Sunday, August 7, 2011
Larangan dan Celaan Para Imam terhadap Nikah Mut’ah
Larangan dan Celaan Para Imam terhadap Nikah Mut’ah
Abu Al-Jauzaa’ :, 29 April 2011
Telah lewat bahasan dalam blog ini tentang shahihnya riwayat dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mengharamkan nikah mut’ah. Begitu juga dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu. Sekarang kita ganti tema menelaah riwayat Syi’ah yang melarang nikah mut’ah.
محمد بن يحيى عن أبي جعفر عن أبي الجوزاء عن الحسين بن علوان عن عمرو بن خالد عن زيد بن علي عن آبائه عن علي عليهم السلام قال : ((حرم رسول الله صلى الله عليه وآله يوم خيبر لحوم الحمر الأهلية ونكاح المتعة)).
Muhammad bin Yahyaa, dari Abu Ja’far, dari Abul-Jauzaa’, dari Al-Husain bin ‘Ulwaan, dari ‘Amru bin Khaalid, dari Zaid bin ‘Aliy, dari ayah-ayahnya, dari ‘Aliy ‘alaihis-salaam, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi telah mengharamkan pada hari Khaibar daging keledai kampung/jinak dan nikah mut’ah” [Tahdziibul-Ahkaam oleh Ath-Thuusiy, 7/251].
Hadits ini shahih dalam standar penilaian ilmu hadits Syi’ah.[1]
Dalam bahasan yang terdapat dalam Markaz li-Abhaats Al-‘Aqaaidiyyah (web ini miliknya Syi’ah)[2] dikatakan bahwa riwayat tersebut taqiyyah dari Zaid bin ‘Aliy, atau kedustaan dari Al-Husain bin ‘Ulwaan atau ‘Amru bin Khaalid.
Mengenai taqiyyah, apa yang menyebabkan Zaid bin ‘Aliy melakukannya sementara para shahabat bahwa semisal Ibnu ‘Abbaas dan yang lainnya berani berselisih pendapat dengan shahabat besar lainnya ?. Apakah di sini Zaid bin ‘Aliy merasa terancam ? Jika memang benar, mana keterangan bahwa Zaid bin ‘Aliy merasa terancam sehingga mengharuskan ia bertaqiyyah ?.[3]
Mengenai Al-Husain bin ‘Ulwaan, maka bagaimana ia bisa dikatakan berdusta karena dalam kitab rijaal Syi’ah dikatakan ia seorang yang tsiqah.[4] Al-Majlisiy sendiri menghukumi beberapa hadits Al-Husain bin ‘Ulwaan dari ‘Amru bin Khaalid ini dalam Al-Kaafiy : muwatstsaq.[5]
Tentang ‘Amru bin Khaalid, telah masyhur dalam kitab Syi’ah bahwa ia seorang yang tsiqah. Namun ia dituduh berdusta karena ia seorang ‘aamiy[6] (orang awam = istilah Syi’ah untuk Ahlus-Sunnah) meriwayatkan hadits yang bertentang dengan madzhab. Apakah istilah tsiqah itu bisa bersatu dengan istilah dusta pada diri seorang perawi ? – dalam terminologi ‘ilmu hadits’ Syi’ah ?.
Selanjutnya tentang riwayat :
وسئل جعفر بن محمد ( الإمام الصادق ) عن المتعة فقال : ( ما تفعله عندنا إلا الفواجر )
Ja’far bin Muhammad (Al-Imaam Ash-Shaadiq) pernah ditanya tentang nikah mut’ah, lalu ia berkata : “Tidaklah ada yang melakukannya di sisi kami kecuali para pelacur” [Bihaarul-Anwaar, 100/318].
Dalam Markaz li-Abhaats Al-‘Aqaaidiyyah, para muhaqqiq Syi’ah tidak membantah riwayat ini dengan melemahkannya sebagaimana riwayat sebelumnya. Di situ juga tidak disebutkan bahwa Ja’far Ash-Shaadiq mengatakannya dalam rangka taqiyyah.
Bagaimana dengan perkataan di atas ?. Orang-orang Syi’ah nampaknya mesti sukarela menerima cap sebagai pelacur oleh Imam Ash-Shaadiq karena nikah mut’ah yang mereka lakukan. Atau,…. pelacuran itu dalam ajaran Syi’ah adalah sesuatu yang diperbolehkan ?, sehingga istilah pelacur dalam perkataan Imam Ash-Shaadiq di atas bukan merupakan satu celaan (tapi sebaliknya, pujian) ?.
Riwayat yang sama dari Abu ‘Abdillah :
ابن أبي عمير، عن هشام بن الحكم، عن أبي عبد الله عليه السلام قال: ما تفعلها عندنا إلا الفواجر
Ibnu Abi ‘Umair, dari Hisyaam bin Al-Hakam, dari Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam, ia berkata : “Tidak ada orang yang melakukannya di sisi kami kecuali para pelacur” [Ibnu Idriis dalam As-Saraair, hal. 483; Al-Wasaail 14/456, dan Bihaarul-Anwaar 100/318].
عن عبد الله بن سنان قال: سألت أبا عبد الله رضي الله عنه عن المتعة فقال: (لا تُدَنِّسْ نفسَك بها)
Dari ‘Abdullah bin Sinaan, ia berkata : Aku bertanya kepada Abu ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu tentang nikah mut’ah, lalu ia menjawab : “Jangan engkau nodai/kotori dirimu dengannya (nikah mut’ah)” [Bihaarul-Anwaar, 100/318].
Riwayat ini tidak diingkari dengan pelemahan oleh para muhaqqiq Syi’ah dalam http://www.shiaweb.org/. Namun mereka menakwilnya dengan takwilan yang sangat aneh, jauh dari makna dhahir yang mudah terambil dari riwayat. Mafhumnya, riwayat ini shahih, karena ta’wil itu cabang dari tashhih.
Ada beberapa riwayat lain yang senada dengan riwayat di atas.
Allah ta’ala berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا * وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” [QS. Asy-Syams : 9-10].
Kalau ada orang yang mengatakan larangan mengotori diri itu tidak menunjukkan larangan secara hakekat (atas nikah mut’ah yang ditanyakan kepada Abu ‘Abdillah), sangat ganjil rasanya. Perkataan Ja’far Ash-Shaadiq dan Abu ‘Abdillah ‘indanaa’ (di sisi kami) itu menunjukkan pandangan madzhab Ahlul-Bait.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – ngaglik, Yogyakarta, 1432].
[1] Lihat bahasannya di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/08/imam-ali-bin-abi-thalib-dan-nikah-mutah_04.html.
[2] Ini homepage-nya : http://www.aqaed.com/.
[3] Sebagai seorang Syi’ah kritis, sudah menjadi keharusan untuk mempertanyakannya. Jika taqiyyah itu menjadi satu-satunya jalan keluar ketika satu riwayat bertentangan dengan madzhab, maka pada hakekatnya penilaian riwayat dan dirayat hadits itu menjadi tidak berfungsi. Jika ini dibiarkan, maka akan ada kecenderungan orang akan seenaknya saja bicara taqiyyah tanpa dasar yang jelas. Seorang ulama Syi’ah yang bernama Yusuf bin Ahmad Al-Bahraaniy (w. 1186 H) berkata :
لم يعلم من أحكام الدين على اليقين إلا القليل، لامتزاج أخباره بأخبار (التقية)، كما قد اعترف بذلك ثقة الإسلام وعلم الأعلام : محمد بن يعقوب الكليني – نور الله مرقده – في جامعه الكافي، والتجأ إلى مجرد الرد والتسليم للأئمة الأبرار، فصاروا – صلوات الله عليهم – محافظة على أنفسهم وشيعتهم يخالفون بين الأحكام، وإن لم يحضرهم أحد من أولئك الأنام، فتراهم يجيبون في المسألة الواحدة بأجوبة متعددة……..
“Tidak diketahui dari hukum-hukum agama secara yakin (pasti) kecuali sedikit, karena bercampuraduknya hadits-hadits dengan hadits-hadits taqiyyah. Sebagaimana hal itu diakui oleh Tsiqatul-Islaam wa A’laamul-A’laam : Muhammad bin Ya’qqub Al-Kulainiy – semoga Allah menyinari peristirahatan terakhirnya – dalam kitab Jaami’-nya yang berjudul : Al-Kaafiy. Ia hanya mengambil sikap sekedar membalas dan memberi salam kepada para imam yang baik; maka demi menjaga diri dan para pendukung mereka –shalawaatullaah ‘alaihim -, mereka pun menyelisihi hukum-hukum yang telah jelas (?). Dan jika tidak seorang pun dari orang-orang itu hadir, maka kamu melihat mereka (para imam) menjawab dalam satu masalah dengan jawaban yang beragam….” [Al-Hadaaiqun-Naadlirah, 1/45].
Lihat : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/12/syiah-dan-riwayat-hadits-dalam-kitab.html
Kecuali kalau kita disuruh kritis di satu sisi, namun tidak di sisi lain.
[4] Lihat : di sini.
[5] Misal :
عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ خَالِدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي الْجَوْزَاءِ عَنِ الْحُسَيْنِ بْنِ عُلْوَانَ عَنْ عَمْرِو بْنِ خَالِدٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ آبَائِهِ ( عليهم السلام ) قَالَ قَالَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ ( صلوات الله عليه ) يُنْزَعُ عَنِ الشَّهِيدِ الْفَرْوُ وَ الْخُفُّ وَ الْقَلَنْسُوَةُ وَ الْعِمَامَةُ
Al-Kaafiy 3/211. Al-Majlisiy berkata : “Muwatstsaq” [14/147].
عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ خَالِدٍ عَنْ أَبِي الْجَوْزَاءِ عَنِ الْحُسَيْنِ بْنِ عُلْوَانَ عَنْ عَمْرِو بْنِ خَالِدٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ آبَائِهِ ( عليهم السلام ) قَالَ قَالَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ ( صلوات الله عليه ) وَ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يَحْتَرِقُ بِالنَّارِ فَأَمَرَهُمْ أَنْ يَصُبُّوا عَلَيْهِ الْمَاءَ صَبّاً وَ أَنْ يُصَلَّى عَلَيْهِ
Al-Kaafiy 3/213. Al-Majlisiy berkata : “Muwatstsaq” [14/157].
عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنِ الْحُسَيْنِ بْنِ سَعِيدٍ عَنِ الْحُسَيْنِ بْنِ عُلْوَانَ عَنْ عَمْرِو بْنِ خَالِدٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ آبَائِهِ ( عليهم السلام ) قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ ( صلى الله عليه وآله ) الْخَمْرَ وَ عَاصِرَهَا وَ مُعْتَصِرَهَا وَ بَائِعَهَا وَ مُشْتَرِيَهَا وَ سَاقِيَهَا وَ آكِلَ ثَمَنِهَا وَ شَارِبَهَا وَ حَامِلَهَا وَ الْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ
Al-Kaafiy 6/398. Al-Majlisiy berkata : “Muwatstsaq” [22/254].
[6] Ada pula yang mengatakan bahwa ia seorang Zaidiy (Syi’ah Zaidiyyah).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment