Thursday, August 4, 2011

HARAMNYA NIKAH MUT'AH ( Menjawab syubhat syiah tentang mut'ah )

Menjawab Syubhat Syi’ah Tentang Mut’ah



Perkawinan dalam Islam adalah suatu ikatan yang kuat dan perjanjian yang teguh yang ditegakkan di atas landasan niat untuk bergaul antara suami-isteri dengan abadi, supaya dapat memetik buah kejiwaan yang telah digariskan Allah dalam al-Quran, yaitu ketenteraman, kecintaan dan kasih sayang. Sedang tujuannya yang bersifat duniawi yaitu demi berkembangnya keturunan dan kelangsungan jenis manusia. Seperti yang diterangkan Allah dalam al-Quran:

“Allah telah menjadikan jodoh untuk kamu dari jenismu sendiri, dan Ia menjadikan untuk kamu dari perjodohanmu itu anak-anak dan cucu.” (an-Nahl: 72)

Adapun kawin mut’ah adalah ikatan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam batas waktu tertentu dengan upah tertentu pula. Oleh karena itu tidak mungkin perkawinan semacam ini dapat menghasilkan arti yang kami sebutkan di atas.

Kawin mut’ah ini pernah diperkenankan oleh Rasulullah s.a.w. sebelum stabilnya syariah Islamiah, yaitu diperkenankannya ketika dalam bepergian dan peperangan, kemudian diharamkannya untuk selama-lamanya.

Rahasia dibolehkannya kawin mut’ah waktu itu, ialah karena masyarakat Islam waktu itu masih dalam suatu perjalanan yang kita istilahkan dengan masa transisi, masa peralihan dari jahiliah kepada Islam. Sedang perzinaan di masa jahiliah merupakan satu hal yang biasa dan tersebar di mana-mana. Maka setelah Islam datang dan menyerukan kepada pengikutnya untuk pergi berperang, dan jauhnya mereka dari isteri merupakan suatu penderitaan yang cukup berat. Sebagian mereka ada yang imannya kuat dan ada pula yang lemah. Yang imannya lemah, akan mudah untuk berbuat zina sebagai suatu perbuatan yang keji dan cara yang tidak baik.

Sedang bagi mereka yang kuat imannya berkeinginan untuk kebiri dan mengimpotenkan kemaluannya, seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud:

“Kami pernah berperang bersama Rasulullah s.a.w. sedang isteri-isteri kami tidak turut serta bersama kami, kemudian kami bertanya kepada Rasulullah, apakah boleh kami berkebiri? Maka Rasulullah s.a.w. melarang kami berbuat demikian dan memberikan rukhshah supaya kami kawin dengan perempuan dengan maskawin baju untuk satu waktu tertentu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian, maka dibolehkannya kawin mut’ah adalah sebagai suatu jalan untuk mengatasi problema yang dihadapi oleh kedua golongan tersebut dan merupakan jenjang menuju diundangkannya hukum perkawinan yang sempurna, di mana dengan hukum tersebut akan tercapailah seluruh tujuan perkawinan seperti: terpeliharanya diri, ketenangan jiwa, berlangsungnya keturunan, kecintaan, kasih-sayang dan luasnya daerah pergaulan kekeluargaan karena perkawinan itu.

Sebagaimana al-Quran telah mengharamkan khamar dan riba dengan bertahap, di mana kedua hal tersebut telah terbiasa dan tersebar luas di zaman jahiliah, maka begitu juga halnya dalam masalah haramnya kemaluan, Rasulullah tempuh dengan jalan bertahap juga. Misalnya tentang mut’ah, dibolehkannya ketika terpaksa, setelah itu diharamkannya.

Diantara dalil-dalil yang jelas telah diharamkannya mut’ah :

عن رَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنْ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا (أخرجه مسلم وأبو داوود والنسائي وابن ماجة وأحمد وابن حبان)

“Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ah” HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.

عن سلمة إب لأ قواع رضى الله عنه قال : رخص رسول الله عام أوطا س في المتعة ثلا ث ثم نهى عنه

”Dari Salamah bin Akwa a berkata ; ” Rasulullah n memberikan keringanan untuk mut’ah selama tiga hari pada perang Authos kemudian beliau melarangnya [HR.Muslim 1023]

Perhatikan rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan (rukhshah) untuk mut’ah, artinya pada asalnya mut’ah itu tidak diperbolehkan, karena kondisi tertentu mut’ah dibolehkan saat itu yaitu pada saat peperangan.

Bahkan Imam Ali sendiri pun telah menyampaikan langsung sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengenai haramnya mut’ah.

عن علي إبن أبي طالب رضي الله عنه قا ل إن النبي ص نهى عن المتعة وعن لحوم الحمر لأ حلية زمن خيبر

“Dari Ali bin Abi Thalib a berkata : ”Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang nikah mut’ah dan memakan daging khimar jinak pada waktu perang khaibar [ HR.Bukhori 5115,Muslim 1407]

Dan beberapa riwayat yang lain yang menyatakan keharaman mut’ah.

Seperti apa yang diriwayatkan oleh Ali dan beberapa sahabat yang lain, antara lain sebagai berikut:
“Dari Saburah al-Juhani, sesungguhnya ia pernah berperang bersama Nabi s.a.w. dalam peperangan fat-hu Makkah, kemudian Nabi memberikan izin kepada mereka untuk kawin mut’ah. Katanya: Kemudian ia (Saburah) tidak pernah keluar sehingga Rasulullah s.a.w. mengharamkan kawin mut’ah itu.” (Riwayat Muslim)

Tetapi apakah haramnya mut’ah ini berlaku untuk selama-lamanya seperti halnya kawin dengan ibu dan anak, ataukah seperti haramnya bangkai, darah dan babi yang dibolehkan ketika dalam keadaan terpaksa dan takut berbuat dosa?

Menurut pendapat kebanyakan sahabat, bahwa haramnya mut’ah itu berlaku selama-lamanya, tidak ada sedikitpun rukhshah, sesudah hukum tersebut diundangkan.

Menjawab Syubhat Syi’ah seputar Mut’ah.

Pertama

”Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[Qs. Al An nisa : 24]

Dengan dalih ayat di atas, Mereka mengemukakan tiga alasan sebagai berikut

1. Dalam ayat di atas Allah swt membuat ungkapan lafadz Istimta’ bukan dengan lafadz nikah, padahal istimta’ dengan mut’ah adalah satu makna.
2. Allah swt memerintahkan pada ayat di atas agar seseorang laki-laki memberikan upah, sementara mut’ah merupakan akad sewa’an untuk mendapatkan manfa’at kemaluan .
3. Sesungguhnya Allah swt meemerintahkan agar seseorang laki-laki memberikan upah kepada perempuan setelah menggauli, sedangkan cara itu hanya ada pada akad sewa-menyewa dan nikah mut’ah . sementara mahar hanya di berikan ketika proses akad nikah sedang berjalan

Jawab:

Memang sebagian ulama menafsirkan “Istimta’tum” dengan nikah mut’ah, Akan tetapi tafsir yang benar dari ayat ini adalah; Apabila kalian menikahi wanita lalu kalian berjima dengan mereka, Maka berikanlah maharnya sebagai sebuah kewajiban atas kalian .

Imam Ath-Thabari ra berkata: ”Setelah memaparkan dua tafsir ayat tersebut : ”Tafsir yang paling benar dari ayat tersebut adalah kalau kalian menikahi wanita lalu kalian berjima dengan mereka maka berikanlah maharnya, karena telah datang dalil dari Rasulullah saw akan haramnya nikah mut’ah [Tafsir Ath-Thabari, 8/175].

Imam Al-Qurthubi ra berkata: ”Tidak boleh ayat ini di gunakan untuk menghalalkan nikah mut’ah karena Rasulullah saw telah mengharamkannya [Tafsir Al-Qurthubi, 5/132].

Dan kalau toh seandainya kita terima bahwa ma’na dari ayat tersebut adalah nikah mut’ah maka hal itu berlaku di awal Islam sebelum di haramkan [Tafsir Qurthubi, 5/133, Ibnu Atsir, 1/474, Al-Mufashal fie Ahkamil Mar’ah, 6/166. dan Raudhoh Nadiyah, 2/165].

Sebelum menguraikan hal ini, mari kita simak kelengkapan ayat ini agar pemahaman kita tidak sepotong-sepotong.
Allah berfirman :

Dan (diharamkan juga kamu menikahi) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina.

Maka isteri-isteri yang telah kamu nimati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (24)

Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk menikahi wanita merdeka lagi beriman, ia boleh menikahi wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain, karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan menikah, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan menikahi budak) itu, adalah bagi-bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) diantaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (25)

Ayat “Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna)”

Potongan ayat ini sering dijadikan hujah utk melegalkan mut’ah. Benarkah demikian? Mari kita simak!

1. Teks ayat ini “Famā’stamta’ tum bihi min hunna fa ātūhunna ujūra hunna farîdhatan.”

Di antara ke-mukjizatan Alquran, adalah pada bayan dan pilihan katanya. Kita sepakat bahwa dalam ayat ini Allah menggunakan kata “istimta’”, bukan “mut’ah”.

Apa arti “mut’ah” dan “isitimta’” dalam Alquran?

Kata “mut’ah” terdapat di dalam Alquran utk bbrp arti yg maksudnya adalah

1. Pemberian yg diberikan suami kpd istri yg diceraikannya “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah(pemberian yg diberikan suami kpd istri yg diceraikan) dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.

Juga pd Qs. Al-Ahzab:49, Qs. Al-Baqarah: 236, al-Baqarah:241. ini wajib bagi suami.

2. Mut’ah haji (tamattu’), maksudnya adalah melaksanakan umrah pada masa aman sebelum tibanya musim haji.

Qs. Al-Baqarah : 196 : Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat.

3. Mengambil manfaat dengan rizki yg baik dan kenikmatan hidup.

Dalam Alquran banyak disebutkan kata “mata’a”. Baca : Qs. Huud:3, Qs. Huud: 65, Qs. Muhammad : 12, Qs. An-Nisa’:77.

Adapun kata “istimtaa’”, selain pd Qs. An-Nisaa’ di atas, coba Anda baca pada:

Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): “Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik.” Qs. Al-Ahqaaf: 20

Di antara mu’jizat Alquran, adalah pada bayan dan pilihan kata yg disampaikan. Kata “mut’ah” dan tashrif-nya sebagaimana pada poin 1-3, masuk pada bab “at-tafa’ul” dan “at-taf’iil”, di Alquran selalu disebutkan dengan maksud dan arti untuk pemanfaatan yang sejenak (memiliki batasan waktu). Baik batasan waktunya disebut atau tidak.
Adapun “istimta’”, tidak disebutkan dalam Alquran kecuali untuk pemanfaatan yang bersifat terus menerus, tidak terputus kecuali dengan terputusnya kehidupan dunia.

Penggunaan wazan “istif’aal” dalam Alquran, biasanya untuk “mubaalaghah” = (berlebih-lebihan, terus-menerus), seperti kata : ijabah dan istijabah; ikhraaj dan istikhraaj; iqaamah dan istiqaamah. Dst.

Adapun “nikah mut’ah”, sama sekali tidak ada penyebutannya di dalam Alquran!

2. Adapun tambahan qira’ah “ilaa ajalin musamma” sebagaimana yg diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dan Ibn ‘Abbas,

Hal ini disebutkan oleh Ibn Jarir At Thabari dalam tafsirnya. Namun alangkah baiknya jika teman2 Syi’ah, ketika menukil dr tafsir tsb atau dr lieratus Ahlus Sunah lainnya, spy bersikap jujur dan amanah.

Krn Ibn Jarir, stlh menyebutkan “qira’ah syadzah” ini, beliau berkata,

“Adapun tambahan qira’ah “ilaa ajalin musamma” sebagaimana yg diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dan Ibn ‘Abbas, dr bacaan mereka “(‘Famā’stamta’ tum bihi min hunna ilā ajalin musamman’), ini adalah bacaan yang menyelisihi mush-haf-mush-haf kaum muslimin. Tidak boleh bagi siapapun untuk menambahkan dalam kitab Allah sesuatu yg tidak datang dari sumber yang qath’I, (terlebih lg juga bertentangan dengan riwayat mutawatir) yg tidak boleh diselisihi.

3. Bukti-bukti lain dari kandungan ayat ini sangat jelas mengharamkan nikah mut’ah.

Ayat : “Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk menikahi wanita merdeka lagi beriman…. (Kebolehan menikahi budak) itu, adalah bagi-bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Qs. An-Nisa: 25

Ayat ini jelas sekali menyatakan, barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yg tidka memiliki kecukupan utk menikahi wanita merdeka, maka ia bisa menikahi wanita budak. Dan jika ia masih juga blm mampu, maka hendaklah ia bersabar.

Jika mut’ah adalah solusi, mengapa seseorang yang masih saja belum bisa menikahi budak diperintahkan untuk bersabar?

Demikian pula dalam Qs. An-Nur: 33, Allah berfirman :

33. Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.

Jika mut’ah adalah halal dan merupakan solusi, kenapa Allah menyuruh orang yang belum mampu untuk menikah supaya menunggu, terbakar dengan gelora syahwat yang menggebu-gebu!

Jika mut’ah halal, mengapa Allah memerintahkannya untuk bersabar sampai Allah memberikan kecukupan baginya untuk melaksanakan pernikahan secara syar’i?

4. Benarkan “ajr” di dalam ayat ini adalah “ajr”/”ujrah” nikah mut’ah?

Sering kita mendengar alasan, “ “shadaq” (mahar nikah) tidak disebut dengan “ajr” dlm Alquran. Maka jelaslah yg dimaksud dengan “ajr” di sini adalah “ujroh” untuk mut’ah.”!!

Kita jawab: Di Alquran, juga menyebut “shadaq” dengan “ajr”. Karena “shadaq” (mahar) adalah sebagai pengganti dari kenikmatan yang kita dapat dari istri, sebagaimana dijelaskan dalam Alquran Qs. An-Nisa’ : 21

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

Maka ia memiliki keserupaan yang sangat kuat dengan harga dari manfaat yang kita peroleh. Maka hal itu disebut dengan “ajr”.

Ayat yang dengan tegas menyebutkan bahwa “ajr” yang maksudnya adalah mahar adalah :

karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka… Qs. An-Nisa: 25, juga dalam Qs. Al-Maaidah : 5 :

(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka.

Dengan demikian jelaslah. BAHWA AYAT AN-NISA : 24-25 INI ADALAH TENTANG NIKAH YANG SAH, BUKAN NIKAH MUT’AH.

ALLAH BERFIRMAN :

Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: “Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.” Katakanlah: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.” Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui? Qs. Al-a’raaf: 28

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. Qs. Al-Isra : 32

Syaik Abdullah bin Jibrin berkata ; ”Bahwasanya orang-orang Rafidhah menghalalkan nikah mut’ah dengan dalil dengan ayat tersebut, lalu cara untuk menjawab dalil mereka adalah ; ”Ayat-ayat di bawah ini sampai dalil yang dijadikan sandaran oleh Syi’ah adalah berbicara tentang masalah nikah yang sebenarnya di mulai dengan ayat :

”Tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa ….”[ Qs.An-Nissa :19]

Sampai dengan ayat :

” Dan jika ingin menganti istrimu dengan istri yang lain [ Qs.An-Nissa ;20]

Sampai dengan ayat :

” Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah di kawini oleh ayahmu [ Qs.An-nissa;22]

” kemudian di tambah lagi dengan ayat :

” Di haramkan atas kamu mengawini ibu-ibumu [ Qs.An-Nissa :23]

” Setelah Allah sawt memaparkan kepada kita jumlah wanita yang haram di nikahi baik di karenakan nasab keturunan atau di karenakan sebab lainnya . Allah l lalu berfirman:

Di halalkan bagi kamu selain yang demikian”[ Qs.An-Nissa: 24]

Maksudnya ”Wanita –wanita yang di sebutkan di atas, atau di bolehkan bagi kalian menikahi wanita-wanita yang selain yang di sebutkan .

Adapun jika kalian menikahi mereka (selain yang di sebutkan di atas) untuk kalian setubuhi maka berikanlah maharnya yang mana telah kalian tentukan untuknya, dan jika mereka (para istri ) membebaskan sebagian dari maharnya dengan kerela’an hati, Maka tidak dosa engkau menerimanya ….” [Menyingkap kesesatan Aqidah Syiah ,hal 46-49].



Kedua

Sebagian para sahabat masih melakukan mut’ah sepeninggal Rasulullah saw sampai Umar melarangnya, sebagaimana di sebutkan dalam banyak riwayat , di antaranya :

” Dari Jabir bin Abdillah berkata : ”Dahulu kita nikah mut’ah dengan mahar segenggam kurma atau tepung pada masa Rasulullah saw juga Abu Bakar sampai Umar melarangnya [HR.Muslim 1023]

Jawab :

”Riwayat Jabir ini menunjukan bahwa beliau belum mengetahui terhapusnya kebolehan Mut’ah . berkata Imam An-Nawawi Ra : ”Riwayat ini menunjukan bahwa orang yang masih melakukan mut’ah pada masa Abu Bakar dan Umar h belum mengetahui terhapusnya hukum tersebut [Syarah Shahih Muslim, 3/555; Fathul Baari; Zaadul Ma’ad, 3/462; Jami Ahkamin Nissa 3/191.].

Jabir bin Abdullah adalah sahabat muda Nabi SAW tetapi beliau bukanlah ulama-nya sahabat, Sudah sangat jelas Imam Ali, Umar, Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Ibnu Abi Amrah Al-Anshary dll telah mengharamkannya. maka jika Jabir dan beberapa sahabat masih melakukannya pada masa Abu Bakar dan Umar, disimpulkan mereka masih belum mengetahui atau samar dalam masalah hukum Mut’ah hingga Umar menegaskannya.

Dari riwayat tersebut pun tidak bisa dijadikan dalil bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Umar radhiyallahu ‘anhu, karena dari riwayat-riwayat yang lain telah begitu jelas bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sendiri bahkan Imam Ali sendiri juga mengharamkannya. Umar hanya menegaskan dan mengumumkan pengharaman tersebut dengan kapasitas beliau sebagai khalifah pada saat itu, sehingga hasilnya para sahabat yang belum mengetahui akan haramnya mut’ah menjadi jelas yang mungkin sebelum Umar mengumumkan haramnya mut’ah ada sebagian sahabat yang belum mengetahui atau masih samar mengenai hukum mut’ah.

Satu hal yang perlu digarisbawahi, saat Umar menegaskan kembali akan haramnya Mut’ah, tidak ada satu sahabat pun yang menentangnya termasuk Jabir bin Abdullah ini. Hal ini menunjukkan bahwa mereka mengakui penegasan Umar tersebut.

Pemahaman Jabir bin Abdullah saat itu mungkin sama dengan sahabat Khalid bin Muhajir bin Saifullah mengenai mut’ah yaitu masih belum mengetahui atau masih samar jika mut’ah sudah diharamkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam :

قال ابن شهاب فأخبرني خالد بن المهاجر بن سيف الله أنه بينا هو جالس عند رجل جاءه رجل فاستفتاه في المتعة فأمره بها فقال له ابن أبي عمرة الأنصاري مهلا قال ما هي ؟ والله لقد فعلت في عهد إمام المتقين قال ابن أبي عمرة إنها كانت رخصة في أول الإسلام لمن اضطر إليها كالميتة والدم ولحم الخنزير ثم أحكم الله الدين ونهى عنها

Dari Khalid bin Muhajir bin Saifullah, katanya: “Ketika dia sedang duduk dengan seorang laki-laki, tiba-tiba datang seorang laki-laki minta fatwa kepadanya tentang Mut’ah. Lalu Khalid membolehkannya. Maka berkata Ibnu Abi ‘Amrah Al-Anshari, “Tunggu dulu. Tidak begitu!” Kata Khalid, “Kenapa? Demi Allah hal itu pernah dilakukan pada masa Imam-nya orang-orang yang bertakwa (Nabi SAW).” Kata Ibnu Abi ‘Amrah. “Memang, mut’ah pernah dibolehkan (rukhshah) pada masa permulaan Islam karena terpaksa, seperti halnya boleh memakan bangkai, darah, dan daging babi. Sesungguhnya Allah telah menetapkan hukumnya dalam agama, dan melarang melakukannya.” (Shahih Muslim 2/1023 No. 1406)

Dari hadits di atas terbukti :

1. Memang terdapat beberapa sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang belum mengetahui atau masih samar mengenai hukum Mut’ah. Maka Jabir bin Abdullah adalah salah satunya.

2. Mut’ah memang pada asalnya dilarang, dibolehkan pada masa awal Islam hanya sebagai rukhshah karena terpaksa yaitu pada saat perang yang jauh dengan istri.



Ketiga

Abdullah bin Abbas a membolehkan nikah mut’ah secara muthlak , sebagaimana riwayat Abdurrazak dalam Mushonaf 14022 dengan sanad yang shahih .

Jawab:

Ini adalah pendapat Ibnu Abbas a secara Pribadi dan Insya Allah beliau mendapatkan satu pahala dengan ijtihadnya akan tetapi apabila beliau salah dalam masalah ini karena telah datang dalil yang amat jelas tentang keharaman mut’ah dan kewajiban kita adalah Ta’at kepada Allah dan Rasulnya . firman Allah Azza wa Jalla ( Qs.An-Nissa :59)

Tidak ada seorang pun yang ma’shum sebagaimana ucapan Imam Malik : ”Semua orang bisa di tolak pendapatnya kecuali Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam .

Tetapi mari kita cermati fatwa sebenarnya dari Ibnu abbas mengenai Mut’ah, apakah beliau membolehkan mut’ah secara mutlak ataukah dalam kondisi tertentu:

5116 – حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي جَمْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ سُئِلَ عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ فَرَخَّصَ فَقَالَ لَهُ مَوْلًى لَهُ إِنَّمَا ذَلِكَ فِي الْحَالِ الشَّدِيدِ وَفِي النِّسَاءِ قِلَّةٌ أَوْ نَحْوَهُ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ نَعَمْ

(7/12)

“Dari Abi Jamrah berkata aku mendengar Ibnu Abbas ditanya tentang mut’ah dengan wanita, kemudian dia memberikan keringanan (rukhshah). Lantas seorang bekas hambanya bertanya: Apakah yang demikian itu dalam keadaan terpaksa dan karena sedikitnya jumlah wanita atau yang seperti itu? Ibnu Abbas menjawab: Ya!” (Riwayat Bukhari 7/12 No. 5116).

Perhatikan, bahwa Ibnu Abbas memberikan keringanan (rukhshah), artinya pada dasarnya mut’ah tersebut adalah sesuatu yang dilarang, dibolehkan sebagai bentuk keringanan dengan syarat kondisi sebagaimana disebutkan yaitu dalam keadaan yang bisa disebut darurat, coba bandingkan dengan praktek mut’ah kaum syi’ah saat ini, sungguh sangat jauh sekali.

Kemudian setelah Ibnu Abbas menyaksikan sendiri, bahwa banyak orang-orang yang mempermudah persoalan ini dan tidak membatasi dalam situasi yang terpaksa, maka ia hentikan fatwanya itu dan ditarik kembali sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqh as-sunnah:

وقد روي عن بعض الصحابة وبعض التابعين أن زواج المتعة حلال، واشتهر ذلك عن ابن عباس رضي الله عنه، وفي تهذيب السنن: وأما ابن عباس فانه سلك هذا المسلك في إباحتها عند الحاجة والضرورة، ولم يبحها مطلقا، فلما بلغه إكثار الناس منها رجع.

فقال ابن عباس: (إنا لله وإنا إليه راجعون)! والله ما بهذا أفتيت، ولا هذا أردت، ولا أحللت إلا مثل ما أحل الله الميتة والدم ولحم الخنزير، وما تحل إلا للمضطر، وما هي إلا كالميتة والدم ولحم الخنزير.

Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh, dan yang paling populer pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbas r.a., dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah ini tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya ketika dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika banyak yang melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia merefisi pendapatnya tersebut. Ia berkata: “inna lillahi wainna ilaihi raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu (hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan. Saya tidak menghalalkan nikah mut’ah kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana halalnya bangkai, darah dan daging babi (ucapan Ibnu Abbas di atas disebutkan oleh al Baihaqi di dalam Sunan-nya (7/205) Ketika dalam keadaan dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi orang yang kepepet dalam keadaan dharurat. Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang awalnya haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi boleh”

Telah shahih bahwasanya Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma meralat fatwanya dan melarang mut’ah sebagaimana yang di jelaskan dengan cara yang bagus oleh Imam Syaukani (Nailul Authar6/169-170).

Disamping itu ada penentangan dari sahabat-sahabat senior yang lain terhadap fatwa Ibnu abbas tersebut seperti Imam Ali, Ibnu Umar dan Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhum.

Telah menceritakan kepada kami Malik bin Ismail yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah yang telah mendengar dari Az Zuhriy yang mengatakan telah mengabarkan kepadaku Hasan bin Muhammad bin ‘Aliy dan saudaranya ‘Abdullah bin Muhammad dari ayah keduanya bahwa Ali radiallahu ‘anhu pernah berkata kepada Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang nikah mut’ah dan makan daging himar jinak di masa Khaibar [Shahih Bukhari 7/12 no 5115]

Terus terang kami merasa heran dengan sebagian orang yang mengaku bukan syi’ah dan mengaku mengikuti Imam Ali dan katanya merujuk hadits yang shahih, tetapi begitu dihadapkan kepadanya fatwa Imam Ali mengenai haramnya mut’ah, orang ini masih meragukan, sebenarnya dia ini benar-benar mengikuti Imam Ali atau mengikuti hawa nafsunya?.



Keempat

Terdapat perselisihan kapan mut’ah diharamkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, kita dapatkan riwayat-riwayat yang menerangkan masalah ini terkesan simpang-siur, disebabkan tempat dan waktu pengharaman mut’ah berbeda-beda.

Jawab

Berikut kami sebutkan secara ringkas waktu pengharaman mut’ah, sesuai
dengan urutan waktunya.

Silahkan lihat pembahasan ini di dalam Jami’ Ahkamin Nisaa’,
Mushthafa al Adawi, Darus Sunnah (3/171-205)

1. Ada riwayat yang mengatakan, bahwa larangan mut’ah dimulai ketika
perang Khaibar (Muharram 7 H).



1. Ada riwayat yang mengatakakan pada umrah qadha (Dzul Qa’dah 7 H).



1. Ada riwayat yang mengatakan pada masa penaklukan Mekkah (Ramadhan
8 H).



1. Ada riwayat yang mengatakan pada perang Awthas, dikenal juga dengan
perang Hunain (Syawal 8 H).



1. Ada riwayat yang mengatakan pada perang Tabuk (Rajab 9 H).



1. Ada riwayat yang mengatakan pada Haji Wada’ (ZulHijjah 10 H).



1. Ada riwayat yang mengatakan, bahwa yang melarangnya secara mutlak
adalah Umar bin Khattab.

Berikut ini penjelasan tentang riwayat-riwayat tersebut.



1. Riwayat yang menyatakan, bahwa larangan mut’ah dimulai pada umrah qadha, perang Tabuk, Haditsnya diriwayatkan oleh Ibnu Manshur di dalam Sunan-nya
(1/217), akan tetapi haditsnya mursal. dan Haji Wada’, Haditsnya diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, no.1267. Di dalam sanadnya terdapat rawi Mukmal bin Ismai’l dan Ikrimah bin Ammar. Keduanya tidak lepas dari kritikan, Jami’ Ahkam Nisaa’ (3/193). Haditsnya diriwayatkan oleh Ahmad (3/404), Thabrani (6532), al Baihaqi di Sunan Kubra (7/204) dan yang lainnya. Riwayatnya Syaz (yaitu penyelisihan hadits ini dengan riwayat yang lebih kuat). Lihat Irwa’ Ghaiil (6/312). tidak lepas dari kritikan, dan tidak dapat dijadikan pegangan.

Tinggallah tiga riwayat yang shahih, yang menerangkan pengharaman mut’ah. Yaitu saat perang Khaibar, Penaklukan kota Mekkah, perang Awthas. Riwayat-riwayat tersebut sebagai berikut:

Riwayat pengharaman nikah mut’ah pada masa perang Khaibar:

Dari Muhammad bin Ali (yang dikenal dengan sebutan Muhammad bin Hanafiah), bahwa ayahnya Ali (bin Abu Thaiib) berkata kepada Ibnu Abbas: “Sesungguhnya Nabi melarang mut’ah dan daging keledai pada masa Khaibar”. (HR. Muslim, 9/161, (1407))

Riwayat pengharaman nikah mut’ah pada penaklukan kota Mekkah, yaitu riwayat dari Rabi’ bin Sabrah, bahwa ayahnya berperang bersama Rasulullah. pada penaklukkan kota Mekkah.

Kami tinggal di sana lima belas hari. Kemudian, oleh Rasulullah kami diperbolehkan untuk mut’ah. Akupun keluar bersama seseorang dari kabilahku. (Kebetulan) aku mempunyai sedikit ketampanan, sedangkan kerabatku tersebut lebih mendekati jelek. Setiap kami membawa syal (selendang), syalku jelek, sedangkan syal anak pamanku tersebut baru dan mengkilap. Ketika kami sampai di kaki Mekkah atau di puncaknya, kami bertemu dengan seorang gadis perawan, panjang lehernya semampai. Kami berkata,’Apakah engkau mau bermut’ah dengan salah seorang dari kami?” Dia berkata,’Dengan apa kalian bayar?” Maka setiap kami membentangkan syalnya. Lalu wanita itu melihat kami, dan sahabatku itu melihat ketiaknya dan berkata: “Sesungguhnya syal dia jelek, sedangkan syalku baru, mengkilap”. Dia berucap,”Syalnya tidak apa-apa,” dua kali atau tiga. Lalu aku melakukan mut’ah dengannya. Belum usai aku keluar dari Mekkah, kiranya Rasulullah telah mengharamkannya. (HR. Muslim, 9/158, (1406)

Sedangkan riwayat yang mengharamkan nikah mut’ah pada saat perang Awthas, yaitu hadits Salamah bin alAkwa’.

Mengkombinasikan antara riwayat-riwayat di atas, para ulama menggunakan dua metode.

1. Metode tarjih (mengambil riwayat yang lebih kuat).

Sebagian para ulama mengatakan, (Silahkan lihat Fathul Bari (9/168-169)) bahwa lafadz hadits Ali, yaitu riwayat Ibnu Uyainah dari Zuhri ada kalimat yang didahulukan dan diakhirkan, karena beliau berucap kepada Ibnu ‘Abbas jauh setelah kejadian. Di datam riwayat Muslim disebutkan, bahwa terjadi perdebatan antara Ali yang memandang haramnya mut’ah dengan Ibnu Abbas yang awalnya membolehkan mut’ah. Kemudian Ali berkata kepadanya:



“Engkau, orang yang bingung. Bahwasanya Nabi telah melarang kita dari daging keledai dan mut’ah pada perang Khaibar”.

Seharusnya ucapan beliau,



“Bahwa Nabi melarang makan daging keledai pada masa Khaibar dan melarang mut’ah”.

Dengan demikian, larangan mut’ah dalam riwayat ini tidak lagi ada secara tegas waktu Khaibar. Ibnul Qayyim berkata, “Para ulama berselisih, apakah mut’ah dilarang pada masa Khaibar? Ada dua pendapat. Dan yang shahih, larangan hanya pada masa penaklukan kota Makkah, sedangkan pelarangan waktu Khaibar hanya sebatas daging keledai. Hanya saja Ali berkata kepada Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Rasulullah, melarang mut’ah pada hari Khaibar, dan juga melarang makan daging keledai untuk memberi alasan (pengharaman) pada dua permasalahan tersebut kepada Ibnu ‘Abbas. Maka para rawi menyangka, bahwa kata hari Khaibar berkait dengan dua hal itu, lalu mereka meriwayatkan dengan makna”. (Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim (4/111))

Sedangkan riwayat pengharaman mut’ah pada perang Awthas atau Hunain, yaitu hadits Salamah bin Akwa’. Berhubung perang Awthas dan tahun penaklukan Mekkah pada tahun yang sama, maka sebagian ulama menjadikannya satu waktu, yaitu pada penaklukan Mekkah.

2. Metode jamak (menggabungkan antara riwayat-riwayat).

Melihat pada semua riwayat yang shahih tentang pengharaman nikah mut’ah, bahwa telah berlaku pembolehan kemudian pelarangan beberapa kali. Diperbolehkan sebelum Khaibar, lalu diharamkan, kemudian diperbolehkan tiga hari penaklukan Mekkah, kemudian diharamkan hingga hari Kiamat. Ibnu Katsir berkata,

“Tidak ada keraguan lagi, mut’ah diperbolehkan pada permulaan Islam. Sebagian ulama berpendapat, bahwa ia dihalalkan kemudian dimansukhkan (dihapus), lalu dihalalkan kemudian dimansukhkan. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa penghalalan dan pengharaman berlaku terjadi beberapa kali.” (Tafsir al Qur’an ‘Azhim, Ibnu Katsir, Maktabah Ulum wal Hikam (1/449))

Al Qurthubi berkata, telah berkata Ibnul ‘Arabi, “Adapun mut’ah, maka ia termasuk salah satu keunikan syari’ah; karena mut’ah diperbolehkan pada awal Islam kemudian diharamkan pada perang Khaibar, lalu diperbolehkan lagi pada perang Awthas kemudian diharamkan setelah itu, dan berlangsung pengharaman. Dan mut’ah dalam hal ini tidak ada yang menyerupainya, kecuali permasalahan kiblat, karena nasakh (penghapusan) terjadi dua kali, kemudian baru hukumnya stabil’.”

Bahkan sebagian ulama yang belum menyaring semua riwayat tentang mut’ah, mereka mengatakan telah terjadi tujuh kali pembolehan dan tujuh kali pelarangan. (Jami’ Ahkamil Qur’an, al Qurthubi, Dar Syi’ib (5/130-131).

Kesimpulan dari pembahasan di atas.

1. Telah terjadi perselisihan tentang waktu pengharaman. Ibnul Qayyim menguatkan riwayat yang mengatakan, bahwa pengharaman berlaku pada tahun penaklukan Mekkah. (Silahkan lihat Zadul Ma’ad (3/460)

2. Bagaimanapun perselisihan ini tidak mengusik haramnya nikah mut’ah; karena, sekalipun terjadi perselisihan, akan tetapi telah terjadi kesepakatan Ahlus Sunnah tentang haramnya. Al Qurthubi berkata, “Pengharaman mut’ah telah berlaku stabil. Dan dinukilkan
dari Ibnul ‘Arabi, bahwa telah terjadi Ijma’ (kesepakatan) atas pengharamannya (yaitu ijma’ Ahlus Sunnah yang datang kemudian, wallahua’lam, Pen).” (Jami’ Ahkamil Qur’an (5/87))

Kelima

Mut’ah itu telah diharamkan tetapi bukan zina, karena pernah dilakukan oleh para sahabat, apakah berarti mereka telah melakukan zina dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menghalalkan zina.

Jawab :

Mut’ah pernah dihalalkan, berarti bukan zina saat itu, tetapi ketika sudah diharamkan, maka menjadi zina hukumnya.

Berikut adalah diantara atsar sahabat yang menunjukkan bahwa mut’ah yang sudah diharamkan hukumnya menjadi zina:

Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb yang berkata telah mengabarkan kepadaku Yunus yang berkata Ibnu Syihab telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Abdullah bin Zubair berdiri [menjadi khatib] di Makkah dan berkata sesungguhnya ada orang yang dibutakan Allah mata hatinya sebagaimana Allah telah membutakan matanya yaitu berfatwa bolehnya nikah mut’ah. Ia menyindir seseorang maka orang tersebut memanggilnya dan berkata “sungguh kamu adalah orang yang kaku dan keras demi umurku mut’ah telah dilakukan di zaman Imam orang-orang yang bertakwa [yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Maka Ibnu Zubair berkata “lakukanlah sendiri, demi Allah jika kamu melakukannya maka aku akan merajammu dengan batu” [Shahih Muslim 2/1023 no 1406]

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Salim,

budak Ibnu ‘Umar, ia berkata:

Dikatakan kepada Ibnu Umar: “Ibnu Abbas memberi keringanan terhadap mut’ah”. Beliau (Ibnu ‘Umar, Red) berkata, “Aku tidak percaya Ibnu Abbas mengucapkan itu.” Mereka berkata, “Benar, demi Allah, beliau telah mengucapkannya,” lalu Ibnu Umar berkata, “Demi Allah, dia tidak akan berani mengucapkan itu pada masa Umar. Jika dia hidup, tentu dia hukum setiap yang melakukannya. Aku tidak mengetahuinya, kecuali (mut’ah, Red) itu perbuatan zina.” HR Abdur Razaq di Musbannaf-nya (14020) dengan sanad shahih. Lihat Jami’ Ahkamin Nisaa’ (3/199).

Lalu bagaimana dengan sebagian sahabat yang masih melakukan mut’ah pada masa Abu Bakar dan Umar, apakah mereka melakukan zina? Jawabnya, sudah dijelaskan pada pembahasan yang lalu bahwa mereka adalah orang-orang yang belum mengetahui atau masih samar dalam perkara haramnya mut’ah, baru setelah Umar menegaskannya mereka baru mengerti dan menerimanya.

Lalu bagaimana juga dengan Ibnu Abbas yang membolehkan Mut’ah, apakah berarti dia menghalalkan zina? Jawabnya, sebagaimana pembahasan yang lalu, Ibnu Abbas memberikan keringanan (Rukshah) bagi mereka yang melakukan mut’ah karena situasi darurat, jadi beliau tidak menghalalkan mut’ah kecuali kalau dalam keadaan darurat seperti halnya dibolehkan makan babi, keledai jinak, khamer dalam keadaan terpaksa. Karena pengertian rukshshah itu sendiri adalah keringanan untuk melakukan sesuatu yang pada asalnya dilarang. Dan terdapat riwayat bahwa Ibnu Abbas sudah menarik kembali fatwanya.

Mut’ah yg pernah dihalalkan oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah pernikahan dengan syarat-syarat diantaranya: ada wali, ada akad, ada mahar, ada saksi. -yg menyebabkan mut’ah ini diharamkan- adalah ada batas waktu, nah yang seperti ini saja oleh para sahabat setelah diharamkan dihukumi zina bagi pelakunya apatah lagi mut’ah yang dipraktekkan oleh kaum syi’ah dewasa ini yang sangat-sangat jauh dan berbeda dengan mut’ah yang pernah dihalalkan pada masa awal Islam, maka sangat lebih pantas sekali jika mut’ah yang dipraktekan oleh kaum syi’ah saat ini disebut zina berkedok agama.

http://alfanarku.wordpress.com/2011/03/04/

No comments:

Post a Comment