Sunday, August 7, 2011

Studi Kritis Hadits Taat Kepada Ali Berarti Taat Kepada Nabi

Studi Kritis Hadits Taat Kepada Ali Berarti Taat Kepada Nabi

Abu Al-Jauzaa’ :, 15 Juni 2010

Telah ada pembahasan sebelumnya di Blog ini mengenai hadits yang bertema sebagaimana judul di atas.[1] Namun tidak mengapa jika pada kesempatan kali ini saya akan kembali mengulang apa yang telah dituliskan karena ada sebagian orang yang minim ilmu hadits ingin menshahihkan hadits ini dengan menempuh segala cara, walau dengan cara paling mengherankan.

Saya akan membawakan riwayat Al-Haakim dalam Al-Mustadrak :

أخبرنا أبو أحمد محمد الشيباني من أصل كتابه ثنا علي بن سعيد بن بشير الرازي بمصر ثنا الحسن بن حماد الحضرمي ثنا يحيى بن يعلى ثنا بسام الصيرفي عن الحسن بن عمرو الفقيمي عن معاوية بن ثعلبة عن أبي ذر رضى الله تعالى عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من أطاعني فقد أطاع الله ومن عصاني فقد عصى الله ومن أطاع عليا فقد أطاعني ومن عصى عليا فقد عصاني

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Ahmad Muhammad Asy-Syaibaaniy dari kitab induknya : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Sa’iid bin Basyiir Ar-Raaziy di Mesir : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Hammaad Al-Hadlramiy : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Ya’laa : Telah menceritakan kepada kami Bassaam Ash-Shairafiy, dari Al-Hasan bin ‘Amru Al-Fuqaimiy, dari Mu’aawiyyah bin Tsa’labah, dari Abu Dzarr radliyallaahu ta’ala ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang mentaatiku, maka sungguh ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang durhaka kepadaku, maka sungguh ia telah mendurhakai Allah. Barangsiapa yang mentaati ’Aliy, maka sungguh ia telah mentaatiku. Dan barangsiapa yang mendurhakai ’Aliy, maka sungguh ia telah mendurhakaiku” [Al-Mustadrak, 3/121].

Di antara kelemahan riwayat ini terletak pada :

1. Yahyaa bin Ya’laa; ia adalah Al-Aslamiy Al-Qathawaaniy, Abu Zakariyyah Al-Kuufiy.

Ibnu Ma’iin berkata : “Tidak ada apa-apanya (laisa bi-syai’)”. Al-Bukhaariy berkata : “Mudltharibul-hadiits”. Abu Haatim berkata : “Dla’iiful-hadiits, tidak kuat (laisa bil-qawiy)”. Ibnu ‘Adiy memasukkannya dalam Al-Kaamil fidl-Dlu’afaa’ dan berkata : “Orang Kuffah yang termasuk Syi’ah mereka” [Tahdziibul-Kamaal, 32/52].

Kemudian,…. muncullah orang-orang yang menebarkan syubhat dengan merekayasa analisa dimana mereka mengatakan bahwa Yahyaa bin Ya’laa di atas bukan Al-Aslamiy, akan tetapi Al-Muhaaribiy – seorang yang tsiqah. Tidak lain dan tidak bukan mereka adalah orang-orang Syi’ah sebagaimana Pembaca bisa menduganya.

Sebenarnya sangat jelas bahwa Yahyaa bin Ya’laa ini adalah Al-Aslamiy. Terus terang saya tidak mengerti alur logika yang mereka bangun untuk menyangah. Berikut beberapa bukti yang menegaskannya :

Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal (32/51-52) saat menyebutkan orang-orang yang mengambil riwayat dari Yahyaa bin Ya’laa Al-Aslamiy, diantaranya ia menyebutkan : Al-Hasan bin Hammaad Sajjaadah. Sajjaadah adalah nama masyhur dari Al-Hasan bin Hammaad Al-Hadlramiy.[2] Akan tetapi saat menyebutkan orang-orang yang mengambil riwayat dari Yahyaa bin Ya’laa Al-Muhaaribiy, ia sama sekali tidak menyebut Al-Hasan bin Hammaad Al-Hadlramiy [lihat Tahdziibul-Kamaal, 32/47-48].

Begitu pula saat Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal (6/130) menyebutkan guru-guru/syaikh dari Al-Hasan bin Hammaad Al-Hadlramiy, diantaranya ia menyebutkan Yahyaa bin Ya’laa Al-Aslamiy. Ia tidak menyebutkan satu pun orang yang bernama Yahyaa bin Ya’laa Al-Muhaaribiy.

Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil (9/87-88 no. 2132) menyebutkan hadits di atas dengan sanadnya, dan meletakkannya dalam biografi Yahyaa bin Ya’laa Al-Aslamiy. Sebagaimana telah ma’ruf dalam ilmu hadits, seorang perawi lebih mengetahui hadits yang ia bawakan dari selainnya. Di sini Ibnu ‘Adiy – sebagai perawi hadits – telah menjelaskan bahwa Yahyaa bin Ya’laa dalam hadits tersebut adalah Al-Aslamiy.[3]

Ini merupakan bukti yang sangat kuat bahwa Yahyaa yang dimaksud adalah Al-Aslamiy, karena telah dibuktikan secara bolak-balik dalam penyebutan biografi Al-Aslamiy dengan Sajjaadah (Al-Hasan bin Hammaad Al-Hadlramiy) plus pernyataan Ibnu ‘Adiy atas identitas perawi yang ia riwayatkan.

Tidak disebutkannya nama Al-Aslamiy dalam jajaran murid (tilmidz) Bassaam Ash-Shairafiy, maka itu bukan hujjah, bukan pula pembatas, dengan qarinah yang saya sebutkan di atas. Justru riwayat ini sebagai hujjah atas kekurangan Al-Mizziy ketika menyebutkan murid-murid Bassaam bin ‘Abdillah dalam kitabnya. Betapa banyak nama guru atau murid seorang perawi yang tidak dituliskan dalam At-Tahdziib, namun terdapat/tercantum dalam riwayat-riwayat hadits.[4]

Orang yang mengatakan bahwa Yahyaa bin Ya’laa tersebut adalah Al-Muhaaribiy tidak pernah bisa membuktikan secara bolak-balik biografi guru-murid sebagaimana Al-Aslamiy, melainkan hanya satu arah saja. Padahal telah diketahui bahwa pembuktian bolak-balik adalah salah satu jenis pembuktian paling kuat dalam menentukan identitas seorang perawi.

2. Mu’aawiyyah bin Tsa’labah. Al-Bukhaariy menyebutkannya dalam At-Kabiir (7/333 no. 1431) dan Ibnu Abi Haatim dalam Al-Jarh wat-Ta’diil (8/378 no. 1733) dimana keduanya tidak memberikan jarh maupun ta’dil. Ada dua orang yang meriwayatkan darinya, yaitu Abul-Jahhaaf Dawud bin Abi ‘Auf dan Al-Hasan bin ‘Amru Al-Fuqaimiy. Maka status Mu’aawiyyah ini adalah majhul haal atau mastuur.

Adapun dimasukkannya Mu’aawiyyah oleh Ibnu Hibbaan ke dalam kitab Ats-Tsiqaat-nya (5/416), maka ini tautsiq yang tidak lah dipandang selama tidak diikuti ulama yang lainnya, karena Ibnu Hibbaan ini terkenal dengan pentautsiqannya terhadap para perawi majhul. Sangat aneh jika ada yang mengikuti begitu saja pentautsiqan Ibnu Hibbaan ini sementara para ulama dulu dan sekarang ramai mengkritik Ibnu Hibbaan dalam masalah ini [lihat penjelasan sederhananya di : Taisiru ‘Ulumil-Hadits hal 144, 162-163; dan Taisiru Diraasatil-Asaanid hal. 133-134].[5]

Mu’aawiyyah ini termasuk golongan tabi’iy, bukan shahabat. Oleh karena itu, berlaku keumuman kaedah yang menolak riwayat perawi majhul haal, meskipun ia tergolong tabi’iin. Ini adalah madzhab jumhur muhadditsiin [lihat selengkapnya : Al-Khulaashah fii ‘Ilmil-Jarh wat-Ta’dil, hal. 118-119].

Bagaimana bisa ia dikatakan seorang yang hasanul-hadits ? Heran saya…..

Adapun berdalil dengan perkataan Al-Haitsamiy dalam Al-Majma’ (9/135) yang menisbatkan pada Al-Bazzaar mengatakan bahwa hadits Abu Dzarr itu rijalnya tsiqah; maka perlu dikritisi; miminal ada dua :

Pertama, lafadh yang dibawakan Al-Bazzaar (Kasyful-Astaar 3/201) sedikit berbeda dengan lafadh hadits di atas. Lafadh Al-Bazzaar adalah : “Wahai ‘Aliy, barangsiapa yang meninggalkanku, maka ia telah meninggalkan Allah. Dan barangsiapa yang meninggalkanmu wahai ‘Aliy, maka ia telah meninggalkanku”.

Kedua, sanad keduanya berkumpul pada Mu’aawiyyah bin Tsa’labah, perawi majhul.

Ini saja tambahan ringan dari apa yang pernah saya tulis sebelumnya. Semoga ada manfaatnya.

[abul-jauzaa' – 1431].

[1] Silakan baca di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/07/barangsiapa-yang-mentaati-ali-maka.html.

[2] Lihat biografinya dalam Tahdziibul-Kamaal 6/129-133 no. 1219.

[3] Anehnya, ada yang menolak pernyataan Ibnu ‘Adiy ini dengan alasan bahwa syaikh dari Al-Hasan bin Hammaad bukan hanya Al-Aslamiy, namun juga At-Taimiy. Ini lucu. Sudah disebutkan di atas bahwa murid (tilmidz) dari Yahyaa bin Ya’laa Al-Aslamiy adalah Al-Hasan bin Hammaad. Tentu saja yang dimaksud di sini adalah Al-Aslamiy; bukan At-Taimiy.

Selain itu, pengetahuan Ibnu ‘Adiy akan hadits yang dibawakannya lebih dikedepankan dari selainnya. Kaidah asal ini hanya dapat dipalingkan jika ada qarinah yang kuat bahwa Ibnu ‘Adiy telah keliru dalam penyebutan biografi dan/atau hadits yang ia bawakan. Kenyataannya, orang yang menyanggah itu hanya berhujjah dengan asumsi. Jika logika asumsi itu dituruti, mungkin setiap orang dapat mengkritik hadits seenaknya saja tanpa ilmu dan kaedah yang dikenal para muhadditsiin. Oleh karena itu, tidak perlu kita hiraukan orang yang sok tahu yang menyatakan Yahyaa bin Ya’laa dalam sanad Ibnu ‘Adiy bukan Al-Aslamiy.

Telah menjadi satu tradisi : Meninggalkan yang telah jelas, mencari yang masih kabur.

[4] Satu contoh kecil saja, Ishaaq Al-Azraq tidak masuk dalam jajaran murid Bassaam bin ‘Abdillah Ash-Shairafiy yang tertulis dalam kitab At-Tahdziib, padahal Al-Baihaqiy membawakan riwayat Ishaaq dari Bassaam dalam Al-Kubraa no. 20760. Begitu juga sebaliknya, Bassaam bin ‘Abdillah tidak masuk dalam jajaran syaikh (guru) dari Ishaaq Al-Azraq yang tertulis dalam At-Tahdziib.

Juga, Al-Hasan bin ‘Amru Al-Fuqaimiy ini tidak dituliskan sebagai murid Mu’aawiyyah bin Tsa’labah oleh Al-Bukhaariy, Ibnu Abi Haatim, maupun Ibnu Hibbaan dalam kitab biografi mereka. Namun kenyataannya dalam riwayat yang sedang dibahas ini, Al-Hasan mengambil riwayat dari Mu’aawiyyah bin Tsa’labah. Masih banyak contoh yang lainnya.

Intinya, pokok hujjah adalah riwayat.

[5] Mungkin saja ada yang berlindung di balik nama Asy-Syaikh Ahmad Syaakir – padahal beliau dikritik keras para ulama hadits sejamannya atau setelahnya karena kaedah yang beliau terapkan dalam pen-tautsiq-an perawi.

No comments:

Post a Comment