Hukum Berobat
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdillah rahimahullah berkata, “Para ulama berbeda pendapat dalam hukum berobat: Apakah dia mubah tapi lebih utama meninggalkannya, ataukah sunnah ataukah wajib?
Yang masyhur dari Ahmad adalah pendapat pertama (mubah tapi meninggalkannya lebih utama) berdasarkan hadits ini (hadits 70.000 orang masuk surga tanpa hisab, pent.) dan hadits lain yang semakna dengannya. Hanya saja kritikan yang telah lalu (pada hadits tersebut, pent.) menjadikan hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk masalah itu.
Yang masyhur dari Asy-Syafi’i adalah pendapat kedua (sunnah). Sampai-sampai An-Nawawi menyebutkan dalam Syarh Muslim (14/191) bahwa ini adalah mazhab mereka (Asy-Syafi’iyah) dan mazhab mayoritas ulama terdahulu dan semua ulama belakangan. Dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Al-Wazir Abu Al-Muzhaffar. (Al-Ifshah: 1/184)
Sementara mazhab Abu Hanifah menyatakan bahwa berobat adalah sunnah muakkadah yang mendekati wajib.
Sementara mazhab Malik bahwa berobat itu setara antara mengerjakan atau meninggalkannya. Karena Malik berkata, “Tidak mengapa berobat dan tidak mengapa meninggalkannya.”
Syaikh Al-Islam (Ibnu Taimiah) berkata, “(Berobat) tidak wajib menurut pendapat mayoritas ulama, yang mewajibkannya hanya sekelompok kecil dari para pengikut mazhab Asy-Syafi’i dan Ahmad.” (Majmu’ Al-Fatawa: 24/269)
Selesai ucapan Asy-Syaikh Sulaiman dari Taysir Al-Aziz Al-Hamid Syarh Kitab At-Tauhid (1/276-277)
Kami katakan: Dan dalam masalah ini, pendapat yang lebih tepat insya Allah adalah pendapat mayoritas ulama yang menyatakan disunnahkannya berobat. Dalilnya adalah hadits Usamah bin Syarik radhiallahu anhu dia berkata: Para orang Arab baduwi berkata: Wahai Rasulullah, tidakkah kami ini harus berobat (jika sakit)?” Beliau menjawab:
نَعَمْ يَا عِبَادَ اللَّهِ تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً أَوْ قَالَ دَوَاءً إِلَّا دَاءً وَاحِدًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُوَ قَالَ الْهَرَمُ
“Ya wahai sekalian hamba Allah, berobatlah kalian. Karena sesungguhnya Allah tidak menciptakan suatu penyakit melainkan menciptakan juga obat untuknya kecuali satu penyakit.” Mereka bertanya, “Penyakit apakah itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Yaitu penyakit tua (pikun).” (HR. Abu Daud no. 3357 dan At-Tirmizi no. 1961)
Sabda beliau [berobatlah kalian] adalah perintah dan hukum asal perintah adalah wajib. Hanya saja hukum wajib di sini dipalingkan kepada hukum sunnah dengan hadits Ibnu Abbas dimana dia berkata kepada Atha’ bin Abi Rabah: “Maukah aku tunjukkan kepadamu seorang wanita dari penduduk surga?” Jawabku; “Tentu.” Dia berkata:
هَذِهِ الْمَرْأَةُ السَّوْدَاءُ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنِّي أُصْرَعُ وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي قَالَ إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ فَقَالَتْ أَصْبِرُ فَقَالَتْ إِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي أَنْ لَا أَتَكَشَّفَ فَدَعَا لَهَا
“Wanita berkulit hitam ini, dia pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sambil berkata, “Sesungguhnya aku menderita epilepsi dan auratku sering tersingkap (ketika sedang kambuh), maka berdoalah kepada Allah untuk (menyembuhkan)ku.” Beliau bersabda: “Jika kamu berkenan, bersabarlah maka bagimu surga, dan jika kamu berkenan, maka aku akan berdoa kepada Allah agar Allah menyembuhkanmu.” Ia berkata, “Baiklah aku akan bersabar.” Wanita itu berkata lagi, “Tapi jika kambuh, auratku sering tersingkap. Maka tolong berdoalah kepada Allah agar (auratku) tidak tersingkap.” Maka beliau mendoakan untuknya.” (HR. Al-Bukhari no. 5220 dan Muslim no. 4673)
Maka hadits ini tegas menunjukkan tidak wajibnya berobat. Karena seandainya berobat itu wajib, niscaya Nabi shallallahu alaihi wasallam akan mendoakannya atau menyuruhnya berobat dan bukannya menganjurkan dia untuk bersabar. Wallahu A’lam.
No comments:
Post a Comment