Shalat Sunnah Witir
1. Hukum shalat witir
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا
“Jadikanlah akhir shalat malam kalian dengan ganjil (witir).” (HR. Al-Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751)
Hadits Ibnu Umar diatas dijadikan dalil oleh sebagian ulama yang berpendapat wajibnya shalat witir, baik secara mutlak maupun bagi yang shalat lail sebelumnya. Dan ada beberapa dalil lain yang lahiriahnya menunjukkan wajibnya shalat witir. Hanya saja semua dalil yang menunjukkan wajibnya, dipalingkan hukumnya oleh beberapa dalil, di antaranya:
a. Nabi shallallahu alaihi wasallam telah menganjurkan untuk shalat lail (termasuk witir) di rumah, sebagaimana dalam hadits Zaid bin Tsabit riwayat Al-Bukhari dan Muslim. Kemudian beliau mengabarkan bahwa shalat yang paling utama adalah yang dikerjakan di rumah kecuali shalat wajib. Maka ini tegas menunjukkan shalat witir bukanlah shalat wajib karena dianjurkan dikerjakan di rumah.
b. Dalam hadits Ibnu Umar riwayat Al-Bukhari no. 1000 disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam shalat di atas kendaraannya kecuali shalat wajib, sementara beliau pernah shalat witir di atas kendaraan. Maka ini menunjukkan bahwa shalat witir bukanlah shalat yang wajib.
Karenanya, shalat witir adalah sunnah mu’akkadah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa (23/88), “Witir adalah sunnah mu’akkadah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, dan barangsiapa yang meninggalkannya terus-menerus maka persaksiannya tidak diterima.”
Shalat sunnah witir ialah shalat sunnah lail yang dikerjakan dengan bilangan rakaat yang ganjil (witir = ganjil)
عَنْ عَلِيٍّ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص اَوْتِرُوْا يَا اَهْلَ اْلقُرْاٰنِ فَاِنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ اْلوِتْرَ. ﴿الجمعة وصححه ابن خزيمة﴾
Dari ‘Ali RA, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW, “Berwitirlah kamu hai ahli Qur’an karena sesungguhnya Allah itu witir/tunggal, Ia suka kepada (shalat) witir”. [Diriwayatkan oleh Khamsah dan disahkan oleh Ibnu Khuzaimah]
2. Waktu shalat witir
Pada setiap malam, baik di malam maupun di luar Ramadlan, boleh dikerjakan di awal, pertengahan ataupun di akhir malam. Baik sebelum maupun sesudah tidur. Kesemuanya itu pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ:مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ اَوْتَرَ رَسُوْلُ اللهِ ص مِنْ اَوَّلِ اللَّيْلِ وَاَوْسَطِهِ وَاٰخِرِهِ فَانْتَهَى وِتْرُهُ اِلَى السَّحَرِ. ﴿الجماعة﴾
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Dalam seluruh (bagian) malam Rasulullah SAW pernah mengerjakan witir, di permulaan malam, dipertengahannya, dan di akhirnya, hingga witirnya selesai pada waktu sahur”. [HR Al-Jama’ah]
عَنْ جَابِرٍ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: مَنْ خَافَ اَنْ لاَ يَقُوْمَ مِنْ اخَِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوْتِرُاَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ اَنْ يَقُوْمَ اَخِرَهُ فَلْيُوْتِرْ اَخِرَ اللَّيْلِ. فَاِنَّ صَلاَتَ اَخِرِاللَّيْلِ مَشْهُوْدَةٌ وَذَلِكَ اَفْضَلُ. ﴿مسلم ١:٥٢٠﴾
Dari Jabir RA, ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, “Barangsiapa khawatir tidak akan bangun pada akhir malam, maka bolehlah berwitir pada awal malam. Dan barangsiapa berkeyakinan mampu bangun malam di ahir malam, maka hendaklah mengerjakan witir pada saat itu, karena shalat di akhir malam itu disaksikan dan yang demikian itu lebih utama”. [HR Muslim juz 1, hal 520]
Walaupun waktunya terpampang luas, akan tetapi lebih utama mengerjakannya di akhir malam jika dia merasa sanggup. Dan jika dia tidak yakin bisa bangun di akhir malam, maka yang lebih utama adalah dia shalat witir di awal malam. Hal ini jelas ditunjukkan oleh hadits Jabir radhiallahu anhu.
3. Bilangan Rakaat serta Cara Pelaksanaan Shalat Witir
a. Satu Rakaat, berdasarkan sabda Nabi SAW :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ ص عَنْ صَلاَةِ اللَّيْلِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص. صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى. فَاِذَا خَشِيَ اَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلىَّ رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوْتِرُلَهُ مَاقَدْ صَلَّى. ﴿مسلم ١:٥١٦﴾
Dari Ibnu ‘Umar bahwasanya ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah SAW tentang shalat malam. Maka Rasulullah SAW menjawab, ‘Shalat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat), maka apabila seseorang di antara kamu khawatir masuk waktu Shubuh hendaklah shalat witir 1 rakaat. Yang serakaat itu mewitirkan shalat yang telah dikerjakan”. [HR. Muslim juz 1 hal 516]
b. Tiga Rakaat. Bila melaksanakan 3 rakaat. Dalam tata cara sholat tarawih untuk 3 raka'at terdapat perbedaan pendapat.
Adapun golongan pertama mengatakan harusnya dengan satu tasyahud di rakaat yang akhir, lalu salam, sebagaimana riwayat di bawah ini :
قَالَتْ عَائِشَةُ رض:كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يُوْتِرُبِثَلاَثٍ وَلاَ يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ. ﴿ احمد والنسائى، ولفظه : كَانَ لاَ يُسَلِّمُ فِى رَكْعَتَيِ اْلوِتْرِ. فى نيل الاوطار ٣:٤٠﴾
‘Aisyah RA berkata, “Rasulullah SAW pernah berwitir dengan 3 rakaat, tidak mengadakan pemisahan antaranya (mengerjakan dengan sekali salam)”. [HR. Ahmad dan An-Nasai] Adapun dalam loafadh Nasai : Adalah beliau tidak salam pada dua rekaat dalam shalat witir tersebut. [Naillul Authar juz 3 hal 40]
Dan tidak diperkenankan shalat witir yang 3 itu dengan 2 rakaat salam, kemudian disambung dengan 1 rakaat lalu salam. Hal ini menyalahi riwayat ‘Aisyah di atas dan juga menyalahi arti witir itu sendiri, karena witir itu artinya ganjil. Sedang 2 itu artinya genap, jadi tidak dapat dikatakan witir.
Dan juga tidak diperkenankan shalat 3 rakaat tersebut dengan 2 tasyahud 1 salam. Sebab ini menyerupai maghrib, yang demikian itu dilarang oleh Nabi SAW sebagaimana hadits dibawah ini. Sabda Nabi SAW:
لاَتُوْتِرُوْا بِثَلاَثٍ. اَوْتِرُوْابِخَمْسٍ اَوْبِسَبْعٍ وَلاَ تُشَبِّهُوْابِصَلاَةِاْلمَغْرِبِ.﴿الدارقطنى ٢:٢٤﴾
Jangan kamu shalat witir 3 rakaat, (tetapi) shalatlah witir 5 atau 7, dan janganlah kamu menyerupai dengan shalat maghrib”.[HSR.Daruquthni juz 2 hal 24]
Keterangan
Dalam hadist ini, Rasullullah SAW melarang kita shalat witir 3 rakaat dan memerintahkan untuk shalat dengan 5 rekaat atau 7 rekaat. Sedang hadist lain menerangkan bahwa Rasullullah SAW sendiri mengerjakan shalat witir dengan 3 rekaat. Maka dari kedua macam hadist tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa : “Yang dilarang mengerjakan shalat witir 3 rekaat itu adalah yang menyerupai shalat maghrib, sedang shalat witir 3 rekaat yang tidak serupa dengan shalat maghrib tidak dilarang,bahkan dikerjakan oleh Rasullulah SAW itu sendiri.”
Golongan kedua berpendapat :
Tentang witir yang lima rakaat dan tiga rakaat dapat dilakukan dengan berbagai cara:
a. Dengan sekali duduk dan sekali salam
b. Duduk at tahiyat setiap dua rakaat
c. Memberi salam setiap dua rakaat
Al-Hafidh Muhammad bin Nashr al-Maruzi dalam kitab Qiyamul Lail halaman 119 mengatakan: Cara yang kami pilih untuk mengerjakan shalat malam, baik Ramadlan atau lainnya adalah dengan memberi salam setiap dua rakaat. Kalau seorang ingin mengerjakan tiga rakaat, maka di rakaat pertama hendaknya membaca surah “Sabbihisma Rabbikal A’la” dan pada rakaat kedua membaca surah “Al-Kafirun”, dan bertasyahud dirakaat kedua kemudian memberi salam. Selanjutya bangkit lagi dan shalat satu rakaat, pada rakaat ini dibaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlash, Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas), setelah itu beliau (Muhammad bin Nashr) menyebutkan cara-cara yang telah diuraikan terdahulu.
Semua cara-cara tersebut boleh dilakukan, hanya saja kami pilih cara yang disebutkan di atas karen didasarkan pada jawaban Nabi shallallahu `alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang shalat malam, maka beliau menjawab: bahwa shalat malam itu dua rakaat dua rakaat, jadi kami memilih cara seperti yang beliau pilih.
Adapun tentang witir yang tiga rakaat, tidak kami dapatkan keterangan yang pasti dan terperinci dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bahwasanya beliau tidak memberi salam kecuali pada rakat yang ketiga, seperti yang disebutkan tentang Witir lima rakaat, tujuh dan sembilan rakaat. Yang kami dapati adalah bahwa beliau berwitir tiga rakaat dengan tidak disebutkan tentang salam sedangkan tidak disebutkan itu tidak dapat diartikan bahwa beliau tidak mengerjakan, bahkan mungkin beliau melakukannya.
Yang jelas tentang pelaksanaan yang tiga rakaat ini mengandung beberapa ihtimaalat (kemungkinan), diantaranya kemungkinan beliau justru memberi salam, karena demikialah yang kami tafsirkan dari shalat beliau yang sepuluh rakaat, meskipun di sana tidak diceritakan tentang adanya salam setiap dua rakaat, tapi berdasar keumuman sabdanya bahwa asal shalat malam atau siang itu adalah dua rakaat, dua rakaat.
Cara Nabi saw melakukan sholat malam adalah dengan dua raka'at salam, berdasarkan sabda Nabi SAW :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ ص عَنْ صَلاَةِ اللَّيْلِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص. صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى. فَاِذَا خَشِيَ اَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلىَّ رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوْتِرُلَهُ مَاقَدْ صَلَّى. ﴿مسلم ١:٥١٦﴾
Dari Ibnu ‘Umar bahwasanya ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah SAW tentang shalat malam. Maka Rasulullah SAW menjawab, ‘Shalat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat), maka apabila seseorang di antara kamu khawatir masuk waktu Shubuh hendaklah shalat witir 1 rakaat. Yang serakaat itu mewitirkan shalat yang telah dikerjakan”. [HR. Muslim juz 1 hal 516]
Begitu juga Nabi saw melakukan sholat malam 13 raka'at yang diawali 2 raka'at sholat iftitah ( sholat ringan ), selanjutnya ia sholat tetap dua raka'atterus salam hingga terakhir ia sholat satu raka'at, merujuk kepada :
Hadits Zaid bin Khalid al-Juhani bahwasanya berkata: “Aku perhatikan shalat malam Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Yaitu (ia) shalat dua rakaat yang ringan kemudian ia shalat dua rakaat yang panjang sekali. Kemudian shalat dua rakaat, dan dua rakaat ini tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya, kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian witir satu rakaat, yang demikian adalah tiga belas rakaat.” (Diriwayatkan oleh Malik, Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud dan Ibnu Nashr)
Sedangkan hadits Ubay bin Ka’ab yang sering dijadikan dasar tidak adanya salam kecuali pada rakaat yang ketiga (laa yusallimu illa fii akhirihinna), ternyata tambahan ini tidak dapat dipakai, karena Abdul Aziz bin Khalid bersendiri dengan tambahan tersebut, sedangkan Abdul Aziz ini, tidak dianggap tsiqah oleh ulama Hadits. Dalam at-Taqrib dinyatakan bahwa dia maqbul apabila ada mutaba’ah (hadits lain yang mengiringi), kalau tidak ia termasuk Layyinul Hadits. Di samping itu tambahan riwayatnya menyalahi riwayat dari Sa’id bin Abi Urubah yang tanpa tambahan tersebut. Ibnu Nashr, Nasai dan Daruqutni juga meriwayatkan tanpa tambahan. Dengan ini, jelas bahwa tambahan tersebut adalah munkar dan tidak dapat dijadikan hujjah.
PENGGABUNGAN DUA PENDAPAT DIATAS YANG KEDUANYA BERLANDASKAN HADIS SHAHIH :
Tapi walaupun demikian diriwayatkan bahwa shahabat-shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan witir tiga rakaat dengan tanpa memberi salam kecuali pada rakaat yang terakhir dan ittiba’ kepada mereka ini lebih baik baik daripada mengerjakan yang tidak dicontohkan.
Dari sisi lain perlu juga diketengahkan bahwa terdapat banyak riwayat baik dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, para shahabat ataupun tabi’in yang menunjukan tidak disukainya shalat witir tiga rakaat, diantaranya: “Janganlah engkau mengerjakan witir tiga rakaat yang menyerupai Maghrib, tetapi hendaklah engkau berwitir lima rakaat.” (HR. Al-Baihaqi, At Thohawi dan Daruquthny dan selain keduanya, lihat Sholatut Tarawih hal 99-110).
Hadits ini tidak dapat dipakai karena mempunyai kelemahan pada sanadnya, tapi Thahawi meriwayatkan hadits ini melalui jalan lain dengan sanad yang shahih. Adapun maksudnya adalah melarang witir tiga rakaat apabila menyerupai Maghrib yaitu dengan dua tasyahud, namun kalau witir tiga rakaat dengan tidak pakai tasyahud awwal, maka yang demikian tidak dapat dikatakan menyerupai. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari II:385 dan dianggap baik oleh Shan’aani dalam Subulus Salam II:8.
Kesimpulan dari yang kami uraikan di atas bahwa semua cara witir yang disebutkan di atas adalah baik, hanya perlu dinyatakan bahwa witir tiga rakaat dengan satu kali salam adalah yang lebih utama, namun tidak salah jika ingin melakukan sholat witir 3 raka'at dengan salam pada dua raka'at pertama kemudian bangkit lagi dengan satu rakaa't dan salam.
c. 5 Rakaat dengan satu tasyahud di rakaat yang terakhir kemudian salam. Berdasar riwayat sebagai berikut:
قَا لَتْ عَائِشَةَ:كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَرَكْعَةً يُوْتِرُمِنْ ذَٰلِكَ بِخَمْسٍ وَلاَ يَجْاِسُ فِى شَيْءٍ مِنْهُنَّ اِلاَّ فِى اٰخِرِهِنَّ. ﴿ احمد و البخارى و مسلم فى نيل الاوطار ٣:٤٢ ﴾
‘Aisyah RA berkata,”Rasullulah SAW shalat di malam hari 13 rekaat, dari 13 rekaat itu beliau shalat witir 5 rekaat. Beliau tidak duduk (attahiyat) pada sesuatu rekaat dari yang 5 ini, melainkan pada akhirnya”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim dalam Nailul Authar juz 3 hal 42].
d. 7 Rakaat dengan 2 tasyahud di rekaat 6 dan 7 lalu salam. Berdasar riwayat sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص لمَاَّ كَبُرَوَضَعُفَ اَوْتَرَ بَسَبْعِ رَكَعَاتٍ لاَ يَقْعُدُ اِلاَّ فىِ السَّادِسَةِ ثُمَّ يَنْهَضُ وَلاَ يُسَلِّمُ فَيُصَلِّى السَّابِعَةَ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيْمَةً.﴿ ابن حزم فى المحلى ٣:٤٥ ﴾
Dari Aisyah RA, bahwasanya Rasullulah SAW setelah lanjut usia dan lemah badannya, beliau berwitir dengan 7 rekaat dan tidak duduk kecuali pada rekaat yang ke 6, kemudian berdiri tanpa salam lalu menyelesaikan rekaat yang ke 7 kemudian salam dengan satu kali salam. [HR.Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla juz 3 hal 45].
e. 9 Rakaat dengan 2 tasyahud di rekaat ke 8 dan 9 setelah itu salam Berdasar riwayat sebagai berikut:
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ هِشَامٍ اَنَّهُ قَالَ لِعَائِشَةَ. اَنْبِئِيْنِى عَنْ وِتْرِرَسُوْلِ اللهِ ص فَقَالَتْ: كُنَّا نُعِدُّ لَهُ سِوَاكَهُ وَطَهُوْرَهُ فَيَبْعَثُهُ اللهُ مَا شَاءَ اَنْ يََبْعَثَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَيَتَسَوَّكُ وَيَتَوَضَّأُ وَ يُصَلِّى تِسْعَ رَكَعَاتٍ لاَ يَجْلِسُ فِيْهَا اِلاَّ فِى الثَّامِنَةِ فَيَذْْكُرُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوْهُ ثُمَّ يَنْهَضُ وَلاَ يُسَلِّمُ ثُمَّ يَقُوْمُ فَيُصَلِّى التَّاسِعَةَ ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوْهُ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيْمًا يُسْمِعُنَا ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ وَهُوَ قَاعِدٌ فَتِلْكَ اِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يَابُنَيَّ. ﴿ مسلم ١:٥١٣﴾
Dari Sa’id bin Hisyam bahwasanya ia bertanya kepada ‘Aisyah RA, “(Ya ‘Aisyah), beritahukanlah kepadaku tentang shalat witir Rasulullah SAW”. Jawab ‘Aisyah, “Kami biasa menyediakan penggosok gigi dan air wudlu bagi Rasulullah SAW, lalu beliau bangun malam pada waktu yang dikehendaki Allah. Kemudian beliau menggosok gigi dan berwudlu lalu shalat (witir) sembilan rekaat dan beliau tidak duduk (attahiyat) melainkan pada rakaat yang ke delapan, lalu beliau menyebut, memuji dan berdo’a kepada Allah. Kemudian beliau bangun dengan tidak mengucap salam dan berdiri shalat (rekaat) yang ke sembilan, kemudian beliau duduk (attahiyat) menyebut, memuji dan berdo’a kepada Allah, kemudian beliau mengucap dalam sehingga terdengar oleh kami. Setelah itu beliau shalat 2 rekaat dengan duduk. Yang demikian itu jadi 11 rekaat hai anakku”. [HSR Muslim juz 1 hal 513]
4. Kita dilarang mengerjakan 2 kali shalat witir pada satu malam.
عَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ رض قَلَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ ص يَقُوْلُ: لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ.﴿احمد والترمذي وصححه ابن حبان﴾
Dari Thalq bin Ali, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada dua witir pada satu malam”. [HR Ahmad, Nasai, Tirmidzi dan dishahkan oleh Ibnu Hibban]
5. Bacaan Sesudah Shalat Witir
Menurut riwayat Nasa’i, Rasulullah SAW setelah shalat witir beliau membacaSubhaanal Malikil Qudduus 3 kali.
عَنْ قَتَادَةَ عَنْ زُرَارَةَ عَنْ عَبْدِالرَّحْمٰنِ بْنِ اَبْزَى عَنْ رَسُوْلِ اللهِ ص، كَانَ يُوْتِرُ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلاَعْلٰى، وَقُلْ يٰۤايُّهَا اْلكَافِرُوْنَ، وَقُلْ هُوَاللهُ اَحَدٌ. فَاِذَا فَرَغَ قَالَ: سُبْحَانَ اْلمَلِكِ اْلقُدُّوْسِ ثَلاَ ثًا وَ يَمُدُّ فِى الثَّالِثَةِ. ﴿النسائى ٣:٢٤٧﴾
Dari Qatadah dari Zurarah dari Abdur Rahman bin Abza dari Rasulullah SAW di dalam shalat witir membaca surat Al-A’laa, Al-Kaafirun dan Al-Ikhlash. Setelah selesai lalu beliau mengucapkan, “Subhaanal Malikil Qudduus 3 kali, dan beliau memanjangkan pada bacaan yang ketiga”. [HR Nasaiy juz 3 hal 247]
Dan menurut riwayat Thabrani, setelah bacaan tersebut ada tambahan “Rabbul malaaikati war ruuh” (namun tambahan ini tidak shahih, karena dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Isa bin Yunus, yang tidak diketahui jarh-ta’dilnya)
Adapun bacaan “Allaahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa, fa’fu ‘annii” itu adalah bacaan bila mengetahui Lailatul Qadr, sebagaimana riwayat berikut :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَرَأَيْتَ اِنَّ عَلِمْتُ اَيَّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ اْلقَدْرِ مَا اَقُوْلُ فِيْهَا؟ قِالَ : اَللَّهُمَّ اِنَّكَ عُفُوٌّ تُحِبُّ اْلعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي . ﴿ الترمذي، وَ قَالَ: هَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ، ٥:١٩٥، رقم ٣٥٨٠﴾
Dari ‘Aisyah, ia berkata : Aku bertanya, ‘Ya Rasulullah, bagaimana pendapat engkau apabila aku mengetahui bahwa malam itu malam Lailatul Qadr, apa yang harus aku baca?”, Beliau menjawab, “Bacalah Allaahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa, fa’fu ‘annii (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, Engkau suka memaafkan, maka maafkanlah kesalahanku)”. [HR Tirmidzi, dia berkata hadis ini hasan sahih, juz 5 hal 195 no. 3580]
Lafadh tersebut juga diriwayatkan oleh Ahmad juz 9 hal 526, juz 9 hal 547 dan juz 10 hal 24. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah juz 2, hal 1265, no. 3850. Namun dalam ‘Aridlatul Ahwadzi dengan lafadh :
: اَللَّهُمَّ اِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيْمٌ تُحِبُّ اْلعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي ﴿ الترمذى، فى عارضة الا حو ذى ١٣:٤٢ ، رقم : ٣٥١٣﴾
Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Pemurah, Engkau suka memaafkan, maka maafkanlah kesalahanku. [HR Tirmidzi, dalam ‘Aridlatul Ahwadzi juz 13 hal 42 no. 3513)
6. Bolehkah shalat sunnah lagi setelah shalat witir?
Ada dua pendapat di kalangan ulama, hanya saja pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah pendapat mayoritas ulama yang menyatakan: Bolehnya melakukan shalat sunnah lagi sesukanya walaupun dia telah mengerjakan shalat witir, hanya saja tidak boleh lagi dia mengerjakan shalat witir, karena tidak boleh ada dua shalat witir dalam satu malam.
Dalil-dalil pendapat ini adalah:
a. Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ خَافَ مِنْكُمْ أَنْ لاَ يَسْتَيْقِظَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ ثُمَّ لْيَرْقُدْ
“Barangsiapa di antara kalian yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, maka hendanya dia shalat witir di awal malam lalu dia tidur.” (HR. At-Tirmizi no. 1187 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani rahimahullah).
Dari hadits ini bisa dipetik pendalilan bahwa jika orang tersebut bangun di malam hari -padahal sebelumnya dia sudah witir sebelum tidur-, maka dia masih diperbolehkan untuk shalat.
b. Hadits Ummu Salamah radhiallahu anha yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah melakukan shalat dua rakaat sambil duduk setelah melakukan witir. Diriwayatkan oleh At-Tirmizi no. 471 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani rahimahullah.
c. Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata tentang sifat shalat lail Nabi shallallahu alaihi wasallam:
كَانَ يُصَلِّى ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ يُوتِرُ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat (lail) 13 raka’at. Beliau memulai dengan shalat 8 raka’at kemudian beliau berwitir (satu raka’at). Kemudian setelah itu beliau melaksanakan shalat dua raka’at sambil duduk.” (HR. Muslim no. 738)
Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا
“Jadikanlah akhir shalat malam kalian dengan ganjil (witir).” (HR. Al-Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751)
Maka perintah di sini hukumnya adalah sunnah dan bukan wajib. Wallahu a’lam
No comments:
Post a Comment