Saturday, August 6, 2011

ANALISA TERHADAP KLAIM SYI'AH ATAS HADIS GHADI KHUM BAGIAN 1

Analisa Terhadap Klaim Syi’ah Atas Hadits Ghadir Khum bagian-1

October 12, 2009 by alfanarku

Rasulullah yang mulia Shallallahu ‘alahi wa ‘ala Ali wa Salam pernah bersabda :

من كنت مولاه فعلي مولاه, اللهمّ والى من واله وعادى من عاداه

”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.”

Dari hadits di atas, kaum Syi’ah mengklaim bahwa Ali-lah yang berhak atas wilayah (kekuasaan khilafah) setelah wafatnya Rasulullah yang mulia ’alaihi ash-Sholatu was Salam, benarkah demikian?

Mengenai takhrij hadits Ghadir Khum silahkan baca di :

http://abusalma.wordpress.com/2007/03/26/ghadir-khum-antara-keyakinan-syiah-dan-ahlus-sunnah/

Adalah tidak mungkin mendiskusikan hadits Ghadir Khum tanpa terlebih dahulu memahami konteks khusus apa yang dikatakan oleh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam pada saat itu. Dan merupakan aturan yang lazim di dalam memahami Al-Qur’an maupun Hadits dengan meneliti latar belakang dari turunnya sebuah ayat maupun keluarnya sabda dari Nabi shalallahu alaihi wassalam untuk mendapatkan pemahaman yang benar.

Sebagai contoh, terdapat ayat dalam Al-Qur’an berbunyi : ”Bunuhlah mereka dimana-pun kalian menemukan mereka”, ayat tersebut sering digunakan oleh kaum orientalis untuk menyerang Islam dan menggambarkan bahwa Islam membenarkan pembunuhan kepada manusia dimanapun mereka berada di semua keadaan. Padahal ayat tersebut adalah ayat khusus yang turun pada saat terjadi peperangan antara kaum muslimin dengan kafir Quraisy, ini membuat kita sadar bahwa ayat tersebut bukanlah ayat umum yang berisi perintah untuk membunuh manusia, tetapi sebuah ayat yang diturunkan pada sebuah situasi khusus.

Demikian juga dengan hadits Ghadir Khum, hanya dapat dimengerti dalam konteks dimana hadits tersebut diucapkan yaitu Sekelompok pasukan telah mengkritik Ali bin Abi Thalib ra dengan pedas melebihi apa yang sebenarnya terjadi, dan khabar ini akhirnya sampai ke telinga Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, yang kemudian beliau bersabda sebagaimana tercantum dalam hadits Ghadir Khum. Seperti kaum orientalis, kaum syi’ah mencoba menghilangkan latar belakang konteks hadits tersebut untuk memalingkan dari pemahaman yang benar terhadap hadits tersebut.

Keinginan Rasulullah shalallahu alaihi wassalam ketika beliau bersabda di Ghadir Khum tersebut bukanlah untuk memilih Ali ra sebagai khalifah pengganti beliau, tetapi hanya untuk membela Ali dari tuduhan-tuduhan yang dilancarkan kepada Ali ra. Dengan menghilangkan latar belakang konteks hadits tersebut, syi’ah berusaha menjajakan keyakinannya kepada umat Islam.



Pentingnya Hadits Ghadir Khum bagi kaum Syi’ah

Hampir seluruh fondasi keyakinan Syi’ah bertumpu pada kejadian di Ghadir Khum, karena di tempat tersebut Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mereka yakini menunjuk Ali ra sebagai pengganti beliau. Jika peristiwa tersebut tidak diklaim oleh Syi’ah, maka berarti Rasulullah shalallahu alaihi wassalam tidak pernah menunjuk Ali ra dan syi’ah harus mencabut kembali klaim-klaim mereka seperti anggapan bahwa Abu Bakar ra telah merampas hak kekhalifahan Ali ra.

Sesungguhnya, peristiwa Ghadir Khum begitu sentral bagi paradigma kaum Syi’ah, dan begitu penting bagi keyakinan mereka, sehingga kaum Syi’ah merayakan setiap tahun perayaan yang bernama Eid Al Ghadir.

Berdasarkan dugaan yang terjadi pada peristiwa Ghadir Khum tersebut, kaumSyi’ah menolak kekhalifahan Abu Bakar ra, memisahkan diri dari mainstream kaum muslimin, dan menyatakan bahwa Ali ra adalah Imam yang pertama kali ditunjuk. website milik Syi’ah, Al-Islam.org menyatakan Ghadir Khum adalah peristiwa yang sangat penting dan landasan keimamahan Ali ra.

Alasan ini diperlukan untuk menekankan dengan kuat pentingnya Ghadir Khum bagi Syi’ah yang kami akan tunjukkan kepada anda betapa senjata yang menurut perkiraan kaum syi’ah adalah terampuh tersebut ternyata adalah sangat lemah. Jika hadits Ghadir Khum ini adalah benar landasan sangat mendasar dari keyakinan Syi’ah, maka sesungguhnya keyakinan Syi’ah adalah doktrin yang sangat lemah. Kaum Syi’ah mengatakan bahwa Nabi shalallahu alaihi wassalam telah menunjuk Ali ra sebagai penggantinya di Ghadir Khum, tetapi logika sederhana telah membantahnya.



Apa yang Syi’ah klaim mengenai hadits Ghadir Khum?

Website milik Syi’ah, Al-Islam.org mengatakan:

Sesudah menyelesaikan haji terakhir beliau (Hajjatul Wada’), Rasulullah shalallahu alaihi wassalam meninggalkan Mekah menuju ke Madinah, ketika beliau dan banyak orang sampai pada sebuah tempat bernama Ghadir Khum (daerah yang dekat dengan al-Juhfah saat ini). Tempat itu adalah tempat dimana orang dari berbagai daerah yang berbeda biasa bertemu dan saling menyapa sebelum mengambil rute yang berbeda menuju daerah masing-masing.

Di tempat ini, ayat Al-Qur’an berikut ini diturunkan :

Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia… (Qur’an 5:67)

Kalimat terakhir pada ayat di atas mengindikasikan bahwa Nabi (s) begitu perhatian dengan reaksi dari umatnya ketika beliau menyampaikan risalah, tetapi Allah memberitahukan kepada beliau untuk tidak khawatir karena Allah akan melindungi beliau dari gannguan manusia.

Kemudian diikuti kalimat kunci menandakan penunjukkan yang jelas atas Ali as sebagai pemimpin kaum muslimin. Nabi (s) mengangkat tangan Ali dan bersabda :

“Barangsiapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya (Mawla), maka Ali adalah pemimpinnya (Mawla)”.

Segera setelah Nabi (s) selesai menyampaikan hal itu, ayat Al-Qur’an berikut ini turun :

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (Qur’an 5:3)

Ayat di atas mengindikasikan dengan jelas Islam tanpa menjelaskan kepemimpinan sesudah Nabi (s) tidaklah sempurna, dan penyempurnaan dari agama adalah pengumuman dengan segera mengenai pengganti beliau.



Mengapa ini dikatakan ga masuk akal?

Kaum Syi’ah mengklaim bahwa Nabi Shalallahu alaihi wassalam menyelesaikan haji terakhirnya, melakukan pidato perpisahan di atas bukit Arafah di Mekah, sesudah itu menunjuk Ali ra di Ghadir Khum, mari kita analisa klaim ini, Ghadir Khum terletak diantara Mekah dan Madinah, dekat dengan kota Al-Juhfah. Khum adalah sebuah kolam air di tengah padang pasir. Maka jika kita telusuri kenyataannya, Ghadir Khum terletak sekitar 250 km jauhnya dari kota Mekah. Ini sudah cukup untuk membatalkan premis Syi’ah.

Sebagaimana kita semua tahu, Nabi shalallahu alaihi wassalam menyampaikan pidato perpisahan beliau di Mekah saat Haji Wada’. Hal itu dilakukan beliau dihadapan mayoritas kaum muslimin terbesar, yang datang dari berbagai daerah untuk melakukan haji. Jika Nabi shalallahu alaihi wassalam ingin melakukan penunjukkan kepada Ali sebagai pengganti beliau, maka sungguh tidak ada penjelasan mengapa Nabi shalallahu alaihi wassalam tidak melakukannya saat beliau menyampaikan pidato perpisahan tersebut? Seluruh muslim dapat mendengarkan kata-kata beliau, jadi saat itu adalah saat yang paling tepat dan kesempatan yang paling baik untuk menunjuk seseorang sebagai pengganti beliau dan diumumkan kepada manusia.

Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dan kaum muslimin menyelesaikan haji mereka dan kemudian setiap orang kembali ke daerah mereka masing-masing. Orang-orang dari Madinah kembali ke Madinah, orang-orang dari Tha’if kembali ke Tha’if, orang-orang dari Yaman kembali ke Yaman, orang-orang dari Kufah kembali ke Kufah, orang-orang dari Syiria kembali ke Syiria, dan orang-orang Mekah tetap tinggal di Mekah. Yang perlu kita ingat, di masa-masa akhir kehidupan Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, kaum muslimin sudah banyak tersebar di Jazirah Arab saat itu.

Hanya sekelompok orang dari sebelah utara semenanjung Arabia yang melewati Gadhir Khum. Itu berarti hanya terdiri dari orang-orang yang tinggal di Madinah dan sebagian kecil orang-orang yang tinggal semisal di Syiria dan daerah sekitarnya. Oleh karena itu, ketika Nabi shalallahu alaihi wassalam berhenti di Ghadir Khum dan diyakini peristiwa tersebut terjadi, sejumlah besar kaum muslimin tidak hadir termasuk orang-orang yang tinggal di Mekah, Tha’if, Yaman dan lain-lain sesudah melaksanakan haji. Hanya kelompok yang pergi ke Madinah (atau yang melewati daerah itu) yang menemani Rasulullah shalallahu alaihi wassalam ke Ghadir Khum.

Oleh karena itu, berlawanan dengan klaim syi’ah, Nabi shalallahu alaihi wassalam tidak menunjuk Ali dihadapan kaum muslimin, tetapi apa yang terjadi di Ghadir Khum terjadi dihadapan sejumlah kecil kaum muslimin yang kembali ke Madinah (atau yang melewati daerah tersebut). Mari kita perhatikan klaim dari salah satu website Syi’ah

The Thaqalayn Muslim Association mengatakan:

Pada tahun ke-18, Dzulhijah, sesudah menyelesaikan Haji perpisahan beliau (Hajjatul wida’a), Rasulullah SAWW berangkat dari Mekah menuju ke Madinah. Beliau dengan seluruh rombongan kaum muslimin, sejumlah lebih dari 100,000 orang, berhenti di Ghadir Khum, sebuah daerah padang pasir yang letaknya strategis sampai sekarang, berada diantara Mekah dan Madinah (dekat dengan Juhfah pada hari ini). Pada hari-hari itu, Ghadir Khum sebagai tempat titik keberangkatan, dimana kaum muslimin dari berbagai daerah yang pulang dari melaksanakan haji dari daerah-daerah sekitar mulai berpencar menuju tujuan daerah masing-masing.

Situs Syi’ah tersebut mengklaim bahwa “Ghadir Khum sebagai tempat titik keberangkatan, dimana kaum muslimin dari berbagai daerah yang pulang dari melaksanakan haji dari daerah-daerah sekitar mulai berpencar menuju tujuan daerah masing-masing”. Peta yang terlihat sederhana akan menunjukkan betapa tidak masuk akalnya klaim ini.

map1

Apakah Rasional, kaum muslimin dari Mekah, Tha’if, Yaman dan lain-lain mengambil rute menuju Ghadir Khum terlebih dahulu untuk menuju daerah mereka masing-masing? Kami harap pembaca bisa memahami betapa tidak masuk akalnya klaim mereka tersebut. Apalagi tidak terdapat satu riwayatpun bahwa Rasulullah sebelumnya telah memerintahkan seluruh kaum muslimin untuk pergi ke Ghadir Khum saat mereka masih berkumpul di Mekah.

Perhatikan gambaran rute saat kaum muslimin berangkat haji ke Mekah

arabia1a

Kemudian setelah ibadah haji selesai, menurut klaim syi’ah Ghadir Khum adalah titik keberangkatan bagi kaum muslimin dari berbagai daerah untuk pulang menuju daerahnya masing-masing. Berarti kaum muslimin yang berada di sebelah selatan Mekah seperti Yaman, Tha’if dan lain-lain yang berlawanan arah dengan Ghadir Khum mengambil rute ke ghadir khum dulu yang jaraknya sekitar 250 km dari Mekah, kemudian dari sana baru balik lagi ke rumah masing-masing. kira-kira butuh berapa hari perjalanan jika hal tersebut benar-benar dilakukan. gambaran rutenya seperti ini :

arabiaWrong1

dan yang masuk akal adalah rute seperti ini:

arabiaReturn1

Oleh karena itu, klaim Syi’ah bahwa Nabi shalallahu alaihi wassalam menunjuk Ali ra dihadapan seluruh kaum muslimin adalah sangat tidak mungkin sehubungan dengan fakta bahwa Nabi shalallahu alaihi wassalam tidak berkhotbah mengenai penunjukkan Ali ra di pidato perpisahan di Arafah. Sedangkan peristiwa Ghadir Khum, kami melihat betapa tidak mungkinnya bahwa tempat itu menjadi tempat penunjukkan Ali ra sebagai khalifah berikutnya. Sesungguhnya versi mainstream kaum muslimin jauh lebih masuk akal.



Apa yang sebenarnya terjadi di Ghadir Khum?

Tidak ada seorangpun menolak peristiwa Ghadir Khum, tetapi yang kita tolak adalah sikap berlebih-lebihannya kaum Syi’ah terhadap kejadian tersebut, yang pertama. Syi’ah berlebihan dalam menyebutkan jumlah yang hadir di Ghadir Khum, seringkali mereka menyebutkan jumlah ratusan ribu orang, sebagaimana yang kita telah tunjukkan di atas, padahal hanya kaum muslimin yang pergi menuju Madinah saja yang hadir di Ghadir Khum, yang artinya kaum muslimin penduduk Mekah tidak hadir, demikian juga penduduk Tha’if, Yaman dan lain-lain. Kenyataannya Syi’ah sering mengatakan yang hadir di Ghadir Khum sejumlah lebih dari 100,000 orang, ini terlalu berlebihan. Jumlah ini lebih dimungkinkan jumlah orang yang melakukan ibadah Haji di Mekah dari berbagai wilayah. Tetapi berapapun jumlah yang mereka sebutkan tidak menjadi masalah buat kita, yang jelas sejumlah itu adalah sebagian dari kaum muslimin, karena tidak termasuk kaum muslimin yang tinggal di Mekah, Tha’if, Yaman dan lain-lain.

Konteks dari hadits Ghadir Khum harus dipertimbangkan, Apa yang terjadi di Ghadir Khum adalah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam merespon individu-individu tertentu yang mengkritik Ali bin Abi Thalib ra. Latar belakang dibalik peristiwa ini adalah beberapa bulan sebelumnya, Nabi shalallahu alaihi wassalam telah mengutus Ali ra bersama 300 orang ke Yaman dalam sebuah ekspedisi. Ini disebutkan di website Syi’ah www. Najaf.org : “Ali ditunjuk sebagai pemimpin dalam ekspedisi ke Yaman”. (http://www.najaf.org/english/book/20/4.htm).

Pasukan yang dipimpin oleh Ali ra tersebut mengalami sukses di Yaman dan mereka berhasil mendapatkan banyak rampasan perang. Atas rampasan perang ini terjadilah perdebatan antara Ali ra di satu sisi dan pasukannya di sisi yang lain. Hal ini dikisahkan oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah :

Diantara seperlima harta rampasan yang disebutkan, terdapat banyak kain yang cukup dipakai oleh seluruh pasukan, tetapi Ali ra telah memutuskan bahwa itu harus diserahkan kepada Rasulullah dulu dengan tanpa disentuh.

Setelah kemenangan di Yaman, Ali ra menempatkan wakil komandan pasukannya untuk bertanggung jawab atas pasukan yang ditempatkan di Yaman, sementara dia sendiri pergi menuju Mekah untuk menjumpai Rasulullah shalallahu alaihi wassalam untuk melaksanakan ibadah Haji.

Saat Ali tidak ada, akan tetapi, orang yang dia tinggalkan untuk bertanggung jawab atas pasukannya di bujuk untuk meminjamkan kepada masing-masing orang sebuah pakaian ganti dari kain tersebut. Penrgantian pakaian sangat diperlukan bagi mereka yang telah meninggalkan rumah hampir selama tiga bulan.

Pasukan yang ditempatkan di Yaman kemudian berangkat menuju Mekah untuk melaksanakan haji bersama Rasulullah shalallahu alaihi wassalam.

Ketika mereka berada tidak jauh dari kota (Mekah), Ali ra keluar menemui mereka dan terkejut melihat perubahan yang terjadi (sehubungan dengan pakaian yang mereka kenakan).

“Saya memberi mereka pakaian” berkata wakil komandan pasukan, “yang penampilan mereka mungkin lebih layak ketika mereka berbaur dengan orang-orang. Mereka semua tahu bahwa setiap orang di Mekah saat itu sedang mengenakan baju terbaik mereka untuk menghormati hari besar (ibadah haji), dan mereka ingin sekali memperlihatkan penampilan mereka yang terbaik, tetapi Ali ra merasa tidak dapat tenang dengan membebaskannya dan dia memerintahkan mereka untuk memakai kembali pakaian lama mereka dan mengembalikan yang baru ke tempat barang rampasan. Kekecewaan/kekesalan yang besar dirasakan oleh seluruh pasukan atas keputusan itu, dan ketika Nabi shalallahu alaihi wassalam mendengar hal itu, beliau bersabda : “wahai manusia, jangan mencela/menyalahkan Ali, dia terlalu cermat di jalan Allah untuk disalahkan.” Tetapi kata-kata ini tidak cukup, atau mungkin mereka mendengarnya hanya sedikit, dan kekesalan diantara mereka tetap masih berlanjut.

Pada saat kembali ke Madinah salah seorang dari pasukan komplain dengan keras mengenai Ali ra kepada Nabi shalallahu alaihi wassalam yang langsung berubah wajahnya. “Apakah saya tidak lebih dekat dengan kaum mukminin dibandingkan diri mereka sendiri?” beliau berkata; dan ketika orang tersebut membenarkannya, beliau menambahkan : “Barangsiapa yang menganggap saya mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya.” Berikutnya dalam perjalanan ketika mereka berhenti di Ghadir Khum, beliau mengumpulkan semua orang bersama-sama, dan mengambil tangan Ali, beliau mengulang kata-kata ini (“Barangsiapa yang menganggap saya mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya.”), dimana beliau menambahkan dengan do’a : “Ya Allah, jadikan teman, orang-orang yang menjadi temannya, dan jadikan musuh orang-orang yang memusuhinya”. Dan keluhan-keluhan terhadap Ali ra pun berhenti.

Pasukan di bawah tanggung jawab Ali ra tidak hanya gelisah atas pergantian pakaian tetapi juga atas pembagian harta rampasan secara umum. Kaum muslimin bersyukur akan kepemimpinan terbaik Ali ra yang telah mendapatkan banyak unta rampasan, tetapi Ali ra melarang mereka untuk memiliki unta-unta tersebut. Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Sa’id bahwa Ali ra mencegah mereka menaiki unta-unta hasil rampasan perang yang mereka telah dapatkan. Tetapi ketika Ali ra telah berangkat ke Mekah, wakil komandan pasukannya telah mengalah kepada pasukannya dan mengijinkan mereka untuk menaiki unta-unta tersebut. Ketika Ali ra melihat hal itu, dia menjadi marah dan menyalahkan wakil komandan pasukannya. Abu Sa’id ra berkata : “ketika kita dalam perjalanan kembali ke Madinah, kami menyebutkan kepada Nabi shalallahu alaihi wassalam kekerasan yang telah kami lihat dari Ali; Nabi shalallahu alaihi wassalam berkata : “Hentikan… Demi Allah, saya telah mengetahui bahwa dia (Ali ra) telah melakukan hal yang baik untuk Allah.”

Sebuah kejadian serupa diceritakan oleh Ibnu Ishaq di Sirah Rasul :

Ketika Ali ra datang dari Yaman untuk menjumpai Rasulullah shalallahu alaihi wassalam di Mekah, Ia cepat-cepat menjumpai beliau dan memberikan tanggung jawab atas pasukannya kepada salah satu sahabatnya yang pergi dan menghalangi setiap orang yang memaksa mengenakan pakaian dari kain milik Ali. Ketika pasukan mendekat, Ia (Ali ra) keluar untuk menemui mereka dan menemukan mereka memakai pakaian tersebut. Ketika dia menanyakan apa yang terjadi, orang yang ditunjuk wakil oleh Ali ra menjawab bahwa dia telah memberikan pakaian kepada orang-orang agar bisa terlihat layak ketika mereka berbaur dengan orang-orang. He (Ali) memerintahkan kepadanya untuk menanggalkan pakaian-pakaian tersebut sebelum mereka datang kepada Rasul shalallahu alaihi wassalam dan mereka melakukannya dan menaruhnya kembali diantara barang rampasan. Pasukan menunjukkan kekesalan mereka pada perlakuan mereka… ketika orang-orang komplain mengenai Ali ra, Rasul shalallahu alaihi wassalam angun memanggil mereka dan dia (periwayat) mendengar beliau (Nabi shalallahu alaihi wassalam) bersabda : “Jangan mencela/menyalahkan Ali, dia terlalu cermat atas hal-hal milik Allah, atau dalam meniti jalan Allah, untuk dicela.

(Ibnu Ishaq, Sirah Rasul , hal 650)

Ibnu Katsir menceritakan bahwa orang-orang dalam pasukan (yang dikirim ke Yaman) mulai mengkritik Ali ra karena dia mencegah mereka menaiki unta-unta dan mengambil kembali pakaian-pakaian baru yang mereka telah dapatkan. Orang-orang tersebut adalah yang menemani Nabi shalalallahu alaihi wassalam menuju Madinah melalui Ghadir Khum, dan mereka lah orang-orang yang dimaksud dalam hadits-hadits Ghadir Khum yang terkenal.

Faktanya, di Tarikh al-Islam, peristiwa Ghadir Khum termasuk dalam judul “Hiburan untuk Ali ra” :

Hiburan untuk Ali

Selama pelaksanaan ibadah haji, ebagian dari pengikut Ali ra yang bersamanya ke Yaman komplain kepada Nabi shalallahu alaihi wassalam tentang Ali. Beberapa kesalahpahaman orang-orang dari Yaman yang menimbulkan rasa curiga. Memanggil sahabat-sahabatnya di Ghadir Khum, Rasulullah shalallahu alaihi wassalam memuji Ali : “orang yang menjadikan saya teman adalah menjadikan Ali teman juga.. mengikuti hal itu, Umar memberi selamat kepada Ali dan berkata : “mulai hari ini kamu adalah teman spesialku” kemudian Nabi shalallahu alaihi wassalam kembali ke Madinah dan putra beliau Ibrahim meninggal dunia.

(Tarikh al-Islam, Jilid.1, hal.241)



Konteks Hadits Ghadir Khum

Prajurit-prajurit di pasukan Ali sangat gelisah dengan Ali ra kerena dia menolak mereka dalam hal kain dan unta-unta dari rampasan perang, dan mereka tidak senang dengan fakta bahwa Ali ra sendiri mendapatkan pembagian khusus dari khumus (seperlima dari harta rampasan perang). Tentu saja, Ali ra tidak dapat disalahkan atas hak istimewa ini untuk mengambil pembagian ekstra dari Khumus, dimana ini adalah hak keluarga rasul menurut Al-Qur’an. Walaupun demikian, kemarahan ada di mata mereka, sehingga mereka mengambil kesempatan untuk mengkritik Ali ra ketika Ali ra mengambil seorang budak wanita untuk dirinya dari khumus, para pasukan menuduh Ali sebagai seorang yang munafik karena melarang pakaian dan unta untuk para pasukan tetapi dia sendiri mengambil seorang budak wanita dari Khumus. Untuk kritik yang keliru kepada Ali ra ini Rasulullah shalallahu alaihi wassalam membela Ali ra dalam hadits Ghadir Khum.



Syi’ah Mencoba Menghilangkan Konteks Hadits Ghadir Khum

Ahlus Sunnah memandang bahwa Nabi shalallahu alaihi wassalam terpaksa membuat pernyataan/deklarasi di Ghadir Khum sehubungan dengan apa yang terjadi antara Ali ra dan pasukannya dari Yaman.

Taair-al-Quds, Admin dari situs ShiaOfAhlBayt mengatakan :

Hadits yang menyebutkan kejadian tersebut (pasukan Ali ra marah terhadap Ali ra) tidak ada hubungannya dengan peristiwa di Ghadir Khum.

Seluruh kejadian (pasukan Ali ra marah terhadap Ali ra) terjadi di Madinah di dalam Masjid dan selesai di sana dan tidak ada hubungannya dengan peristiwa Ghadir Khum! Nabi (s) telah mengklarifikasi kejadian itu dimana Wahabi/Nawashib bertujuan menghadirkannya sebagai konteks peristiwa ghadir khum, dimana peristiwa Ghadir Khum terjadi sesudahnya.

Peristiwa Ghadir Khum terjadi pada tanggal 18 Dzuhijah sementara peristiwa Yaman terjadi pada bulan Rabi’ul Akhir (Tsani) atau Jumadil Ula berdasarkan keterangan ahli sejarah. Tidak ada kesesuaian ataupun kemungkinan bercampurnya kedua kejadian tersebut. Yang satu berlangsung saat kembali dari Mekah sesudah haji dan yang satunya terjadi di Yaman lebih awal dan sudah dipecahkan di masjid Nabawi Madinah, bahkan sebelum Nabi (s) berangkat menunaikan haji.

Faktanya, kedua kejadian tersebut terjadi di tahun akhir kehidupan Nabi shalallahu alaihi wassalam. Merujuk kepada Ulama Syi’ah Klasik, Syaikh Mufid, ekspedisi dari Yaman datang ke Mekah pada 5 hari terakhir bulan Dzulqa’dah (Bulan ke-11 pada penanggalan Islam) dan kejadian Ghadir Khum terjadi tepat sesudah itu di bulan Dzulhijah (bulan ke-12 pada penanggalan Islam). Taair-al-Quds telah melakukan suatu penipuan dengan mengklaim ekspedisi ke Yaman terjadi di bulan Rabi’ul Tsani (bulan ke-4 pada pemanggalan Islam) atau Jumadil Ula (bulan ke-5 pada penanggalan Islam), sedangkan peristiwa Ghadir Khum terjadi di bulan ke 12. Operasi di Yaman berlangsung beberapa bulan sampai bulan yang ke-11! Sedangkan ekspedisi ke Yaman dimulai beberapa bulan sebelumnya. Ini jelas tidak berakhir sebelum 5 hari terakhir dari bulan ke-11, dimana sesudahnya Ali ra dan pasukannya segera bergabung dengan Nabi shalallahu alaihi wassalam di Mekah untuk melaksanakan haji.

Klaim Taair-al-Quds bahwa kejadian Yaman telah diselesaikan di Madinah, adalah kesalahan besar yang mengerikan yang ada padanya. Setelah apa yang terjadi di Yaman (perdebatan soal khumus), Ali pergi menjumpai Nabi shalallahu alaihi wassalam di Mekah, bukan Madinah. Ali ra dan pasukannya melaksanakan haji bersama Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dan selama waktu-waktu itu pasukan Ali ra menggerutu soal keputusan Ali ra, dimana hal tersebut mendorong rasulullah bersabda di Ghadir Khum.

Taair-al-Quds menuding hal ini sebagai propaganda wahabi/nawashib yang menganggap bahwa kejadian perdebatan antara Ali ra dan pasukannya terjadi tepat sebelum peristiwa Ghadir Khum. Kita akan bertanya kepada Taair-al-Quds, apakah Syaikh Mufid seorang ulama besar klasik Syi’ah termasuk seorang Nawashib? Syaikh Mufid dalam kitabnya Al-Irsyad menyebutkan kisah perdebatan antara Ali ra dan pasukannya di Yaman di bawah judul “Haji perpisahan Rasulullah dan Deklarasi di Ghadir Khum”

Haji perpisahan Rasulullah dan Deklarasi di Ghadir Khum

… Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, telah mengirim dia (Ali as), ke Yaman untuk mengumpulkan pembagian khumus dari emas mereka dan mengumpulkan baju besi dan barang-barang yang lainnya… kemudian Nabi (s) memutuskan untuk pergi haji dan melakukan kewajibannya dimana Tuhan Yang Maha Agung telah memutuskan…

Beliau (s), berangkat dengan mereka pada 5 hari terakhir bulan Dzul Qa’dah. Beliau telah menulis untuk Amirul Mukminin Ali as tentang berangkat haji dari Yaman…

Sementara itu, Amirul mukminin as, pergi dengan pasukan yang menemani beliau ke Yaman. Ada bersamanya baju besi-baju besi yang dia telah kumpulkan dari penduduk Najran. Ketika Rasulullah (s) telah mendekati Mekah di jalan dari arah Madinah, Amirul Mukminin Ali as sedang mendekati Mekah di jalan dari arah Yaman. Dia (Ali) pergi mendahului pasukannya untuk menjumpai Nabi shalallahu alaihi wassalam dan dia menyerahkan tanggung jawab kepemimpinan kepada salah seorang dari pasukannya. Dia datang kepada Nabi (s) sesudah memasuki Mekah. Ia (Ali) menyalami beliau (Nabi) dan menginformasikan kepada beliau mengenai apa yang telah dilakukannya dan apa yang ia telah kumpulkan (dalam Khumus) dan bahwa dia telah buru-buru pergi mendahului pasukannya untuk menemui beliau. Rasulullah (s) senang atasnya dan gembira berjumpa dengan dia…

Amirul mukminin as pamit kepada beliau (Nabi) dan kembali ke pasukannya. Ia bertemu mereka di tempat yang tidak jauh dan menemukan mereka telah memakai bajubesi-bajubesi yang mereka bawa. Ia (Ali) marah kepada mereka karenanya.

“Aib atasmu”! Ia (Ali) berkata kepada orang yang dia tunjuk sebagai wakil pasukannya. “Apa yang membuat kamu memberikan kepada mereka bajubesi sebelum kita serahkan kepada Rasulullah (s)?”. “Saya tidak memberi ijin kepadamu untuk melakukan itu.”

“Mereka meminta saya untuk membiarkan mereka menghias diri mereka dan masuk ke tanah suci, dan kemudian mereka akan mengembalikannya lagi kepada saya,” Ia menjawab.

Amirul mukminin as mengambil kembali baju besi tersebut dari orang-orang dan menaruhnya kembali ke karung-karung. Mereka (pasukan Ali as) merasa tidak puas kepada Ali karena hal itu. Ketika mereka sampai di Mekah, mereka komplain kepada Amirul Mukminin as berkali-kali. Rasulullah (s) berseru diantara orang-orang : “Hentikan lisanmu terhadap Ali bin Abi Thalib, dia adalah seorang yang tajam untuk kepentingan Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi, bukanlah dia orang yang menipu dalam agamanya…

Ketika Rasulullah melakukan ibadah haji, beliau jadikan Ali sebagai partnernya dalam menyembelih hewan kurban. Kemudian beliau memulai perjalanan kembali ke Madinah. Ali as dan kaum muslimin pergi bersama beliau. Beliau sampai ke suatu tempat yang dikenal dengan nama Ghadir Khum…

(Kitab al-Irsyad, by Syaikh Mufid, hal.119-123)

Gambar halaman muka kitab Al-Irsyad terjemahan bahasa Inggris

titlepage1

Kesimpulan :

Berlawanan dengan klaim Syi’ah, Hadits Ghadir Khum tidak ada hubungannya dengan khilafah atau imamah, akan tetapi Nabi shalallahu alaihi wassalam hanya menolak sekelompok orang yang berada di bawah komando Ali ra yang mereka mengkritik Ali ra dengan kata-kata yang sangat pedas. Berdasarkan ini, Nabi shalallahu alaihi wassalam menghimbau kepada orang-orang bahwa Ali ra adalah Mawla (yang berhak dicintai) oleh seluruh kaum muslimin, sebagaimana Nabi shalallahu alaihi wassalam sendiri. Seandainya beliau berkehendak menunjuk Ali ra sebagai khalifah pengganti beliau, maka beliau akan lakukan hal tersebut pada saat pidato perpisahan beliau di Mekah, bukan saat di saat perjalanan beliau pulang ke Madinah, di tengah padang pasir yang jauhnya 250km dari Mekah.

Allahu A’lam.

1 comment:

  1. Bukan kah pada saat itu nabi Muhammad SAW berkata
    "Bagi yang tidak mendengar perkataan ku tolong sampaikan pada mereka" ber arti hadist yang di sampaikan pada saat itu harus di sampaikan ke umat islam lainnya yang telah meninggalkan tempat itu.

    Abu bakar juga mendengar hadist itu dan membenarkan perkaataan nabi Muhammad SAW tapi mengapa beliau mengambil mengkhiati baginda Nabi, bahkan Jenazah Baginda Nabi Kita belum di Makam kan, saya secara individu merasa kecewa kepada tiga sahabat nabi, bukannya mengurusi pemakaman nabi malah berebut kekuasaan. Lihat Saidina ALI ra.., beliau dan pengikutnya lah yang mengurus jasad Baginda Nabi Muhammad SAW dari memandikan, mengkafani dan memakamkan.

    ReplyDelete