Sunday, August 7, 2011

Riwayat-Riwayat tentang Keutamaan Para Shahabat radliyallaahu ‘anhum

Riwayat-Riwayat tentang Keutamaan Para Shahabat radliyallaahu ‘anhum

April 26, 2010 by alfanarku

Abu Al-Jauzaa’ :, 26 April 2010

Allah ta’ala berfirman :

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” [QS. Al-Fath : 26].

وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridla kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” [QS. At-Taubah : 100]

لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka” [QS. At-Taubah : 117].

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ * وَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَئِكَ مِنْكُمْ وَأُولُو الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia. Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [QS. Al-Anfaal : 74-75].

Pertama

حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ حَدَّثَنَا النَّضْرُ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي جَمْرَةَ سَمِعْتُ زَهْدَمَ بْنَ مُضَرِّبٍ سَمِعْتُ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ قَالَ عِمْرَانُ فَلَا أَدْرِي أَذَكَرَ بَعْدَ قَرْنِهِ قَرْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ وَيَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ وَيَنْذُرُونَ وَلَا يَفُونَ وَيَظْهَرُ فِيهِمْ السِّمَنُ

Telah menceritakan kepada kami Ishaaq : Telah menceritakan kepada kami An-Nadlr : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’bah, dari Abu Jamrah : Aku mendengar Zahdam bin Mudlarrib : Aku mendengar ‘Imraan bin Hushain radliyallaahu ‘anhumaa berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “”Sebaik-baik ummatku adalah yang orang-orang hidup pada jamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah mereka”. ‘Imraan berkata : “Aku tidak tahu apakah setelah menyebut generasi beliau (yaitu generasi shahabat), beliau menyebut lagi dua generasi atau tiga generasi setelahnya.” “Kemudian akan datang setelah kalian suatu kaum yang mereka bersaksi padahal tidak diminta bersaksi dan mereka suka berkhianat (sehingga) tidak dipercaya. Mereka memberi peringatan padahal tidak diminta memberi fatwa, dan nampak dari ciri mereka adalah berbadan gemuk-gemuk”.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3650. Diriwayatkan pula oleh Muslim no. 2535, An-Nasaa’iy 7/17, Ahmad 4/426-427, dan Abu Dawud no. 4657.

Kedua

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَبِيدَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ وَكَانُوا يَضْرِبُونَنَا عَلَى الشَّهَادَةِ وَالْعَهْدِ وَنَحْنُ صِغَارٌ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsiir : Telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari Manshuur, dari Ibraahiim, dari ‘Ubaidah, dari ‘Abdullah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup pada jamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah mereka. Kemudian akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya”. Ibrahim berkata : “Dahulu, mereka (para shahabat) memukul kami saat masih kecil bila melanggar perjanjian dan persaksian (untuk sebuah pengajaran)”.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3651. Diriwayatkan pula oleh Muslim no. 2533, At-Tirmidziy no. 3859, Ibnu Maajah no. 2363, Ahmad 1/378 & 434 & 442, dan Ath-Thayaalisiy no. 299.

Ketiga

حَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ أَبِي بِشْرٍ ح و حَدَّثَنِي إِسْمَعِيلُ بْنُ سَالِمٍ أَخْبَرَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو بِشْرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ أُمَّتِي الْقَرْنُ الَّذِينَ بُعِثْتُ فِيهِمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ وَاللَّهُ أَعْلَمُ أَذَكَرَ الثَّالِثَ أَمْ لَا قَالَ ثُمَّ يَخْلُفُ قَوْمٌ يُحِبُّونَ السَّمَانَةَ يَشْهَدُونَ قَبْلَ أَنْ يُسْتَشْهَدُوا

Telah menceritakan kepadaku Ya’quub bin Ibraahiim : Telah menceritakan kepada kami Husyaim, dari Abu Bisyr. Dan telah menceritakan kepadaku Ismaa’iil bin Saalim : Telah mengkhabarkan kepada kami Husyaim : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bisyr, dari ‘Abdullah bin Syaqiiq, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sebaik-baik umatku adalah masa ketika aku diutus kepada mereka, kemudian generasi setelah mereka”. Aku (perawi) tidak tahu apakah beliau menyebutkan generasi setelah beliau tiga kali atau empat kali. Lalu beliau bersabda lagi : “Lalu akan datang suatu kaum (yang mereka berlebih-lebihan makan dan minumnya) hingga menyebabkan mereka gemuk. Mereka bersaksi sebelum diminta untuk bersaksi”.

Diriwayatkan oleh Muslim no. 2534. Diriwayatkan juga oleh Ahmad 2/228.

Keempat

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَشُجَاعُ بْنُ مَخْلَدٍ وَاللَّفْظُ لِأَبِي بَكْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ وَهُوَ ابْنُ عَلِيٍّ الْجُعْفِيُّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ السُّدِّيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ الْبَهِيِّ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ الْقَرْنُ الَّذِي أَنَا فِيهِ ثُمَّ الثَّانِي ثُمَّ الثَّالِثُ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Syuj’aan bin Makhlad – dan lafadh ini adalah lafadh Abu Bakr – mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Husain – ia adalah Ibnu ‘Aliy Al-Ju’fiy, dari Zaaidah, dari As-Suddiy, dari ‘Abdullah Al-Bahiy, dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Manusia manakah yang paling baik ?’. Beliau menjawab : ‘Generasi manusia yang aku masih ada di dalamnya. Kemudian yang kedua (setelahnya), kemudian yang ketiga (setelahnya lagi)”.

Diriwayatkan oleh Muslim no. 2536. Diriwayatkan pula oleh Ahmad 6/156.

Kelima

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ أَبَانَ كُلُّهُمْ عَنْ حُسَيْنٍ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ الْجُعْفِيُّ عَنْ مُجَمَّعِ بْنِ يَحْيَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ صَلَّيْنَا الْمَغْرِبَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُلْنَا لَوْ جَلَسْنَا حَتَّى نُصَلِّيَ مَعَهُ الْعِشَاءَ قَالَ فَجَلَسْنَا فَخَرَجَ عَلَيْنَا فَقَالَ مَا زِلْتُمْ هَاهُنَا قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّيْنَا مَعَكَ الْمَغْرِبَ ثُمَّ قُلْنَا نَجْلِسُ حَتَّى نُصَلِّيَ مَعَكَ الْعِشَاءَ قَالَ أَحْسَنْتُمْ أَوْ أَصَبْتُمْ قَالَ فَرَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ وَكَانَ كَثِيرًا مِمَّا يَرْفَعُ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتْ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah, Ishaaq bin Ibraahiim, ‘Abdullah bin ‘Umar bin Abaan, semuanya dari Husain. Telah berkata Abu Bakr : Telah menceritakan kepada kami Husain bin ‘Aliy Al-Ju’fiy, dari Mujammi’ bin Yahyaa, dari Sa’iid bin Abi Burdah, dari Abu Burdah, dari ayahnya, ia berkata : “Kami pernah melaksanakan shalat Maghrib berjama’ah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian kami berkata : ’Sebaiknya kami duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menunggu waktu shalat ‘Isya’. Ayah Abu Burdah berkata : ‘Kami duduk-duduk di masjid, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami seraya bertanya : ‘Kalian masih di sini?’. Kami menjawab : ‘Benar ya Rasulullaah! Kami telah melaksanakan shalat Maghrib berjamaah bersama engkau. Oleh karena itu kami memilih untuk duduk-duduk di masjid sambil menunggu shalat ‘Isya’ berjamaah dengan engkau’. Rasulullah pun berkata : ‘Kalian benar-benar telah melakukan kebaikan.’ Lalu Rasulullah mengangkat kepalanya ke atas dan berkata : ‘Bintang-bintang ini merupakan amanah/penjaga bagi langit. Apabila bintang-bintang tersebut hilang, maka langit akan tertimpa apa yang telah dijanjikan. Aku adalah amanah/penjaga para sahabatku. Kalau aku sudah tidak ada, maka mereka, para sahabatku, akan tertimpa apa yang telah dijanjikan. Para sahabatku adalah amanah/penjaga umatku. Apabila para sahabatku telah tiada, maka umatku pasti akan tertimpa apa yang telah dijanjikan kepada mereka”.

Diriwayatkan oleh Muslim no. 2531. Diriwayatkan pula oleh Ahmad 4/398-399.

Keenam

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ فَيَغْزُو فِئَامٌ مِنْ النَّاسِ فَيَقُولُونَ فِيكُمْ مَنْ صَاحَبَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَقُولُونَ نَعَمْ فَيُفْتَحُ لَهُمْ ثُمَّ يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ فَيَغْزُو فِئَامٌ مِنْ النَّاسِ فَيُقَالُ هَلْ فِيكُمْ مَنْ صَاحَبَ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَقُولُونَ نَعَمْ فَيُفْتَحُ لَهُمْ ثُمَّ يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ فَيَغْزُو فِئَامٌ مِنْ النَّاسِ فَيُقَالُ هَلْ فِيكُمْ مَنْ صَاحَبَ مَنْ صَاحَبَ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَقُولُونَ نَعَمْ فَيُفْتَحُ لَهُمْ

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillah : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Amr, ia berkata : Aku mendengar Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhumaa berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Akan datang kepada manusia suatu jaman yang ketika itu ada sekelompok orang yang berperang lalu orang-orang bertanya kepada mereka : ‘Apakah diantara kalian ada orang yang bersahabat (mendampingi) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam?”. Kelompok itu menjawab : ‘Ya ada’. Maka mereka diberi kemenangan. Kemudian akan datang lagi kepada manusia suatu jaman yang ketika itu ada sekelompok orang yang berperang lalu ditanyakan kepada mereka : ‘Apakah diantara kalian ada orang yang bershahabat dengan shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam?”. Mereka menjawab : ‘Ya ada’. Maka mereka diberi kemenangan. Kemudian akan datang lagi kepada manusia suatu jaman yang ketika itu ada sekelompok orang yang berperang lalu ditanyakan kepada mereka : ‘Apakah diantara kalian ada orang yang bershahabat dengan orang yang bershahabat dengan shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam?’. Mereka menjawab : ‘Ya ada’. Maka mereka diberi kemenangan”.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3649. Diriwayatkan pula oleh Muslim no. 2532 dan Ahmad 3/7.

Ketujuh

حدثنا زيد بن الحباب قال : حدثنا عبد الله العلاء أبو الزَّبْر الدمشقي قال : حدثنا عبد الله بن عامر، عن واثلة الأسقع قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لَا تَزَالُوْنَ بِخَيْرٍِ مَا دَام عَلَيْكُمْ مَنْ رَآنِيْ وَصَاحَبَنِيْ. وَاللهِ لَا تَزَالُوْنَ بِخَيْرٍِ مَا دَامَ فِيْكُمْ مَنِ رَأى مَنْ رَآنِيْ وَصَاحَبَ مَنْ صَاحَبَنِيْ، وَاللهِ لَا تَزَالُوْنَ بِخَيْرٍِ مَا دَامَ فِيْكُمْ مَنْ رَأَى مَنْ رَأَى مَنْ رَآنِيْ، وَصَاحَبَ مَنْ صَاحَبَ مَنْ صَاحَبَنِيْ.

Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al-Habbaab, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullh Al-‘Alaa’ Abu Zabr Ad-Dimasyqiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Aamir, dari Waatsilah Al-Asqa’, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Kalian akan senantiasa berada dalam kebaikan selama ada di tengah-tengah kalian orang yang pernah melihatku dan bershahabat denganku. Demi Allah, kalian akan senantiasa berada dalam kebaikan selama ada di tengah-tengah kalian orang yang pernah melihat orang yang pernah melihatku dan bershahabat dengan orang yang pernah bershahabat denganku. Demi Allah, kalian akan senantiasa berada dalam kebaikan selama ada di tengah-tengah kalian orang yang pernah melihat orang yang pernah melihat orang yang pernah melihatku, dan bershahabat dengan orang yang bershahabat dengan orang yang bershahabat denganku”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 12/178. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi ‘Aashm dalam As-Sunah no. 1481 serta Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 22/no. 207 dan dalam Musnad Asy-Syaamiyyiin no. 799.[1]

Kedelapan

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ مِمَّنْ بَايَعَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Al-Laits, dari Abuz-Zubair, dari Jaabir, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak akan masuk neraka seseorang yang pernah berbai’at di bawah pohon”.

Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3860. Diriwayatkan juga oleh Ahmad 3/350, Abu Dawud no. 4653, Ibnu Hibbaan no. 4802, dan yang lainnya.[2]

Kesembilan

أخبرنا الفضل بن يعقوب الرخامي وهلال بن العلاء قالا : أخبرنا عبد الله بن جعفر قال : أخبرنا عيسى بن يونس عن إسماعيل بن أبي خالد عن ابن أبي أوفى – رضي الله عنه – عن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال : لَنْ يلجَ النَّارَ أحَدٌُ شَهِدَ بَدْرًَا وَالْحُدَيْبِيَّة.

Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Fadhl bin Ya’quub Ar-Rakhaamiy dan Hilaal bin Al-‘Ala’, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Ja’far, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Iisaa bin Yuunus, dari Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari Ibnu Abi Aufaa radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Tidak akan masuk neraka siapa saja yang menyaksikan peperangan Badr dan perjanjian Hudaibiyyah”.

Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Al-Bahruz-Zakhaar 8/276 no. 3340 dan Kasyful-Astaar 3/287 no. 2760.[3]

Kesepuluh

حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ حُمَيْدٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ كَانَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ الْخَنْدَقِ تَقُولُ نَحْنُ الَّذِينَ بَايَعُوا مُحَمَّدَا عَلَى الْجِهَادِ مَا حَيِينَا أَبَدَا فَأَجَابَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَا عَيْشَ إِلَّا عَيْشُ الْآخِرَهْ فَأَكْرِمْ الْأَنْصَارَ وَالْمُهَاجِرَهْ

Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin ‘Umar : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Humaid, ia berkata : Aku mendengar Anas radliyallaahu ‘anhu berkata : “Pada saat perang Khandaq, orang-orang Anshar bersya’ir : ‘Kami adalah orang-orang yang berbai’at kepada Muhammad. Untuk terus berjihad selama kami hidup’. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyambut sya’ir mereka dengan bersya’ir : ‘Ya Allah, tidak ada kehidupan yang sesungguhnya melainkan kehidupan akhirat. Maka muliakanlah Anshar dan Muhajirin’.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2961.

Kesebelas

حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْأَعْمَشِ قَالَ سَمِعْتُ ذَكْوَانَ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

Telah menceritakan kepada kami Aadam bin Abi Iyaas : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Al-A’masy, ia berkata : Aku mendengar Dzakwaan menceritakan dari Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah kalian mencela shahabat-shahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian menginfaqkan emas sebesar bukit Uhud, tidak akan ada yang menyamai satu timbangan (pahala) seorangpun dari mereka, juga tidak akan sampai setengahnya”.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3673. Diriwayatkan pula oleh Muslim no. 2541, Ahmad 3/11, Abu Dawud no. 4658, At-Tirmidziy no. 3860, dan Abu Ya’laa no. 1171 & 1198.

Keduabelas

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ الْحَفَرِيُّ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زِيَادٍ الْأَفْرِيقِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلَانِيَةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

Telah menceritakan kepada kami Mahmuud bin Ghailaan : Telah menceritakan kepada kami Abu Daawud Al-Hafariy, dari Sufyaan Ats-Tsauriy, dari ‘Abdurrahmaan bin Ziyaad Al-Afriiqiy, dari ‘Abdullah bin Yaziid, dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Pasti akan datang kepada ummatku, sesuatu yang telah datang pada ani Israaiil seperti sejajarnya sandal dengan sandal, sehingga apabila di antara mereka (bani Israaiil) ada orang yang menggauli ibu kandungnya sendiri secara terang terangan maka pasti di antara ummatku ada yang melakukan demikian. Sesungguhnya bani Israil terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan semuanya masuk ke dalam neraka kecuali satu golongan”. Para shahabat bertanya : “Siapakah mereka wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab : “Mereka adalah golongan yang mana aku dan para sahabatku berpegang teguh padanya”.

Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2641. Diriwayatkan pula oleh Al-Hakim 1/218-219 Al-Ajurriy dalam Asy-Syarii’ah 1/127-128 no. 23-24, Ath-Thabaraniy dalam Ash-Shaghiir 2/29-30 no. 724 & Al-Ausath 5/137 no. 4886, dan yang lainnya.[4]

Ketigabelas

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا عَاصِمٌ عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr : Telah menceritakan kepada kami ‘Aashim, dari Zirr bin Hubaisy, dari ‘Abdullah bin Mas’uud, ia berkata : “Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya dan Allah mendapati hati Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik hati manusia. Maka Allah pilih Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya. Allah memberikan kepadanya risalah, kemudian Allah melihat dari seluruh hati hamba-hamba-Nya setelah Nabi-Nya, maka didapati bahwa hati para shahabat merupakan hati yang paling baik sesudahnya. Maka Allah jadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya yang mereka berperang atas agama-Nya. Apa yang dipandang kaum muslimin (yaitu para shahabat Rasul) itu baik, maka itu baik pula di sisi Allah. Dan apa yang mereka (para shahabat Rasul) pandang jelek, maka di sisi Allah itu jelek”.

Diriwayatkan oleh Ahmad 1/379.[5] Diriwayatkan pula oleh Al-Bazzaar no. 130, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 8582-8583, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 105, dan yang lainnya.

Itulah keutamaan-keutamaan para shahabat. Kedudukan mereka menjulang tinggi di antara umat Muhammad yang tidak akan tercapai generasi setelahnya. Mereka akan terus mendapatkan aliran pahala dan kebaikan dari umat Islam dengan sebab kebaikan yang telah mereka sampaikan kepada kita.

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَابْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Ayyuub, Qutaibah bin Sa’iid, dan Ibnu Hujr, mereka semua berkata : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil – yaitu Ibnu Ja’far – , dari Al-‘Alaa’, dari ayhnya, dari Abu Hurairah : Bahwasannya Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Barangsiapa mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapat pahala sebanyak pahala yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Sebaliknya, barangsiapa mengajak kepada kesesatan, maka ia akan mendapat dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun”.

Diriwayatkan oleh Muslim no. 2674.

Jika demikian, apakah mungkin kita akan mengikuti prasangka bathil sebagian orang yang menganggap para shahabat telah kafir[6] dan telah berkhianat terhadap umat ?.[7] Prasangka itu hanyalah prasangka yang tidak ada nilainya walau seujung jarum. Allah ta’ala telah berfirman :

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran” [QS. Yuunus : 36].

Allah ta’ala telah memerintahkan kita untuk mendoakan mereka sebagaimana firman-Nya :

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Hasyr : 10].

Itulah salah satu perwujudan rasa syukur kepada Allah ta’ala atas segala nikmat iman dan Islam atas diri kita.

حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ

Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibraahiim : Telah menceritakan kepada kami Ar-Rabii’ bin Muslim, dari Muhammad bin Ziyaad, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Tidak dianggap bersyukur kepada Allah orang yang tidak bersyukur kepada manusia”.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4811.[8]

Semoga ada manfaatnya. [abu al-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 1431 H – sebagian isi artikel ini mengambil dari buku Ash-Shahiihul-Musnad min Fadlaailish-Shahaabah karya Mushthafaa bin Al-‘Adawiy hafidhahullah].

[1] Sanad riwayat ini hasan; sebagaimana dihasankan oleh Al-Haafidh [lihat Fathul-Baariy, 7/5].

[2] Shahih. Mereka yang berbaiat kepada Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam di bawah pohon dijelaskan pada riwayat berikut :حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَمْرٍو يَعْنِي ابْنَ مُرَّةَ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أَوْفَى قَالَ كَانَ أَصْحَابُ الشَّجَرَةِ أَلْفًا وَثَلَاثَ مِائَةٍ وَكَانَتْ أَسْلَمُ ثُمْنَ الْمُهَاجِرِينَTelah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin Mu’aadz : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari ‘Amr – yaitu Ibnu Murrah – : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Abi Aufaa, ia berkata : “”Shahabat yang menyaksikan bai’at di bawah pohon berjumlah seribu tiga ratus orang, dan suku Aslam (jumlahnya) seperdelapan kaum muhajirin”.Diriwayatkan oleh Muslim no. 1857.

[3] Shahih. Para perawinya tsiqaat, kecuali ‘Abdullah bin Ja’far dimana hapalannya berubah di akhir hayatnya. Akan tetapi itu tidak menjatuhkan hadits ini karena Al-Fadhl bin Ya’quub Ar-Rukhaamiy termasuk shahabatnya yang terdahulu, sebagaimana diisyaratkan Ibnu Hajar dalam Hadyus-Saariy – melalui perantaraan kitab Al-Ahaadiitsul-Waaridah fii Fadlaailish-Shahaabah 1/489. Dibawakan Al-Haitsamiy dalam Majma’uz-Zawaaid 9/160. [4] Hasan lighairihi. Silakan lihat pembahasan sanadnya di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/08/hadits-maa-ana-alaihi-wa-ashhaabii-apa.html.

[5] Hasan, dikarenakan ‘Aashim. Ia adalah Ibnu Abun-Nujuud. Adapun selainnya adalah para perawi tsiqaat, termasuk para perawi Shahihain selain Abu Bakr (bin Iyaasy), ia hanya dipakai oleh Al-Bukhaariy saja.

[6] Seperti sekte Syi’ah yang menganggap para shahabat semuanya kafir kecuali hanya beberapa gelintir saja di antara mereka.

عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ سَهْلِ بْنِ زِيَادٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ أُورَمَةَ عَنِ النَّضْرِ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي خَالِدٍ الْقَمَّاطِ عَنْ حُمْرَانَ بْنِ أَعْيَنَ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) جُعِلْتُ فِدَاكَ مَا أَقَلَّنَا لَوِ اجْتَمَعْنَا عَلَى شَاةٍ مَا أَفْنَيْنَاهَا فَقَالَ أَ لَا أُحَدِّثُكَ بِأَعْجَبَ مِنْ ذَلِكَ الْمُهَاجِرُونَ وَ الْأَنْصَارُ ذَهَبُوا إِلَّا وَ أَشَارَ بِيَدِهِ ثَلَاثَةً

Sejumlah shahabat kami, dari Sahl bin Ziyaad, dari Muhammad bin Auramah, dari An-Nadlr, dari Yahyaa bin Abi Khaalid Al-Qammaath, dari Humraan bin A’yan, ia berkata : Aku berkata kepada Abu Ja’far (‘alaihis-salaam) : “Demi engkau, betapa sedikitnya jika kita memotong seekor kambing lalu kita habiskan”. Abu Ja’far berkata : “Maukah engkau aku ceritakan dengan sesuatu yang lebih mengherankan dari itu ? Orang-orang Muhaajiriin dan Anshaar telah keluar (dari Islam/murtad) kecuali – dan ia mengisyaratkan dengan tangannya – tiga”.

Dibawakan oleh Al-Kulainiy dalam Al-Kaafiy 2/244. Yang semisal dengan ini dibawakan pula oleh Ath-Thuusiy dalam kitabnya Ikhtiyaar Ma’rifatir-Rijaal 1/6.

Ini satu contoh tentang shahabat dari kitab hadits paling mu’tamad yang mereka miliki. Kita meyakini bahwa riwayat tersebut telah didustakan orang-orang Syi’ah dengan mengatasnamakan Abu Ja’far. Saya tidak tahu, apakah orang-orang Syi’ah ini hendak menjadikan Abu Ja’far seorang yang bodoh terhadap Kitabullah ? Sudah sangat jelas pujian umum yang diberikan Allah ta’ala kepada generasi pertama Islam ini.

Mungkin orang-orang Syi’ah – yang gemar mengkais-kais riwayat Ahlus-Sunnah yang mereka sangka dapat mengokohkan madzhab pengkafiran dan pemfasikan mereka terhadap para shahabat – berandai-andai……. seandainya riwayat berikut terhapus dari kitab-kitab hadits Ahlus-Sunnah :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِسْكِينٍ الْيَمَامِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ وَهُوَ ابْنُ بِلَالٍ عَنْ شَرِيكِ بْنِ أَبِي نَمِرٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَخْبَرَنِي أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ أَنَّهُ تَوَضَّأَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ خَرَجَ فَقَالَ لَأَلْزَمَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَأَكُونَنَّ مَعَهُ يَوْمِي هَذَا قَالَ فَجَاءَ الْمَسْجِدَ فَسَأَلَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا خَرَجَ وَجَّهَ هَاهُنَا قَالَ فَخَرَجْتُ عَلَى أَثَرِهِ أَسْأَلُ عَنْهُ حَتَّى دَخَلَ بِئْرَ أَرِيسٍ قَالَ فَجَلَسْتُ عِنْدَ الْبَابِ وَبَابُهَا مِنْ جَرِيدٍ حَتَّى قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَاجَتَهُ وَتَوَضَّأَ فَقُمْتُ إِلَيْهِ فَإِذَا هُوَ قَدْ جَلَسَ عَلَى بِئْرِ أَرِيسٍ وَتَوَسَّطَ قُفَّهَا وَكَشَفَ عَنْ سَاقَيْهِ وَدَلَّاهُمَا فِي الْبِئْرِ قَالَ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ ثُمَّ انْصَرَفْتُ فَجَلَسْتُ عِنْدَ الْبَابِ فَقُلْتُ لَأَكُونَنَّ بَوَّابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْيَوْمَ فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ فَدَفَعَ الْبَابَ فَقُلْتُ مَنْ هَذَا فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ فَقُلْتُ عَلَى رِسْلِكَ قَالَ ثُمَّ ذَهَبْتُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا أَبُو بَكْرٍ يَسْتَأْذِنُ فَقَالَ ائْذَنْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ قَالَ فَأَقْبَلْتُ حَتَّى قُلْتُ لِأَبِي بَكْرٍ ادْخُلْ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَشِّرُكَ بِالْجَنَّةِ قَالَ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ فَجَلَسَ عَنْ يَمِينِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَهُ فِي الْقُفِّ وَدَلَّى رِجْلَيْهِ فِي الْبِئْرِ كَمَا صَنَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَشَفَ عَنْ سَاقَيْهِ ثُمَّ رَجَعْتُ فَجَلَسْتُ وَقَدْ تَرَكْتُ أَخِي يَتَوَضَّأُ وَيَلْحَقُنِي فَقُلْتُ إِنْ يُرِدْ اللَّهُ بِفُلَانٍ يُرِيدُ أَخَاهُ خَيْرًا يَأْتِ بِهِ فَإِذَا إِنْسَانٌ يُحَرِّكُ الْبَابَ فَقُلْتُ مَنْ هَذَا فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَقُلْتُ عَلَى رِسْلِكَ ثُمَّ جِئْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ وَقُلْتُ هَذَا عُمَرُ يَسْتَأْذِنُ فَقَالَ ائْذَنْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ فَجِئْتُ عُمَرَ فَقُلْتُ أَذِنَ وَيُبَشِّرُكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْجَنَّةِ قَالَ فَدَخَلَ فَجَلَسَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْقُفِّ عَنْ يَسَارِهِ وَدَلَّى رِجْلَيْهِ فِي الْبِئْرِ ثُمَّ رَجَعْتُ فَجَلَسْتُ فَقُلْتُ إِنْ يُرِدْ اللَّهُ بِفُلَانٍ خَيْرًا يَعْنِي أَخَاهُ يَأْتِ بِهِ فَجَاءَ إِنْسَانٌ فَحَرَّكَ الْبَابَ فَقُلْتُ مَنْ هَذَا فَقَالَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ فَقُلْتُ عَلَى رِسْلِكَ قَالَ وَجِئْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ ائْذَنْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ مَعَ بَلْوَى تُصِيبُهُ قَالَ فَجِئْتُ فَقُلْتُ ادْخُلْ وَيُبَشِّرُكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْجَنَّةِ مَعَ بَلْوَى تُصِيبُكَ قَالَ فَدَخَلَ فَوَجَدَ الْقُفَّ قَدْ مُلِئَ فَجَلَسَ وِجَاهَهُمْ مِنْ الشِّقِّ الْآخَرِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Miskiin Al-Yamaamiy : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Hassaan : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan – ia adalah Ibnu Bilaal – , dari Syariik bin Abi Namir, dari Sa’iid bin Al-Musayyib : Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Muusaa Al-Asy’ariy : Bahwasanya ia pernah berwudlu di rumahnya. Setelah itu ia keluar dari rumah sambil berkata : “Pada hari ini aku berniat untuk selalu berada di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaaihi wa sallam.” Lalu Abu Muusaa pergi ke masjid dan menanyakan keberadaan Rasulullah kepada para shahabat yang kebetulan sedang berada di sana. Mereka berkata : “Beliau telah pergi ke arah sana”. Kemudian Abu Muusaa pun keluar dan masjid seraya mengikuti jejak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakannya hingga beliau tiba di sumur Aris. Abu Muusaa berkata : “Lalu aku duduk di sisi pintu yang terbuat dari pelepah kurma. Setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selesai membuang hajat dan wudlu, maka saya pun berupaya untuk mendekati beliau. Ternyata Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk di atas sumur Aris di tengah alas duduk sambil menyisingkan pakaian pada kedua betisnya dan menjulurkan keduanya ke dalam sumur. Lalu aku ucapkan salam kepada beliau dan kembali duduk di sisi pintu seraya berkata : ‘Hari ini aku akan setia menjadi penjaga pintu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Tak lama kemudian datanglah Abu Bakar sambil mendorong pintu sumur. Lalu aku bertanya : ‘Siapa itu di luar?’. Ia menjawab : ‘Aku, Abu Bakr’. Aku berkata kepadanya : ‘Tunggu sebentar wahai Abu Bakr!’. Abu Bakr menjawab : ‘Ya’. Aku menghampiri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sambil berkata : ‘Wahai Rasulullah, ada Abu Bakr yang datang dan minta ijin untuk masuk ke sini ?’. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : ‘Suruh ia masuk dan beritahukan kabar gembira tentang surga kepadanya!’. Lalu aku kembali menemui Abu Bakr dan aku katakan kepadanya : ‘Wahai Abu Bakr, silahkan masuk dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kabar gembira tentang surga kepadamu’. Abu Bakr masuk ke dalam dan langsung duduk di sebelah kanan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada alas duduk yang sama sambil menjulurkan kedua kakinya ke dalam sumur, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan menyingsingkan pakaian di kedua betisnya. Lalu aku duduk kembali di sisi pintu masuk sumur. Ketika itu, sebenarnya aku telah meninggalkan saudaraku yang sedang berwudlu dan akan menyusulku. Aku berkata dalam hati : ‘Apabila Allah menghendaki kebaikan baginya, niscaya Allah akan mendatangkannya kepadaku’. Tidak lama kemudian, ada seseorang yang menggerak-gerakkan pintu. Lalu aku bertanya kepadanya : ‘Siapa di luar sana?’. Orang tersebut menjawab : ‘Umar bin Khaththaab’. Aku berkata : ‘Tunggu sebentar wahai ‘Umar!’. Lalu aku menghampiri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sambil berkata : ‘Wahai Rasulullah, ada ‘Umar di luar dan minta ijin untuk masuk ke dalam’. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Suruh ia masuk dan beritahukan kabar gembira tentang surga kepadanya!’. Kemudian aku temui seraya berkata : ‘Wahai ‘Umar, Rasulullah mengijinkanmu masuk ke dalam dan menyampaikan berita gembira tentang surga kepadamu’. Maka ‘Umar bin Al-Khaththaab pun masuk ke dalam, lalu duduk di sebelah kiri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sambil menjulurkan kedua kakinya ke dalam sumur. Setelah itu aku duduk kembali sambil berkata : ‘Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi saudaraku, niscaya Dia akan mendatangkannya ke sini’. Tak lama kemudian ada seseorang yang datang dan menggerak-gerakkan pintu. Maka aku pun berseru kepadanya : ‘Siapakah di luar sana?’. Orang tersebut menjawab : ‘Utsmaan bin Affaan’. Lalu aku berkata kepadanya : ‘Tunggu sebentar wahai ‘Utsmaan!’. Aku menghampiri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sambil memberitahukan tentang kedatangan ‘Utsmaan. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda : ‘Suruh dia masuk dan beritahukan kepadanya kabar tentang surga kepadanya serta cobaan-cobaan yang akan menimpanya’. Maka aku temui ‘Utsmaan bin ‘Affaan sambil berkata : ‘Silahkan masuk hai ‘Utsmaan dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kabar gembira tentang surga kepadamu serta cobaan-cobaan yang akan menimpamu!’. Lalu ‘Utsmaan pun masuk ke dalam tetapi ia mendapati alas duduk telah penuh. Akhirnya ia duduk berhadapan dengan mereka di sisi yang lain” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1868].

Namun taqdir Allah ta’ala tidak berpihak pada andai-andai mereka (Syi’ah). Hadits di atas tetap ada dan abadi sampai waktu yang Allah ta’ala kehendaki. Kedudukan Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhum yang menjadi simbolitas permusuhan mereka terhadap Ahlus-Sunnah (dengan alasan palsu : imamah) tetap tinggi menjulang walau mereka tak letih berdoa dengan doa laknat :

اللهم صل على محمد، وآل محمد، اللهم العن صنمي قريش، وجبتيهما، وطاغوتيهما، وإفكيهما، وابنتيهما، اللذين خالفا أمرك، وأنكروا وحيك، وجحدوا إنعامك، وعصيا رسولك، وقلبا دينك، وحرّفا كتابك….

“Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. Ya Allah, laknat bagi dua berhala Quraisy, Jibt dan Thaghut, kawan-kawan, serta putra-putri mereka berdua. Mereka berdua telah membangkang perintah-Mu, mengingkari wahyu-Mu, menolak kenikmatan-Mu, mendurhakai Rasul-Mu, menjungkir-balikkan agama-Mu, merubah kitab-Mu…..dst.”.

Tentu saja doa itu tidak akan terkabulkan, sebab :

مَا عَلَى الْأَرْضِ مُسْلِمٌ يَدْعُو اللَّهَ بِدَعْوَةٍ إِلَّا آتَاهُ اللَّهُ إِيَّاهَا أَوْ صَرَفَ عَنْهُ مِنْ السُّوءِ مِثْلَهَا مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ

Tidaklah seorang muslim di atas muka bumi berdoa kepada Allah dengan sebuah doa melainkan Allah akan memberikan kepadanya, atau memalingkan keburukan darinya seperti doanya, selama ia tidak berdoa untuk melakukan perbuatan dosa atau memutuskan hubungan kekerabatan”.

Dan laknat itu kembali kepada mereka, sebab laknat itu telah diucapkan kepada orang yang tidak berhak menerimanya :

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا لَعَنَ شَيْئًا صَعِدَتْ اللَّعْنَةُ إِلَى السَّمَاءِ فَتُغْلَقُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ دُونَهَا ثُمَّ تَهْبِطُ إِلَى الْأَرْضِ فَتُغْلَقُ أَبْوَابُهَا دُونَهَا ثُمَّ تَأْخُذُ يَمِينًا وَشِمَالًا فَإِذَا لَمْ تَجِدْ مَسَاغًا رَجَعَتْ إِلَى الَّذِي لُعِنَ فَإِنْ كَانَ لِذَلِكَ أَهْلًا وَإِلَّا رَجَعَتْ إِلَى قَائِلِهَا

“Jika seorang hamba melaknat sesuatu, maka laknat itu akan naik ke langit, dan tertutuplah pintu-pintu langit. Kemudian laknat itu akan turun lagi ke bumi, namun pintu-pintu bumi telah tetutup. Laknat itu kemudian bergerak ke kanan dan ke kiri, jika tidak mendapatkan tempat berlabuh, ia akan menghampiri orang yang dilaknat, jika layak dilaknat. Namun jika tidak, maka laknat itu akan kembali kepada orang yang melaknat”.

Senjata makan tuan.

Dan kita katakan kepada mereka dengan firman Allah ta’ala :

مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ

“Matilah kamu karena kemarahanmu itu” [QS. Aali ’Imraan : 119].

[7] Ada riwayat sebagai berikut :

حدثنا هارون بن سفيان قال : نا علي بن قادم قال : نا شريك عن أجلح عن حبيب بن أبي ثابت عن ثعلبة بن يزيد عن أبيه هكذا قال : وأحسبه غلط إنما هو عن علي قال : سمعت عليا يقول على المنبر : واللهِ لعهد النبي الأمي إلى أن الأمة ستغدر بي

Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin Sufyaan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Qaadim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syariik, dari Ajlah, dari Habiib bin Abi Tsaabit, dari Tsa’labah bin Yaziid, dari ayahnya – begitulah yang ia katakan, dan aku kira ia telah keliru, karena ia (Tsa’labah) meriwayatkannya dari ‘Aliy – ia berkata : Aku mendengar ‘Aliy berkata di atas mimbar : “Demi Allah, sungguh Nabi yang ummiy shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengamanatkan kepadaku bahwa umat akan mengkhianatiku”.

[Musnad Al-Bazzaar 3/91-92 no. 869 dan Kasyful-Astaar 3/203 no. 2569].

Sanad :

a. Haaruun bin Sufyaan (w. 247/251 H) : Al-Khathiib menyebutkan biografinya di Taariikh Baghdaad (16/34-36 no. 7308) tanpa menyebutkan adanya jarh ataupun ta’diil.

b. ‘Aliy bin Qaadim (w. 113 H) : Yahya bin Ma’iin berkata : “Dla’iif” [Al-Kaamil 6/344 no. 1352]. Ibnu ‘Adiy mengelompokkannya dalam jajaran perawi lemah dengan mengatakan : “Ia termasuk orang yang ditulis haditsnya” [idem]. Abu Haatim berkata : “Tempatnya kejujuran” [Al-Jarh wat-Ta’diil 6/201 no. 1107]. Ibnu Sa’d berkata : “Munkarul-hadiits, sangat ber-tasyayu’” [Ath-Thabaqaat 6/404]. Al-‘Ijliy berkata : “Orang Kuffah yang tsiqah” [Ats-Tsiqaat, 2/157 no. 1308]. Ibnu Qani’ berkata : “Orang Kuffah yang shaalih”. As-Saajiy berkata : “Jujur, padanya terdapat kelemahan”. Ibnu Khalfuun memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat [Tahdziibut-Tahdziib, 7/374 no. 605]. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, ber-tasyayyu’” [At-Taqriib, hal. 703 no. 4819]. Basyar ‘Awwad mengatakan : “Bahkan ia lemah, namun dapat digunakan sebagai i’tibar dalam mutaabi’aat dan syawaahid” [Tahriirut-Taqriib, 3/52 no. 4785]. Adz-Dzahabiy berkata : “Shuwailihul-hadiits, namun di-dla’if-kan oleh Ibnu Ma’iin” [Diiwaan Adl-Dlu’afaa’, hal. 285 no. 2954]. Ia juga memasukkannya dalam jajaran perawi lemah pada Al-Mughniy (2/93 no. 4316) dengan menukil perkataan Abu Haatim dan Ibnu Ma’iin.

Kesimpulan : Ia seorang perawi lemah, ber-tasyayyu’, ditulis haditsnya, dan bisa dijadikan i’tibar.

c. Syariik (w. 178 H) : Ia adalah Ibnu ‘Abdillah An-Nakha’iy Al-Kuufiy.

Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Syariik tsiqah, ia lebih aku senangi daripada Abul-Ahwash dan Jariir” [Taariikh Baghdaad 10/387]. Ada beberapa riwayat lain dari Ibnu Ma’iin yang men-tsiqah-kannya. Abu Haatim berkata : “Syariik, tidak boleh berhujjah dengan haditsnya”. Ibraahiim bin Ya’quub Al-Juuzjaaniy berkata : “Syariik bin ‘Abdillah jelek hapalannya, mudltharibul-hadiits”. Ya’quub bin Syaibah berkata : “Tsiqah, jujur, shahih dalam (periwayatan) kitabnya, namun buruk hapalannya sehingga goncang (mudltharib)”. Abu ‘Aliy Shaalih bin Muhammad berkata : “Jujur. Namun ketika ia menjabat sebagai hakim, goncang hapalannya” [idem, 10/390]. Yahyaa bin Sa’iid mengatakan bahwa Syariik adalah orang yang tercampur hapalannya. ‘Isaa bin Yuunus berkata : “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih wara’ dalam ilmunya dibandingkan Syariik”. Abu Zur’ah berkata : “Syariik banyak haditsnya, shaahibul-wahm, dan kadang-kadang keliru” [Al-Jarh wat-Ta’diil 4/366]. Abu Haatim berkata : “Jelek hapalannya” [Al-‘Ilal 3/29-30 no. 668]. Al-‘Ijliy berkata : “Orang Kuffah yang tsiqah, hasanul-hadiits” [Ats-Tsiqaat, 1/453 no. 727]. Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah ma’muun, banyak haditsnya, namun banyak salahnya” [Ath-Thabaqaat, 6/379]. Ibnu Hajar berkata : “Jujur, banyak salahnya”. [At-Taqriib, hal. 436 no. 2802]. Adz-Dzahabiy memasukkanya dalam jajarah perawi lemah pada bukunya Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’ (1/468 no. 2764].

Kesimpulan : Syariik perawi lemah dari sisi hapalan.

d. Ajlah (w. 145 H) : Ia adalah Ibnu ‘Abdillah bin Hujiyyah Al-Kuufiy.Ia seorang rawi yang diperselisihkan. Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan berkata : “Pada dirinya terdapat sesuatu”. Ahmad bin Hanbal berkata : “Ajlah dan Mujaalid berdekatan kedudukannya dalam hadits”. Dan Mujaalid ini adalah perawi yang lemah. Namun di lain tempat Ahmad mengatakan ia dekat kedudukan dengan Fithr bin Khaliifah, dan ia seorang yang ditsiqahkan oleh Ahmad – Abul-Jauzaa’. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tsiqah”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. Abu Haatim berkata : “Tidak kuat, ditulis haditsnya, dan tidak boleh berhujjah dengannya”. An-Nasaa’iy berkata : “Dla’iif, laisa bi-dzaaka, ia mempunyai pendapat/pemikiran yang jelek”. Al-Juuzjaaniy berkata : “Muftariy”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Ia mempunyai hadits-hadits yang baik yang diriwayatkan oleh orang-orang Kuffah dan yang lainnya. Aku tidak mendapati ia mempunyai hadits munkar yang mengkonsekuensikan hukuman, tidak bersanad dan bermatan. Namun ia tergolong orang-orang Syi’ah daerah Kuffah. Aku memandangnya sebagai orang yang lurus haditsnya lagi jujur” [lihat Tahdziibul-Kamaal, 2/275-280 no. 282]. Ibnu Sa’d berkata : “Sangat lemah” [Ath-Thabaqaat, 6/244]. Ibnu Hibbaan berkata : “Ia tidak tahu apa yang dikatakannya, menjadikan nama Abu Sufyaan menjadi Abuz-Zubair. Membolak-balikkan nama-nama seperti itu” [Al-Majruuhiin, 197 no. 109]. Ibnul-Jauziy memasukkannya dalam kitab Adl-Dlu’afaa’ (1/64 no. 148). Ya’quub bin Sufyaan berkata : “Tsiqah, namun haditsnya lemah” [Tahdziibut-Tahdziib, 1/190 no. 353]. Abu Dawud berkata : Dla’iif” [Suaalaat Al-Aajurriy, hal. 179 no. 180]. Al-Jurqaaniy mendla’ifkannya dengan menyepakati pendla’ifan Abu Haatim dan Ibnul-Qaththaan [Al-Abaathil wal-Manaakir 2/156 no. 516]. Adz-Dzahabiy memasukkannya dalam buku Man Takallama fiih Wahuwa Muwatstsaq Aw Shaalihul-Hadiits (hal. 73 no. 13). Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, termasuk orang Syi’ah” [At-Taqriib hal. 120 no. 287]. Basyar ‘Awwad : “Dla’iif, namun dapat digunakan sebagai i’tibar” [Tahriirut-Taqriib, 1/106 no. 285]. Al-Albaaniy mempunyai beberapa perkataan tentangnya. Satu waktu beliau mengatakan shaduuq, di lain waktu beliau mengatakan dla’iif [selengkapnya lihat Mu’jamu Asaamiyir-Ruwaat 1/90-92].

Kesimpulan : Ajlah adalah dla’iif, tidak boleh berhujjah dengannya, apalagi terhadap riwayat (yang ia bawakan) yang menguatkan bid’ahnya (Syi’ah). Namun ia tetap dapat dijadikan i’tibar.

e. Habiib bin Abi Tsaabit (119 H) : Ia adalah perawi yang dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim. Akan tetapi ia adalah seorang yang banyak melakukan tadliis dan irsal. Ibnu Hajar memasukkannya mudallis tingkat tiga [Thabaqaatul-Mudallisiin, no. 69]. Riwayatnya tidak diterima kecuali jika ia membawakan dengan tashiriih penyimakannya [lihat Riwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy oleh Dr. ‘Awwad Al-Khalaf, hal. 283]. Dan dalam sanad riwayat ini, ia membawakan dengan ‘an’anah.

f. Tsa’labah bin Yaziid Al-Himmaaniy (-).Al-Bukhaariy berkata : “Mendengar dari ‘Aliy. Meriwayatkan darinya Habiib bin Abi Tsaabit. Termasuk orang-orang Kuffah. Padanya ada kritikan (fiihi nadhar). Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aliy : “Sesungguhnya umat ini akan mengkhianatimu”. Tidak ada mutaba’ah-nya” [Taariikh Kabiir, 2/174 no. 2103]. Makna perkataan Al-Bukhaariy ini adalah bahwa Tsa’labah adalah perawi yang lemah. Jika ia seorang yang tsiqah, maka kebersendiriannya (akibat ketiadaan mutaba’ah) tidak mempengaruhi riwayatnya [Bayaanul-Wahm wal-Iihaam oleh Ibnul-Qaththaan, 5/363 dan Al-Khulaashah fii ‘Ilmil-Jarh wat-Ta’diil, hal. 327-328].

Dinyatakan tsiqah oleh An-Nasaa’iy sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At-Tahdziib (2/26 no. 42), namun saya (Abul-Jauzaa’) tidak mendapati sumbernya dalam kitab Al-Mustakhraj min Mushannafaat An-Nasaa’iy fil-Jarh wat-Ta’diil oleh Abu Muhammad Faalih Asy-Syibliy, yang mana kitab ini menghimpun semua perkataan An-Nasaa’iy di semua kitabnya yang ada. Ibnu ‘Adiy memasukkannya dalam Al-Kaamil fidl-Dlu’afaa’ (2/322-323 no. 325) dan mengatakan bahwa ia tidak memiliki hadits-hadits munkar. Ia dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibbaan (Ats-Tsiqaat, 4/98), namun bersamaan dengan itu ia juga membawakannya dalam Al-Majruuhiin (1/240 no. 173) dan berkata : “Ia berlebih-lebihan dalam tasyayyu’, tidak boleh berhujjah dengannya pada apa-apa yang ia bersendirian dalam meriwayatkan dari ‘Aliy”. Al-‘Uqailiy memasukkannya dalam Adl-Dlu’afaa’ (1/195 no. 224) dan membawakan perkataan Al-Bukhaariy. Ibnul-Jauziy memasukkannya dalam kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukuun (1/161 no. 619). Al-Haitsamiy berkata : “Ditsiqahkan oleh An-Nasaa’iy, namun padanya ada kelemahan” [Majma’z-Zawaaid, 5/101]. Adz-Dzahabiy memasukkannya dalam kitab Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’ (1/192 no. 1057) dan berkata : “Orang Syi’ah yang binasa (syi’iy ghaal)”. Juga dalam Diiwaan Adl-Dlu’afaa’ (hal. 58 no. 699). Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, syii’iy” [At-Taqriib, hal. 189 no. 855]. Al-Albaaniy menyepakati penghukuman Ibnu Hajar ini [Ash-Shahiihah, 3/143]. Basyar ‘Awwaad berkata : “Dla’iif” [Tahriirut-Taqriib, 1/200 no. 847].

Kesimpulan : Tsa’labah bin Yaziid adalah perawi dla’if yang berlebih-lebihan dalam tasyayyu’. Tautsiq An-Nasaa’iy sejauh penelaahan saya tidak tsabt dari beliau. Begitu pula tautsiq dari Ibnu Hibbaan, karena ia sendiri memasukkanya dalam Al-Majruuhiin. Sehingga yang tersisa adalah jarh padanya.

Kesimpulan sanad riwayat Al-Bazzaar ini adalah lemah, gugur pada hampir seluruh thabaqah-nya. Bahkan beberapa perawinya tercemar bid’ah tasyayyu’.

Ajlah dalam periwayatan dari Habiib bin Abi Tsaabit diikuti oleh :

1. Fithr bin Khaliifah dan ‘Abdul-‘Aziiz bin Siyaah.

Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah (6/440) dan darinya Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq (42/447) dari jalan Abu Bakr Ahmad bin Al-Hasan Al-Qaadliy : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Ja’far Duhaim : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Haazim bin Abi Ghirzah : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Ubaidullah, Abu Nu’aim, dan Tsaabit bin Muhammad, dari Fithr bin Khaliifah, ia berkata : – . Dan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Haazim : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Siyaah; mereka berdua (Fithr bin Khaliifah dan ‘Abdul-‘Aziiz bin Siyaah) berkata dari Habiib bin Abi Tsaabit, selanjutnya seperti riwayat di atas.

Sanad riwayat ini lemah karena berporos pada Habiib bin Abi Tsaabit dan Tsa’labah bin Yaziid Al-Himmaaniy sebagaimana sanad Al-Bazzaar sebelumnya.

2. Sa’iir bin Al-Khams

Diriwayatkan juga oleh Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq (42/477) dari jalan : Abu ‘Abdillah Al-Husain bin ‘Abdil-Malik : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Ahmad bin Muhammad : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdillah bin Muhammad bin Zakariyyaa Al-Jauzaqiy : Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Al-Hasan Al-Qaadliy : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Al-Hasan Al-Khazzaaz : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Hushain bin Makhaariq, dari Sa’iir bin Al-Khams, dari Habiib bin Abi Tsaabit, selanjutnya seperti riwayat di atas.

Riwayat ini sangat lemah karena keberadaan Hushain bin Makhaariq. Ad-Daaruquthniy berkata : “Memalsukan hadits”. Ibnul-Jauziy menukil bahwa Ibnu Hibbaan berkata : “Tidak boleh berhujjah dengannya” [Miizaanul-I’tidaal, 1/554 no. 2097 – Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun li-Ibnil-Jauziy 1/220 no. 926]. Ibnu Syaahiin berkata : “Ia di sisiku adalah pendusta” [Taariikh Asmaa’ Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzaabiin, hal. 80 no. 156].

Habiib bin Abi Tsaabit dalam periwayatan dari Tsa’labah mempunyai mutaba’ah dari Salamah bin Kuhail.

Diriwayatkan juga oleh Ibnu ‘Aadiy dalam Al-Kaamil (7/443 no. 1686) dari jalan ‘Aliy bin ‘Abbaas : Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin Ya’quub : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Haasyim, dari Muhammad bin Salamah bin Kuhail, dari ayahnya, dari Tsa’labah Al-Himmaaniy : Bahwasannya ia mendengar ‘Aliy berkata : “…..(al-hadiits)….”.

Riwayat Ibnu ‘Adiy ini lemah. Di antaranya karena terdapat perawi yang bernama Muhammad bin Salamah bin Kuhail. Al-Juuzjaniy berkata : “Dzaahibul-hadiits” [Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’, 2/310 no. 5577]. Ibnu Ma’iin berkata : “Laisa bi-syai’ (tidak ada apa-apanya)” [Lisaanul-Miizaan, 7/168]. Ia juga dinisbatkan pada tasyayyu’ dan mempunyai hadits-hadits munkar [Al-Kaamil, 7/444]. As-Sa’diy berkata : “Waahiyul-hadiits (lemah haditsnya)” [Adl-Dlu’afaa wal-Matruukuun li-Ibnil-Jauziy 3/67 no. 3017]. Ibnu Syaahiin berkata : “Dla’iif” [Taariikh Asmaa’ Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzaabiin, hal. 166 no. 566]. Namun Ibnu Hibbaan menyendiri dalam pen-tsiqah-an dengan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Mayoritas perawi Ibnu ‘Adiy ini adalah para perawi yang berpaham tasyayyu’, bahkan diantaranya berlebih-lebihan.

Tsa’labah bin Yaziid Al-Himmaaniy dalam periwayatan dari ‘Aliy mempunyai mutaba’ah dari :

1. Ibraahiim bin Hadiid atau bin Abi Hadiid.

Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah (6/440) dan darinya Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq (42/447) dari jalan Abu ‘Aliy Ar-Raudzabaariy : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Muhammad bin Syaudzab Al-Waasithiy dengannya : Telah menceritakan kepada kami Syu’aib bin Ayyuub : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Aun, dari Husyaim, dari Ismaa’iil bin Saalim, dari Abu Idris Al-Azdiy, dari ‘Aliy, ia berkata : “Termasuk diantara yang diamanatkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepadaku : “……(al-hadiits)….”.

Sanad :

a. Abu ‘Aliy Ar-Raudzabaariy, ia adalah Al-Husain bin Muhammad bin Muhammad bin ‘Aliy bin Haatim Ar-Raudzabaariy Ath-Thuusiy. Adz-Dzahabiy berkata : “Al-Imaamul-musnad” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 17/219-220 no. 128]. Lihat juga biografinya di Al-‘Ibar (2/206), Syadzdzaratudz-Dzahab (5/19), dan Al-Ansaab lis-Sam’aaniy (6/180).

b. Abu Muhammad ‘Umar bin Syaudzab Al-Waasithiy, ia adalah ‘Abdullah bin ‘Umar bin Syaudzab Al-Waasithiy Al-Muqri’. Muhaddits daerah Waasith. Abu Bakr bin Muhammad bin Bairiy berkata : “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih bagus dalam membaca Al-Qur’an darinya” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 15/466]. Lihat juga biografinya dalam Al-‘Ibar 2/64 dan Syadzdzaratudz-Dzahab 4/226-227.

c. Syu’aib bin Ayyuub, ia adalah Ibnu Ruzaiq bin Ma’bad bin Syiithaa Ash-Shariifiiniy.

Ibnu Abi Haatim berkata : “Ia menuliskan (riwayat) kepada ayahku dan aku” [Al-Jarh wat-Ta’diil 4/342 no. 1501]. Abu Dawud berkata : “Sungguh aku takut kepada Allah dari riwayat yang berasal dari Syu’aib bin Ayyuub Ash-Shariifiiniy”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Syu’aib bin Ayyuub tsiqah” [Taariikh Baghdaad 10/338-339 no. 4771]. Al-Haakim berkata : “Tsiqah ma’muun” [Tahdziibut-Tahdziib, 4/349 no. 594]. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, namun kemudian ia berkata : “Kadang keliru (yukhthi’) dan melakukan tadlis. Setiap pengingkaran dalam haditsnya termasuk dampak dari tadlis-nya” [Ats-Tsiqaat, 8/309]. Pentadlisan ini disepakati oleh para ulama setelahnya seperti Al-‘Iraaqiy [Kitaabul-Mudallisiin, hal. 58-59 no. 29], Ibnu Hajar [Ta’riifu Ahlit-Taqdiis hal. 87 no. 72 – dan ia memasukkanya dalam thabaqah ketiga], Al-‘Alaa’iy [Jaami’ut-Tahshiil, hal 107], Sabth bin Al-‘Ajamiy Asy-Syaafi’iy [At-Tabyiin li-Asmaail-Mudallisiin hal. 33 no. 34], dan As-Suyuuthiy [Asmaa’ul-Mudallisiin hal. 61 no. 25].

Adz-Dzahabiy berkata : “Semua yang diriwayatkan darinya dari Sunan-nya bukan merupakan hadits. Ia mempunyai hadits yang munkar” [Miizaanul-I’tidaal, 2/275 no. 3708]. Ia pun memasukkanya dalam kitab kumpulan perawi dla’if [Al-Mughniy 1/469 no. 2772 dan Diiwaan Adl-Dlu’afaa ], namun dalam Al-Kaasyif (1/486 no. 2282) men-tsiqah-kannya. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, yudallis” [Taqriibut-Tahdziib hal. 436 no. 2809]. Adapun Basyaar ‘Awwaad meragukan nisbah tadlis pada Syu’aib dalam At-Tahriir (2/115 no. 2794). Al-Albaaniy menghasankan haditsnya [Ash-Shahiihah, 3/251].

Kesimpulan : Shaduuq, namun mudallis. Penetapan beberapa riwayat munkar yang berasal darinya menurunkan tingkat tautsiq yang diberikan kepadanya. Adapun peraguan Basyaar ‘Awwaad akan sifat mudallis dari Syu’aib kurang kuat, sebab pensifatan Ibnu Hibbaan – walaupun ia bersendirian dalam hal ini – telah disepakati para ulama setelahnya. Wallaahu a’lam.

Dalam riwayatnya ini, ia telah menjelaskan tashriih penyimakannya dari ‘Amr bin ‘Aun sehingga dihukumi bersambung (muttashil).

d. ‘Amr bin ‘Aun; ia seorang perawi yang tsiqah tsabat, disepakati oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Tahdziibul-Kamaal, 22/177-180 no. 4423].

e. Husyaim, ia adalah Ibnu Basyiir bin Al-Qaasim bin Diinaar As-Sulamiy Abu Mu’aawiyyah bin Abi Haazim.

Termasuk perawi Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [selengkapnya lihat dalam Tahdziibul-Kamaal, 30/272- no. 6595].

Namun para ulama telah mensifati dirinya banyak melakukan tadlis. Al-‘Ijliy berkata : “Ia biasa melakukan tadlis” [Ats-Tsiqaat, 2/334 no. 1912]. Ibnu Sa’d berkata : “Banyak melakukan tadlis. Apa yang ia katakan dalam haditsnya : ‘akhbaranaa’ (telah mengkhabarkan kepada kami), maka riwayatnya adalah hujjah. Dan apa yang tidak ia katakan padanya : ‘akhbaranaa’, maka tidak ada nilainya sama sekali” [Ath-Thabaqaat, 7/313]. Dan yang lainnya. Ia juga banyak meng-irsal-kan hadits. Riwayat-riwayat tentang tadlis dan irsal dari Husyaim banyak ditemukan dalam kitab Al-‘Ilal wa Ma’rifatur-Rijaal li-Ahmad bin Hanbal.

Di sini ia membawakan dengan ‘an’anah tanpa menjelaskan tashrih penyimakannya.

f. Ismaa’il bin Saalim, ia adalah Abu Yahyaa Al-Kuufiy.

Muslim meriwayatkannya dalam Shahih-nya. Ibnu Sa’d berkata : “Ia seorang yang tsiqah tsabt”. Ahmad bin Hanbal berkata : “Ia lebih tsiqah daripada Firaas bin Yahyaa”. Pada kesempatan lain ia (Ahmad) berkata : “Tsiqatun tsiqah”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tsiqah”. Abu Zur’ah, Abu Haatim, An-Nasaa’iy, Ibnu Khiraasy, dan Ad-Daaruquthniy berkata : “Tsiqah”. Ya’quub bn Sufyaan Al-Fasawiy berkata : “Tidak mengapa dengannya. Orang Kuffah yang tsiqah”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat [selengkapnya silakan lihat Tahdziibut-Tahdziib, 1/301-302 no. 554].

g. Abu Idriis Al-Azdiy.

Namanya adalah Ibraahiim bin Hadiid atau bin Abi Hadiid.

Ahmad berkata : “Abu Idriis Al-Azdiy, namanya Ibraahiim bin Hadiid [Al-‘Ilal wa Ma’rifatur-Rijaal, hal. 5161]. Al-Bukhaariy juga menetapkan nama ini dalam Al-Kabiir 1/282 no. 908. Muslim berkata : “Abu Idriis Ibraahiim bin Abi Hadiid Al-Azdiy, dari ‘Aliy bin Abi Thaalib; meriwayatkan darinya Ismaa’iil bin Sumai’ [Al-Kunaa wal-Asmaa’, 1/86 no. 190]. Ibnu Hibbaan berkata : Ibraahiim bin Abi Hadiid Al-Audiy. Dan dikatakan pula : Ibnu Hadiid. Kun-yahnya Abu Idriis, meriwayatkan dari ‘Aliy dan sejumlah orang-orang Kuffah. Meriwayatkan darinya Ismaa’iil bin Saalim” [Ats-Tsiqaat, 4/11].

Akan tetapi penisbatan Al-Azdiy adalah keliru. Yang benar adalah Al-Audiy sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hibbaan di atas. Dan itulah yang ditetapkan Ibnu Abi Haatim : Ibraahiim bin Abi Hadiid, kakek dari Idriis Al-Audiy. Meriwayatkan darinya kedua cucunya : Idriis dan Daawud,…..” [Al-Jarh at-Ta’diil, 1/96 no. 262]. Idris dan Daawud ini adalah anak dari Yaziid bin ‘Abdirrahmaan Al-Audiy [lihat Tahdziibul-Kamaal 32/186 no. 7020].

Abu Haatim berkata tentangnya : “Majhuul, meriwayatkan secara mursal dari ‘Aliy” [Al-Jarh at-Ta’diil, 1/96 no. 262].

Yaitu mastuur, akan tetapi sejumlah perawi tsiqah telah meriwayatkan darinya, diantaranya : Ismaa’iil bin Saalim, Idriis bin Yaziid bin ‘Abdirrahmaan, dan Al-Hasan bin ‘Ubaidullah. Begitu pula dengan tautsiq Ibnu Hibbaan (walau secara asal tautsiq-nya tidak kuat menurut jumhur ulama) sehingga menyebabkan riwayatnya di sini hasan, wallaahu a’lam.

Kemursalan riwayatnya di sini tetap ada sebagaimana dikatakan Abu Haatim. Adapun pernyataan Al-Bukhaariy : “Telah berkata kepadaku Ibnu Zurarah : Telah mengkhabarkan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Saalim, dari Abu Idriis : “Aku pernah melihat ‘Aliy” [Al-Kabiir 1/282 no. 908]; maka ini tidak mengangkat status mursal yang disebutkan Abu Haatim. Sebab, perkataan : ‘aku pernah melihat’ belum tentu menunjukkan kebersambungan sanad sebagaimana telah diketahui dalam ilmu hadits. Jika telah tetap penghukuman irsal dari seorang ulama yang diakui, maka hal yang mengangkatnya adalah sesuatu yang sepadan, yaitu riwayat/pernyataan yang menyatakan bahwa perawi tersebut mendengar atau bercakap-cakap. Bukan sekedar pernah melihat. Betapa banyak seorang perawi pernah melihat perawi lain namun ia tidak pernah mendengar satu pun riwayat darinya ?

Diriwayatkan pula oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak (no. 4676) dari jalan Abu Hafsh ‘Umar bin Ahmad Al-Jumahiy di Makkah : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdil-‘Aziiz : Telah menceritakan kepada kami Husyaim, dan seterusnya seperti sanad Al-Baihaqiy.

Husyaim dalam periwayatan dari Ismaa’iil bin Saalim mempunyai mutaba’ah dari Abu ‘Awaanah sebagaimana diriwayatkan pula oleh Ad-Daulabiy dalam Al-Kunaa (1/198 no. 381) dari jalan Yahyaa bin Ghailaan, dari Abu ‘Awaanah, dari Ismaa’iil bin Saalim.

Sanad riwayat ini lemah karena ‘an’anah Husyaim dan inqitha’ antara Abu Idriis dengan ‘Aliy bin Abi Thaalib.

2. ‘Alqamah.

Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq (42/446-447) dari jalan Abul-Qaasim bin As-Samarqandiy dan Abul-Barakaat ‘Abdul-Baaqiy bin Ahmad bin Ibraahiim, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Hasan bin Muhammad bin Al-Hasan : Telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad Al-Hasan bin Al-Husain bin ‘Aliy An-Naubakhtiy : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillah bin Mubasysyir : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Harb : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Yaziid, dari Fithr bin Khaliifah, dari Hakiim bin Jubair, dari Ibraahiim, dari ‘Alqamah, ia berkata : Telah berkata ‘Aliy : “……(al-hadiits)….”.

Sanad riwayat ini sangat lemah karena Hakiim bin Jubair. Ahmad berkata : “Dla’iif, munkarul-hadiits”. Al-Bukhaariy berkata : “Syu’bah memperbincangkannya (karena kelemahannya)”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak kuat”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Matruuk”. Syu’bah berkata : “Aku khawatir terperosok ke dalam neraka jika aku meriwayatkan darinya”. Al-Juuzjaaniy berkata : “Pendusta (kadzdzaab)” [selengkapnya lihat Miizaanul-I’tidaal, 1/583-584 no. 2215]. Al-Bukhaariy berkata : “Fiihi nadhar”. Al-Fasawiy berkata : “Tercela, dan dikatakan ia seorang Raafidliy yang sangat berlebih-lebihan dalam bid’ah Rafidlahnya”. Al-Bazzaar berkata : “Tidak kuat”. Di lain tempat ia berkata : “Berlebih-lebihan dalam tasyayyu’ sehingga sebagian ulama berhenti tidak mengambil riwayat darinya”. Abu Haatim berkata : Ditinggalkan haditsnya karena kelemahannya” [selengkapnya lihat Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil, 1/190 no. 987].

Nampak bahwa hadits ‘Aliy bin Abi Thalib ini mempunyai dua sanad lemah yang bisa dipandang, yaitu dari jalan Tsa’labah bin Yaziid (yang rata-rata banyak dibawakan para perawi yang cenderung pada bid’ah tasyayyu’ – bahkan diantara mereka ada yang ekstrim) dan Ibraahiim bin Abi Hadiid. Jalan sanad Ibraahiim bin Abi Hadiid ini dapat dijadikan sebagai penguat karena ada jalan sanad yang dibawakan Al-Baihaqiy dan Ad-Daulabiy yang relatif ‘bersih’ dari perawi-perawi yang ber-tasyayyu’. Oleh karena itu, hadits ini berkualitas hasan lighairihi.

Peringatan !!

Sebagian kalangan Syi’ah – dulu dan sekarang – membawakan riwayat ini untuk menuduh para shahabat telah berkhianat kepada ‘Aliy tentang masalah imamah. Oleh karena itu, untuk mengecek riwayat tersebut kita membutuhkan kesaksian dari orang-orang yang tidak berpemahaman tasyayyu’ sebagaimana telah dilakukan pada pemaparan di atas.

Setelah tetap haditsnya, maka kita akan mencermati apakah benar riwayat tersebut sesuai dengan apa yang mereka klaim ? Jika kita perhatikan benar, maka sama sekali tidak ada petunjuk atas dakwaan mereka terebut.

Pertama, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu tidak menyebutkan dalam perkara apa umat akan mengkhianati ‘Aliy.

Kedua, mereka berdua pun tidak menjelaskan siapa ‘umat’ yang akan mengkhianati ‘Aliy tersebut. Syi’ah memaksudkannya adalah seluruh shahabat kecuali beberapa gelintir saja sebagaimana disebutkan sebelumnya.

Seandainya ‘umat’ yang dimaksudkan tersebut adalah para shahabat secara umum (seperti keinginan Syi’ah), maka sangat tidak tepat. Ini bertentangan dengan banyak ayat Al-Qur’an dan hadits sebagaimana telah disebutkan. Apalagi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan sifat ‘amanah’ kepada shahabat sebagaimana sabdanya :

وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ

“Para sahabatku adalah amanah/penjaga umatku. Apabila para sahabatku telah tiada, maka umatku pasti akan tertimpa apa yang telah dijanjikan kepada mereka”.

Kata ‘amanat’ adalah lawan dari ‘khianat’. Tidak akan mungkin selamanya sifat amanah bersanding dengan khianat. Jika salah satunya berdiri, maka kan runtuh yang lainnya.

Apalagi sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang telah mutawatir bahwa sebaik-baik manusia adalah generasi beliau; yaitu para shahabat. Jika jama’ah manusia yang beliau pandang sebagai manusia terbaik telah khianat, maka apa gerangan yang terjadi pada umat selanjutnya ? Padahal sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan ‘sebaik-baik manusia/kurun/generasi’ mengkonsekuensikan penetapan qudwah (contoh) yang laik untuk ditiru. Dan sifat khianat yang ditetapkan kepada umat secara umum (baca : shahabat secara umum) jelas menafikkan itu semua.

Lantas siapakah ‘umat’ yang dimaksud ?

Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah yang kemudian dikutip oleh Ibnu ‘Asaakir telah menyatakan bahwa jika riwayat tersebut shahih, maka kemungkinan maksudnya adalah keluarnya orang-orang dari ketaatan ‘Aliy pada saat ia berkuasa (menjadi khalifah) dan kemudian pada saat peristiwa pembunuhan dirinya (oleh orang-orang Khawarij).

Inilah yang lebih mendekati kebenaran.

Duhai,…… apakah mereka senantiasa berandai-andai jika saja dalam Al-Qur’an ada satu saja yang menyatakan para shahabat adalah kafir kecuali ‘Ali……

[8] Shahih.

No comments:

Post a Comment