TRAGEDI KAMIS KELABU? bagian 1
December 23, 2009 by alfanarku
Kaum Syi’ah meributkan tentang apa yang disebut oleh mereka dengan “Insiden Kertas dan Tinta” atau apa yang mereka menyebutnya sebagai “Kamis Kelabu”. Syi’ah begitu berlebihan dengan hadits ini, dan menggunakannya sebagai bukti untuk menyerang Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Namun, kebenaran pada kejadian tersebut menunjukkan bahwa klaim mereka tidak ada artinya dan hanya sekedar sensasi yang berlebihan, kita akan menguji kejadian tersebut dengan cara yang obyektif dan masuk akal, dan setelahnya kita akan tanggapi tuduhan-tuduhan Syi’ah.
Sebuah Tinjauan atas Insiden Kertas dan Tinta
Sakit yang dialami Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sebelum beliau berangkat dari dunia ini terjadi selama dua minggu, selama masa-masa itu, kondisi beliau perlahan-lahan memburuk dan menjadikan beliau hanya bisa terbaring di tempat tidur. Beliau mengalami demam yang tinggi, sakit kepala, dan bahkan pingsan, kadang sadar kadang tidak sadar kembali. Kejadian yang disebut sebagai “insiden kertas dan tinta” terjadi empat hari sebelum beliau meninggal, yaitu pada hari Kamis.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta kertas dan tinta untuk menuliskan (mendiktekan) beberapa nasehat agama bagi kaum muslimin. Tetapi, tiba-tiba setelah meminta kertas dan tinta, Nabi pingsan dan tidak sadarkan diri. Ketika Nabi terbaring tidak sadar, seseorang bangkit mengambil kertas dan tinta, tetapi Umar bin Khattab memanggil kembali orang tersebut. Umar merasa bahwa mereka seharusnya tidak mengganggu Nabi dengan meminta beliau untuk menuliskan nasehat, tetapi mereka seharusnya membiarkan beliau untuk mendapatkan kesadaran beliau kembali, beristirahat, dan menjadi pulih kembali. Oleh karena itu, Umar berkata kepada kaum Muslimin yang lain : “Nabi sedang sakit parah dan kalian mempunyai Al-Qur’an, Kitabullah sudah cukup buat kita”.
Umar bin Khattab berpikir – dan ini adalah benar - bahwa permintaan akan kertas dan tinta tidak berlaku lagi sekarang karena Nabi sedang pingsan. Umar merasa mereka seharusnya membiarkan Nabi beristirahat. Tetapi walau begitu, beberapa sahabat merasa mereka seharusnya mendapatkan kertas dan alat tulis bagaimanapun juga dan bahwa mereka seharusnya memohon Nabi untuk menulis untuk mereka, orang-orang ini berkata : “bawakan untuk beliau (alat untuk menulis) maka Rasulullah akan menulis sesuatu untuk kalian dan kalian tidak akan sesat setelahnya”.
Beberapa sahabat merasa bahwa mereka seharusnya membiarkan Nabi beristirahat dan menanyakan kepada beliau mengenai nasehat ruhani nanti, yang lain merasa mereka seharusnya segera mendapatkan tulisan Nabi sesudah beliau kembali sadar. Hal ini membawa pertengkaran diantara sahabat, mereka mulai berbantah-bantahan dengan suara keras. Saat itu Nabi bangun dari pingsannya, ditengah-tengah kegaduhan dan suara yang keras . Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam merasakan sakit kepala, sehingga kegaduhan membuat beliau sangat kesal. Sehubungan dengan pertengkaran dengan suara yang keras inilah sehingga beliau memerintahkan mereka yang ada di ruangan untuk pergi dan meninggalkan beliau sendiri.
Penjelasan Sederhana
Hal yang sangat menakjubkan berapa banyak drama yang Syi’ah bisa ciptakan, dan betapa mudahnya mereka menyesatkan orang. Penjelasan untuk kejadian tersebut begitu sederhana dan langsung ke sasaran bahwa hal yang sangat aneh bahwa Syi’ah tidak memahami hal ini! Coba kita minta mereka untuk menghubungkan kejadian ini pada kehidupan mereka sendiri.
Mari kita pertimbangkan scenario berikut ini : seorang guru sedang memberikan pelajaran kepada muridnya, dan dia meminta kepada muridnya untuk membawakan sebuah kapur tulis untuk menulis di papan tulis. Tetapi kemudian tiba-tiba sang guru terjatuh dan pingsan. Sekarang, ceritakan kepada kami, apakah murid tersebut tetap meneruskan untuk pergi keluar ruangan untuk mencari kapur tulis? Adakah orang waras yang akan melakukan hal itu? melainkan, murid tersebut akan bergerak dengan cepat berada di sisi guru tersebut, berusaha menyadarkan kembali gurunya, mengambilkannya bantal, mengangkat kakinya dan lain-lain. Kemudian, ketika sang guru siuman, akankah sang murid langsung menyodorkan kapur tulis ke tangan sang Guru? Dan berkata “ajari kami lagi!” sungguh tidak! Tetapi, perawat sekolah akan segera dipanggil masuk ke ruangan, sang Guru segera dipindahkan ke unit medis, dan sang Guru akan mendapatkan cuti untuk beristirahat. Bahkan jika seandainya sang Guru bersikeras bahwa ia merasa lebih baik dan dia sanggup meneruskan pelajaran, yang lain akan membujuk sang Guru bahwa dia seharusnya mengambil cuti dan beristirahat.
Sekarang misalnya, salah seorang murid di ruang kelas ini khawatir mengenai ujian hari berikutnya, sehingga dia mencoba menyodorkan kapur tulis ke tangan sang Guru sesaat setelah sang Guru siuman, apa yang akan dikatakan murid yang lain kepada murid macam ini, mereka akan marah terhadap murid tersebut dan meminta dia untuk berhenti khawatir soal dirinya sendiri tetapi khawatir kepada keadaan sang Guru? Murid-murid yang lain akan berkata kepada murid tersebut untuk tidak khawatir mengenai pelajaran dan bahwa “ buku diktat sudah cukup bagi kita untuk dipelajari dalam menghadapi ujian”
Dapatkah seseorang membayangkan seorang guru jatuh pingsan, kemudian sadar dari pingsannya dan dengan segera menulis di papan tulis dengan sebuah kapur tulis? Para thalabul ilmi tidak akan berani mendekati syaikh-syaikh mereka ketika para syaikh tersebut sedang keletihan atau sedang mengantuk, sebagaimana itu merupakan hal yang tidak sopan mengganggu mereka di saat seperti itu. Bahkan jika seandainya syaikh bersikeras untuk mengajar, para pelajar akan berkata dengan sopan “Anda seharusnya istirahat Syaikh, dan kita dapat melanjutkan pelajaran besok.” Ini adalah tata karma: sekarang bayangkan situasi ketika seorang syaikh sedang berbaring di tempat tidurdalam keadaan tidak sadar; akankah ada pelajar yang meminta pelajaran agama darisyaikh tersebut dalam situasi seperti itu?.
Sesudah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta kertas dan tinta, beliau pingsan dengan tiba-tiba dan itulah sebabnya Umar ra meminta kepada orang-orang untuk tidak jadi mengambil kertas dan tinta karena Nabi sedang dalam keadaan sakit berat. Itu adalah merupakan pendapat Umar ra (dan tentunya kami sependapat dengan beliau), adalah merupakan sebuah kejahatan mengganggu Nabi dalam keadaan seperti itu. Orang-orang mendesak Nabi untuk memberikan nasehat padahal beliau sedang dalam keadaan setengah sadar, para dokter masa kini akan mengatakan bahwa jika seorang pasien sedang dalam keadaan tidak setabil, sadar kemudian tidak sadar lagi, maka pasien seperti itu seharusnya distabilkan terlebih dahulu dan tidak membuat dia dalam situasi dituntut untuk berbicara, menyusahkan dirinya, atau hal-hal yang membuat dia tegang; seharusnya pasien dibiarkan untuk istirahat.
Sakit terakhir “Ayatullah” Khomeini terjadi sebelas hari selama dia ada rumah sakit. Para pengikut syi’ah nya berada di luar ruangannya dan tidak mengganggunya dengan urusan negara. Tak seorangpun diperbolehkan untuk mengganggunya, walaupun situasi politik saat itu sangat membutuhkan input dari pemimpin Negara. Bagaimana bisa Syi’ah memperlakukan ayatollah Khomeini mereka lebih sopan daripada perlakuan kepada Nabi Allah? Sungguh para Nabi lebih utama dari jenis ayatollah apapun, dan jika ayatollah tidak seharusnya diganggu selama dalam keadaan sakitnya yang terakhir, maka pasti kita lebih hati-hati dengan Nabi Allah.
Untuk memberikan contoh yang simple dalam keseharian, jika seorang laki-laki meminta anaknya mengambilkan remote TV, tetapi kemudian tiba-tiba dia mendapatkan serangan jantung sesudah mengatakan hal itu, maka sang anak akan berfikir bahwa serangan jantung lah yang harus diambil tindakan terlebih dahulu dan membatalkan permintaan remote TV. Sebagai ganti memberikan remote, sang anak akan segera berada di sisi ayahnya. Secara akal sehat, permintaan Nabi akan kertas dan tinta tidak relevan lagi, sebagai mana faktanya ketidaksadaran beliau harus diambil tindakan terlebih dahulu daripada permintaan beliau tersebut. Jika Nabi dalam keadaan sehat, dan meminta diambilkan kertas dan tinta, tetapi orang-orang menolaknya, maka situasi akan berbeda. Tetapi di sini, Nabi tidak sadarkan diri setelah permintaan tersebut dan itu merubah situasi seluruhnya.
Hal ini adalah seperti perkara yang mudah bahwa hal ini kadang mengejutkan akal kita betapa Syi’ah dapat membuat hal seperti ini menjadi begitu menghebohkan sehingga menyebutnya dengan “Insiden” kertas dan tinta. Seseorang dalam posisi Umar bin Khattab, dia akan melakukan hal yang sama, sebagaimana dilakukan Umar, terbukti banyaknya kejadian yang bisa kita jadikan contoh di atas.
Umar Prihatin terhadap Kondisi Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Selama masa akhir sakit beliau, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menderita berbagai rasa sakit yang sangat, demam yang hebat, sakit kepala yang parah dan tidak sadarkan diri. Meskipun dalam kondisi kesehatan yang seperti itu, Nabiyullah shalallahu ‘alaihi wa sallam seorang yang mengutamakan orang lain dan tidak memperdulikan keadaan diri beliau sendiri, tetapi perhatian beliau masih fokus dalam membimbing kaum muslimin.
Dari sudut pandang medis, Nabi direkomendasikan harus istirahat tidur yang ketat dan bebas dari lingkungan yang tegang. Jangankan mengikuti hal ini, Nabi justru tetap teguh membantu kaum muslimin, bahkan pada saat kondisi beliau sedang sangat memburuk. Kita baca:
Meskipun beliau sedang sakit, tidak mencegah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari menjalankan perintah Allah dan membela agama-Nya.
(Tarikh at-Tabari, Jilid 9 hal 7)
Dalam kitab yang sama, at-Tabari menulis bagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam meng-organisir ekspedisi militer dari tempat tidur beliau. Ada saat-saat di beberapa hari terakhir Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam hampir tidak dapat berbicara, tetapi beliau tetap menginstruksikan kepada para komandannya, memerintahkan mereka untuk melakukan kampanye militer melawan Nabi Palsu (Tulaihah dan Musailamah dan lain-lain) dan kaum murtad di Yamamah, Yaman dan lain-lain. Bukan hanya melakukan instruksi militer saja, tetapi beliau juga memberi kan nasehat-nasehat keagamaan. Kaum muslimin datang di sisi tempat tidur Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, meminta beliau untuk memberikan nasehat-nasehat, dimana Nabi akan memberikannya meskipun beliau dalam keadaan sakit parah.
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu adalah mertua Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, dengan hal yang demikian, dia begitu sangat khawatir mengenai kesehatan dan kondisi Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, lebih daripada rasa khawatir Nabi terhadap diri beliau sendiri. Pada hari-hari terakhir, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengalami kesulitan untuk bicara, karena rasa sakit yang timbul untuk melakukan hal itu. Mari kita baca :
Ketika sakit rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bertambah parah, dia (sahabat) dan orang-orang datang ke Madinah dan dia menuju ke rumah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang tidak dapat berkata-kata. Beliau mulai mengangkat tangan beliau ke arah langit dan menurunkan ke atasnya (sahabat tersebut), dimana dia mengetahui bahwa Nabi sedang memberkatinya.
(Ibnu Ishak, Sirah Rasulullah, hal 680).
Hal yang serupa diriwayatkan di Tarikh at-Tabari (jilid 9, hal 178-179), dimana Nabi shalallahu ‘laihi wa sallam tidak dapat berbicara sehubungan dengan sakit yang tak tertahankan. Ini adalah konteks yang hilang dari cerita Syi’ah. Hal ini seharusnya dicatat bahwa kejadian ini terjadi pada hari Kamis ketika kondisi Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sangat memburuk sedemikian rupa sehingga orang-orang mengatakan tanda-tanda kematian terlihat nyata di wajah beliau yang mulia. Ketika sekelompok sahabat sedang berkumpul di sekitar Nabi meminta beliau untuk memberikan nasehat mengenai masalah-masalah yang ada, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta dibawakan kertas dan tinta sehingga beliau bisa mendiktekan sedikit nasehat untuk mereka.
Pembaca yang tanggap seharusnya mempertimbangkan bahwa pada hari Kamis Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengalami sakit yang lebih parah daripada sebelumnya, dan mungkin hal ini sebabnya sehingga beliau meminta untuk dibawakan kertas dan tinta karena beliau sedang mengalami kesulitan bicara dengan keras dan beliau menghendaki untuk mendikte dengan pelan apa yang mesti ditulis oleh orang yang paling dekat dengan beliau sehingga mereka dapat menyampaikannya kepada yang lain. Kita melihat bahwa saat itu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang mengalami sakit yang tak tertahankan dan tidak dapat berbicara melainkan dengan rasa sakit dan tidak nyaman; itulah alasan mengapa Umar bin Khattab ra berharap Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak berbicara seperti itu agar beliau tidak perlu merasakan sakit. Ini adalah tanda cinta dan sayang, bukan pembangkangan atau perlawanan. Mari kita baca Shahih Muslim 3/1257 No. 1637:
22 – ( 1637 ) وحدثني محمد بن رافع وعبد بن حميد ( قال عبد أخبرنا وقال ابن رافع حدثنا عبدالرزاق ) أخبرنا معمر عن الزهري عن عبيدالله بن عبدالله بن عتبة عن ابن عباس قال
Y لما حضر رسول الله صلى الله عليه و سلم وفي البيت رجال فيهم عمر ابن الخطاب فقال النبي صلى الله عليه و سلم ( هلم أكتب لكم كتابا لا تضلون بعده ) فقال عمر إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قد غلب عليه الوجع وعندكم القرآن حسبنا كتاب الله فاختلف أهل البيت فاختصموا فمنهم من يقول قربوا يكتب لكم رسول الله صلى الله عليه و سلم كتابا لن تضلوا بعده ومنهم من يقول ما قال عمر فلما أكثروا اللغو والاختلاف عند رسول الله صلى الله عليه و سلم قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( قوموا )
قال عبيدالله فكان ابن عباس يقول إن الرزية كل الرزية ما حال بين رسول الله صلى الله عليه و سلم وبين أن يكتب لهم ذلك الكتاب من اختلافهم ولغطهم
[ ش ( لما حضر ) أي حضره الموت ]
(3/1257)
Ibnu Abbas menceritakan : Ketika ajal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sudah hampir tiba dan di dalam rumah beliau ada beberapa orang dan salah satunya adalah Umar bin Khattab ra. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “kemari, aku akan menuliskan (mendiktekan) untuk kalian wasiat, agar kalian tidak sesat setelahnya”. Kemudian Umar berkata : “sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sakit parah dan di sisi kalian ada Al-Qur’an, cukuplah Kitabullah untuk kita” kemudian orang-orang yang ada dalam rumah tersebut saling berselisih pendapat. Sebagian berkata, sediakan apa yang diinta oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam Agar beliau menuliskan bagi kamu sesuatu yang menghindarkan kamu dari kesesatan. Tetapi sebagian lainnya mengatakan sama sebagaimana ucapan Umar. Dan ketika keributan dan pertengkaran makin bertambah di hadapan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memerintahkan: “Keluarlah kalian dari sini!” Ubaidullah berkata : Ibnu Abbas selalu berkata : “Itu adalah musibah yang besar, sungguh sebuah musibah yang besar, disebabkan pertengkaran dan kegaduhan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak menuliskan (mendiktekan) wasiat untuk mereka”.
Umar bin Khattab menginginkan orang-orang meninggalkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri karena beliau sedang sakit parah dan berkata-kata akan menimbulkan rasa sakit pada beliau.
Umar tidak berdebat dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
Ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta Ali ra untuk menghapus sesuatu selama perjanjian Hudaibiyah, Ali ra menolak melakukannya dan berdebat dengan Nabi mengenai hal itu. Di lain pihak, Umar tidak berdebat dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam : saat Umar mengatakan apa yang dia katakan, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang dalam keadaan pingsan atau tidak sadarkan diri. Umar berkata kepada sahabat yang lain ketika ia berkata : “sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sakit parah dan di sisi kalian ada Al-Qur’an, cukuplah Kitabullah untuk kita”.
Umar merasa – dan kami setuju dengannya – bahwa permintaan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak dapat dilakukan lagi sehubungan dengan kenyataan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang tak sadarkan diri. Ini bukan masalah ketidaktaatan tetapi merupakan ijtihad sederhana Umar bahwa permintaan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak lagi dapat dilakukan dalam situasi seperti itu (Nabi sedang tidak sadarkan diri). Lebih jauh, posisi Umar adalah berdasarkan cintanya yang dalam kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dia tidak suka melihat beliau dalam keadaan kesakitan dan menderita.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak sadarkan diri berdasarkan sumber Syi’ah
Poin yang sebagian besar da’i Syi’ah tidak pernah menghendaki untuk menyebutkan adalah kenyataannya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tak sadarkan diri secara tiba-tiba setelah meminta kertas dan tinta. Mungkin beberapa dari mereka mencoba untuk menolak hal ini, tetapi kami menemukan bahwa hal ini tertulis pada kitab-kitab mereka sendiri. Syaikh Mufid, ulama klasik Syi’ah dari abad 10 menulis :
Beliau (Nabi) tak sadarkan diri karena kelelahan yang menimpa beliau dan kesedihan yang dirasakan oleh beliau.
Beliau tidak sadar dalam waktu yang singkat sementara kaum muslimin menangis dan istri-istri beliau serta para wanita, anak-anak kaum muslimin dan semua yang hadir berteriak meratap. Rasulullah kembali sadar dan melihat mereka. Kemudian beliau bersabda : “Ambilkan tinta dan kertas (dari kulit) sehingga aku dapat menulis untuk kalian, dan setelah itu kalian tidak akan tersesat”.
Kembali beliau tidak sadarkan diri dan satu dari mereka yang hadir bangkit mencari tinta dan kertas.
“Kembalilah”, Umar memerintahnya (orang tersebut)…
(Kitab Al-Irsyad, oleh Syaikh Mufid, hal 130)
Dari cerita ini sangat jelas betapa parah kondisi Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam saat itu. Nabi mengalami pingsan dan beliau sadar kemudian tidak sadar kembali. Sesaat setelah beliau meminta tinta dan kertas, beliau pingsan. Ini adalah poin kunci yang da’i Syi’ah tidak menyebutkannya! Hanya sesaat setelah Nabi pingsan Umar bin Khattab berkata kepada orang-orang (bukan kepada Nabi) bahwa membawakan tinta dan kertas tidak lagi relevan dengan keadaan Nabi yang sedang pingsan. Propagandis Syi’ah menggambarkan kejadian tersebut seolah-olah Nabi mengatakan sesuatu dan kemudian Umar menolak Nabi dihadapan beliau. Jauh dari seperti itu! Nabi meminta kertas dan tinta, tetapi kemudian beliau pingsan; sesaat setelah Nabi pingsan, Umar merasa permintaan Nabi tersebut tidak lagi perlu dilakukan dalam situasi yang berubah seperti itu.
Dari cerita syaikh Mufid tentang kejadian tinta dan kertas tersebut, satu hal yang sangat jelas: Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pingsan dengan tiba-tiba setelah beliau meminta dibawakan kertas dan tinta. Ketika Nabi mendapatkan kesadarannya kembali, beliau terbangun dalam keadaan ruangan penuh dengan suara-suara orang yang sedang bertengkar. Saat Umar memerintahkan kepada orang tersebut untuk tidak jadi mengambil tinta dan kertas, hal ini terjadi saat Nabi sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri. Oleh karena itu, Umar tidak sedang berbicara kepada Nabi atau hal yang seperti itu. Nabi sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri saat itu dan orang-orang sama sekali tidak menolak perintah Nabi dihadapan beliau. Nabi terbangun dengan kegaduhan dan kekacauan dari perselisihan pendapat diantara mereka, dan inilah yang membuat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjadi marah. Saat Nabi meminta tinta dan kertas, beliau dalam keadaan sadar, tetapi situasi –menurut Umar bin Khattab – telah berubah saat Nabi pingsan dan tidak sadarkan diri.
Fitnah Syi’ah terhadap Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu
Kaum Syi’ah mengklaim bahwa Umar mengatakan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berbicara meracau atau yang mereka klaim bahwa dia bertanya apakah Nabi mengigau. Namun, ini adalah dusta terang-terangan yang nyata! Dalam hadits-hadits sama sekali tidak ada disebutkan Umar mengucapkan kata-kata seperti itu. Kejadian tersebut diriwayatkan dalam berbagai hadits, termasuk dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim. Namun, tak ada satu kata pun, baik dalam shahihain maupun kumpulan hadits-hadits untuk kejadian itu adalah kata-kata itu dinisbahkan kepada Umar bin Khattab. Hanya Syi’ah yang membuat klaim bahwa Umar yang mengucapkan kata-kata itu, tetapi kita menuntut mereka untuk menunjukkan kepada kita bukti , dan mereka tidak akan pernah bisa melakukannya, yaitu karena Umar tidak pernah mengucapkan hal seperti itu dan tidak juga pernah sesuatu yang seperti itu dinisbahkan kepada dirinya (selain dari kitab-kitab Syi’ah). Satu-satunya penjelasan atas penolakan Umar terhadap permintaan Nabi adalah bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang dalam keadaan sakit yang sangat parah dan Umar berharap untuk meringankan rasa sakit dan beban Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Apakah yang dimaksud dengan “Mengigau” ?
Ini adalah kalimat “dia sedang mengigau” yang Syi’ah gunakan untuk menyerang Ahlus Sunnah. Sebelum kita memutuskan siapa yang mengucapkan kata-kata ini, mari kita jelaskan apa maksud dari kata-kata “apakah dia mengigau?” beberapa orang Syi’ah terkesan terlalu emosional dengan kata “mengigau”; dalam kenyataannya, arti kata “igauan” (English : delirium) hanyalah berarti “gangguan kesadaran” (English : disturbance of consciousness). Di Amerika, psikiater mendasarkan pada skema klasifikasi DSM-IV-TR; kami menemukan, – menurut kriteria DSM-IV-TR – “gangguan kesadaran” adalah ciri khas inti dari igauan. Igauan dapat –dan seringkali – bersamaan dengan gejala yang lain seperti halusinasi; namun, ini tidak selalu terjadi bahkan sering tidak terjadi. Gejala-gejala lain seperti halusinasi hanyalah ikutan, tetapi bukan cirri khas inti dari igauan.
Pada kenyataannya, igauan tidak dimasukkan dalam ilmu penyakit kejiwaan, tetapi lebih diklasifikasikan sebagai kondisi fisiologis atau organic. Salah satu penyebab yang paling umum gangguan kesadaran adalah demam yang tinggi. Pasien yang menderita demam yang tinggi akan seringkali kabur kesadarannya, dan inilah yang dikenal dengan istilah igauan (delirium), terlepas dari gejala lain yang mungkin mengikut atau mungkin tidak. Dengan kata lain, orang yang sedang dalam keadaan mengigau tidak dianggap sebagai orang gila atau penyakit kejiwaan, melainkan seorang pasien yang sedang menderita kondisi medis biologis yang parah –bukan berasal dari kejiwaan- .
Jika kita melihat definisi dari kata yang digunakan dalam hadits, kita menemukan :
hajara; yahjuru; hajran; hijranan; ahjara : To desert, forsake, leave, renounce, abandon ( meninggalkan, meninggalkan, pergi, meninggalkan, meninggalkan)
tahajara; ihtajara :- To depart from one another, separate, or forsake one another; become alienated (berangkat meninggalkan sesamanya, terpisah, atau mengabaikan satu sama lain; menjadi terasing)
(Sumber : Wortabet’s Arabic – English Dictionary )
dalam konteks hadits, kata tersebut digunakan dalam memaknai seseorang yang pergi atau berangkat dari keadaan pikirannya yang asli; lebih spesifik, istilah ini dikenakan kepada orang yang memisahkan diri dari manusia dan dunia, seperti dalam keadaan kehilangan kesadaran. Dengan kata lain, orang yang bertanya “apakah Nabi mengigau” tidak berarti bahwa Nabi berbicara tanpa akal sehat atau beliau telah gila. Tetapi, lelaki tersebut hanya bertanya apakah Nabi dalam keadaan sadar atau tidak, dan kita tahu dari cerita syaikh Mufid mengenai kejadian tersebut bahwa Nabi dalam keadaan tidak sadar.
Kata “apakah beliau mengigau” tampak dalam shahih Bukhari, berikut ini :
Sakit Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjadi lebih buruk (pada hari Kamis) dan beliau berkata, “Ambilkan aku sesuatu sehingga aku dapat menuliskan sesuatu untuk kalian dan setelah itu kalian tidak akan tersesat selamanya.” Orang-orang (yang hadir di sana) saling berbantah-bantahan dalam kejadian ini, dan adalah sesuatu yang tidak pantas mereka saling berbantahan di depan seorang Nabi. Sebagian mereka berkata, “ada apa dengan beliau? (apa kalian mengira) beliau mengigau (sakit yang serius)? Tanyalah kepada beliau (untuk memahami keadaan beliau).”
(Shahih Bukhari, 6/9, No. 4431)
Pada riwayat di atas, seseorang bertanya “apakah beliau mengigau?” dengan ini, dia ingin mengatakan “apakah beliau sedang mengalami perubahan kesadaran?” dalam shahih Muslim, kita baca:
Sakit Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam semakin serius (pada hari Kamis), dan beliau bersabda : “kemarilah, sehingga aku dapat menuliskan untuk kalian sesuatu tulisan yang kalian tidak akan sesat sesudahku.” Mereka (sahabat yang mengelilingi beliau) berdebat, dan itu adalah hal yang tidak pantas berdebat di hadapan Nabi. Mereka berkata : “bagaimana (keadaan Rasulullah)? Apakah beliau telah kehilangan kesadaran? Coba pelajari dari beliau (hal ini).”
(Shahih Muslim, 3/1257 No. 1637-20 atau baca terjemahan Shahih Muslim dalam Bahasa Inggris buku 013, No. 4014 oleh Abdul Hamid Siddiqui)
Dan sekali lagi:
… dia (periwayat) berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “bawakan aku tulang belikat dan tinta, sehingga aku dapat menuliskan untuk kalian sebuah tulisan kalian tidak akan sesat.” Mereka berkata : “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri”
(Shahih Muslim, , 3/1257 No. 1637-21 atau baca terjemahan Shahih Muslim dalam Bahasa Inggris buku 013, No. 4015 oleh Abdul Hamid Siddiqui)
Orang yang menanyakan pertanyaan ini hanya bertanya-tanya apakah Nabi dalam keadaan sadar atau tidak. Dia tidak bermaksud mengungkapkan hal yang tidak hormat. Dan oleh karenanya orang itu berkata “Tanyalah kepada beliau (untuk memahami keadaan kesadaran beliau) dan coba pelajari dari beliau (hal ini)”. Ini adalah sebuah bukti jelas bahwa orang tersebut tidak bermaksud bahwa Nabi berbicara meracau, karena jika itu terjadi, maka tidak ada gunanya dia minta untuk bertanya kepada Nabi seperti itu. Praktisi medis dan psikiater mengatakan bahwa mereka yang menderita psychosis (yaitu yang keluar dari kenyataan, halusinasi dan lain-lain) tidak memiliki “pemahaman” dalam sakit mereka: mereka sendiri tidak mau mengakui bahwa mereka “gila”. Ini hal yang masuk akal : seseorang tidak akan bertanya kepada seseorang yang sedang bicara meracau jika memang dia menganggap orang itu benar-benar sedang bicara meracau.
Orang tersebut berkata “Tanya kepada beliau” dan “coba belajar dari beliau” dimana artinya bahwa dia berharap kepada mereka untuk melihat apakah Nabi sedang dalam keadaan sadar. Dalam dunia medis, dokter secara rutin menggunakan “Glasgow Coma Scale” (GCS Exam) untuk mengetes tingkat kesadaran pasien. Tes GCS dilakukan dengan menanyai pasien dengan berbagai pertanyaan untuk melihat respon si pasien, dan respon dari pasien menunjukkan tingkat kesadaran pasien tersebut. Dalam bahasa Inggris yang artinya untuk mengecek apakah seseorang dalam keadaan sadar atau tidak, hal terbaik yang dilakukan adalah bertanya kepadanya apakah dia baik-baik saja. Pada kenyataannya, ini adalah langkah pertama dari CPR: untuk mengecek apakah pasien dalam keadaan sadar atau tidak, hal pertama yang dilakukan adalah dia akan bertanya “are you OK?” (kamu baik-baik saja?) jika dia menjawab baik-baik saja, maka tidak ada masalah, tetapi jika tidak, tindakan CPR segera dilakukan.
Untuk menyimpulkan kejadian tersebut, Syi’ah tidak seharusnya terlalu emosi dengan istilah “mengigau”, karena semua yang dimaksud dengan itu adalah “kesadaran” atau “tidak sadarkan diri”. Dan syaikh Mufid sendiri yang mengatakan bahwa Nabi sedang tidak sadarkan diri saat itu. Dia menulis dalam kitabnya (kami tekankan kembali) :
Beliau (Nabi) tak sadarkan diri (pingsan) karena kelelahan yang menimpa beliau dan kesedihan yang dirasakan oleh beliau. Beliau tidak sadar dalam waktu yang singkat sementara kaum muslimin menangis dan istri-istri beliau serta para wanita, anak-anak kaum muslimin dan semua yang hadir berteriak meratap. Rasulullah kembali sadar dan melihat mereka. Kemudian beliau bersabda : “Ambilkan tinta dan kertas (dari kulit) sehingga aku dapat menulis untuk kalian, dan setelah itu kalian tidak akan tersesat”.
Kembali beliau tidak sadarkan diri dan satu dari mereka yang hadir bangkit mencari tinta dan kertas.
“Kembalilah”, Umar memerintahnya (orang tersebut). “beliau mengigau.”
Orang tersebut kembali. Orang-orang yang hadir menyesalkan kelalaian (yang telah mereka tunjukkan)dalam mengambil tinta dan kertas dan bertengkar satu sama lain. Mereka selalu mengatakan: “Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali, tetapi kita menjadi cemas akan kedurhakaan kita kepada Rasulullah, semoga Allah memberkati beliau dan keluarga beliau”
Ketika beliau (Nabi) shalallahu ‘alaihi wa sallam kembali sadar…
(Kitab Al-Irsyad, oleh Syaikh Mufid, hal 130)
Riwayat ini ditemukan dalam satu dari sekian kitab-kitab syi’ah yang paling diandalkan, ini adalah akhir dari perdebatan dengan mereka. Berdasarkan riwayat di atas, kita temukan urutan kejadiannya adalah sebagai berikut :
1. Nabi meminta tinta dan kertas
2. Berikutnya, Nabi pingsan
3. Setelah itu, seorang lelaki bangkit untuk mendapatkan tinta dan kertas
4. Umar memerintahkan lelaki tersebut untuk kembali. (Kitab syi’ah melekatkan kata “mengigau” kepada Umar tetapi kita tahu bagian ini adalah keliru, bahwa orang lain yang berkata seperti itu)
5. Perkataan “beliau mengigau” diucapkan
6. Orang-orang bertengkar
7. Sesaat kemudian Nabi kembali sadar
Dari cerita ini menjadi jelas bahwa kata-kata “apakah beliau mengigau” diucapkan ketika Nabi sedang tidak sadarkan diri (sebelum beliau kembali sadar)! Apakah seorang yang sedang tidak sadar (pingsan) dapat bicara? tentu tidak! Ini adalah pukulan telak atas argument Syi’ah, dan dimanapun syi’ah membuat kehebohan tentang kata-kata “apakah beliau mengigau”, maka kita akan langsung ke bagian ini. Jika kata-kata “apakah beliau mengigau” diucapkan ketika Nabi sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri, maka tidak ada yang namanya “bicara meracau” sebagaimana seorang yang sedang tidak sadarkan diri (pingsan) tidak dapat berbicara, apalagi berbicara meracau. Dengan kata lain, yang dimaksud dari kata “mengigau” sebenarnya adalah sebuah gangguan kesadaran. Jadi pengertiannya adalah; seseorang yang sedang tidur dalam ketidaksadaran dikatakan sebagai “berangkat” (hajara) dari manusia dan dunia ini.
Untuk menyimpulkan hal ini, orang yang bertanya : “apakah beliau mengigau” bermakna menanyakan tentang tingkat kesadaran sang Nabi dan tidak lebih. Dia tidak mengatakan hal itu dengan nada sinis atau merendahkan, melainkan dia mengajukan pertanyaan dengan tulus. Orang ini tidak dapat disalahkan atas hal itu lagi sebagaimana telah diceritakan oleh syaikh Mufid sendiri bahwa Nabi telah tak sadarkan diri.
Siapakah yang bertanya apakah Nabi sedang mengigau
Walau bagaimanapun juga, bukan Umar yang mengajukan pertanyaan itu, ahli ilmu mengatakan bahwa orang yang bertanya tersebut adalah orang yang baru masuk Islam. Syi’ah akan menuntut bukti tekstual untuk klaim ini, dan untuk ini, kita mengakui bahwa tidak ada bukti seperti itu yang kita dapat sediakan. Alasannya karena hadits-hadits tersebut tidak menyebutkan sama sekali siapa yang mengucapkan kata-kata itu! Melainkan, hanya dikatakan “sebagian mengatakan” tanpa menyebutkan siapa orang-orang itu. Namun, ini adalah bukti untuk melawan klaim Syi’ah : tidak ada jalan untuk mereka dapat mengklaim bahwa Umar yang mengucapkan hal itu; jika mereka mengatakan itu, maka mana buktinya? Ada begitu banyak orang di ruangan saat itu, dan tidak fair menuduh Umar yang mengucapkan itu.
Nyatanya, yang benar adalah jika Umar yang mengucapkan hal seperti itu, maka tentunya periwayat akan menyebutkan hal ini. Dimanapun periwayat menyebutkan sesuatu yang Umar katakan, ia melakukannya dengan menyebut nama. Kita baca:
Umar berkata, “Nabi sedang dalam keadaan sakit parah dan kalian mempunyai Al-Qur’an; cukuplah kitabullah buat kita”.
Namun, ketika perawi menyebutkan Nabi sedang mengigau, dia menyebutkan “sebagian mengatakan”
Sebagian mengatakan, “Ada apa dengan beliau? (kamu pikir) dia mengigau?”
Jika Umar yang mengucapkan itu, maka perawi akan telah menyebutkannya. Hal yang tidak masuk akal perawi mengatakan “Umar berkata ini, dan kemudian seseorang mengatakan ini” jika dia memang berbicara tentang orang yang sama. Jika itu diucapkan oleh Umar, maka akan disebutkan dengan jelas bahwa dia (Umar) adalah orang yang mengucapkan hal itu. Metodologi perawi dan penyusun hadits adalah mereka akan mencatat pribadi yang penting (sahabat-sahabat senior) sedangkan mereka akan menggunakan istilah umum (contoh : “mereka”, “sebagian”)untuk menggambarkan figure yang kurang penting. Oleh karena itu, jika itu diucapkan oleh Umar -atau sahabat utama yang lain- maka akan disebutkan namanya.
Yang benar adalah bacaan yang tidak bias menunjukkan bahwa sama sekali bukan Umar yang bertanya apakah Nabi sedang mengigau, dan tidak ada dimanapun kecuali ada dalam imajinasi Syiah yang telah mengaitkan kata-kata ini padanya. Umar menolak untuk membawakan Nabi tinta dan kertas tidak ada alasan lain selain fakta bahwa ia merasa sang Nabi sedang sakit keras dan akan menimbulkan sakit jika beliau berbicara; ini adalah kasih kepada Nabi, dan sama sekali bukan sebagai sebuah bentuk penghinaan sebagaimana klaim Syi’ah.
Ali radhiyallahu ‘anhu telah kehilangan akal sehatnya menurut sumber Syi’ah?
Syi’ah memprotes keras kata-kata “apakah beliau mengigau?”. Mari kita analisa apakah kemarahan mereka tersebut ditujukan kepada kata-kata itu ataukah kepada orang yang mengucapkannya. Dalam kitab Syarah Nahjul Balaghah yang terkenal, kita membaca sebuah riwayat Syi’ah dimana Ali bin Abi Thalib ra sedang terluka dan berdarah; Ali memerintahkan putranya Abdullah, untuk menggosokan pipinya di tanah (untuk menghentikan pendarahan). Menurut Syi’ah, ketika Abdullah mendengar permintaan ini, ia mengira ayahnya telah hilang akal sehatnya dan ia menolak permintaan tersebut. Kita baca riwayat Syi’ah berikut ini :
Ketika Amirul Mukminin (Ali) sedang terluka, orang-orang berada di sisi beliau. Sekujur tubuh beliau (Ali) bersimbah darah dan dia belum melakukan shalat shubuh. beliau diberitahu “Shalat, ya Amirul Mukminin!”.
Beliau mengangkat kepalanya dan berkata : “seseorang yang meninggalkan shalat tidak mempunyai saham dalam Islam!” kemudian beliau berdiri tersentak dan darah menyembur keluar dari luka beliau. Beliau berkata: “berikan saya selembar pakaian.” Beliau membalut lukanya, mulai mengerjakan shalat dan menyebut nama Allah; kemudian dia berkata kepada putranya Abdullah: “ya Abdullah, gosokkan pipiku ke atas tanah.”
Abdullah berkata :
“Aku tidak melakukannya, aku pikir dia telah kehilangan akal sehatnya! Dia (Ali) mengulangi hal yang sama: “Anakku, gosokkan pipiku ke atas tanah.” Aku tidak melakukannya lagi. Ia (Ali) mengulanginya lagi untuk ketiga kalinya, (berkata): “mengapa kamu tidak menggosokkan pipiku ke atas tanah?” sekarang aku dapat melihat dia dengan pikiran sehatnya. Dia tidak dapat melakukannya sendiri karena begitu sakit dan lemah. Aku menyentuhkan pipinya ke tanah. Aku melihat rambut luar janggutnya; tertutup oleh debu. Dia menangis sampai debu melekat pada matanya.
(Syarah Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid)
Bukankah Syi’ah begitu marah dengan kata “mengigau” dengan sedikit sombong ketika kami menemukan bahwa keturunan Ali ra, satu dari ahlul bait, mengatakan bahwa Imam Ma’shum pertama mereka “telah hilang akal sehatnya?” ini sangat jelas dari riwayat ini bahwa Abdullah telah mengira ayahnya telah menjadi gila; Abdullah mengira bahwa Ali sedang membuat permintaan yang tidak masuk akal.
Syi’ah meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib ra adalah ma’shum sebagaimana Nabi; bukankah seharusnya mereka memprotes atas pertanyaan putra Ali sendiri jika “dia telah hilang akal sehatnya?”. Mengapa Syi’ah memaafkan putra Ali, Abdullah tetapi mereka mengeluarkan ludah beracun mereka kepada Umar bin Khattab yang diduga mengucapkan hal yang mirip? Kenyataannya, kata-kata “apakah beliau mengigau” lebih ringan daripada “dia telah kehilangan akal sehatnya”. Perlu diingat bahwa Syi’ah mempunyai opini yang tinggi terhadap Abdullah yang merupakan putra Imam ma’shum mereka; oleh karena itu, apapun akan mereka ma’afkan untuk apa yang Abdullah katakana, maka pastinya pemaafan yang sama dapat diberikan kepada orang yang mengira Nabi sedang mengigau.
Pembaca yang cerdas seharusnya mencatat bahwa kaum Sunni tidak pernah mengemukakan hadis Syiah ini untuk memfitnah Abdullah (radhiyallahu ‘anhu). Ini bukan sifat Ahlus Sunnah untuk memfitnah dan menghina, apalagi kepada pahlawan besar Islam. Namun jika dalam riwayat tersebut yang mengucapkan kata-kata tersebut adalah Umar bukan Abdullah misalnya, hampir bisa dipastikan Syi’ah akan menggunakan ini sebagai semacam “bukti” untuk menyerang Umar! Kita akan temukan da’i Syi’ah menyembul diantara kita dengan membawa tongkat dan bertanya kebingungan : ”Apa yang Umar maksudkan dengan mengucapkan bahwa “Ia telah kehilangan akal sehatnya?” yang demikian ini adalah standar ganda kaum Syi’ah. Ini adalah sifat bermuka dua Syi’ah yang tidak jujur. Sekumpulan orang yang mengkhususkan diri dengan menyempal dan menyukai hal-hal yang bias.
No comments:
Post a Comment