Saturday, August 6, 2011

TRAGEDI KAMIS KELABU? bagian 2

TRAGEDI KAMIS KELABU? bagian 2

January 11, 2010 by alfanarku

Ahlul bait Nabi memaksa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengkonsumsi obat

Da’i Syi’ah menfitnah Umar bin Khattab karena diduga “tidak ta’at” kepada perintah-perintah Nabi, meskipun kenyataannya bahwa Umar begitu mencintai sang Nabi. Namun, dalam waktu-waktu yang hampir bersamaan (hari-hari terakhir rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam) Ahlul bait Nabi (termasuk Ali, Abbas, Fatimah dan istri-istri Nabi ) juga “tidak ta’at” kepada Nabi karena kecintaan mereka kepada beliau. Kemiripan antara dua kejadian tersebut sungguh akan menyebabkan Syi’ah memikirkan kembali posisinya.

Ketika kondisi Nabi shalalallahu ‘alaihi wa sallam terus memburuk, keluarga beliau berkumpul disekeliling beliau dan meminta beliau meminum obat untuk penyakit beliau, tetapi Nabi menolaknya, dan melarang ahlul bait beliau -termasuk Ali, Abbas, Fatimah dan istri-istri beliau- untuk memberi beliau obat apapun. Namun, Keluarga Nabi tidak menaati perintah langsung beliau, bahkan sebaliknya memilih memberikan secara paksa obat tersebut kepada Nabi. Mereka berpendapat Nabi telah lalai dalam mengurus diri beliau sendiri, hal itu karena sifat mulia beliau yang hanya khawatir mengenai orang lain tanpa peduli apapun mengenai diri beliau sendiri. Intinya, Nabi begitu marah dengan perlakuan ini maka beliau menghukum mereka dengan membuat mereka sendiri meminum obat tersebut.

Di sini, kami meriwayatkan sedikit riwayat-riwayat mengenai insiden ini :

Semua keluarga beliau – istri-istri beliau, putri beliau (Fathimah), al-Abbas, dan Ali – berkumpul (di sekeliling beliau). Asma berkata “sakit beliau ini tidak lain adalah radang selaput dada, sehingga kita paksa beliau untuk meminum obat” dan kita melakukannya, dan setelah beliau sembuh, beliau bertanya siapa yang telah melakukan itu pada beliau.

(Tarikh at-Tabari Jilid 9, hal 178)

Lalu beliau (Nabi) datang dan memasuki rumahnya dan rasa sakit bertambah sampai beliau kelelahan. Kemudian sebagian istri beliau berkumpul di sekitarnya, Ummu Salamah dan Maimunah-dan beberapa istri dari kaum Muslimin (di antara mereka Asma)-sementara paman beliau Abbas ada bersama beliau, dan mereka setuju untuk memaksa beliau untuk meminum obat. Abbas berkata, “Biarkan aku memaksanya,” tetapi mereka melakukannya (sebagai gantinya). Ketika beliau sembuh, beliau bertanya siapa yang telah memperlakukan dia (dengan obat-obatan) demikian. Ketika mereka mengatakan bahwa itu paman beliau … beliau (Nabi) bertanya mengapa mereka melakukan itu .. ketika beliau bertanya mengapa mereka melakukan itu, pamannya berkata: “Kami takut bahwa Anda terkena radang selaput dada.” Dia (Nabi ) menjawab: “Ini adalah penyakit yang Allah tidak akan menimpakannya kepadaku. Jangan biarkan seorangpun yang berhenti di rumah ini sampai mereka telah dipaksa untuk meminum obat ini (yaitu sebagai hukuman)”.

(Ibnu Ishak, Sirah Rasulullah, hal 680)



Mereka sepakat untuk memaksa beliau untuk meminum obat. Al-Abbas berkata, “Biarkan aku memaksanya,” dan (Rasulullah) dipaksa.

(Tarikh at-Tabari, Jilid 9, hal 178)



Kami (Ahlul Bait) memaksa Rasulullah untuk meminum obat selama beliau sakit. Beliau mengatakan jangan memaksa beliau, tapi kami mengatakan bahwa orang sakit tidak suka obat. Setelah beliau sembuh, ia (Nabi) berkata: “Janganlah seorang pun tetap tinggal di rumah sampai (semua orang dari kalian) telah dipaksa untuk meminum obat ini …”

(Tarikh at-Tabari, Jilid 9, hal 177)



Ketika mereka mengatakan bahwa mereka takut bahwa beliau (Nabi) mungkin terkena radang selaput dada, beliau (Nabi) berkata: “Ini adalah dari Setan dan Allah tidak akan menimpakan hal itu padaku.”

(Tarikh at-Tabari, Jilid 9, hal 178)



Jika Syi’ah tersinggung dengan pernyataan Nabi disebut “mengigau”, maka mereka tentunya juga tersinggung pada pernyataan bahwa beliau menderita penyakit dari Setan? Apakah ada diantara Syi’ah ingin mengkritik ketidaktaatan Ahlul Bait terhadap Nabi di sini? Sebaliknya, Syi’ah -seperti kita- akan mengatakan bahwa mereka ahlul bait hanya khawatir akan kondisi Nabi lebih dari Nabi khawatir tentang diri beliau sendiri. Itu semua disebut “pembangkangan” karena kecintaan kepada Nabi dan mereka tidak dapat dipersalahkan untuk hal itu. Demikian pula Umar meminta Nabi untuk beristirahat tidak mungkin dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang tercela.



Apakah yang dimaksud Tragedi dalam Hadits tersebut ?

Ibnu Abbas menyebut insiden kertas dan tinta sebagai sebuah “Tragedi”, namun kita harus menganalisa apa dasar dia mengatakan hal itu. Apakah Ibnu Abbas menyebut kejadian tersebut sebagai tragedi karena penolakan Umar untuk memberikan kertas dan tinta? Ini adalah apa yang Sy’ah klaim, tetapi klain ini tidak didasarkan pada pemahaman yang jauh dari prasangka atas teks tersebut. Apa yang kami temukan adalah bahwa Ibnu Abbas menyebut kejadian tersebut sebagai musibah tidak berkaitan dengan penolakan Umar, melainkan berkaitan dengan kenyataan bahwa sahabat saling berselisih pendapat di hadapan Nabi. Ini adalah perbedaan yang sangat penting untuk menunjukkan apa yang dilakukan Syi’ah adalah isu-isu untuk menempatkan pemahaman mereka ke dalam teks. Kita baca :

Ibnu Abbas keluar dan berkata : “ini sangat disayangkan (kehilangan yang besar) bahwa Rasulullah tercegah dari menuliskan sesuatu untuk mereka karena perselisihan pendapat dan kegaduhan.

(Shahih Bukhari, jilid 1, Buku 3, No. 114)

Ibnu Abbas sendiri berkata :

“Orang-orang (yang hadir di sana) berselisih pendapat dalam kejadian ini, dan hal yang tidak pantas berselisih pendapat di hadapan Nabi”.

(Shahih Bukhari, Jilid 5, Buku 59, No. 716)



Mengapa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang untuk pergi.

Kejadian yang serupa, Nabi marah dan memerintahkan orang-orang untuk pergi bukan karena Umar menolak beliau mengambil tinta dan kertas, melainkan karena orang-orang bertengkar dan membuat keributan di hadapan beliau. Kita baca :

Ketika mereka menimbulkan keributan di hadapan Nabi, Rasulullah berkata, “Pergi!” Dikisahkan oleh Ubaidullah: Ibn Abbas pernah berkata, “Sangat disayangkan bahwa Rasulullah tercegah dari menuliskan pernyataan untuk mereka disebabkan pertengkaran dan kegaduhan mereka. “

(Shahih Bukhari, jilid 7, buku 70, no. 573)

Menjelang akhir hidup beliau, Nabi mengalami sakit kepala yang parah, dan kegaduhan dari pertengkaran orang-orang disekeliling beliau menyebabkan sakit pada kepala beliau. Kita baca:

Selama sakit beliau, Nabi Allah meminta tinta dan kertas. Karena beliau kemudian mengalami sakit yang bertambah parah, Umar turun tangan dan mengatakan beliau jangan dibebani oleh apapun dan Al-Qur’an adalah cukup bagi kita sebagaimana beliau telah mengatakannya (mungkin yang dimaksud Umar ra, Rasulullah telah bersabda di haji Wada’ mengenai Al-Qur’an). Tetapi sebagian sahabat mendukung untuk membiarkan beliau mendikte. Nabi tidak menyukai keributan dan meminta orang-orang untuk pergi. Pada saat itu beliau sedang menderita sakit kepala yang hebat dan ini adalah alasan mengapa Umar menyarankan untuk tidak menyulitkan beliau dengan cara apapun. Ketika rasa sakit beliau (Nabi) sudah berkurang, beliau memanggil orang-orang ke dalam dan (meriwayatkan tiga hal).

(Tarikh Islam, Jilid 1, hal 244-245)

Dan itulah yang terjadi, suara-suara keributan memperburuk sakit kepala Nabi, dan inilah yang menyebabkan Nabi menjadi marah, bukan karena penolakan Umar. Sesudah semua itu, bukan penolakan Umar yang memperburuk sakit kepala Nabi melainkan kegaduhan yang keras akibat pertengkaran yang menyebabkannya. Kita baca:

Tetapi para sahabat Nabi berselisih pendapat mengenai hal ini dan menimbulkan suara keributan. Oleh karena itu Nabi berkata kepada mereka, “pergi (dan tinggalkan aku sendiri). Adalah hal yang tidak pantas kalian bertengkar di hadapanku.” Ibnu Abbad keluar dan berkata, “Sangat disayangkan (sebuah musibah yang besar) bahwa Rasulullah tercegah dari menuliskan pernyataan untuk mereka disebabkan pertengkaran dan kegaduhan mereka.”

(Shahih Bukhari, Jilid 1, buku 3, no 114)

Nabi sendiri telah menjelaskan alasan mengapa beliau marah dimana beliau bersabda “pergi (dan tinggalkan aku sendiri). Adalah hal yang tidak pantas kalian bertengkar dihadapanku” perhatikan, Nabi marah atas pertengkaran mereka satu sama lain, dan bukan karena Umar menolak memberikan beliau tinta dan kertas. Nabi tidak mengatakan “pergi” ketika Umar menolak tinta dan kertas, melainkan beliau mengatakan “pergi” saat orang-orang mulai bertengkar diantara mereka. Ini penting untuk membuka mata syi’ah pada poin ini. Kita baca:

Ketika mereka terlibat pembicaraan yang kacau dan mulai saling berdebat di hadapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “bangun (dan pergi)” Ubaidullah berkata : Ibnu Abbas selalu mengatakan: “itu adalah suatu kehilangan yang besar, sungguh suatu kehilangan yang besar,sehubungan dengan pertengkaran dan kegaduhan mereka.”

(Shahih Muslim, Kitab 013, No. 4016)

Hal yang sangat penting untuk direnungkan adalah bahwa Nabi berkata “pergi” ditujukan kepada semua orang yang berada di ruangan, bukan hanya kepada Umar atau mereka yang menolak beliau akan tinta dan kertas. Nabi berkata “pergi” bahkan ditujukan juga kepada mereka yang ingin membawakan tinta dan kertas. Ini adalah bukti yang sangat kuat bahwa Nabi marah kepada mereka semua, dan beliau marah kepada mereka karena pertengkaran mereka satu sama lain. Jika Nabi hanya marah kepada mereka yang berusaha menolak tinta dan kertas saja, maka sungguh hal yang tidak masuk akal Nabi berkata dengan marah “pergi” kepada mereka yang menghendaki untuk memenuhi permintaan beliau.

Logikanya, jika Nabi ingin menyampaikan pesan, maka beliau seharusnya mengatakan “pergi” hanya untuk orang-orang yang mencegah beliau dari hal itu, dan beliau seharusnya mengatakan “tetap tinggal” kepada mereka yang berharap memenuhi permintaan beliau. Apa yang mencegah Nabi untuk mengatakan hal yang mudah “Umar pergi” atau “pergi” ditujukan kepada kelompok yang menolak permintaan beliau?, sebaliknya Nabi mengatakan “pergi” kepada kedua belah pihak, menyalahkan mereka semua karena bertengkar satu sama lain. Sungguh kita temukan bahwa kedua belah pihak meninggalkan ruangan, dan pada akhirnya Nabi tidak menulis pesan untuk mereka. Jika paradigma Syi’ah benar, maka seharusnya Nabi senang dengan mereka yang ingin memenuhi permintaan beliau, tetapi justru Nabi marah kepada mereka dikarenakan mereka bertengkar.



Apakah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk Ali bin Abi Thalib ra sebagai pengganti beliau?

Da’i Syi’ah mengklaim bahwa Nabi meminta tinta dan kertas agar beliau bisa menuliskan wasiat yang mana beliau diduga ingin menunjuk Ali sebagai pengganti beliau. Mereka menuduh Umar mencegah Nabi dari melakukan hal itu.

Jika Nabi benar ingin menuliskan wasiat untuk menunjuk Ali sebagai pengganti beliau, maka mengapa beliau tidak melakukan hal itu sebelum beliau wafat? Kejadian tinta dan kertas terjadi pada hari Kamis, sedangkan Nabi wafat pada hari Senin. Nabi masih memiliki lebih dari 3 hari untuk menulis wasiat semacam itu, namun beliau tidak melakukan hal itu. Baik sumber Sunni maupun Syi’ah tidak menunjukkan bahwa Nabi menulis wasiat itu dalam tiga hari setelah peristiwa hari Kamis. Syi’ah mengklaim bahwa Umar mencegah Nabi dari menulis mengenai Ali dalam wasiat beliau, Kita tanyakan kepada mereka, apakah Umar bin Khattab selalu bersama dengan Nabi 24 jam berturut-turut selama masa tiga hari tersebut? Tentu saja tidak, Kita tahu bahwa hal ini tidak terjadi, dan bahkan riwayat Syi’ah bercerita tentang bagaimana Ali dan beberapa anggota keluarga dekat bersama dengan Nabi di hari-hari terakhir. Namun, Nabi tidak menulis dokumen tersebut dalam tiga hari terakhir tersebut.

Yang benar dalam masalah ini adalah bahwa Nabi tidak mengucapkan apa yang ingin beliau tuliskan hari itu, dan tak ada seorangpun tahu, lalu mengapa dan bagaimana Syi’ah mengklaim bahwa mereka mengetahui hal itu? Masalah itu adalah bagian dari hal yang ghaib, pengetahuan yang tidak dapat ditangkap oleh manusia, sehingga siapapun yang mengklaim dirinya mengetahui dengan pasti mengenai informasi itu, maka mereka hanyalah pembohong atau orang bodoh. Hari ini kita melihat bagaimana Syi’ah mengklaim bahwa kejadian tersebut bersangkutan dengan penunjukkan Ali ra. Namun bagaimana mereka bisa mengetahui hal itu sedangkan Nabi tidak pernah menyebutkannya, tidak juga Ali, Abbas, Ibnu Abbas, Hasan ataupun Husein pernah mengklaim mengetahui hal itu.

Jika Ali mengetahui bahwa Nabi menuliskan sebuah wasiat yang menguntungkannya, maka mengapa dia tidak menggunakannya sebagai bukti untuk hak kekhalifahannya? Ketika Ali diperlombakan dengan khalifah Abu Bakar dan Utsman ra, dia (Ali) membawa banyak bukti untuk mendukung klaim-klaimnya terhadap dua orang itu, tetapi dia tidak pernah menyebutkan adanya wasiat yang ditulis atas namanya. Kita menemukan bahwa cerita syi’ah adalah murni kira-kira : apa dasar mereka mengklaim bahwa wasiat itu adalah wasiat penunjukkan Ali? Mengapa kita tidak bisa mengklaim bahwa Nabi menginginkan menulis sesuatu seperti hari turunnya lailatul Qadar atau bahkan penunjukkan Abu Bakar ra? Jika Syi’ah bersikeras bahwa Nabi akan menuliskan wasiat untuk Ali, maka apa yang mencegah kami untuk mengklaim bahwa itu sebenarnya untuk Abu Bakar? Tidak ada bukti apapun. Jika Syi’ah mengemukakan bukti, maka kita pun memiliki bukti, seperti penunjukkan Abu Bakar sebagai Imam Shalat!.

Hal lain yang menarik adalah Syi’ah mengatakan bahwa Umar berusaha mencegah Nabi menuliskan wasiat untuk Ali. Kami bertanya-tanya, bagaimana mungkin Umar mengetahui apa yang Nabi ingin tuliskan pada hari itu, sedangkan hal tersebut adalah termasuk perkara ghaib? Ali sendiri pun bahkan tidak tahu apa yang Nabi ingin tuliskan pada hari itu. Jadi bagaimana Umar bisa tahu?.

Answering_Ansar (situs syi’ah) berkata :

Nabi meminta alat tulis di masa akhir hidup beliau untuk memberikan perintah terakhir kepada kaum muslimin, tetapi beliau dicegah untuk melakukan itu oleh sekelompok orang diantara sahabat.

Apa yang mencegah Ali ra untuk mengambilkan Nabi sebuah tinta dan kertas dalam tiga hari terakhir kehidupan beliau? Nabi mempunyai seluruh waktu tersisa di hari Kamis untuk menuliskan wasiat itu,seperti halnya hari berikutnya (Jum’at), hari berikutnya (Sabtu), dan hari selanjutnya (Minggu). Namun, dimanakah wasiat misterius itu? Mengapa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak menulisnya? Mari kita asumsikan bahwa Nabi menghendaki menuliskan wasiat untuk Ali sehingga orang-orang tidak akan sesat mengenai itu. Maka mengapa Nabi membiarkan umat menjadi sesat dengan tidak menulis wasiat tersebut? Sebuah wasiat tertulis mengenai Ali akan menyelesaikan semua perdebatan dan isu khalifah dan akan memberikan sebuah bukti yang kuat untuk keimamahan Ali, namun kita tidak menemukan wasiat seperti itu yang pernah ditulis, lalu mengapa Syi’ah menyalahkan selain Nabi mengenai tidak ditulisnya wasiat tersebut? Jika kewajiban menunjuk Ali sebagai pemimpin ada pada Nabi, maka Nabi telah gagal melakukannya, dan Ali gagal meminta Nabi untuk menuliskan wasiat itu pada tiga hari terakhir hidup beliau. Sungguh, Nabi telah memberikan begitu banyak nasehat pada tiga hari tersebut, dan beliau menasehati tentang banyak hal pada tiga hari tersebut – bahkan sampai akhir nafas beliau- namun Nabi tidak pernah kembali berbicara mengenai kejadian hari Kamis tersebut. Mengapa?

Dr. Al-Tijani (Ulama Syi’ah) mengatakan:

Aku mendapati diriku bingung dengan perilaku Umar terhadap perintah Rasulullah. Dan apa perintah itu! “Untuk mencegah umat dari kesesatan”, karena pernyataan itu pasti di dalamnya merupakan sesuatu yang baru bagi kaum muslimin dan akan meninggalkan mereka dalam keadaan tanpa bayangan keraguan … Rasul yang ingin menuliskan nama Ali sebagai penggantinya, dan Umar menyadari hal ini, sehingga ia mencegahnya.



Apakah Umar dan beberapa sahabat mencegah Nabi dari menuliskan wasiat? Apakah Nabi sebagai tahanan Umar dan sahabat-sahabatnya selama tiga hari terakhir sebelum beliau wafat? Apakah Umar dan sahabat-sahabatnya berdiri berjaga-jaga atas Nabi pada saat menjelang ajal beliau, sedemikian rupa sehingga beliau (nabi) tidak dapat menulis wasiat bahkan dalam rentang waktu lebih dari 72 jam? Namun, kita tahu bahwa hal ini tidak terjadi, karena Nabi hanya selalu bersama anggota keluarga beliau selama tiga hari tersebut. Apa yang mencegah Nabi dari menuliskan wasiat pada saat itu dan memberikannya kepada Ali? Namun kita temukan Ali tidak memiliki wasiat yang seperti itu, dan tidak pernah mengklaimnya, tidak juga menggunakannya sebagai bukti untuk kekhalifahannya. Jika wasiat tersebut diperlukan untuk memastikan kekhalifahan Ali. maka itu adalah kesalahan Nabi karena tidak menulisnya dan kesalahan Ali karena tidak memohon Nabi untuk menulis itu. Kita berlindung kepada Allah dari penghujatan dan penghinaan seperti ini..

Apakah Nabi hidup dalam ketakutan terhadap sabahat beliau, siapa yang mencegah penyampaian risalah oleh Nabi? Kembali, kita berlindung kepada Allah dari penghujatan yang seperti ini. Adalah merupakan inti keyakinan dalam Islam bahwa Nabi telah menyampaikan seluruh risalah dengan sempurna, dan tidak ada seorang manusiapun dapat mencegah beliau dari melaksanakan tugas suci beliau tersebut. Sepanjang kehidupan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, musuh beliau dari kalangan orang kafir dan munafik berusaha mencegah Nabi dari menyampaikan risalah, tetapi Allah memerintahkan kepada Nabi untuk tidak pernah takut terhadap mereka dan menyampaikan risalah secara keseluruhan. Dan ini adalah keyakinan kami bahwa Nabi telah sukses dalam misi beliau dan beliau telah menyampaikan risalah secara keseluruhan, dan beliau telah menyelesaikan dengan baik misi beliau sebagai seorang Nabi dan Rasul.

Saat ini adalah saat yang tepat untuk mendiskusikan sebuah inkonsistensi yang besar pada klaim Syi’ah, bukankah Syi’ah mengklaim bahwa Ali ra ditunjuk oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam di Ghadir Khum, dan mereka mengklaim dalam rangka itulah ayat Al-Maidah:67 diturunkan pada saat itu. Untuk memperingatkan Nabi agar menyampaikan apa yang diturunkan oleh Allah dan apa bila Nabi tidak menyampaikan, maka Nabi tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah akan melindungi beliau dari manusia.

Dalam sebuah kejadian yang sangat mirip, Syi’ah berkata bahwa Nabi menghendaki menulis wasiat untuk menunjuk Ali pada kejadian hari Kamis, tetapi beliau dicegah oleh orang-orang. Apakah ayat Al-Maidah:67 tidak berlaku lagi saat itu? Mengapa Nabi tidak jadi menuliskan wasiat mengenai kepemimpinan Ali hanya karena kegaduhan dan pertengkaran orang-orang?, apakah ini berarti Nabi takut kepada orang-orang dan tidak menta’ati perintah Allah dalam Al-Maidah:67?. Sekali lagi kita berlindung kepada Allah Azza wa Jalla dari penghujatan dan penghinaan kepada diri Nabi shalallahu ‘laihi wa sallam yang seperti ini.

Kita baca lagi perkataan Dr Al-Tijani :

Aku mendapati diriku bingung dengan perilaku Umar terhadap perintah Rasulullah. Dan apa perintah itu! “Untuk mencegah umat dari kesesatan”, karena pernyataan itu pasti di dalamnya merupakan sesuatu yang baru bagi kaum muslimin dan akan meninggalkan mereka dalam keadaan tanpa bayangan keraguan … Rasul yang ingin menuliskan nama Ali sebagai penggantinya, dan Umar menyadari hal ini, sehingga ia mencegahnya.

Di atas Dr, Al-Tijani berpendapat bahwa apapun yang dikehendaki Nabi untuk dituliskan adalah sungguh sesuatu yang “baru”, maka kita Tanya : apakah sesuatu yang “baru” itu adalah penunjukkan Ali sebagai khalifah? Syi’ah mengklaim bahwa Ali ditunjuk sebagai khalifah kaum muslimin pada peristiwa Ghadir Khum, dimana kejadian tersebut terjadi sebelum kejadian hari Kamis. Jika penunjukkan asli Ali pada saat di Ghadir Khum, dan jika Syi’ah yakin bahwa dia ditunjuk lagi oleh Nabi saat kejadian kertas dan tinta, lalu bagaimana dengan pernyataan ini : “pernyataan itu pasti di dalamnya merupakan sesuatu yang baru bagi kaum muslimin” sebagaimana DR Al-Tijani klaim, untuk itu tidak ada yang baru tetapi hal yang persis sama yang seharusnya diturunkan di Ghadir Khum,

Hal ini membawa kita kepada pertanyaan yang menarik lainnya, yaitu : “Apa yang signifikan dari peristiwa Ghadir Khum? Dimana Syi’ah mengatakan kejadian itu disaksikan oleh ratusan ribu orang? Apakah itu tidak cukup sebagai sebuah penunjukkan? Di sinilah letak inkonsistensi syi’ah yang menganga lainnya; Syi’ah mengklaim bahwa Ghadir Khum adalah bukti terbesar bagi Ali karena Nabi menunjuk Ali di depan ratusan ribu kaum muslimin. Mereka berpendapat bahwa peristiwa tersebut akan membuat orang tidak mungkin mengingkari keimamahan Ali atau menjadikan sesat mengenainya, namun sekarang Syi’ah mengklaim bahwa tanpa selembar kertas yang ditulis pada hari Kamis, umat akan selamanya sesat.

Dr. Al-Tijani berkata:

Saya pikir mayoritas sahabat bersama Umar, dan itulah sebabnya Rasulullah merasa tidak ada gunanya untuk menulis wasiat, karena beliau mengetahui bahwa mereka tidak akan menghormati beliau dan tidak akan mematuhi perintah Allah dengan tidak mengangkat suara mereka dihadapan beliau, dan jika mereka memberontak melawan perintah Allah, maka mereka tidak akan pernah mematuhi perintah Rasul-Nya.

Pendapat bahwa Nabi merasa “tidak ada gunanya” menyampaikan amanat tersebut adalah merupakan sebuah penghinaan terhadap pribadi Nabi. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

… “jika kamu berpaling sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang”. (QS 64:12)

Dan Allah berfirman lebih jauh:

“Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah).” (QS 42:48)

Nabi akan berdosa jika beliau gagal menyampaikan risalah hanya dikarenakan protes dari orang-orang, karena Allah memperingatkan:

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (QS 5:67)

Da’i Syi’ah mengatakan bahwa Nabi tidak menulis wasiat karena satu dari dua alasan : 1. Orang-orang mencegah beliau dari melakukan hal itu; dan 2. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam marah kepada mereka karena pembangkangan. Mari kita menganalisa klaim ini satu per satu. Posisi pertama berarti Nabi telah melanggar ayat 5:67 (dan yang lain juga) karena beliau gagal untuk menyampaikan amanat karena takut kepada orang-orang (yaitu mereka mencegah beliau secara fisik mencegah beliau menyampaikan amanat), walaupun Allah telah meyakinkan Nabi bahwa beliau akan dilindungi dari manusia. Dan kita tahu dari Sirah Nabi, bahwa beliau tidak pernah gagal untuk menyampaikan risalah Islam, kaum musyrikin Quraisy menganiaya beliau dan bahkan mencoba membunuh beliau. Namun, itu tidak menghalangi Nabi untuk menyampaikan risalah. Jadi bagaimana Syi’ah mengatakan bahwa Nabi kita yang tercinta gagal untuk menuliskan beberapa wasiat agama karena takut atau karena intimidasi fisik?

Kita baca kembali apa yang mereka katakan:

Answering_Ansar (situs syi’ah) berkata :

Nabi meminta alat tulis di masa akhir hidup beliau untuk memberikan perintah terakhir kepada kaum muslimin, tetapi beliau dicegah untuk melakukan itu oleh sekelompok orang diantara sahabat

Bagaimana Syi’ah bisa mengklaim bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam gagal menyelesaikan misi beliau karena orang-orang mencegah beliau dari melakukannya? Apakah orang Syi’ah tidak sadar betapa hal ini adalah sebuah penghinaan kepada Nabi yang tidak pantas diucapkan?.

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak dapat dicegah oleh siapapun dalam menyampaikan risalah dan kita meminta perlindungan kepada Allah dari mengucapkan hujatan seperti ini, sekarang mari kita menuju ke klaim mereka berikutnya, yaitu bahwa Nabi tidak menulis wasiat karena kemarahan beliau kepada orang-orang atas pembangkangan mereka. Sekali lagi, kita temukan bahwa Al-Qur’an menyalahkan hal seperti ini, bukan hanya untuk Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam saja tetapi untuk seluruh Nabi. Mari kita perhatikan kembali kisah Nabi Yunus, yang diperintahkan untuk menyampaikan risalah kepada kaumnya, tetapi beliau frustasi dengan kaumnya karena mereka tidak memperhatikan nasihatnya. Sehingga, Nabi Yunus memutuskan untuk tidak menyampaikan risalah kepada mereka lagi sebagaimana dia berfikir hal itu adalah tidak ada gunanya, dan sebaliknya dia pergi dengan marah. Namun kita menemukan Allah menghukumnya. Allah berfirman:

Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS 21:87)

Jadi kita temukan bahwa tidaklah benar bagi para Nabi gagal dalam menyampaikan risalah kepada manusia, tak peduli betapapun menjengkelkan orang-orang itu. Ketika Nabi Yunus melakukan itu, Allah memarahinya dan menghukumnya. Dan Syiah mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah ma’shum atas segala kesalahan (dan mereka bahkan lebih ekstrim dalam hal ini), jadi bagaimana bisa Syiah mengklaim bahwa Nabi gagal dalam menyampaikan pesan hanya karena kemarahan? Imam kedelapan Syiah, Imam Ridha, mengatakan dalam sebuah hadis shahih Sy’iah:

“Kemarahan orang mukmin tidak akan menyimpangkan dia dari jalan yang benar”

(Chechel Hadith, p.123, http://smma59.wordpress.com/tag/hadithguidence-of-ahlulbayt/)

Bagaimana kemudian Syi’ah bisa menuduh Nabi telah menyimpang dari jalan yang benar dalam menyampaikan amanat? Kita temukan bahwa tidaklah pantas untuk Nabi mengatakan bahwa ia gagal menulis wasiat karena takut, dipaksa, atau karena marah.



Mengapa Nabi tidak menuliskan wasiat tersebut?

Pendapat yang mengatakan bahwa Nabi tidak menuliskan wasiat karena sahabat mencegah beliau adalah keliru; tak seorangpun dapat mencegah Nabi untuk menyampaikan amanat. Melainkan, alasan Nabi tidak menuliskan wasiat adalah karena orang-orang saling bertengkar diantara mereka sendiri dan karenanya Allah menghilangkan berkah darinya. Hal ini mirip dengan apa yang terjadi ketika Nabi hendak menginformasikan kepada umatnya mengenai tanggal terjadinya Lailatul Qadar. Kita baca:

Shahih Bukhari, jilid 3, buku 32, number 240

Diriwayatkan oleh Ubadah bin As-Shamit:

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk menginformasikan kepada kami mengenai malam Laitul Qadar tetapi dua orang kaum muslimin saling bertengkar. Sehingga Nabi bersabda, “Aku keluar untuk memberitahukan kepada kalian tentang malam Lailatul Qadar tetapi orang-orang ini saling bertengkar, sehingga berita mengenai ini telah ditarik kembali; namun hal ini boleh jadi adalah untuk kebaikan kalian sendiri, jadi carilah itu pada malam ke 29, 27, dan 25 (Ramadhan).

Saat Nabi menjumpai dua orang sedang bertengkar, Allah menarik kembali pengetahuan tentang Lailatul Qadar, saat itu juga, berkah pengetahuan tersebut telah lewat, hal yang serupa, saat kejadian kertas dan tinta, waktu untuk pengetahuan itu telah lewat dan berkah telah dihilangkan darinya. Karena itu Nabi tidak menulis untuk mereka sebuah wasiat.

Hal ini seharusnya dicatat bahwa – seperti halnya tanggal datangnya malam Lailatul Qadar – pembatalan pengetahuan ini “boleh jadi adalah untuk kebaikan kalian sendiri” dan ini berdasarkan pemahaman bahwa Allah melakukan segalanya adalah untuk kebaikan umat manusia. Ketika Nabi Adam ‘alaihi salam melanggar perintah Allah dengan mendekati pohon, Allah mengusir dia dan istrinya dari surga. Orang Nashrani menganggap bahwa ini adalah sebuah hukuman dari Tuhan, tetapi ini bukanlah keyakinan Islam; kaum muslimin yakin bahwa Allah mengampuni Nabi Adam dan istrinya, dan bahwa pengusiran mereka dari surga bukanlah sebuah hukuman tetapi merupakan salah satu rangkaian peristiwa yang diperlukan dimana Allah menghendaki untuk menetapkan rencana Ilahiah-Nya. Dalam jangka panjang, pengusiran Nabi Adam dari Surga adalah rahmat untuknya dan untuk kebaikan dirinya sendiri.

Contoh analoginya dalam keseharian, jika seorang guru memberikan PR tambahan kepada murid karena ia gagal dalam ujian, maka mungkin si murid akan menganggap bahwa ini adalah hukuman. Namun kenyataannya adalah sesungguhnya sang guru memberikan PR tambahan kepada si murid untuk kepentingan si murid sendiri agar ia banyak berlatih dan menjadi orang yang berhasil dalam hidupnya.

Seperti halnya kasus tanggal datangnya malam Lailatul Qadar. Allah menarik kembali pengetahuan mengenai hal itu untuk memberikan manusia sebuah pelajaran (adalah menahan diri dari pertikaian dan perpecahan) tambahannya, itu adalah demi kepentingan mereka sendiri dengan ditariknya pengetahuan tersebut, keuntungannya adalah orang akan akan shalat sepanjang malam pada malam-malam di bulan Ramadhan daripada hanya satu malam saja, itu sebabnya dikatakan untuk kebaikan mereka sendiri. Jika Nabi mengungkapkan tanggal tepat datangnya malam Lailatul Qadar, maka orang-orang akan hanya shalat sepanjang malam pada satu malam itu saja, dan akan meninggalkan shalat pada malam-malam lainnya.

Demikian pula, kami meyakini bahwa adalah untuk kebaikan kita sendiri Allah dan Rasul-Nya menarik kembali pengetahuan dalam insiden tinta dan kertas. Hal ini ditulis dalam Fath Al-Bari oleh Syaikh Al-Islam Ibnu Hajar bahwa ada kemungkinan pengetahuan dalam apa yang akan dituliskan itu akan terlalu memberatkan kaum muslimin. Dan adalah untuk kebaikan kaum muslimin Nabi menahan diri dari menyampaikan hal itu kepada mereka. Sesuatu yang serupa telah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari, di mana pengetahuan ditarik dari umat karena takut bahwa mereka akan menjadi terlalu longgar atau bermudah-mudahan:

Shahih Bukhari, Jilid 1 , buku 3, No. 130

Anas bin Malik ra meriwayatkan :

… Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Setiap hamba yang bersaksi bahwa: Tiada ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, maka Allah mengharamkan api neraka atasnya. Muadz berkata: Wahai Rasulullah, bolehkah aku memberitahukan hal ini kepada orang banyak agar mereka merasa senang? Rasulullah saw. bersabda: Kalau engkau kabarkan, mereka akan menjadikannya sebagai andalan (tidak beramal)”

Kesimpulan, Nabi memutuskan untuk tidak jadi menulis wasiat karena : 1. Untuk mendidik kaum Muslimin dan 2. Untuk kebaikan mereka sendiri dalam jangka panjang. Allahu ‘Alam.



Memainkan Permainan Syi’ah

Atas dasar apa Syi’ah mengatakan bahwa Nabi menghendaki untuk menulis tentang Ali dalam wasiat beliau? Jika Syi’ah mengklaim seperti itu, maka Sunni pun dapat dengan mudah mengklaim bahwa sebenarnya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq yang dikehendaki oleh Nabi untuk ditunjuk pada hari itu. Betapa mudahnya hal ini! kenyataannya Imam An-Nawawi menyatakan dalam Syarahnya bahwa Syufyan bin Uyainah berkata bahwa beberapa ahli ilmu mengatakan bahwa Nabi berkeinginan untuk menunjuk Abu Bakar sebagai Khalifah, dan kemudian Imam Nawawi menyatakan bahwa Nabi memilih untuk menarik pengetahuan ini karena ketetapan Allah akan dipenuhi dengan cara yang lebih baik. Jika Nabi telah menunjuk Abu Bakar sebagai khalifah atas kaum muslimin, maka masyarakat luas akan merasa bahwa itu adalah tindakan seorang Tirani. Kebiasaan bangsa Arab saat itu dalam memilih pemimpin mereka sendiri adalah melalui musyawarah dan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, pendapat beberapa ulama, penarikan pengetahuan mengenai penunjukkan Abu Bakar ditarik kembali untuk kepentingan umat, sehingga mereka dapat memilih pemimpin mereka sendiri yang hal tersebut terlihat lebih adil.

Jika Syi’ah mengklaim bahwa wasiat tersebut mengenai Ali, maka apa yang mencegah kami untuk mengklaim bahwa wasiat tersebut untuk Abu Bakar? Dan kami mempunyai bukti lebih besar,karena setelah kejadian tersebut, Abu Bakar -bukan Ali- yang ditunjuk oleh Nabi sebagai Imam Shalat. Dan kita tahu bahwa ketika Umar memulai untuk memimpin shalat, saat itu Nabi menghentikannya, hingga beliau dapat memilih Abu Bakar saja untuk imam shalat. Jadi jika Syi’ah suka menggambarkan cerita fiktif bahwa Umar menghalangi penunjukkan Ali, maka mengapa tidak ada seorangpun yang mengklaim bahwa Umar saat itu sedang menghalangi penunjukkan Abu Bakar? Yang benar dalam hal ini adalah seseorang bisa mengklaim apa saja mengenainya.

Intinya adalah kita pun dapat memainkan permainan Syi’ah dengan mudah dan menyatakan bahwa sebenarnya Abu Bakar lah yang ditunjuk dalam wasiat yang hendak Nabi tuliskan. Namun, Ahlussunnah adalah orang-orang yang jujur, dan kita tidak berbicara tentang hal yang ghaib. Posisi terkuat adalah bahwa kita tidak tahu apa yang Nabi ingin tuliskan dalam dokumen itu, sebagai pengetahuan yang tak terjangkau oleh kami. Dan yang lainnya adalah hanya dugaan.



Ali ra Sendiripun Tidak Mengetahui

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رضي الله عَنْهُ خَرَجَ مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَجْعِهِ الَّذِي تُوُفِّىَ فِيْهِ فَقَالَ النَّاسُ: يَا أَبَا الْحَسَنِ كَيْفَ أَصْبَحَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ أَصْبَحَ بِحَمْدِ اللهِ بَارِئًا فَأَخَذَ بِيَدِهِ الْعَبَّاسُ فَقَالَ لَهُ أَلاَ تَرَاهُ أَنْتَ وَاللهِ بَعْدَ ثَلاَثٍ عَبْدُ الْعَصَا وَاللهِ إِنِّي َلأَرَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْفَ تُوُفِّىَ فِي وَجْعِهِ وَإِنِّي َلأَعْرِفُ فِي وُجُوْهِ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ الْمَوْتَ فَاذْهَبْ بِنَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَسْأَلُهُ فِيْمَنْ هَذَا اْلأمْرُ؟ فَإِنْ كَانَ فِيْنَا عَلِمْنَا ذَلِكَ وَإْنْ كَانَ فِي غَيْرِنَا عَلِمْنَا ذَلِكَ فَأَوْصَى بِنَا. قَالَ عَلِيُّ وَاللهِ لَئِنْ سَأَلْنَاهَا رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنَعْنَاهَا لاَ يُعْطِيْنَاهَا النَّاسُ بَعْدَهُ وَإِنِّي وَاللهِ لاَ أَسْأَلُهَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. رواه البخاري

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Ali bin Abi Thalib keluar dari sisi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau sakit menjelang wafatnya. Maka manusia berkata: “Wahai Abal Hasan, bagaimana keadaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam?” Beliau menjawab: “Alhamdulillah baik”. Abbas bin Abdul Muthalib (paman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) memegang tangan Ali bin Abi Thalib, kemudian berkata kepadanya: “Engkau, demi Allah, setelah tiga hari ini akan menjadi hamba tongkat (orang hina rendahan atau orang yang diperintah oleh seseorang). Sungguh aku mengerti bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam akan wafat dalam sakitnya kali ini, karena aku mengenali wajah-wajah anak cucu Abdul Muthalib ketika akan wafatnya. Marilah kita menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menanyakan kepada siapa urusan (wewenang) ini dipegang? Kalau diserahkan kepada kita, maka kita mengetahuinya. Dan kalau pun diserahkan untuk selain kita, maka kitapun mengetahuinya. atau kita minta agar beliau mewasiatkan kepada kita. Ali bin Abi Thalib menjawab: “Demi Allah, sungguh kalau kita menanyakannya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau tidak memberikannya kepada kita, maka tidak akan diberikan oleh manusia kepada kita selama-lamanya. Dan sesungguhnya aku demi Allah tidak akan memintanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. (HR. Bukhari, kitabul Maghazi, bab Maradlun Nabiyyi wa wafatihi; fathlul bari 8/142, no. 4447; Tarikh Ibnu Hisyam 2/654; Tarikh at-Tabari, jil 9, hal 175-176)

Beberapa hal yang dapat diambil dari riwayat ini. Pertama, hal yang jelas bahwa Nabi telah pulih kembali, namun Nabi masih tetap tidak menulis wasiat tersebut walaupun dalam kenyataannya beliau masih hidup sampai paling tidak tiga hari selanjutnya. Kedua, Abbas berusaha meyakinkan Ali untuk menanyakan kepada Nabi siapa yang akan dipercaya untuk urusan kekhalifahan, dan ia tidak yakin kepada siapa Nabi akan memberikannya. Bagaimana kemudian Syi’ah mengklaim bahwa wasiat tersebut untuk Ali, ketika bahkan Abbas dan Ali tidak mengetahui kepada siapa Nabi akan menunjuk? Ketiga, tidak ada korelasi antara wasiat tersebut dan penunjukkan khalifah. Abbas meminta Ali menanyakan mengenai khalifah tapi tidak ada korelasinya dengan wasiat tersebut.

Syi’ah bercerita Bahwa Nabi menunjuk Ali di Ghadir Khum, jika kita menerima hal ini, maka seharusnya tidak ada keraguan sama sekali dalam pikiran Ali dan Abbas mengenai siapa yang akan diserahi kekhalifahan. Mungkin Syi’ah tidak akan menerima riwayat dari Sunni sebagai bukti, tetapi kejadian yang serupa – Abbas menanyakan kepada Nabi siapa yang akan diserahi urusan kekhalifahan – diriwayatkan oleh Syaikh Mufit dalam kitab Al-Irsyad :

“Jika urusan ini (kekhalifahan) diberikan kepada kami sesudah anda, maka beritahukanlah,” Al-Abbas menanyakan kepada beliau. “jika anda (wahai Nabi) mengetahui bahwa kami adalah yang diserahi, maka berikanlah kepada kami keputusan”.

(Kitab Al-Irsyad, oleh Syaikh Mufid, hal 131)

Kejadian ini terjadi tidak lama setelah peristiwa tinta dan kertas. Adalah jelas dari nukilan tersebut bahwa Abbas, paman Nabi yang juga diakui oleh Syi’ah, tidak yakin siapa yang akan menjadi khalifah dan harus menanyakan hal itu. Ini menghancurkan argument Syi’ah bahwa Ali telah ditunjuk di Ghadir Khum; jika hal itu memang terjadi, maka mengapa Abbas bertanya kepada Nabi siapa yang akan ditunjuk setelah beliau? Dan Ali sendiri pun tidak yakin kepada siapa kekhalifahan akan diserahkan; seandainya ia mengetahui bahwa itu adalah dirinya sendiri, maka ia akan –menurut kata-katanya sendiri- meminta kepada Nabi untuk mengumumkan itu dalam waktu tiga hari yang tersisa dalam kehidupan beliau. Pada kenyataanya Ali tidak menekan Nabi dalam hal ini, membuat hal ini jelas bahwa Ali tidak yakin jika Nabi akan menunjuk dirinya atau tidak; jika Ali sendiri tidak yakin mengenai hal ini, lalu bagaimana bisa Syi’ah begitu yakin soal ini?.

Kenyataannya, Syi’ah mengklaim bahwa Umar mencegah Nabi dari menulis wasiat untuk Ali. Tetapi, menurut sumber Syi’ah, tidak lama setelah kejadian tinta dan kertas, Nabi kenyataannya meminta yang pertama kali kepada Abbas untuk menjadi khalifah! Syaikh Mufid menulis :

Ketika mereka (orang-orang) telah pergi (meninggalkan ruangan), beliau (Nabi) berkata: “panggil kembali saudaraku (Ali) dan pamanku (Abbas).”

Mereka mengirim seseorang untuk memanggil mereka dan membawa mereka. Ketika mereka telah duduk dekat dengan beliau, beliau bersabda: “Paman Rasulullah, maukah engkau menerima hibah wasiatku (Wasi), memenuhi janji-janjiku, dan melaksanakan agamaku?”

“Rasulullah, paman anda adalah seorang yang sudah tua dengan memikul tanggung jawab sebuah keluarga besar,” jawab Al-Abbas. “Anda telah bersaing dengan angin dalam kebebasan dan kemurahan hati. Anda telah membuat janji-janji yang paman anda tidak akan pernah bisa memenuhinya.”

Lalu beliau (Nabi) berpaling kepada Ali bin Abi Thalib dan berkata: “Saudaraku, maukah engkau menerima hibah wasiatku (Wasi), memenuhi janji-janjiku, melaksanakan agamaku atas namaku dan menjaga urusan keluargaku sesudahku?”

“Ya Rasulullah,” Ia (Ali) menjawab.

(Kitab Al-Irsyad, oleh Syaikh Mufid, hal 131)

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam –menurut sumber Syi’ah- memanggil Ali dan Abbas ke kamar beliau dan beliau meminta Abbas untuk menjadi khalifah. Lalu, mengapa Syi’ah mengatakan bahwa Umar ingin mencegah Nabi dari menulis wasiat untuk Ali? Nabi memberi prioritas dan preferensi kepada Abbas, jadi Syi’ah seharusnya berkata bahwa Umar ingin mencegah kekhalifahan Abbas. Betapa rumit dan kacaunya cara berfikir kaum Syi’ah! Lalu apa yang terjadi dengan Ghadir Khum, dimana Nabi –menurut Syi’ah- telah menyelesaikan permasalahan khalifah dan telah mempercayakannya kepada Ali? Kita baca berbagai website Syi’ah yang mengatakan hal-hal seperti ini :

The Thaqalayn Muslim Association berkata:

Ghadir Kum mewakili pengangkatan dan proklamasi resmi Ali sebagai “pemimpin kaum muslimin” Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa alii wa sallam telah berusaha keras untuk memastikan bahwa seluruh kaum muslimin mengetahui bahwa beliau telah menunjuk Ali sebagai pengganti beliau dan Ali bahkan mendapatkan selamat dari para sahabat terkemuka atas jabatannya yang baru diumumkan. Setelah pernyataan itu dibuat, Agama Islam telah menjadi sempurna dan lengkap. Dengan semua bukti dari teks-teks sunni yang tidak bisa diperdebatkan lagi, adalah mustahil untuk menyimpulkan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa alii wa sallam tidak mengangkat pengganti.

Jadi mengapa Abbas bingung mengenai hal tersebut bahkan setelah peristiwa Ghadir Khum berlalu? Mengapa dia harus bertanya kepada Nabi tentang siapa yang akan mewarisi kepemimpinan, bahkan sesudah penunjukkan resmi Ali? Jika Nabi telah berusaha keras untuk memastikan kekhalifahan Ali, mengapa beliau menawarkannya pertama kali kepada Abbas? Ketika Nabi menawarkan khalifah ke Abbas, mengapa Abbas tidak memandang Nabi dengan ragu dan berkata “tetapi anda telah memberikannya kepada Ali!”. Dari diskusi ini menjadi jelas bahwa Nabi tidak pernah menunjuk Ali sebagai penggantinya, bahwa Abbas dan Ali tidak yakin tentang apa isi dari wasiat tersebut atau siapa yang Nabi ingin tunjuk, dan bahwa Nabi telah menawarkan kekhalifahan kepada Abbas mendahului Ali.

Perlu dicatat bahwa Sunni menolak gagasan bahwa Nabi menawarkan kekhalifahan kepada Abbas ataupun Ali; kita hanya menampilkan fakta bahwa terdapat terlalu banyak lubang dalam kisah sejarah Syi’ah, dan lubang-lubang tersebut begitu besar sehingga pesawat jumbo jet pun bisa terbang melaluinya.



Al-Qur’an sudah cukup buat kita

Para da’i Syi’ah kemudian akan mengkritik Umar bin Al-Khattab untuk apa yang dia katakan (yaitu “Al-Quran sudah cukup bagi kita”). Syi’ah akan mengatakan bahwa yang dimaksud Umar adalah menta’ati Sunnah itu tidak perlu. Namun, ini bukan pemahaman yang tepat dari apa yang dikatakan Umar tersebut. Bahkan, Umar-sepanjang hidupnya-menekankan pentingnya menta’ati Sunnah Nabi, sehingga tidak mungkin untuk menuduh Umar sebagai salah satu yang disebut “Quraniyyun” atau “Ingkarul-Hadits” (yaitu penolak Hadits).

Apa yang dikatakan Umar sebenarnya hanyalah sebatas rasa kasihan dia terhadap kondisi nabi yang parah saat itu dan tidak lebih, Umar merasa orang-orang mengganggu Nabi yang sedang sakit parah dan susah untuk mengucapkan kata-kata, apalagi digambarkan juga oleh sumber Syi’ah bahwa saat itu Nabi dalam keadaan sebentar pingsan sebentar kemudian sadar lagi, hal ini sangat jelas dari perkataan tulus Umar tanpa ada tendensi apapun “sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sakit parah dan di sisi kalian ada Al-Qur’an, cukuplah Kitabullah untuk kita”. Bukan berarti Umar menyepelekan Nabi atau menganggap apa yang akan dituliskan/didiktekan Nabi itu tidak penting, tetapi karena keadaan Nabi saat itulah yang membuat Umar berkata seperti itu, hal itu dia lakukan karena rasa sayangnya kepada Sang Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mungkin anda sekalian mengetahui kisah bagaimana Umar seperti orang yang “kehilangan akal sehatnya” karena kesedihan yang begitu dalam ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dikhabarkan telah wafat, yang akhirnya disadarkan oleh Abu Bakar dengan dibacakan Al-Qur’an.

Analogi yang tepat untuk ini adalah jika seseorang yang sedang sakit keras ingin memberi anaknya sejumlah uang. Tetapi satu dari anak-anaknya menyadari bahwa ayahnya sedang membutuhkan banyak uang untuk pengobatan, sehingga dia mengatakan kepada saudara-saudaranya: “tinggalkan ayah sendiri; apa yang kita dapat dari pekerjaan adalah cukup buat kita”. Ini tidak berarti bahwa dia menyepelekan ayahnya atau menganggap uang ayahnya tidak bernilai, tetapi ini hanya berarti bahwa mereka masih mempunyai uang simpanan yang dapat diandalkan dan yang lebih penting adalah saat itu bukanlah saat yang tepat dan pantas untuk menerima uang dari ayah mereka dalam kondisi ayah mereka yang seperti itu.

Adapun perkataan Umar “cukuplah Kitabullah untuk kita” hanyalah mengikuti apa yang disabdakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya pada khutbah beliau di padang Arafah pada haji Wada’ yang merupakan pesan-pesan atau wasiat beliau yang terakhir dihadapan kaum muslimin dalam jumlah yang besar, dan itulah yang dijadikan landasan Umar mengatakan hal itu. Mari kita baca :

وقد تركت فيكم ما لن تضلوا بعده إن اعتصمتم به كتاب الله وأنتم تسألون عني فما أنتم قائلون ؟ قالوا نشهد أنك قد بلغت وأديت ونصحت فقال بإصبعه السبابة يرفعها إلى السماء وينكتها إلى الناس اللهم اشهد اللهم اشهد ثلاث مرات



Dan sungguh telah aku tinggalkan pada kalian sesuatu yang kalian tidak akan tersesat apabila kalian berpegang teguh dengannya, yaitu Kitabullah. Kalau kalian ditanya tentang aku, maka apa yang akan kalian katakan? Mereka menjawab: Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan dan telah menunaikannya, dan telah menasehati. Lalu beliau berkata seraya mengacungkan telunjuknya ke langit dan mengarahkannya kepada orang-orang yang hadir: Ya Allah, saksikanlah. Ya Allah, saksikanlah”. Beliau mengulanginya tiga kali…

(Shahih Muslim, 2/886 No. 1218)

Jelas sekali dalam hadits shahih tersebut Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mewasiatkan sesuatu yang jika umat berpegang padanya maka tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan hari itu juga turun ayat Al-Maidah : 3 sebagai tanda bahwa Al-Qur’an dan agama ini telah sempurna diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla. Kita bandingkan dengan apa yang dikatakan Rasulullah pada peristiwa kertas dan tinta pada hari Kamis “kemarilah, aku akan menuliskan (mendiktekan) untuk kalian wasiat, agar kalian tidak sesat setelahnya”. Menurut anda sekalian, apakah wasiat yang akan dituliskan atau didiktekan Nabi tersebut akan melebihi Kitabullah? Tentu saja tidak, karena Kitabullah adalah rujukan paling utama bagi kaum muslimin, tidak ada lagi di atasnya dan Nabi telah dengan jelas menyampaikannya pada Haji Wada’. Ataukah Nabi ingin mengulangi atau menekankan kembali wasiat beliau dalam khutbah di hari Arafah pada peristiwa hari Kamis tersebut? agar wasiat beliau tercatat dalam bentuk tulisan? Ataukah hal yang lain? Allahu A’lam Bishawab, yang pasti Umar mempunyai landasan ilmu (berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri) ketika mengatakan hal itu.

Allahu ‘Alam Bishawab.

Tulisan ini disadur dan diterjemahkan secara bebas dengan beberapa perubahan dari tulisan Ibn al Hashimi www.ahlelbayt.com

No comments:

Post a Comment