‘Aliy bin Abi Thaalib Shalat Sambil Mabuk
Abu Al-Jauzaa’ :, 02 November 2010
Saya mengharapkan para Pembaca semua, sebelum membaca artikel ini, membaca artikel situs Hakekat : http://hakekat.com/content/view/83/1/. Karenanya, tulisan ini sama sekali bukan bertujuan untuk mendiskreditkan shahabat besar ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Hanya saja, tulisan ini sekedar men-ta’kid apa yang telah tertulis di situs Hakekat.
Al-Imam Abu Daawud rahimahullah berkata :
حدثنا مسدد ثنا يحيى عن سفيان ثنا عطاء بن السائب عن أبي عبد الرحمن السلمي عن علي بن أبي طالب عليه السلام : أن رجلا من الأنصار دعاه وعبد الرحمن بن عوف فسقاهما قبل أن تحرم الخمر فأمهم علي في المغرب فقرأ قل يا أيها الكافرون فخلط فيها فنزلت لا تقربوا الصلاة وأنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami ‘Athaa’ bin As-Saaib, dari Abu ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy, dari ‘Aliy bin Abi Thaalib : Bahwasannya ada seorang laki-laki dari kalangan Anshaar memanggilnya (‘Aliy) dan ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf, lalu memberi mereka minum khamr sebelum diharamkannya. Lalu ‘Aliy mengimami mereka shalat Maghrib dan membaca Qul yaa ayyuhal-kaafiruun, lalu ia pun salah dalam membacanya. Maka, turunlah ayat : ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan… (QS. An-Nisaa’ : 41)” [As-Sunan no. 3671].
Musaddad, ia adalah Ibnu Musarhad bin Musarbal bin Mustaurid Al-Asadiy, Abul-Hasan Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi haafidh (w. 228 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 935 no. 6642].
Yahyaa, ia adalah Ibnu Sa’iid bin Faruukh Al-Qaththaan At-Tamiimiy; seorang yang tsiqah, mutqin, haafidh, imam, lagi qudwah (teladan) (120-198 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1055-1056 no. 7607].
Sufyaan, ia adalah Ibnu Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi faqih (97-161 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 394 no. 2458].
‘Athaa’ bin As-Saaib bin Maalik Ats-Tsaqafiy Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq, namun bercampur hapalannya (ikhtilath) di akhir hayatnya (w. 136 H), sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam At-Taqriib (hal. 678 no. 4625). Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya. Namun yang benar ia seorang yang tsiqah. Para ulama melemahkannya dengan sebab ikhtilath-nya. Akan tetapi di sini, Sufyan Ats-Tsauriy mendengar riwayat dari ‘Athaa’ sebelum bercampur hapalannya. Oleh karenanya, riwayat ‘Athaa’ di sini adalah shahih [Tahdziibut-Tahdziib, 7/203-207 no. 386 dan Al-Mukhtalithiin oleh Al-‘Alaaiy hal. 82-84 no. 33].
Abu ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy, namanya adalah ‘Abdullah bin Habiib bin Rubayyi’ah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 72/92/105 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 499 no. 3289].
‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu, salah seorang shabahat besar.
Hadits ini shahih. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud 2/416.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3026, ‘Abd bin Humaid no. 82, Al-Bazzaar dalam Al-Bahruz-Zakhaar no. 598, Ibnu Jariir dalam At-Tafsiir 5/95, dan Al-Haakim 2/307.
Jika Syi’ah mengklaim ‘Aliy adalah ma’shum, bagaimana mereka memandang perbuatannya meminum khamr ? Mungkin mereka akan menanggapi bahwa ‘Aliy minum khamr sebelum turun larangan dari Allah ta’ala.
Jika mereka merespon hal tersebut, sebenarnya itu bertentangan dengan ‘aqidah mereka sendiri. Walau bagaimanapun, khamr merupakan dzat/minuman yang tercela. Jika memang ‘Aliy itu ma’shum sejak ia dilahirkan, tentu ia akan tidak akan meminum khamr sebagaimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak minum khamr. Selain itu, bagaimana bisa ‘Aliy bin Abi Thaalib mengimami shalat dalam keadaan mabuk sehingga ia keliru membaca surat pendek Al-Kaafiruun ? Jelas ini bertentangan dengan doktrin kema’shuman yang direkayasa pembesar Syi’ah.
Adapun Ahlus-Sunnah memandang, ‘Aliy bin Abi Thaalib adalah manusia biasa sebagaimana para shahabat besar yang lainnya. Di samping berbagai keutamaan yang dimilikinya, ia pun juga bisa melakukan kekeliruan sebagaimana shahabat lain melakukan kekeliruan. Dan mereka dimaafkan atas kekeliruannya itu, karena mereka (para shahabat) adalah kaum yang bersegera dalam taubat setelah melakukan kekeliruan.
Wallaahu ta’ala a’lam.
No comments:
Post a Comment