Sunday, August 7, 2011

Metode “Wailul Lil Mushallin” kaum Syi’ah dalam menilai Sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam (2)

Metode “Wailul Lil Mushallin” kaum Syi’ah dalam menilai Sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam (2)

Ternyata tulisan Dr. Jalaluddin Rakhmat tentang sahabat menggunakan metodologi “Wailul Lil-Mushallin”. Buktinya bisa dilihat dalam artikel. Inilah metodologi profesor doktor syiah. Mazhab syiah membuat seorang profesor melupakan kaedah ilmiah.

Di akhir artikelnya: Dr. Jalaluddin Rakhmat menulis:

“.. banyak bukti bahwa sahabat ternyata pernah ragu dalam agamanya .. pernah menentang dan membangkang perintah Rasulullah saw .. pernah meninggalkan ibadat dan sebagainya..”

Oleh karenanya, menurut Dr. Jalaluddin Rakhmat, kita harus memilih sahabat yang betul-betul telah lolos uji, dan tidak pernah salah atau menolak perintah Nabi saw..

Dia berkata,

“Untuk Anda ketahui, ada lebih dari 114 ribu sahabat Nabi saw. Di antara mereka ada yang –berdasarkan bukti-bukti- memenuhi karakteristik yang disebutkan oleh Al-Razi. Pilihlah sahabat yang lolos dari batu uji al-Razi. Sahabat yang betul-betul adil. Dari mana kita tahu? Melalui kajian ilmiah yang tekun bersama orang-orang, yang demi kebenaran “la yakhâfûna lawmatan lâim” (Al-Quran 5:54), tidak takut pada kecaman orang-orang yang mengecam.”

Siapakah orang yang dia maksud itu?

Dr. Jalaluddin Rakhmat memberi indikasi bahwa: dia adalah Ali bin Abi Thalib dan syi’ahnya. Dengan berdasarkan hadits Ibn Asakir dari Jabir bin Abdillah. Ia berkata: “Kami sedang bersama Nabi saw, lalu datanglah Ali. Nabi saw berkata: Demi yang diriku ada di tangannya. Sesungguhnya ini dan Syi’ahnya sungguh orang-orang yang berbahagia pada hari kiamat.” Dia juga menyebut riwayat Ibn Adi dan Ibn Asakir dari Ibn Abbas, dan riwayat Ibn Mardawayh dari Ali r.a.

Di sinilah kita dapati ternyata Dr. Jalaluddin Rakhmat menggunakan metodologi “Wailul Lil-Mushallin” dalam membuat kesimpulan seperti itu. Dan tampak tidak melalui kajian ilmiah yang tekun, seperti yang dia anjurkan kepada orang lain .

Penjelasannya sebagai berikut:

Pertama:

Pada masa kehidupan Rasulullah saw., tidak pernah ada kelompok bernama Syi’ah. Jadi bagaimana mungkin Rasulullah saw. menyebut-nyebut Syi’ah di situ. Orang yang berpikir kritis dan mau mengkaji sedikit sejarah akan tahu itu. An Naubakhti (310 H), dalam kitabnya Firaq Syi’ah (hal. 14-15) -yang merupakan salah satu kitab sejarah firqah Syi’ah tertua- mengatakan seperti itu. Bahwa Syi’ah baru timbul setelah wafarnya Rasulullah saw. Dan itupun bentuknya baru berupa kecenderungan beberapa orang yang menganggap Ali bin Abi Thalib (lebih) layak untuk menjadi Khalifah.

Sedangkan kelompok Syi’ah yang mulai melakukan pencercaan terhadap Abu Bakar, Umar dan Utsman adalah kelompok Syi’ah Saba`iyyah, yang dimotori oleh Abdullah bin Saba`. Oleh Ali bin Abi Thalib, orang ini pernah diasingkan ke Madain. Namun ketika Ali bin Abi Thalib meninggal, ia kembali beraksi. Lihat: Firaq Syi’ah, an Naubakhti, hal. 32

Kedua:

Hadits yang dijadikan hujjah tersebut ternyata hadits maudhu’ (palsu). Dr. Jalaluddin Rakhmat dengan semena-mena menolak seluruh ayat Al Qur`an yang berisi pujian kepada para sahabat. Dan sebagai gantinya dia menghadirkan hadits palsu yang dikutip dari tafsir Durrul Mantsur karya Jalaluddin as Suyuthi, demi mengangkat nama Ali bin Abi Thalib serta Syi’ah. Kepalsuan hadits tersebut bisa dilihat dalam adh Dhu’afa oleh Ibn Hibban (1/140), dan al Maudhu’at karya Ibnu al Jauzi (1/348-349).

Tindakan seperti ini sebelumnya sudah dilakukan oleh Abdul Husain Syarafuddin al Musawi, yang mengeksploitasi tafsir Durrul Mantsur untuk mendukung pemikiran-pemikiran Imamiyah Ja’fariyahnya dengan mengambil hadits-hadits maudhu’ beraroma Imamiyah Ja’fariyah dari situ. Akhirnya dari hadits-hadits tersebut, lahirlah buku al Muraja’aat, yang berisi dialog imajiner (palsu) dengan Syekh Al Azhar Salim al Bisyri. Buku ini kemudian diterbitkan oleh Haidar Bagir (Mizan) dengan judul Dialog Sunnah- Syi’ah, yang menjadi best seller dan menggemparkan Indonesia.

Ketiga:

Dr. Jalaluddin Rakhmat, karena ketidak tahuannya atau kesengajaannya, tidak menyebut Ali bin Abi Thalib r.a. dalam kasus Hudaibiyah. Padahal Ali bin Abi Thalib r.a. juga menolak perintah Rasulullah saw. saat itu. Keterangannya seperti dipaparkan oleh Imam Muslim dalam kitab Sahihnya dari Bara` bin ‘Azib, bahwa Rasulullah saw. memerintahkan Ali bin Abi Thalib seperti ini:
قَالَ لِعَلِيٍّ : اكْتُبْ الشَّرْطَ بَيْنَنَا بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ هَذَا مَا قَاضَى عَلَيْهِ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ
فَقَالَ لَهُ الْمُشْرِكُونَ: لَوْ نَعْلَمُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ تَابَعْنَاكَ وَلَكِنْ اكْتُبْ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
فَأَمَرَ عَلِيًّا أَنْ يَمْحَاهَا
فَقَالَ عَلِيٌّ لَا وَاللَّهِ لَا أَمْحَاهَا
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرِنِي مَكَانَهَا فَأَرَاهُ مَكَانَهَا فَمَحَاهَا وَكَتَبَ ابْنُ عَبْدِ اللَّهِ – صحيح مسلم

Rasulullah saw. memberi perintah kepada Ali: “Tulislah perjanjian antara kami: Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah perjanjian yang disepakati oleh Muhammad Rasulullah…”

Tiba-tiba orang Musyrik menyela: “Seandainya kami tahu engkau adalah Rasul Allah, niscaya kami akan mengikutimu. Karena itu, cukup tulislah, Muhammad bin Abdillah.”
Maka Rasulullah saw. memerintahkan Ali untuk menghapus tulisan tersebut. Namun Ali Menolak perintah Rasul itu dan berkata: “Demi Allah, saya tidak akan menghapusnya!”.
Mendapati hal itu, Rasulullah saw bersabda: “Tunjukkanlah kepadaku tempat tulisan tersebut.” Maka ia menunjukkan tempat kata tersebut kepada beliau, dan beliau pun menghapusnya sendiri. Untuk kemudian diganti dengan tulisan: ” .. bin Abdillah.” Sahih Muslim. Hadits no 3336.”

Jadi ketika penolakan atas perintah Nabi saw. di Hudaibiyah dijadikan bahan oleh Dr. Jalaluddin Rakhmat untuk mentajrih atau mencacat sahabat, dapat dikatakan tidak ada lagi sahabat yang selamat dari pencacatannya. Karena Ali bin Abi Thalib juga turut menolak perintah Nabi saw. saat itu. Jadi ia ikut dicacat oleh Dr. Jalaluddin Rakhmat.

Dan ketika kita cermati ajakannya ini: “Pilihlah sahabat yang lolos dari batu uji .. Sahabat yang betul-betul adil.”

Yang kita tanya kepadanya: Siapa lagi sahabat yang tersisa untuk kita pilih, dan dipilih untuk apa?

Keempat:

Demikian juga ketika para sahabat tidak segera menjalankan perintah Nabi saw. untuk memotong rambut dan memotong hewan kurban di Hudaibiyah, Dr. Jalaluddin Rakhmat menjadikan hal itu sebagai cacat para sahabat. Padahal saat itu tidak ada seorang pun sahabat yang menjalankan perintah itu. Dan itu berarti Ali bin Abi Thalib juga ikut terlibat di situ. Sehingga Dr. Jalaluddin Rakhmat tanpa ia sadari juga sedang mencacat Ali bin Abi Thalib r.a.

Maka kembali kita bertanya kepadanya: Siapa lagi sahabat yang tersisa untuk kita pilih?



Kelima:

Dr. Jalaluddin Rakhmat tidak mengetahui bahwa keberanian para sahabat untuk bersuara, bertanya, mendebat, dan mengkaji strategi dalam militer dan politik, merupakan satu bagian dari proses pendidikan yang diberikan oleh Rasulullah saw. bagi para sahabatnya. Sehingga para sahabat beliau terlatih untuk merancang strategi politik dan militer sepeninggal Rasulullah saw. Dalam proses tersebut, para sahabat diberikan jaminan akan diberikan maaf dan dimintakan ampunan kepada Allah jika salah berijtihad. Karena mereka memang dalam proses belajar di bawah bimbingan Rasulullah saw. Dan itu sesuai dengan petunjuk Allah swt. yang diberikan dalam Al Qur`an surah Ali Imran 3: 159.

Allah swt. berfirman:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Ali Imran 3: 159)

Maka alih-alih menarik pelajaran dari keterbukaan dan musyawarah Rasulullah saw. dengan para sahabat, Dr. Jalaluddin Rakhmat malah menjadikan keberanian para sahabat untuk mengutarakan pikiran dan aspiranya itu sebagai suatu cacat dalam agama.

Keenam:
Dr. Jalaluddin Rakhmat menutup peristiwa Hudaibiyah dengan kesedihan.
Tapi Al Qur`an justeru menutupnya dengan kebahagiaan. Karena setelah selesai peristiwa tersebut, Allah swt. menurunkan ayat-Nya yang memberi penilaian kepada semua sahabat yang terlibat dalam peristiwa tersebut bahwa mereka lulus dengan istimewa. Dan Allah swt. menilai apa yang mereka lakukan dalam peristiwa tersebut didorong oleh hati yang bersih.

Misalnya Umar didorong oleh semangatnya yang sangat tinggi untuk menegakkan agama Allah membuat dirinya melakukan tindakan yang tampak “menyerempet-nyerempet” bahaya.

Demikian juga Ali bin Abi Thalib, karena ghirahnya kepada status Nabi sebagai Rasul, dan ia tidak mau nama Nabi direndahkan oleh orang musyrik, maka ia pun sempat menolak perintah Nabi saw. Demikian juga sahabat yang semula tampak tak segera menuruti perintah Nabi untuk bercukur dan menyembelih hewan, itu mereka lakukan karena mereka menunggu kemungkinan ada perintah lain yang lebih mengangkat nama Islam dalam peristiwa itu.

Karena itu, Allah swt. memberikan penilaian istimewa kepada semua peserta Hudaibiyah dengan ayat-Nya yang diturunkan saat Nabi saw. dan para sahabat dalam perjalanan pulang ke Madinah:

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). Serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” ( al Fath 48 : 18-19)

Perhatikanlah ayat tersebut. Tidak saja Allah swt. memberi penilaian istimewa kepada mereka, namun Dia juga menjanjikan kemenangan yang dekat bagi mereka, dan harta pampasan perang yang banyak. Dan menurut para penafsir, itu adalah kemenangan perang Khaibar. Sehingga kebahagiaan mereka menjadi berlipat-lipat.

Kebahagiaan mereka makin melimpah, ketika dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dikatakan bahwa semua peserta Hudaibiyah itu insya Allah tidak akan masuk neraka. Artinya semuanya masuk surga.

في صحيح مسلم أن أم بشر سمعت النبي صلى الله عليه وآله وسلم يقول: (لايدخل النار -إن شاء الله- من أصحاب الشجرة أحد الذين بايعوا تحتها). صحيح مسلم حديث رقم 3567

Dalam Sahih Muslim diriwayatkan bahwa Ummu Basyar pernah mendengar Nabi saw bersabda: ” Insya Allah, tidak ada seorangpun yang masuk neraka, dari mereka yang ikut berbai’at di bawah pohon itu.” Hadits riwayat Muslim, no. 3567

Ketujuh:

Benarkah ada pahlawan perang Badar dan Uhud yang tidak membayar zakat?

Dr. Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa ayat dari surah Al-Taubah 9: 75-77 adalah berkenaan dengan salah seorang pahlawan perang Badar dan Uhud. Yaitu ayat berikut:

وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللَّهَ لَئِنْ آتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ فَلَمَّا آتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِي قُلُوبِهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ بِمَا أَخْلَفُوا اللَّهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ –التوبة 75-77

Dan Dr. Jalaluddin Rakhmat kembali menambahkan bahwa “para mufasirin sepakat ayat ini turun berkaitan dengan Tsa’labah bin Khathib.”

Saya katakan: Tentang orang yang dimaksud dalam ayat tersebut, ada banyak pendapat.

Ibnu Hajar al ‘Asqallani mengatakan dalam Fathul Bari (5/35) bahwa benar ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Tsa’labah bin Hathib al Anshari. Tapi dia bukan pahlawan perang Badar dan Uhud. Dan benar Ibn Ishaq menyebut nama Tsa’labah bin Hathib diantara nama para pahlawan perang Badar, tapi menurutnya orang yang disebut itu bukan Tsa’labah yang disinggung dalam ayat tersebut. Karena Tsa’labah yang pahlawan perang Badar itu sudah syahid saat perang Uhud. Sedangkan Tsa’labah yang disinggung dalam ayat tersebut hidup hingga masa kekhalifahan Utsman bin Affan r.a..

Pendapat ini diamini oleh pengarang tafsir Ruuh al Ma’aani yaitu al Alusi: dia berkata ketika menafsirkan surah at Taubah 9: 75-77, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Tsa’lab bin Hathib yang dikenal dengan Ibnu Abi Hathib. Dan dia bukan seorang pahlawan perang Badar. Karena pahlawan perang Badar itu sudah syahid saat perang Uhud.

Sementara ath Thabari dalam tafsirnya, juga Ibnu Katsir, Jalaluddin as Suyuthi, Ibnu ‘Ajibah, dan Ibnu Athiyyah dalam tafsir mereka masing-masing, mereka hanya mengatakan bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Tsa’labah bin Hathib. Dan mereka tidak menyinggung jika orang itu pahlawan perang Badar dan Uhud atau bukan.

Jadi yang secara pasti mengatakan secara jelas bahwa Tsa’labah bin Hathib yang disinggung dalam ayat tersebut seorang pahlawan perang Badar dan Uhud adalah Ibn Abdil Barr dalam al Isti’abnya.

Seandainya benar ia adalah pahlawan perang Badar dan Uhud, maka dalam pengungkapan kasusnya itu justru menjadi bukti bagi kita bahwa dalam hal-hal yang jelas untuk membongkar kesalahan seseorang yang benar-benar salah menurut Allah dan Rasul-Nya, maka Al Qur`an tidak secara malu-malu menyebutnya. Dan perlakuan yang kemudian diberlakukan baginya oleh Rasulullah saw. adalah dengan mengucilkannya atau tidak melihatnya lagi sebagai bagian dari kaum Muslimin, atau setidaknya sebagai orang munafik. Perlakuan ini pula yang kemudian dilanjutkan oleh Abu Bakar ash Shiddiq r.a. dan sahabat yang lain.

Jadi di sini, dalam melihat sahabat Rasulullah saw. kita harus melihat bagaimana Rasulullah saw. memperlakukan mereka. Jika Rasulullah saw sudah menetapkan suatu tindakan tertentu bagi orang tertentu, menurut sumber yang benar-benar sahih, maka tentu kita harus mengikuti apa yang telah ditetapkan beliau itu. Sementara jika tidak ada celaan atau tindakan tertentu dari Rasulullah saw atas sahabat tertentu, yang kemudian tindakan itu diikuti oleh para sahabat, atau hal itu hanya dikatakan oleh sumber palsu dan tidak terbukti kesahihannya, maka sangat bahaya bagi kita berkata buruk atau berkesimpulan yang tidak baik bagi sahabat yang telah dididik secara langsung oleh Nabi saw.

Ada yang bertanya, mengapa Tsa’labah tidak diperangi sebagaimana suku-suku yang menolak membayar zakat diperangi oleh Abu Bakar ash Shiddiq r.a, Umar r.a. dan Ali r.a.? Jawabnya: karena dalam Al Qur`an dia diindikasikan sebagai munafik, bukan sebagai orang kafir. Hal itu bisa dipahami dengan melihat kenyataan Tsa’labah bin Khathib datang kepada Rasulullah saw. untuk membayar zakat, dan perbuatannya itu secara lahir menunjukkan bahwa dia ingin bertaubat. Namun karena ayat Al Qur`an sudah menetapkan keputusan bagi Tsa’labah, maka Rasulullah saw. tidak bisa mengubah apa yang sudah diputuskan oleh Al Qur`an. Dari sisi ini, bisa dipahami bahwa Tsa’labah statusnya dilihat sebagai munafik. Sebagaimana yang disinggung dalam ayat at Taubah 9: 77.

Perhatikan teks ayat tersebut:

“Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta.” ( at Taubah 9:77)

Sedangkan suku-suku yang murtad dan menolak membayar zakat itu diperangi karena mereka adalah kekuatan politik-militer riil yang menjadi ancaman bagi negara Islam di Madinah. Juga mereka tidak menunjukkan indikasi bertaubat atau mengubah pendirian diri mereka dari menolak membayar zakat. Sehingga penanganan terhadap pribadi munafik tentu berbeda dengan penanganan terhadap kekuatan kafir yang berwujud komunitas politik-militer yang riil.

Seperti itu juga ketika Allah swt. memberi ancaman bagi kemungkinan ada orang yang ingin mempermainkan ayat-ayat Al Qur`an. Di sana dikatakan:

“Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam. Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu. Dan sesungguhnya Al-Qur`an itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. Dan sesungguhnya Kami benar-benar mengetahui bahwa di antara kamu ada orang yang mendustakan(nya). Dan sesungguhnya Al-Qur`an itu benar-benar menjadi penyesalan bagi orang-orang kafir (di akhirat). Dan sesungguhnya Al-Qur`an itu benar-benar kebenaran yang diyakini. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar.” ( al Haaqqah 69: 43-52)

Dari penjelasan ayat-ayat tersebut, jelaslah orang yang bermain-main dengan ayat-Nya akan segera mendapatkan adzab dari Allah swt. Dan karenanya, tidak ada sahabat yang berani bermain-main dalam menyampaikan amanah Al Qur`an ke generasi berikutnya.

Jadi kasus Tsa’labah bin Hathib tidak bisa ditarik menjadi bukti bahwa terjadi gerakan murtad besar-besaran di kalangan sahabat setelah meninggalnya Rasulullah saw.

Sedangkan hadits Haudh yang terkenal itu, menurut ulama, ditujukan bagi suku-suku Arab yang sepeninggal Nabi saw. menyatakan bahwa mereka mempunyai Nabi baru, atau jelas murtad atau menolak membayar zakat, yang berarti juga masuk dalam hukum murtad. Dan mereka itu semuanya kemudian diperangi oleh para sahabat Nabi saw, termasuk oleh Ali bin Abi Thalib r.a. dengan berpedoman pada hadits Haudh tadi.

Sedangkan para sahabat Nabi saw. yang mendapatkan bimbingan langsung dari Nabi saw., yang ketika beliau meninggal mereka itu dalam keadaan diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka dipersaksikan bahwa mereka semua selalu berada dalam jalan yang lurus.

Hal itu seperti persaksian para imam Ahlul Bait tentang diri mereka di bagian awal artikel ini. Terutama yang kita pahami dari wasiat Ali bin Abi Thalib r.a. tentang diri mereka berikut ini yang menepis kemungkinan maksud hadits haudh itu ditujukan kepada para sahabat yang dididik langsung oleh Nabi saw.:

وأوصيكم بأصحاب نبيكم ، لا تسبوهم ، وهم الذين لم يحدثوا بعده حدثا ، ولم يأتوا محدثا ، فإن رسول الله ( صلى الله عليه وآله ) أوصى بهم. ) الأمالي ، الشيخ الطوسي ، ص 522 – 523)

“Aku berwasiat kepada kalian tentang para sahabat Nabi kalian. Jangan cerca mereka. Karena mereka tidak melakukan suatu perubahan apa pun terhadap agama setelah Nabi saw. Mereka juga tidak mendatangkan orang yang melakukan perubahan. Dan Rasulullah saw. juga berwasiat seperti itu tentang mereka.” (al Amaali, karya Syekh ath Thuusi, hal. 522-523)

Kedelapan:

Berakhlaq bersama Rasulullah saw. dan Ahli Baitnya

Dr. Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa sahabat Nabi saw. telah menyakiti Rasulullah saw. sesuai dengan ayat dalam Al Qur`an surah al Ahzab 33: 53 berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ وَاللَّهُ لا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا
Al-Qur’an, 33:53

Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah. ( Al Ahzab 33: 53)

Dan bentuk tindakan sahabat menyakiti Rasulullah saw., menurut Dr. Jalaluddin Rakhmat adalah seperti hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi berikut ini yang ia kutip dari tafsir ad-Durr al Mantsur karya Jalaluddin as Suyuthi, yaitu :

“Al-Baihaqi dalam sunannya dari Ibn Abbas: Salah seorang sahabat Nabi saw berkata: Apakah Muhammad (saw) menghalangi kami untuk menikahi saudara-saudara sepupu kami, sementara ia boleh menikahi mantan istri-istri kami sepeninggal kami. Jika sesuatu terjadi kepadanya, kami akan kawini istri-istrinya sepeninggalnya. Makan turunlah ayat ini. Perkataan ini menyakiti hati Nabi saw (al-Durr al-Mantsur 5:404)”

Kita dapati di sini, lagi-lagi Dr. Jalaluddin Rakhmat menggunakan metodologi “Wailul lil Mushallin” dalam berdalil dengan ayat tersebut.

Akibatnya, Dr. Jalaluddin Rakhmat memilih hadits dhaif dalam memahami ayat tersebut, dan meninggalkan hadits sahih.

Sebenarnya, dalam menafsirkan ayat tersebut, Jalaluddin as Suyuthi dalam tafsir ad Durr al Mantsur banyak memaparkan hadits sahih di awal pemaparan ayat tadi. Tapi Dr. Jalaluddin Rakhmat justru memilih hadits yang hampir paling akhir disebut oleh Jalaluddin as Suyuthi, yang diriwayatkan oleh al Baihaqi dalam sunannya dari Ibn Abbas.

Hadits itu dhaif/lemah karena hadits riwayat Al Baihaqi dalam sunannya dari Ibnu Abbas r.a. itu dalam sanadnya terdapat:

a. Muhammad bin Humaid ar Razi. Menurut Ibnu Hajar al ‘Asqallani dalam Taqrib at Tahdzib , orang ini “dhaif”.

b. Mihran bin Abi Umar. Menurut al Mizzi dalam Tahdzib al Kamal (28/597) bahwa Al Bukhari mengatakan: “Aku pernah mendengar Ibrahim bin Musa menilai dha’if Mihran ini.” Bukhari juga mengatakan bahwa dalam hadits Mihran terdapat idhthirab. Sedang an Nasaa`i mengatakan bahwa Mihran bukan periwayat yang kuat “laisa bil qawiy”.

Padahal kalau saja Dr. Jalaluddin Rakhmat memilih hadits-hadits di bagian pertama yang dipaparkan oleh Jalaluddin as Suyuthi, niscaya ia akan mendapatkan hadits-hadits sahih.

Mengapa Dr. Jalaluddin Rakhmat menghindar dari hadits sahih dan justru memilih hadits dhaif? Kita perlu meminta penjelasan darinya.

Mari kita lihat 2 hadits pertama yang dipaparkan oleh Jalaluddin as Suyuthi ketika menafsirkan ayat tadi, yang justru dihindari oleh Dr. Jalaluddin Rakhmat.

Jalaluddin as Suyuthi menulis dalam tafsir ad Durr al Mantsur, ketika menafsirkan ayat Al Ahzab 33: 53 tadi, sebagai berikut:

أخرج البخاري وابن جرير وابن مردويه عن أنس رضي الله عنه قال : قال عمر بن الخطاب رضي الله عنه : يا رسول الله يدخل عليك البر والفاجر ، فلو أمرت أمهات المؤمنين بالحجاب ، فأنزل الله آية الحجاب .

“Bukhari, Ibnu Jarir dan Ibn Mardawaih meriwayatkan dengan sanad mereka dari Anas r.a. bahwa ia berkata: Umar bin Khath-thab r.a. berkata: “Rasulullah saw, banyak orang yang bertamu kepadamu, baik orang yang saleh maupun yang bukan, maka mengapa engkau tidak memerintahkan saja para isterimu ummahatul mukminin untuk memasang hijab/tirai. Maka kemudian Allah swt. menurunkan ayat hijab.”

Sedangkan hadits kedua berbunyi sebagai berikut:

وأخرج أحمد وعبد بن حميد والبخاري ومسلم والنسائي وابن جرير وابن المنذر وابن أبي حاتم وابن مردويه والبيهقي في سننه من طرق عن أنس رضي الله عنه قال : « لما تزوج رسول الله صلى الله عليه وسلم زينب بنت جحش رضي الله عنها دعا القوم ، فطعموا ثم جلسوا يتحدثون ، وإذا هو كأنه يتهيأ للقيام فلم يقوموا ، فلما رأى ذلك قام ، فلما قام قام من قام ، وقعد ثلاثة نفر ، فجاء النبي صلى الله عليه وسلم ليدخل ، فإذا القوم جلوس ، ثم إنهم قاموا ، فانطلقت فجئت ، فاخبرت النبي صلى الله عليه وسلم أنهم قد انطلقوا ، فجاء حتى دخل ، فذهبت أدخل ، فألقى الحجاب بيني وبينه ، فأنزل الله تعالى { يا أيها الذين آمنوا لا تدخلوا بيوت النبي . . . } » .

Artinya: “Imam Ahmad, Abd bin Humaid, Bukhari, Muslim, an Nasaa`i, Ibnu Jarir, Ibn Abi Hatim, Ibn Mardawaih, dan Baihaqi dalam sunannya meriwayatkan melalui jalur periwayatan Anas r.a. bahwa ia berkata: “Ketika Rasulullah saw. menikah dengan Zainab binti Jahsy r.a., beliau mengundang orang banyak. Kemudian mereka makan dan duduk sambil berbicara. Dan ketika beliau tampak ingin bangun dari duduknya, para undangan tetap tidak bergerak bangun dari duduknya. Ketika mendapati hal itu, maka beliau bangun berdiri. Dan ketika beliau berdiri, maka para sahabat berdiri. Tapi ada tiga orang yang tetap duduk. Selanjutnya Nabi saw ingin masuk ke kamarnya, tapi ketiga orang tersebut tetap duduk. Selanjutnya ketiga orang itu baru menyadari dan segera bangun dari duduknya. Maka aku (sebagai khadim beliau) memberitahukan Nabi saw bahwa ketiga orang itu telah pergi. Dan Nabi saw. pun masuk, dan aku pun menyusul masuk. Kemudian aku letakkanlah hijab antara diriku dengan dirinya. Dan Allah swt menurunkan ayat ini: “

يا أيها الذين آمنوا لا تدخلوا بيوت النبي . . .

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya)…” (al Ahzab 33: 53)

Lihatlah, betapa jauhnya gambaran yang dibentuk oleh apa yang dipaparkan oleh Dr. Jalaluddin Rakhmat dibandingkan dengan paparan yang ditunjukkan oleh hadits sahih. Inilah pentingnya kita meneliti riwayat-riwayat yang sahih dalam membaca penafsiran Al Qur`an dan sejarah.

Dalam ayat tersebut banyak dijelaskan aturan-aturan hukum baru yang berkenaan dengan berakhlak bersama Rasulullah saw. Seperti bagaimana berakhlak bersama isteri-isteri beliau. Termasuk tidak boleh menikahi isteri-isteri beliau sepeninggal beliau saw. Karena isteri-isteri beliau adalah ibu bagi orang-orang beriman. Sesuai surah (al Ahzab 33: 6)

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. ( Al Ahzab 33: 6)

Aturan-aturan tersebut, bertujuan untuk menjaga kemuliaan Nabi saw. serta isteri-isteri beliau yang merupakan Ahlul Bait beliau.

Lihatlah ayat berikut ini, yang menunjukkan bagaimana Allah swt ingin memuliakan isteri-isteri beliau:

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Al Ahzab 33: 33)

Sedangkan hadits Kisaa`, yang menyebut Ali bin Abi Thalib r.a. bersama Fathimah r.a. dan Hasan r.a. serta Husein r.a., dalam lingkup Ahlul Bait, itu merupakan perluasan dari makna Ahlul Bait dalam ayat tersebut. Dan hadits Kisaa` itu pun diucapkan dalam konteks doa Nabi saw. Karena ayat tersebut pada dasarnya berbicara tentang isteri-isteri Rasul saw.

Perhatikanlah redaksi ayat tersebut dengan saksama, yang berbicara secara khusus tentang isteri-isteri Nabi.

Dan jika tindakan duduk yang terlalu lama di tengah keluarga Nabi saw. dan isteri beliau, dinilai menyakiti Nabi saw., maka bagaimanakah hukumnya orang yang melaknat dan mencerca isteri-isteri beliau?

Silakan ini direnungkan.



Kesembilan:

Etika Berbicara dan Berperilaku bersama Rasulullah saw.

Dr. Jalaluddin Rakhmat kembali menghadirkan ayat yang menurutnya menunjukkan cacat para sahabat, yaitu ayat berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ
إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ
Al-Jumu’ah 49:2-3

Dengan penafsiran ayat tersebut dengan hadits berikut:
“Dari Abi Mulaikah: Ia berkata: hampir-hampir kedua orang baik celaka; yakni, Abu Bakar dan Umar. Mereka mengeraskan suaranya di hadapan Nabi saw ketika datanag rombongan Bani Tamim. Yang satu menunjuk Al-Aqra’ bin Habis; yang lain menunjuk lelaki yang lain –Ia berkata: Nafi’, aku tidak hapal namanya- Berkatalah Abu Bakar kepada Umar, “kamu hanya ingin membantahku. Umar berkata: Aku tidak ingin membantahmu. Maka keraslah suara keduanya di hadapan Rasulullah saw. Allah swt menurunkan ayat ini. Kata Ibn Zubayr: Tidak pernah lagi Umar memperdengarkan suaranya kepada Rasulullh saw setelah turun ayat ini sampai ia memperoleh pengertian. Ia tidak menyebut bapaknya, yakni Abu Bakar” (Shahih al-Bukhari 6:171; Sunan al-Turmudzi 5:387; al-Durr al-Mantsur 7:546; Sunan al-Nasai 8:226 dan lain-lain).

Di sini, kita kembali mendapati Dr. Jalaluddin menggunakan metodologi “wailul lil mushallin” dalam membaca ayat tersebut.

Secara keliru Dr. Jalaluddin Rakhmat menulis bahwa ayat tersebut adalah dari Surah al Jumu’ah (tolong artikel Anda diedit di situ), padahal ia adalah surah al Hujurat 49: 2-3.

Ayat tersebut benar diturunkan berkenaan dengan Abu Bakar r.a. dan Umar bin Khath-thab r.a., seperti diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits. Namun teguran tersebut harus kita letakkan dalam rangkaian diturunkannya aturan-aturan akhlak bagi kaum Muslimin dalam berbicara dan bersikap kepada Rasulullah saw. Karena aturan akhlak seperti ini belum diturunkan sebelumnya.

Oleh karena itu, ayat-ayat di awal surah al Hujurat itu dua kali diawali dengan kata-kata “Hai orang-orang yang beriman…” Dan itu justru menjadi persaksian keimanan bagi orang yang disinggung dalam ayat itu, dan penyempurna akhlaknya. Hal ini berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Dr. Jalaluddin Rakhmat yang menjadikan teguran itu sebagai cacat dalam agama.

Kita perhatikan ayat-ayat tersebut secara lengkap, dan saya tambahkan sekalian ayat pertama, dari surah al Hujurat itu:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.

Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al Hujurat 49: 1-3)

Kita perlu melihat kemudian, bagaimanakah orang yang ditegur itu? Bagaimanakah sikapnya setelah ditegur? Dan bagaimanakah sikap Rasulullah saw. terhadapnya?

Kita dapati dalam riwayat Bukhari sebagai berikut:

قال ابن الزبير: فما كان عمر يسمعُ رسول الله صلى الله عليه وسلم بعد هذه الآية حتى يستفهمه.

Ibnu Zubair berkata: “setelah turunnya ayat ini, maka Umar tidak pernah lagi bersuara dengan intonasi keras kepada Rasulullah saw. sehingga kerap kali ketika Umar berbicara Nabi saw. harus bertanya lagi kepadanya karena tak tertangkapnya suaranya.

Sedangkan tentang Abu Bakar ash Shiddiq r.a., Jalaluddin as Suyuthi dalam ad Durr al Mantsur memaparkan hadits berikut:

وأخرج البزار وابن عدي والحاكم وابن مردويه عن أبي بكر الصديق قال : لما نزلت هذه الآية { يا أيها الذين آمنوا لا ترفعوا أصواتكم فوق صوت النبي } قلت يا رسول الله : والله لا أكلمك إلا كأخي السرار .

“Al Bazzar, Ibnu Adi, al Hakim dan Ibnu Marduwaih dari Abu Bakar ash Shiddiq r.a. ia berkata: “Ketika turun ayat “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi ..”, maka aku segera berkata kepada Rasulullah saw: “Demi Allah, aku tidak akan berbicara kepadamu kecuali dengan berbisik..”.

Seperti itulah para sahabat didikan Rasul ketika mendapatkan pelajaran dari Al Qur`an dan Rasulullah saw.

Pertanyaan bagi kita: Apakah kita sudah meneladani mereka? Dan apakah kita sudah menjadikan sunnah Rasul lebih tinggi dibandingkan suara keinginan ego dan kepentingan kita? Ini tentu menjadi pelajaran sangat berharga bagi umat Islam sampai hari kiamat.

Dan di samping para sahabat mendapatkan pelajaran baru dalam berakhlak dan bersikap kepada Rasulullah saw, teguran itu bagi sebagian mereka ternyata menjadi berkah dan anugerah. Perhatikanlah hadits berikut yang dipaparkan oleh Jalaluddin as Suyuthi dalam ad Durr al Mantsur:

أخرج أحمد والبخاري ومسلم وأبو يعلى والبغوي في معجم الصحابة وابن المنذر والطبراني وابن مردويه والبيهقي في الدلائل عن أنس قال : « لما نزلت { يا أيها الذين آمنوا لا ترفعوا أصواتكم فوق صوت النبي } إلى قوله { وأنتم لا تشعرون } وكان ثابت بن قيس بن شماس رفيع الصوت فقال : أنا الذي كنت أرفع صوتي على رسول الله صلى الله عليه وسلم حبط عملي أنا من أهل النار ، وجلس في بيته حزيناً ففقده رسول الله صلى الله عليه وسلم فانطلق بعض القوم إليه فقالوا له : فقدك رسول الله صلى الله عليه وسلم ما لك؟ قال : أنا الذي أرفع صوتي فوق صوت النبي صلى الله عليه وسلم وأجهر له بالقول ، حبط عملي ، أنا من أهل النار ، فأتوا النبي صلى الله عليه وسلم فأخبروه بذلك فقال : لا بل هو من أهل الجنة ، فلما كان يوم اليمامة قتل » .

“Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Ya’la dan al Baghawi dalam Mu’jam ash Shahabah, Thabrani, Ibnu Marduwaih, dan Baihaqi dalam Dalail, dari Anas ia berkata: Ketika turun ayat: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi .. hingga .. sedangkan kamu tidak menyadari.” Saat itu ada sahabat bernama Tsabit bin Qais bin Syammas yang bersuara lantang. Maka mendengar ayat itu, ia segera berkata: “Aku adalah orang yang sering bersuara lantang kepada Rasulullah, maka binasalah amalku sudah, dan aku menjadi ahli neraka.” Kemudian ia berdiam diri di rumahnya dalam keadaan sedih. Ketidak hadirannya di majlis Rasulullah saw membuat Rasulullah saw menanyakan keberadaannya. Maka beberapa orang sahabat mendatanginya dan mereka berkata kepadanya: “Rasulullah saw mencari-cari dirimu, kemana saja kamu? Apa yang terjadi dengan dirimu?” Maka dia menjawab: “Aku adlah orang yang sering meninggikan suaraku melebihi suara Nabi saw., dan sering bersuara lantang kepada beliau. Karena itu maka binasalah sudah amalku. Dan aku menjadi penghuni neraka.” Setelah mendengar penuturannya itu, maka para sahabat melaporkan hal itu kepada Nabi saw. Dan ketika Rasulullah saw mendengar laporannya beliau bersabda: “Dia bukan penghuni neraka, tapi dia penghuni surga.” Dan saat perang perang Yamamah, Tsabit bin Qais pun syahid.”



Kesepuluh:

Benarkah Sahabat Pernah Lari dari Salat Jum’at?

Saya jawab: Benar!

Surah Al Jum’ah ayat 11 memang menceritakan kejadian larinya beberapa orang sahabat ketika Rasulullah saw. sedang berkhotbah.

Perhatikan ayat tersebut dengan saksama:

“Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki.” ( Al Jumu’ah 62: 11)

Tapi kembali Dr. Jalaluddin Rakhmat lalai ketika menjadikan hal itu sebagai cacat para sahabat.

Mengapa?

Karena Dr. Jalaluddin Rakhmat tidak memperhatikan kapan kejadian tersebut? Jika kita tahu kapan kejadian tersebut maka mafhumlah kita.

Peristiwa tersebut terjadi di tahun-tahun pertama hijrah. Dan saat itu khutbah Jum’ah disampaikan setelah selesai shalat Jum’at. Seperti saat kita menunaikan shalat ‘Eid al Fithri dan ‘Eid al Adh-ha. Demikian juga, para sahabat Nabi ketika itu belum mendapatkan banyak penjelasan tentang tata cara ibadah. Maka ketika shalat Jum’at sudah selesai, dan dilanjutkan dengan khutbah, mereka sangka khutbah Jum’at itu bukan bagian dari ibadah shalat Jum’at. Sehingga ketika ada rombongan pedagang datang atau ada keramaian, mereka pun meninggalkan khutbah yang sedang disampaikan Rasul saw. Karena mereka pikir ibadah shalat Jum’at sudah selesai dan lengkap. Sedangkan khutbah hanya sebagai pelengkap, sehingga bisa ditinggal. Hal itu seperti yang sering dilakukan orang saat ini ketika shalat Eid al Fithri dan Eid al Adh-ha, yaitu mereka meninggalkan khathib yang sedang menyampaikan khutbah selepas ibadah shalat Eid, karena menyangka itu bukan bagian dari shalat Eid.

Maka ayat ini menjadi penjelasan bagi para sahabat tentang status khutbah itu. Bahwa ia adalah bagian dari ibadah shalat Jum’at yang tidak bisa ditinggal. Oleh karena itu kita perhatikan ayat yang berisi teguran tadi datang tidak dengan kata-kata yang keras atau mengecam. Tapi dengan kata-kata yang datar dan informatif.

Keterangan tersebut dapat kita lihat dalam tafsir ad Durr al Mantsur karya Jalaluddin as Suyuthi, ketika menafsirkan surah Al Jumu’ah 62: 11 itu, sebagai berikut:

وأخرج أبو داود في مراسيله عن مقاتل بن حيان قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي الجمعة قبل الخطبة مثل العيدين ، حتى كان يوم الجمعة ، والنبي صلى الله عليه وسلم يخطب ، وقد صلى الجمعة ، فدخل رجل فقال : إن دحية بن خليفة قد قدم بتجارة ، وكان دحية إذا قدم تلقاه أهله بالدفاف ، فخرج الناس ولم يظنوا إلا أنه ليس في ترك الخطبة شيء ، فأنزل الله { وإذا رأوا تجارة أو لهواً انفضوا إليها } فقدم النبي صلى الله عليه وسلم الخطبة يوم الجمعة وأخر الصلاة .

“Abu Daud meriwayatkan dari Muqatil bin Hayyan bahwa ia berkata: Saat itu Rasulullah saw. menunaikan shalat Jum’at dengan cara seperti dua shalat Hari Raya. Hingga kemudian ketika datang hari Jum’at dan Nabi saw. sedang berkhutbah, setelah selesai menunaikan shalat Jum’at, datanglah seseorang yang berkata: bahwa Dihyah bin Khalifah telah datang sambil membawa barang dagangan. Dihyah ini jika datang ke Madinah disambut oleh orang-orang Madinah dengan tabuhan rebana. Mendengar berita tersebut, maka keluarlah jama’ah Jum’at, karena mereka sangka boleh saja meninggalkan masjid dan tidak mendengarkan khutbah. Maka Allah swt. menurunkan ayat: “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya.” ( Al Jumu’ah 62: 11) Setelah turunnya ayat tersebut, maka Nabi saw. mendahulukan Khutbah Jum’ah, dan mengakhirkan shalat Jum’at setelah khutbah.”

Demikianlah, ketika kita tahu penyebab dan latar belakangnya, tidak heranlah kita. Karena hal itu ternyata terjadi sebagai bagian dari proses diturunkannya aturan-aturan Syari’at dalam Islam. Karena aturan-aturan Syari’at Islam memang diturunkan secara gradual atau berangsur-angsur. Tidak seperti saat ini ketika semua aturan Syari’at sudah kita temukan tertulis dalam Al Qur`an, hadits dan kitab-kitab para ulama secara lengkap. Sedangkan pada era Rasulullah saw., aturan-aturan tersebut diturunkan secara berangsur. Dan para sahabatlah yang menjadi orang-orang pertama yang mendengarnya dari Rasul saw. dan menjalankan aturan-aturan Syari’at itu.

Tapi Dr. Jalaluddin Rakhmat, tanpa memperhatikan sejarahnya, langsung menjadikan hal itu sebagai cacat bagi para sahabat.



Kesebelas:

Benarkah para Sahabat Pernah Melarikan Diri dari Medan Pertempuran?

Jawab saya: Benar! Tidak ada seorangpun yang mengingkari hal itu.

Ini sesuai dengan ayat dalam surah Ali Imran 3: 144 berikut ini:

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” ( Ali Imran 3: 144)

Ayat ini benar menceritakan peristiwa perang Uhud dan adanya beberapa orang sahabat yang lari dari medan perang. Detail tentang peristiwa tersebut dapat dibaca di kitab-kitab sirah dengan jelas.

Namun yang jadi masalah, ternyata Dr. Jalaluddin Rakhmat menjadikan hal itu sebagai cacat para sahabat. Dan kesimpulannya itu ternyata berbeda dengan Al Qur`an. Karena Al Qur`an sendiri menyatakan telah mengampuni mereka.

Perhatikan ayat Al Qur`an surah Ali Imran 3: 155 berikut ini yang menjadi lanjutan penjelasan apa yang disinggung dalam Ali Imran 3:144 tadi.

“Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu hanya saja mereka digelincirkan oleh syaitan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” ( Ali Imran 3: 155)

Sedangkan tentang siapa saja yang lari dari medan perang saat itu, kita boleh saja melihat pendapat Ibn Ishaq. Namun riwayat-riwayat Ibn Ishaq yang ditampilkan oleh Dr. Jalaluddin Rakhmat tersebut tidak memiliki validitas seperti hadits sahih. Sehingga tidak bisa dijadikan sandaran hukum. Apalagi untuk mencacat para sahabat. Karena riwayat-riwayat yang dia sampaikan tidak melalui penyaringan yang ketat seperti yang dilakukan oleh para ulama hadits. Lagi pula Al Qur`an dengan jelas telah memberikan maaf dan ampunan kepada para pahlawan perang Uhud. Maka mencoba mencacat para sahabat dengan kejadian perang Uhud tersebut sangat tidak mempunyai landasan sama sekali dan malah bertentangan dengan Al Qur`an.

Perang Uhud sendiri terjadi pada tahun ke 3 hijriyah. Itu berarti para sahabat masih pada fase-fase awal pendidikan mereka di bawah asuhan Rasulullah saw. Dan perang Uhud itu dapat dikatakan sebagai perang besaran-besaran pertama yang dijalani oleh Umat Islam di Madinah. Dengan menghadapi musuh yang mempunyai persiapan sangat matang dan berjumlah beberapa kali lipat dari pasukan Islam.

Ibn Ishaq mengatakan bahwa pasukan Musyrikin terdiri dari 3000 orang pasukan dengan 200 orang pasukan berkuda dan 700 pasukan berperisai. (Sirah ibn Hisyam: 3/8-12)

Sementara di barisan Islam sendiri belum terbangun kekuatan yang solid dengan pasukan terlatih. Sehingga saat perang tersebut, pasukan Islam hanya terdiri dari 1000 orang, dengan 2 orang pasukan berkuda dan 100 orang pasukan berperisai.

Barisan pasukan Islam ini makin lemah ketika di tengah perjalanan sekelompok orang munafiq di bawah pimpinan Abdullah bin Ubay bin Salul mengundurkan diri, membawa 300 orang. Sehingga pasukan Islam tinggal 700 orang saja.

Maka dari itu, wajar saja jika pasukan Islam ketika perang berkecamuk mudah terjebak trik-trik musuh yang terlatih. Apalagi sistem informasi dan komando Rasulullah saw. belum canggih dan terasah. Sehingga dengan mudah tersusupi berita-berita yang mengacaukan konsentrasi dan daya juang pasukan Islam. Diantaranya berita bahwa Rasulullah saw. sudah meninggal saat itu. Oleh karena adanya berita itu, sebagian dari sahabat akhirnya memilih lari dari medan perang. (Ibn Jauzi, Zadul Masir: 1/483)

Karena kenyataan seperti itulah, kita bisa memahami mengapa Al Qur`an memberikan maaf kepada pasukan Islam. Dan tidak melihatnya sebagai cacat para sahabat. Seperti kita temukan dalam surah Ali Imran 3: 155 tadi.

Kejadian ini menjadi pengalaman sangat berharga bagi Rasul saw. dan para sahabat dalam menyiapkan sistem komando, sistem informasi, pemilihan pasukan, strategi formasi barisan dan cara-cara menggembleng diri mereka. Sehingga di perang-perang berikutnya, kaum Muslimin selalu memenangi pertempuran.

Hasil didikan tersebut tampak jelas dalam kematangan diri para sahabat sepeninggal Rasulullah saw. Sehingga pada masa kekhalifahan Umar bin Khath-thab r.a. yang hanya berlangsung sepuluh tahun, kaum muslimin dengan pasukan yang sudah terlatih dan kenyang pengalaman itu mampu mengalahkan dua super power dunia sekaligus: Imperium Romawi di Barat dan Imperium Persia di Timur.

Mari kita simak hikmah, kedalaman ilmu dan pengalaman mereka itu dalam kata-kata Ali bin Abi Thalib r.a. saat memberikan nasihat kepada Khalifah Umar bin Khath-thab r.a. yang berencana memimpin langsung pasukan Islam yang akan berperang dengan pasukan Imperium Persia:

قال علي بن أبي طالب رضي الله عنه:
“إن هذا الأمر لم يكن نصره ولا خذلانه بكثرة ولا قلة. وهو دين الله الذي أظهره، وجنده الذي أعده وأمده، حتى بلغ ما بلغ، وطلع حيث طلع. ونحن على موعود من الله. والله منجز وعده وناصر جنده. ومكان القيم بالأمر مكان النظام من الخرز يجمعه ويضمه . فإن انقطع النظام تفرق وذهب، ثم لم يجتمع بحذافيره أبدا. والعرب اليوم وإن كانوا قليلا فهم كثيرون بالإسلام وعزيزون بالاجتماع , فكن قطبا، واستدر الرحى بالعرب ، وأصلهم دونك نار الحرب ، فإنك أن شخصت من هذه الأرض انتقضت عليك العرب من أطرافها وأقطارها، حت يكون ما تدع وراءك من العورات أهم إليك مما بين يديك . إن الأعاجم إن ينظروا إليك غدا يقولوا هذا أصل العرب فإذا قطعتموه استرحتم ، فيكون ذلك أشد لكلبهم عليك وطمعهم فيك . فَأَمَّا مَا ذَكَرْتَ مِنْ مَسِيرِ اَلْقَوْمِ إِلَى قِتَالِ اَلْمُسْلِمِينَ فَإِنَّ اَللَّهَ سُبْحَانَهُ هُوَ أَكْرَهُ لِمَسِيرِهِمْ مِنْكَ وَ هُوَ أَقْدَرُ عَلَى تَغْيِيرِ مَا يَكْرَهُ وَ أَمَّا مَا ذَكَرْتَ مِنْ عَدَدِهِمْ فَإِنَّا لَمْ نَكُنْ نُقَاتِلُ فِيمَا مَضَى بِالْكَثْرَةِ وَ إِنَّمَا كُنَّا نُقَاتِلُ بِالنَّصْرِ وَ اَلْمَعُونَةِ. نهج البلاغة ج2 ص 29-30

“Ali bin Abi Thalib r.a. memberi nasihat kepada Umar bin Khath-thab r.a.:

“Jihad ini kemenangannya dan kekalahannya bukan ditentukan oleh banyak atau sedikitnya pasukan. Karena Islam adalah agama Allah yang akan Dia menangkan, dan tentaraNya yang akan Dia siapkan dan Dia tolong. Hingga tercapailah apa yang tercapai dan terwuju

No comments:

Post a Comment