Saturday, August 6, 2011

Memandang Insiden Jamal Bukan Dari Mata Pendengki

Memandang Insiden Jamal Bukan Dari Mata Pendengki

January 30, 2010 by alfanarku

Pengangkatan Amir-Amir Di Daerah Oleh Ali Bin Abi Thalib

Memasuki tahun 36 H Ali bin Abi Thalib mulai menjalankan kekhalifahannya. Beliau mengangkat amir-amir di daerah. Beliau mengangkat Ubaidullah bin Abbas sebagai amir di Yaman. Mengangkat Utsman bin Hunaif sebagai amir di Bashrah. Mengangkat Umarah bin Syihab sebagai amir di Kufah. Mengangkat Qais bin Sa’ad bin Ubadah sebagai amir di Mesir. Meng­angkat Sahal bin Hunaif sebagai amir di Syam menggantikan Mu’awiyah.

Maka Sahal pun berangkat menuju Syam, tatkala tiba di Tabuk ia berpapasan dengan orang-orang Mu’awiyah, mereka bertanya, “Siapakah anda?”

“Aku adalah amir” jawab Sahal.

“Amir di mana?” tanya mereka.

“Amir di wilayah Syam” jawabnya.

Mereka berkata, “Jika Utsman yang mengutusmu maka selamat datang, jika orang lain yang mengutusmu maka lebih baik anda kembali.”

Sahal bertanya, “Apakah kalian telah mendengar apa yang terjadi?”

“Tentu saja” jawab mereka.

Maka Sahal pun kembali kepada Ali. Adapun Qais bin Sa’ad, penduduk Mesir berselisih pendapat tentang keamirannya, jumhur penduduk Mesir membai’atnya. Sebagian kelompok mengatakan, “Kami tidak akan berbai’at sehingga kami dapat membunuh para pembunuh Utsman.” Demikian pula penduduk Bashrah, sebagian dari mereka menolak berbai’at.

Adapun Umarah bin Syihab yang diutus sebagai amir untuk wilayah Kufah, maka dicegah oleh Thulaihah bin Khuwailid karena kemarahannya atas terbunuhnya Utsman. Kemudian Umarah kembali kepada Ali dan menceritakan perihal di sana.

Berkembanglah fitnah, semakin runyamlah masalah dan semakin runcing pula perselisihan. Abu Musa mengirim berita kepada Ali tentang ketaatan penduduk Kufah dan bai’at mereka kecuali sedikit dari mereka. (Silahkan lihat Tarikh ath-Thabari, 4/442 dari jalur Saif bin Umar dari guru-gurunya. Penyebutan Thulaihah bin Khuwailid adalah ganjil, karena sejumlah sejarawan lainnya menyebutkan bahwa Thulaihah terbunuh sebagai syahid pada peperangan Nahawand pada tahun 21 H. Silahkan lihat Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq, 8/603. Adz-Dzahabi dalam al-’Ibar, 1/26, Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan NIhayah, 7/119, dan Ibnu Hajar dalam al-Ishabah, 3/543).

Ali telah mengirim banyak sekali surat kepada Mu’awiyah namun Mu’awiyah tidak memberikan jawaban. Hal itu terus berlangsung hingga bulan ketiga terbunuhnya Utsman di bulan Shafar. Kemudian Mu’awiyah mengutus Thaumar bersama seorang lelaki untuk menemui Ali. Keduanyapun masuk menemui beliau. Ali berkata, “Berita apa yang kalian bawa?” Mereka mehjawab, “Kami datang dari satu kaum yang hanya menghendaki Qishash. Mereka semua berputus asa, aku telah bertemu dengan enam puluh ribu orang tua mereka menangisi kepergian Utsman. Sedang dia berdiri di atas mimbar Damaskus.”

Maka Alipun berkata, “Ya Allah, aku berlepas diri kepadaMu dari darah Utsman.”

Kemudian utusan Mu’awiyah keluar dari hadapan Ali. Kaum Khawarj yang telah membunuh Utsman berhasrat menghabisi beliau. Dan mereka baru berhasil melampiaskan hasrat tersebut setelah berusaha keras. ( Ini adalah ringkasan dari riwayat ath-Thabari dari jalur Saif bin Umar dari guru-gurunya. Silahkan lihat Tarikh ath-Thabari, 4/443-446. Namun sebagian dari yang disebutkannya itu perlu ditinjau kembali, Mu’awiyah tidaklah menentang kekhalifahan Ali, namun ia hanya menuntut ditegakkannya hukum atas para pembunuh Utsman tanpa mengulur-ulur waktu sebagaimana pendapat khalifah Ali. Yahya bin Sulaiman al-Ju’fi meriwayatkan dengan sanad yang bagus seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 3/92 dari Abu Muslim al-Khaulani bahwa ia berkata kepada Mu’awiyah, “Apakah engkau menentang khalifahan Ali ataukah engkau sama kedudukannya dengannya?” Mu’awiyah berkata, “Tidak demi Allah, aku tahu ia lebih utama daripadaku dan lebih berhak memegang jabatan itu daripadaku. Akan tetapi bukankah kalian tahu bahwa Utsman dibunuh secara dhalim, sedang aku adalah keponakan beliau? Dan menuntut atas kematian beliau? Hendaklah ia menyerahkan orang-orang yang membunuh Utsman kepadaku niscaya aku akan tunduk kepada kekhalifahannya.” Ali berkata, “Hendaklah ia berbai’at lalu menyerahkan tuntutannya kepada para pembunuh Utsman kepadaku.”)

Tuntutan Terhadap Darah Utsman

Setelah terbunuhnya Utsman, Mu’awiyah bin Abi Sufyan beserta sejumlah sahabat lainnya angkat bicara di hadapan manusia dan mendorong mereka agar menuntut darah Utsman dari orang-orang Khawarij yang telah membunuhnya. Para sahabat yang turut serta dalam tuntutan ini adalah: Ubadah bin Shamit, Abu Darda’, Abu Umamah, Amru bin Abasah (Beliau adalah Amru bin Abasah as-Sulami, biografinya dapat dilihat dalam kitab ath-Thabaqat, 4/157 dan al-Ishabah, 4/658) dan para sahabat lainnya. Dari kalangan tabi’in: Syarik bin Khubasyah (Dalam naskah asli disebutkan: Hubasyah, namun itu salah tulis, yang benar adalah Khubasyah, silahkan lihat biografinya dalam kitab al-Ishabah, 3/384), Abu Muslim al-Khaulani, Abdurrahman bin Ghanm dan yang lainnya (Tarikh ath-Thabari, 4/352).

Setelah selesai proses pembai’atan Ali, Thalhah, az-Zubair dan beberapa pemuka sahabat datang menemui beliau guna menuntut penegakan hukum dan menegakkan qishash atas kematian Utsman. Namun Ali menyampaikan alasan kepada mereka bahwa kelompok pembangkang itu memiliki kekuatan yang besar. Dan tidak mungkin tuntutan itu dilakukan sekarang. Az-Zubair meminta kepada beliau agar diangkat menjadi amir di Bashrah. Az-Zubair berjanji akan membawa pasukan dari Bashrah untuk memperkuat barisan melawan kaum Khawarij dan kaum Arab Badui yang ikut bersama mereka dalam pembunuhan Utsman. Ali berkata kepada mereka berdua, “Bersabarlah dulu, jangan paksa aku!” (Para penulis sejarah menyebutkan bahwa al-Mughirah bin Syu’bah telah menasihati Ali agar mempertahankan para amir yang diangkat oleh Utsman, kemudian ia datang lagi pada hari lain dan menasihati Ali agar mencopot mereka. Riwayat ini tidak benar. Diriwayatkan oleh ath-Thabari dari jalur Saif bin Umar dari guru-gurunya yang masih majhul (belum diketahui identitas mereka). Silahkan lihat Tarikh ath-Thabari, 4/438. Kisah az-Zubair menuntut jabatan amir di Bashrah tidak shahih. Keluarnya ‘Aisyah, az-Zubair dan Thalhah ke Bashrah adalah untuk Ishlah (perdamaian) dan usaha untuk menyatukan kalimat kaum muslimin setelah terjadinya perselisihan dan berkembangnya fitnah. Mereka keluar bukan untuk menolak kekhalifahan Ali. Diriwayatkan secara shahih dari al-Ahnaf bin Qais bahwa ia bermusyawarah dengan mereka ketika Utsman dikepung tentang siapakah yang akan dibai’at setelah Utsman terbunuh? Mereka mengisyaratkan agar membai’at Ali bin Abi Thalib. Silahkan lihat Fathul Bari, 13/38).

Kemudian Abdullah bin Abbas menganjurkan kepada Ali agar tetap mempertahankan amir-amir yang dahulu ditunjuk oleh Utsman di daerah-daerah sampai stabilitas keamanan pulih kembali. Khususnya Mu’awiyah di wilayah Syam. Ibnu Abbas berkata kepadanya, “Aku khawatir ia akan menuntut darah Utsman bila anda mencopotnya.”

Ali berkata, “Aku tidak berpendapat demikian, akan tetapi berangkatlah ke Syam, sungguh aku mengangkatmu menjadi amir di sana.”

Abdullah bin Abbas berkata kepada Ali, “Aku khawatir Mu’waiyah membunuhku karena menuntut balas kematian Utsman. Atau aku khawatir ia mengira aku diangkat menjadi amir karena aku ada hubungan keluarga denganmu. Akan tetapi tulislah surat kepada Mu’awiyah,berilah harapan dan janji untuknya.”

Ali berkata, “Demi Allah, hal itu tidak akan terjadi selamanya.”

Abdullah bin Abbas berkata, “Wahai Amirul Mukminin, perang adalah tipu daya seperti yang dikatakan oleh Rasulullah sas.( Hadits riwayat Ibnu Majah dalam Sunannya nomor 2861). Demi Allah, sekiranya anda menuruti kata-kataku, niscaya aku akan menggiring mereka semua kepadamu.”

Abdullah bin Abbas telah melarang Ali agar jangan menerima saran sebagian orang yang membujuk beliau agar berangkat ke Iraq dan meninggalkan Madinah, akan tetapi Ali menolak seluruh saran Abdullah bin Abbas (Diriwayatkan oleh ath-Thabari 4/439 dari jalur al-Waqidi dari Ibnu Abi Sabrah dari Abdul Majld bin Suhail. Sanadnya dha’if sekali).

Thalhah, Az-Zubair Dan Aisyah Berangkat Ke Bashrah

Istri-istri nabi, para umahatul mukminin berangkat menunaikan haji pada tahun ke tiga puluh lima hijriyah untuk menghindari fitnah. Ketika sampai ke telinga orang banyak berita terbunuhnya Utsman, yaitu ketika mereka hendak pulang dari haji, mereka kembali lagi ke Makkah dan menetap di sana. Mereka menunggu apa yang akan dilakukan oleh manusia. Setelah dibai’atnya Ali dan orang-orang yang paling berpengaruh di sekitar beliau yaitu karena desakan kondisi dan dominasi mereka bukan atas keinginan beliau pribadi- adalah para pemimpin-pemimpin Khawarij yang telah membunuh Utsman.

Padahal Ali sebenarnya sangat membenci mereka. Akan tetapi beliau menunggu kehancuran mereka dan sangat ingin kalaulah berhasil menguasai mereka, beliau akan mengambil hak Allah dari mereka. Akan tetapi karena kondisinya seperti itu, justru mereka yang menguasai beliau dan bahkan mereka rnenghalangi para sahabat yang lainnya dari beliau, maka larilah sekelompok Bani Umayyah dan yang lainnya ke Makkah.

Kemudian Thalhah dan az-Zubair meminta izin kepada beliau untuk mengerjakan umrah ke Makkah. Ali mengizinkan mereka berdua, lalu keduanyapun berangkat ke Makkah diikuti oleh banyak orang. Kemudian datang pula Ya’la bin Umayyah dari Yaman -ia adalah amir di Yaman pada masa kekhalifahan Utsman- dengan membawa enam ratus ekor unta dan enam ratus ribu dirham. Bertepatan pula dengan kedatangan Abdullah bin Amir dari Bashrah, ia adalah wakil Utsman untuk daerah Bashrah. Maka berkumpullah di Makkah para tokoh dari kalangan sahabat dan para umahatul mukminin.

‘Aisyah mengajak orang-orang agar menuntut balas atas tertumpahnya darah Utsman. ‘Aisyah menyebutkan kedhaliman orang-orang yang telah membunuh Utsman di tanah Haram dan di bulan Haram serta tidak mempedulikan kehormatan Rasulullah sas, mereka telah menumpahkan darah dan menjarah harta. Orang-orangpun menyambut seruan ‘Aisyah dan bersedia mengikuti apa yang menurut ‘Aisyah baik dan membawa maslahat. Mereka berkata kepadanya, “Ke manapun anda pergi, kami akan ikut bersama anda.” Sebagian dari mereka berkata, “Mari kita berangkat ke Syam.” Sebagian dari mereka berkata, “Sesungguhnya Mu’awiyah bisa mengurus masalah di sana, sekiranya para pemberontak itu datang ke sana niscaya mereka akan kalah. Penduduk Syam pasti akan bersatu karena tokoh-tokoh besar dari kalangan sahabat nabi di Syam bersama mereka.” Yang lainnya berkata, “Mari kita berangkat ke Madinah dan menuntut Ali agar menyerahkan para pembunuh Utsman untuk diqishash.” Dan sebagian lainnya mengusulkan, “Lebih baik kita berangkat ke Bash­rah untuk menggalang kekuatan di sana dengan kuda-kuda dan pasukan. (Ini merupakan lafal-lafal mungkar dalam kisah di atas, karena sebenarnya mereka keluar untuk ishlah, dan mereka memilih Bashrah karena dekatnya daerah itu dengan tempat kejadian). Kita mulai dari sana dengan mencari para pembunuh Utsman.” Lalu mereka pun sepakat dengan usulan tersebut.

Para umahatul mukminin lainnya menghendaki agar ‘Aisyah ikut ber­sama mereka ke Madinah. Namun ketika orang-orang sepakat berangkat ke Bashrah mereka berkata, “Kami tidak akan pergi ke tempat lain selain Madinah.”

Ya’la bin Umayyah menyiapkan rombongan. Beliau mengeluarkan enam ratus ekor unta dan enam ratus ribu dirham untuk keperluan rom­bongan. Abdullah bin Amir pun menyiapkan uang yang cukup banyak untuk keperluan rombongan. Pada saat itu Hafshah binti Umar ummul mukminin menyetujui pendapat ‘Aisyah untuk berangkat ke Bashrah. Namun ia dilarang oleh saudara laki-lakinya, yakni Abdullah bin Umar. Abdullah bin Umar menolak berangkat bersama mereka ke tujuan lain selain Madinah. Orang-orangpun menyertai ‘Aisyah dengan seribu pasukan berkuda, ada yang mengatakan sembilan ratus pasukan berkuda dari penduduk Madinah dan Makkah. Lalu banyak pula orang-orang lain yang ikut serta dalam rombongan ini. Sehingga jumlah mereka menjadi tiga ribu orang. Ummul Mukminin ‘Aisyah berada dalam haudaj (sekedup) unta yang bernama ‘Askar yang dibeli oleh Ya’la bin Umayyah.

Rombongan pun bergerak menuju Bashrah. Yang bertindak menjadi imam shalat atas perintah ‘Aisyah adalah keponakan beliau, Abdullah bin az-Zubair. Sedang Marwan bin al-Hakam bertindak sebagai muadzin pada waktu-waktu shalat.

Di tengah perjalanan pada malam hari mereka tiba di mata air bemama al-Hau’ab.( Al-Hau’ab maknanya lembah yang luas. la adalah nama sebuah mata air di tengah jalan menuju Bashrah di daerah Bani Amir bin Kilab, di situ terdapat benteng yang dibangun oleh Abdul Aziz bin Zurarah al-Katbi (Mu’jamul Buldan, 2/314)). Anjing-anjing mengonggong menyambut kedatangan mereka di mata air itu. Demi mendengar gonggongan anjing ‘Aisyah bertanya, “Apa nama mata air ini?”

“Mata air al-Hau’ab” kata mereka.

‘Aisyah memukul tangannya sendiri sambil berkata, “Inna lillahi wa mna ilaihi raji’un. Menurutku aku harus kembali.”

“Mengapa?” tanya mereka.

Beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah sas berkata kepada istri-istri beliau, “Duhai kiranya siapakah di antara kalian yang disambut oleh gonggongan anjing di mata air al-Hau’ab.”

Kemudian ‘Aisyah memukul kaki untanya dan menambatkannya. ‘Aisyah berkata, “Kembalikanlah aku, kembalikanlah aku! Demi Allah akulah wanita (yang disambut gonggongan anjing) di mata air al-Hau’ab.”

Kami telah mencantumkan hadits ini beserta sanad dan matannya dalam kitab Dalail an-Nubuwah.” (Silahkan lihat kitab al-Bidayah wan Nihayah, 9/186, hadits ini tercantum juga dalam Musnad Imam Ahmad, 6/52 dan 97. Ibnu Katsir berkata, “Sanad ini sesuai dengan syarat Shahihain dan belum diriwayatkan oleh keduanya.” Kemudian beliau menyebutkan jalur lain yang diriwayatkan oleh al-Bazzar. Silahkan lihat kitab Kasyful Astar, 4/94, al-Haitsami berkata dalam kitab Majma’az-Zawaid, 7/234: “Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan perawinya tsiqah.”)

Orang-orang pun menambatkan unta mereka di dekatnya sehari semalam. Abdullah bin az-Zubair berkata kepadanya, “Sesungguhnya orang-orang yang menyampaikan kepadamu bahwa mata air ini bernama al-Hau’ab telah berdusta.” (Demikian yang beliau katakan. Dalam Tarikh ath-Thabari, 4/457 disebutkan: “Abdullah bin az-Zubair datang menemui ‘Aisyah dan berkata, ‘Selamatkan diri, selamatkan diri, demi Allah sesungguhnya pasukan Ali telah mengejar kalian’.” Riwayat ini dari jalur Saif dari guru-gurunya, lafal ini adalah mungkar, lafal yang disebutkan dalam kitab Musnad adalah: ‘Sebagian orang yang bersama ‘Aisyah berkata kepadanya, ‘Lanjutkanlah perjalanan, mudah-mudahan kaum muslimin melihat kehadiran anda’.” Dalam riwayat lain dalam kitab Musnad, “Az-Zubair berkata kepada ‘Aisyah,” Riwayat-riwayat ini shahih walillahil hamd.)

Mereka pun berangkat menuju Bashrah, ketika rombongan mendekati Bashrah ‘Aisyah menulis surat kepada al-Ahnaf bin Qais dan orang-orang di sana mengabarkan bahwa ia sudah sampai di Bashrah. Utsman bin Hunaif mengutus Imran bin Hushain dan Abul Aswad ad-Duali untuk menemui ‘Aisyah guna menanyakan maksud kedatangannya. Ketika kedua utusan itu datang menemui ‘Aisyah, keduanya mengucapkan salam dan menanyakan maksud kedatangan beliau. ‘Aisyah menyampaikan kepada kedua utusan itu bahwa maksud kedatangannya adalah hendak menuntut atas tertumpahnya darah Utsman. Karena beliau dibunuh secara zhalim pada bulan Haram di negeri Haram. Beliau membacakan firman Allah:

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (An-Nisa’: 114).

Kedua utusan itupun meninggalkan ‘Aisyah lalu menemui Thalhah dan bertanya kepadanya, “Apa gerangan tujuan anda kemari?”

Thalhah menjawab, “Menuntut atas tertumpahnya darah Utsman.”

Keduanya berkata, “Bukankah engkau telah membai’at Ali?”

Thalhah menjawab, “Ya, dibawah ancaman pedang di leherku. Aku tidak akan membatalkannya (Dalam buku cetakan tertulis: “aku tidak menerimanya” namun itu adalah kesalahan cetak. Dalam kisah tersebut terdapat lafal mungkar, yaitu anggapan bahwa Thalhah dan az-Zubair berbai’at kepada Ali karena terpaksa. Ini bertentangan dengan realita sebenarnya sebagaimana yang telah dijelaskan.) apabila ia tidak membiarkan kami menebus balas atas para pembunuh Utsman!”

Lalu keduanya mendatangi az-Zubair, dan beliaupun mengucapkan seperti itu. Imran dan Abul Aswad kembali kepada Utsman bin Hunaif lalu me­nyampaikan kepadanya. Utsman bin Hunaif berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, demi Rabb pemilik Ka’bah, telah tiba masa berperang dalam Islam. (Mengisyaratkan kepada hadits Abdullah bin Mas’ud secara marfu’: “Perang dalam Islam akan berkecamuk setiap tiga puluh lima atau tiga puluh enam tahun .” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya kitab al-Fitan wal Malahim hadits nomor 4254, Ahmad dalam Musnadnya, 1/393, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, 4/521, ia berkata, “Sanadnya shahih.” Dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Dishahihkan juga oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-ahadits ash-Shahihah nomor 976, beliau menyebutkan jalur-jalur sanadnya). Coba lihat alternatif apakah yang terbaik untuk kita?”

Imran berkata, “Demi Allah, hal itu akan menjebak kalian dalam peperangan yang panjang.”

Kemudian Utsman bin Hunaif berkata kepada Imran bin Hushain, “Beri aku saran!”

Imran berkata, “Menghindarlah, sesungguhnya aku akan berdiam dalam rumahku atau aku akan duduk di atas untaku.” (Yaitu kata kiasan yang rnakrianya menghindar dari tempat fitnah.)

Utsman bin Hunaif berkata, “Aku akan menghadang mereka hingga Amirul Mukminin datang.”

la pun menyerukan kepada manusia agar mengambil senjata mereka dan berkumpul di masjid. Mereka pun berkumpul lalu Utsman bin Hunaif menyuruh mereka agar bersiap-siap. Ketika Utsman bin Hunaif berbicara di atas mimbar seorang lelaki bangkit dan berkata, “Wahai sekalian manusia, jika mereka datang dalam keadaan takut maka sungguh mereka datang dari negeri yang aman. Jika mereka datang untuk menuntut darah Utsman maka kita bukanlah pembunuhnya. Ikutilah kata-kataku, kembalikanlah mereka ke tempat asal mereka.”

Lalu bangkitlah al-Aswad bin Sarie’ as-Sa’di ( Silahkan lihat catatan biografinya dalam kitab al-Ishabah, 1/74.) dan berkata, “Sesung­guhnya mereka datang meminta pertolongan kepada kita untuk menangkap para pembunuh Utsman yang berasal dari kita maupun dari orang di luar kita.”

Orang-orang pun menyorakinya. Tahulah Utsman bin Hunaif bahwa para pembunuh Utsman memiliki pendukung di Bashrah. Hal itu mengendorkan semangatnya.

Ummul Mukminin ‘Aisyah tiba bersama rombongan yang menyertainya. Mereka berhenti di tempat bernama al-Mirbad (Al-Mirbad, suatu tempat yang luas di Bashrah, dulunya adalah pasar unta. Dipakai sebagai tempat bertukar pikiran bagi para penyair dan tempat pidato (Mu’jam al-Buldan, 1/445)), sebelah atas dekat kota Bashrah.

Maka keluarlah Penduduk Bashrah yang ingin bergabung bersama ‘Aisyah, Utsman bin Hunaif keluar bersama pasukan dan berkumpul di al-Mirbad. Thalhah berbicara -beliau berada di sebelah kanan pasukan- mengajak orang-orang untuk menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan. Lalu diikuti pula oleh az-Zubair, ia mengatakan hal yang sama. Perkataan mereka berdua dibalas oleh sejumlah orang dari pasukan Utsman bin Hunaif. Bergejolaklah sekelompok orang dari kedua pasukan lalu mereka saling melempar batu. Kedua pasukanpun bersiap-siap dan kembali ke pangkalan masing-masing. Sebagian orang dari pasukan Utsman bin Hunaif keluar dan bergabung dengan pasukan ‘Aisyah. Maka jumlah merekapun bertambah banyak.

Jariyah bin Qudamah as-Sa’di datang dan berkata, “Wahai Ummul Mukminin, demi Allah terbunuhnya Utsman lebih ringan daripada keluarnya anda dari rumah anda dengan mengendarai unta ini untuk menghadapi senjata. Jika anda datang kepada kami sebagai orang yang taat maka kembalilah ke tempat anda semula. Jika anda datang karena dipaksa maka mintalah bantuan kepada orang-orang untuk kembali.

Terjadinya Insiden Antara Pasukan ‘Aisyah Dengan Wakil Ali Bin Abi Thalib Di Bashrah

Hukaim bin Jabalah (Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam al-Ishabah, 2/178, di bagian ketlga, yaitu bagian orang-orang yang hidup pada zaman nabi namun tidak bertemu dengan beliau. Ibnu Hajar juga menukil perkatan Ibnu Abdil Bar, “Aku tidak tahu ada satu pun riwayat ataupun kabar yang menunjukkan bahwa ia pernah bertemu dengan Rasulullah sas.”) yang berada dalam pasukan Utsman bin Hunaif yang memicu terjadinya insiden. Sementara pasukan Ummul Mukminin menahan diri dan enggan meladeninya. Lalu Hukaim menyerang mereka. Kedua pasukan saling bertempur di mulut jalan. ‘Aisyah menyuruh pasukannya agar menghindar ke kanan hingga mereka sampai di perkuburan Bani Mazin. Malam memisahkan antara kedua pasukan.

Pada hari kedua, masing-masing pasukan keluar dengan tujuan bertempur. Mereka pun terlibat dalam insiden yang sengit sampai menjelang sore hari. Orang-orang dari pasukan Utsman bin Hunaif banyak yang tewas, dan banyak pula orang yang cedera dan luka-luka dari kedua belah pihak. Setelah letih bertempur kedua pasukan pun setuju berdamai.

Hanya saja beberapa orang yang ter­libat langsung dalam pembunuhan Utsman dan para pendukung mereka telah menyelusup ke dalam pasukan. Jumlah mereka lebih kurang tiga ratus orang. Pemimpin mereka adalah Hukaim bin Jabalah -ia adalah salah seorang yang terlibat langsung dalam pembunuhan Utsman-, mereka keluar dan berperang.

Salah seorang lelaki menebas kaki Hukaim bin Jabalah hingga putus. Hukaim merangkak lalu mengambil kakinya dan memukulkannya kepada lelaki yang telah menebasnya hingga lelaki itu terbunuh. Hukaim tewas dalam pertempuran tersebut bersama tujuh puluh orang yang membunuh Utsman dan para pendukung mereka. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 5 Rabi’ul Akhir tahun 36 H. Peristiwa ini disebut juga dengan insiden Jamal Shughra. (Dari awal pembahasan sampai di sini adalah ringkasan dari yang disebutkan oleh ath-Thabari dari sejumlah riwayat dari Saif, dari Abu Mikhnaf dan dari Ibnu Syibah dan lainnya, 4/477)

Ali Bin Abi Thalib Keluar Dari Madinah Menuju Iraq

Pada saat itu Ali bin Abi Thalib sedang bersiap-siap menuju Syam. Ketika sampai berita tentang maksud Thalhah dan az-Zubair, beliau bangkit dan berkhutbah di hadapan manusia mengajak mereka keluar ke Iraq. Sebagian besar penduduk Madinah keberatan menyambut ajakan beliau, adapun sebagian lainnya menyambutnya.

Asy-Sya’bi berkata, “Tidak ada yang ikut serta bersama Ali dalam perkara ini kecuali enam orang sahabat peserta perang Badar, tidak ada yang ketujuh.” (Tarikh ath-Thabari, 4/447 dari jalur Saif bin Umar.)

Ibnu Jarir dan ulama lainnya menyebutkan di antara tokoh sahabat yang menyambut ajakan Ali adalah Abul Haitsam bin at-Taihan, Abu Qatadah al-Anshari, Ziyad bin Hanzhalah, Khuzaimah bin Tsabit. Mereka berkata, “la bukanlah Khuzaimah yang bergelar pemilik dua persaksian, karena ia wafat pada masa kekhalifahan Utsman.” (AI-Khathib al-Baghdadi mengoreksi perkataan ini dalam kitabnya al-Muwadhdhih 11 Auhamll Jam’ wat Tafrlq, 1/275, “Itu jelas keliru tidak ada syak lagi, karena Khuzaimah bin Tsabit adalah pemilik dua persakslan yang ikut serta bersama All dalam peperangan Shiffin. Para ulama sejarah sepakat menyebutkan hal tersebut. Saif bin Umar bukanlah hujjah atas riwayat-riwayat yang dibawanya jika bertentangan dengan perkataan Ahli Ilmu.” Kemudian beliau menyebutkan dalil-dalil yang mendukung perkataannya.AI-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Ishabah, 2/280, “Tidak ada dosa atas Saif, karena kesalahan berasal dari gurunya.” Silahkan lihat biografi Khuzaimah bin Tsabit dalam ath-Thabaqat al-Kubra, 4/378.)

Ali bin Abi Thalib berangkat dari Madinah berjalan hingga tiba di Rabadzah (salah satu tempat persinggahan bagi para jama’ah haji dari Iraq. Abu Dzar al-Ghifari bermukim dan wafat di tempat ini pada tahun 32 H. Lokasinya terletak di sebelah timur Madinah sekitar seratus mil. (Silahkan lihat Mu’jamul Buldan, 2/24,dan Kitab al-Manasik, halaman 330). Sebagai wakil di Madinah Ali menunjuk Tammany bin Abbas, wakil di Makkah Qutsam bin Abbas. Peristiwa ini terjadi pada akhir bulan Rabi’ul Akhir tahun 36 H. Ali keluar dari Madinah dengan membawa sembilan ratus pasukan.

Abdullah bin Salam berpapasan dengan Ali di Rabadzah. la memegang tali kekang kudanya dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, janganlah keluar dari Madinah! Demi Allah jika anda keluar dari Madinah anda tidak akan kembali ke sana dan pusat kekuasaan kaum muslimin tidak akan kembali ke sana selama-lamanya.”

Sebagian anggota pasukan mencelanya, Ali berkata, “Biarkan dia! Dia adalah sebaik-baik orang dari kalangan sahabat Nabi sas.” (Diriwayatkan oleh ath-Thabari, 4/455, dari jalur Saif bin Umar dari guru-gurunya dan terdapat riwayat penyerta yang dikeluarkan oleh Abu Ya’la dan al-Bazzar. AI-Haitsami berkata dalam kitab Majma” az-Zawaid, 9/138, “Perawi Abu Ya’la adalah perawi kitab Shahih kecuali Ishaq bin Abi Israil, ia adalah seorang perawi tsiqah dan terpercaya.”)

Al-Hasan bin Ali mendatangi ayahnya dan berkata, “Aku telah melarangmu namun kamu tidak menurutinya. Kamu akan terbunuh esok secara tersia-sia tanpa ada seorang pun yang membelamu!”

Ali berkata kepada puteranya itu, “Engkau masih saja merengek kepadaku seperti anak kecil. Apa laranganmu yang telah aku langgar?”

Al-Hasan berkata, “Bukankah aku telah menyarankan kepadamu sebelum terbunuhnya Utsman agar keluar dari kota Madinah? Supaya Utsman tidak terbunuh sementara engkau berada di dalamnya sehingga orang-orang membicarakan atau mempersoalkannya? Bukankah aku telah menyarankan agar jangan membai’at orang-orang setelah terbunuhnya Utsman sebelum wakil-wakil dari setiap daerah datang kepadamu untuk berbai’at? Dan aku telah menyarankan kepadamu agar tatkala wanita ini (maksudnya adalah ‘Aisyah) dan dua lelaki ini (maksudnya adalah Thalhah dan az-Zubair) keluar sebaiknya engkau duduk saja di rumah hingga mereka berdamai? Namun engkau melanggar semua saranku itu!?”

Ali pun berkata kepadanya, “Adapun saranmu agar aku harus keluar dari Madinah sebelum Utsman terbunuh, maka sesungguhnya kitapun dalam keadaan terkepung sebagaimana halnya beliau. Adapun bai’at yang kuterima sebelum wakil-wakil tiap daerah menyerahkan bai’atnya maka sesungguhnya urusan ini berada di tangan penduduk Madinah, aku tidak mau urusan ini tersia-siakan. Adapun aku duduk saja di rumah, sesungguhnya mereka telah pergi ke tempat tujuan mereka. Apakah engkau menghendaki aku seperti anjing hutan yang terkepung lalu diteriaki, ‘Merayaplah, merayaplah bukan di sini!’ Hingga ia melepaskan tumit kakinya lalu melarikan diri? Jika aku tidak menangani masalah yang harus kuselesaikan ini dan engkau menolongku untuk menyelesaikannya lalu siapakah lagi yang akan menanganinya? Biarkanlah diriku wahai puteraku!” (Diriwayatkan oleh ath-Thabari dalam Tarikhnya, 4/456, dari jalur Saif bin Umar dan beliau menyebutkan jalur lain, 4/458 ada jalur lain yang menyertainya yang disebutkan dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa’ad (dalam catatan biografi al-Hasan bin Ali) dari jalur al-Waqidi (tingkatan kelima dari sahabat, 1/274).

Setelah mendengar aksi yang dilakukan oleh mereka di Bashrah, Ali menulis surat kepada penduduk Kufah dan mengutus Muhammad bin Abi Bakar dan Muhammad bin Ja’far, isinya, “Sesungguhnya aku telah memilih kalian dari penduduk negeri lainnya. Aku sangat terkejut mendengar peristiwa yang terjadi. Jadilah kalian penolong dan pembela agama Allah, bergabunglah bersama kami, sesungguhnya kami hanya menghendaki perdamaian. Agar umat ini kembali bersatu dan saling bersaudara.”

Kedua utusan inipun berangkat, lalu Ali mengirim utusan ke Madinah agar mengambil persenjataan dan kendaraan yang dibutuhkan.

Khutbah Ali bin Abi Thalib

Ali berdiri di tengah kerumunan manusia dan menyampaikan khutbahnya, “Sesungguhnya Allah telah memuliakan kita dengan Islam dan mengangkat derajat kita dengannya. Dan Allah telah menjadikan kita bersaudara setelah kita hina, sedikit, saling membenci dan saling menjauhi. Umat manusia mempertahankan hal itu sampai dengan waktu yang dikehendaki Allah. Islam adalah agama mereka. Kebenaran tegak di antara mereka. Kitabullah adalah imam mereka. Hingga lelaki ini (yakni Utsman bin Affan ) terbunuh di ta­ngan orang-orang yang disesatkan oleh setan untuk menghembuskan api permusuhan di tengah umat ini. Ketahuilah, umat ini pasti berselisih sebagai­mana perselisihan yang menimpa umat-umat sebelumnya. Kita berlindung (Tarikh ath- Thabari, 4/478.) kepada Allah dari keburukan yang akan terjadi. Dan hal itu pasti terjadi.

Ketahuilah, umat ini akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Golongan yang paling buruk adalah golongan yang menisbatkan diri kepadaku namun tidak mengikuti amal perbuatanku. Kalian telah menemukan dan melihatnya sendiri. Komitmenlah di atas agamamu dan ikutilah petunjuk nabimu. Ikutilah sunnah beliau sas. Tinggalkanlah masalah-masalah yang sulit kalian atasi, selesaikanlah dengan Kitabullah. Ambillah perkara-perkara yang dikenal dalam al-Qur’an dan tolaklah perkara-perkara yang tidak dikenal. Ridhailah Allah sebagai Rabb kalian, Islam sebagai agama kalian, Muhammad sebagai nabi kalian dan al-Qur’an sebagai hakim dan imam kalian.”

Perjalanan dari Rabadzah dan Mobilisasi Penduduk Kufah

Setelah berazam untuk bergerak dari Rabadzah, bangkitlah salah seorang putera Rifa’ah bin Rafi (Rifa’ah bin Rafi’ termasuk salah seorang sahabat yang pertama-tama masuk Islam, ia ikut serta dalam peperangan Badar dan Bai’at Aqabah, ikut serta dalam peperangan Jamal dan Shiffin bersama Ali bin Abi Thalib, Kedua puteranya, yakni Ubaid dan Mu’adz meriwayatkan hadits darinya. Dan belum jelas bagiku di sini siapakah di antara keduanya yang berbicara dalam kesempatan tersebut. Silahkan lihat kitab al-Isti’ab, 2/497, dan al-Ishabah, 2/489.) dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apakah yang engkau inginkan? Ke manakah engkau bawa kami?”

Ali menjawab, “Yang kami inginkan dan kami niatkan adalah perdamaian jika mereka menerimanya dan menyambutnya.”

“Jika mereka tidak menyambutnya?” Tanyanya lagi.

Ali menjawab, “Kita biarkan mereka dengan alasan-alasan mereka dan kita berikan hak mereka dan kita bersabar.”

“Jika mereka tidak merestui itu?” Tanyanya lagi.

Ali menjawab, “Kita biarkan mereka selagi mereka membiarkan kita.’

“Jika mereka tidak membiarkan kita pergi?” Tanyanya lagi.

Ali menjawab, “Kita akan mempertahankan diri dari serangan mereka.”

“Bagus kalau begitu!” Katanya.

Kemudian al-Hajjaj bin Ghaziyyah al-Anshari (Biografinya disebutkan dalam Thabaqat Ibnu Sa’ad, 5/197 dan memasukkannya dalam golongan tabi’in. Silahkan lihat kitab al-Ishabah, 2/35, namanya adalah al-Hajjaj bin Amru bin Ghaziyyah, dan memastikan bahwa ia termasuk sahabat nabi berdasarkan riwayat penulis kitab Sunan yang meriwayatkan sebuah hadits darinya dari Rasulullah sas dan di dalamnya ditegaskan penyimakan langsung dari beliau sas) bangkit dan berkata, “Aku akan melakukan apa yang anda inginkan sebagaimana engkau telah mengatakan kepadaku apa yang aku inginkan. Demi Allah, aku akan menolong agama Allah sebagaimana Dia telah menyebut kami kaum Anshar.“

Kemudian datang pula jama’ah dari suku Tha’i sewaktu Ali berada di Rabadzah. Ada yang berkata kepada Ali, “Mereka adalah jama’ah yang datang dari Tha’i, ada yang ingin ikut serta bersamamu dan ada pula yang hanya ingin menyampaikan salam kepadamu.”

Ali berkata, “Semoga Allah membalas keduanya dengan kebaikan!

“Dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (An-Nisa’: 95).

Mereka berkata, Maka Ali pun bergerak dari Rabadzah dengan membawa pasukan, Ali mengendarai unta merah dengan menggiring kuda yang berwarna hitam kemerah-merahan. Setelah tiba di daerah Faid (Faid adalah tempat singgah para jama’ah haji dari Iraq, sekarang ini merupakan negeri yang makmur. Terletak di sebelah selatan daerah Hail. (AI-Biladi, Mu’jamulMa’alim al-Jughrafiyah, halaman 239) datang menemui beliau jama’ah dari Bani Asad dan Tha’i, mereka menawarkan diri untuk membantu beliau. Ali berkata, “Orang-orang yang ikut bersamaku sudah cukup.”

Datang pula seorang lelaki dari penduduk Kufah bernama Amir bin Mathar asy-Syaibani. Ali berkata kepadanya, “Berita apa yang engkau bawa?” Lalu ia menyampaikan peristiwa yang telah terjadi. Ali bertanya kepadanya tentang Abu Musa al-Asy’ari. la berkata, “Jika engkau menghendaki perdamaian maka Abu Musalah orangnya, adapun jika engkau menghendaki pertempuran maka Abu Musa bukanlah orangnya.”

Ali berkata, “Demi Allah, kami hanya menghendaki perdamaian dengan orang-orang yang telah bertindak sewenang-wenang terhadap kami.”

Ketika pasukan sudah sampai di Dzi Qar (Dzii Qar adalah mata air milik Bakar bin Wail, di mata air ini terukir kisah yang sangat populer antara Bakar dan orang-orang Arab yang mengikutinya melawan orang-orang Persia. Dalam pertempuran itu orang-orang Arab memperoleh kemenangan. Pada hari itu pula Rasulullah sas lahir (silahkan llhat Mu’jamul Buldan, 4/293) Utsman bin Hunaif, wali Bashrah, datang menemui beliau dan melaporkan kondisi di sana. Ali berkata, “Engkau telah memperoleh kebaikan dan pahala.”

Ali bermukim di Dzi Qar menunggu jawaban surat yang dikirimnya melalui Muhammad bin Abi Bakar dan Muhammad bin Ja’far. Kedua utusan ini membawa surat Ali menemui Abu Musa al-Asy’ari. Atas perintah Abu Musa keduanya menyampaikan maksud kedatangan mereka di hadapan manusia namun tidak ada yang menyambutnya. Keesokan harinya, seseorang yang bijak datang menemui Abu Musa dan membujuk beliau agar bergabung bersama Ali dalam pasukan.

Abu Musa menjawab, “Seharusnya pendapat ini diajukan kemarin, yang tersisa sekarang hanya dua perkara, berdiam diri yang merupakan jalan akhirat atau keluar yang merupakan jalan dunia.”

Akhirnya mereka memilih jalan akhirat dan tidak ada satu pun yang mengikuti ajakan. Maka marahlah Muhammad bin Abi Bakar dan Muhammad bin Ja’far. Keduanya pulang menemui Ali di Dzi Qar dan menceritakan apa yang telah terjadi. Ali berkata kepada al-Asytar, “Engkau adalah utusan kami kepada Abu Musa, pergilah bersama Abdullah bin Abbas untuk menemuinya.

Maka keduanya pun berangkat, lalu tiba di Kufah dan mengutarakan maksud mereka kepada Abu Musa. Keduanya meminta bantuan dari beberapa orang penduduk Kufah untuk membujuk Abu Musa. Abu Musa al-Asy’ari bangkit dan berkata, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya sahabat Muhammad sas yang telah menyertai beliau lebih tahu tentang Allah dan RasulNya daripada orang yang belum menyertai beliau. Sesungguhnya kalian memiliki hak yang wajib kami penuhi dan aku akan memenuhinya dengan menyampaikan nasihat kepada kalian. Pendapatku, janganlah kalian memandang rendah Sultan dan jangan melangkahi perintahnya. Dalam menyikapi fitnah ini, orang-orang yang tidur lebih baik daripada yang terjaga, orang-orang yang terjaga lebih baik daripada yang duduk, orang-orang yang duduk lebih baik daripada yang berdiri, orang-orang yang berdiri lebih baik daripada yang berkendaraan, orang-orang yang berkendaraan lebih baik daripada yang berlari. Sarungkanlah pedang, copotkanlah mata panah, potonglah tali busur dan lindungilah orang-orang yang ditindas dan didhalimi sehingga masalah ini selesai dan fitnah ini tersingkap.”

Maka Abdullah bin Abbas dan al-Asytar kembali kepada Ali dan menceritakan apa yang telah terjadi. Lalu Ali mengutus al-Hasan dan Ammar bin Yasir. Keduanya berangkat ke Kufah lalu masuk ke Masjid. Abu Musa keluar dan menemui al-Hasan bin Ali lalu memeluknya. Al-Hasan bin Ali berkata kepada Abu Musa, “Mengapa engkau menahan orang-orang untuk mengikuti kami? Demi Allah, kami hanya menginginkan perdamaian. Tentu tidak yang perlu dikhawatirkan dari orang seperti Amirul Mukminin!?”

Abu Musa berkata, “Engkau benar, ayah dan ibuku menjadi tebusannya! Akan tetapi orang yang dimintai nasihat haruslah amanah, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah sas bersabda:

‘Sesungguhnya akan terjadi fitnah, orang yang duduk (dalam fitnah tersebut) lebih baik daripada orang yang berdiri, orang yang berdiri lebih baik daripada orang yang berjalan dan orang yang berjalan lebih baik daripada orang yang berkendaraan. (Hadits riwayat al-Bukhari dalam Shahih beliau kitab al-Fitan bab Akan terjadi fitnah, orang yang duduk lebih baik daripada orang yang berdiri, dari hadits Abu Hurairah (silahkan lihat Fathul Bari, 13/30).

Sesungguhnya Allah telah menjadikan kita bersaudara dan telah mengharamkan darah dan harta kita. Sesungguhnya apabila fitnah datang maka akan samar kedudukannya, apabila pergi barulah menjadi jelas dan terang.”

Al-Qa’qa’ bin Amir bangkit dan berkata, “Sesungguhnya yang benar adalah apa yang dikatakan oleh amir (Yakni Abu Musa al-Asy’ari) . Akan tetapi manusia harus memiliki pemimpin yang dapat menegur orang yang dhalim dan melindungi orang-orang yang didhalimi. Dengan begitu urusan manusia akan beres. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib sedang menghadapi masalah. Dengan penuh kearifan beliau mengajak kita. Dan beliau hanyalah menginginkan perdamaian, maka marilah kita bergabung dengan beliau.”

Kemudian orang-orang pun saling angkat bicara lantas bangkitlah Ammar bin Yasir dan al-Hasan bin Ali dan naik ke atas mimbar mengajak manusia untuk bergabung bersama Amirul Mukminin. Amirul Mukminin hanya menghendaki perdamaian di antara kaum muslimin. Lalu Amar mendengar seorang lelaki mencaci ‘Aisyah. Amar berkata, “Diamlah kamu, demi Allah ia adalah istri Rasulullah sas di dunia dan di akhirat. Akan tetapi Allah menguji kalian dengannya, untuk mengetahui apakah kalian taat kepada Allah atau taat kepadanya.” Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari.( Shahih al-Bukhari dalam kitab al-Fitan, hadits nomor 7100 dan 7101 (silahkan lihat Fathul Bari, 13/53).

Hujr bin Adi bangkit dan berkata, “Wahai sekalian manusia, bergabunglah bersama Amirul Mukminin!

“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwa pada jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (At-Taubah: 41).

Orang-orangpun menyambut seruannya, hasilnya berangkatlah sembilan ribu personil bersama al-Hasan di darat maupun di sungai Tigris. Ada yang mengatakan jumlah personil yang berangkat bersama al-Hasan mencapai dua belas ribu orang. Mereka berangkat menemui Amirul Mukminin yang menyambut kedatangan mereka di Dzi Qar bersama sejumlah orang di antaranya adalah Abdullah bin Abbas. Amirul Mukminin menyambut hangat kedatangan mereka dan berkata, “Wahai penduduk Kufah, kalian telah berhadapan dengan raja-raja Ajam dan berhasil menceraiberaikan pasukan me­reka. Aku mengajak kalian untuk ikut bersama kami menghadapi saudara-saudara kita dari Bashrah. Jika mereka kembali maka itulah yang kita harapkan. Jika mereka menolak maka akan kita hadapi dengan lemah lembut kecuali bila mereka memulainya secara dhalim. Tidak akan kita lewatkan satu perkarapun yang membawa perdamaian melainkan akan lebih kita prioritaskan daripada perkara yang membawa kerusakan insya Allah.”

Maka merekapun berkumpul di Dzi Qar, di antara deretan tokoh yang bergabung bersama Ali adalah al-Qa’qa’ bin Amru, Sa’ar (Dalam naskah asli tertulis “Sa’ad”, koreksi di atas diambll dari Tarikh ath-Thabari, 4/488.) bin Malik, Hindun bin Amru, al-Haitsam bin Syihab, Zaid bin Shuhan, al-Asytar, Adi bin Hatim, al-Musayyib bin Najabah, Yazid bin Qais, Hujr bin Adi dan lain-lain. Sementara seluruh personil dari kabilah Abdul Qais menunggu Ali di antara Dzi Qar dan Bashrah.

Komunikasi Antara Ali Dengan Thalhah Dan Az-Zubair Dan Kesepakatan Mereka Untuk Berdamai

Ali mengirim al-Qa’qa’ sebagai utusan untuk menemui Thalhah dan az-Zubair di Bashrah mengajak mereka berdua untuk berdamai dan bersatu dan memperingatkan bahaya berpecah belah dan berselisih. Al-Qa’qa’ berangkat ke Bashrah dan pertama-tama ia menemui ‘Aisyah Ummul Mukminin. la berkata, “Wahai Ummul Mukminin, apa gerangan tujuan anda datang ke negeri ini?”

“Hai bunayya, untuk mengadakan perdamaian di antara manusia!” jawab’Aisyah.

Lalu al-Qa’qa’ meminta kepadanya agar mengirim seseorang kepada Thalhah dan az-Zubair agar bisa hadir bersamanya di situ. Singkat cerita keduanyapun hadir.

Al-Qa’qa’ berkata, “Aku bertanya kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah, apa gerangan tujuannya datang ke negeri ini?” la menjawab, “Sesungguhnya aku datang untuk mengadakan perdamaian di antara manusia.”

Thalhah dan az-Zubair berkata, “Kami juga demikian.”

Al-Qa’qa’ berkata, “Ceritakan kepadaku bagaimana bentuk perdamaian tersebut dan atas dasar apa? Demi Allah jika kami pandang baik tentu kita akan berdamai. Jika kami pandang mungkar kita tidak akan bisa berdamai.”

Thalhah dan az-Zubair berkata, “Para pembunuh Utsman, jika mereka dibiarkan berarti kita meninggalkan al-Qur’an.”

Al-Qa’qa’ berkata, “Kalian telah menghasbisi para pembunuh Utsman dari kalangan penduduk Bashrah. Sebelum menghabisi mereka kalian berdua lebih dekat kepada keistiqomahan daripada hari ini. Kalian telah menghabisi enam ratus orang dari mereka. Lalu membangkitkan kemarahan enam ribu orang yang menuntut balas terhadap kalian dan memisahkan diri dari kalian. Mereka keluar dari pihak kalian. Kalian menuntut Hurqush bin Zuhair, akan tetapi enam ribu orang melindunginya. Jika kalian membiarkan mereka maka kalian telah memperoleh seperti yang kalian harapkan. Namun jika kalian memerangi mereka maka mereka akan menimpakan atas kalian apa yang kalian khawatirkan. Dan kalian memecah belah urusan ini lebih parah daripada perdamaian yang ingin kalian usahakan berkumpul karenanya.

Yakni tujuan yang kalian inginkan yaitu membunuh para pembunuh Utsman adalah sebuah maslahat. Akan tetapi akan menimbulkan mafsadat (kerusakan) yang lebih besar. Sebagaimana halnya kalian tidak mampu menuntut balas atas darah Utsman dari Hurqush bin Zuhair karena enam ribu orang membelanya dan menghalangi orang yang hendak membunuhnya, tentu alasan Ali membiarkan para pembunuh Utsman untuk sementara lebih berhak diterima. Karena beliau menunda penuntutan balas atas darah Utsman sampai beliau dapat rnenguasai mereka. Karena tiap-tiap daerah masih berselisih dalam menentukan sikap.

Kemudian al-Qa’qa’ mengabarkan kepada mereka bahwa sejumlah pasukan dari Rabi’ah dan Mudhar telah bersatu untuk rnemerangi mereka disebabkan persoalan yang telah terjadi ini.

Ummul Mukminin ‘Aisyah berkata kepadanya, “Lalu bagaimana menurut pendapatmu?”

Al-Qa’qa’ menjawab, “Menurutku solusi masalah ini adalah meredakan ketegangan! Jika keadaan sudah tenang barulah para pembunuh Utsman dapat diringkus. Jika kalian sepakat maka itu adalah alamat kebaikan, rahmat dan kemenangan. Jika kalian tidak sepakat dan tetap bersikeras maka itu adalah alamat keburukan dan lenyapnya kekuasaan ini. Utamakanlah keafiatan dan keselamatan niscaya kalian akan memperolehnya. Jadilah kunci kebaikan sebagaimana halnya kalian dahulu. Janganlah bawa kami kepada bala sehingga kalian harus menghadapinya dan Allah membinasakan kita semua. Demi Allah aku mengutarakan maksud ini dan mengajak kalian kepadanya. Aku khawatir masalah ini tidak akan selesai hingga Allah menimpakan kemarahannya terhadap umat ini yang minim perbekalannya lalu terjadilah apa yang terjadi.

Sesungguhnya masalah yang terjadi ini sangatlah besar. Bukan sekedar seorang lelaki membunuh seorang lelaki lainnya atau sekelompok orang membunuh seorang lelaki atau satu kabilah membunuh seorang lelaki!”

Mereka berkata, “Engkau benar, kembalilah! Jika Ali datang dengan membawa pemikiran seperti yang engkau utarakan niscaya urusan ini akan selesai.”

Maka al-Qa’qa’ pun kembali kepada Ali dan mengabarkan apa yang terjadi. Ali takjub mendengamya. Orang-orang pun berharap perdamaian dapat diwujudkan. Sekelompok orang ada yang tidak suka dan sekelompok lainnya ada yang suka.

‘Aisyah mengirim berita kepada Ali untuk menyampaikan bahwa sesungguhnya ia datang untuk berdamai. Maka kedua belah pihakpun bergembira menyambutnya. Lalu Ali bangkit dan berkhutbah menyebutkan perkara jahiliyah, kerugian dan perangai-perangai jahiliyah. Lalu menyebutkan Islam, kebahagiaan para pemeluknya dengan persatuan dan jama’ah. Menyebutkan bahwa Allah telah mengumpulkan mereka sepeninggal Rasulullah sas di bawah kepemimpinan Abu Bakar ash-Shiddiq. Kemudian setelah itu Umar bin al-Khaththab kemudian Utsman. Kemudian terjadilah malapetaka yang menimpa umat ini. Sebagian orang mengejar keuntungan dunia dan hasad terhadap orang-orang yang Allah beri ni’mat atasnya dan atas keutamaan yang Allah karuniakan kepadanya. Lalu mereka ingin menolak Islam dan beberapa perkara lain di belakangnya. Akan tetapi Allah akan melaksanakan ketetapanNya.

Kemudian Ali berkata, “Ketahuilah, esok hari aku akan berangkat maka berangkatlah bersamaku. Dan jangan ikut bersamaku orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman!”

Para Pembunuh Utsman Khawatir Perdamaian akan Terlaksana dan Usaha Mereka untuk Merusaknya

Ketika para sahabat sepakat berdamai dan orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman mendengar khutbah Ali, mereka khawatir atas keselamatan diri mereka. Maka berkumpullah sejumlah tokohnya, diantaranya al-Asytar an-Nakhai, Syuraih bin Aufa, Abdullah bin Saba’yang dikenal dengan sebutan Ibnu Sauda’, Salim bin Tsa’labah, ‘Alba’ bin al-Haitsam dan lain-lain bersama dua ribu lima ratus pendukung mereka. Tidak ada seorangpun dari mereka yang berasal dari sahabat nabi.

Mereka berkata, “Bagaimana pendapat kalian? Demi Allah Ali lebih tahu tentang Kitabullah dan ia termasuk orang yang menuntut para pembunuh Utsman. Dan ia lebih kuasa untuk meringkus kita. Dan ia telah mengatakan seperti yang kalian dengar sendiri. Besok ia akan mengumpulkan manusia untuk meringkus kalian. Sesungguhnya yang mereka cari adalah kalian semua! Lalu apa yang kalian lakukan sedangkan jumlah kalian sedikit dibanding jumlah mereka yang sangat banyak!?”

Al-Asytar berkata, “Kita sudah tahu bagaimana sikap Thalhah dan az-Zubair terhadap kita, adapun sikap Ali baru kita ketahui hari ini. Apabila mereka berdamai maka artinya mereka sepakat untuk menghabisi kita. Jika demikian adanya maka kita habisi Ali seperti halnya Utsman, niscaya fitnah akan kembali bergejolak dan mereka akan membiarkan kita.”

Ibnu Sauda’ berkata, “Sungguh buruk pendapatmu itu! Seandainya kita menghabisi Ali pasti habislah kita! Kita semua wahai para pembunuh Utsman berjumlah dua ribu lima ratus orang. Sedang Thalhah dan az-Zubair bersama para pendukungnya berjumlah lima ribu orang. Kalian tidak akan mampu menundukkan mereka dan mereka sesungguhnya menginginkan kalian!”

‘Alba’ bin al-Haitsam berkata, “Biarkanlah mereka. Marilah kita kemba­li dan berlindung di beberapa negeri dan mempertahankan diri dari orang yang menyerang kita.”

Ibnu Sauda’ berkata, “Sungguh buruk perkataanmu itu! Demi Allah kalau begitu kita akan diburu-buru orang banyak.”

Kemudian Ibnu Sauda’ -semoga Allah memburukkannya- berkata, “Wahai kaum, tidak ada kemenangan bagi kalian kecuali berbaur dengan orang-orang. Jika mereka bertemu maka nyalakanlah api peperangan di antara mereka. Jangan biarkan mereka berdamai! Orang-orang yang bersama kamu tidak punya pilihan lain kecuali mempertahankan diri. Sementara Thalhah, az-Zubair dan orang-orang yang bersamanya sibuk menuntut apa yang me­reka kehendaki! Mereka akan menemukan apa yang tidak mereka sukai!”

Merekapun sepakat dengan ide tersebut lalu membubarkan diri, sementara orang-orang tidak mengetahui ide busuk ini.

Keesokan paginya All berangkat menuju Bashrah dan bertemu dengan pasukan Bani Abdil Qais lalu bergabung bersama beliau hingga sampai di az-Zawiyah. Dari tempat itu mereka bergerak menuju Bashrah. Di lain pihak, Thalhah dan az-Zubair beserta para pendukungnya bergerak untuk menyambut Ali. Lalu mereka berkumpul di istana Ubaidullah bin Ziyad.( Maksudnya adalah di tempat yang kemudian dibangun di situ istana Ibnu Ziyad pada masa pemerintahannya di Bashrah pada masa kekhallfahan al-Umawi).

Kedua belah pihak mengambil posisi masing-masing. Pasukan Ali lebih dahulu mengambil tempat, mereka berangsur-angsur tiba. Mereka bermukim di tempat itu tiga hari. Kedua belah pihak berganti-gantian mengirim utusan. Peristiwa ini terjadi pada pertengahan bulan Jumadil Akhir tahun 36 H.

Sebagian orang mengusulkan kepada Thalhah dan az-Zubair agar memanfaatkan kesempatan tersebut untuk meringkus para pembunuh Utsman. Mereka berdua berkata, “Sesungguhnya Ali telah mengisyaratkan agar menenangkan persoalan ini. Kami telah mengirim utusan kepadanya untuk mengadakan perdamaian.”

Ali berkhutbah di hadapan manusia, lalu al-A’war bin Bunan al-Minqari bangkit dan bertanya tentang keinginannya terhadap penduduk Bashrah. Ali berkata, “Berdamai, memadamkan api fitnah, menyatukan manusia di atas kebaikan dan merapikan kembali barisan umat ini.”

la berkata, “Jika mereka tidak menerima ajakan tersebut?”

Ali menjawab, “Kita biarkan mereka selagi mereka membiarkan kita.”

“Jika mereka tidak membiarkan kita?” tanyanya lagi.

“Kita mempertahankan diri dari serangan mereka” jawab Ali.

“Apakah mereka punya hak dalam urusan ini sebagaimana hak yang kita miliki?” tanyanya lagi.

“Ya!” Jawab Ali singkat.

Lalu bangkitlah Abu Salamah ad-Dalam dan berkata, “Apakah tuntutan mereka terhadap darah Utsman punya alasan jika mereka menghendaki keridhaan Allah dalam perkara ini?”

“Ya ada!” jawab Ali.

“Apakah anda punya alasan menunda tuntutan tersebut?” tanyanya lagi.

“Ya ada!” jawab Ali pula.

Abu Salamah lantas berkata, “Lalu bagaimana keadaan kita dan keadaan mereka bila kita bertempur besok?”

Ali menjawab, “Aku berharap tidak satu pun korban yang jatuh dari pihak kita ataupun dari pihak mereka yang hatinya bersih karena Allah melainkan Allah memasukkannya ke dalam Surga.”

Ali berkata dalam khutbahnya, “Wahai sekalian manusia, tahanlah tangan dan lisan kalian terhadap mereka! Jangan sekali-kali kalian bertindak mendahului kami! Sesungguhnya orang yang tergugat besok (Yakni pada hari akhirat) adalah yang tergugat pada hari ini.”

Lalu al-Ahnaf bin Qais datang bersama rombongannya dan bergabung bersama Ali. Sebelumnya ia telah berbai’at kepada Ali di Madinah. Ceritanya, ketika ia tiba di Madinah saat itu Utsman dalam keadaan terkepung. la bertanya kepada ‘Aisyah, Thalhah dan az-Zubair, “Jika Utsman terbunuh, siapakah yang akan kubaiat?” Mereka berkata, “Berbai’atlah kepada Ali!”

Al-Ahnaf berkata, “Kemudian aku kembali kepada kaumku lalu sampailah berita yang lebih mengerikan dari yang kukira. Sampai-sampai orang berkata, ‘Aisyah datang untuk menuntut darah Utsman!’ Akupun bingung, siapakah yang haru kuikuti? Lalu Allah menunjukiku melalui hadits yang aku dengar dari Abu Bakrah (Dalam naskah asli tertulis “Abu Bakar”, koreksi ini kami ambil dari kitab Shahih al-Bukhari, 8/92 Kitabul Fitan Bab: Jika dua pasukan muslim saling berhadapan dengan pedang mereka.), ia berkata, ‘Ketika sampai berita kepada Rasulullah sas bahwa bangsa Persia mengangkat puteri Kisra sebagai raja mereka beliau bersabda, ‘Tidak akan beruntung kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita’.” Hadits ini asalnya terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari (Silahkan lihat Shahih al-Bukhari bersama syarahnya Fathul Bari, 3/53).

Maksudnya, saat al-Ahnaf bergabung bersama Ali bersama enam ribu pasukan artileri ia berkata kepada Ali, “Jika engkau mau aku akan berperang bersamamu, dan jika engkau mau aku akan melindungimu dari sepuluh ribu pedang!”

Ali berkata, “Lindungilah kami dari sepuluh ribu pedang!”

Kemudian Ali mengirim utusan kepada Thalhah dan az-Zubair untuk menyampaikan, “Jika kalian sepakat menerima apa yang telah disampaikan oleh al-Qa’qa’ bin Amru, maka tahanlah hingga kami datang untuk mempelajari masalah ini.”

Kemudian Thalhah dan az-Zubair mengirim jawaban tertulis, “Kami sepakat atas perdamaian yang disampaikan oleh al-Qa’qa’.”

Orang-orang pun merasa tenang jiwanya dan lega. Tiap-tiap orang bergabung bersama pasukannya. Keesokan sore Ali mengutus Abdullah bin Abbas kepada mereka. Lalu mereka mengirim Muhammad bin Thalhah as-Sajjad. Malam itu kedua pihak bermalam dalam keadaan baik-baik.

Akan tetapi para pembunuh Utsman melalui malam itu dengan seburuk-buruk keadaan. Mereka berunding dan sepakat untuk mengobarkan peperangan pada pagi buta esok hari. Mereka bangun sebelum terbit fajar, jumlah mereka sekitar dua ribu orang.

Masing-masing kelompok bergabung bersama pasukannya lalu menyerang mereka dengan pedang. Setiap golongan bergegas menuju kaumnya untuk melindungi mereka. Orang-orang bangun dari tidurnya dan langsung mengambil senjata. Mereka berkata, “Penduduk Kufah menyerbu kami pada malam hari, mereka mengkhianati kita!”

Mereka mengira bahwa para penyerang itu berasal dari pasukan Ali. Sampailah keributan itu kepada Ali, beliau berkata, “Ada apa gerangan de­ngan mereka?”

Mereka menjawab, “Penduduk Bashrah menyerbu kami!”

Maka kedua belah pihak mengambil senjata masing-masing, mengenakan baju perang dan mengendarai kuda-kuda. Tidak ada seorang pun yang menyadari apa sebenarnya yang telah terjadi (Pernyatan tersebut menunjukkan bahwa pecahnya pertempuran antara kedua pasukan bukan atas keinginan masing-masing, namun merupakan hasil provokasi dan konspirasi pengikut Saba’iyah dan orang-orang sesat. Sejumlah ulama telah menegaskan hal tersebut, di antaranya; AI-Baqilani dalam at-Tamhid, halaman 233, al-Qadhi Abdul Jabar dalam Tatsbit Dala’il an-Nubuwwah, 1/299, Imamul Haramain dalam al-Ghiyatsi, halaman 114, al-Qadhl Abu Bakarlbnul Arabi dalam al-Awashim minal Qawashim halaman 156, Ibnu Hazm dalam al-Flshalwal Milal, 4/157, pensyarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, halaman 546, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Minhajus Sunnah, 4/460, “Kemudian para pembunuh Utsman mencium kesepakatan para pembesar sahabat maka merekapun menyalakan api fitnah. Mereka menyerang pasukan Thalhah dan az-Zubair lalu mereka berkata kepada Ali, “Sesungguhnya merekalah (pasukan Thalhah dan az-Zubair) yang lebih dulu menyerang.” Maka kedua belah pihak terlibat dalam pertempuran untuk mempertahankan diri. Balk Ali maupun Thalhah dan az-Zubair sama sekali tidak punya niat untuk bertempur. Sesungguhnya keburukan Itu berasal dari para pembunuh Utsman.), itulah ketetapan Allah yang berlaku!

Terjadinya Insiden

Insiden pun tidak dapat dielakkan, pasukan kuda saling berhadapan, para pejuang saling menyerang. Api pertempuran semakin memuncak. Kedua pasukan saling berhadapan, pasukan Ali berjumlah dua puluh ribu personil dan di sekeliling ‘Aisyah dan orang-orang yang bersamanya berkumpul tiga puluh ribu orang. Sementara Saba’iyah pengikut lbnu Sauda’ -semoga Allah memburukkannya- tidak henti-hentinya mengobarkan api peperangan.

Penyeru yang ditugaskan Ali terus berseru, “Hentikan! Hentikan!” Namun sayang tidak ada seorang pun yang mendengarkannya.

Datanglah Ka’ab bin Suur Qadhi Bashrah dan berkata, “Wahai Ummul Mukminin, temuilah orang-orang, barangkali Allah mendamaikan mereka melalui dirimu!”

Maka ‘Aisyah duduk di atas sedekupnya di atas unta dan mereka me­lindungi sekedup tersebut dengan pelindung. Aisyah pun maju dan berhenti di tempat yang mana ia dapat leluasa melihat pasukan yang tengah bertempur. Mereka saling terlibat baku hantam dan saling menyerang. Syiar mereka pada hari itu adalah tidak boleh menghabisi orang yang terluka dan tidak boleh mengejar orang yang lari.( Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Mushanafnya, 15/263 dengan sanadnya dari Abdu Khair dari Ali bahwa ia berkata pada peperangan Jamal, “Jangan mengejar orang yang lari dan jangan membunuh orang yang terluka. Barangsiapa meletakkan senjatannya maka ia aman.” Silahkan lihat jalur lainnya dalam kitab yang sama, 15/267, dan 15/282.)

Walaupun demikian banyak sekali korban yang jatuh. Hingga Ali ber­kata kepada puteranya, al-Hasan, “Wahai puteraku, alangkah baik sekiranya ayahmu mati dua puluh tahun sebelum hari ini!” (Silahkan lihat kitab al-Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah, 15/282 dan 288.)

Al-Hasan berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, bukankah aku telah melarangmu dari hal ini?”

Sa’id bin Abi Arubah meriwayatkan dari Qatadah dari al-Hasan dari Qais bin ‘Ubad ia berkata, “Ali berkata pada peperangan Jamal, ‘Wahai Hasan, alangkah baik sekiranya ayahmu mati dua puluh tahun sebelum hari ini’.”

Al-Hasan berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, bukankah aku telah melarangmu dari hal ini?”

Ali berkata, “Wahai anakku, aku tidak menyangka persoalannya sampai seperti ini!”

Mubarak bin Fudhalah meriwayatkan dari al-Hasan dari Abu Bakrah, ia bercerita, “Ketika perang Jamal semakin memuncak dan Ali melihat kepala-kepala berjatuhan, Ali memeluk puteranya, al-Hasan, ke dadanya kemudian berkata, “Inna lillah, wahai Hasan! Kebaikan apa yang diharapkan setelah hari ini?!”

Al-Hafizh Abu Ya’la al-Mushili berkata, “Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim ad-Dauraqi, ia berkata, Abu ‘Ashim menceritakan kepada kami dari Abdullah bin Muhammad bin Abdul Malik bin Muslim Ar-Raqasyi dari kakeknya, Abdul Malik, dari Abi Jarwi al-Mazini, ia berkata, ‘Aku menyaksikan Ali dan az-Zubair ketika keduanya bersepakat -yakni pada insiden Jamal- Ali berkata kepada az-Zubair, ‘Demi Allah aku bertanya kepadamu, bukankah engkau mendengar Rasulullah sas bersabda:

‘Engkau akan memerangiku (yakni Ali)-sedang engkau berada di pihak yang dhalim?’

Az-Zubair berkata, ‘Benar! Aku baru ingat pada saat ini!’ Kemudian ia berpaling.

Al-Baihaqi (Dala’il an-Nubuwwah, 4/415, al-Uqaili berkata, “Sanad-sanad dalam kisah ini sangat lemah.” Silahkan lihat adh-Dhu’afa al-Kablr, 2/300.) meriwayatkan dari al-Hakim dari jalur Abdullah bin Muhammad bin Abdul Malik bin Muslim ar-Raqqasyi dari kakeknya dari Abu Jarwi al-Mazini dari Alt dan az-Zubair. Lalu az-Zubair kembali dengan mengendarai tunggangannya sambil membelah barisan pasukan.

Puteranya, yakni Abdullah bin az-Zubair menahannya dan bertanya, “Ada apa gerangan denganmu?”

Az-Zubair berkata, “Ali mengingatkan aku satu hadits yang aku dengar dari Rasulullah sas, aku mendengar beliau bersabda:

“Engkau akan memeranginya (yakni Ali) sedang engkau dhalim terhadapnya.”

Abdullah bin az-Zubair berkata, “Apakah engkau datang untuk berperang? Bukankah engkau datang untuk mendamaikan di antara manusia dan agar Allah memperbaiki keadaan mereka melalui dirimu?!”

Az-Zubair berkata, “Aku telah bersumpah untuk tidak memeranginya!”

Abdullah bin az-Zubair berkata, “Merdekakan saja budakmu bernama Sarjas dan majulah untuk mendamaikan mereka!”

Maka az-Zubair pun membebaskan budaknya bernama Sarjas dan maju ke depan. Ketika orang-orang saling berselisih dalam persoalan ini beliau pergi menunggang kudanya. Ada yang mengatakan bahwa beliau pergi meninggalkan medan perang karena melihat Ammar bin Yasir bersama Ali, dan beliau telah mendengar Rasulullah sas berkata kepada Ammar:

“Engkau akan dibunuh oleh kelompok pembangkang.” (Hadits ini mutawatir, demikian ditegaskan oleh Ibnu Abdil Bar dalam kitab al-Istl’ab, 3/1140, silahkan lihat Nazhmul Mutanatsir minal Hadits al-Mutawatir karangan Ja’far al-Hasani al-Kattani halaman 126 hadits nomor 237. Silahkan lihat Shahih al-Bukhari, 1/541, Fathul Bari, dan Shahih Muslim, nomor 2915 dan 2916.)

Beliau khawatir Ammar terbunuh pada peperangan itu.

Ibnu Katsir berkata, “Menurutku, hadits yang kami bawakan tersebut kalau shahih dari az-Zubair maka tidak ada yang membuatnya meninggalkan medan pertempuran selain hal tersebut.( Hadits tersebut dalam sanadnya terdapat pembicaraan, Abdul Malik bin Muslim ar-Raqqasyi telah dikomentari oleh al-Bukhari, “Haditsnya tidak shahih!” Silahkan lihat Tahdzib al-Kamal, 2/863 dan Ibnu Hajar berkata dalam kitab Taqrib, 1/523, “Layyinul hadits“)

Sangat mustahil beliau membatalkan sumpahnya dengan kafarat kemudian kembali ke medan perang melawan Ali, wallahu a’lam.

Terbunuhnya Az-Zubair Dan Thalhah

Ketika az-Zubair meninggalkan medan pertempuran pada insiden Jamal dan singgah di salah satu oase bernama As-Siba’, ia diikuti oleh seorang lelaki bernama Amru bin Jarmuz. la menyergap az-Zubair tatkala se­dang tidur lalu membunuhnya. Adapun Thalhah, pada saat pertempuran berlangsung ia terkena panah tak bertuan yang tidak diketahui dari mana asalnya mengenai kakinya hingga tembus sampai mengenai kudanya. Kuda itu lari tiada terkendali, Thalhah berteriak, “Hai hamba Allah tolonglah aku, hai hamba Allah tolonglah aku!” Salah seorang budaknya mengejar kuda tersebut dan menangkapnya. Thalhah berkata kepadanya, “Cepat bawa aku ke rumah!” Sementara khuffnya (sejenis sepatu dari kulit) penuh darah. la berkata kepada budaknya, “Naiklah di belakangku!” Hal itu karena darah terus mengalir dan kondisinya sudah lemah! Budak itu membonceng di belakangnya lalu membawanya ke sebuah rumah di Bashrah lalu beliau wafat di sana (Penulis berkata, “Ada yang mengatakan bahwa yang memanah Thalhah adalah Marwan bin al-Hakam. Dalam catatan biografi Thalhah disebutkan bahwa yang memanahnya bukan Marwan, tapi orang lain. Menurutku ini yang lebih mendekati kebenaran, walaupun pendapat pertama di atas sangat populer.” Saya katakan, Ada tiga riwayat dalam Tarikh Khalifah halaman 185 menegaskan bahwa yang memanah beliau adalah Marwan bin al-Hakam, akan tetapi semuanya mursal. Seperti riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf, 15/259, ia berkata, “Abu Usamah telah menceritakan kepadaku, ia berkata, Ismail bin Abi Khalid telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Qais telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, ‘Marwan memanah Thalhah pada insiden Jamal….”, Sanadnya shahih dan perawinya tsiqah, wallahu a’lam).

Ada yang mengatakan bahwa beliau gugur di medan perang. Ali menghampiri jenazah beliau dan sangat terpukul menyaksikannya.( Silahkan lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 15/269 dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, 3/372.)

Situasi Insiden Jamal

‘Aisyah maju ke depan di atas sedekupnya. la memberi Mushaf kepada Ka’ab bin Sur Qadhi Bashrah dan berkata, “Ajaklah mereka kepada Kitabullah!” Ka’ab bin Sur pun maju ke depan dengan membawa Mushaf dan mengajak mereka kepadanya. la disambut oleh bagian depan pasukan Kufah.

Pada saat yang bersamaan Abdullah bin Saba’ dan para pengikutnya berada di depan pasukan membunuh siapa saja dari pasukan Bashrah yang dapat mereka bunuh. Mereka tidak membiarkan seorang pun. Ketika mereka melihat Ka’ab bin Sur mengangkat mushaf mereka menghujaninya dengan anak panah hingga tewas.( Tarikh Khalifah halaman 185 dan Thabaqat Ibnu Sa’ad, 7/92). Kemudian anak panah mulai menghujani sekedup ‘Aisyah Ummul Mukminin, ‘Aisyah berteriak, “Allah! Allah! Ya bunayya, ingatlah Hari Hisab!”

la mengangkat tangannya dan melaknat para pembunuh Utsman. Orang-orang pun bergemuruh bersamanya dalam doa, hingga gemuruh tersebut sampai telinga Ali ia berkata, “Suara apa itu?”

Mereka berkata, “Ummul Mukminin melaknat para pembunuh Utsman dan pendukungnya!”

Ali berkata, “Ya Allah laknatlah para pembunuh Utsman!” (Silahkan lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 15/268 dan 277.)

Mereka terus menghujani sekedup ‘Aisyahi dengan anak panah sehingga bentuk sekedup itu tak ubahnya seperti seekor landak (yakni anak panah yang menancap padanya seperti duri-duri pada tubuh landak).

‘Aisyah terus memotivasi pasukan untuk mempertahankan diri dan menghentikan serangan mereka. Mereka terus mendesak hingga medan pertempuran sampai ke tempat Ali bin Abi Thalib berada. Ali berkata kepada puteranya, Muhammad bin al-Hanafiyah, “Cepat maju dengan membawa panji ini!” Namun Muhammad bin al-Hanafiyah tidak sanggup. Maka Ali mengambil panji itu dengan tangannya lalu maju ke depan.

Pertempuran semakin seru, kadang kala pasukan Bashrah di atas angin dan kadang kala pula pasukan Kufah berada di atas angin. Banyak sekali pasukan yang gugur. Belum pernah ditemukan pertempuran yang banyak menimbulkan korban yang putus tangan dan kakinya selain dalam insiden ini.

‘Aisyah terus mendorong pasukannya untuk mengejar para pembunuh Utsman.

Prajurit-prajurit yang bertempur mendekati unta (yakni unta yang membawa ‘Aisyah), mereka berkata, “Peperangan ini akan terus berlanjut selagi unta ini masih tegak di sini!” Tali kekang unta pada saat itu ada di tangan Umairah bin Yatsribi, ia termasuk salah seorang jagoan yang kesohor. la tetap mempertahankan tali kekang unta itu hingga tewas terbunuh.

Prajurit yang pemberani dan gagah berani mengkhawatirkan keselamatan ‘Aisyah. Saat itu panji dan tali kekang unta hanya dipegang oleh jagoan-jagoan gagah berani yang terkenal keberaniannya. la membunuh siapa saja yang mendekat ke unta lalu akhirnya terbunuh. Pada saat itu sebagian dari mereka mencederai salah satu mata Adi bin Hatim.

Abdullah bin az-Zubair menderita luka sebanyak tiga puluh tujuh Iiang pada insiden Jamal ini (Disebutkan dalam catatan biografi Abdullah bin az-Zubair dalam kitab Tarikh Dimasyq halaman 427 bahwa beliau dipapah dengan luka-luka sebanyak empat puluh liang dan tebasan pedang. Dr. Dhiya’ Akram al-Umari mengatakan dalam buku ‘Ashr Khilafah Rasyidah halaman 411, “Sanadnya shahih.”). Marwan bin al-Hakam juga terluka. Kemudian seorang lelaki menebas kaki unta lalu membunuhnya, akhirnya unta itu roboh di atas tanah. Ada yang mengatakan bahwa yang mengisyaratkan agar membunuh unta itu adalah Ali bin Abi Thalib. Ada yang mengatakan al-Qa’qa’ bin Amru. Tujuannya agar Ummul Mukminin tidak terkena lemparan panah, karena saat itu ia menjadi sasaran tembak oleh para pemanah. Dan agar ia dapat keluar dari medan pertempuran yang telah menelan korban sangat banyak.

Ketika unta tersebut roboh ke tanah, orang-orang yang berada di dekatnya mundur. Lalu sekedup Aisyah dibawa, bentuknya sudah seperti duri-duri landak karena saking banyak anak panah yang menancap padanya.

Salah seorang penyeru ditugaskan Ali untuk mengumumkan, “Jangan kejar orang yang melarikan diri, jangan dibantai orang yang terluka dan jangan masuk ke dalam rumah-rumah.” (Silahkan lihat kitab al-Mushannaf karanqan Ibnu Abi Syaibah, 15/267, 273.)

Kemudian Ali memerintahkan beberapa orang agar membawa sekedup tersebut keluar dari tumpukan korban-korban yang bergelimpangan. Ali memerintahkan Muhammad bin Abi Bakar dan Ammar supaya mendirikan kemah untuk ‘Aisyah. Lalu saudara lelakinya, yakni Muhammad bin Abi Bakar datang menemuinya dan bertanya kepadanya, “Adakah engkau menderita luka?”

‘Aisyah menjawab, “Tidak! Ada apa gerangan dengan dirimu hai Ibnul Khats’amiyyah?”

Kemudian Amar mengucapkan salam kepada ‘Aisyah. Ammar bertanya, “Bagaimana keadaanmu hai ibunda?”

‘Aisyah berkata, “Aku bukan ibumu!”

Ammar menjawab, “Engkau tetap sebagai ibundaku meskipun engkau tidak suka!” (Sebagaimana dimaklumi bahwa dalam keadaan marah kadang-kadang seseorang mengucapkan perkataan yang tidak dikatakannya setelah marahnya reda. Jika muncul perkataan seperti ini dari Ummul Mukminin maka inilah penjelasannya.)

Lalu Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib datang menemui ‘Aisyah seraya mengucapkan salarn kepadanya, Ali berkata, “Bagaimana kabarmu wahai Ummi?”

“Baik!” jawab ‘Aisyah.

Ali berkata, “Semoga Allah mengampunimu.”

“Dan mengampunimu juga” jawab Aisyah.

Kemudian para amir dan tokoh datang menghampiri Ummul Muk­minin ‘Aisyah dan mengucapkan salam kepadanya.

Pada malam hari Ummul Mukminin Aisyah memasuki kota Bashrah didampingi saudara lelakinya, Muhammad bin Abi Bakar. Mereka singgah di rumah Abdullah bin Khalaf al-Khuza’i, rumah yang paling besar di Bashrah.

Akhir Insiden

Ali bin Abi Thalib bermalam di Bashrah selama tiga hari. Beliau menshalatkan korban yang gugur dari kedua belah pihak. Kemudian beliau mengumpulkan barang-barang yang dirampas dari pasukan ‘Aisyah di markas dan memerintahkan agar dibawa ke Masjid Bashrah. Bagi yang mengenali barangnya ia boleh mengambilnya kembali. Kecuali senjata berlambang khalifah yang terdapat di gudang.

Total korban yang gugur pada insiden Jamal dari kedua belah pihak berjumlah sepuluh ribu jiwa. (Jumlah ini terlalu berlebihan, khususnya apabila kita ketahui motif pertempuran dalam insiden tersebut. Demikian pula arahan dari khalifah agar membiarkan orang yang lari dan tidak membunuh orang yang terluka, demikian pula pendeknya masa pertempuran yaitu mulai setelah Zhuhur sampai terbenam matahari. Khalifah bin Khayyath dalam kitab Tarikhnya, halaman 187-190, mencantumkan nama-nama korban yang gugur pada insiden Jamal. Jumlah korban sekitar seratus orang. Jika kita perkirakan seratus atau dua ratus korban lain tidak tercatat maka secara keseluruhan jumlah korban berkisar tiga ratus orang. Wallahu a’lam. Silahkan lihat juga kitab Khalid al-Ghaits, Istisyhad Utsman wa Mauqi’atuI Jamal, halaman 214-215.) Lima ribu dari pasukan Ali dan lima ribu dari pasukan ‘Aisyah. Semoga Allah merahmati mereka dan meridlai para sahabat yang gugur. Beberapa rekan Ali meminta agar membagi-bagikan harta rampasan yang mereka peroleh dari pasukan Thalhah dan az-Zubair. Namun Ali menolaknya. Sebagian pengikut as-Saba’-iyyah mencela beliau, mereka berkata, “ Bagaimana mungkin engkau halalkan kepada kami darah mereka namun tidak engkau halalkan bagi kami harta-harta mereka?” Sampailah perkataan mereka itu kepada Ali, beliau berkata, “Siapakah diantara kalian yang bersedia Ummul Mukminin masuk ke dalam bagiannya?” (Silahkan lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 15/263.) Maka diamlah mereka mendengar ucapan beliau tersebut.

Ketika Ali memasuki kota Bashrah, beliau membagi-bagikan harta dan Baitul Mal kepada pasukannya. Setiap orang mendapat lima ratus dirham.( Silahkan lihat dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 15/263.)

Ia berkata, “Kalian juga berhak memperoleh bagian sebesar itu dari hadiah-hadiah yang datang dari negeri Syam.”

Para pengikut as-Saba’iyyah memprotes kebijakan Ali ini, mereka mengecam beliau dari belakang.

Sikap Ali Terhadap Penduduk Bashrah

Ali memasuki kota Bashrah pada hari Senin empat belas Jumadil Akhir tahun 36 Hijriyah. Penduduk Bashrah membai’at beliau di bawah panji-panji mereka. Sampai-sampai orang-orang yang terluka dan orang-orang yang meminta perlindungan juga membai’at beliau. Abdurrahman bin Abi Bakrah datang menemui beliau dan berbai’at kepada beliau.

Beliau berkata kepadanya, “Di manakah orang yang sakit?” -yakni ayahnya-.

Abdurrahman menjawab, “la sedang sakit wahai Amirul Mukminin. Sesungguhnya ia ingin sekali bertemu denganmu.”

Ali berkata, “Tuntunlah aku ke tempatnya.”

Ali pun pergi menjenguknya. Abu Bakrah -ayah Abdurrahman- meminta udzur kepada beliau dan beliau menerimanya. Ali menawarkannya jabatan sebagai amir Bashrah, namun ia menolak.

Abu Bakrah berkata, “Angkatlah seorang lelaki dari keluargamu yang dapat membuat tenang penduduk negeri ini.”

Abu Bakrah mengisyaratkan agar mengangkat Abdullah bin Abbas, maka Ali pun mengangkatnya sebagai amir kota Bashrah. Lalu menunjuk Ziyad bin abihi sebagai petugas penarik pajak dan penanggung jawab Baitul Mal. Ali memerintahkan Ibnu Abbas agar mendengar saran-saran Ziyad. Pada insiden Jamal Ziyad mengasingkan diri dan tidak ikut terlibat dalam insiden.

Kemudian Ali mendatangi rumah tempat Ummul Mukminin Aisyah singgah. Ali meminta izin kepadanya lalu masuk sembari mengucapkan salam kepadanya dan Aisyah menyambutnya dengan ucapan selamat.

Seorang lelaki menyampaikan berita kepada Ali, “Wahai Amirul Mukminin, di luar ada dua orang lelaki yang mencaci Aisyah.” Maka Ali memerintahkan al-Qa’qa’ bin Amru agar mencambuk kedua lelaki itu masing-masing seratus kali cambuk.( Tarikh ath-Thabarl, 4/540 dan jalur Saif bin Umar dari guru-gurunya. Jika riwayat ini shahih maka Itu merupakan bentuk hukuman peringatan agar keduanya jera, wallahu a’lam.)

Lalu Aisyah bertanya tentang pasukannya yang terbunuh dan pasukan Ali yang terbunuh. Setiap kali disebutkan nama orang-orang yang terbunuh dari kedua belah pihak ‘Aisyah mendoakan rahmat dan kebaikan untuk me­reka.

Ketika Ummul Mukminin ‘Aisyah hendak meninggalkan kota Bashrah, Ali mengirimkan segala sesuatu yang diperlukan untuknya, mulai dari kendaraan, perbekalan, barang-barang dan lainnya. Dan beliau mengizinkan pasukan ‘Aisyah yang selamat untuk kembali bersamanya atau jika mau mereka boleh tetap tinggal di Bashrah. Beliau mengirim saudara lelaki ‘Aisyah, Muhammad bin Abi Bakar untuk menyertainya.

Pada hari keberangkatan, Ali mendatangi rumah tempat ‘Aisyah menginap. Beliau berdiri di depan pintu bersama orang-orang. Kemudian ‘Aisyah keluar dari rumah dalam sekedupnya. Beliau mengucapkan selamat tinggal kepada rnereka dan mendoakan kebaikan untuk mereka.

‘Aisyah berkata, “Wahai bunayya, janganlah saling mencela di antara kalian. Demi Allah sesungguhnya apa yang telah terjadi antara aku dan Ali hanyalah masalah yang biasa terjadi antara seorang wanita dengan ipar-iparnya. Sesungguhnya, meski aku dahulu mencelanya namun sesungguh­nya ia adalah seorang hamba yang terpilih.”

Ali berkata, “la benar, demi Allah tidak ada masalah yang terjadi antara kami berdua kecuali seperti yang telah disebutkan. Sesungguhnya ia adalah istri nabi kalian di dunia dan di akhirat.”

Kemudian Ali berjalan mengiringinya sampai beberapa mil sembari mengucapkan selamat jalan kepadanya. Peristiwa itu terjadi pada hari Sabtu awal bulan Rajab tahun 36 Hijriyah. ‘Aisyah dan rombongan berangkat menuju Makkah kemudian ia menetap di sana hingga musim haji pada tahun itu juga kemudian ia kembali ke Madinah.

Itulah ringkasan kisah yang disebutkan oleh Abu Ja’far Ibnu Jarir itu (Tarikh ath-Thabari, 4/506-544.) dari para ulama sejarah. (Saya katakan, “Sebagian isi cerita yang disebutkan oleh Ibnu Jarir perlu disaring kembali. Kekeliruan bukan berasal dari beliau namun dari perawi yang beliau nukil riwayat mereka menurut manhaj yang dipilihnya. Dan sebagian persoalan yang disimpulkan oleh penulis perlu diteliti kembali dan sebagian lagi ada yang mungkar. Sebagian darinya telah diperingatkan dan sebagian lainnya beliau cukupkan dengan memberi isyarat tentang kedhaifan sanadnya. Sengaja aku buang dalam kitab ini lafal-lafal dan perkataan-perkataan yang mungkar, walhamdulillah ‘ala taufiqihi.)

Tidak seperti yang disebutkan oleh para pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah) dari kalangan Syi’ah dan lainnya yang menyebarkan hadits-hadits palsu atas nama sahabat, dan kisah-kisah palsu yang mereka nukil tentang masalah ini. Jika mereka diajak kepada kebenaran yang nyata mereka berpaling sembari berkata, “Bagi kalian sejarah kalian dan bagi kami sejarah kami.” Jikalau begitu kami katakan kepada mereka:

“Kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.” (Al-Qashash: 55).

Sumber : http://yakinku.wordpress.com/

No comments:

Post a Comment