Pandangan ‘Aliy bin Abi Thaalib terhadap Peperangannya dengan Mu’aawiyyah radliyallaahu ‘anhumaa
by alfanarku
Abu Al-Jauzaa’ :, 15 Maret 2011
Al-Imaam Ibnu Abi Syaibah rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ أَيُّوبَ الْمَوْصِلِيُّ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ بُرْقَانَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ، قَالَ: سُئِلَ عَلِيٌّ عَنْ قَتْلَى يَوْمِ صِفِّينَ، فَقَالَ: ” قَتْلَانَا وَقَتَلَاهُمْ فِي الْجَنَّةِ، وَيَصِيرُ الْأَمْرُ إِلَيَّ وَإِلَى مُعَاوِيَةَ “
Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Ayyuub Al-Maushiliy, dari Ja’far bin Burqaan, dari Yaziid bin Al-Asham, ia berkata : ‘Aliy pernah ditanya tentang orang-orang yang terbunuh di perang Shiffiin, maka ia berkata : “Orang yang terbunuh dari kami dan dari mereka ada di surga”. Dan perkara tersebut akan ada antara aku dan Mu’aawiyyah [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 15/302].
Keterangan perawi :
1. ‘Umar bin Ayyuub Al-‘Abdiy, Abu Hafsh Al-Maushiliy; adalah seorang yang tsiqah (w. 188 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya.
Ahmad bin Handal berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Dalam riwayat lain ia mengatakan : “Tsiqah”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tsiqah ma’muun”. Abu Daawud berkata : “Tsiqah”. Abu Haatim berkata : “Shaalih”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : “Haditsnya dapat dijadikan i’tibar dari periwayatan perawi tsiqaat darinya, dan riwayatnya yang berasal dari perawi tsiqaat”. Ibnu Syaahiin menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Ad-Daaruquthniy berkata : “Tsiqah”. Ibnu Wadldlah berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq lahu auhaam (jujur namun mempunyai beberapa keraguan)”. Adz-Dzahabiy berkata : “Haafidh lagi tsabat”.
[lihat : Mausu’ah Aqwaal Al-Imaam Ahmad 3/64 no. 1918, Tahdziibul-Kamaal 21/278-281 no. 4204, Tahdziibut-Tahdziib 7/428-429 no. 699, Taqriibut-Tahdziib hal. 714 no. 4901, dan Al-Kaasyif 2/55 no. 4026].
Penyimpulan dari Ibnu Hajar di atas kurang tepat, karena jumhur ulama mutaqaddimiin telah menghukuminya sebagai perawi tsiqah. Adapun mengambil perkataan Abu Haatim dan Ibnu Hibbaan dalam penyifatan bahwa ia mempunyai beberapa keraguan kuranglah bisa diterma, sebab di sini mereka berdua ketika menta’dilnya tidak menjelaskan qarinah kelemahan yang ada pada diri ‘Umar bin Ayyuub. Wallaahu a’lam.
2. Ja’far bin Burqaan Al-Kilaabiy, Abu ‘Abdillah Al-Jazriy; seorang yang tsiqah dalam periwayatan selain dari Az-Zuhriy (w. 150 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya.
Ahmad berkata : “Jika ia meriwayatkan dari selain Az-Zuhriy, tidak mengapa dengannya. Namun jika ia meriwayatkan dari Az-Zuhriy, sering keliru”. Di lain riwayat ia berkata : “Tsiqah lagi dlaabith untuk hadits yang ia riwayatkan dari Maimuun dan Yaziid bin Al-Asham”. Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah” – namun ia mendla’ifkan riwayatnya yang berasal dari Az-Zuhriy. Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair berkata : “Tsiqah, namun hadits-haditsnya yang berasal dari Az-Zuhriy goncang (mudltharibah)”. Ya’quub bin Sufyaan berkata : “Tsiqah”. Ibnu Sa’d berkata : “Ia seorang yang tsiqah lagi shaaduq,…. namun ia mempunyai banyak kekeliruan dalam haditsnya”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak kuat dalam riwayat Az-Zuhriy, namun tidak mengapa dari selainnya”. Ibnu Khuzaimah berkata : “Tidak boleh berhujjah dengan keduanya (yaitu Abu Bakr Al-Hudzaliy dan Ja’far bin Burqaan) jika ia menyendiri dalam periwayatan”. Haamid bin Yahyaa Al-Balkhiy berkata : “Tsiqah”. Marwaan bin Muhammad berkata : “Tsiqah lagi ‘adil”. Ats-Tsauriy berkata : “Aku tidak melihat orang yang lebih utama (afdlal) daripada Ja’far bin Burqaan”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Tsiqah, … namun lemah dalam riwayat Az-Zuhriy secara khusus”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Adapun haditsnya yang berasal dari Maimuun bin Mihraan dan Yaziid bin Al-Asham, maka tsaabit lagi shahiih”. As-Saajiy berkata : “Ia mempunyai riwayat-riwayat munkar”. Ibnu Hibbaan, Ibnu Syaahiin, Ibnu Khalfuun mentsiqahkannya. Adz-Dzahabiy berkata : Shaduuq masyhuur”. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, banyak keliru dalam hadits Az-Zuhriy”.
[lihat : Mausu’ah Aqwaal Al-Imaam Ahmad 1/195-196 no. 373, Taariikh Asmaa’ Ats-Tsiqaat hal. 86 no. 153, Tahdziibul-Kamaal 5/11-18 no. 934, Tahdziibut-Tahdziib 2/84-86 no. 131, Taqriibut-Tahdziib hal. 198 no. 940, dan Man Tukulluma fiih hal. 146-147 no. 66].
Jumhur ulama telah mentsiqahkan Ja’far bin Burqaan – khususnya periwayatannya dari Maimuun dan Yaziin bin Al-Asham) – , dan menjelaskan pelemahan mereka secara khusus periwayatannya yang berasal dari Az-Zuhriy. Adapun perkataan As-Saajiy yang mengatakan ia mempunyai riwayat-riwayat yang munkar, dan juga perkataan Ibnu Sa’d bahwa ia mempunyai banyak kekeliruan dalam haditsnya; maka itu dibawa pada penjelasan jumhur, yaitu khusus riwayatnya yang berasal dari Az-Zuhriy. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
3. Yaziid bin Al-Asham ‘Amru bin ‘Ubaid bin Mu’aawiyyah Al-Bakaa’iy, Abu ‘Auf Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah (w. 103 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya.
Al-‘Ijliy, Abu Zur’ah, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Adz-Dzahabiy dan Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah”.
[lihat : Tahdziibul-Kamaal 32/83-86 no. 6961, Tahdziibut-Tahdziib 11/313-314 no. 600, Taqriibut-Tahdziib hal. 714 no. 4901, dan Al-Kaasyif 2/380 no. 6280].
Kesimpulan : Riwayat ini shahih sesuai persyaratan Muslim, para perawinya tsiqaat, sanadnya muttashil, tanpa ada cacat (‘illat). Adapun perkataan Al-Mizziy dan Adz-Dzahabiy bahwa riwayatnya dari ‘Aliy tidak shahih (dla’iif), maka ini tidak menunjukkan bahwa riwayat di atas munqathi’ lagi dla’iif. Sebab, Adz-Dzahabiy sendiri dalam As-Siyar mengatakan bahwa ia bertemu dengan ‘Aliy bin Abi Thaalib di Kuufah semasa kekhalifahannya [As-Siyar, 4/517 no. 211]. Ibnu Hajar menjelaskan bahwa riwayatnya dari ‘Aliy tidak shahih adalah periwayatan ‘Abdullah bin Muharrar, dari Yaziid, dari ‘Aliy; karena Ibnu Muharrar ini matruuk.
Sebagaimana kita semua tahu,… orang-orang Syi’ah telah mengkafirkan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan dan semua pendukungnya yang memerangi ‘Aliy. Tentu saja ini kontradiktif dengan perkataan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu di atas. Seandainya Mu’aawiyyah itu kafir dan terlaknat dalam Islam (seperti kata mereka), bukankah menjadi kemestian orang yang membelanya itu juga kafir karena membela orang kafir dalam memerangi kaum muslimin ?
Mungkin sebagian mereka akan beralasan : Yang masuk surga itu adalah yang mati, sedangkan yang hidup tidak.
Jika memang demikian jawaban mereka, maka ini tertolak lagi bertentangan dengan firman Allah ta’ala :
لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” [QS. Aali ‘Imraan : 28].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim” [QS. Al-Maaidah : 51].
Ayat di atas menjelaskan orang yang berwala’ kepada orang kafir dalam keadaan sukarela tanpa ada paksaan, maka ia termasuk golongan mereka.
Juga bertentangan dengan logika dasar orang Syi’ah tentang kekafiran Mu’aawiyyah dan pendukungnya yang menggunakan hadits :
عن أم سلمة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لعمار تقتلك الفئة الباغية
Dari Ummu Salamah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada ‘Ammaar (bin Yaasir) : “Engkau akan dibunuh oleh kelompok ‘baaghiyyah’ [Shahih Muslim no. 2916].
Kelompok baaghiyyah ini adalah kelompok yang mereka (Syi’ah) sebut sebagai nawaashib, dan nawaashib mereka hukumi kaafir. ‘Ammaar radliyallaahu ‘anhu sendiri terbunuh dalam perang Shiffiin.
Tidak ada bedanya antara yang hidup dan mati, karena yang dipertimbangkan adalah hakekat perbuatan dan niatnya. Ini seperti sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا، فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا الْقَاتِلُ، فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ؟ قَالَ: إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ “
“Apabila dua orang muslim bertemu (bertengkar) dengan pedang yang mereka bawa, maka orang yang membunuh dan yang dibunuh masuk neraka”. Aku[1] berkata : “Wahai Rasulullah, kalau orang yang membunuh ini (saya paham), tapi mengapa yang terbunuh juga masuk neraka ?”. Beliau menjawab : “Sesungguhnya ia juga berupaya membunuh shahabatnya” [Muttafaqun ‘alaihi].
Dan sekali lagi perlu saya ingatkan, ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu dalam perkataannya di atas telah menyamakan (secara bersamaan) kedudukan orang yang mati dalam perang Shiffin masuk surga.
Oleh karena itu, paling tidak ada tiga opsi dalam permasalahan ini yang dapat saya tawarkan :
1. ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu yang ma’shum telah salah berijtihad dalam riwayat di atas.
2. Allah dan Rasul-Nya telah salah dalam menetapkan hukum (karena bertentangan dengan perkataan ‘Aliy bin Abi Thaalib yang ma’shum).
3. Orang Syi’ah telah salah dalam merekonstruksi ‘aqidah dalam klaim kekafiran terhadap Mu’aawiyyah dan pendukungnya.
Ketiganya memang pahit untuk diambil, tapi harus. Atau ada pilihan lain yang lebih ringan ? Silakan.
Wallaahu a’lam.
No comments:
Post a Comment