ada satu agama yang benar yaitu agama Kristen karena Tuhan menghendakiNya demikian. Penganut agama lain akan binasa di neraka. Sikap inilah yang dikatakan membentuk mentalitas tentara salib dan golongan fundamentalis, sehingga umat Islam dilihat sebagai musuh yang perlu ditaklukkan dengan jalan mengkristenkan mereka.
Paradigma inklusivisme mengatakan bahawa keselamatan Allah berlaku universal dan hadir dalam agama-agama lain dengan tetap mengakui keunikan Jesus Kristus. Bahawa ampunan dan kasih sayang Tuhan merangkul seluruh umat manusia dengan berkat kematian Jesus, terlepas apakah yang bersangkutan memeluk agama Kristen ataupun agama lain.[11] Inklusifisme menolak segala bentuk konfrontasi antar agama lain dengan Kristen. Malah sebaliknya, inklusivisme berusaha memadukan dua pengakuan teologis: adanya keselamatan agama-agama lain dan keunikan anugerah Allah dalam JesusKristus. Paradigma inilah yang dianut oleh Gereja Katholik Romase sudah Konsili Vatikan II yang konon menandai perubahan dan keterbukaan baru terhadap agama-agama lain. Peranan dan sumbangsih Karl Rahner, pakar teologi dari Jerman, dalam hal ini diketahui cukup besar. Dialah yang mencetuskan istilah ‘Kristen tanpa nama’ (anonymous Christian).[12] Tetapi menurut Hick, paradigma ini menimbulkan beberapa implikasi pelik. Apakah ianya berarti doktrin ‘tiada keselamatan di luar gereja’itu telah dibatalkan? Kalau jawabannya ‘tidak’, maka istilah ‘Kristen tanpa nama’ tersebut omong kosong belaka (empty gesture). Sebaliknya, kalau jawabannya adalah ‘ya’, maka program Kristenisasi yang digarap oleh para misionaris itu sia-sia belaka.[13] Ada pula yang mengkritik konsep anonymous Christian itu sebagai penghalang terhadap dialog yang jujur dan seimbang, atau malah justeru membawa kepada jalan buntu bagi semua agama. Konsep ini masih terperangkap dalam imperialisme teologis yang menekankan normativitas Jesus Kristus bagi agama-agama lain dan tetap memandang agama-agama lain lebih rendah dari agama Kristen, sehingga kalaupun ada dialog seperti dianjurkan Gereja Katholik pasca Konsili Vatikan II, maka yang terjadi adalah ‘dialog antara gajah dan tikus’ –meminjam istilah Paul F. Knitter.[14]
Jadi tidak mengherankan apabila John Hick lantas lebih mengedepankan ‘pluralisme’ sebagai alternatif. Paradigma ini merupakan kelanjutan dari paradigma inklusivisme yang dianggap masih plin-plan itu. “Kalau kita berpendapat bahawa keselamatan atau pembebasan itu juga berlaku dalam tradisi agama-agama besar [selain Kristen], bukankah kita semestinya terus terang mengatakan bahawa ada banyak jalan keselamatan bagi manusia dalam hubungannya dengan Tuhan?” Menurut Hick, pluralisme adalah pandangan yang menyatakan bahawa perubahan hidup manusia dari keterpusatan pada diri sendiri menuju keterpusatan pada sang Realitas tunggal (yaitu Tuhan) terjadi di dalam semua agama dalam pelbagai bentuk dan cara.[15] Paradigma ini dianggap jauh lebih baik untuk dijadikan asas dialog antara agama yang digagas oleh Gereja Vatikan. Sudah barang tentu dalam hal ini John Hick tidak sendirian. Selain tokoh-tokoh yang namanya sudah kita sebut di atas, Paul F. Knitter juga aktif menyuarakan paham ini. Menurutnya, pluralisme berangkat dari keinginan melahirkan dialog yang jujur dan terbuka sehingga seluruh pemeluk agama dapat bekerja-sama memperbaiki kehidupan dan menanggulangi penderitaan manusia di muka bumi ini. Dalihnya, terdapat suatu ‘kesamaan yang kasar’ (rough parity) pada semua agama, kata Knitter. Agama-agama selain Kristen mungkin juga sama baik dan pentingnya untuk membawa pengikut masing-masing kepada kebenaran, perdamaian dan kesejahteraan bersamaTuhan.[16]
Paham Pluralisme di Indonesia
Paham pluralisme dibawa ke Indonesia oleh orang-orang Kristen. Pergaulan segelintir cendekiawan Muslim dengan golongan Kristen melalui pelbagai forum dan media di tingkat nasional maupun internasional, telah memuluskan jalan masuk dan tersebarnya paham ini di kalangan Umat Islam. Ada yang pelik dalam reaksi golongan liberal terhadap fatwa MUI tentang pluralisme. Di satu sisi mereka menyoal kepahaman MUI mengenai pluralisme. Dalam fatwa bertarikh 29 Julai 2005 tersebut, MUI mendefinisikan pluralisme sebagai paham yang “mengajarkan bahawa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif.” Definisi ini dikatakan keliru, dan MUI dianggap salah paham atau tidak mengerti sama sekali. Kata mereka pluralisme tidak sama dengan relativisme dan bukan pula sinkretisme. Lantas, apa sebenarnya yang mereka maksud dan pahami dari pluralisme tersebut? Mari kita semak petikan-petikan berikut ini:
1. Ulil Abshar Abdalla mengatakan: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar”.[17] Ulil juga menulis: “Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.”[18]
2. Budhy Munawar-Rahman, pengarang buku Islam Pluralis, menegaskan bahawa “pluralisme agama sebagai paham menyatakan bahawa semua agama mempunyai peluang untuk memperoleh keselamatan pada hari akhirat. Dengan kata lain, pluralisme [agama] memandang bahawa selain agama kita, yaitu pemeluk agama lain, juga berpotensi akan memperoleh keselamatan.”[19] Di tempat lain, Budhy menulis bahawa konsep teologi pluralis akan memberikan legitimasi kepada ‘kebenaran semua agama’, bahawa pemeluk agama manapun layak disebut sebagai ‘orang yang beriman, dengan makna ‘orang yang percaya dan menaruh percaya kepada Tuhan’. Karenanya, Budhy menyimpulkan, “yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah pluralisme antar agama, yakni pandangan bahawa siapa pun yang beriman –tanpa harus melihat agamanya apa– adalah sama di hadapan Allah. Karena, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu.”[20]
3. Abdul Munir Mulkhan, dosen UIN Yogyakarta, menulis: “Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahawa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap Agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerjasama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.”[21]
4. Nurcholish Madjid, menyebutkan bahawa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil, yaitu: pertama, sikap eksklusif dalam melihat Agama lain (Agama-Agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya); kedua, sikap inklusif (Agama-Agama lain adalah bentuk implisit agama kita); dan ketiga, sikap pluralis–yang bias terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya: “Agama-Agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama”, “Agama-Agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan Kebenaran-kebenaran yang sama sah”, atau “Setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah Kebenaran”. Lalu, tambahnya lagi: “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahawa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perennial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu Agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah ‘Satu Tuhan Banyak Jalan’.”[22] Nurcholish Madjid juga menyatakan: “Jadi, pluralisme sesungguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan (Sunnat Allah, ‘Sunnatullah’) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari.”[23]
5. Alwi Shihab, lulusan Universiti ‘Ain Syams dan mantan Menteri Luar Negeri, menulis: “Prinsip lain yang digariskan oleh al-Qur’an, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai pluralisme keagamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengartian lain, eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat al-Qur’an sebab al-Qur’an tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya.”[24]
6. Sukidi, alumnus Fakultas Syariah IAIN Jakarta dan kader Muhammadiyah, menulis di sebuah koran nasional: “Dan, konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi dan agama-agama. Nietzsche menegasikan adanya Kebenaran Tunggal dan justeru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahawa semua agama – entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster, maupun lainnya- adalah benar. Dan, konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama. Agama-agama itu diibaratkan, dalam nalar Pluralisme Gandhi, seperti pohon yang memiliki banyak cabang (many), tapi berasal dari satu akar (theOne). Akar yang satu itulah yang menjadi asal dan orientasi agama-agama. Karena itu, mari kita memproklamasikan kembali bahawa pluralisme agama sudah menjadi hukum Tuhan (sunnat-ullâh) yang tidak mungkin berubah. Dan, karena itu, mustahil pula kita melawan dan menghindari. Sebagai muslim, kita tidak punya jalan lain kecuali bersikap positif dan optimistis dalam menerima Pluralisme Agama sebagai hukum Tuhan.”[25]
7. Luthfi Assyaukanie, yang memperoleh gelar masternya dari ISTAC Malaysia dan kini mengajar di Universitas Paramadina, menulis di harian ibukota: “Seorang fideis Muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain yang biasa dilakukan dalam persemedian spiritual. Dengan demikian, pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturan-aturan formal agama. Pada gilirannya, perangkat dan konsep-konsep agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-lain tak terlalu penting lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bias menikmati spiritualitas dan mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas itu.”[26]
8. Abdul Moqsith, tamatan pesantren dan alumnus UIN Jakarta, dalam disertasinya menulis: “Jika diperhatikan dengan seksama, maka jelas bahawa dalam ayat itu [QS 2:62] tidak ada ungkapan agar orang Yahudi, Nashrani, dan orang-orang Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad. Dengan mengikuti bunyi harafiah ayat tersebut, maka orang-orang beriman yang tetap dalam keimanannya, orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta melakukan amal shaleh–sekalipun tak beriman kepada Nabi Muhammad, maka mereka akan memperoleh balasan dari Allah. Pernyataan agar orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad adalah pernyataan para mufasir dan bukan ungkapan al-Quran. Muhammad Rasyid Ridla berkata tak ada persyaratan bagi orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah untuk beriman kepada Nabi Muhammad.”[27] Namun, setelah diteliti kembali, ternyata Muhammad Rasyid Ridla dalam Tafsir al-Manar justeru mengatakan bahawa QS al-Baqarah/2:62 dan al-Ma’idah/5:69 itu membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang risalah NabiMuhammad belum atau tidak sampai kepada mereka, sehingga mereka tidak diwajibkan beriman. Adapun Ahlul Kitab yang dakwah Islam telah sampai kepada mereka, menurut Rasyid Ridla, maka sesuai QS 3:199, ada lima syarat jika mereka ingin selamat di akhirat kelak. Yaitu di antaranya: (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak bercampur dengan syirik atau kemusyrikan dengan disertai ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan, (2) beriman kepada al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Ini sesuai dengan hadis shahih: “Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seorangpun dari ummat sekarang ini, baik Yahud, maupun Nasrani, kemudian mereka tidak mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka” (diriwayatkan oleh Imam Muslim).
9. Azyumardi Azra, direktur Sekolah Pasca-sarjana dan mantan rektor UIN Jakarta, menulis dalam sebuah buku terbitan Fatayat NU dan Ford Foundation bahawa “Islam itu memang pluralis, Islam itu banyak, dan tidak satu. Memang secara teks, Islam adalah satu tetapi ketika akal sudah mulai mencoba memahami itu, belum lagi mengaktualisasikan, maka kemudian pluralitas itu adalah suatu kenyataan dan tidak bias dielakkan.”[28] Di sini terlihat jelas bagaimana Azyumardi gagal memahami perbedaan antara pluralisme dan pluralitas. Confusion yang menggelikan ini juga menghinggapi banyak tokoh lain yang menganggap pluralisme itu suatu keniscayaan yang urat akarnya terdapat dalam al-Qur’an seperti Dawam Rahardjo, A. Syafi’i Maarif, Siti Musdah Mulia, Nur A. Fadhil Lubis, Syafiq A. Mughni.[29]
Kempen dan Amalan Pluralisme di Indonesia
Upaya yang serius dan sistematis telah banyak dan terus-menerus dilakukan untuk menyiarkan paham pluralisme agama di Indonesia. Pelakunya terdiri dari seluruh lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) alias NGO maupun tokoh-tokoh yang ‘bermitra’ dengan yayasan-yayasan asing semisal The Asia Foundation, Ford Foundation, Konrad Adenauer Stiftung, dan sebagainya. Mereka yang terlibat bukan hanya menyebarkan paham ini secara asongan, tetapi juga memiliki program terencana untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang saat ini mereka nilai belum inklusif-pluralis. Contohnya, Jurnal Tashwirul Afkar edisi No 11 tahun 2001, menyajikan laporan utama “Menuju Pendidikan Islam Pluralis”, di mana dinyatakan bahawa “filosofi pendidikan Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep iman-kafir, muslim-nonmuslim, dan baik-benar, yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain, mesti dibongkar agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan. Jika cara pandangnya bersifat eksklusif dan intoleran, maka teologi yang diterima adalah teologi eksklusif dan intoleran, yang pada gilirannya akan merusak harmonisasi agama-agama, dan sikap tidak menghargai kebenaran agama lain. Kegagalan dalam mengembangkan semangat toleransi dan pluralisme agama dalam pendidikan Islam akan membangkitkan sayap radikal Islam.”[30] Masih dalam jurnal yang sama, Amin Abdullah, rektor UIN Yogyakarta, pun menulis: “Pendidikan agama yang semata-mata menekankan keselamatan individu dan kelompoknya sendiri menjadikan anak didik kurang begitu sensitif atau kurang begitu peka terhadap nasib, penderitaan, kesulitan yang dialami oleh sesama, yang kebetulan memeluk agama lain. Hal demikian bisa saja terjadi oleh karena adanya keyakinan yang tertanam kuat bahawa orang atau kelompok yang tidak seiman atau tidak seagama adalah “lawan” secara aqidah.”[31]
Perkahwinan antara orang berlainan agama
Paham pluralisme yang dikembangkan di Indonesia kemudian telah dan masih terus diterjemahkan menjadi amalan sosial seperti: mengucapkan Selamat Natal (‘Merry Christmas’) kepada orang Kristen; memberi salam (ucapan ‘as-salamu ‘alaykum wa rahmatullah wa barakatuh’); dan perempuan Muslimah menikah dengan lelaki non-Muslim. Pembenaran terhadap malpraktik ini disajikan dalam buku Fiqih Lintas Agama yang digarap oleh tim penulis termasuk Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer, Zainun Kamal, Komaruddin Hidayat, Masdar F. Mas‘udi, Budhy Munawar-Rachman, Zuhairi Misrawi, Ahmad Gaus, dan Mun’im Sirry. Dalam buku yang dibiayai oleh The Asia Foundation, yayasan dari Amerika Serikat, ini tertulis bahawa “soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu, yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahawa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya… Dan pernikahan beda agama dapat dijadikan salah satu ruang, yang mana antara penganut agama dapat saling berkenalan secara lebih dekat. Kedua, bahawa tujuan dari diberlangsungkannya pernikahan adalah untuk membangun tali kasih (mawaddah) dan tali sayang (rahmah). Di tengah rentannya hubungan antar agama saat ini, pernikahan beda agama justeru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan tali kasih dan tali sayang, kita rajut kerukunan dan kedamaian.”[32]
Siti Musdah Mulia, dosen di UIN Jakarta yang tidak dapat membedakan antara pluralitas dan pluralisme, juga memberikan alasan lain. Katanya, faktor jumlah umat Islam sebagai konteks harus dijadikan pertimbangan dan penetapan hukum, apakah situasi perang ataukah damai. Ia menulis: “Jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu (QS 60:10. pen.), larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah peperangan antara kaum Mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu, ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud tercabut dengan sendirinya.”[33] Pengamalan konkretnya telah ditunjukkan oleh Zainun Kamal, dosen UIN Jakarta, yang diketahui menjadi ‘penghuluswasta’ menikahkan puluhan –bahkan mungkin sekarang sudah ratusan– pasangan beda agama.
Pandangan Islam terhadap Pluralisme
Propaganda paham pluralisme agama yang makin hari makin gencar dilakukan di negera-negara Islam merupakan masalah serius yang perlu ditanggulangi secara serius pula. Adalah penting bagi setiap Muslim untuk mengetahui dari mana dan hendak ke mana pluralisme agama itu sebenarnya. Akan tetapi lebih penting lagi mereka memahami ajaran Islam khususnya yang berkaitan dengan status agama-agama lain.
Pertama, dalam aqidah Islam telah disepakati kaum Muslimin tidak ada di muka bumi ini suatu agama yang benar kecuali agama Islam, yang ajarannya membatalkan ajaran agama-agama sebelumnya. Firman Allah dalam al-Qur’an surah Al‘Imran 85: “Barangsiapa mencari agama lain selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَالإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فيِ الآخِرَةِ مِنَالخَاسِرِيْنَ
Kedua, wajib hukumnya meyakini bahawa setiap orang bukan Islam alias non-Muslim, sama ada dia itu Yahudi, Nasrani, dan selain mereka itu kafir dan bakal jadi penghuni neraka, sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Bayyinah 1 dan 6: “Orang-orang kafir yakni Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik itu tidak akan meninggalkan agamanya sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. …Sedang orang-orang kafir yakni Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruknya mahluk”:
لَمْ يَكُنِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِوَالْمُشْرِكِيْنَ مُنْفَكِّيْنَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ…
إِنَّ الَّذِيْنَكَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِيْنَ فِيْ نَارِ جَهَنَّمَخَالِدِيْنَ فِيْهَا أُوْلَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
Apalagi diriwayatkan pula dalam Shahih Muslim bahawa Rasulullah saw telah bersabda: “Demi Dia yang jiwaku ada di TanganNya, tidak seorangpun dari umat manusia yang mendengar [seruan]ku, Yahudi maupun Nasrani, kemudian mati dan belum/tidak beriman dengan ajaran yang aku bawa melainkan dia menjadi penghuni neraka”:
وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَيِسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّيمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِالنَّارِ
Ketiga, wajib hukumnya bagi seorang Muslim meyakini bahawa Taurat dan Injil itu telah dimansukhkan oleh al-Quran al-Karim, dan bahawa kedua kitab tersebut telah diubah, diselewengkan, ditambah dan dikurangi, sebagaimana jelas diterangkan di dalam al-Quran surah al-Maidah 13: “Namun karena mereka melanggar janji, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka memindahkan firman Allah dari tempat-tempatnya, dan mereka juga melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya”:
فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيْثَاقَهُمْلَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوْبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ عَنْمَوَاضِعِهِ وَنَسُوْا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوْا بِهِ
Terakhir, berdasarkan prinsip-prinsip ‘Aqidah dan Syari‘at Islam di atas, maka propaganda pluralisme agama, pendekatan agama-agama dan peleburan agama-agama adalah makar halus yang tujuannya mencampur-adukkan yang haq dengan yang batil, merusak sendi-sendi ajaran Islam, dan menyeret pemeluknya kearah pemurtadan. Firman Allah swt dalam surah al-Baqarah 217: “Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka dapat mengembalikan kamu dari agamamu [kepada kekafiran] andaikata mereka mampu” (وَلاَ يَزَالُوْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوْكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوْا) dan surah an-Nisa’ 89: “Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama [dengan mereka]: وَدُّوْا لَوْ تَكْفُرُوْنَ كَمَا كَفَرُوْا فَتَكُوْنُوْنَ سَوَآءً .
Akhirnya dapat kita simpulkan bahawa pluralisme agama itu suatu doktrin, ajaran, ideologi, aqidah, keyakinan dan way of life yang mengakui semua agama adalah sama dan setara, sama benar, otentik, valid, dan merupakan jalan keselamatan yang baik.[34] Maka terang sekali bahawa pluralisme ini tidak mungkin diterima oleh orang Muslim kerana ianya bercanggah dengan ajaran Islam yang tertera di dalam kitab suci al-Qur’an dan Sunnah/Hadits Rasulullah saw.
Oleh:Dr. Syamsuddin Arif
[1] Silang pendapat mengenai fatwa haramnya pluralisme agama ini direkam oleh Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme, Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) dan Paramadina, 2010), 554- 567.
[2]Lihat misalnyaJohn Locke, A Letter Concerning Toleration (London, 1689; aslinya dalam bahasa Latin berjudul Epistola de Tolerantia) dan Voltaire, Traité sur la tolerance (Paris, 1763). Menurut kamus Oxford English Dictionary, “tolerance is the ability or willingness to tolerate the existence of opinions or behaviour that one dislikes or disagrees with; the capacity to endure continued subjection to something such as a drug or environmental conditions without adverse reaction.”
[3] Lihat R. Panikkar, The Intra-Religious Dialogue (New York: Paulist Press, 1978) = Dialog Intra Religius (Yogyakarta: Kanisius, 1994).
[4] Lihat W.C. Smith, The Meaning and End of Religion (London: S.P.C.K., 1978) = Memburu Makna Agama (Bandung: Mizan, 2004).
[5]Lihat F. Schuon, The Transcendent Unity of Religions, tr. Peter Townsend (New York: Pantheon, 1953) = Mencari Titik Temu Agama-Agama (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003).
[6] Lihat J. Hick, Problems of Religious Pluralism (New York: St Martin Press, 1985).
[7]Peter Byrne, Prolegomena to Religious Pluralism (London: Macmillan Press, 1995), 191: “The three defining theses of our version of [religious] pluralism are as follows: (1) All major religious traditions are equal in respect of making common reference to a single, transcendent reality. (2) All major [religious] traditions are likewise equal in respect of offering some means or other to human salvation. (3) All major [religious] traditions are to be seen as containing revisable, limited accounts of the nature of this reality: none is certain enough in its dogmatic formulations to provide the norm for interpreting the others.”
[8] Lihat “A Philosophy of Religious Pluralism,” dalam John Hick, Problems of Religious Pluralism (London: Macmillan, 1985), 31-38; asalnya dimuat dalam The World’s Religious Traditions: Essays in Honour of Wilfred Cantwell Smith, ed. Frank Whaling (Edinburgh: T. & T. Clark, 1984).Namun tipologi ini, katanya, pertama kali dilontarkan oleh Alan Race, Christians and Religious Pluralism (London: SCM Press, 1983).
[9]Ibid., 31: “… ‘exclusivism’ relates salvation/liberation exclusively to one particular tradition, so that it is an article of faith that salvation is restricted to this one group, the rest of mankind being either left out of account or explicitly excluded from the sphere of salvation.”
[10]Lihat F.X.E. Armada Riyanto, Dialog Agama dalam pandangan Gereja Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 23.
[11] John Hick, Problems of Religious Pluralism, 32-33 menyebut dua jenis inklusivisme, yaitu ‘juridis’ dan ‘tranformatif’: “… it is the view that God’s forgiveness and acceptance of humanity have been made possible by Christ’s death, but that benefits of this sacrifice are not confined to those who respond to it with an explicit act of faith. The juridical transaction of Christ’s atonement covered all human sins, so that all human beings are now open to God’s mercy, even though they may never have heard of Jesus Christ and why he died on the cross of Calvary. … the other [second] form of Christian inclusivism, which accepts the understanding of salvation as the gradual transformation of human life and sees this as taking place not only within Christian history but also within the context of all the other great world traditions.”
[12]Lihat Karl Rahner, “Christianity and the non-Christian Religions,” dalam Carl E. Braaten dan Robert W. Jenson, A Map of Twentieth Century Theology: Readings from Karl Barth to Radical Pluralism (Minneapolis: Fortress Press, 1995), 231-246.
[13] John Hick, Problems of Religious Pluralism, 33-34: “Both forms of inclusivism do however involve certain inner strains and certain awkward implications. How are they to be combined with the traditional extra ecclesiam [nulla salus] dogma? The best known attempt is that of Karl Rahner, with his concept of the ‘anonymous Christian’. … But the question is whether in this new context the old dogma has not been so emptied of content as no longer to be worth affirming. … is it not a somewhat empty gesture ..? Further, having thus labeled them, why persist in the aim of gathering all humankind into the Christian Church?”
[14] Lihat Paul F. Knitter, No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes Towards the World Religions (New York: Orbis Book, 1995), 14.
[15] John Hick, Problems of Religious Pluralism, 34: “If we accept that salvation/liberation is taking place within all the great religious traditions, why not frankly acknowledge that there is a plurality of saving human responses to the ultimate divine Reality? Pluralism, the, is the view that the transformation of human existence from self-centredness to Reality-centredness is taking place in different ways within the context of all the great religious traditions.”
[16] Lihat uraian lengkapnya dalam John Hick dan Paul F. Knitter, Mitos Keunikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 42-45.
[17]Wawancara di majalah GATRA, 21 Desember 2002.
[18]Lihat artikelnya berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” di harian Kompas, 18/11/2002.
[19] Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme, Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: LSAF dan Paramadina, 2010), 553.
[20]Lihat Budhy Munawar-Rahman, “Basis Teologi Persaudaraan Antar-Agama”, dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia (Jakarta: JIL, 2002), 51-53.
[21]Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), 44. Dalam bukunya yang berjudul Satu Tuhan Beribu Tafsir, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), Mulkhan juga menulis: “Mereka bisa masuk surga dan berbuat saleh dengan cara mereka sendiri dan paham keagamaan yang banyak dipengaruhi tingkat sosial dan ekonomi masing-masing. Dari sini mungkin bisa dibayangkan ‘kamar-kamar surga’ yang berbeda-beda, sesuai cara, media dan paham keagamaan setiap orang dan kelas sosialnya.Karena itu, bisa jadi ada ‘kamar surga’ bagi Muhammadiyah yang berbeda dengan ‘kamar surga’ pengikutNU, pengikut Syiah ataupun Ahmadiyah. Bahkan, bisa dibayangkan ‘kamar surga’ bagi pemeluk agama berbeda dan partai politik yang berbeda. Rasionalisasi kesurgaan atau keagamaan di atas, mungkin dipandang ‘main-main’.Namun hal itu penting dan strategis bagi pengembangan tafsir keagamaan di tengah kemungkinan lahirnya ‘agama baru’. Melalui tafsir baru akan terbuka menghindari konflik akibat beda paham keagamaan yang terus melanda negeri ini dan juga berbagai belahan dunia lainnya.” (Ibid.,124-125).
[22]Lihat buku Tiga Agama Satu Tuhan (Bandung: Mizan, 1999), xix. Bandingkan dengan pandangan-pandangannya dalam Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, ed. Mun‘im A. Sirry (Jakarta: Paramadina, 2003), 17-61.
[23]Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995), lxxvii.
[24]Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1997), 108-109.
[25]Lihat artikelnya di koranJawa Pos (11/1/2004).
[26]Lihat artikelnya di harian Kompas, 3/9/2005.
[27]Lihat bukunya, Argumen Pluralisme Agama (Jakarta: Katakita, 2008).
[28]Dalam Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, ed. Sururin (Jakarta: Fatayat NU&Ford Foundation, 2005), 150.
[29]Untuk catatan terperincinya lihat Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme, Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: LSAF dan Paramadina, 2010), 555-609.
[30]Khamami Zada, “Membebaskan Pendidikan Islam:Dari Eksklusivisme menuju Inklusivisme dan Pluralisme,” JurnalTashwirul Afkar, edisi No 11 tahun 2001.
[31]M. Amin Abdullah, “Pengajaran Kalam dan Teologi di Era Kemajemukan: Sebuah Tinjauan Materi dan Metode Pendidikan Agama,”Jurnal Tashwirul Afkar, edisi No 11 tahun 2001. Sebagai rektor UIN Yogyakarta,Prof. Amin Abdullah juga tercatat sebagai perintis berdirinya program studi doktor lintas agama (InterreligiousPhD program) hasil kerjasama UIN Yogya, UGM, dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW).Program studi lintas agama ini dipimpin oleh Prof. Bernard Adeney Risakotta, seorang Kristen asal AmerikaSerikat.Program ini baru dibuka tahun 2007. (Lihat website ICRS:www.icrsyogya.net).
[32]LihatFiqih Lintas Agama, ed. Mun’im Sirry (Jakarta: Paramadina&The Asia Foundation, 2004), 164.
[33]LihatSiti Musdah Mulia, Muslimah Reformis (Bandung: Mizan, 2005), 63.
[34]Lihat Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme, Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: LSAF dan Paramadina, 2010), 581, 614, 717.
No comments:
Post a Comment